Anda di halaman 1dari 9

NURINTAN MAGRIANDINI_071811233104_UAS SHKD 2022

UJIAN AKHIR SEMESTER STUDI HUBUNGAN KULTUR DUNIA

1. Bahwa kemunculan budaya populer Korea (K-Wave) merupakan bentuk


dari imperialisme kultural dalam studi hubungan kultural dunia

Jawaban: 351

Setuju

Imperialisme budaya mengandung makna negatif tentang kekuatan,


penguasaan, dan kontrol. Sebagian besar diskusi tentang imperialisme budaya
menempatkan media, televisi, film, radio, media cetak, dan periklanan, sebagai
pusatnya. Karenanya imperialisme media adalah cara yang umum untuk
membicarakan tentang imperialisme budaya (McQuail, 2010). Media adalah
agen konstruksi dan karenanya mampu membentuk identitas, citra, dan opini
publik tertentu (Rianto, dkk, 2012). Ia juga menjadi titik pusat untuk memahami
kehidupan sehari-hari dalam peongertian keindahan dan kemanfaatan (Deuze
dalam Holt dan Perren, 2009). Ide ini yang ditangkap oleh media sehingga
merakit produk-produk budaya dalam jumlah besar dengan kontinuitas yang
tinggi pula, dan sekaligus mampu mendistribusikannya secara efektif ke
berbagai pelosok dunia. Perusahaan media tahu cara mentransformasikan setiap
produknya menjadi semangkuk sup lezat berisi pengalaman-pengalaman “yang
tidak boleh dilewatkan” (Smiers, 2009). Sayangnya, ide tersebut tidak
ditangkap oleh media di Indonesia dalam rangka memajukan budaya dalam
negeri. Melalui fenomena gelombang Korea, kita bisa menempatkan dua negara
penjajah dan yang terjajah budayanya.

Korea, tidak dengan instan memperoleh kesuksesan dalam industri budaya pop.
Sekitar 1990-an, secara sangat rahasia, pemerintah Korea memberi beasiswa
NURINTAN MAGRIANDINI_071811233104_UAS SHKD 2022

besar-besaran kepada artis dari berbagai bidang seni untuk belajar di AS dan
Eropa. Dari sinilah kemudian muncul deretan artis Korea yang populer saat ini.
Namun industri budaya Korea tidak parsial. Ia terintegrasi dari berbagai lini
kehidupan, mulai seni sampai lini makanan dan kosmetik bahkan industri
operasi plastik.

Globalisasi sebagai sebuah konsep yang mendominasi di era saat ini telah
menyentuh berbagai aspek kehidupan manusia dan dalam berbagai bidang. Tak
terkecuali aspek budaya dan identitas yang pada dasarnya bersifat dinamis dan
mengkuti perkembangan zaman. Salah satu dampak nyata globalisasi terhadap
budaya yaitu munculnya budaya global yang menjadi trend negara-negara di
seluruh dunia seperti westernisasi. Westernisasi merupakan budaya global yang
berisikan nilai-nilai budaya barat yang banyak di adopsi, di adaptasi, di tiru, dan
di anut oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia. Pada
perkembangannya, westernisasi mendapatkan rival sebagai budaya global yang
di tandai dengan munculnya Hallyu (Korean-Wave) yang dapat di katakan
sebagai westernisasi versi Asia. Korea-Wave sendiri merupakan trend budaya
yang sarat akan nilai-nilai budaya Korea Selatan. Kedua budaya global ini pun
memberikan pengaruh terhadap masyarakat Indonesia yang bertindak sebagai
konsumen budaya.

Referensi:

McQuail, D, 2010, Mass Communication Theory, edisi 6, Sage

Smiers, J, 2009, Arts Under Pressure, Insist Press


NURINTAN MAGRIANDINI_071811233104_UAS SHKD 2022

2. Bahwa prestise kultural dapat dicapai apabila suatu negara melakukan


eksportasi kultural terhadap dunia internasional dewasa ini.

Jawaban: 462

Setuju

Eksportasi kultural merupakan fenomena dimana budaya yang tersebar di luar


negara asli mengakibatkan negara mendapatkan pengakuan dan dipandang lebih
tinggi oleh negara lain. Beberapa aspek utama dalam memastikan kesuksesan
eksportasi kultural adalah diplomasi publik, nation branding, soft or smart
diplomacy, peralatan budaya atau cultural toolbox, industri kreatif, serta
dominasi pasar. Ada beberapa kemungkinan yang dapat diakibatkan eksportasi
kultural, yakni lunturnya budaya asli, serta reduksi nilai budaya menjadi materi
semata. Namun, jika dilakukan dengan benar, eksportasi kultural dapat menjadi
cara bagi negara untuk mencapai prestise.

Banyak negara yang berusaha melakukan eksportasi kultural, tetapi hanya


beberapa saja yang sukses melakukannya. Contoh negara yang sukses dalam
melakukan eksportasi kultural adalah Korea Selatan, yang berhasil
menyebarkan K-Pop dan, bersamaan dengan itu, menyebarkan budaya-budaya
Korea Selatan dan mengembangkan reputasinya di dunia internasional (Truan,
2014). Faktanya, eksportasi kultural bahkan menjadi salah satu kontributor
utama dalam perkembangan ekonomi Korea Selatan. Menurut Sacker (2014),
beberapa aspek utama dalam memastikan kesuksesan eksportasi kultural adalah
diplomasi publik, nation branding, soft or smart diplomacy, peralatan budaya
atau cultural toolbox, industri kreatif, serta dominasi pasar. Dalam
menyukseskan eksportasi kultural, diperlukan komitmen dalam pelestarian dan
pengembangan industri kreatif. Selain itu, Sacker (2014) juga menekankan
pentingnya hubungan yang setara dalam relasi antarnegara, sehingga dapat
meningkatkan kemungkinan suksesnya eksportasi kultural.
NURINTAN MAGRIANDINI_071811233104_UAS SHKD 2022

Dalam paragraf di atas, telah disebutkan beberapa aspek utama yang, jika
dikembangkan dengan benar, dapat memastikan suksesnya eksportasi kultural.
Diplomasi publik, yang berperan sangat penting sebagai cara untuk membentuk
national branding, sangat diperlukan terutama oleh negara-negara kecil, untuk
membedakan dirinya dengan yang lain (Sacker, 2014). Dalam membentuk suatu
citra negara yang baru, diperlukan penggabungan antara persepsi lama, persepsi
asing, dan citra baru yang resmi, yang dikembangkan oleh pemerintah negara
tersebut. Pun, slogan yang dihasilkan juga tidak boleh memperlihatkan
kemiripan dengan negara lain. Akan tetapi, karakteristik negatif juga tidak boleh
sepenuhnya dihilangkan, melainkan harus diakui dan digunakan untuk
membentuk slogan itu sendiri. Misal, pembangunan infrastruktur yang masih
terbelakang dapat digunakan untuk membuat slogan seperti “negara yang
berkembang menjadi lebih baik” (Sacker, 2014).

Informasi yang semakin mudah untuk disebarluaskan ke skala global


memastikan bahwa kultur yang dikomersialisasi di negara asalnya akan sampai
ke suatu daerah nan jauh di sana. Seperti disinggung oleh dua paragraf awal,
Korea Selatan berhasil memasarkan kulturnya yang terdiri dari drama, musik,
hingga bentuk-bentuk produk budaya lainnya hingga ke tahap eksportase.
Selayaknya Hukum Newton Ketiga, setiap aksi akan selalu mendapatkan reaksi
tertentu dari yang merasakan-ketiadaan aksi untuk merespons pun tergolong
sebagai reaksi itu sendiri. Menurut penulis, salah satu implikasi diekspornya
bentuk kultur tertentu, terlebih dalam periode waktu yang berkepanjangan,
adalah potensi tereduksinya kesadaran “importir” kultur tersebut akan rule of
origin atau asal dari kultur itu sendiri. Meskipun produk budaya modern
sanggup dilindungi oleh peraturan dan standar kekayaan intelektual, kultur yang
lebih tradisional sekiranya luput dari perlindungan semacam ini kecuali
UNESCO turun tangan untuk memberikan kepastian rekognisi. 

Referensi:
NURINTAN MAGRIANDINI_071811233104_UAS SHKD 2022

Sacker, Ulrich. (2014). Exporting Culture in a Global World. In R. Henze, G.


Wohram (eds.), Exporting Culture: Which Role For Europe in a Global
World (pp. 85-95). Springer.

Truan, Brian. (2014). Korean Wave: Cultural Export and Implication,


Unpublished paper.

3. Bahwa debat antara universalisme - relativisme kultural berujung pada


dominasi salah satu perspektif dari perspektif lainnya.
Jawaban: 539 kata
Setuju

Perdebatan mengenai moralitas Asia dalam lingkup demokrasi menginfluensi


berbagai scholars untuk melakukan penelitian mengenai relasi yang cenderung
tumpah tindih. Moralitas ini berasal dari Singapura, dimana moralitas Asia yang
diprakarsai oleh Lee Kuan Yew selaku perdana menteri Singapura pada tahun
1959 hingga 1990. Pembentukan moralitas Asia sebelum kemudian
disempurnakan oleh Lee Kuan Yew juga mulai terbentuk atas modernitas dan
budaya dari masyarakat Singapura pada tahun 1976 dengan anggapan
bahwasannya demokrasi liberal tidak kompatibel dengan kultur Asia
(Subramaniam, 2000). Setidaknya terdapat tiga komponen yang membentuk
moralitas Asia dalam masyarakat Singapura, yakni: (1) komponen yang
formatif; (2) komponen yang reaktif; dan (3) komponen yang pragmatif. Dalam
komponen yang bersifat formatif, moralitas Asia mencoba mengidentifikasikan
nilai-nilai universalitas dari demokrasi yang membentuk pembangunan negara
dan pertumbuhan ekonomi di Singapura. Moralitas Asia secara formatif juga
membawa poin-poin tradisional pada kepercayaan, kebiasaan, institusionalisasi,
dan kesusilaan pada masyarakat Singapura di tengah-tengah globalisasi
ekonomi (Subramaniam, 2000). Oleh karenanya, moralitas Asia dalam konsep
formatif ini justru menekan terjadinya westernisasi melalui serangkaian ajaran
NURINTAN MAGRIANDINI_071811233104_UAS SHKD 2022

yang berfokus terhadap kultur Asia dalam sisi sosietal Singapura, sehingga
membuat masyarakat Singapura dapat mengenal asal-usul leluhur mereka
dengan moralitas yang implementatif kepada setiap individu di era globalisasi
yang melunturkan nilai-nilai tradisional dengan menggantinya dengan nilai-nilai
ala Barat (Subramaniam, 2000).

Moralitas Asia dalam penerapannya mencoba menggabungkan asas-asas


universal dalam bidang ekonomi dengan nilai-nilai tradisional Asia dalam
lingkup sosial, dimana Huntington menjelaskan bahwasannya modernisasi
dalam pembangunan ekonomi membentuk masyarakat untuk melestarikan
budaya-budayanya dan menjadi asertif terhadap kultur tersebut, dimana hal ini
disebut sebagai indigenisasi masyarakat non-Barat, dimana melalui modernisasi
pada pembangunan ekonomi membantu memperkuat komitmen masyarakat
terhadap moralitas asli dari wilayahnya (Subramaniam, 2000). Selain itu, dalam
mendefinisikan moralitas Asia, banyak yang mengartikan moralitas ini sebagai
moralitas yang berasal dari nilai-nilai Konfusianisme, dimana masyarakat
Singapura percaya bahwa adanya nilai-nilai seperti: (1) patuh terhadap otoritas;
(2) kerja keras; (3) kerja sama; (4) kepentingan pribadi yang seimbang dengan
kepentingan bersama; dan (5) fokus terhadap pendidikan. Hal ini juga kemudian
membentuk masyarakat yang dapat bertahan dalam situasi ekonomi politik yang
dapat merubah tatanan kultural dari masyarakat tersebut, dimana menurut para
budayawan, moralitas dan etika yang tumbuh dari setiap negara secara
fundamental berbeda sehingga setiap masyarakat di berbeda wilayah dapat
mendefinisikan moralitas dan etika dengan interpretasi yang berbeda
(Subramaniam, 2000). Liberalisasi ekonomi dari Barat kemudian diadopsi oleh
moralitas Asia sebagai hal yang sejajar dengan nilai-nilai kultural dari
masyarakat Asia, namun hak individu dan pluralisme dalam politik merupakan
hal-hal yang bertentangan dengan moralitas Asia itu sendiri.
NURINTAN MAGRIANDINI_071811233104_UAS SHKD 2022

Kaum universalis membuat setidaknya empat argumen utama dalam membela


kesesuaian demokrasi liberal dengan nilai-nilai Asia. Pertama, nilai demokrasi
liberal menjamin kebebasan sipil dan politik dasar, dan kebebasan itu
melampaui batas-batas budaya. Adanya sentralisasi kekuatan paksaan di tangan
negara berdaulat modern mengartikan bahwa negara merupakan ancaman
terbesar bagi individu. Kedua, nilai-nilai demokrasi liberal merupakan bagian
integral dari masyarakat yang baik. Oleh karena itu, sistem demokrasi liberal
harus dilihat sebagai tujuan itu sendiri. Ketiga, peradaban Asia memiliki
liberalisme warisan. Nilai-nilai demokrasi liberal mendapat dukungan lebih
lanjut dari klaim bahwa dalam sejarah peradaban Asia terdapat akar nilai yang
jelas, yang sekarang diasosiasikan dengan demokrasi liberal Barat
(Subramaniam, 2000).  Keempat, budaya manusia pada dasarnya dapat berubah
dan dinamis. Beberapa universalis menganut pemahaman teologis sederhana
tentang perubahan budaya, berpendapat bahwa semua budaya pada akhirnya
akan bertemu di ambang pintu liberalisme Barat (Subramaniam, 2000).

Referensi:
Subramaniam, Surain. 2000. “the Asian Values Debates Implications for the Spread
of Liberal Democracy”, dalam Asian Affairs. 27 (1), pp. 19-35.

4. Bahwa renaisans budaya telah terjadi berulang-ulang kali di berbagai


tempat setelah “Renaisans” yang secara harfiah terjadi di Eropa.

Jawaban: 465 Kata

Tidak Setuju

Budaya menjadi salah satu hal yang dapat mendorong atau memperlambat
perkembangan bangsa. Salah satu contoh pergerakan atau 'revolusi' budaya
yang menjadi era historis dalam sejarah adalah Renaissance atau kelahiran
NURINTAN MAGRIANDINI_071811233104_UAS SHKD 2022

kembali budaya barat yang pada saat itu mulai di Italia (Litell, 2019). Renaisans
menjadi sebuah era yang unik dalam sejarah karena menjadi periode
perkembangan pesat di peradaban barat yang berpusat pada kesenian, literatur,
dan pendidikan. Renaisans menandakan sebuah titik pada waktu dimana
manusia mulai memandang bahwa intelek manusia merupakan hal yang harus
dikembangkan juga alih-alih hanya fokus pada spiritualitas.

Litell (2019) mengatatakan bahwa Renaisans dijuluki sebagai kebangkitan dan


kelahiran kembali seni dan pembelajaran. Ini dapat dilihat dari beberapa nilai-
nilai Renaisans. Pertama yaitu humanisme, dimana periode ini menghasilkan
karya-karya literatur klasik yang membangkitkan pergerakan intelektual yang
fokus pada potensi dan pencapaian-pencapain manusia, dikenal juga sebagai
humanisme yang berakar dari nilai-nilai Yunani. Hal ini menjadi akar dari study
of humanities, yaitu literatur, filsafat, dan sejarah. Kedua adalah nilai
'kesenangan duniawi', dimana karya-karya artistik pada periode Renaisans
mendorong orang-orang untuk mulai menikmati karya-karya duniawi,
berbanding terbalik dengan ajaran agama yang mementingkan spiritualitas dan
'hidup setelah kematian'. Salah satu nilai humanis pada masa itu ialah 'kita dapat
menikmati hidup tanpa menyinggung Tuhan'. Ketiga adalah nilai-nilai kesenian,
dimana pemimpin gereja pada saat itu memandang tinggi seni dan mendukung
seniman-seniman (Litell, 2019).

Dari masa renaisans, lahir hal-hal yang luar biasa berpengaruh pada sejarah,
contohnya adalah studi humanisme. Karena karakteristiknya unik, renaisans
merupakan sebuah periode yang hampir tidak bisa dibandingkan dengan
fenomena manapun. Renaisans dianggap sebagai kebangkitan kultural yang
unik dan one-of-a-kind. Ini menjadi fakta yang penting karena terdapat beberapa
fenomena dimana sebuah negara mengklaim telah melalui kebangkitan kultural
atau Renasainsya sendiri, yaitu Cina (Maissen, 2018).
NURINTAN MAGRIANDINI_071811233104_UAS SHKD 2022

Walaupun terdapat klaim bahwa revolusi kultur Cina merupakan bentuk


Renaisans juga, beberapa akademisi setuju bahwa hal ini tidaklah benar. Ini
dikarenakan Renaisans yang terjadi di Eropa pada saat itu merupakan
sebuah fenomena yang unik dan sangat berdampak, berbeda dengan hal
yang terjadi pada Cina (Maissen, 2018). Pertama, revolusi kultur Cina tidak
dapat disamakan dengan Renaisans karena adanya distorsi pada sejarah, dimana
beberapa kejadian yang di klaim belum jelas kebenarannya. Kedua, beberapa
terminologi tidak dapat disamakan. Ketiga, peristiwa yang terjadi pada
Renaisans Eropa merupakan peristiwa-peristiwa unik yang tidak dapat
dibandingkan. Dampak yang dimunculkan pun sangat besar dan tidak bisa
disamakan. Inilah mengapa Renaisans dianggap menjadi kebangkitan barat dan
fenomena yang unik.  Meskipun demikian, Renaisans dianggap menjadi
'puncak' dari kejayaan peradaban barat. Bertahun-tahun setelah kejayaan barat,
peradaban dan kebudayaan lain mulai menyadari bahwa mereka juga bisa
sukses, bahkan dapat lebih sukses bila mereka dapat mengimplementasikan
beberapa taktik barat tanpa meninggalkan keseluruhan dari kebudayaan mereka.
Peradaban-peradaban lainnya, terutama di Asia, mulai menunjukan awal dari
masa kejayaannya secara kultural sedangkan barat menunjukan penurunan. Ini
dapat dilihat dari pengaruh barat yang mulai menurun. Hal ini juga dapat
dibuktikan dengan melihat negara-negara Asia yang mulai memasuki masa
kejayaannya secara kultural, contohnya yaitu Cina dan Jepang. 

Referensi:
Litell, McDougall. 2009. European Renaissance and Reformation, 1300-1600, World History;
Pattern of Interactions, Atlas by Rand McNally, pp. 467-503.pdf
Maissen, T. B. Mittler. 2018. The Renaissance and the Rise of the West, in Why China did not Have
a Renaissance, Boston DeGruyter Oldenbrough, pp. 123-132.pdf

Anda mungkin juga menyukai