Anda di halaman 1dari 25

1

BAB I

Pendahuluan

Perkembangan sejarah kemajuan pemikiran dan teknologi manusia tak

dapat dipungkiri selalu melibatkan tokoh-tokoh filsuf dunia kenamaan. Baik itu

yang terjadi di masa sang filsuf hidup dan bahkan sepeninggal para filsuf besar

ini. Banyak fakta yang tidak dapat kita bantah lagi akan hal tersebut. Sebagai

contoh kita mengenal dua filsuf besar yakni Plato dan Aristoteles yang hingga

sekarang buah karya fikiran mereka banyak memberikan sumbangan pemikiran-

pemikiran selanjutnya.

Salah satu generasi pemikir besar dunia selanjutnya yang – boleh

dikatakan – kerap kita dengar namanya adalah Karl Marx. Tak ayal, buah

pemikirannya menjadi ideologi gerakan politik tersendiri di berbagai negara

belahan dunia. Marxisme disebut-sebut sebagai sebuah suatu isme atau paham

pergerakan yang banyak menjadi alat untuk mensukseskan upaya mewujudkan

perubahan di suatu negara. Bahkan, tidak hanya ideologi pergerakan tetapi juga

dikatakan sebagai: “... a system of sociology, a philosophy of man and society and

a political doctrine”.1

Tidak dapat dipungkiri dan perjalanan sejarah manusia telah membuktikan

betapa pemikiran – apa yang disebut – Marxist telah memberi warna tersendiri

dalam kehidupan manusia. Pemikiran Karl Marx telah menjadi inspirasi bagi

lahirnya aliran pemikiran kritis dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan juga

1Jufrina Rizal dan Agus Brotosusilo, “Bahan Bacaan Program Magister Filsafat Hukum Buku Ke-
II”, diambil dari Bab “Marxist Theories of Law and State”, hlm. 837, Program Pascasarjana
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001.
2

hukum.

Semangat yang dibawanya jelas, yaitu mengkritik sistem kapitalisme yang

dianggap berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Begitupun ketika pemikiran

itu merasuk ke dalam dunia hukum, teori marxis tentang hukum juga membawa

kritik terhadap kehadiran hukum dalam tatanan masyarakat kapitalis. Dalam

tatanan masyarakat kapitalis, hukum jelas tidak bebas nilai, tidak bersifat netral,

dan terkait dengan faktor ekonomi serta politik yang ada. Lebih lanjut mengenai

teori-teori Karl Marx tentang hukum dan negara, akan coba diuraikan dalam bab

pembahasan berikutnya.

Selain, pemikiran Karl Marx di bidang hukum dan negara, dalam makalah

ini akan coba diulas juga mengenai gerakan “critical legal studies” atau CLS. CLS

lebih merupakan suatu gerakan moderen dalam teori hukum yang berkembang

pada tahun 1970-an di Amerika Serikat sebagai bentuk gerakan yang mengkritisi

paham “conventionalism”.

Dalam pandangan CLS, hukum bukanlah suatu entitas yang hampa dari

berbagai anasir terutama politik. Bahkan disebutkan bahwa hukum inheren dengan

politik itu sendiri “..that the law is inherently political” atau hukum adalah politik

yang sedang melakukan penyamaran (politics in disguise)2. Inisiatif untuk

membentuk gerakan ini datang dari beberapa ahli hukum, seperti Horwitz, Duncan

Kennedy, Trubek, Mark Tushnet dan Roberto Unger. Dalam bahasa yang

sederhana, aliran ini mencoba membantah pandangan bahwa hukum merupakan

2Surya Kirana Sulistijo, “The Future Legal Scholarship and the Search for a Modern Theory of
Law”, hlm. 1.
3

entitas yang bebas dari berbagai anasir terutama politik.

Aliran ini, sebagaimana diungkapkan oleh Alant Hunt, bahwa hukum tidak

dapat eksis, dan oleh karena itu tidak dapat dipelajari, dalam ruang vakum.

Demikian menurut Alant Hunt sebagaimana dikutip oleh Rikardo Simarmata

Hukum terletak dalam ruang sosial yang dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan di

luar hukum. Bagi kalangan instrumentalis, hukum bahkan dianggap melulu

sebagai instrumen yang mengabdi kepada kepentingan kelompok berkuasa3.

CLS merupakan bentuk kritik atas keadaan krisis yang menimpa hukum

karena telah gagal berperan sebagai alat perubahan dan sebagai alat untuk

mencapai keadilan yang sebenarnya. Krisis hukum itu bersumber pada gejolak

sosial pada masa tahun 1960-an. Pada masa itu, praktik hukum menampilkan 2

(dua) wajah keadilan yang kontras. Di satu sisi, beberapa pengadilan dan beberapa

bagian dari profesi hukum telah menjadi juru bicara bagi kelompok masyarakat

yang tidak beruntung. Tetapi di sisi yang lain, pada saat yang bersamaan, hukum

menampilkan sosoknya yang dilengkapi dengan sepatu boot dan berlaku represif

untuk membasmi setiap anggota masyarakat yang membangkang4. Kedua

pandangan atau aliran adalah bahasan dalam makalah singkat ini berdasarkan

penugasan kepada kami berdua (Endar Priantoro dan Fajar Kurniawan).

3Rikardo Simarmata, “Socio-legal Studies dan Gerakan Pembaharuan Hukum”,


http://www.huma.id/dokument/1.0.3.Analisa hukum, hlm. 2.
4M. Ilham Hermawan dan Endra Wijaya, “Pokok Pemikiran Critical Legal Studies (CLS) dan
Upaya Penerapan Metode Kajiannya: Melihat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan dari Sudut Pandang yang Ditawarkan oleh CLS”, Artikel lepas dalam
http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/23/critical-legal-studies/, Mei 2008.
4

BAB II

Pembahasan

A. Teori-Teori Marxis Tentang Negara dan Hukum

Istilah Marxisme sendiri, tidak dikenal di masa tokohnya masih hidup

yakni Karl Marx. Istilah ini dipopulerkan di kemudian hari oleh Paul Lafargue

yang tidak lain adalah menantu dari sang tokoh itu sendiri. Beberapa tokoh

marxisme yang terkenal antara lain dapat kita sebutkan : Kolakowsky, Karl

Kautsky, Rosa Luxemburg, Lenin, dan lain sebagainya. Sebagaimana disebutkan

di atas, bahwasanya Marxisme memiliki pengertian yang luas mencakup “... a

system of sociology, a philosophy of man and society and a political doctrine”.5

Berkaca pada pemahaman di atas, maka ajaran marxis atau marxisme

dapat dikatakan memiliki tiga bagian yang tak terpisahkan satu sama lainnya

yakni ekonomi politik, filsafat, dan sejarah. Senada dengan ungkapan Karl Marx

dalam kata pengantar pada sebuah sumbangan untuk kritik terhadap ekonomi

politik:

“Saya berkesimpulan bahwa hubungan-hubungan hukum, dan dengan


demikian pula bentuk-bentuk negara, tidak dapat dipahami secara
tersendiri, pun tidak dapat diterangkan atas dasar apa yang disebut
kemajuan umum pikiran manusia, tetapi bahwa hal-hal itu berakar dalam
kondisi-kondisi materiel dari kehidupan, yang oleh Hegel disimpulkan
menurut cara Inggris dan Prancis abad kedelapan belas di bawah sebutan
civil society (masyarakat sipil); anatomi masyarakat itu harus dicari di
dalam teori ekonomi”.6

Ajaran lain Karl Marx adalah mengenai materialisme historis yang di

5Jufrina Rizal dan Agus Brotosusilo, Loc. Cit.


6Karl Marx, “Kata Pengantar Pada Sebuah Sumbangan Untuk Kritik Terhadap Ekonomi Politik”,
1859, dapat diakses dalam http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-
engels/1859/pengantar-kritik.htm.
5

dalamnya dapat kita jumpai adanya determinisme ekonomi (tidak secara mutlak).

Ekonomi di letakkan pada struktur dasar (base structure) sedangkan agama,

politik, dan hukum itu sendiri ada pada struktur atas (super structure). Meski

demikian, teori basis-superstruktur bukan penegasan bahwa ekonomi merupakan

basis masyarakat.

Teori ini menekankan bahwa jenis-jenis akitivitas politik dan intelektual

tertentu yang diamati dalam masyarakat-masyarakat kelas dapat dijelaskan dengan

merujuk pada bentuk-bentuk khusus organisasi ekonomi yang sama.7 Pandangan

ini dapat pula dijumpai bahwa : “he (Marx) attached primacy to the economic

system. This was the “base” or “infrastructure” and everyting else, political

institutions, laws, religion, ethics, was “super-structural””.8

Untuk bagian ekonomi politik marxis bersumber pada ajaran ekonomi

Inggris klasik terutama teori nilai kerja yang diajukan Adam Smith dan David

Ricardo. Sedangkan untuk ajaran filsafat marxisme bersumber pada filsafat klasik

Jerman yang sampai pada dua nama besar yakni Hegel dan Feurbach. Sumbangan

terbesar Hegel bagi Marx adalah cara berfikir dialektika.

Ideologi filsafat Jerman membicarakan hubungan sosial, kepentingan

kelas, buruh melawan pemodal, kaum proletar melawan kaum borjuis juga tengan

mode dan kekuatan produksi, dasar ekonomi dan ideologi golongan atas. Dalam

ideologi Marx mengemuka ajaran alienasi (keterasingan). Alienasi menurutnya

merupakan proses konkretisasi hakikat batin manusia yang kemudian menjadi

7Jon Elster, “Karl Marx : Marxisme – Analisis Kritis”, Prestasi Pustakaraya, 2000, hlm. 154.
8Jufrina Rizal dan Agus Brotosusilo, Loc. Cit.
6

barang mati dan memisahkan manusia yang satu dari manusia yang lainnya.

Menurut Marx, alienasi manusia memiliki 4 (empat) bentuk yaitu :

1. Para buruh dalam kapitalisme industrialis diasingkan dari produksinya

yang ada di luar dirinya secara mandiri, sebagai sesuatu yang asing

bagi dirinya sendiri.

2. Sistem kapitalis mengasingkan manusia dari aktivitasnya.

3. Masyarakat mengasingkan buruh dari kualitas penting manusia.

4. Pemisahan manusia dari manusia.

Marx mengatakan bahwa bukanlah kesadaran manusia itu sendiri yang

menentukan keadaan mereka. Melainkan, keadaan sosial mereka-lah yang

menentukan kesadaran mereka. Ini yang disebutkan oleh Marx : “...it is not

consciousness of men that determines their being, but, on the contrary, their social

being that determines their consciousness”.9

Konsep Hukum dan Negara Karl Marx

Lalu bagaimana sebenarnya Teori Marxist memandang hukum dan negara?

Perlu dipahami di sini, bahwasanya Karl Marx sendiri tidak pernah menghasilkan

suatu karya yang dapat disebut sebagai “teori tentang hukum” yang utuh10. Marx

sendiri lebih tepat dikatakan sebagai seorang pemikir, filsuf, sekaligus aktivis di

bidang ekonomi dan politik11. Upaya untuk merancang secara lebih lengkap dan

menyeluruh teori hukum dalam wilayah pemikiran marxis dilakukan oleh para

9Karl Marx, “Preface to Contribution to Critique of Political Economy” hlm. 878, dalam Ibid.
10Alan Hunt, “Marxist Theory of Law”, dalam Dennis Patterson ed., A Companion to Philosophy
of Law and Legal Theory (Massachusetts: Blackwell Publishers Ltd., 2000), hlm. 356.
11Ken Budha Kusumandaru, Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme (Yogyakarta: Insist Press,
2003), hlm. 52.
7

pengikut teori Marx (para marxis).

Thompson coba menyampaikan mengenai apa itu hukum menurut Karl

Marx. Disebutkan olehnya : “thus the law may be seen instrumentally as

mediating and reinforcing existent class relations and, ideologically, as offering to

these a legitimation”.12 Hukum nyata-nyata sebagai alat bagi kaum borjuis yang

duduk dalam kursi penguasa untuk melegitimasi penghisapan tuan-tuan tanah

kepada kaum pekerja/proletar.

Menurut Alan Hunt, terdapat beberapa tema pokok yang dijelaskan oleh

para pemikir marxis mengenai hakikat hukum, yaitu:

1. Hukum tidak dapat menghindar atau tidak dapat melepaskan dirinya

dari politik, atau bahkan dapat dikatakan, bahwa hukum itu adalah

salah satu bentuk (perwujudan) dari politik.

2. Hukum dan negara memiliki hubungan yang dekat. Hukum

memperlihatkan sifatnya yang “relatif otonom” dari negara.

3. Hukum memberikan pengaruh, mencerminkan, atau mengekspresikan

kuatnya (besarnya) hubungan ekonomi yang ada.

4. Hukum selalu potensial bersifat memaksa dan memanifestasikan

(mewujudkan) monopoli negara atas alat-alat pemaksa.

5. Isi dan prosedur yang terkandung dalam hukum, baik langsung

maupun tidak langsung, mencerminkan kepentingan-kepentingan kelas

yang berkuasa.

12EP Thomson Whigs and Hunters, “The Rule of Law”, dalam Jufrina Rizal dan Agus
Brotosusilo, Op.Cit, hlm. 908.
8

6. Hukum itu bersifat ideologis. Dengan demikian, hukum itu

menunjukkan dan menyediakan legitimasi kepada nilai-nilai yang

melekat pada (nilai-nilai milik) kelas yang berkuasa.13

Negara, dalam pandangan Marx, diawali dengan kritikannya kepada Hegel

yang mengatakan bahwa negara adalah aktualisasi dari kebebasan dan sebagai

tujuan absolut terakhiratas kebebasan yang harus diwujudkan tersebut.14

Pandangan Marx mengenai negara, adalah dengan terlebih dahulu mengatakan

bahwa birokrasi sebagai formalitas negara (state as formalism). Sehingga, apa

yang menjadi tujuan atau yang memberi warna bagi negara, dengan sendirinya

tujuan dan warna bagi birokrasi itu sendiri. Lebih lanjut, Marx mengatakan :

“Bureaucracy holds in its possesion the essence of the state, the spiritual
essence of society, it is its private property. The general spirit of
bureaucracy is secret, mystery, safeguarded inside itself by hierarchy and
outside by its nature as a closed corporation”.15

Tokoh-Tokoh Marxisme

Karya tulis Karl Marx telah membuktikan kekuatan “magis” daya tarik dan

pengaruhnya yang mampu menembus dan meresap ke dalam setiap perkembangan

pemikiran mengenai kehidupan sosial masyarakat dan hukum. Bentuk penyerapan

akan pemikiran Karl Marx dapat coba kita ikuti melalui apa yang disebut sebagai

Marxisme melalui tokoh-tokohnya. Dalam ulasan berikut, akan coba diuraikan

beberapa pemikiran tokoh marxisme.

1. Karl Renner

13Alan Hunt, “Marxist Theory of Law”, dalam Dennis Patterson, Op.Cit.


14Hegel, “Philosophy of Right”, dalam Jufrina Rizal dan Agus Brotosusilo, Op.Cit.,hlm. 876.
15Karl Marx, “Critique of Hegel's Philosophy of Right”, dalam Ibid. hlm. 877.
9

Dalam karyanya yang bertajuk “Institutions of Private Law and their

Social Functions”, Renner mencoba menerapkan sistem sosiologi

Marxis dalam membangun konstruksi teori hukum. Ia mencoba untuk

kembali menampilkan kendatipun beberapa hal dalam konsep hukum,

seperti kepemilikan dan perjanjian/kontrak, telah mengalami

perubahan yang amat besar. Renner meyakini dengan memahami

konsep hukum maka ia menjadi satu langkah menuju pemahaman

konsep dasar ekonomi yang diajukan Karl Marx. Sebagaimana

diungkapkan sebagai berikut : “Renner believed that to understand a

legal concept one had to penetrate its economic base”.16

Isu penting yang diajukan Renner adalah mengenai bagaimana kaum

kapitalis menjalankan kekuasaan rezim quasi-republik atas masyarakat

luas yang terikat atas kontrak untuk melayani. Instusi hukum tidak

mengalami perubahan bentuk, melainkan fungsinya yang berubah.

Kaum pemilik dapat menggunakan hak miliknya untuk mengendalikan

orang lain dan kepemilikan orang tersebut melalui instrumen tertentu

yang justru menjadi pelengkap dari institusi hukum yang ada, seperti

dalam lembaga penjualan, sewa menyewa, perjanjian jasa. Inilah yang

kemudian, oleh Renner, menjadi “the real function of ownership and

this itself becomes an empty legal form”.17

Mengenai pandangan Karl Marx atas “infra-structure” dan “supra-

16Jufrina Rizal dan Agus Brotosusilo, Op.Cit, hlm. 864.


17Ibid, hlm. 865.
10

structure”, Renner berpandangan lain. Dirinya menganggap bahwa

keduanya merupakan bentuk metafora semata yang bertugas

mengilustrasikan hubungan antarkeduanya dan bukan menjelaskan

dalam pengertian yang tegas. Selain itu, Renner juga berpandangan

bahwa mekanisme yang mengatakan persoalan ekonomi sebagai sebab

yang memberikan efek kepada hukum, sebagaimana diyakini Marx,

dikatakan olehnya masih kabur sifatnya. Karenanya, dirinya

berkeyakinan hukumlah yang seharusnya menjadi agen yang aktif

dalam membentuk kondisi sosial tertentu.18 Lebih dari itu, apa yang

dipelajari oleh Renner adalah penting karena ia menunjukkan “the part

which legal culture has played in economic development”.19

2. Pashukanis

Pashukanis memandang bahwa teori hukum sebagai penyelidikan atas

sejarah. Terdapat 2 alasan utama, mengapa Pashukanis memandang

demikian.

“first, in that an understanding of bourgeois forms of law required an


historical approach to the question of law because law was a result of a
specific stage of social development only, and secondly, he saw the
task of Marxist legal theory as being to demonstrate the transient
nature of law”.20

Salah satu teori hukumnya yang terkenal adalah “the Commodity-

Exchange Theory”. Dalam teori ini, Pashukanis memandang bahwa

kontrak / perjanjian merupakan pondasi dari semua hukum. Hukum

18Ibid.
19Ibid.
20Ibid, hlm. 867.
11

tumbuh dari adanya kebutuhan akan komoditas sebagai hasil dari

kegiatan produksi. Ia mengatakan : “the commodity is the cell form of

legal relations because capitalis society consists of producers of

commodities”.21

Dalam perjalanannya teori Pashukanis di atas mendapatkan kritikan.

Kepadanya dipertanyakan : “how can property exist prior to law?

Selain itu, Warrington mengatakan bahwa kapitalisme sebagai suatu

proses produksi, dan pertukaran komoditas menjadi bagian dari proses

itu sendiri : “capitalism is a process of production, and exchange is

merely a part of that process”.22 Meski demikian, Pashukanis tetap

mengabaikan proses tersebut.

Pashukanis percaya bahwa hukum mengalami pertumbuhan yang pesat

di bawah sistem kapitalisme. Sehingga, tidak ada norma hukum selain

apa yang disebut hukum kaum borjuis. Perbedaan pandangan lainnya,

antara Pashukanis dengan Marx adalah pada : “which quarrel with

Marxian analyses of society and his predictions of what a revolution

will be achieve. Secondly, there are those which point to the non-

applicability of the theory to contemporary society.23

Jika kita kembali kepada keenam pokok pemikiran marxis tentang hukum

itu sendiri maka kita akan dapati bahwa hukum itu inheren dengan politik. Bahkan

lebih lanjut disebutkan bahwa hukum senantiasa potensial bersifat memaksa dan

21Ibid, hlm. 868.


22Warrington dalam Ibid.
23Ibid. hlm. 871.
12

memanifestasikan monopoli negara atas alat-alat pemaksa. Hukum hanya

mencerminkan keinginan penguasa dan karena sifatnya yang ideologis maka ia

menjadi alat untuk menjustifikasi dan melegitimasi nilai-nilai yang melakat

(dimiliki) kelas yang berkuasa.

B. Critical Legal Studies (CLS) and The Search for a Modern Theory of Law

CLS muncul dan berkembang pada tahun 1970-an di Amerika Serikat

dengan tokoh-tokohnya adalah para Sarjana Hukum (khususnya kebanyakan

praktisi). CLS terinspirasi oleh gerakan pemikiran kontinental (continental social

theory) yang berkembang pada tahun 1960-an yaitu Marxist, structualist dan post-

structuralist, yang kemudian membentuk gerakan yang disebut Critical Legal

Studies (CLS).24

CLS merupakan nama yang diberikan terhadap kelompok Scholars di

Amerika, dimana pendukung CLS memandang dirinya sebagai kelompok radikal

yang lebih luas dan lebih elaboratif dari gerakan American Legal Realism. CLS

lahir dari reaksi atas pemikiran hukum yang telah mengakar di Amerika, dan telah

mempengaruhi konsep hukum Amerika dengan Conventionalismnya (Konsep

hukum tradisional) atau menginginkan suatu pendekatan yang berbeda dalam

memahami hukum, tidak hanya seperti pemahaman selama ini yang bersifat

Socratis.

Latar belakang berdirinya CLS sebagai nama payung bagi suatu arus

24Richard A. Posner , Frontier Legal Theory, Harvard University Press, 2001, hlm 13-15, dalam
Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Mmebuka Kembali (Prof. Dr.H.R. Otje Salmas S.,
SH dan Anthon F. Sutanto, SH.,M.Hum. PT. Refika Aditama 2005. Hal. 124.
13

pemikiran hukum di kalangan ahli hukum Amerika yang tidak puas dan

menentang pemikiran liberalis yang sudah mapan dalam studi-studi hukum hukum

atau jurisprudence.

CLS tumbuh atas ketidakpuasan terhadap pengetahuan hukum yang

sedang berlaku saat itu25. Latar belakang berdirinya CLS sebagai nama payung

bagi suatu arus pemikiran hukum di kalangan ahli hukum Amerika yang tidak

puas dan menentang pemikiran hukum liberalis26 yang sudah mapan dalam studi-

studi hukum hukum atau jurisprudence.

Selain itu juga Mark Kelman (dalam A guide to Critical Legal Studies27)

berpendapat bahwa, liberalism dalam pandangan Crits adalah sebuah sistem dari

pemikiran yang secara simultan mengelilingi dengan pertentangan internal. Ada 3

pusat pertentangan menurut Mark Kelman yaitu28 : “Kontradiksi pertama adalah

berdasarkan peraturan dan standar. Penggambaran kontradiksi ini mengacu

kepada pemikir CLS lain yaitu Duncan Kennedy”.29

Antara sebuah komitmen menggunakan aturan-aturan mekanis sebagai

bentuk yang tepat untuk penyelesaian sengketa....dan sebuah komitmen kepada

situasi sensitif, standar khusus.

1. Kontradiksi liberalism kedua- fakta perbedaan nilai, alasan pemisahan

keinginan. Kelman mengilustrasikan dengan mereferensikan dari

25Lihat pendapat Mark Kelman pada halaman 935 dari Bahan Bacaan Program Magister
FILSAFAT HUKUM Buku II bagi Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
yang disusun oleh Jufrina Rizal dan Agus Brotosusilo (September 2001).
26Ibid hal. 936.
27Ibid.
28Ibid.
29Ibid.
14

pandangan UNGERS30.

Kontradiksi antara sebuah komitmen pada gagasan tradisional liberal dimana nilai

atau keinginan adalah sewenang-wenang, subyektif, individual dan sebuah

komitmen yang kurang ideal yang kita dapat mengetahui kebenaran sosial dan

kebenaran etika secara obyektif. Atau harapan yang satu dapat melebihi perbedaan

yang lazim antara subyektif dan obyektif dari individu dalam pencarian

kebenaran moral.

2. Kontradiksi ketiga mengacu pada konflik lama antara kehendak bebas dan

determinisme.

Kontradiksi antara sebuah komitmen untuk wacana kesengajaan dimana setiap

kegiatan manusia adalah terlihat sebagai hasil dari keinginan untuk menentukan

sendiri dan diskursus determinis, dimana aktivitas subyek nominal tidak

menghormati jasa-jasa maupun kecaman karena hal itu lebih mudah menganggap

hasil yang dharapkan dari struktur yang ada.

Ada beberapa varian dalam arus pemikiran CLS31 ini yaitu :

1. Pemikiran yang diwakili oleh ROBERTO M.UNGER, dimana mencoba

mengintegrasikan dua paradigma yang saling bersaing yaitu paradigma

konflik dan paradigma konsensus.

Unger mengkritik liberalisme yang menurutnya menghasilkan perubahan

moral individu dan politik masyarakat modern yang berbahaya.

30Ibid hlm. 940.


31Prof. Dr.H.R. Otje Salmas S., SH dan Anthon F. Sutanto, SH.,M.Hum. Teori Hukum
Mengingat, Mengumpulkan dan Mmebuka Kembali , PT. Refika Aditama Bandung 2005. Hal.
124.
15

Lisberalisme membengkokan moral, intelektual, dan sisi spiritual

seseorang.

Menurut Unger ada "struktur mendalam" dari liberalisme yang terdiri dari

enam prinsip: (1) rasionalitas dan hawa nafsu ; (2) keinginan yang

sewenang-wenang ; (3) Analisis ; (4) Aturan-aturan dan nilai-nilai ; (5)

nilai subyektif, dan (6) individualisme.

Unger menawarkan sebuah "struktur dari non struktur", suatu komitmen

terhadap penataan sosial yang akan selalu menjadi perdebatan dan

percobaan dalam berbagai macam kehidupan sosial32. Dia menyarankan

penciptaan empat macam hak:

a) Hak kekebalan yang memberikan kekuasaan untuk melawan intervensi

dan dominasi oleh individu atau organisasi lain, termasuk negara.

b) Hak de-stabilisasi yang menuntut untuk meruntuhkan praktek institusi

dan bentuk-bentuk sosial yang telah ada.

c) Hak pasar yang memberikan suatu pendakuan (claim) kondisional

terhadap bagian modal sosial yang dapat dibagi.

d) Hak solidaritas yang memupuk jalinan saling menguntungkan,

loyalitas dan pertanggungjawaban. Hari Chand mengkritik struktur dari

non struktur Unger ini membatasi pertentangan sosial yang dituntut

untuk difasilitasi. Hal ini tidak legitimate dan dapat diobyektifkan

seperti tatanan sosial yang lain.

2. Pemikiran yang diwakili oleh DAVID KAIRYS, dimana mewarisi tradisi

32 Htttp://www.blogger.com/post.create.g?
16

Marxist atau tepatnya mewarisi kritik marxist terhadap hukum liberal yang

hanya dianggap hanya melayani sistem kapitalisme.

3. Pemikiran yang diwakili oleh DUNCAN KENNEDY, yang mengunakan

metode elektis yang membaurkan sekaligus perspektif struktural

Duncan Kennedy mempresentasikan suatu analisis tentang aturan-aturan dan

standar-standar. Ada dua bentuk aturan; bentuk formal yang umumnya

penggunaannya jelas dan pasti, sangat administratif, aturan umum dan bentuk

yang mendukung penggunaan standar yang sesuai. Legal Reasoning, ditujukan

untuk kedua bentuk, hasilnya adalah semua argumen hukum menunjukan

ketidakstabilan dan pertentangan.

Kennedy menyatakan bahwa ada tiga dimensi dari bentuk-bentuk argumen33:

a) Realisabilitas Formal. Kennedy meminjam bentuk Spirit of Roman

Law yang dikemukakan Ihering untuk menyampaikan ide bahwa

kualitas keteraturan dalam peraturan ditentukan dalam penentuannya

atau persyaratan spesifik dari beberapa aspek kenyataan. Disamping

Realisabilitas yang formal, kemampuan menyadari adalah sebuah

standar prinsip dan kebijakan, misalnya, persaingan sehat, kepedulian,

keadilan, dll.

b) Generalisasi.Peraturan-peraturan dibuat untuk mencakup sebanyak

mungkin situasi yang ada pada kenyataannya. Beberapa peraturan lebih

umum atau lebih khusus dari pada yang lainnya. Semakin luas

jangkauan peraturan, semakin serius ketidaktepatan diatas atau

33Ibid.
17

dibawah tingkat pencapaian.

c) Individualisme dan Altruisme. Orientasi peraturan menunjukan cita-

cita individualisme sementara altruisme merepresentasi dalam bentuk

standar yang menunjukan kepentingan individu adalah bukan hal yang

utama Individual percaya bahwa aktivitas hukum adalah salah tempat

sementara altruisme mengharapkan hakim untuk menerapkan standar

komunitas bersama. Selalu ada konflik antara individualisme dan

altruisme.

Pokok pemikiran CLS adalah kritik terhadap formalisme, dan menolak

pemisahan rasionalitas hukum dengan politik (separated law and politics),

sehingga konsep CLS mengkritik konsep Conventionalism yang mengasumsikan

bahwa Hukum adalah sesuatu yang otonom (an autonomous) dan Hukum

merupakan suatu disiplin yang a-politik (a-policals dicipline).

Sebagai perbandingan akan dijelaskan pemikiran tradisional/ckonvensional

sebagai berikut :

1. Nature of Conventionalism.

Hukum dan politik merupakan disiplin yang berbeda dan karenanya prinsipnya

terpisah satu dari yang lainnya, disini conventionalism, memiliki prinsip utama :

a) Hukum adalah a-politik, dimana hukum bersifat netral (neutral), tidak

memihak (dispassionate) dan murni (pure). Hukum adalah produk dari

sebuah alasan dan bukan produk politik.

b) Hukum adalah otonom, sebagai sesuatu yang lengkap dan mempunyai


18

sistem sendiri (Self contained System). Perselisihan hukum

menimbulkan permasalahan hukum. Ilmu-ilmu lain walaupun

memberikan masukan tidak mempengaruhi jawaban atas Lawyer.

c) Hukum adalah a-historis (a-historical), dimana teknik hukum tidak

akan berubah hingga kini, walaupun masyarakat berubah dan

menimbulkan permasalahan hukum namun teknik dan metode yang

dipergunakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum tetap sama.

d) Conventionalism, merawat jawaban-jawaban yang menentukan

seluruh masalah hukum.

e) Subyek utama dari studi ilmu hukum adalah peraturan hukum (legal

rules) dan putusan-putusan pengadilan (adjudication).

f) Teknik kategorisasi adalah untuk menempatkan kenyataan yang ada

sesuai kategorinya.

Unger mengkritik liberalisme yang menurutnya menghasilkan perubahan

moral individu dan politik masyarakat modern yang berbahaya. Lisberalisme

membengkokan moral, intelektual, dan sisi spiritual seseorang. Menurut Unger

ada "struktur mendalam" dari liberalisme yang terdiri dari enam prinsip yaitu : (1)

rasionalitas dan hawa nafsu; (2) keinginan yang sewenang-wenang ; (3) Analisis ;

(4) Aturan-aturan dan nilai-nilai ; (5) nilai subyektif ; dan (6) individualisme.

Conventionalism sebagai konsep yang dominan di Hukum Amerika dan

merupakan kekuatan dari "regim" pemikiran hukum dari kalangan The Old

Scholarship, dengan kata lain Coventionalism merupakan mainstream pemikiran


19

hukum para pelajar hukum di Amerika.

Kalangan CLS memandang bahwa fakta sesunguhnya hukum adalah

penyamaran politik. Hukum konvensional sudah dikontrol oleh nilai politik

kapitalisme. Kritik CLS terhadap conventionalism :

1. Hukum adalah inheren dengan politik, sebagai institutionalisasi politik,

yang merupakan cermin dari struktur kekuasaan yang terdapat dalam

masyarakat, sehingga hukum bukan sesuatu yang netral, dan melegitimasi

penggunaan kekuasaan. Dalam persepktif ini hukum adalah negatif.

Kritik CLS terhadap netralias hukum adalah pembedaan antara publik dan privat.

Disini negara bisa melakukan intervensi atas urusan privat, sehingga bukan

semata-mata merupakan sesuatu yang netral dan tidak teralakan dari peraturan

huum publik.

2. Teknik hukum conventionalism tidak memiliki validitas yang

mandiri/independen/tidak konsisten, bahwa apa yang dinamakan sebagai

pemikiran hukum tidak lain hanya merupakan bentuk argumentasi yang

sama sekali kehilangan substansi yang independent, dan argumetasinya

tedapat kontradiksi, sehingga convenstionalism yang mengatakan hukum

netral adalah sia-sia.

3. CLS bepandangan bahwa Conventionalism adalah pandangan mengenai

liberalism yang penuh dengan kontradiksi dan dilema yang tidak

terpecahkan serta inheren dengan inkonsistensi. Sehingga perspektif CLS,

Conventionalism berusaha melakukan mediasi dan menyembunyikan


20

kontradiksi yang mendasar, sehingga hasol yang diperolehnya bahwa

pemikiran hukum dari kalangan Conventionalism menyediakan adanya

politik yang represif.

Gerakan CLS membawa implikasi ideologi terhadap pendidikan hukum

modern, kritik dan perlawanan terhadap asumsi-asumsi gerakan hukum ekonomi,

dan menggunakan teori radikal dalam pemikiran radikal praktek hukum. CLS dan

Legal Theory sebagai kelompok The New Legal Scholars, yang memiliki

pemikiran hukum :

1. CLS menghendaki adanya pemikiran hukum yang berisi substansi yang

lebih luas dalam lingkup (scope) dan bentuk tatanan (manner).

2. Adanya keterkaitan antara bentuk pemikiran hukum dan struktur politik.

3. Keduanya menyetujui bahwa budaya hukum sedang dalam masa transisi

yang pemikiran hukumnya sudah meningkat pada keadaan yaitu pemikiran

hukum yang tidak relevan.

The Modern Theory law adalah kekuatan The new Scholarship yang

menyatukan antara Legal theory dan CLS. CLS memfokuskan diri pada sejarah

dan aspek kebudayaan dari legal thought. Legal Theory lebih memfokuskan pada

the sosial choice aspect of modern theory of law, the creation of legal technique,

pergerakan hukum dari pengadilan. Modern Theory of Law menyampaikan

kritik :

1. Terhadap legal theory mengenai legitimasi politik dan tehniknya, dan

menyarankan bahwa modern political structure memberikan legitimasi


21

untuk hasil kerja legal Theory.

2. Kritik terhadap CLS, CLS hanya memiliki sebuah theory liberalism and

the political theory, sehingga CLS harus berlaih ke teori lain menjelaskan

pemikiran hukum dan politik era modern. Karena CLS menawarkan

sebuah teori mengenai hukum dan poltik CLS mengalami kesulitan ketika

harus berhadapan dengan masalah penting ada modern theory of Law.

Modern Theory of Law, pada dasarnya memberikan kritik terhdap paham

konvenstionalisme dan formalise, yang mengangao hukum tidak netral dan hukum

tidak terkait dengan politik, hukum adalah disiplin semiautonomi dan hukum

mengandung sejarah serta tidak ada jawaban yang benar dalam hukum. 6 (enam)

elemen dasar perbedaan Modern Theory of Law dengan Conventionalism

1. Hukum dan politik.

Hukum pasti politik (law must be political), dimana hukum dan politik adalah

berkaitan.

a) The treatment of law and political by the legal culture.

Pemisahan antara politik dan hukum oleh Conventionalism , tidak menjadi

permasalahan pada masa Common Law Liberalism.

b) The new Scholarship and the Politics of the modern Theory of Law.

4 masalah utama dari modern theory of Law adalah :

(1) CLS dan Legal Theory, mengenali pentingnya constututional

dialogue, walaupn berbeda dalam hal dasar pembenaran dan

perhatian dari dialog tersebut.


22

(2) CLS dan Legal Theory menyadari bahwa Clasical liberalism yang

berasosiasi dengan convenstionalism dan politic of legal theory

sudah tidak berlaku lagi. Walaupun keduanya tidak sepakat dasar

yang menjadi penyebabnya.

(3) Pembangunan dari spesific stucture of politic, kaejadian tahun 1937

melegitimasi sistem politik di Amerika dan memebuat salah satu

elemen dari common law tidak berlaku.

(4) Konsekwensi politik dari penggunaan secara berkesinambungan

dari institusionic thought of legal culture yang memainkan peranan

penting dalam pembangunan pemikiran classical common law yang

berkaitan dengan convenstionalism.

2. Hukum dan kebudayaan

Hukum adalah disiplin yang semi otonom, walaupun hukum tidak otonom hukum

juga berbeda dengan politik. Legal culture harus konsisten dengan asumsi

normatif daripolitical structure oleh karenanya ada hubungannya antara pemikiran

hukum dengan nilai-nilai politik. Hubungan antara legal culture dengan politik

adalah konsisten.

3. Hukum dan sejarah

Hukum mesti menjadi sejarah, perubahan yang bersifat mendasar pada suatu

peristiwa sejarah akan menjadi sumber legitimasi bagi hukum serta legitimasi

struktur politik yang ada.


23

4. Hukum dan penentuan.

Hukum tidak perlu memberikan suatu jawaban yang sebenarnya, adanya berbagai

macam hasil tidak otomatis menyimpulkan bahwa hukum adalah in-determined

atau i-legitimated, dimana legal culture dalam tahap transisi. Walaupun political

structure yang mendukung common law leberalism tidak ada lagi tapi pemikiran

yang berhubungan dengan common law liberalism akan tetap timbul dan

menimbulkan masalah.

5. Hukum dan putusan Pengadilan

Hukum lebih dari sekedar kajian tentang putusan-putusan pengadilan. CLS

mengkaji subyek hukum lebih luas dari sekedar putusan pengadilan atau peraturan

hukum dalam memahami hukum sebagai perhatian utama.

6. Hukum dan kategori klasik hukum

Kategori klasik hukum telah kehilangan legitimasi, penafsiran tekstual dan analisa

kasus atau suatu isu hukum - tidak hanya terdiri dari teknik-teknik hukum saja.
24

BAB III

Kesimpulan

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hukum bukanlah suatu entitas

yang independen dan bahkan hampa dari berbagai anasir terutama politik

(kekuasaan). Hukum merupakan politik yang mengalami transformasi wujud dan

ia adalah milik kelas penguasa. Ini yang dicerminkan dalam semangat birokrasi

yang penuh kerahasiaan. Semangat umum dari birokrasi adalah kerahasiaan,

misteri, memberikan perlindungan diri ke dalam dari hierarki dan keluar dari alam

sebagai suatu badan hukum negara yang tertutup sehingga akan makin sulit

keadilan dicapai. Karena keadilan adalah suatu keadaan di mana penghisapan atas

manusia oleh manusia lainnya tidak ada lagi.

Di sinilah menurut, penyusun titik temu atau benang merah antara

pemikiran Karl Marx dengan gerakan atau aliran CLS yang akan dibahas dalam

bagian berikutnya. Kesamaan atau benang merah keduanya, tampak sekali pada

saat keduanya memandang hukum yang sarat dengan berbagai anasir terutama

sekali kepentingan politik. Jika Marx, secara tegas mengatakan ini adalah akal-

akalan semata kaum borjuis untuk melegitimasi penghisapan oleh negara. Tidak

halnya CLS, yang lebih pada upaya membongkar kungkungan kaum konservatif.
25

DAFTAR PUSTAKA

Budha Kusumandaru Ken, Karl Marx, Revolusi, dan Sosialisme, Yogyakarta:

Insist Press, 2003.

Brotosusilo Agus & Jufrina Rizal, Bahan Bacaan Program Magister Filsafat

Hukum Buku Ke-II, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Jakarta, 2001.

Elster Jon, Karl Marx : Marxisme – Analisis Kritis, Jakarta: Prestasi Pustakaraya,

2000.

Hunt Alan, Marxist Theory of Law, dalam Dennis Patterson ed., A Companion to

Philosophy of Law and Legal Theory, Massachusetts: Blackwell Publishers

Ltd., 2000.

Richard A. Posner , Frontier Legal Theory, Harvard University Press, 2001, hlm

13-15, dapat dilihat pada Salmas Otje dan Sutanto Anthon,dalam Teori

Hukum, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, PT. Refika Aditama 2005.

Hal. 124.

Sulistijo Surya Kirana, The Future Legal Scholarship and the Search for a

Modern Theory of Law, hlm. 1.

Marx Karl, “Kata Pengantar Pada Sebuah Sumbangan Untuk Kritik Terhadap

Ekonomi Politik”, 1859, dapat diakses dalam

http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1859/pengantar-

kritik.htm.

Anda mungkin juga menyukai