Anda di halaman 1dari 2

Marx dan Engles, The German Ideology

Human Nature Materialisme

Dalam The German Ideology (1845), Marx menjelaskan bahwa pada dasarnya manusia adalah
produk alam yang terus menerus bersifat terikat dengannya. Dengan mengatakan bahwa, “the first fact
to be established is the physical organization of these individuals and their consequent relation to the
rest of nature”, Ia hendak mengutarakan pandangan materialismenya bahwa manusia (secara faktual)
merupakan sebuah organisme fisik yang dihasilkan dari alam dan terus menerus memiliki
keterhubungan secara fisik dengannya. Hanya saja kemudian, ia memberikan keterangan tambahan
bahwa:

“Men can be distinguished from animals by consciousness, by religion or anything else you
like. They themselves begin to distinguish themselves from animals as soon as they begin to
produce their means of subsistence, a step which is conditioned by their physical organisation.
By producing their means of subsistence men are indirectly producing their actual material
life.”

Dari preposisi tersebut, kiranya kita dapat menarik sebuah pemahaman tambahan mengenai konstruk
pemikiran `human nature` Marx bahwa sebagai sebuah organisme fisik manusia memiliki perbedaan
dengan binatang. Ia (manusia) selalu memiliki potensi untuk dapat berkemampuan memproduksi
berbagai `means` dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dari alam, sementara binatang tidak.
Dalam kosakata Marx (terj. Inggris), “(whereas) the animal is driven by natural impulse to form their
`life-activity`, (meanwhile) man are driven by `conscious live activity`’, sepertinya kita dapat memastikan
bahwa selain menjadi kriteria pembeda antara manusia dengan binatang, kesadaran atau consciusness
merupakan satu piranti dasar yang membuat manusia dapat melakukan aktivitas produksinya tersebut.
Dalam hal ini tegas Marx, “The writing of history must always set out from these natural bases and their
modification in the course of history through the action of men.”, bahwa betapapun perkembangan
sejarah manusia terus menerus membuat kehidupannya semakin kompleks (dari tribalisme, feodalisme,
kapitalisme), keseluruhan dinamika yang terjadi di dalamnya tetap keluar dari ide natural ‘human
nature’ yang sama: Aksi/kerja yang dilakukan manusia, selalu didasari oleh kesadaran manusia yang diisi
oleh impulse-impulse untuk melakukan produksi/kerja dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup
(conscius live activity).

Agar dapat memberikan penekanan pada ciri materialisme pemikirannya, agaknya perlu digaris
bawahi pula dalam hal ini bahwa kesadaran (conscius live activity) tersebut bukan menjadi ujung
pangkalnya, melainkan kebutuhan hidup fisik manusia-lah. Seperti yang ditegaskannya bahwa,
“Language, like consciusness onlu arises from the need, the necessity, of intercourse with other men…
Consciusness is therefore from the very beginning a social product, and remains so as long as men exist
at all.”, sepertinya bisa dijelaskan juga bahwa jika dilihat dari cara Marx mengkonstruk konsepnya
tentang manusia, kita bisa mengelompokan pemikirannya ke dalam satu klaster tipe yang sama dengan
Aristoteles yang mengandaikan manusia sebagai ‘sosial animal’. Mengingat jika dilihat dari preposisi
tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa meski Marx membenarkan manusia memiliki kesadaran yang
diliputi oleh berbagai hal dalam bentuk imaterial seperti bahasa, budaya, dan lain sebagainya,
keseluruhannya akan dapat dilihat sebagai sebuah sistem, mekanisme, atau cara yang dihasilkan oleh
manusia melalui relasi sosial untuk mengelola kebutuhan hidupnya.

Dialektika Division of Labour dan property

Setelah memahami ‘human nature’ Marxian, konsepsi kedua yang perlu diperhatikan tentu saja
pemikiran Marx mengenai relasi sosial antar manusia. Sama halnya seperti Adam Smith, David Ricardo,
atau mungkin juga Durkheim yang mendekati fenomena sosial dari sudut pandang kerja (labour) dan
kepemilikan (property), cara marx mengkonstruk pemikiran mengenai kehidupan sosial manusia dengan
berbagai dinamika dan perkembangan historisnya, menekankan betul pada keberadaan struktur relasi
antar manusia yang berbasis pada 'economic reasoning’ 1. Dengan pendekatan yang kemudian dikenal
juga dengan ‘strukturalisme’ ini, seluruh uraian filosofis Marx tentang kehidupan sosial/ekonomi
manusia hampir selalu ditujukan untuk menjawab pertanyaan mendasar: “what kind of underlying
structure that stand beneath the social life?”. Hanya saja, jauh berbeda dengan cara penyampaian Smith
dan Ricardo, pendekatan yang diambil Marx menekankan benar pada keberadaan konflik. Dengan
meminjam konsep ‘dialektika’ Hegel, economic reasoning yang digunakan Marx dalam mejelaskan
struktur relasi sosial antar manusia bukan dipenuhi gagasan-gagasan ‘laissez-faire’ atau ‘equilibrium’
sebagaimana yang biasa dipergunakan keduanya, melainkan relasi konflik. Dengan itu, marx
mengandaikan bahwa dalam sepanjang sejarah kehidupan manusia, proses alamiah pemilahan kerja
berdasarkan spesialisasi (division of labour) yang terjadi akan selalu diisi oleh konflik secara dialektis
antar kelompok dalam memperebutkan pemenuhan kebutuhan masing-masing.

1
Economic reasoning dalam konteks ini dapat dijelaskan sebagai logika berfikir yang mendasari konsep, teori
tentang economic processes. Philosophy of economics is also concerned with the ways in which ethical values are
involved in economic reasoning—the values of human welfare, social justice, and the tradeoffs among priorities
that economic choices require.

Anda mungkin juga menyukai