Anda di halaman 1dari 22

Pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi

“Analisis Gender”

Dosen : Rosyidah Alfitri,SST.,MPH

KELOMPOK 5
2A KEBIDANAN

DISUSUN OLEH :
Arsya Aida B 182004
Astri Rahayu L 182005
Dinda Yohana P.U 182013
Egga Devi Fadillah 182014
Risa Oktavianti 182036
Salsabila Yunita M 182038

PROGRAM STUDI KEBIDANAN


POLITEKNIK KESEHATAN RS. Dr. SOEPRAOEN
MALANG
TA 2018/2019
DAFTAR ISI

Daftar isi ................................................................................................ 2


BAB I : PEMBAHASAN ...................................................................... 3
Pengertian Konsep Gender ..................................................... 3
 Definisi gender menurut berbagai pustaka
Perbedaan Konsep Gender Dan Jenis Kelamin ...................... 5
Pengertian Dan Tehnik Analisis Gender ............................... 8
 Manfaat Gender Sangat Penting
 Istilah-Istilah Yang Digunakan Analisis Gender
 Teknik Analisis Gender Yang Sering Digunakan
Bias Gender Dalam Pendidikan ............................................. 11
Bias Gender Dalam Politik .................................................... 19
Daftar Pusataka .................................................................................... 22
BAB I
PEMBAHASAN
1. Pengertian Konsep Gender
Istilah gender diperkenalkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan
perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan
Tuhan dan yang bersifat bentukan budaya yang dipelajari dan disosialisasikan
sejak kecil. Pembedaan ini sangat penting, karena selama ini sering sekali
mencampur adukan ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan yang bersifat
bukan kodrati (gender). Perbedaan peran gender ini sangat membantu kita
untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini
dianggap telah melekat pada manusia perempuan dan laki-laki untuk
membangun gambaran relasi gender yang dinamis dan tepat serta cocok
dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Perbedaan konsep gender
secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki-laki
dalam masyarakatnya. Secara umum adanya gender telah melahirkan
perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana
manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada
cara pandang kita, sehingga kita sering lupa seakan-akan hal itu merupakan
sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri
biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki-laki.
Kata gender dapat diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status
dan tanggungjawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari
bentukan (konstruksi) sosial budaya yang tertanam lewat proses sosialisasi
dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan demikian gender adalah
hasil kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat kodrati. Oleh karenanya
gender bervariasi dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu waktu ke
waktu berikutnya. Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat
dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya tergantung waktu dan
budaya setempat.
A. Definisi gender menurut berbagai pustaka adalah sebagai berikut:
1. “Gender adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam
peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh
tata nilai sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat
yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat.
Tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial,
budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat yang dapat
berubah menurut waktu serta kondisi setempat.
2. “Gender refers to the economic, social, political, and cultural
attributes and opportunities associated with being female and male.
The social definitions ofwhat it means to be female or male vary
among cultures and changes over time.” (gender merujuk pada
atribut ekonomi, sosial, politik dan budaya serta kesempatan yang
dikaitkan dengan menjadi seorang perempuan dan laki-laki. Definisi
sosial tentang bagaimana artinya menjadi perempuan dan laki-laki
beragam menurut budaya dan berubah sepanjang jaman).
3. “Gender should be conceptualized as a set of relations, existing in
social institutions and reproduced in interpersonal interaction“
(Smith 1987; West & Zimmerman 1987 dalam Lloyd et al. 2009:
p.8) (gender diartikan sebagai suatu set hubungan yang nyata di
institusi sosial dan dihasilkan kembali dari interaksi antar personal).
4. “Gender is not a property of individuals but an ongoing interaction
between actors and structures with tremendous variation across
men‟s and women‟s lives “individually over the life course and
structurally in the historical context of race and class” (Ferree 1990
dalam Lloyd et al. 2009: p.8) (Gender bukan merupakan property
individual namun merupakan interaksi yang sedang berlangsung
antar aktor dan struktur dengan variasi yang sangat besar antara
kehidupan laki-laki dan perempuan „secara individual‟ sepanjang
siklus hidupnya dan secara struktural dalam sejarah ras dan kelas).
5. “At the ideological level, gender is performatively produced” (Butler
1990 dalam Lloyd et al. 2009: p.8) (Pada tingkat ideologi, gender
dihasilkan).
6. “Gender is not a noun- a „being‟–but a „doing‟. Gender is created
and reinforced discursively, through talk and behavior, where
individuals claim a gender identity and reveal it to others” (West &
Zimmerman 1987 dalam Lloyd et al. 2009: p.8) (Gender bukan
sebagai suatu kata benda–„menjadi seseorang‟, namun suatu
„perlakuan‟. Gender diciptakan dan diperkuat melalui diskusi dan
perilaku, dimana individu menyatakan suatu identitas gender dan
mengumumkan pada yang lainnya).
7. “Gender theory is a social constructionist perspective that
simultaneously examines the ideological and the material levels of
analysis” (Smith 1987 dalam Lloyd et al. 2009: p.8) (Teori gender
merupakan suatu pandangan tentang konstruksi sosial yang sekaligus
mengetahui ideologi dan tingkatan analisis material).

2. Perbedaan Konsep Gender dan Jenis Kelamin


Pengertian gender itu berbeda dengan pengertian jenis kelamin (sex). Tabel
berikut ini menyajikan perbedaan konsep gender dan jenis kelamin dan
perbedaan konsep kodrati dan bukan kodrati.
Tabel 3.1. Perbedaan konsep jenis kelamin (sex)/ kodrati dan gender/ bukan
kodrat beserta contoh-contohnya
Jenis Kelamin (Seks) Contoh Jenis Kelamin (Seks) Contoh
kodrati Gender Contoh Bukan kodrati Gender Contoh Bukan
Kodrati Kodrati
Peran reproduksi kesehatan Peran sosial bergantung pada
berlaku sepanjang masa. waktu dan keadaan.
Peran reproduksi kesehatan Peran sosial bukan kodrat Tuhan
ditentukan oleh Tuhan atau tapi buatan manusia
kodrat.
Menyangkut perbedaan organ Menyangkut perbedaan peran,
biologis lakilaki dan fungsi, dan tanggungjawab
perempuan khususnya pada laki-laki dan perempuan
bagian alat-alat reproduksi. sebagai hasil kesepakatan atau
Sebagai konsekuensi dari hasil bentukan dari
fungsi alat-alat reproduksi, masyarakat. Sebagai
maka perempuan mempunyai konsekuensi dari hasil
fungsi reproduksi seperti kesepakatan masyarakat,
menstruasi, hamil, melahirkan maka pembagian peran laki-
dan menyusui; sedangkan laki adalah mencari nafkah
lakilaki mempunyai fungsi dan bekerja di sektor publik,
membuahi (spermatozoid). sedangkan peran perempuan
di sektor domestik dan
bertanggung jawab masalah
rumahtangga.
Peran reproduksi tidak dapat Peran sosial dapat berubah: Peran
berubah; sekali menjadi istri sebagai ibu rumahtangga
perempuan dan mempunyai dapat berubah menjadi
rahim, maka selamanya akan pekerja/ pencari nafkah,
menjadi perempuan; disamping masih menjadi istri
sebaliknya sekali menjadi juga.
laki-laki, mempunyai penis,
maka selamanya menjadi laki-
laki.
Peran reproduksi tidak dapat Peran sosial dapat dipertukarkan
dipertukarkan: tidak mungkin Untuk saat-saat tertentu, bisa
peran laki-laki melahirkan saja suami dalam keadaan
dan perempuan membuahi. menganggur tidak mempunyai
pekerjaan sehingga tinggal di
rumah mengurus
rumahtangga, sementara istri
bertukar peran untuk bekerja
mencari nafkah bahkan
sampai ke luar negeri menjadi
Tenaga Kerja Wanita (TKW).
Membuahi Bekerja di dalam rumah dan
dibayar (pekerjaan
publik/produktif di dalam
rumah) seperti jualan
masakan, pelayanan
kesehatan, membuka salon
kecantikan, menjahit/ tailor,
mencuci pakaian/loundry,
mengasuh dan mendidik anak
orang lain (babbysitter/ pre-
school).
Menstruasi Bekerja di luar rumah dan dibayar
(pekerjaan publik di luar
rumah)
Mengandung/ hamil Bekerja di dalam rumah dan tidak
dibayar (pekerjaan domestik
rumahtangga) seperti
memasak, menyapu halanam,
membersihkan rumah,
mencuci pakaian keluarga,
menjahit pakaian keluarga.
Melahirkan anak bagi Perempuan Bekerja di luar rumah dan tidak
dibayar (kegiatan sosial
kemasyarakatan) bagi laki-
laki dan perempuan.
Menyusui anak/ bayi dengan Mengasuh anak kandung,
payudaranya bagi Perempuan memandikan, mendidik,
membacakan buku cerita,
menemani tidur. Menyusui
anak bayi dengan
menggunakan botol bagi laki-
laki atau perempuan.
Sakit prostat untuk Laki-laki Mengangkat beban,
memindahkan barang,
membetulkan perabot dapur,
memperbaiki listrik dan
lampu, memanjat pohon/
pagar bagi laki-laki atau
perempuan
Sakit kanker rahim untuk Menempuh pendidikan tinggi,
Perempuan menjadi pejabat publik,
menjadi dokter, menjadi
tentara militer, menjadi koki,
menjadi guru TK/SD,
memilih program studi SMK-
Tehnik Industri, memilih
program studi memasak dan
merias bagi laki-laki atau
perempuan.

3. Pengertian dan Tehnik Analisis Gender


Analisis gender adalah suatu metode atau alat untuk mendeteksi
kesenjangan atau disparitas gender melalui penyediaan data dan fakta serta
informasi tentang gender yaitu data yang terpilah antara laki-laki dan
perempuan dalam aspek akses, peran, kontrol dan manfaat. Dengan
demikian analisis gender adalah proses menganalisis data dan informasi
secara sistematis tentang laki-laki dan perempuan untuk mengidentifikasi
dan mengungkapkan kedudukan, fungsi, peran dan tanggung jawab laki-laki
dan perempuan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi.
Syarat utama terlaksananya analisis gender adalah tersedianya data
terpilah berdasarkan jenis kelamin. Data terpilah adalah nilai dari variabel
variabel yang sudah terpilah antara laki-laki dan perempuan berdasarkan
topik bahasan/hal-hal yang menjadi perhatian. Data terdiri atas data
kuantitatif (nilai variabel yang terukur, biasanya berupa numerik) dan data
kualitatif (nilai variabel yang tidak terukur dan sering disebut atribut,
biasanya berupa informasi). Di lain pihak alat analisis sosial yang telah ada
seperti analisis kelas, analisis diskursus (discourse analysis) dan analisis
kebudayaan yang selama ini digunakan untuk memahami realitas sosial
tidak dapat menangkap realitas adanya relasi kekuasaan yang didasarkan
pada relasi gender dan sangat berpotensi menumbuhkan penindasan.
Dengan begitu analisis gender sebenarnya menggenapi sekaligus
mengkoreksi alat analisis sosial yang ada yang dapat digunakan untuk
meneropong realitas relasi sosial lelaki dan perempuan serta akibat-akibat
yang ditimbulkannya.
Analisis gender merupakan alat dan tehnik yang tepat untuk mengetahui
apakah ada permasalahan gender atau tidak dengan cara mengetahui
disparitas gendernya. Dengan analisis gender diharapkan kesenjangan
gender dapat diindentifikasi dan dianalisis secara tepat sehingga dapat
ditemukan faktor-faktor penyebabnya serta langkah-langkah pemecahan
masalahnya.
Analisis gender sangat penting khususnya bagi para pengambil keputusan
dan perencanaan serta para peneliti akademisi, karena dengan analisis
gender diharapkan masalah gender dapat diatasi atau dipersempit sehingga
program yang berwawasan gender dapat diwujudkan.
A. Manfaatnya analisis gender sangat penting
1. Membuka wawasan dalam memahami suatu kesenjangan gender di
daerah pada berbagai bidang, dengan menggunakan analisis baik
secara kuantitatif maupun kualitatif.
2. Melalui analisis gender yang tepat, diharapkan dapat memberikan
gambaran secara garis besar atau bahkan secara detil keadaan secara
obyektif dan sesuai dengan kebenaran yang ada serta dapat dimengerti
secara universal oleh berbagai pihak.
3. Analisis gender dapat menemukan akar permasalahan yang
melatarbelakangi masalah kesenjangan gender dan sekaligus dapat
menemukan solusi yang tepat sasaran sesuai dengan tingkat
permasalahannya.
B. Istilah-istilah yang digunakan dalam Analisis Gender meliputi:
1. Akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau
menggunakan sumberdaya tertentu.
2. Peran adalah keikutsertaan atau partisipasi seseorang/ kelompok dalam
suatu kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan.
3. Kontrol adalah penguasaan atau wewenang atau kekuatan untuk
mengambil keputusan.
4. Manfaat adalah kegunaan sumberdaya yang dapat dinikmati secara
optimal.
5. Indikator adalah alat ukur berupa statistik yang dapat menunjukkan
perbandingan, kecenderungan atau perkembangan.
6. Kegiatan produktif yaitu kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat
dalam rangka mencari nafkah. Kegiatan ini disebut juga kegiatan
ekonomi karena kegiatan ini menghasilkan uang secara langsung atau
barang yang dapat dinilai setara uang. Contoh kegiatan ini adalah
bekerja menjadi buruh, petani, pengrajin dan sebagainya.
7. Kegiatan reproduktif yaitu kegiatan yang berhubungan erat dengan
pemeliharaan dan pengembangan serta menjamin kelangsungan
sumberdaya manusia dan biasanya dilakukan dalam keluarga.
Kegiatan ini tidak menghasilkan uang secara langsung dan biasanya
dilakukan bersamaan dengan tanggung jawab domestik atau
kemasyarakatan dan dalam beberapa referensi disebut reproduksi
sosial.
Contoh peran reproduksi adalah pemeliharaan dan pengasuhan anak,
pemeliharaan rumah, tugas-tugas domestik dan reproduksi tenaga
kerja untuk saat ini dan masa yang akan datang (misalnya masak,
bersih-bersih rumah).
8. Kegiatan kemasyarakatan yang berkaitan dengan politik dan sosial
budaya yaitu kegiatan yang dilakukan anggota masyarakat yang
berhubungan dengan bidang politik, sosial dan kemasyarakatan dan
mencakup penyediaan dan pemeliharaan sumberdaya yang digunakan
oleh setiap orang seperti air bersih/ irigasi, sekolah dan pendidikan,
kegiatan pemerintah lokal dan lain-lain. Kegiatan ini bisa
menghasilkan uang dan bisa juga tidak menghasilkan uang.
C. Ada beberapa teknik analisis gender yang sering digunakan, yaitu
 Model Harvard;
 Model Moser;
 Model SWOT (Strength, Weakness, Opportunity and Threat)
atau Model Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan dan Ancaman;
 Model GAP (Gender Analysis Pathway) atau Model Analisis
Alur Gender; dan
 Model ProBA (Problem Based Approach) atau Model
Pendekatan Berbasis Masalah.
Dalam buku ini analisis gender yang dibahas hanya dibatasi pada Model
Harvard dan Model Moser saja karena kedua model ini tepat digunakan
untuk analisis kesenjangan gender di tingkat individu dan keluarga.

4. BIAS GENDER DALAM PENDIDIKAN


Pendidikan menurut Nasution (2010) merupakan interaksi individu
dengan anggota masyarakat yang berkaitan dengan perubahan dan
perkembangan yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap, kepercayaan
dan keterampilan. Pendidikan merupakan usaha sadar yang dilakukan
seluruh aspek yang ada dalam kehidupan seseorang, baik orang terdekat,
masyarakat, atau lembaga yang ada, baik lembaga formal maupun lembaga
non formal dengan tujuan mengubah kebiasaan-kebiasaan tidak baik
menjadi baik yang terjadi selama kita hidup untuk memperbaiki kualitas
diri menjadi lebih baik serta mampu menjawab tantangan masa depan yang
berhubungan dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan,
keterampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya (Rahmi dan Habinullah,
2012:89).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa ketidaksetaraan gender
disebabkan oleh beberapa hal yaitu akses, partisipasi dan control yang
tidak seimbang antara laki-laki dan perempuan (Mosse, 1996). Sedangkan
menurut Sulaeman (1995) bahwa alasan terjadinya ketimpangan gender
dalam pendidikan disebabkan oleh ketersediaan fasilitas, mahalnya biaya
sekolah, dan investasi dalam pendidikan. Sedangkan Van Bemmmelen
(2003) menemukan bahwa ketimpangan gender meliputi akses perempuan
dalam pendidikan, nilai gender yang dianut oleh masyarakat, nilai dan
peran gender yang terdapat dalam buku ajar,nilai yang ditanamkan oleh
guru dan kebijakan bias gender. (Rahmi dan Habibullah, 85-86)
Ketidaksetaraan gender dalam bidang pendidikan banyak merugikan
perempuan. Hal ini dapat kita temukan dalam kehidupan keseharian
masyarakat kita. Anak perempuan cenderung putus sekolah ketika
keuangan keluarga tidak mencukupi, Perempuan harus bertanggung jawab
terhadap pekerjaan rumah tangga. Pendidikan rendah yang dimiliki
perempuan menyebabkan mereka banyak bekerja pada pekerjaan informal
dengan upah rendah.
Bias gender ini tidak hanya berlangsung dan disosialisasikan melalui
proses dan sistem pembelajaran di sekolah, tetapi juga melalui pendidikan
dalam lingkungan keluargadan masyarakat. Stereotip gender yang
berkembang di dalam masyarakat telah membagi-bagi peran-peran yang
pantas untuk laki-laki dan perempuan. Nilai dan sikap yang dipengaruhi
oleh faktor-faktor sosial budaya masyarakat yang secara melembaga telah
memisahkan gender kedalam peran yang berlainan inilah yang
menyebabkan ketidaksetaraan gender terlembaga pula dalam kehidupan
bermasyarakat.
Menurut Suleeman (1995) dalam Rahmi dan Habibullah (2012:90)
menyebutkan bahwa hal pokok yang menjadi alasan terjadinya
ketidaksetaraan gender menurutnya adalah
1) Semakin tinggi tinggi pendidikan formal semakin terbatas
jumlah sekolah yang tersedia,
2) Semakin tinggi pendidikan semakin mahal biaya sekolah,
3) Investasi dalam pendidikan juga seringkali tidak dapat mereka
rasakan karena anak perempuan menjadi anggota keluarga
suami setelah mereka menikah.
Sedangkan menurut Van Bemmelen (2003) menyebutkan bahwa
faktor penentu ketidaksetaraan gender dibidang pendidikan adalah:
1) Akses perempuan dalam pendidikan,
2) Nilai gender yang dianut masyarakat,
3) Nilai dan gender yang terdapat dalam buku ajar,
4) Nilai dan gender yang ditanamkan oleh guru. Serta
5) Kebijakan yang bias gender.
Rahmi dan Habibullah (2012) dalam penelitiannya tentang
ketidaksetaraan gender dalam pendidikan yang dilakukannya di kecamatan
Majalaya kabupaten Karawang menyebutkan bahwa.
1) Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan bagi perempuan di
kecamatan Majalaya disebabkan karena pengaruh akses,
partisipasi, kontrol, manfaat serta nilai terhadap pendidikan.
2) Nilai dan tradisi yang berkembang dalam masyarakat telah
membentuk stereotip yang merugikan perempuan, terutama di
bidang pendidikan. Ia menemukan bahwa ada tradisi dan
perlakuan orang tua terhadap anak perempuan yaitu adanya
tradisi menikah di usia muda yang menyebabkan banyak anak
perempuan yang tidak melanjutkan sekolah ke tingkat yang
lebih tinggi.
3) Kebiasaaan dalam masyarakat yang berkembang menempatkan
satu jenis kelamin lebih rendah dari jenis kelamin lain yang
menimbulkan marginalisasi dan subordinasi terhadap
perempuan. Marginalisasi terhadap perempuan dalam
pendidikan merupakan suatu proses peminggiran akibat
perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan ketidaadilan bagi
perempuan.
Faktor awal yang mendorong terjadinya marginalisasi adalah
stereotip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Anggapan bahwa perempuan adalah warga kelas ke dua dalam
masyarakat, telah menyebabkan anak-anak perempuan usia
sekolah mendapat ketidaksetaraan dalam bidang pendidikan.
Sedangkan subordinasi terhadap perempuan merupakan suatu
penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh
perempuan lebih rendah dari laiki-laki.
Dalam kerja reproduksi (pengasuhan dan perawatan
keluarga) dan pekerjaan rumah tangga dianggap sebagai peran
yang rendah dan laki-laki merasa tabu untuk melakukan
pekerjaan tersebut. Sedangkan dalam bidang pendidikan anak
laki-laki didahulukan dari perempuan, karena
anggapan perempuan setelah menikah tidak bekerja lagi dan
lebih banyak menjadi ibu rumah tangga serta bertanggung jawab
dalam kerja reproduktif.
4) Beban kerja ganda telah disosialisasikan oleh orang tua kepada
anak perempuan dan laki-laki semenjak kecil. Pengenalan pola
pembagian kerja ini, membentuk persepsi yang keliru mengenai
peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. (Rahmi dan
habibullah, 2012)
Maka dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor penting yang
mempengruhi ketidaksetaraan gender dalam pendidikan antara lain adalah
nilai, akses, partisipasi, control dan manfaat. Nilai yang berkembang
dalam masyarakat membagi-bagi peran setiap orang dalam masyarakat
antara laki-laki dan perempuan dapat mempengaruhi stereotip gender.
Upaya untuk mencapai kesetaraan gender melalui pendidikan
merupakan suatu langkah penting untuk mencapai mutu pendidikan.
Kepala sekolah dan guru menjadi agen perubahan dalam kesetaraan
gender. Mereka mendukung siswa laki-laki dan perempuan untuk
mengambil bagian dalam berbagai kegiatan di sekolah. Hanya saja
kesetaraan gender belum konsisten diterapkan dalam dunia pendidikan.
Berbagai masalah bias gender masih saja mencuat dalam proses
pmebelajaran. Guru seringkali memberikan kesempatan yang berbeda
antara anak laki-laki dengan perempuan.
Misalnya ketika seorang guru meminta kepada mutit-muritnya “ada
yang bisa membantu ibu untuk mengangkat meja yang dibelakang untuk
dipindahkan keluar kelas?” maka ketika ada yang mengacungkan jempol
laki-laki dan perempuan secara sadar maupun tidak guru-guru kebanyakan
akan memilih murit laki-laki karena itu lebih pantas untuk dilakukan oleh
anak laki-laki. Ketika melakukan pemilikan ketua kelas juga seperti itu,
rata-rata yang dipilih adalah siswa laki-laki. Padahal siswa perempuan juga
bisa dijadikan sebagai ketua kelas.
Dalam kegiatan belajar kelompok misalnya, biasanya yang akan
dipilih menjadi ketua kelompok dalam belajar kelompok kebanyakan
adalah siswa laki-laki sedangkan yang akan menjadi notulennya biasanya
adalah perempuan. Hal ini tanpa disadari berlangsung secara terus menerus
di dalam dunia pendidikan. Bahan ajar banyak yang menonjolkan peran
perempuan di sektor domestik dan laki-laki di sector publik atau lebih
menonjolkan kegiatan yang biasa dilakukan oleh laki-laki di dalam
kesehariannya. Ini biasanya banyak terdapat dibuku-buku bacaan anak-
anak sekolah dasar.
Ketua dalam kegiatan ektrakurikuler selalu anak laki-laki sedangkan
sekretaris, bendahara atau bagian konsumsi dalam kegiatan sekolah itu
biasanya dipegang oleh perempuan Begitu juga dengan fasilitas sekolah
yang tidak mengakomodasi perbedaaan gender. Misalnya toilet sekolah
yang belum semuanya sekolah memisahkan antara toilet laki-laki dan
perempuan. Seperti sebuah sekolah di pedalaman Kalimantan barat dimana
saya pernah sempat mengajar di sana, fasilitas sekolahnya berupa toilet
antara laki-laki dan perempuannya belum terpisah. Antara laki-laki dan
perempuan masih memakai toilet yang sama. Seharusnya ini perlu untuk di
bedakan, untuk menjaga hak-hak perempuan dalam hal-hal tertentu.
Seharusnya, dalam dunia pendidikan antara anak laki-laki dan
perempuan harus mendapatkan perlakuan yang sama. Mereka memiliki
hak yang sama dengan laki-laki dalam berbagai hal. Untuk itu perlu upaya
serius, kerjasama dan komitmen bersama semua lapisan masyarakat dan
semua pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan untuk menghapus
semua permasalahan bias gender yang masih direalisasikan secara
berkelanjutan dalam berbagai bidang kehidupan bermasyarakat, termasuk
di dalamnya di dunia pendidikan yang merupakan agen sosialisasi formal
dalam masyarakat serta agen sosialisasi ke dua yang terpenting setelah
keluarga.
Di sekolah misalnya, kepala sekolah adalah sosok terpenting dalam
pengembangan pendidikan di sekolah. Keberhasilan pelaksanaan kegiatan
aktif disekolah bisa terjadi sebagai salah satu akibat dari kepemimpinan
kepala sekolah yang baik. Komitmen kepala sekolah dalam menjalankan
berbagai kegiatan persekolahan merupakan motivasi tersendiri oleh guru-
guru yang ada di sekolah. Keteladanan seorang kepala sekolah menjadi
tolak ukur keberhasilan sebuah sekolah. Bergitu juga halnya dalam usaha
mewujudkan kesetaraan gender di lingkungan masyarakat yang dimulai
dengan mewujudkan kesetaraan gender di sekolah sangat perlu dukungan
dan komitmen seorang kepala sekolah dalam mewujudkannya. Tanpa
dukungan kepala sekolah sebagai pimpinan sebuah sekolah dan didukung
oleh warga sekolah lainnya hal ini sulit untuk diwujudkan.
Kesetaraan gender tidak akan bisa terwujud jika hanya kita
memberikan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Tetapi hal yang mendasar adalah mengubah cara pandang dan pola pikir.
Dalam memenuhi agar terwujudnya kesetaraaan gender maka lembaga
pendidikan perlu memenuhi tujuan dasar pendidikan yang berkeadilan.
Adapun ciri-ciri kesetaraan gender dalam pendidikan diantaranya
adalah
1) Perlakuan dan kesempatan yang sama dalam pendidikan pada
setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi, sosial, politik, agama dan lokasi
geografis publik.
2) Adanya pemerataan pendidikan yang tidak bias gender.
3) Memberikan mata pelajaran yang sesuai dengan minat peserta didik
baik laki-laki maupun perempuan.
4) Pendidikan harus menyentuh kebutuhan dan relevan dengan
tuntutan zaman saat ini.
5) Individu dalam pendidikannya diarahkan untuk mendapatkan
kualitas sesuai dengan taraf kemampuan dan minatnya. (Eni Purwati dan
Hanun Asrorah, 2005:30)
Upaya untuk mencapai kesetaraan gender melalui pendidikan
merupakan suatu langkah penting untuk mencapai mutu pendidikan. Ada
beberapa hal yang bisa dilakukan agar terwujudnya kesetaraan gender
dalam masyarakat khususnya dalam pendidikan. Rahmi dan Habibullah
(2012:99) memberikan rekomendasi sebagai berikut.
1) Dalam setiap keluarga perlunya diberikan peningkatan kesadaran,
melalui kegiatan sosialisasi dari badan pemberdayaan perempuan yang
bekerja sama dengan tokoh masyarakat dengan cara berdiskusi.
2) Perlu meningkatkan kuota kesempatan kerja pada perempuan. Hal
ini untuk menunjang sosialisasi yang sudah disampaikan kepada keluarga
sehingga mendapat respon positif dari masyarakat.
3) Dalam konteks sekolah, perlu memberikan beasiswa bagi keluarga
yang kurang mampu, dengan prioritas untuk anak perempuan karena perlu
diberikan kesempatan yang sama dengan anak laki-laki dalam bidang
pendidikan.
4) Penyuluhan melalui dinas pendidikan, dinas sosial, dan badan
pemberdayaan perempuan mengenai hak-hak perempuan, selai itu dalam
kegiatan kemasyarakatan seperti pengajian atau perayaan hari-hari besar
keagamaan, pihak aparat desa dapat memberikan porsi peranan yang lebih
banyakkepada kaum ibu dan anak perempuan.
Penanaman nilai-nilai multikultural di sekolah, dengan menerapkan
pendidikan multikultural merupakan sebuah upaya yang bisa dilakukan
untuk mengurangi praktik ketimpangan atau bias gender dalam masyarakat
terutama di sekolah. Karena sekolah merupakan tempat terpenting bagi
seorang individu dalam penanaman nilai sebelum terjun dengan
masyarakat.
Pendidikan mutikultural merupakan suatu pendekatan belajar
mengajar yang didasarkan pada nilai dan kepercayaan demokratis dan
menegaskan pluralisme budaya dalam masyarakat yang saling bergantung.
Pendidikan multikultural menganggap bahwa tujuan utama dari
pendidikan umum adalah untuk membantu perkembangan intelektual,
sosial, dan pribadi dari semua pelajar hingga mencapai tingkat yang
tertinggi. (Larry A, Samovar, 2010:404)
Melalui pendidikan multikultural ini, kesadaran akan hak yang sama
pada setiap warga sekolah dengan latar belakang yang berbeda
dikembangkan. Tentunya dengan kerja sama yang kuat antara semua pihak
yang terlibat di dalamnya. Seperti kepala sekolah, guru-guru, dinas
pendidikan, para pengambil kebijakan lainnya, serta para penulis buku teks
yang digunakan untuk siswa-siswi di sekolah.
Pendidikan multikultural ini akan melahirkan paham yang disebut
dengan multikulturalisme. Laurence Blum dalam Layry May (2001:2)
menawarkan defenisi dari multikulturalisme sebagai berikut:
Sebuah pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya
seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya
etnis orang lain. Ia meliputi sebuah penilaian terhadap budaya-budaya
orang lain bukan atas arti menyetujui seluruh aspek budaya-budaya
tersebut, melainkan mencoba melihat bagaimana sebuah budaya asli dapat
mengekspresikan nilai bagi anggota-anggitanya sendiri.
Dalam pendidikan multikultural, kesetaraan gender diwujudkan
dengan memberikan hak yang sama kepada setiap anak laki-laki dan
perenpuan dalam setiap kesempatan, baik dalam proses pembelajaran
maupun dalam kegiatan-kegiatan sekolah lainnya. Karena apabila bias
gender selalu diaplikasikan dalam dunia pendidikan secara sadar atau tidak
akan membawa kepada kekerasan simbolik yang merugikan satu pihak,
terutama anak perempuan.
Oleh karena itu, semua pihak bertanggungjawab untuk mengurangi
bahkan menghilangkan praktik bias gender dalam pendidikan. Baik
pendidikan non formal maupun formal. Semua agen sosialisaasi mulai dari
keluarga, sekolah, masyarakat serta media massa harus
menanamkan prinsip-prinsip kesetaraan, berupa toleransi, mengilangkan
stereotype, diskriminasi serta subordinasi. Tujuannya adalah agar harmoni
sosial dalam masyarakat yang beragam dapat terwujud. Karena harmoni
sosial merupakan sebuah kondisi ideal yang diharapkan oleh setiap
individu sebagai anggota masyarakat.

5. BIAS GENDER DALAM POLITIK


Demokrasi pun mengamanatkan adanya persamaan akses dan peran
serta perempuan dan laki-laki atas dasar persamaan derajat, dalam semua
wilayah dan tataran kehidupan publik, terutama posisi pengambilan
keputusan. Hal ini telah juga telah termaktub dalam Platform Aksi Beijing
dan Konvensi tentang Penghapusan segala bentuk Diskrimasi terhadap
Perempuan (Convention on the Ellimination of All Form of Descrimination
Against Women /CEDAW).
Saat ini isu kesetaraan gender telah menjadi hal menonjol dalam
platform pembangunan, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia.
Menilik kebelakang, dahulu posisi perempuan dalam politik terpinggirkan,
perempuan memililki porsi yang sangat kecil di banding pria. Hal
demikian dikarenakan adanya Budaya Patriarkis yang tidak ramah
terhadap perempuan. Faham budaya konstruktif sosial-budaya yang di anut
kala itu menempatkan Perempuan seolah-olah hanya boleh mengurus
persoalan domestik saja.
Persoalan perwakilan dalam politik menjadi penting Manakala telah
adanya sebuah kesadaran bahwa dalam kehidupan sehari-hari tidak adanya
keterwakilan Perempuan yang terlibat langsung secara proporsional dalam
politik. Hal tersebut cukup miris, mengapa? Karena dilihat dari komposisi
penduduk antara laki-laki dan perempuan yang hampir berimbang.
Sementara bentuk keterwakilan perempuan di legislative masih sangat
minim. Sehingga merangkum hal tersebut sangat perlu adanya sebuah
revolusi paradigma perempuan dalam politik serta kesetaraan gender.
Kaum feminisme yang peduli pada pentingnya kesetaran gender
dalam membantu watak bangsa, menuntut perubahan yang progresif antara
posisi perempuan, seperti tercermin dalam polemik isu poligami, isu
kekerasan dalam rumah tanggal, isu hak-hak reproduksi perempuan atau
isu peraturan daerah pelacuran. Menurut Gadis Alivia (2005) hampir
seluruh regulasi yang terkecil dengan soal perempuan mengandung bias
gender, sebab dalam struktur patriarkis konstruksi sosial-budayaa
perempuan kerap digunakan sebagai alat legitimasi politik.
Saat ini telah adanya revolusi paradigma akan kesetaraan gender kaum
feminisme di dalam keterwakilan politik. Berita baiknya adalah Negara
telah memberikan ruang yang luas dan ramah bagi kaum perempuan untuk
berkiprah dalam politik termasuk menjadi pemimpin. Bahkan hal tersebut
telah diperkuat dengan adanya penetapan kuota 30 % keterwakilan
perempuan di parlemen pemerintah. Melalui Undang-undang Nomor 8
Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Perwakilan Rakyat.
Adanya kuota 30 % keterwakilan perempuan dalam parlemen
pemerintah adalah terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk masuk
dan membuat keputusan, dan untuk dapat membuat keputusan penting bagi
Bangsa dan Negara maka melalui sistem politik perempuan dalam ikut
partisipasi.
Adanya partai merupakan salah satu wujud partisipasi perempuan
dalam keterwakilan politik dengan tujuan mulia dalam usaha
mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi
kebebasan, kesetaraan gender, kebersamaa dan kejujuran yang mana dalam
mengambil bagian penting tidak hanya laki-laki namun perempuan pun
sama.
Peran perempuan dalam politik sebagai salah satu kesetaraan gender.
Dimana laki-laki berada posisi yang sama. Hadirnya keterwakilan politik
sebagai bentuk emansipasi wanita sebagai bagian dari Bangsa dan Negara
yang turut serta memperjuangkan dan mencerdaskan kehidupan Bangsa.
Hadirnya perempuan dalam keterwakilan politik juga bukan untuk
mendikte laki-laki atau anti terhadap laki-laki. Prinsipnya perempuan tidak
menganggap laki-laki tidak hebat dari perempuan, tapi juga perempuan
tidak merendahkan laki-laki. Perempuan sebagai kaum feminisme
memandang bahwa perempuan dan laki-laki memiliki bagian yang
seimbang dan berimbang dalam politik namun perempuan tidak
melupakan hakekat dan kodrat mereka sebagai Istri dan Ibu.
Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perempuan dan politik
dalam perspektive feminisme dan kesetaraan gender harus seimbang dan
berimbang tanpa melupakan hakekat dan kodratnya.
DAFTAR PUSTAKA
https://kumparan.com/tuarita-nursinta/perempuan-dan-politik-dalam-
perspektif-feminisme-dan-kesetaraan-gender
https://www.kompasiana.com/gusmira/59008f4ff07a617f2fa71cf5/bias-
gender-dalam-pendidikan?page=all

Anda mungkin juga menyukai