Anda di halaman 1dari 3

Ken Miryam Vivekananda

NPM: 2106786591

“K-Pop Idol Boy Bands and Manufactured Versatile Masculinity:


Making Chogukjeok Boys”
Bab V Buku Korean Masculinities and Transcultural Consumption
(Sung Jung, 2011)

Layaknya sebuah pandemi kultural, hallyu menyebar dan membuat gempar. Hallyu tak lain
merupakan “demam” hiburan Korea Selatan yang transmisinya melampaui batas-batas
nasionalitas. Mengapa hallyu dapat demikian mengglobal? Bab terakhir buku ini menyimpulkan
adanya dua “jurus” yang dilakukan dalam industri hiburan Korea Selatan. Jurus-jurus yang
mampu mendulang sukses besar di bidang industri hiburan Korea Selatan ini tak dapat
dilepaskan dari konsep mugukjeok dan chogukjeok. Kedua hal ini tersemat dalam representasi
K-Pop Idol Boy Band dengan segala bentuk produk budaya turunannya.

Mugukjeok menampilkan unsur-unsur yang lebih bersifat no-nationality atau globalized,


sementara chogukjeok (yang secara khusus dijadikan fokus tulisan ini) lebih bersifat cross/trans-
nationality. Dalam bab akhir buku ini tidak dijelaskan konteks historisitas yang melatari hal
tersebut, bahwa saat mengalami krisis ekonomi akibat perang, Korea harus memulai dari awal
untuk mengejar ketertinggalannya dari negara lain. Oleh karena itu, pemerintah Korea Selatan
mengambil langkah salah satunya dengan memberdayakan budaya yang mereka miliki seraya
mengadopsi budaya luar seperti gaya hidup dan pendidikan di Amerika, filosofi Eropa, dan
modernitas Jepang. Fusi atau amalgamasi budaya ini menjadi strategi jitu untuk menyasar pasar
global. Di sinilah ruh transnasionalitas dalam istilah chogukjeok mulai dihembuskan dalam
industri hiburan Korea yang tentu saja bekerja sebagai mesin kapitalis dalam rentak globalisasi.

Tulisan ini pada intinya lebih menyoroti bagaimana konsep chogukjeok menghilir pada
konstruksi versatile masculinity yang menampilan wajah gender yang kian beragam, hibrid, dan
“multi-guna”. Fitur maskulinitas berlapis ini ditunjukkan melalui penggunaan berbagai citra,
gerak tubuh, dan suara. Dalam tulisan ini dijelaskan istilah-istilah bernuansa maskulinitas hybrid
seperi ‘Kkonminam’ yang merujuk pada laki-laki yang memiliki wajah cantik, rambut halus, dan
bersikap feminin (Jung, 2011:58). Ada juga istilah ‘aegyo’ yang menggambarkan penggabungan
antara ekspresi dan suara yang lebih girly dan manis (Jung, 2011:254). Aegyo dilakukan oleh
seseorang untuk menunjukkan kasih sayang atau bisa juga digunakan untuk membujuk seseorang
agar permintaannya dapat dipenuhi layaknya anak-anak. Fenomena maskulinitas hibrid dalam
wujud laki-laki feminin dalam industri hiburan Korea ini menjadi sangat populer. Seiring dengan
popularitasnya yang menjangkau jumlah massa dalam angka yang fantastis, maka bentuk
maskulinitas hibrid ini menjadi efektif sebagai satu komoditi. Kkonminam, aegy, dan berbagai
representasi maskulinitas hibrid atau versatile masculinity pada visualisasi Hallyu atau Korean
Wave akhirnya dapat dibaca sebagai konstruksi ideologi kapitalisme, di mana negara ingin
mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya melalui industri hiburan.

Versatile masculinity yang dilakukan berulang-ulang pada akhirnya akan menciptakan habituasi
hingga membentuk identitas baru. Representasi identitas baru ini dapat menjadi pintu yang
mengantarkan kita ke dalam dimensi ideologis yang lain. Untuk itu, saya melihat bahwa tulisan
ini dapat dikembangkan melalui beberapa model penelitian. Salah satu bentuk penelitian yang
saya bayangkan adalah bentuk-bentuk penelitian di level realitas dan representasi, sehingga dapat
terbaca muatan ideologis yang bersifat lebih tajam dan emansipatoris. Saya mengasumsikan
bahwa konstruksi versatile masculinity dalam Hallyu ini menyimpan muatan ideologis berupa
resistensi maskulinitas yang selama ini dikonstruksi oleh ideologi dominan: patriarki. Penelitian
semacam ini dapat menjelaskan mengapa demam Korea dengan bentuk maskulinitas yang
relative baru justru secara paradoks merambah ke dalam sendi masyarakat-masyarakat yang
tumbuh dalam kultur patriarki, seperti Indonesia. Di sisi lain, maskulinitas baru ala K-pop yang
jauh dari persona macho ala masyarakat Barat juga dapat dibaca dalam tegangan kutub resistensi
tersendiri; yakni dalam relasi Barat-Timur. Menurut Bridges dan Pascoe (dalam Pilcher dan
Whelehan, 2017: 93), hybrid masculinity mengkonseptualisasikan penggabungan selektif oleh
pria dari identitas dan elemen performance yang terkait dengan maskulinitas yang terpinggirkan
dan tersubordinasi (termasuk maskulinitas gay) dan feminitas. Melihat populernya K-Pop di
kalangan masyarakat Indonesia, bentuk negosiasi berupa pergeseran pemaknaaan mengenai
maskulinitas menjadi sesuatu yang mungkin untuk diteliti.
Referensi

Jung, Sun. (2011). Korean Masculinities and Transcultural Consumption: Yonsama, Rain,
Oldboy, K-pop idols. Hongkong : Hongkong University Press

Pilcher, Jane dan Whelehan, Imelda. (2017). Key Concept in Gender Studies 2nd Edition.
London : SAGE Publications

Anda mungkin juga menyukai