Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan
perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan yang bersifat
bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan sejak kecil. Pembedaan ini sangat
penting, karena selama ini sering sekali mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat
kodrati dan yang bersifat bukan kodrati (gender). Perbedaan peran gender ini sangat
membantu kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini
dianggap telah melekat pada manusia perempuan dan laki-laki untuk membangun gambaran
relasi gender yang dinamis dan tepat serta cocok dengan kenyataan yang ada dalam
masyarakat. Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran
perempuan dan laki-laki dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah
melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana
manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang
kita, sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan
abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan dan
laki-laki.3.11
Kata „gender‟ dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan
tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari bentukan (konstruksi) sosial
budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Dengan demikian gender adalah hasil kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat kodrati.
Oleh karenanya gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke
waktu berikutnya. Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat dipertukarkan pada
manusia satu ke manusia lainnya tergantung waktu dan budaya setempat. 2.2;2.3
1. “Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak,
tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya dan adat
istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi
setempat. Tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya
dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat berubah menurut waktu serta
kondisi setempat. 2.2;2.3
2. “Gender refers to the economic, social, political, and cultural attributes and
opportunities associated with being female and male. The social definitions of what it
means to be female or male vary among cultures and changes over time.”2.4 (gender
1
merujuk pada atribut ekonomi, sosial, politik dan budaya serta kesempatan yang
dikaitkan dengan menjadi seorang perempuan dan laki-laki. Definisi sosial tentang
bagaimana artinya menjadi perempuan dan laki-laki beragam menurut budaya dan
berubah sepanjang jaman).
3. “Gender should be conceptualized as a set of relations, existing in social institutions
and reproduced in interpersonal interaction“ (Smith 1987; West & Zimmerman 1987
dalam Lloyd et al. 2009: p.8) (gender diartikan sebagai suatu set hubungan yang
nyata di institusi sosial dan dihasilkan kembali dari interaksi antar personal).
4. “Gender is not a property of individuals but an ongoing interaction between actors
and structures with tremendous variation across men‟s and women‟s lives
“individually over the life course and structurally in the historical context of race and
class” (Ferree 1990 dalam Lloyd et al. 2009: p.8) (Gender bukan merupakan property
individual namun merupakan interaksi yang sedang berlangsung antar aktor dan
struktur dengan variasi yang sangat besar antara kehidupan laki-laki dan perempuan
„secara individual‟ sepanjang siklus hidupnya dan secara struktural dalam sejarah ras
dan kelas).
5. “At the ideological level, gender is performatively produced” (Butler 1990 dalam
Lloyd et al. 2009: p.8) (Pada tingkat ideologi, gender dihasilkan).
6. “Gender is not a noun- a „being‟–but a „doing‟. Gender is created and reinforced
discursively, through talk and behavior, where individuals claim a gender identity
and reveal it to others” (West & Zimmerman 1987 dalam Lloyd et al. 2009: p.8)
(Gender bukan sebagai suatu kata benda–„menjadi seseorang‟, namun suatu
„perlakuan‟. Gender diciptakan dan diperkuat melalui diskusi dan perilaku, dimana
individu menyatakan suatu identitas gender dan mengumumkan pada yang lainnya).
7. “Gender theory is a social constructionist perspective that simultaneously examines
the ideological and the material levels of analysis” (Smith 1987 dalam Lloyd et al.
2009: p.8) (Teori gender merupakan suatu pandangan tentang konstruksi sosial yang
sekaligus mengetahui ideologi dan tingkatan analisis material).
Dengan demikian gender menyangkut aturan sosial yang berkaitan dengan jenis
kelamin manusia laki-laki dan perempuan. Perbedaan biologis dalam hal alat reproduksi
antara laki-laki dan perempuan memang membawa konsekuensi fungsi reproduksi yang
berbeda (perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui; laki-laki
membuahi dengan spermatozoa). Jenis kelamin biologis inilah merupakan ciptaan Tuhan,
bersifat kodrat, tidak dapat berubah, tidak dapat dipertukarkan dan berlaku sepanjang zaman.
Namun demikian, kebudayaan yang dimotori oleh budaya patriarki menafsirkan
perbedaan biologis ini menjadi indikator kepantasan dalam berperilaku yang akhirnya
berujung pada pembatasan hak, akses, partisipasi, kontrol dan menikmati manfaat dari
sumberdaya dan informasi. Akhirnya tuntutan peran, tugas, kedudukan dan kewajiban yang
pantas dilakukan oleh laki-laki atau perempuan dan yang tidak pantas dilakukan oleh laki-laki
atau perempuan sangat bervariasi dari masyarakat satu ke masyarakat lainnya. Ada sebagian
masyarakat yang sangat kaku membatasi peran yang pantas dilakukan baik oleh laki-laki
maupun perempuan, misalnya tabu bagi seorang laki-laki masuk ke dapur atau mengendong
anaknya di depan umum dan tabu bagi seorang perempuan untuk sering keluar rumah untuk
bekerja. Namun demikian, ada juga sebagian masyarakat yang fleksibel dalam
memperbolehkan laki-laki dan perempuan melakukan aktivitas sehari-hari, misalnya
perempuan diperbolehkan bekerja sebagai kuli bangunan sampai naik ke atap rumah atau
memanjat pohon kelapa, sedangkan laki-laki sebagian besar menyabung ayam untuk berjudi.
2
Perbedaan Konsep Gender dan Jenis Kelamin
Pengertian gender itu berbeda dengan pengertian jenis kelamin (sex). Tabel berikut ini
menyajikan perbedaan konsep gender dan jenis kelamin dan perbedaan konsep kodrati dan
bukan kodrati.
Tabel 3.1. Perbedaan konsep jenis kelamin (sex)/ kodrati dan gender/ bukan kodrat
beserta contoh-contohnya.2.2; 2.3
3
Jenis Kelamin (Seks) Gender
Contoh kodrati Contoh Bukan Kodrati
Melahirkan anak bagi Perempuan Bekerja di luar rumah dan tidak dibayar (kegiatan
sosial kemasyarakatan) bagi laki-laki dan
perempuan.
Menyusui anak/ bayi dengan payudaranya Mengasuh anak kandung, memandikan, mendidik,
bagi Perempuan membacakan buku cerita, menemani tidur.
Menyusui anak bayi dengan menggunakan botol
bagi laki-laki atau perempuan.
Sakit prostat untuk Laki-laki Mengangkat beban, memindahkan barang,
membetulkan perabot dapur, memperbaiki listrik
dan lampu, memanjat pohon/ pagar bagi laki-laki
atau perempuan.
Sakit kanker rahim untuk Perempuan Menempuh pendidikan tinggi, menjadi pejabat
publik, menjadi dokter, menjadi tentara militer,
menjadi koki, menjadi guru TK/SD, memilih
program studi SMK-Tehnik Industri, memilih
program studi memasak dan merias bagi laki-laki
atau perempuan.
Konsep gender menjadi persoalan yang menimbulkan pro dan kontra baik di kalangan
masyarakat, akademisi, maupun pemerintahan sejak dahulu dan bahkan sampai sekarang.
Pada umumnya sebagian masyarakat merasa terancam dan terusik pada saat mendengar kata
‟gender‟. Berdasarkan diskusi dengan berbagai kalangan, keengganan masyarakat untuk
menerima konsep gender disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut:3.1
Gerakan feminisme merupakan gerakan konflik sosial yang dimotori oleh para
pelopor feminisme dengan tujuan mendobrak nilai-nilai lama (patriarkhi) yang selalu
dilindungi oleh kokohnya tradisi struktural fungsional. Gerakan feminism modern di Barat
dimulai pada Tahun 1960-an yaitu pada saat timbulnya kesadaran perempuan secara kolektif
4
sebagai golongan tertindas (Skolnick 1987; Porter 1987). Menurut Skolnick: Some feminists
denounced the family as a trap that turned women into slaves (beberapa feminis menuduh
keluarga sebagai perangkap yang membuat para perempuan menjadi budak-budak). Gerakan
feminisme yang berdasarkan model konflik berkembang menjadi gerakan-gerakan feminisme
liberal, radikal, dan sosialis atau Marxisme (Anderson 1983).
Berdasarkan berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa filsafat feminism sangat
tidak setuju dengan budaya patriarkhi. Budaya patriarki yang berawal dari keluargalah yang
menjadi penyebab adanya ketimpangan gender di tingkat keluarga yang kemudian
mengakibatkan ketimpangan gender di tingkat masyarakat. Laki-laki yang sangat diberi hak
istimewa oleh budaya patriarki menjadi sentral dari kekuasaan di tingkat keluarga. Hal inilah
yang menjadikan ketidaksetaraan dan ketidakadilan bagi kaum perempuan dalam
kepemilikian properti, akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan akhirnya kurang
memberikan manfaat secara utuh bagi eksistensi perempuan.
Penghapusan sistem patriarki atau struktur vertikal adalah tujuan utama dari semua
gerakan feminisme, karena sistem ini yang dilegitimasi oleh model struktural-fungsionalis,
memberikan keuntungan laki-laki daripada perempuan. Kesetaraan gender tidak akan pernah
dicapai kalau sistem patriarkat ini masih terus berlaku. Oleh karena itu, ciri khas dari gerakan
feminisme adalah ingin menghilangkan institusi keluarga, atau paling tidak mengadakan
defungsionalisasi keluarga, atau mengurangi peran institusi keluarga dalam kehidupan
masyarakat (Megawangi 1999). Untuk memahami konsep feminisme berikut diuraikan
berdasarkan sejarah berkembangnya gerakan feminisme yang mencakup dua gelombang:
1. Gerakan Gelombang Pertama lebih pada gerakan filsafat di Eropa yang dipelopori
oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet yang pada Tahun 1785,
suatu perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di
Middelburg (Selatan Belanda). Seorang aktivis sosialis utopis bernama Charles
Fourier pada Tahun 1837 memunculkan istilah feminisme yang kemudian tersebar ke
seluruh Eropa dan Benua Amerika. Publikasi John Stuart Mill dari Amerika dengan
judul The Subjection of Women pada Tahun 1869 yang melahirkan feminisme
Gelombang Pertama.
2. Feminisme Gelombang Kedua dimulai pada Tahun 1960, dengan terjadinya
liberalisme gaya baru dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara di
parlemen. Era Tahun 1960 merupakan era dengan mulai ditandainya generasi “baby
boom” (yaitu generasi yang lahir setelah perang dunia ke-2) menginjak masa remaja
akhir dan mulai masuk masa dewasa awal. Pada masa inilah, masa bagi perempuan
mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut dalam kancah politik kenegaraan.
1. Pengertian2.2; 2.3
a. Kesetaraan gender: Kondisi perempuan dan laki-laki menikmati status yang
setara dan memiliki kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-
hak asasi dan potensinya bagi pembangunan di segala bidang kehidupan.
Definisi dari USAID menyebutkan bahwa “Gender Equality permits women
and men equal enjoyment of human rights, socially valued goods,
opportunities, resources and the benefits from development results.3.5
(kesetaraan gender memberi kesempatan baik pada perempuan maupun laki-
laki untuk secara setara/sama/sebanding menikmati hak-haknya sebagai
manusia, secara sosial mempunyai benda-benda, kesempatan, sumberdaya dan
menikmati manfaat dari hasil pembangunan).
5
b. Keadilan gender: Suatu kondisi adil untuk perempuan dan laki-laki melalui
proses budaya dan kebijakan yang menghilangkan hambatan-hambatan
berperan bagi perempuan dan laki-laki. Definisi dari USAID menyebutkan
bahwa “Gender Equity is the process of being fair to women and men. To
ensure fairness, measures must be available to compensate for historical and
social disadvantages that prevent women and men from operating on a level
playing field. Gender equity strategies are used to eventually gain gender
equality. Equity is the means; equality is the result.3.5 (Keadilan gender
merupakan suatu proses untuk menjadi fair baik pada perempuan maupun laki-
laki. Untuk memastikan adanya fair, harus tersedia suatu ukuran untuk
mengompensasi kerugian secara histori maupun sosial yang mencegah
perempuan dan laki-laki dari berlakunya suatu tahapan permainan. Strategi
keadilan gender pada akhirnya digunakan untuk meningkatkan kesetaraan
gender. Keadilan merupakan cara, kesetaraan adalah hasilnya).
2. Wujud Kesetaraan dan Keadilan Gender dalam keluarga
a. Akses diartikan sebagai “the capacity to use the resources necessary to be a
fully active and productive (socially, economically and politically) participant
in society, including access to resources, services, labor and employment,
information and benefits”.3.4 (Kapasitas untuk menggunakan sumberdaya
untuk sepenuhnya berpartisipasi secara aktif dan produktif (secara sosial,
ekonomi dan politik) dalam masyarakat termasuk akses ke sumberdaya,
pelayanan, tenaga kerja dan pekerjaan, informasi dan manfaat). Contoh:
Memberi kesempatan yang sama bagi anak perempuan dan laki-laki untuk
melanjutkan sekolah sesuai dengan minat dan kemampuannya, dengan asumsi
sumberdaya keluarga mencukupi.
b. Partisipasi diartikan sebagai “Who does what?” 3.3 (Siapa melakukan apa?).
Suami dan istri berpartisipasi yang sama dalam proses pengambilan keputusan
atas penggunaan sumberdaya keluarga secara demokratis dan bila perlu
melibatkan anak-anak baik laki-laki maupun perempuan.
c. Kontrol diartikan sebagai ”Who has what?”3.3 (Siapa punya apa?).
Perempuan dan laki-laki mempunyai kontrol yang sama dalam penggunaan
sumberdaya keluarga. Suami dan istri dapat memiliki properti atas nama
keluarga.
d. Manfaat. Semua aktivitas keluarga harus mempunyai manfaat yang sama bagi
seluruh anggota keluarga.
Secara garis besar, aliran aliran feminisme terbagi dalam 2 (dua) kluster yaitu kluster
yang merubah nature (kodrati) perempuan, dan yang melestarikan nature perempuan. Kluster
merubah nature perempuan terdiri atas aliran-aliran Feminisme Eksistensialisme, Feminisme
Liberal, Feminisme Sosialis/ Marxis dan Teologi Feminis. Adapun kluster melestarikan
nature perempuan terdiri atas aliran-aliran Feminisme Radikal dan Ekofeminisme
(Megawangi 1999) (Gambar 3.1).
6
Feminisme Eksistensialisme
Feminisme Liberal
Merubah Nature
Perempuan
Feminisme Sosialis/Marxis
Teologi Feminis
Feminisme Radikal
Melestarikan Nature
Perempuan
Ekofeminisme
7
perempuan dalam hal ini adalah untuk memperkuat basis material
perempuan yang mengadopsi kualitas maskulin.
(2) Karl Marx dan Friedrich Engels, memformulasikan kaum perempuan
yang kedudukannya sebagai kaum proletar pada masyarakat kapitalis
Barat.
(3) Tujuannya adalah untuk menghilangkan kelas termasuk institusi
keluarga.
d. Teologi Feminis:
(1) Teologi Feminis adalah pendekatan Marxis yang telah dimodifikasi
melalui pendekatan agama dengan memakai agama untuk
membebaskan perempuan dari belenggu keluarga dan laki-laki. Ide ini
berasal dari pendekatan laki-laki dalam memakai agama untuk
meligitimasi kekuasaannya. Oleh karena itu, kaum perempuan
mengadopsi pendekatan agama agar dapat diubah bukan untuk
melgitimasi pihak penguasa tetapi untuk meligitimasi pembebasan
golongan tertindas, termasuk kaum perempuan.
(2) Merupakan sebuah praksis yaitu bergerak dalam tataran konseptual
dengan mengubah penafsiran dan perubahan hukum-hukum agama.
2. Pelestarian Nature Perempuan
Tujuannya adalah untuk meruntuhkan sistem patriarki, tetapi bukan dengan
menghilangkan nature, melainkan dengan menonjolkan kekuatan kualitas feminin.
Apabila perempuan masuk ke dunia maskulin dengan cara mempertahankan kualitas
femininnya, maka dunia dapat diubah dari struktur hirarkis (patriarkis) menjadi
egaliter (matriarkis).
a. Feminisme Radikal:
(1) Berkembang di USA pada kurun 1960an -1970an.
(2) Ketidakadilan gender bersumber pada perbedaan biologis antara laki-
laki dan perempuan yang hanya dapat termanifestasi dalam institusi
keluarga; Adanya peraturan 1(satu) tahun cuti di Swedia untuk pekerja
perempuan dan 3-6 bulan untuk pekerja laki-laki.
(3) Lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas
perempuan sehingga tujuannya adalah untuk mengakhiri “the tyranny
of the biological family”.
(4) Cenderung membenci makhluk laki-laki sebagai individu atau kolektif.
Lesbian adalah salah satu pembebasan dari dominasi laki-laki.
b. Ekofeminisme:
(1) Ekofeminisme: gerakan yang ingin mengembalikan kesadaran manusia
akan pentingnya dihidupkan kembali kualitas feminin dalam
masyarakat.
(2) Tidak anti keluarga, melainkan mendukung peran keibuan, tetapi
masih menganggap bahwa sistem patriarkis adalah sistem yang
merusak.
(3) Mengkritik para feminis yang menyuruh perempuan membuang nature,
karena dengan semakin banyaknya para perempuan yang mengadopsi
kualitas maskulin, maka dunia tetap berstruktur maskulin, yaitu identik
dengan penindasan.
(4) Sangat peduli dengan kerusakan lingkungan hidup karena
menghilangnya kualitas pengasuhan dan pemeliharaan (kualitas
feminin).
8
(5) Ekofeminisme mempunyai manifesto yang disebut “A Declaration of
Interdependence”.
(6) Mengajak para perempuan untuk bangkit melestarikan kualitas feminin
agar dominasi sistem maskulin dapat diimbangi sehingga kerusakan
alam, degradasi moral yang semakin mengkhawatirkan dapat
dikurangi.
Gambar 3.2. Aliran feminisme, gap dan tujuan pembangunan serta solusi.
Analisis gender adalah suatu metode atau alat untuk mendeteksi kesenjangan atau
disparitas gender melalui penyediaan data dan fakta serta informasi tentang gender yaitu data
yang terpilah antara laki-laki dan perempuan dalam aspek akses, peran, kontrol dan manfaat.
Dengan demikian analisis gender adalah proses menganalisis data dan informasi secara
9
sistematis tentang laki-laki dan perempuan untuk mengidentifikasi dan mengungkapkan
kedudukan, fungsi, peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan, serta faktor-faktor
yang mempengaruhi. Syarat utama terlaksananya analisis gender adalah tersedianya data
terpilah berdasarkan jenis kelamin. Data terpilah adalah nilai dari variabel variabel yang
sudah terpilah antara laki-laki dan perempuan berdasarkan topik bahasan/hal-hal yang
menjadi perhatian. Data terdiri atas data kuantitatif (nilai variabel yang terukur, biasanya
berupa numerik) dan data kualitatif (nilai variabel yang tidak terukur dan sering disebut
atribut, biasanya berupa informasi).
Di lain pihak alat analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas, analisis
diskursus (discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang selama ini digunakan untuk
memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas adanya relasi kekuasaan yang
didasarkan pada relasi gender dan sangat berpotensi menumbuhkan penindasan. Dengan
begitu analisis gender sebenarnya menggenapi sekaligus mengkoreksi alat analisis sosial
yang ada yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi sosial lelaki dan perempuan
serta akibat-akibat yang ditimbulkannya.
Analisis gender merupakan alat dan tehnik yang tepat untuk mengetahui apakah ada
permasalahan gender atau tidak dengan cara mengetahui disparitas gendernya. Dengan
analisis gender diharapkan kesenjangan gender dapat diindentifikasi dan dianalisis secara
tepat sehingga dapat ditemukan faktor-faktor penyebabnya serta langkah-langkah pemecahan
masalahnya. Analisis gender sangat penting khususnya bagi para pengambil keputusan dan
perencanaan serta para peneliti akademisi, karena dengan analisis gender diharapkan masalah
gender dapat diatasi atau dipersempit sehingga program yang berwawasan gender dapat
diwujudkan. Secara terinci analisis gender sangat penting manfaatnya, karena:
1. Membuka wawasan dalam memahami suatu kesenjangan gender di daerah pada
berbagai bidang, dengan menggunakan analisis baik secara kuantitatif maupun
kualitatif.
2. Melalui analisis gender yang tepat, diharapkan dapat memberikan gambaran secara
garis besar atau bahkan secara detil keadaan secara obyektif dan sesuai dengan
kebenaran yang ada serta dapat dimengerti secara universal oleh berbagai pihak.
3. Analisis gender dapat menemukan akar permasalahan yang melatarbelakangi masalah
kesenjangan gender dan sekaligus dapat menemukan solusi yang tepat sasaran sesuai
dengan tingkat permasalahannya.
Istilah-istilah yang digunakan dalam Analisis Gender meliputi:3.6; 3.8; 3.9; 3.10
10
dilakukan dalam keluarga. Kegiatan ini tidak menghasilkan uang secara langsung dan
biasanya dilakukan bersamaan dengan tanggung jawab domestik atau kemasyarakatan
dan dalam beberapa referensi disebut reproduksi sosial. Contoh peran reproduksi
adalah pemeliharaan dan pengasuhan anak, pemeliharaan rumah, tugas-tugas
domestik dan reproduksi tenaga kerja untuk saat ini dan masa yang akan datang
(misalnya masak, bersih-bersih rumah).
8. Kegiatan kemasyarakatan yang berkaitan dengan politik dan sosial budaya yaitu
kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat yang berhubungan dengan bidang
politik, sosial dan kemasyarakatan dan mencakup penyediaan dan pemeliharaan
sumberdaya yang digunakan oleh setiap orang seperti air bersih/ irigasi, sekolah dan
pendidikan, kegiatan pemerintah lokal dan lain-lain. Kegiatan ini bisa menghasilkan
uang dan bisa juga tidak menghasilkan uang.
Ada beberapa teknik analisis gender yang sering digunakan, yaitu Model Harvard;
Model Moser; Model SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat) atau Model
Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan dan Ancaman; Model GAP (Gender Analysis Pathway)
atau Model Analisis Alur Gender; dan Model ProBA (Problem Based Approach) atau Model
Pendekatan Berbasis Masalah. Dalam buku ini analisis gender yang dibahas hanya dibatasi
pada Model Harvard dan Model Moser saja karena kedua model ini tepat digunakan untuk
analisis kesenjangan gender di tingkat individu dan keluarga.
Teknik Analisis Gender Model Harvard 2.2; 2.3; 2.4; 3.3; 3.4; 3.5
1. Tujuan/ Asumsi adalah: (a) Menunjukkan investasi dan kontribusi ekonomi gender,
(b) Membantu perencanaan proyek yang efisien dan efektif, (c) Mencari informasi
rinci (efisiensi proyek dan pencapaian keadilan dan kesetaraan gender) dan (d)
Memetakan tugas perempuan dan laki-laki di tingkat masyarakat beserta faktor
11
pembeda.
2. Komponen/ Langkah meliputi analisis profil kegiatan 3 (tiga) peran atau triple roles
(terdiri atas peran publik dengan kegiatan produktifnya, peran domestik dengan
kegiatan reproduktifnya dan peran kemasyarakatan dengan kegiatan sosial
budayanya), profil akses dan kontrol dan faktor yang mempengaruhi kegiatan akses
dan kontrol.
Teknik Analisis Gender Model Moser 2.2; 2.3; 2.4; 3.3; 3.4; 3.5; 3.7
Teknik analisis model Moser atau Kerangka Moser dikembangkan oleh Caroline
Moser (Moser 1993) seorang peneliti senior dalam perencanaan gender. Kerangka ini
didasarkan pada pendekatan Pembangunan dan Gender (Gender and Development/ GAD)
yang dibangun pada pendekatan Perempuan dalam Pembangunan (Women in Development/
WID). Kerangka ini kadang-kadang diacu sebagai ”Model Tiga Peranan (Triple Roles
Models). Adapun tujuan dari kerangka pemikiran perencanaan gender dari Moser adalah: (1)
Mempengaruhi kemampuan perempuan untuk berpartisipasi dalam intervensi-intervensi yang
telah direncanakan, (2) Membantu perencanaan untuk memahami bahwa kebutuhan-
kebutuhan perempuan adalah seringkali berbeda dengan kebutuhan-kebutuhan laki-laki, (3)
Mencapai kesetaraan gender dan pemberdayaan melalui pemberian perhatian kepada
kebutuhan-kebutuhan praktis perempuan dan kebutuhan-kebutuhan gender strategis, (4)
Memeriksa dinamika akses kepada dan kontrol pada penggunaan sumber-sumberdaya antara
perempuan dan laki-laki dalam berbagai konteks ekonomi dan budaya yang berbeda-beda, (5)
Memadukan gender kepada semua kegiatan perencanaan dan prosedur dan (6) Membantu
pengklarifikasian batasan-batasan politik dan teknik dalam pelaksanaan praktek perencanaan.
Ada 6 alat yang dipergunakan kerangka ini dalam perencanaan untuk semua
tingkatan, mulai dari tingkatan proyek sampai ke tingkatan perencanaan daerah, yaitu:
12
akses untuk mendapatkan kredit dan sumberdaya lainnya dan kontrol
perempuan atas tubuhnya sendiri.
3. Alat 3 :Pemisahan data/informasi berdasarkan jenis kelamin tentang kontrol atas
sumberdaya dan pengambilan keputusan dalam rumahtangga (alokasi sumberdaya
intra-rumahtangga dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan dalam
rumahtangga). Alat ini digunakan untuk menemukan siapa yang mengontrol
sumberdaya dalam rumahtangga, siapa yang mengambil keputusan penggunaan
sumberdaya dan bagaimana keputusan itu dibuat.
4. Alat 4 :Menyeimbangkan peran gender antara laki-laki dan perempuan dalam
mengelola tugas-tugas produktif, reproduktif dan kemasyarakatan mereka. Perlu juga
diidentifikasi apakah suatu intervensi yang direncanakan akan meningkatkan beban
kerja perempuan atau menambah penderitaan kaum perempuan.
5. Alat 5 :Matriks Kebijakan WID (Women In Development) dan GAD (Gender And
Development) yang akan memberikan masukan untuk pengarusutamaan gender.
6. Alat 6 :Pelibatan stakeholder yang meliputi Organisasi Perempuan dan institusi lain
dalam Penyadaran Gender pada Perencanaan Pembangunan. Tujuan dari alat ini
adalah untuk memastikan bahwa kebutuhan perempuan masuk dalam proses
perencanaan pemerintah dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender di
tingkat keluarga dan masyarakat.
1. Analisis Pola Pembagian Kerja melalui Curahan Kerja (Profil Kegiatan) untuk laki-
laki maupun perempuan baik peran produktif, reproduktif, maupun sosial
kemasyarakatan di tingkat keluarga. Melalui analisis pola pembagian kerja dalam
keluarga akan memberikan gambaran sejauh mana laki-laki mengambil bagian peran
domestik, dan sejauh mana perempuan mengambil bagian peran produktif. Disamping
itu melalui analisis ini diketahui pula seberapa jauh perempuan masih mempunyai
waktu luang untuk melakukan kegiatan produktif, kapan waktu itu tersedia agar tepat
dalam memberikan masukan ketrampilan teknis pada perempuan. Analisis ini juga
memberikan informasi tentang peluang baik laki-laki maupun perempuan dalam
memanfaatkan sumberdaya yang ada baik modal, alat-alat produksi, teknologi, media
informasi, pendidikan, dan sumberdaya alam yang tersedia. Akhirnya, analisis ini
memberikan informasi tentang kekuatan pengambilan keputusan dan peluang untuk
mendistribusikan kekuatan tersebut antara laki-laki dan perempuan.
2. Analisis Profil Akses (peluang) dan Kontrol (kekuatan dalam pengambilan keputusan)
yang berkaitan dengan sumberdaya fisik (tanah, modal, alat-alat produksi), situasi dan
kondisi pasar (komoditi, tenaga kerja, pemasaran, kredit modal, informasi pasar),
serta sumberdaya sosial-budaya (media informasi, pendidikan, pelatihan ketrampilan).
3. Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi profil kegiatan serta profil akses dan
kontrol agar dapat digunakan sebagai alat untuk menentukan hal-hal yang
menghambat atau menunjang sebuah program/ proyek. Faktor-faktor yang perlu
dianalisis meliputi lingkungan budaya, tingkat kemiskinan, distribusi pendapatan
dalam masyarakat, struktur kelembagaan, penyebaran pengetahuan, teknologi dan
ketrampilan, norma/nilai-nilai individu dan masyarakat, kebijakan lokal/regional,
peraturan/hukum, pelatihan dan pendidikan, kondisi politik, local wisdom dan lain
sebagainya.
13