Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hingga kini, masih banyak tantangan yang untuk mewujudkan kesetaraan gender
dalam lingkungan kerja. Ketidaksetaraan gender terhadap wanita pada organisasi-
organisasi maupun perusahaan-persahaan tetap saja merupakan isu yang tidak pernah
tuntas terselesaikan. Meskipun, ada beberapa tokoh wanita yang akhirnya dapat menonjol
dalam pekerjaannya, seperti Margaret Thatcher yang menjadi perdana menteri selama
kurun waktu satu dekade dari 1979 hingga 1990, tetap saja ada keterbatasan dalam
kesempatan kerja dan ketidaksetaraan perlakuan bagi para wanita di lingkungan kerja.

Pada awal tahun 2000-an isu ini semakin ramai diperbincangkan. Muncul suatu istilah
yang biasa digunakan untuk membahas mengenai fenomena ketidaksetaraan antara para
pria dan wanita pada lingkungan kerja. Istilah ini disebut “glass ceiling”. Pada periode ini
mulai banyak penelitian yang membahas mengenai “glass ceiling” ini, salah satunya
adalah tulisan dari Baxter dan Wright (2000). Baxter dan Wright (2000) menjelaskan
bahwa “glass ceiling” adalah suatu penghalang transparan yang menghalangi wanita
untuk naik ke posisi yang lebih tinggi pada suatu tingkat dalam organisasi atau
perusahaan. Hal ini berlaku pada para wanita sebagai kelompok yang dihalangi untuk
maju lebih tinggi karena mereka wanita. “Glass ceiling” berimplikasi bahwa adanya
penghalang tidak terlihat yang menghalangi mobilitas vertikal dari para wanita.

Secara kodrat, memang diakui adanya perbedaan (distinction), bukan pembedaan


(discrimination) antara laki-laki dengan perempuan, misalnya dalam aspek biologis,
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang selanjutnya bersifat
komplementer, saling mengisi dan melengkapi. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan-
perbedaan ini dikarenakan oleh banyak hal, di antaranya dibentuk, disosialisasi, diperkuat,
bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural.

Karena proses sosialisasi dan rekonstruksi berlangsung secara mapan dan lama,
akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender itu, seperti kaum perempuan
lemah lembut dan kaum laki-laki kuat perkasa, dikontruksi atau dibentuk oleh masyarakat
atau kodrat biologis yang ditetapkan oleh Tuhan. Namun, dengan menggunakan pedoman
bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang sifat
tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat, dan
sama sekali bukanlah kodrat.

Kata Gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa Inggris. Menurut Musdah
Mulia, “Gender adalah seperangkat sikap, peran, tanggung jawab, fungsi, hak dan perilaku
yang melekat pada diri laki-laki dan perempuan akibat bentukan budaya atau lingkungan
masyarakat tempat manusia itu tumbuh dan dibesarkan.” Pengertian gender tidak sekedar
merujuk pada perbedaan biologis semata, tetapi juga perbedaan perilaku, sifat, dan ciri-ciri
khas yang dimiliki laki-laki atau perempuan. Lebih jauh, istilah gender menunjuk pada
peranan dan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Konstruksi gender sepenuhnya
didasarkan atas kreasi atau ciptaan masyarakat. Konsep gender selalu berubah akibat
perubahan waktu dan tempat sesuai dengan tingkat kesadaran kemanusiaan masyarakat.

Perbedaan gender sebenarnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan


ketidakadilan gender. Masalah itu akan muncul ketika perbedaan gender melahirkan
berbagai ketidakadilan, terutama bagi kaum perempuan. Untuk memahami bagaimana
keadilan gender menyebabkan ketidakadilan gender perlu dilihat manifestasinya. Menurut
Mansour Fakih, “Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisah-pisahkan, karena
saling berkaitan dan saling mempengaruhi secara dialektis. Manifestasi ketidakadilan
dapat dilihat dalam berbagai bentuk, seperti marginalisasi, subordinasi, stereotip,
kekerasan (violence), dan beban kerja.” Fenomena ketidakadilan yang ada dalam
masyarakat juga dapat dipahami sebagai sebuah pranata sosial sebab perbedaan peran
mengenai sifat, tingkah laku perempuan dan laki-laki direduksi menjadi tatanan norma
yang bersifat mengikat dan dianggap sesuatu yang wajar serta tak perlu dipermasalahkan
keberadaannya.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia


telah mengusung program Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) untuk menghapus
segala bentuk diskriminasi baik terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender ditandai dengan tidak diskriminasi antara perempuan dan
laki-laki, dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol
atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dalam pembangunan.
Keadilan gender adalah proses yang adil bagi perempuaan dan lakilaki, untuk
menjamin agar proses itu adil bagi peranannya masing-masing. Keadilan gender antara
perempuan dan laki-laki adalah proses yang mengantarkan menuju kesetaraan. Kesetaraan
gender adalah keadaan dimana perempuan dan laki-laki dapat menikmati status dan
kondisi yang sama dan potensi yang sama untuk berkontribusi dalam pembangunan.
Dengan kata lain kesetaraan gender adalah penilaian yang sama oleh masyarakat terhadap
persamaan dan perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam peran yang mereka
lakukan.

Kondisi ketimpangan gender harus ditangani dengan serius, bila tidak maka akan
timbul ketidakadilan yang menimpa manusia, baik laki-laki dan perempuan karena
kesetaraan gender merupakan isu bagi semua orang. Menfokuskan isu gender dengan
memberikan peluang kepada perempuan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan
berdagang, akan berpengaruh bukan saja terhadap kinerja suatu usaha, tetapi juga
memberdayakan perempuan dan menimbulkan rasa kepemilikan atas suatu sumber usaha.
Akses yang lebih baik terhadap sumberdaya juga memberikan kesempatan kepada
perempuan untuk berkontribusi dalam kegiatan ekonomi produktif maupun dalam
pengambilan keputusan dalam kegiatan berdagang.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Gender

Kata gender berasal dari bahasa latin “genus” yang berarti jenis atau tipe. Sebenarnya, arti
ini kurang tepat. Kalau dilihat dalam kamus, tidak secara jelas dibedakan pengertian sex dan
gender. Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata seks
(jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin
manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu.
Sedangkan gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan
yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural.

a. Pengertian Gender
Menurut Mansour Fakih, gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Hal ini menitik
beratkan pada perbedaan sebagai sesuatu yang sesungguhnya bukanlah kodrat atau
ketentuan Tuhan. Melainkan dibentuk antara manusia jenis laki-laki dan perempuan
melalui proses sosial dan kultural yang sangat panjang. Menurut Musdah Mulia,
pengertian gender tidak sekedar merujuk pada perbedaan biologis semata, tetapi juga
perbedaan perilaku, sifat dan ciri-ciri khas yang dimiliki, juga pada peranan dan hubungan
antara laki-laki dan perempuan. Gender, pada umumnya bersifat lokal didasarkan atas
kreasi atau ciptaan masyarakat dan terikat waktu yang diberlakukan bagi laki-laki dan
perempuan yang berada dalam keadaan serta kondisi yang membatasi bahkan mencegah
mereka untuk berkata, berbuat atau berpikir tentang hal yang sama.
Gender biasanya dipergunakan untuk menunjukkan pembagian kerja yang dianggap
tepat bagi laki-laki dan perempuan. Pembagian kerja seksual tersebut ada yang secara
ketat diterapkan, ada pula yang longgar, tergantung lingkungan budayanya. Gender dalam
pengertian ini adalah sebagai bentuk ciptaan atau rekayasa masyarakat yang tidak bersifat
kodrati. Gender dapat pula diartikan pembagian peran, kedudukan dan tugas antara laki-
laki dan perempuan yang ditetapkan oleh masyarakat berdasarkan sifat perempuan yang
dianggap pantas menurut tradisi, adat istiadat, corak budaya, ajaran agama dan norma
norma yang berlaku. Kadangkala peran sosial tersebut dibakukan oleh masyarakat,
sehingga tidak ada kesempatan bagi perempuan atau laki-laki untuk berganti peranan.
Gender berbeda dengan jenis kelamin (seks). Seks adalah pembagian jenis kelamin
yang ditentukan secara biologis dan melekat pada jenis kelamin tertentu. Oleh karena itu,
konsep jenis kelamin digunakan untuk membedakan laki-laki dan perempuan berdasarkan
unsur biologis dan anatomi tubuh. Oleh karena itu gender menyangkut aturan sosial yang
berkaitan dengan jenis kelamin manusia perempuan dan laki-laki. Perbedaan biologis
dalam hal reproduksi antara perempuan dan laki-laki memang membawa konsekuensi
fungsi reproduksi yang berbeda (perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan
menyusui; laki-laki membuahi dengan spermatozoa). Jenis kelamin biologis inilah
merupakan ciptaan Tuhan, bersifat kodrat, tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan
dan berlaku sepanjang zaman.
Namun demikian, kebudayaan yang dimotori oleh budaya patriarki menafsirkan
perbedaan biologis ini menjadi indicator kepantasan dalam berperilaku yang akhirnya
berujung pada pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol dan menikmati manfaat dari
sumberdaya dan informasi. Akhirnya tuntutan peran, tugas, kedudukan dan kewajiban
yang pantas dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dan yang tidak pantas dilakukan oleh
laki-laki dan perempuan sangat bervariasi dari masyarakat satu ke masyarakat lainnya.
Ada sebagian masyarakat yang sangat kaku membatasi peran yang dilakukan oleh laki-laki
dan perempuan, tetapi ada juga sebagian masyarakat yang fleksibel dalam
memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan aktivitas sehari-hari.
b. Peranan Gender
Peran gender adalah peran laki-laki dan perempuan yang dirumuskan oleh masyarakat
berdasarkan polarisasi stereotipe seksual maskulinitas-feminitas. Secara fungsional
pembagian peran diperlukan untuk menjaga keseimbangan masyarakat. Sedangkan secara
kritis pembagian peran dapat dipandang sebagai usaha superordinate untuk
mempertahankan posisinya. Peranan gender adalah peranan yang dilakukan perempuan
dan laki-laki sesuai status, lingkungan, budaya dan struktur masyarakatnya. Peranan
gender menurut Prasodjo et al18 mencakup:
1) Peranan Produktif
Peranan yang dikerjakan perempuan dan laki-laki untuk memperoleh bayaran atau upah
secara tunai atau sejenisnya. Termasuk produksi pasar dengan suatu nilai tukar, dan
produksi rumah tangga atau subsistem dengan nilai guna, tetapi juga suatu nilai tukar
potensial. Contoh bekerja di sektor formal dan informal.
2) Peranan Reproduktif
Peranan yang berhubungan dengan tanggungjawab pengasuhan anak dan tugas-tugas
domestik yang dibutuhkan untuk menjamin pemeliharaan dan reproduksi tenaga kerja
yang menyangkut kelangsungan keluarga. Contoh melahirkan, memelihara dan mengasuh
anak, mengambil air, memasak, mencuci, membersihkan rumah, memperbaiki baju, dan
sebagainya.
3) Peranan Pengelolaan Masyarakat dan Politik
a. Peranan Pengelolaan Masyarakat atau Kegiatan Sosial
Semua aktivitas yang dilakukan pada tingkat komunitas sebagai kepanjangan peranan
reproduktif. Bersifat volunteer dan tanpa upah.
b. Pengelolaan Masyarakat Politik atau Kegiatan Politik
Peranan yang dilakukan pada tingkat pengorganisasian komunitas pada tingkat formal
secara politik. Biasanya dibayar langsung atau tidak langsung dan dapat
meningkatkan status.
Peran gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan,
agama, politik, ekonomi dan sebagainya. Sebagai hasil bentukan sosial, peran gender dapat
berubah-ubah dalam waktu, kondisi, dan tempat yang berbeda.
c. Relasi Gender dan Ketidakadilan Gender
Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara laki-laki dan perempuan terjadi
melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu, terbentuknya perbedaan-perbedaan
gender dikarenakan oleh banyak hal, diantaranya terbentuk, disosialisasikan, diperkuat dan
juga dikonstruksi secara sosial maupun kultural, melalui ajaran keagamaan maupun
negara.
Relasi gender merupakan kondisi dimana antara laki-laki dan perempuan didalam
rumah tangga terdapat keserasian pola pembagian kerja yang tidak merugikan salah satu
pihak. Relasi gender ada pada relasi keluarga antara suami dan istri dalam rumah tangga
yang berdiri atas landasan sikap saling memahami, saling mengenal, saling bertanggung
jawab dan bekerjasama, serta kesetiaan dan ketulusan cinta demi kemajuan sebuah
keluarga.
Menyadari betapa pentingnya relasi gender dalam upaya meningkatkan keadilan
gender, dari relasi gender muncul peran-peran komunitas antara keduanya baik peran
domestik maupun publik. Misalnya, merawat anak, mengerjakan pekerjaan rumah,
mencari nafkah, pengambilan keputusan dan lain-lain. Persoalan yang terjadi adalah
perbedaan gender yang telah melahirkan berbagai bentuk ketidakdilan, baik bagi kaum
laki-laki dan terutama pada kaum perempuan. Salah satu pangkal ketidakadilan terhadap
perempuan bermuara dari stereotip yang cenderung merendahkan, yang ditujukan pada
perempuan. Ketimpangan gender dapat diartikan sebagai suatu kesenjangan antara kondisi
normative gender sebagaimana yang dicita-citakan dengan kondisi objektif sebagaimana
adanya.
Mansour Fakih menyatakan bahwa ketidakadilan gender merupakan suatu sistem dan
struktur yang menempatkan laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut.
Ketidakadilan gender dapat dilihat melalui pelbagai manifestasi ketidakadilan yang ada di
dalam kehidupan masyarakat, yaitu:
1) Marginalisasi Perempuan
Marginalisasi terhadap kaum perempuan terjadi secara multidimensional yang disebabkan
oleh banyak hal, bisa berupa kebijakan pemerintah, tafsiran agama, keyakinan, tradisi dan
kebiasaan atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. Proses marginalisasi, yang
mengakibatkan kemiskinan banyak sekali terjadi dalam masyarakat dan negara yang
menimpa kaum laki-laki dan perempuan, yang disebabkan oleh berbagai kejadian,
misalnya penggusuran, bencana alam atau proses eksploitasi. Marginalisasi kaum
perempuan juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara.
Misalnya banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak memberikan hak kepada
kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali. Hal lain juga dapat dilihat dari
kebijikan pemerintah yang menggunakan teknologi canggih sehingga menggantikan
peranperan perempuan di sektor yang selama ini ia bisa mengakses secara ekonomis.
2) Subordinasi pada Perempuan
Subordinasi terhadap perempuan karena adanya anggapan bahwa perempuan itu irrasional
atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya
sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Subordinasi pada
perempuan terjadi dalam segala macam bentuk yang berbeda dari tempat ke tempat dan
dari waktu ke waktu.
3) Stereotipe pada Perempuan
Stereotipe adalah pelabelan atau penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipe
adalah bentuk ketidakadilan. Salah satu jenis stereotipe itu adalah yang bersumber dari
pandangan gender. Misalnya, penandaan yang berawal dari asumsi bahwa perempuan
bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenis, maka tiap ada kasus
kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Pelabelan negatif
tersebut dikemas dari mulai bentuknya yang sama sekali tidak ilmiah sampai yang
terkesan ilmiah. Hal ini tidak saja mempersulit perempuan untuk berkreasi dan
mengembangkan potensi diri, tetapi juga menyulitkan perempuan untuk keluar dari garis
batas pencitraan negatifnya.
4) Kekerasan terhadap Perempuan
Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis
seseorang. Kekerasaan ini disebut sebagai gender-related violence, yang pada dasarnya
disebabkan oleh kekuasaan. Berbagai macam dan bentuk kejahatan yang dapat
dikategorikan kekerasan gender ini, baik dilakukan di tingkat rumah tangga sampai di
tingkat negara, bahkan tafsir agama. Kekerasan terhadap perempuan ini merupakan
konsekuensi logis dari stereotipe terhadapnya. Perempuan adalah komunitas yang rentan
dan potensial untuk berposisi sebagai korban dari kesalahan pencitraan terhadapnya atau
kekerasan yang terjadi akibat bias gender yang dalam litelatur feminisme lazim dikenal
sebagai gender-related violence, yang berbentuk pemerkosaan terhadap perempuan
termasuk di dalamnya kekerasan dalam perkawinan (marital rape), aksi pemukulan dan
serangan non-fisik dalam rumah tangga, penyiksaan yang mengarah pada organ alat
kelamin (misalnya sirkumsisi), prostitusi, pornografi, pemaksaan sterilisasi dalam keluarga
berencana dan kekerasan sesksual (sexual harassment).
5) Beban Kerja pada Perempuan
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta
tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan
domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Oleh karena itu,
perempuan menerima beban ganda, selain harus bekerja domestik, mereka juga masih
harus bekerja membantu mencari nafkah.

d. Kesetaraan dan Keadilan Gender


Kesetaraan gender (gender equality) adalah suatu konsep yang menyatakan bahwa laki-
laki dan perempuan memiliki kebebasan untuk mengembangkan kemampuan personal
mereka dan membuat pilihan-pilihan tanpa pembatasan oleh stereotype, prasangka dan peran
gender yang kaku. Sedangkan, keadilan gender (gender equity) merupakan keadilan
perlakuan bagi laki-laki dan perempuan berdasarkan pada kebutuhan-kebutuhan mereka,
mecakup setara atau perlakuan yang berbeda akan tetapi dalam koridor pertimbangan
kesamaan dalam hak-hak, kewajiban, kesempatan-kesempatan dan manfaat. Dengan keadilan
gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi, dan
kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.
Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus social
perempuan dan laki-laki setara, simbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila
terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-laki. Penerapan kesetaraan dan keadilan
gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan
perhitungan secara matematis dan tidak bersifat universal. Terwujudnya kesetaraan dan
keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki,
dengan demikian mereka memiliki akses, partisipasi, kontrol serta manfaat (APKM).
Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk
menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap
cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki
kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya.
Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.
Wujud kesetaraan dan keadilan gender adalah:
a) Akses: Kapasitas untuk menggunakan sumberdaya untuk sepenuhnya berpartisipasi secara
aktif dan produktif (secara sosial, ekonomi dan politik) dalam masyarakat termasuk akses
ke sumberdaya, pelayanan, tenaga kerja dan pekerjaan, informasi dan manfaat.
b) Partisipasi: Perempuan dan laki-laki berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan
keputusan atas penggunaan sumberdaya keluarga secara demokratis dan bila perlu
melibatkan anak-anak baik laki-laki dan perempuan.
c) Kontrol: Perempuan dan laki-laki mempunyai control yang sama dalam penggunaan
sumberdaya keluarga. Suami dan istri dapat memiliki property atas nama keluarga.
d) Manfaat: Semua aktivitas keluarga harus mempunyai manfaat yang sama bagi seluruh
anggota keluarga.
BAB III

KESIMPULAN

Diperlukan tanggung jawab dan kesadaran yang lebih dari wanita untuk meminimalisir
ketidaksetaraan yang dialami wanita di lingkungan kerja dan membuat mereka mendapatkan
posisi yang lebih tinggi pada level yang lebih tinggi. Walaupun begitu, hal tersebut tidak akan
cukup selama organisasi ataupun perusahaan tidak mendukung, tidak memainkan peran yang
baik dalam menciptakan budaya organisasi yang lebih baik yang dapat membuat lingkungan
kerja menjadi tempat yang mendukung dan memberikan kesempatan bagi wanita. Suatu
tempat dimana wanita dapat berkembang untuk memaksimalkan potensi mereka dan
berkontribusi pada kesuksesan organisasi maupun perusahaan. Beberapa perusahaan dan
organisasi sebenarnya sudah mulai menyadari hal ini dan mulai melakukan beberapa upaya
untuk memitigasi ketidaksetaraan gender tersebut di lingkungan kerja mereka.
Secara keseluruhan, dapat diketahui bahwa hambatan dan halangan bagi kesempatan dan
karir wanita tidak banyak berubah secara signifikan dalam beberapa tahun ini, dan
sebenarnya sangat ironis bahwa setelah sekian lama, ketidaksetaraan gender ini tetap menjadi
isu yang tidak bisa benar-benar terselesaikan dan menjadi hambatan dan halangan bagi
wanita dalam melakukan pekerjaannya di lingkungan kerja tersebut. “Glass ceiling” masih
banyak terjadi pada berbagai organisasi dan perusahaan, baik organisasi publik maupun
perusahaan-perusahaan yang berorientasikan laba. Sedikitnya jumlah wanita pada tingkat
senior manajemen dan posisi-posisi yang lebih tinggi menunjukkan gambaran seberapa besar
tantangan terhadap isu ini masih sangat besar.
REFERENSI

Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender: Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:


Paramadina, 1999), h. 53

J. Dwi Naroko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan Edisi Keempat,
(Jakarta: Kencana, 2004), h. 333-334

Umi Sumbulah, Spektrum Gender: Kilasan Inklusi Gender di Perguruan Tinggi, (Malang,
UIN Malang Press, 2008), h. 6

Prasodjo, dkk., Modul Mata Kuliah Gender dan Pembangunan, (Bogor: Departemen
Komunikasi Pengembangan Masyarakat, IPB.

Argyo Pemartoto, Menyibak Sensitivitas Gender dalam Keluarga Difabel, (Surakarta:


Sebelas Maret University, 2007), h. 18
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa yang sudah
melimpahkan rahmatNya sehingga penulis bisa menyusun tugas ini dengan baik. Tugas ini
dibuat untuk memberikan ringkasan tentang ketidakadilan gender yang terjadi pada kaum
perempuan. Mudah-mudahan tugas ini bisa menolong menaikan pengetahuan kita menjadi
lebih luas lagi. Penulis menyadari kalau masih banyak kekurangan dalam menyelesaikan
tugas ini.
Oleh sebab itu, kritik serta anjuran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan
guna kesempurnaan makalah ini. Atas perhatian serta waktunya penulis sampaikan banyak
terima kasih.
DAFTAR ISI

Hal
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang 1
BAB II PEMBAHASAN 4
BAB III KESIMPULAN 10
REFERENSI
PRESPEKTIF PEKERJAAN SOSIAL TERHADAP KETIDAKADILAN
GENDER

FISIP
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA MALUKU
2022

Anda mungkin juga menyukai