DISUSUN OLEH:
KELOMPOK III
ANJAR MAULITFIANI (1406563790)
DILLA NAMIRA (1406569711)
HILWAN GIVARI (1406617950)
MARCO ALDO (1406577713)
0
ABSTRAK
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Booming-nya “hallyu” di pasar internasional dalam satu decade
belakangan jelas bukan merupakan kebetulan. Dimana jika mengacu pada
hasil kajian berbagai analis mengenainya – semisal Hong (2014) yang
meramu fenomena tersebut ke dalam kalimat: “The Birth of Korean Cool:
How One Nation Is Conquering the World Through Pop Culture” – kita
akan memahami secara umum bahwa selain karena memang negara melalui
berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintahannya dari era 70-an
sampai sekarang tampak secara konsisten berkomitmen untuk mendorong
terus keberadannya hingga menjadi sebuah “arus” budaya yang bisa
meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi bagi Korea Selatan hingga bisa
menjadi pusat perekonomian Asia-hingga bahkan dunia,1 faktor lain yang
amat signifikan bisa membuat hal tersebut terjadi adalah karena memang
berbagai konten kultur yang muncul dalam “hallyu” selama ini semisal K-
pop, K-drama dan semacamnya tidak pernah melawan keberadaan budaya
komnsumerisme global yang saat ini masih menjadikan Amerika Serikat
sebagai kiblat utamanya. Malahan yang terjadi sebaliknya, yaitu justru ikut
mendukungnya.2
Sekalipun Sung Tae Ho (2010) – Seorang senior Manajer di KBS
(Korean Broadcasting System) yang merupakan salah satu dari empat
perusahaan jaringan Televisi Korea – pernah menjelaskan kepada khalayak
internasional melalui CNN bahwa berbagai konten lifestyle yang diproduksi
dalam “hallyu” selama ini: “So based upon that cultural
background...respect the father and mother and a very hierarchical society
and Confucianism,"3, akan tetapi hal itu mesti tetap kita anggap sebagai
bagian dari cara bisnis media hiburan di Korea Selatan untuk mengekspansi
1
Hong, E. (2012) The Birth of Korean Cool: How One Nation Is Conquering the World Through
Pop Culture. New York: Picador. Hlm. 4 -6
2
Hong, E. (Ibid.)
3
'Ho, S.T. Dalam Farra L. (2010) Korean Wave' of pop culture sweeps across Asia. Dalam
http://edition.cnn.com/2010/WORLD/asiapcf/12/31/korea.entertainment/index.html?iref=NS1
Diakses pada 5 Oktober 2016 Pukul 04:05 WIB.
2
halyu dengan memanfaatkan segmentasi pada pasar global yang memang
sudah secara natural akan membentuk ruang bagi berbagai konten-konten
alternatif di luar pop kultur Amerika Serikat berdasarkan tingkat kejenuhan,
selera, serta kultur konsumen yang berbeda-beda di berbagai belahan dunia.
Mengingat, jika kita berkaca pada hasil-hasil kajian studi para sarjana Korea
yang menganalisis konten-konten yang dimunculkan “hallyu” dari dari sisi
wacana - seperti misalnya Jeong (2010) yang secara spesifik membahas
tentang pengaruh budaya Amerika Serikat di berbagai melodrama korea (K-
drama), kita akan paham bahwa sebenarnya berbagai konten lifestyle yang
dimunculkan oleh “hallyu” merupakan hasil “lokalisasi” pop-kultur
Amerika Serikat ke dalam kebudayaan Korea Selatan yang memang telah
eksis dan berlaku dominan mempengaruhi gaya hidup masyarakat Korea
sejak era 60-an.4
Bahkan dengan bahasa yang lebih kritis – seperti disampaikan oleh
Lee (2012) dalam tulisannya yang mengkaji pengaruh produk budaya
kontemprorer tersebut ke dalam konteks perubahan gaya hidup perempuan
korea saat ini – kita akan dapat menyadari bahwa ternyata berbagai konten
lifestyle yang dimunculkan “hallyu” seperti sekarang ini merupakan bagian
dari wacana imperialisme budaya global yang menciptakan inferiority
complex bahwasanya Bangsa Korea yang menjadi bagian dari ras asia
memilki posisi yang lebih rendah jika dibandingkan dengan ras eropa.
Melalui ideologi berbasis kecantikan yang disebut Lee (ibid) dengan
“lookism”5
Akan hal mengapa kemudian produk-produk lifestyle yang notabene
memiliki konten-konten imperialisme itu dapat diterima oleh masyarakat
Korea seperti sekarang ini, jawabannya jelas akan berpulang pada
keberadaan mekanisme de-politisasi yang memang telah sengaja diciptakan
sedemikian rupa oleh oleh unit-unit yang berkepentingan di balik
keberadaan Halyu seperti misal korporasi-korporasi – terutama di bidang
4
Jeong, K.Y. (2011) Crisis of Gender and the Nation in Korean Literature and Cinema:
Modernity Arrives Again. Hlm. 3
5
Lee, S.H. (2012) The (Geo) Politics Of Beuty: Race, Transnationalism, dan Neoliberalism In
South Korean Beuty Culture. Michigan: The University of Michigan. Disertasi Tidak Diterbitkan.
Hlm. 201
3
bisnis media, hiburan hingga bahkan kecantikan – bersama dengan negara
untuk dapat mengemas berbagai konten-konten yang sejatinya negatif
tertanam di dalam “hallyu” menjadi dikesankan positif di dalam kesadaran
masyarakat sehingga bisa diterima dan menjadi bagian yang tidak dapat
terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Apalagi dengan
memperhitungkan kenyataan bahwa saat ini “halyu” telah bisa memberikan
pengaruh positif bagi pertumbuhan GDP perkapita masyarakat. Maka
dengan kondisi ini, wajar rasanya bilamana kemudian banyak orang-orang
Korea saat ini yang menganggap bahwa produk kultur yang di dalamnya
terdapat nilai-nilai yang merendahkan diri Bangsa Korea Selatan itu – justru
– malah tampil menjadi sesuatu yang dianggap membanggakan mereka.
Jika kita memperhatikan diskursus mengenai “hallyu” yang
berkembang di dalam negeri Korea Selatan saat ini, rasanya salah jika kita
menilai bahwa semua Orang Korea Selatan bersikap mendukung
sepenuhnya hallyu bersama dengan nilai-nilai imperialism budaya yang
dikandungnya. Mengingat, meskipun kedudukannya di wacana jelas
berposisi minor, akan tetapi keberadan gerakan-gerakan di masyarakat –
khususnya yang berasal dari kalangan perempuan – seperti misal yang
dicontohkan oleh kelompok “womenlink” di dalam paper ini, telah dapat
menunjukan adanya kesadaran dari dalam masyarakat Korea sendiri untuk
melawan berbagai nilai negatif yang terdapat di dalam hallyu. Dimana
dengan menciptakan kampanye-kampanye yang sifatnya lebih praktikal
bertajuk “politic of everyday life”, womenlink – yang sejak tahun 90-an telah
secara eksis mengkampanyekan kepada masyarakat Korea tentang nilai-nilai
negatif di dalam hallyu seperti halnya gaya hidup operasi plastik
“knifestyle”; konsumerisme; hingga budaya individualis wanita karier korea
yang tidak perlu menikah”; dan semacamnya – tampak jelas bisa dijadikan
sebagai sebuah penanda dalam wacana yang memperlihatkan bahwa upaya
untuk me re-politisasi hallyu telah ada di dalam diri masyarakat Korea.6
6
Lee, S.H. (Ibid.) Hlm. 195-202
4
B. Pertanyaan Permasalahan
Dengan mengasumsikan bahwa dua hal seperti halnya telah
disinggung diatas yakni: (1) Depolitisasi yang terjadi atas konten-konten
kultur imperialisme Amerika Serikat di dalam hallyu hingga bisa diterima
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat; Serta (2) Peran aktif dari
Pemerintah Korea Selatan – dengan berbagai kebijakan yang
dimunculkannya – guna menciptakan “hallyu” hingga menjadi sebuah arus
budaya ekspansif guna mendukung laju pertumbuhan ekonomi negaranya,
sebagai faktor-faktor yang dianggap signifikan dalam me-leading eksistensi
“hallyu” baik di dalam maupun luar negeri sehingga bisa besar seperti
sekarang, maka, agar lebih bisa mendapatkan analisisnya pada kedua dua
unit analisa tersebut menjadi lebih jelas, kelompok kami juga akan
menyertakan pembahasan mengenai gerakan womenlink – sebagaimana
telah dijelaskan diatas - untuk dapat mempertegas keberadaan videologi atas
kultur imperalisme amerika Serikat kepada masyarakat Korea serta
memperlihatkan keberadaan penentangan yang muncul di dalam masyarakat
Korea Selatan atas konten-koten imperialisme tersebut.
Sehingga, jika dirinci, pertanyaan-pertanyaan yang akan coba di
jawab dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk depolitisasi yang terjadi atas konten-konten kultur
imperialisme Amerika Serikat di dalam “hallyu” hingga bisa diterima
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat seperti saat ini?
2. Bagaimana bentuk peran aktif yang dilakukan pemerintah sehingga
bisa menciptakan “hallyu” menjadi sebuah arus budaya ekspansif
guna mendukung laju pertumbuhan ekonomi negaranya?
3. Bagaimana bentuk kampanye yang dilakukan “Womenlink” untuk
melawan kultur imperialisme Amerika Serikat yang terdapat dalam
“hallyu”?
5
C. Kerangka Teori
Jika dibahas dengan menggunakan konsep atau teori seperti halnya
Videologi (dalam term Mcdonalization) dari Benjamin Barner (1992) dan
Flow-Counter Flow Information (dalam kajian Dependency Theory) dari
Andree Gunder Frank yang masing-masing dipahami sebagai: “a post-
modem ideology that trumpets materialism and consumption as ends in
themselves through the powerful medium of homogenized, U.S.-style
telecommunications”7 (Videologi), dan “Flow-Counter Flow Information”
sebagai:
“the unidirectional nature, or the imbalance in international
information flow, is caused by the politico-economic structure of
the capitalist system, and they insist that the one-way flow of
information is a reflection and a result of domination of the
First World and its exploitation of the Third World”8
7
Barber (1995) Dalam Fidler (1996). Reflections on the McRevolution: A Review of Jihad vs.
McWorld: How the Planet is Both Falling Apart and Coming Together and What This Means for
Democracy, by Benjamin R. Barber. Indiana: Indiana Journal of Global Legal Studies. Hlm. 504
8
Kim, M. (2011) The Role of the Government in Cultural Industry: Some Observations
Introduction From Korea’s Experience. Keion Communication Review No. 33 2011. Hlm. 3
6
dimunculkannya sehingga bisa menciptakan hallyu menjadi sebuah arus
budaya ekspansif guna mendukung laju pertumbuhan ekonomi negaranya.
Kedua, dengan menggunakan konsep atau teori videologi
“mcworld” kita akan memahami bahwa mengapa kemudian konten-konten
kultur yang sejatinya bersifat imperialiatif dari Amerika Serikat kepada
Korea bisa menjelma menjadi bagian dari budaya keseharian masyarakat
adalah karena keberadaan media Amerika Serikat pada selama masa perang
Korea hingga saat ini yang memang terlihat begitu mendominasi wacana
untuk dapat mempopulerkan berbagai bentuk superioritas atas ras. Dimana
dengan membungkus konten-konten –yang sejatinya bersifat imperialis –
tersebut dengan pesan-pesan lifestyle konsumerisme di bidang hiburan yang
sifatnya a-politis Sehingga menghasilkan apa yang dsebut oleh Jeong
(Opcit.): “resulted in divergence from traditional hierarchical and gender
roles and even challenged the patriarchal social order”.9
9
Jeong (Opcit.). Hlm. 159
7
BAB II
PEMBAHASAN
10
Cologne (2013) Power Of Culture – Hallyu, The Korean Wave. Dalam http://globe-
one.com/power-of-culture-hallyu-the-korean-wave-4636/ Diakses pada 3 Oktober 2016 Pukul
01:00 WIB
8
pertanda liberalisasi Korea Selatan, kebebasan dalam berekspresi. Namun
layaknya artis, mereka juga mendapat berbagai macam masalah mulai dari
masalah ekonomi seperti pembajakan, sampai ke eksploitasi dimana banyak
dari artis-artis perempuan di eksploitasi oleh para politisi, manager, sponsor-
sponsor kaya sebagai pekerja seks bayaran.
Dari “K-local-Pop” menjadi “K-Pop”, hallyu dimulai saat para artis
merasa pendapatan mereka kurang karena di Korea mereka hanya bisa
mengandalkan penampilan di TV dan radio. Artis – artis ini mulai mencari
pasar baru diluar negeri. Seo Taiji and Boys yang memulainya dengan
kesuksesan mereka di Jepang. Awalnya memang pada tahun 2000, ada
sebuah larangan berumur 50 tahun atas pertukaran budaya populer antara
Jepang dan Korea, namun larangan itu mulai memudar, hal itu menjadi awal
mula masuknya hallyu kedalam industri musik Jepang.11 Namun, hal itu
sepertinya juga tidak bisa dijadikan sebagai satu-satunya penanda bagi
kemajuan hallyu. Mengingat, tanpa menyertakan keberadaan orang-orang
seperti Soo Man Lee – pendiri SM Entertainment – beserta dengan agensi-
agensi aktris lainnya yang bisa melihat dan meramu berbagai konten-konten
hiburan di dalam K-Pop agar bisa lebih diterima di dunia Internasional,
kebesaran hallyu seperti sekarang akan sulit tercapai. Kesuksean besar BoA
di Jepang bersama dengan SM Entertainment yang mempromosikannya
pada era awal abad XXI, tampak jelas bisa dijadikan contoh kasus yang baik
mengenai hal ini. Dimana akibat kesuksesan tersebut, agensi-agensi sejenis
semisal YG Entertainment, dan JYP Entertainment dapat muncul di pasaran
industry ini guna menjadi pesaing bagi SM Entertainment.
Selain itu, keberadaan pengaruh besar dari Pemerintah Korea Selatan
jelas tidak bisa dihiraukan juga. Mengingat setelah pada tahun 1997 Kim
Dae-Jung selaku Presiden Korea Selatan memutuskan untuk menggunakan
hiburan sebagai alat yang dapat mengembangkan ekonomi dengan
membentuk sebuah badan agensi bernama Agensi Konten Kreatif Korea
yang bertugas untuk menyebarkan kebudayaan Korea Selatan kepada dunia
keberadaan berbagai konten budaya seperti K-Pop, K-Drama, dan lain
11
Ingyu, O. dan Lee, H.J (2013) K-Pop in Korea: How the pop music industry is changing a post-
developmental society. http://cross-currents.berkeley.edu/e-journal/issue-9. Hlm. 13
9
sebagainya mulai secara intensif di upayakan sedemikan rupa oleh
pemerintah agar bisa menjadi motor penggerak kemajuan ekonomi. Dengan
berbagai kajian serius yang dilakukan di dalamnya, AKKK bahkan bisa
dibilang sebagai agen yang memberikan fondasi bagi kemajuan K-Pop dan
K-Drama. Dan bahkan dengan menggandeng berbagai otoritas penyiaran
Korea Selatan yang ada, AKKK menjalankan program-program promosi
“hallyu” ke dunia internasional – khususnya Asia – melalui jaringan-
jaringan TV di berbagai negara seperti India, Indonesia dan Thailand pada
bulan Mei dan Juni 2005. Lewat mekanisme inilah kemudian berbagai
bentuk hiburan asal Korea Selatan ntersebut dapat ditonton oleh masyarakat
diluar Korea.
Jika dilihat dalam konteks ini, kelompok kami melihat ada 3 alasan
structural mengapa “hallyu” dapat berkembang dan meraih kesuksesan.
Pertama, adanya kesempatan yang diberikan Pemerintah. Seperti mungkin
kita ketahui bersama, awal mulanya ada banyak pensensoran yang dilakukan
oleh militer di Korea Selatan, namun seraya hal tersebut dicabut, generasi
muda Korea semakin berani untuk bereksperimen dengan musik barat,
namun faktor global yang terpenting adalah lahirnya industry musik digital,
dan dirangkainya jejaring internet diseluruh dunia serta teknologi streaming
video12.
Kedua, adanya sistem “dumping” aturan industri hiburan. Dimana
dengan cara memperketat berbagai regulasi ke dalam, namun justru
mempermudahnya keluar, Pemerintah tampak benar memaksa Para Agensi
dunia hiburan agar selalu berorientasi untuk memasarkan produk-produknya
ke luar. Seperti misalnya yang terjadi pada industri bidang musik. Dimana
ketimbang melakukan rekaman di dalam negeri yang memiliki aturan sangat
ketat, Para agensi bisnis musik di Korea tampak lebih memilih perusahaan-
perusahaan rekaman di luar negerinya, terutama Jepang untuk
melakukannya. Karena, selain tentu saja lebih murah dan efektif dalam
rangka promosi, pemilihan perusahaan-perusaahan Jepang sebagai lokasi
perekaman juga berguna untuk memperkecil munculnya pembajakan
12
Ingyu, O. dan Lee, H.J (Ibid.). Hlm. 9
10
dengan aturan-aturan ketat yang ada. Ketiga, kreatifitas seniman-seniman.
Meskipun berbagai konten yang dimunculkan dalam hallyu bersifat hybrid
atau trans nasional, para seniman Korea Selatan bisa dibilang sangat kreatif
dalam merangkai karyanya, terutama K-Pop. K-Pop sendiri memiliki
elemen-elemen yang tidak banyak ditekankan oleh hiburan dari negara lain
yaitu tarian, dengan tarian yang kompleks dan sangat mengutamakan
presisi, bahkan mereka yang tidak mengerti bahasa korea dapat terkesima
dengan tarian artis – artis band asal negara tersebut.
13
Montira, Tada amnuaychai.(2006) Korean Media Industry and Its Cultural Marketing Strategy
of K-pop, Asia Culture Forum 2006 Paper. Hlm. 2
14
Doobo, S. (2011) Waxing the Korean Wave. ARI Working Paper, No. 158, June 2011,
www.nus.ari.edu.sg/pub/wps.htm, Hlm 27.
11
baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri untuk melakukan hal yang
sama. Dalam 5 tahun terakhir saja, industri operasi plastik di Korea Selatan
menjadi terkenal dalam dunia Internasional.15
Jika ditelusuri, standar kecantikan dalam hallyu sebenarnya
mengandung konten-konten imperialisme Amerika Serikat. Hal ini didasari
dengan asumsi bahwa standar kecantikan yang dibentuk oleh para bintang
“hallyu” ialah wajah dan badan yang terlihat putih, tinggi, langsung, tidak
bermata sipit, hidung mancung seperti halnya yang ditunjukan oleh Ras
eropa tapi tidak dimiliki oleh Ras Asia seperti Bangsa Korea. Dimana
dengan memunculkan sosok penampilan seperti “Barbie” – produk boneka
Amerika Serikat – para actor dan aktris “hallyu” terlihat jelas mendorong
terciptanya gaya hidup operasi plastik di tengah masyarakat Korea Selatan
hingga mendorong pertumbuhan industri bisnis operasi plastic di Korea
sampai menjadi besar dan terkenal seperti sekarang ebagai “pusat operasi
plastik dunia” yang banyak mendorong orang-orang dari berbagai negara di
Asia untuk melakukan operasi plastic di sana. Seperti misal yang dijelaskan
oleh Elizabeth F.S dan and Nancy Scheper-Hughes (2011) bahwa:
15
Lee, S.H (Opcit). Hlm. 36
16
Roberts and Scheper-Hughes, N. (2011) Introduction: “Medical Migrations” Body & Society
17:1. Hlm. 19
17
Lee, S.H (Opcit.). Hlm 38
12
Selatan sejak tahun 1990-an telah ada. Dimana dengan mencitrakan nilai-
nilai kecantikan barat sebagai standar, berbagai prosedur operasi yang
biasanya dilakukan oleh masyarakat Korea Selatan adalah pengangkatan
“eye lid”, pemancungan hidung, dan penanaman botox pada payudara.
Akan hal mengapa kemudian hal tersebut bisa terjadi, jawabannya
menurut Sharon (Ibid) adalah karena gencarnya penanaman standar
kecantikan Amerika Serikat di Korea Selatan melalui konten-konten dunia
hiburan yang begitu massif ditampilkan di media-media Korea Selatan.
Terutama – sebagaimana di analisa oleh Sharon (Ibid) – acara TV Amerika
Serikat bernama “The Oprah Winfrey Show” tampak mesti dilihat menjadi
agen yang penting. Karena, selain mencontohkan beberapa tayangan yang
pada kurun waktu awal tahun 2000-an secara konsisten mempopulerkan
keberhasilan prosedur-prosedur operasi plastik di Korea Selatan dengan
mengundang perempuan-perempuan Korea Selatan untuk berulang kali
datang ke media Amerika Serikat guna berbicara tentang konsumsi operasi
plastik di Korea Selatan yang dilakukan mereka, Sharon (Ibid) dalam
tulisannya juga bisa memperlihatkan kepada kita semua bahwa memang
acara TV garapan “Harpo production” - yang dimiliki Oprah Winfrey
sendiri juga telah ikut menanamkan standar kecantikan “Amerika Serikat”
di benak masyarakat Korea.18
Dimana dengan mencontohkan satu tayangan di dalam “The Oprah
Winfrey Show”pada 2004 yang mengundang Ling, salah seorang dokter
operasi plastik asal Korea Selatan untuk berbicara tentang standar
kecantikan dalam operasi plastik di Korea Selatan, Sharon (Ibid)
menuliskan bahwa di mana dalam kesempatan itu, Ling, menjelaskan bahwa
standar kecantikan yang diciptakan dalam operasi plastik ialah untuk
membuat bentuk wajah dan tubuh proporsional seperti halnya, tinggi, putih,
langsing, mancung, dan sebaganya. Dimana jika ditarik ke dalam konteks
ras, standar kecantikan yang berusaha diciptakan dalam operasi plastik di
Korea Selatan ialah “untuk menjadi putih” dan “tidak untuk menjadi hitam”
serta“ menjadi lebih cantik ketika terlihat lebih ke Barat-barat-an”.
18
Lee, S.H. (Opcit.). Hlm. 40
13
Perbincangan tersebut disampaikan oleh Ling dalam acara Oprah Winfrey
Show. Term “putih” dalam hal ini merepresentasikan satu ras kulit putih di
Amerika Serikat. Singkatnya, isu standar kecantikan untuk menyerupai ras
tertentu ini ada secara implisit mengandung imperial rasisme dalam pilihan
perempuan Korea Selatan yang menjalani pilihan operasi plastik.19
19
Lee, S.H. (Opcit.). Hlm. 40
20
Kim Bok-rae (2015) Past, Present and Future of Hallyu (Korean Wave), South Korea: Andong
National University. Hlm. 3.
21
NYE, J.S (2016) Soft Power and Higher Education, accesed from
https://library.educause.edu/resources/2005/1/soft-power-and-higher-education Diakses 5 Oktober
2016 Pukul 01:00 WIB.
14
namun dengan adanya kebijakan yang dibuat pemerintah maka perspektif
akan hal tersebut menjadi berubah yaitu peran negara Korea Selatan yang
kini menjadi negara pengirim informasi22. Sebelum memulai mengekspor
produk kebudayaan, pemerintah Korea Selatan menerbitkan kebijakan-
kebijakan yang kemudian akan menciptakan potensi besar bagi
perkembangan “hallyu”. Kebijakan yang mendorong terciptanya “hallyu”
pada saluran televisi dalam negeri Korea Selatan dimulai pada tahun 1980-
an ketika pemerintah militer melarang penayangan acara televisi asing pada
jam-jam prime time karena alasan-alasan politis, padahal saat itu televisi
Korea Selatan sedang gencar-gencarnya menayangkan acara televisi yang
diimpor dari Amerika. Pada masa rezim otoritarian yaitu tahun 1962-1992
pemerintah mengatur ketat penyiaran televisi untuk kepentingan politik,
sehingga televisi dijadikan sarana pembentukan masyarakat sesuai visi misi
pemerintah.
Kebijakan tersebut menyebabkan persaingan acara televisi domestik
semakin ketat serta standar kualitas acara menjadi tinggi. Untuk industri
perfilman, semenjak tahun 1960 pemerintah telah melakukan cencorship
untuk mengatur konten, produksi, dan distribusi perfilman sehingga
persyaratan yang ada cukup ketat. Selain itu, adanya The Law of Cinema
juga mereduksi jumlah perusahaan perfilman Korea Selatam. Sistem
perizinan juga dipersulit dimana perusahaan perfilman harus harus meminta
perizinan pemerintah melalui registrasi yang berisikan rincian pembuatan
film hingga publikasi film tersebut. Jumlah perusahaan perfilman yang
semakin berkurang dan ketatnya persyaratan cencorship dikhawatirkan akan
menyebabkan kejenuhan masyarakat terhadap perfilman domestik Korea
Selatan. Hal ini menjadi salah satu pendorong terciptanya industri perfilman
yang kreatif dan menarik minat masyarakat. Mengingat Korea sebelumnya
sangat dipengaruhi oleh Amerika dan Jepang, maka kebinyakan pemerintah
dalam hal hiburan dan penyiaran sangat berfokus pada penghapusan
pengaruh-pengaruh asing dalam penyiaran domestik Korea23.
22
Kim, M. (2011) The Role of the Government in Cultural Industry; Some Observations From
Korea’s Experience. Keion Communication Review No. 33 2011. Hlm. 2.
23
Kim, M. (Ibid.). Hlm. 11
15
Perubahan kebijakan mulai terjadi pada tahun 1990 dimana
pemerintah mulai mendukung perkembangan penyiaran di Korea Selatan.
Pada saat itu penayangan program asing sudah diperbolehkan dengan
persyaratan distribusi kuantitatif24. Kebijakan yang menyokong diadakannya
perdagangan industri diatur oleh Biro Industri Budaya pada tahun 1993.
Kemudian pada tahun 1998 Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata
mengumumkan rencana untuk mendukung industry penyiaran dengan cara
mendukung produksi, distribusi, pengembangan sumber daya manusia, dan
infrastruktur untuk menjalankan industri penyiaran secara maksimal25.
Sedangkan dukungan pemerintah dalam industri perfilman terlihat dengan
dibentuknya Korean Motion Picture Promotion Corporation (KMPPC)
yang dananya berasal dari keuntungan impor film asing yang masuk ke
korea26. KMPPC ini juga membantu publikasi film-film korea ke pasar
perfilman internasional.
Pemerintah korea kemudian mendirikan Korean Academy of Film
Arts (KAFA) untuk fokus mengembangkan dan menciptakan pembuat film
handal yang ditujukan untuk bersaing dalam pasar internasional. Selain itu
dukungan yang diberikan pemerintah dalam mengembangkan industri
perfilman juga mencakup dukungan produksi, infrastruktur, dan distribusi.
Hingga kini kebijakan dan dukungan yang diberikan pemerintah terus
berjalan, sehingga banyak yang menyatakan bahwa pemerintah korea
tampak lebih tertarik untuk menjual produk “hallyu” dibandingkan
mempromosikan atau meningkatkan kualitas dari budaya korea saat ini 27
24
Kim, M. (Ibid.). Hlm. 11
25
Kim, M. (Ibid.). Hlm. 12
26
Kim, M. (Ibid.). Hlm. 13
27
Bok-rae, K. (2015) Past, Present and Future of Hallyu (Korean Wave). South Korea: Andong
National University, Hlm. 6.
16
dengan nilai-nilai imperialism budaya yang dikandungnya. Mengingat,
meskipun kedudukannya di wacana jelas berposisi minor, akan tetapi
keberadan gerakan-gerakan di masyarakat – khususnya yang berasal dari
kalangan perempuan – seperti misal yang dicontohkan oleh kelompok
“womenlink” di dalam paper ini, telah dapat menunjukan adanya kesadaran
dari dalam masyarakat Korea sendiri untuk melawan berbagai nilai negative
yang terdapat di dalam hallyu. Dimana dengan menciptakan kampanye-
kampanye yang sifatnya lebih praktikal bertajuk “politic of everyday life”,
womenlink – yang sejak tahun 90-an telah secara eksis mengkampanyekan
kepada masyarakat Korea tentang nilai-nilai negatif di dalam hallyu seperti
halnya gaya hidup operasi plastik “knifestyle”; konsumerisme; hingga
budaya individualis wanita karier korea yang tidak perlu menikah”; dan
semacamnya – tampak jelas bisa dijadikan sebagai sebuah penanda dalam
wacana yang memperlihatkan bahwa upaya untuk me re-politisasi “hallyu”
telah ada di dalam diri masyarakat Korea.28
Womenlink sendiri sebenarnya dapat diklasifikasi ke dalam sebuah
gerakan feminis di Korea Selatan yang memililki tujuan untuk merubah cara
pandang kehidupan perempuan Korea Selatan yang – menurut para
aktivisnya – masih di dominasi oleh negara dan hubungan segitiga kolonial
Amerika Serikat dan Jepang. Dimana jika ditelusuri lebih lanjut menurut
Sharon (Opcit), sebagai sebuah gerakan perempuan, keberadaan
“Womenlink” sebenarnya bisa dikaitkan secara historis dengan gerakan-
gerakan sosial perempuan Korea yang sudah aktif sejak masa kolonialisme
Jepang untuk mengkampanyekan nilai-nilai nasionalisme dengan mengajak
para wanita Korea berdemonstrasi di garis depan guna menuntut
kemerdekaan Korea dari Jepang seperti yang dilakukan mereka pada awal
Maret 1919.29 Dimana setelah masa kolonialisasi berakhir, di zaman
kediktatoran Park Chung-hee, aktivitas politik gerakan perempuan Korea
tampak muncul lagi ke permukaan. Dengan mengangkat isu bahwa di era-
era tersebut banyak perempuan yang dijadikan pekerja murah dan
28
Lee, S.H. (Opcit.) Hlm. 195-202
29
Lee, S.H. (Opcit.)
17
dipekerjakan terlalu berat, maka tak ayak jika gerakan perempuan Korea
saat itu banyak diisi oleh para pekerja pabrik perempuan sebagai aktivis
yang menuntut dihadirkannya keadilan oleh pemerintah..
Hari ini, “Womenlink” adalah organisasi feminis terbesar, dan paling
aktif di Korea Selatan. Salah satu kampanye yang diserukan “Womenlink”
saat ini adalah kampanye “Love Your Body”, dimana kampanye ini sangat
terkait dengan sisi yang sedikit gelap dari budaya populer Korea dimana
setiap perempuan digambarkan sebagai figur dengan wajah cantik, tubuh
langsing indah, dan kulit yang mulus, namun dibalik itu ada diet yang
mengedepankan kecantikan luar tanpa memperdulikan kesehatannya,
operasi kosmetik, dan rasa tidak pernah puas. Hal ini tidak jarang memberi
beban pada perempuan korea generasi muda untuk mencapai kepercayaan
diri. Beban tersebut memiliki berat yang berbeda bagi tiap orang namun
tidak sedikit yang melakukan operasi pelastik untuk menghilangkannya.
Wajah simetris, proporsional dengan ukuran kecantikan budaya barat yang
saat ini sering disebut sebagai “wajah cantik” serasa menjadi tuntutan
dewasa ini sampai pada titik dimana muncul kata “Knifestyle”.
“Knifestyle” sendiri menjadi perlambangan bagaimana tuntutan
kecantikan di Korea Selatan memanipulasi generasi muda untuk tidak puas
dengan apa yang mereka miliki secara natural. Mereka tidak lagi puas
dengan cirikhas etnik yang sudah terberi pada mereka. Beberapa isu yang
telah disebutkan tersebut adalah yang menjadi perhatian bagi “Womenlink”,
sudah cukup banyak manusia yang khawatir tentang mulai menyebarnya
paham “survival of the fittest” di kehidupan masyarakat, namun karena
tuntutan zaman, muncul lagi paham yang lebih aneh “survival of the
prettiest”.
18
BAB III
KESIMPULAN
19
DAFTAR PUSTAKA
Doobo, S. (2011) Waxing the Korean Wave. ARI Working Paper, No. 158, June
2011. www.nus.ari.edu.sg/pub/wps.htm..
Farra L. (2010) Korean Wave' of pop culture sweeps across Asia. Dalam
http://edition.cnn.com/2010/WORLD/asiapcf/12/31/korea.entertainment/ind
ex.html?iref=NS1 Diakses pada 5 Oktober 2016 Pukul 04:05 WIB.
Hong, E. (2012) The Birth of Korean Cool: How One Nation Is Conquering the
World Through Pop Culture. New York: Picador.
Ingyu, O. dan Lee, H.J (2013) K-Pop in Korea: How the pop music industry is
changing a post-developmental society. http://cross-currents.berkeley.edu/e-
journal/issue-9.
Jeong, K.Y. (2011) Crisis of Gender and the Nation in Korean Literature and
Cinema: Modernity Arrives Again. New York: Lexington Books.
Kim Bok-rae (2015) Past, Present and Future of Hallyu (Korean Wave). South
Korea: Andong National University.
Lee, S.H. (2012) The (Geo) Politics Of Beuty: Race, Transnationalism, dan
Neoliberalism In South Korean Beuty Culture. Michigan: The University of
Michigan. Disertasi Tidak Diterbitkan.
Montira, Tada amnuaychai. (2006). Korean Media Industry and Its Cultural
Marketing Strategy of K-pop. Asia Culture Forum 2006 Paper.
20
Roberts and Scheper-Hughes, N. (2011) Introduction: “Medical Migrations”
Body & Society.
21