Anda di halaman 1dari 14

Pola Penguatan Basis Legitimasi ‘Tsar Putin’ Rusia

Dalam Kondisi Masyarakat ‘Post-Soviet Aphasia’


--November, 2016--

Oleh:
Dafrinur Adiyasa H. (1106083624), M. Aqil Zein (1206274052),
Fasya Abimantara (1306460690), Arief Ismaryanto (1406620030), Hilwan Givari
(1406617950)

Abstrak
‘Tsar Putin’ merujuk pada jabaran konseptual tentang kefiguran pemimpin tertinggi
Rusia sejak awal abad 21, Vladimir Putin. Sejak menjabat sebagai Presiden Rusia pada tahun
2000 lalu, Putin telah berhasil membangun dan mepertahankan aspek personalitas layaknya
seorang Tsar di masa lalu dengan dua ciri pentingnya yaitu ‘batiushka’ dan ‘grozny’. Dengan
menggunakan pola penguatan yang bersifat top-down seperti: Penciptaan aturan politik
hybrid, merekayasa sistem birokrasi plebiscitarían patrimonialism, dan kontrol massif
terhadap media, tak ayal bilamana figur neo-patrimonial tersebut dapat selalu dijadikan basis
legitimasi yang kokoh bagi rezim berkuasa. Selain itu, jika disimak melalui fenomena makin
merebaknya Putiniana – Penggemar Putin – yang berciri independen, polysemantik, dan
konsumeris di tengah masyarakat Rusia saat ini, kita bisa melihat sebuah bukti bahwasanya
keberhasilan pola penguatan basis legitimasi ‘Tsar Putin’ yang dilakukan oleh Rezim yang
berkuasa saat ini juga turut ditopang secara top-down oleh keberadaan sindrom krisis ideologi
di Masyarakat Rusia berupa ‘post-soviet aphasia. Melalui dua gejala pentingnya yaitu
nostalgia dan konsumerisme, sindrom tersebut tampak bisa berfungsi sebagai ‘historical
reminder’ dan pemberi ‘particular social values’ bagi masyarakat sehingga dengan mudah
terobsesi terhadap sosok Putin yang dianggapnya dapat mengobati kerinduan mereka
terhadap munculnya kembali sosok ‘Tsar’ yang berkemampuan membawa Rusia kembali
pada masa kejayaan tanpa mesti kembali mendengungkan istilah-istilah komunisme yang
dianggap telah kehilangan padanan dalam realita kehidupan kekinian.

Kata kunci: ‘Tsar Putin’, neo-patrimonial, legitimasi, post-soviet aphasia, putiniana,

Latar Belakang
Legitimasi kekuasaan Vladimir Putin selaku pemimpin Rusia saat ini tidak hanya
ditopang secara deterministik oleh pertumbuhan ekonomi tinggi sebagaimana yang telah bisa
dibuktikannya pada periode oil-gas booming.1 Mengingat, selain terbuktikan dengan masih
tingginya tingkat popularitas Putin kala Rusia sedang berada dalam masa reses saat ini
setelah embargo ekonomi yang di berikan oleh EU-Amerika Serikat paska terjadinya krisis di
Ukraina2, menurut beberapa literatur terkait mengenainya, kita akan dapat memahami
bahwasanya legitimasi Vladimir Putin yang berkuasa sejak tahun 2000 untuk menggantikan
Yeltsin juga ditopang oleh dua faktor makro yang bersifat top-down dan bottom-up, yakni:
Pertama, Dominasi elit politik dari kalangan konservatif (termasuk Putin) yang
1
Treisman, D. (2011) Presidential Popularity in a Hybrid Regime: Russia under Yeltsin and Putin. American
Journal of Political Science, Vol. 55, No. 3 (July • 2011), pp. 590-609. Hlm. 590
2
BBC News (2014) How far do EU-US sanctions on Russia go?. Dalam http://www.bbc.com/news/world-
europe-28400218 Diakses pada 21 November 2016 Pukul 15:40 WIB

1|Politik di Rusia & Eropa Timur


mempercayai bahwa identitas politik Rusia pasca soviet runtuh adalah yang mengacu pada
nilai-nilai historis pada masa Tsar.3 Kedua. Sepanjang sejarahnya dari sejak keruntuhan
Soviet, masyarakat Rusia hampir tidak pernah mengalami proses demokratisasi secara benar
karena kehidupan proses pemilu dan politik yang dilangsungkan selalu dikooptasi oleh elit-
elit yang berasal dari kalangan partai pemenang yang sama4.
Ketika disimak lebih dalam mengenai kedua faktor makro yang bersemayam pada
level pemerintahan dan masyarakat tadi, kita akan paham bahwasanya keseluruhan basis
legitimasi kekuasan yang ada Rusia saat ini akan mengerucut pada keberhasilan rezim
menempatkan sosok Presidennya sebagai sosok sosio-historis ‘Tsar Putin’ yang dicirikan
memiliki kapabilitas layaknya Tsar di masa lalu dengan sifat ‘batiushka’ ( ‘Little Father’)
dan ‘grozny’ (‘Terrible’).5 Dengan indikator terus tingginya tingkat popularitas Putin di
kisaran angka 60-80 % kendati persepsi masyarakat mengenai kinerja pemerintahan bidang
ekonomi yang dijalankannya bisa saja sewaktu-waktu mengalami penurunan, 6 lantas, rezim
berkuasa pun dapat selalu bisa meng-excuse berbagai relasi neo-patrimonialistik yang
dijalakan kendati amat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Jika dirinci lebih lanjut terkait dengan cara-cara yang dijalankan rezim guna
menguatkan basis legitimasi ‘Tsar Putin’ yang dimiliki, kiranya kita akan menemukan sebuah
pola yang menurut penulis amat determinatif terhadapnya seperti: (1) Penciptaan sistem
politik hybrid melalui pembuatan sejumlah aturan yang dapat meyakinkan khalayak luas
bahwasanya sebagai negara Rusia merupakan negara demokrasi secara secara prosedural,
namun di sisi lain - aturan yang dibuat tersebut - justru digunakan untuk mematikan kekuatan
oposisi dan melanggengkan kekuasaan Putin sehingga menjadi tidak tergantikan. (2)
Merekayasa sistem birokrasi menjadi agar menjadi bersifat plebiscitarían patrimonialism
dengan menopangkan diri pada unit-unit komuni siloviki pendukung yang ditempatkan dalam
pos-pos birokrasi strategis. Serta (3) Kontrol massif terhadap media massa Rusia agar bisa
terus menerus mempropagandakan figur Tsar putin’ sebagai pemimpin cerdas, visioner, serta
mampu mengatasi segala macam problem hingga popularitasnya di mata masyarakat tidak
akan menurun.

3
Hanson, S.E. (2011) Plebiscitarian Patrimonialism in Putin's Russia: Legitimating Authoritarianism in a
Postideological Era. Dalam The Annuals of the American Academy of Political and Social Science, Vol. 636,
Patrimonial Power in the Modern World (July 2011), pp. 32-48. Hlm. 32
4
Dash, P.L. (2001) Perils of Putin`s Russia. Economic and Political Weekly, Vol. 36, No. 4, Money, Banking &
Finance (Jan. 27 Feb.2, 2001), pp. 288-291. Hlm. 288
5
Treisman D. (Opcit.) Hlm. 590
6
Rutland. P. (2013) Putin’s Economic Record: Is the Oil Boom Sustainable? Europe-Asia Studies, 60:6, 1051-
1072. pp.1051-1072. Hlm. 1055

2|Politik di Rusia & Eropa Timur


Akan tetapi, jika melihat uraian Oushakine (dalam Cassiday J. dan Johnson, E., 2010)
mengenai kondisi struktur masyarakat Rusia saat ini yang tengah mengalami sindrom krisis
ideologi sesuai dengan term ‘post-soviet aphasia’, menurut penulis, pola penguatan basis
legitimasi ‘Tsar Putin’ yang dijalankan oleh pemerintah secara top-down tersebut tidaklah
dapat dinyatakan mampu berdiri sendiri. Mengingat dengan megambil contoh merebaknya
Putiniana ¬ Penggemar Putin– di tengah masyarakat Rusia saat ini, kita bisa melihat sebuah
fenomena bahwa memang banyak dari masyarakat Rusia yang hidup saat ini sedang
mengalami sindrom tersebut yang ditandai oleh dua gejala pentingnya yaitu: Nostalgia dan
konsumerisme, Bilamana dalam hal nostalgia, sindrom tersebut tampak bisa diperlihatkan
oleh keberadaan obsesi masyarakat Rusia terhadap sosok Putin yang dianggapnya dapat
mengobati kerinduan mereka terhadap munculnya kembali sosok ‘Tsar’ yang berkemampuan
membawa Rusia kembali pada masa kejayannya. Sementara itu dalam hal konsumerisme,
beberapa aktivitas sub-kultur Masyarakat seperti tingginya tingkat konsumsi masyakarat
Rusia terhadap barang-barang yang berhubungan dengan Putin, percakapan di media sosial
mengenai obsesi mayarakat terhadap Putin, jelas bisa diangkat sebagai salah sebuah bukti
kongkritnya.7

Rumusan Masalah
Dengan mempertimbangkan sejumlah argumen diatas terkait dengan pola penguatan
basis legitimasi ‘tsar putin’ yang dilakukan oleh pemerintah dan kondisi post-soviet aphasia’
yang ditengarai mempengaruhinya, kiranya tidak berlebihan bilamana kemudian penulis
berasumsi bahwa: Selain dengan menggunakan ketiga bentuk cara seperti perubahan aturan
pemilu, rekayasa sistem birokrasi, dan kontrol massif terhadap media, pola penguatan basis
legitimasi ‘Tsar Putin’ yang dilakukan oleh rezim berkuasa juga ditopang oleh krisis ideologi
‘post-soviet aphasia’ yang melanda masyarakat Rusia paska keruntuhan Soviet. Maka, untuk
dapat menguji asumsi tersebut, adapun pertanyaan permasalahan yang diajukan untuk coba
dijawab dalam makalah singkat ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana cara rezim
berkuasa melaksanakan pola penguatan basis legitimasi ‘Tsar Putin’ secara top-down melalui
penciptaan aturan politik hybrid, rekayasa sistem birokrasi plebicitarian patrimonialism, dan
kontrol masif terhadap media? Serta (2) Dengan mencontoh keberadaan kelompok
‘putiniana’ yang saat ini tengah merebak di masyarakat, bagaimana pula bentuk pengaruh
secara bottom-up yang diberikan oleh sindrom krisis ideologi ‘Post-soviet aphasia’ dengan
7
Al Jazeera America (2016) Putin mania: Russian personality cult obsessed with powerful president. Dalam
http://america.aljazeera.com/articles/2016/1/24/putin-personality-cult-rusia Diakses pada 23 November 2016
Pukul 08:57 WIB.

3|Politik di Rusia & Eropa Timur


dua gejalanya yakni nostalgia dan massa tingkat lanjut, terhadap penguatan basis legitimasi
‘Tsar Putin’ yang diperlukan bagi rezim berkuasa Rusia saat ini?

Kerangka Konsep
Beberapa konsep yang diajukan oleh kelompok kami untuk mengerangka analisanya
dalam menjawab dua pertanyaan yang diajukan diatas adalah: Pertama, term rezim. Dengan
merujuk pada penjelasan James dan Ronen (2007) mengenai rezim yang didefinisinya
sebagai: “as sets of protocols and norms embedded either in institutions or institutionalized
practices - formal such as states or informal such as the "liberal trade regime" - that are
publicly enacted and relatively enduring.”,8 pemalakah lantas memaknai penggunaan term
rezim dalam makalah ini mengacu bukan pada negara, unit-unit atau aktor penguasa,
melainkan lebih kepada sejumlah aturan atau norma yang dimunculkan negara dalam satu
periode khusus yang memang dapat mencirikan keberadannya. Kedua, term ‘Tsar Putin’.
Secara sederhana, dengan menggunakan penjelasan dari World Post (2016), kita dapat
memaknai ‘Tsar Putin’ sebagai sebuah ciri atau sifat kekuasaan neo-patrimonial (raja-rakyat
dalam konteks masyarakat post-industrial) di Rusia yang berfokus pada figur Presiden
Vladimir Putin layaknya seorang Tsar pada periode pra-Soviet dengan dua karakter idealnya
yaitu ‘batiushka’ dan ‘grozny’. Jika ‘batiushka’ yang berarti ‘Little Father’ merujuk pada
sifat perhatian seorang Tsar kepada rakyatnya seperti halnya ayah ke anak. Sementara itu,
‘grozny’ yang berarti ‘Terrible’ dalam bahasa Inggris merujuk pada kapabilitas atau kualitas
kepemimpinan Tsar yang besar, kuat, hingga mesti dipatuhi karena merupakan mandat
langsung dari Tuhan.9
Ketiga, konsep hybrid regime. Dengan mengikuti penjelasan Diamond (2002) yang
memaknai hybrid regime sebagai: ambiguous systems that combine rhetorical acceptance of
liberal democracy, the existence of some formal democratic institutions and respect for a
limited sphere of civil and political liberties with essentially illiberal or even authoritarian
traits.),10 kita akan memhami bahwasanya karakteristik utama dari sebuah hybrid regime
seperti yang sedang dijalankan di Rusia saat ini terletak pada ambigutias sejumlah institusi
kenegaraan. Dimana di satu sisi ia terlihat mendukung keberadaan demokrasi secara
procedural, namun di sisi lain secara esensial, justru mendukung sistem otoritarian.
8
Paul, J. dan Ronen, P. (2007) Globalization and Economy, Vol. 3: Global Economic Regimes and Institutions.
London: Sage Pubicatiion. Hlm. xiv
9
The World Post (2016) Putin the Terrible: Understanding Russia’s New Tsar. Dalam
http://www.huffingtonpost.com/joseph-v-micallef/putin-the-terrible-under-Putin-the-Terrible. Diakses pada 21
November 2016 Pukul 15:40 WIB
10
Diamond, L. (2002) Elections without democracy, Journal of Democracy, 13.2, 2002, pp. 21-36. Hlm. 23

4|Politik di Rusia & Eropa Timur


Keempat, konsep plebiscitarían patrimonialism. Dengan mengutip istilah Hanson
(2011) yang mengidentifikasi rezim pemerintahan Rusia paska Soviet dalam kacamata
paradigma weberian sebagai “plebiscitarían patrimonialism" atau yang bisa didefinisi secara
sederhana sebagai : “the Russian leadership claims the right to rule as if the state were its
personal property, as long as the results of this arbitrary rule are electorally ratified by "the
people as a true reflection of the national will.” 11 kita akan memahami bahwasanya rezim
kekuasaan politik di Rusia saat ini amat berasosiasi secara antropomorfis dengan keberadaan
sosok atau figure Putin sebagai pemimpin. Sehingga bilamana ada upaya-upaya dari
pemerintah untuk terus menerus menjaga popularitas Putin agar tetap tinggi di mata
masyarakat, hal tersebut tiada lain adalah demi untuk tetap menjaga legitimasi kekuasaan
yang sedang dijelankan oleh penguasa.
Kelima, term ‘post-Soviet aphasia’. Mengikuti uraian Oushakine (dalam Cassiday J.
dan Johnson, E., 2010) yang mendefinisinya sebagai “'regression to symbolic forms of the
previous historical period that has been caused by society's disintegrated ability to find
proper verbal signifiers for the signified of the new socio-political regime”12, kita akan
memahami bahwa term ‘post-Soviet aphasia’ merujuk pada sebuah sindrom krisis ideologi
yang tengah melanda masyarakat Rusia paska rezim kekuasaan Soviet berakhir. Dengan
menjelaskan lebih lanjut mengenai dua gejala dari dari sindrom tersebut yaitu: budaya
nostalgia dan konsumerisme massa tingkat lanjut, maka Cassiday J. dan Johnson (Ibid.)
tampak hendak mengatakan kepada kita bahwasanya di dalam sindrom post-Soviet aphasia’,
terdapat juga sebuah keinginan masyarakat agar identitas mereka dapat lebih diakui dalam
pergaulan global yang berciri pasar seperti sekarang sebagai bangsa yang besar layaknya
masa lalu pada masa kepemimpinan Tsar dengan tanpa mendengungkan kembali istilah-
istilah komunisme yang menurut mereka telah kehilangan kemampuan untuk dapat
memaknai realita paska Rezim Soviet telah tiada.

Pembahasan
A. Pola Penguatan Basis Legitimasi ‘Tsar Putin’
1. Menciptakan Aturan Politik Hybrid
Jika dilihat dari sejumlah aturan politik yang ada pada masa kekuasaan Putin
sebagai Presiden, paling tidak kita akan menemukan beberapa bentuk aturan hybrid –
11
Hanson, S.E. (Opcit.) Hlm. 37
12
Oushakine, dalam Cassiday J. dan Johnson, E. (2010) Putin, Putiniana and the Question of a Post-Soviet Cult
of Personality. The Slavonic and East European Review, Vol. 88, No. 4 (October 2010), pp. 681-707. Hlm. 698

5|Politik di Rusia & Eropa Timur


yang dijelaskan oleh Diamond (Opcit.) sebagai: limited sphere of civil and political
liberties with essentially illiberal or even authoritarian traits 13 itu – guna menopang
keberadaan basis legitimasi ‘Tsar Putin’ yang digunakannya, yaitu: Pertama,
penciptaan aturan pemilu yang mematikan oposisi. Semisal yang dapat dilihat dari
Undang-undang Federal Law of 18 May 2005 No. 51-F3 yang mengatur pelaksanaan
Pemilu legislative pada tahun 2007, kita bisa menengarai kemudian bahwa dengan
dimunculkannya aturan pemilu tersebut, selain parliamentary threshold pemilu
legislative di Rusia meningkat dari yang tadinya hanya berjumlah 5% menjadi 7%,
partai-partai peserta pemilu legislatif (Duma) di Rusia juga dilarang untuk
berkoalisi.14 Jika dilihat dari konstelasi kekuatan partai yang ada saat itu, aturan ini
amat jelas menguntungkan posisi partai United Rusia – yang kala itu berkuasa di
pemerintahan dengan prosentase kepemilikan kursi di duma sebanyak 37%.
Sementara itu bagi partai-partai lain yang hanya memperoleh presentase kursi di
Duma maksimal 11-12% kursi (semisal Partai Komunis Rusia) aturan tersebut jelas
amat merugikan. Mengingat meski kemudian Federal Law of 18 May 2005 No. 51-
F3 diamandemen dua kali pada tahun 2009 dan 2015 dengan menurunkan jumlah
parliamentary threshold masing-masing dari 7% menjadi 6% (2009), dan dari 6%
menjadi 5% (2015),15 akan tetapi perubahan tersebut secara jelas tidak dapat secara
signifikan meningkatkan proporsionalitas perimbangan perolehan kursi antara partai
penguasa (United Rusia) dengan lawan-lawannya di Duma mengingat aturan pemilu
masih tidak memperkenankan terciptanya proses koalisi. Sehingga dengan masih
diberlakukannya aturan ini, tidak aneh bilamana sampai saat ini proses konsolidasi
kekuatan partai-partai oposisi di dalam Duma untuk melawan United Rusia tidak
terjadi.
Kedua. mempertahankan pasal di konstitusi yang memperbolehkan seseorang
memangku jabatan Presiden dalam periode yang lama. Dengan melihat keberadaan
Pasal 81 bagian 3 Konstitusi Rusia yang mengatakan bahwa: “One and the same
person may not be elected President of the Russian Federation for more than two
terms running..”16 kita bisa memahami kemudian bahwa rezim berkuasa di Rusia saat

13
Diamond, L. (Opcit.)
14
Centre for the Study of Public Policy University of Strathclyde (2015) Law on Elections of Deputies to the
State Duma (Federal Law of 18 May 2005 No. 51-F3, as amended through 19 July 2009). Dalam
http://www.russiavotes.org/duma/duma_election_law.php Diakses pada 22 Desember 2016 Pukul 08:08 WIB.
15
Centre for the Study of Public Policy University of Strathclyde (Ibid.)
16
http://www.constitution.ru (2001) The Constitution of the Russian Federation. Dalam
http://www.constitution.ru/en/10003000-05.htm Diakses pada 23 esember 2016 Pukul 09:21 WIB.

6|Politik di Rusia & Eropa Timur


ini hendak memberikan kewenangan bagi Putin untuk melanggengkan kekuasaannya
dalam waktu yang lama. Sekalipun dinyatakan dalam pasal tersebut bahwa seseorang
tidak dapat menduduki jabatan presiden dalam dua periode berturut-turut, akan tetapi
pasal konstitusi tersebut secara jelas tidak melarang tindakan seseorang untuk bisa
kembali mencalonkan diri sebagai presiden asalkan sudah diselang selama satu
periode.Maka dengan masih bercokolnya pasal 81 Bab III Konstitusi Rusia ini,
keinginan Putin untuk kembali menduduki jabatan Presiden Rusia pada tahun 2012
pun – meski telah berkuasa selama 2 periode (2000-2004 dan 2004-2008 – untuk
mengantikan Medvedev yang berkuasa pada periode 2008-2012 secara jelas dapat
dinyatakan sebagai tindakan institusional, dan bahkan, dapat memperbolehkannya
juga untuk dapat menduduki kembali Jabatan Presiden sampai dengan Tahun 2021
yang akan datang.
Ketiga, menciptakan aturan untuk mengontrol keberadaan NGO di Rusia.
Dengan mengambil contoh Federal Law No. 18-FZ yang ditandatangani oleh Putin
pada tanggal 18 April 2006, kita bisa melihat bahwa memang keinginan rezim untuk
mematikan konsolidasi kekuatan oposisi tidaklah hanya terjadi di dalam Duma,
melainkan juga di luarnya. Dimana dengan munculnya Federal Law No. 18-FZ,
Selain dapat secara konstitusioal melarang keberadaan NGO yang dianggapnya dapat
dapat membahayakan rezim berkuasa, pemerintahan Putin juga dapat dibenarkan
untuk mendirikan GONGO (Government Non-Governmental Organization) – semisal
NASHI – yang bertujuan melindungi kekuasaan rezim dari berbagai macam gerakan
oposisi di masyarakat yang dianggapnya dapat membahayakan dengan melakukan
serangkaian tindakan intimidatif seperti pemukulan, penghinaan dengan kata-kata
kotor, dan tindakan-tindakan tidak beradab (un-civilized) lainnya.17

2. Merekayasa sistem birokrasi plebiscitarían patrimonialism.


Dengan mengikuti penjelasan Hanson (Opcit.) yang menjelaskan bahwa:
“Russian leadership claims the right to rule as if the state were its personal property,
as long as the results of this arbitrary rule are electorally ratified by the people”, 18
maka kita akan memahami bahwa tata hubungan birokratis yang dijalankan oleh unit-
unit yang berada di dalam negara Rusia saat ini adalah bersifat patrimonalis layaknya
17
Edwin, B. dan Atwal M. (2012) The youth movement Nashi: contentious politics, civil society, and party
politics. East European Politics 28 (3), pp. 256-266. Hlm. 258.
18
Hanson, S.E. (Opcit.) Hlm. 37

7|Politik di Rusia & Eropa Timur


kekaisaran dengan menempatkan figur Putin sebagai pemimpin yang diaggap
memiliki negara sebagai properti pribadinya. Dengan menggunakan sistem birokrasi
yang amat bertentangan dengan prinsip-prinsip merit system dan akuntabel ini, tak
ayal bilamana kemudian rezim dapat selalu bisa mempertahankan basis legitimasi
‘Tsar Putin’ mengingat selain bisa menegasi sistem birokrasi rasional Weberian yang
menghendaki pola hubungan patrimonial dan netral, di dalam pelaksanaan kehidupan
pemerintahan sehari-hari-nya, sistem birokrasi ini juga selalu mengasosiasikan
keberadaan Presiden Putin sebagai sosok sosio-historis yang berjasa bagi kejayaan
Rusia di masa lalu seperti halnya Perdana Menteri Pyotr Stolypin, di masa
kepemimpinan Tsar Nicholas II.19
Selain itu, merujuk pada penjelasan Soldatov dan Rochlitz (2015) mengenai
siloviki yang dijabarkan sebagai: “Russia’s true rulers or the members of Russia’s so
called “force ministries”—those state agencies that are authorized to use violence to
respond to threat to national security.” 20 kita akan memahami kemudian bahwasanya
selain memilah secara hierarkis relasi birokrasi kenegaraan menjadi 3 tingkatan
berdasarkan kedekatan dengan Putin yakni core, secondary, dan tertier, secara
structural sistem birokrasi plebiscitarían patrimonialism yang direkayasa Rezim
untuk menopang basis legitimasi kekuasaan ‘Tsar Putin’ itu juga dijaga oleh unit-unit
politik “siloviki’ yang notabene merupakan para kolega Putin pada departemen-
departemen pemerintah, maupun perusahaan milik negara dan swasta. Baik pada
tingkatan Core seperti halnya yang dicontohkan oleh Viktor Ivanov (penasehat
presiden); dan Nikolaj Patrushev (direktur Federal Security Service /FSB), maupun
pada tingkatan secondary dan tertiary seperti yang dicontohkan oleh keberadaan
Sergei Bogdanchikov dan Viktor Cherkesov.sebagai pemimpin BUMN Gazprom.21
.
3. Kontrol masif terhadap media
Dengan mengutip pernyataan Sekretaris Presiden Rusia bidang Pers pada
wawancaranya dengan The Atlantic (2015) bahwa: “We have special people working
around the clock, preparing TV digests. We’re recording TV news on the [Russian]
federal channels for him during the day. Obviously, it’s very hard for him to watch
19
Hanson, S.E. (Opcit.)
20
Soldatov, A dan Rochlitz, M. (2015) The Siloviki in Russian Politics. Hlm. 1 Dalam
http://www.russiapoliticalinsight.com/s/Siloviki-Final-Aug-17.pdf Diakses pada 23 Desember 2016 Pukul 21:04
WIB.
21
Prakoso, R.A. (2016) Oligarkh – Siloviki. Depok: Universitas Indonesia. Materi Presentasi Kuliah. Tidak
Diterbitkan. Hlm. 23-24

8|Politik di Rusia & Eropa Timur


news so we make digests, let’s say, zip versions of TV news, divided into issues.”,22
kita akan memahami bahwasanya salah satu cara dominan yang dilakukan oleh rezim
berkuasa untuk memperkuat basis legitimasi ‘Tsar Putin’ yang dimiliki adalah dengan
melakukan kontrol penuh terhadap media. Seperti halnya yang dapat kita saksikan
dalam acara “Direct Line with Vladimir Putin” yang ditayangkan di semua stasiun TV
nasional seperti: Russia-1, Russia 24, RT, Channel One Russia dan Mayak; Serta
stasiun Radio nasional seperti Vesti FM, Radio of Russia, dan Radio stations I, kita
lantas dapat melihat atau mendengar sendiri bahwasanya bentuk propaganda yang
dilakukan oleh Media Rusia terhadap basis legitimasi ‘Tsar Putin’ adalah dengan
menampilkan secara ‘live’ sosok Putin –seperti halnya dalam acara tersebut – sebagai
sosok Presiden yang kuat dan mampu memahami persoalan atau keluh kesah
masyarakat. Dengan menempatkan secara sentral Presiden Putin di atas panggung
studio secara seorang diri dengan laptop menyala di hadapanya untuk kemudian
menjawab berbagai pertanyaan yang datang dari penonton di studio maupun pemirsa
di Rumah melalui telepon, tampak benar bahwa memang acara Direct Line with
Vladimir Putin yang sepenuhnya dikordinir oleh Pemerintah tersebut ingin
mengesankan bahwa memang sebagai seorang Presiden, Vladimir Putin memiliki
karakteristik ‘batiushka’ dan ‘grozny’ seorang Tsar Rusia yang peduli terhadap keluh
kesah masyarakat.23
Akan tetapi, dengan merujuk beberapa catatan lembaga Internasional seperti
Freedom House (2015) yang mengkriteria Rusia sebagai negara pemilik Skor 83 –
dari skor 100 terburuk – dengan beberapa indikator seperti: (1) Masih seringnya
ditemui tindakan penahanan atau penyerangan yang dilakukan oleh oknum aparat
pemerintah kepada jurnalis; (2) Penolakan kedatangan atau deportasi bagi para
jurnalis asing; (3) Seringnya tindakan penyensoran yang dilakukan oleh Pemerintah
terhadap acara-acara yang diduga mendeskriditkan Pemerintahan, 24 kita akan
memahami bahwasanya selain digunakan untuk mempropagandakan figure
‘batiushka’ dan ‘grozny’Tsar putin, nyata bahwa kontrol masif yang dilakukan oleh
Pemerintah terhadap media di Rusia adalah juga untuk membendung kekuatan-
kekuatan oposisi yang mungkin muncul dari media Rusia. Baik yang berasal dari
22
The Atlantic (2015) How the Media Became One of Putin’s Most Powerful Weapon. Dalam
http://www.theatlantic.com/international/archive/2015/04/how-the-media-became-putins-most-powerful-
weapon/391062/ Diakses pada 24 Desember 2016 Pukul 01:21 WIB
23
The World Post (Opcit.)
24
Freedom House (2015) Freedom of the Press Russia. Dalam
https://freedomhouse.org/report/freedom-press/2015/russia DIakses pada 25 Desember 2015 Pukul 20:45 WIB.

9|Politik di Rusia & Eropa Timur


dalam negeri maupun luar dengan kerap menyertakan tindakan-tindakan kekerasan
yang melanggar prinsip-prinsip kebebasan pers dalam demokrasi.

B. Fenomena Putiniana dan ‘Post-Soviet Aphasia’


Merujuk pada definisi Oushakine (dalam Cassiday dan Johnson, Opcit.)
mengenai ‘Post-Soviet Aphasia’ sebagai sebuah kondisi krisis ideologi masyarakat Rusia
pasca Soviet sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kita akan paham bahwa pola
penguatan basis legitimasi ‘Tsar Putin’ yang dilakukan oleh Rezim seperti: Perubahan
aturan pemilu, rekayasa sistem birokrasi, dan kontrol massif terhadap media tidaklah
dapat dikatakan berdiri tunggal. Mengingat, dengan melihat kemunculan puluhan ribu
orang yang menamakan diri mereka putiniana (Putinmania), keberhasilan Rezim dalam
mengkampanyekan term ‘Tsar Putin’ hingga bisa mencuatkan tingkat popularitas Putin
dalam kisaran 60-80% sejak menjadi Presiden pada Tahun 2000, jelas tidak bisa
dilepaskan dari faktor bottom-up yang ditandai dengan munculnya sekelompok
masyarakat yang terobsesi terhadap sosok ‘Putin’ tersebut.
Sekalipun memiliki tujuan yang mirip dengan kelompok yang dibangun oleh
Stalin untuk mengkultuskan keberadaan diri Stalin sebagai pemimpin besar Soviet,
namun demikian, putiniana ini lantas tidak sama persis dengan kelompok pendukung
Stalin yang monolitik dengan hanya terpaku pada ajaran serta disiplin komunisme yang
mengarahkannya.25 Melainkan ia (‘putiniana’), lebih berciri polysemantik dengan
mengikuti perkembangan teknologi informasi seperti media sosial serta segmentasi
selera pasar yang berbasis pada kultur konsumerisme global. Selain itu, sebagai sebuah
kelompok yang terobesesi dengan Putin, putiniana juga jelas mesti dibedakan dengan
kelompok pendukung Putin lain semisal GONGO ‘Nashi’. Mengingat, selain tidak
memiliki struktur organisasi yang jelas, keberadaan aktivitas kelompok yang sebenarnya
lebih cocok disebut sebagai bagian dari sub-kultur masyarakat kontemporer Rusia saat
ini – dengan beberapa bentukanya seperti belanja barang-barang, diskusi sosial media,
dan sebagainya – juga jelas tidak dimobilisir secara state-corporatis oleh rezim
berkuasa.26
Jika ditelusuri lebih dalam mengenai merebaknya fenomena putiniana, kita dapat
mencermati bahwasanya sindrom krisis ideologi ‘post-Soviet aphasia’ di masyarakat –
sebagaimana yang dijelaskan oleh Oushakine (dalam Cassiday J. dan Johnson, Opcit.)

25
Cassiday J. dan Johnson, E. (Opcit.)
26
Edwin, B. dan Atwal M. (Opcit.)

10 | P o l i t i k d i R u s i a & E r o p a T i m u r
tadi – jelas terdapat di dalam kelompok yang tampak lebih banyak dihuni oleh kalangan
perempuan tersebut.27 Dimana dengan mengikuti uraian Cassiday J. dan Johnson (Opcit.)
lebih lanjut yang menengarai keberadaan dua gejala dari sindrom ‘post-Soviet aphasia’
seperti halnya nostalgia dan konsumerisme dalam putiniana, lantas kita bisa menganalisa
lebih lanjut bahwasanya jika dibagi secara dimensional berdasarkan dua gejala tersebut,
pengaruh yang diberikan oleh post-Soviet aphasia’ terhadap penguatan basis legitimasi
‘Tsar Putin’ Rusia adalah sebagai berikut: Pertama, nostalgia. Jika dilihat secara
seksama, fenomena putiniana dapat dikatan sebagai praktik nostalgia masyarakat untuk
bisa merasakan hidup berjaya kembali di tataran dunia Internasional seperti pada masa
Soviet lalu namun tidak bisa lagi mengeksploitasi beragam struktur simbolik yang
terdapat di dalamnya karena telah bertentangan dengan realita kehidupan saat ini yang
telah dipengaruhi oleh budaya konsumerisme. Selain itu, dengan mempertimbangkan
kondisi kehidupan negara mereka yang memburuk paska keruntuhan Soviet, maka dapat
disadari pula bahwa efek nostalgia ‘post-Soviet aphasia’ yang berada di dalam kelompok
putiniana dapat berfungsi sebagai sebuah ‘hystorical reminder’ yang menjelma
kemudian menjadi sebuah obsesi dukungan terhadap se-sosok pemimpin negara seoerti
halnya Putin yang digambarkan memiliki sifat-sifat sosio-historis Tsar Rusia seperti
‘batiushka’ (‘little father’) dan ‘grozny’ (‘terrible’). Sehingga, selain diharapkan bisa
tampil mengatasi beragam problem kehidupan masyarakat dengan kekuatan dan
perhatian besar yang dimiliki, keberadannya pun dapat dianggap mampu
merepresentasikan kembali identitas Bangsa Rusia di dalam percaturan global sebagai
bangsa yang besar setelah Uni Soviet mengalami kehancuran.28
Kedua, konsumerisme. Dengan meminjam pemikiran Baudilard (dalam
Cassiday dan Johnson Opcit) tentang konsumerisme yang pada intinya ingin mengatakan
bahwa: “That needs are constructed, rather than innate. That consumption was and
remains more important because the "ideological genesis of needs" sign value of an
object; its value within a system of objects which no added functional benefit, but may
suggest particular social values, such as taste or class.” 29, kita akan paham bahwa
bilamana kemudian konsumerisme dapat dianggap menjadi salah satu dimensi penting
dalam post soviet aphasia yang mempengaruhi penguatasn basis legitimasi ‘Tsar Putin’
Rusia yang dimunculkan oleh Rezim penguasa, hal tersebut tiada lain adalah karena

27
Al Jazeera America (Opcit.)
28
The World Post (Opcit.)
29
Cassiday J. dan Johnson, E. (Opcit.). Hlm. 697

11 | P o l i t i k d i R u s i a & E r o p a T i m u r
kehancuran sistem komunisme untuk setelahnya digantikan oleh sistem pasar paska
keruntuhan Uni Soviet. Terlebih, dengan ditambah oleh kuatnya dugaan masyarakat
bahwa perbaikan kondisi ekonomi yang menyebabkan peningkatan kapasitas produksi
dan daya beli mereka secara signifikan dalam satu dasawarsa kebelakang adalah karena
kehadiran sosok Putin sebagai memimpin negara, maka tidak heran bilamana kemudian
konsumerisme dalam hal ini dapat dianggap berfungsi sebagai pemberi ‘particular social
values’ bagi Tsar Putin’ yang dimunculkan dalam percakapan di media sosial mengenai
obsesi mayarakat terhadap Putin, atau bentuk apresiasi tinggi masyarakat terhadap
komoditi yang berhubungan dengan Putin dari mulai coklat dan mug bergambar Putin
yang berharga di kisaran 3-5 $US, sampai dengan kaos dan parfum Putin yang bisa di
beli dengan harga 300-600 $US, dapat laku terjual. Baik untuk di pasaran dalam negeri
Rusia maupun di luar.30

Kesimpulan
Setelah mengurai beberapa variabel terkait dengan pola penguatan yang dilakukan
oleh Rezim pemerintahan serta kondisi krisis ideologi ‘post soviet aphasia’ yang tengah
melanda masyarakat Rusia saat ini, kiranya tidak berlebihan bilamana pemakalah
berkesimpulan bahwa memang keberhasilan rezim dalam mempertahankan atau memperkuat
keberadaan ‘Tsar putin’ sebagai basis legitimasi tidaklah serta merta dikarenakan tindakan
pemerintah yang secara top-down menciptakan aturan politik hybrid, merekayasa sistem
sistem birokrasi agar bersifat plebiscitarían patrimonialism dengan menopangkan diri pada
unit-unit siloviki, maupun mengontrol secara massif keberadaan media massa di Rusia.
Mengingat, dengan mencontoh keberadaan ‘putiniana’ ¬ Penggemar Putin – yang
saat ini tengah merebak di tengah masyarakat Rusia dengan membawa dua gejala dari ‘post
Soviet aphasia’ yakni nostalgia dan konsumerisme, kita bisa menganalisis juga bahwa
memang krisis ideologi yang menimpa masyarakat paska kehancuran sistem komunisme,
juga dapat dianggap sebagai faktor bottom-up yang dapat secara signifikan memperkuat
keberadaan ‘Tsar Putin’ sebagai basis legitimasi bagi rezim pemerintahan saat ini. Bilamana
gejala ‘nostalgia’ berfungsi layaknya historical reminder yang dapat memunculkan obsesi
nasionalis masyarakat terhadap munculnya kembali sosok ‘Tsar’ dalam diri Putin. Sementara
itu konsumerisme, tampak berfungsi sebagai pemberi ‘particular social values’ bagi Tsar
Putin’ yang muncul dalam bentuk obsesi mayarakat terhadap Putin dalam bentuk percakapan
sosial media maupun tingginya konsumsi barang-barang yang berhubungan dengan Putin.
30
Al Jazeera America (Opcit.)

12 | P o l i t i k d i R u s i a & E r o p a T i m u r
Daftar Pustaka

Al Jazeera America (2016) Putin mania: Russian personality cult obsessed with powerful
president. Dalam http://america.aljazeera.com/articles/2016/1/24/putin-personality-
cult-rusia Diakses pada 23 November 2016 Pukul 08:57 WIB.

The Atlantic (2015) How the Media Became One of Putin’s Most Powerful Weapon. Dalam
http://www.theatlantic.com/international/archive/2015/04/how-the-media-became-
putins-most-powerful-weapon/391062/ Diakses pada 24 Desember 2016 Pukul 01:21
WIB
BBC News (2014) How far do EU-US sanctions on Russia go?. Dalam
http://www.bbc.com/news/world-europe-28400218 Diakses pada 21 November 2016
Pukul 15:40 WIB

Cassiday J. dan Johnson, E. (2010) Putin, Putiniana and the Question of a Post-Soviet Cult of
Personality. The Slavonic and East European Review, Vol. 88, No. 4 (October 2010),
pp. 681-707.

Centre for the Study of Public Policy University of Strathclyde (2015) Law on Elections of
Deputies to the State Duma (Federal Law of 18 May 2005 No. 51-F3, as amended
through 19 July 2009). Dalam
http://www.russiavotes.org/duma/duma_election_law.php Diakses pada 22 Desember
2016 Pukul 08:08 WIB.

Constitution.ru (2001) The Constitution of the Russian Federation. Dalam


http://www.constitution.ru/en/10003000-05.htm Diakses pada 23 esember 2016 Pukul
09:21 WIB.

Dash, P.L. (2001) Perils of Putin`s Russia. Economic and Political Weekly, Vol. 36, No. 4,
Money, Banking & Finance (Jan. 27 Feb.2, 2001), pp. 288-291.

Diamond, L. (2002) Elections without democracy, Journal of Democracy, 13.2, 2002, pp. 21-
36.

Dutkiewicz, P. & Trenin, D. (2011). Russia: The Challenges of Transformation. New York:
NYU Press.

Edwin, B. dan Atwal M. (2012). The youth movement Nashi: contentious politics, civil
society, and party politics. East European Politics 28 (3), pp. 256-266.

Freedom House (2015) Freedom of the Press Russia. Dalam


https://freedomhouse.org/report/freedom-press/2015/russia DIakses pada 25
Desember 2015 Pukul 20:45 WIB.
Gelman, V. (2015). Authoritarian Russia: Analyzing Post-Soviet Regime Changes.
Pittsburgh: University of Pittsburgh Press.

13 | P o l i t i k d i R u s i a & E r o p a T i m u r
Hanson, S.E. (2011) Plebiscitarian Patrimonialism in Putin's Russia: Legitimating
Authoritarianism in a Postideological Era. Dalam The Annuals of the American
Academy of Political and Social Science, Vol. 636, Patrimonial Power in the Modern
World (July 2011), pp. 32-48.

Paul, J. dan Ronen, P. (2007) Globalization and Economy, Vol. 3: Global Economic Regimes
and Institutions. London: Sage Pubicatiion.

Prakoso, R.A. (2016) Oligarkh – Siloviki. Depok: Universitas Indonesia. Materi Presentasi
Kuliah. Tidak Diterbitkan

Rutland. P. (2013) Putin’s Economic Record: Is the Oil Boom Sustainable? Europe-Asia
Studies, 60:6, 1051-1072. pp.1051-1072.

Soldatov, A dan Rochlitz, M. (2015) The Siloviki in Russian Politics. Hlm. 1 Dalam
http://www.russiapoliticalinsight.com/s/Siloviki-Final-Aug-17.pdf Diakses pada 23
Desember 2016 Pukul 21:04 WIB.

The World Post (2016) Putin the Terrible: Understanding Russia’s New Tsar. Dalam
http://www.huffingtonpost.com/joseph-v-micallef/putin-the-terrible-under-Putin-the-
Terrible. Diakses pada 21 November 2016 Pukul 15:40 WIB

Treisman, D. (2011) Presidential Popularity in a Hybrid Regime: Russia under Yeltsin and
Putin. American Journal of Political Science, Vol. 55, No. 3 (July • 2011), pp. 590-
609.

14 | P o l i t i k d i R u s i a & E r o p a T i m u r

Anda mungkin juga menyukai