Anda di halaman 1dari 6

Tentang Kebudayaan Nasional

Idham B. Setiadi

Pendahuluan
Beberapa waktu lalu, Wamenbud mengumumkan kementeriannya akan menyusun cetak biru kebudayaan nasional sebelum akhir tahun 2011. Cetak biru tersebut akan mencakup arahan program dan kegiatan pengembangan kebudayaan nasional, dengan lima pilar utama, yaitu: karakter dan jati diri bangsa; sejarah warisan dan karya budaya; diplomasi budaya; sumber daya manusia dan kelembagaan budaya; serta sarana dan prasarana kebudayaan. Pengumuman yang formal ini tentu tidak memberikan informasi yang cukup untuk menelaah kiranya hal apa saja yang akan dikembangkan sebagai kebudayaan nasional. Meskipun demikian, ada baiknya untuk mengantisipasi gerakan Wamenbud, yaitu dengan menilik kembali pemikiran konseptual yang telah dilahirkan sebelumnya di Indonesia. Di dalam keterbatasannya, penulis memusatkan perhatian kepada pemikiran Koentjaraningrat, guru besar Antropologi Indonesia, yang telah dikenal sebagai pembahas persoalan mentalitas dalam upaya mengaitkan kebudayaan dengan pembangunan. Namun, bukan bukunya yang terkenal itu yang menjadi acuan, melainkan sebuah artikel singkat dalam sebuah ratna manikam yang dipersembahkan kepada Zoetmulder, pada tahun 1985.

Pemikiran Koentjaraningrat
Artikel tersebut berjudul Kebudayaan Nasional dan Peradaban Dunia Masa Kini. Ditulis lebih dari 25 tahun yang lalu, artikel ini nampaknya, di satu pihak, merupakan tanggapan terhadap strategi kebudayaan nasional yang direncanakan pemerintah waktu itu. Di pihak lain, artikel tersebut merupakan tanggapan terhadap kritik yang mengatakan Indonesia tidak memiliki kebudayaan nasional; yang ada hanyalah himpunan kebudayaan suku bangsa, dengan sedikit saja hubungan antara yang satu dengan yang lain. Kebudayaan nasional, menurut Koentjaraningrat, memiliki unsur dan sub unsur konkret, yang dapat didaftarkan, dan dibedakan jenisnya berdasarkan fungsinya. Unsur (dan sub unsur) jenis yang pertama berfungsi sebagai penguat identitas orang sebagai suatu bangsa. Unsur (dan sub unsur) jenis yang kedua berfungsi sebagai penguat rasa solidaritas antar warganegara. Sebuah unsur dapat memenuhi dua fungsi; sebuah unsur kebudayaan suku bangsa dapat dikembangkan menjadi unsur kebudayaan nasional.

ibs (sbf) - 1 dari 6

Tabel berikut merupakan proposisi Koentjaraningrat tentang unsur Kebudayaan Nasional Indonesia.

(Dikutip dari Koentjaraningrat (1991), hlm. 531.)

Terlihat, Koentjaraningrat menerapkan model 7 Unsur Kebudayaan Universal. Namun, ia tidak menjelaskan secara langsung mengapa agama dan ekonomi bukan merupakan unsur Kebudayaan Nasional Indonesia. Ia menjelaskan orang tidak perlu memahami sebuah unsur kebudayaan untuk mengidentikasikan diri dengannya; sebaliknya, orang perlu memahami unsur kebudayaan untuk membentuk rasa solidaritas antar warganegara. Kemudian, di dalam artikelnya, Koentjaraningrat meloncat ke persoalan konseptual berikut dalam penjelasannya tentang hubungan antara kebudayaan nasional dan peradaban dunia masa kini. Menurutnya, konstelasi peradaban dunia pada abad ke-20 ditentukan oleh negara-negara yang telah sangat maju dalam bidang teknologi, ilmu pengetahuan, dan ekonomi.

ibs (sbf) - 2 dari 6

Kemajuan mereka itu diperoleh seiring dengan kemampuan mereka untuk menjajah negara-negara lain, terutama yang berada di belahan bumi selatan, melalui sistem kolonialisme, pada abad-abad sebelumnya. Sistem ini memaksakan pemberlakuan logika dualisme yang mendasar seperti timur-barat di negara-negara jajahan di satu sisi, dan di sisi lain mengembangkan berbagai pranata dan lembaga pendidikan formal, pranata antar bangsa, sistem organisasi dan administrasi dengan birokrasi, jaringan media massa serta komunikasi antar bangsa yang luas. Di samping itu, sistem ini juga mendorong lahirnya kota-kota dan gaya hidup metropolitan yang menyertainya. Gaya hidup, menurut Koentjaraningrat, adalah hal-hal yang bersifat keseharian, seperti kebiasaan dan irama hidup sehari-hari, gaya menggunakan bahasa, jenis bacaan kegemaran, gaya berpakaian, gaya mengatur perabotan dan mendekorasi rumah, jenis makanan kegemaran, pola rekreasi, pola penggunaan waktu senggang, serta pola apresiasi seni. Diagram berikut menggambarkan kaitan salah satu bagian gaya hidup dengan salah satu bidang kehidupan yang amat maju di negara-negara yang menentukan konstelasi peradaban dunia masa kini.

(Dikutip dari Koentjaraningrat (1991), hlm. 539.)

ibs (sbf) - 3 dari 6

Koentjaraningrat tidak memberikan penjelasan tentang kaitan antara gaya hidup dan peradaban. Di bagian akhir artikelnya ia malah menempatkan gaya hidup metropolitan sebagai unsur kebudayaan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah yang merencanakan strategi kebudayaan nasional. Ia khawatir, gaya hidup yang terjadi di kota-kota Indonesia sesungguhnya meniru-niru apa yang lazim ada di kota-kota metropolitan di negara-negara yang telah maju di dunia (Koentjaraningrat, 1991: 536).

Relevansi Pemikiran Koentjaraningrat


Membaca artikel Kebudayaan Nasional dan Peradaban Masa Kini 25 tahun setelah diterbitkan, penulis menemukan berbagai hal yang menarik secara konseptual. Malah, penulis terdorong untuk memperbandingkan pemikiran Koentjaraningrat dengan berbagai pendekatan, konsep, dan telaah yang muncul kemudian di dalam bidang antropologi, arkeologi, dan sejarah, di Indonesia. Kebudayaan Nasional Indonesia bukanlah warisan peradaban India atau Cina, atau keduanya, melainkan tanggapan terhadap peradaban kapitalisme yang dibawa oleh sistem kolonial. Tanggapan tersebut dibentuk dengan pengetahuan budaya sukubangsa dan beberapa unsur teknologi, sains, dan ilmu pengetahuan yang telah diserap dari peradaban kapitalisme. Adapun pembentukan tersebut tidak berlangsung di keraton-keraton ataupun tempat produksi puncak-puncak kebudayaan daerah, melainkan di kota-kota. Tidakkah pemikiran ini dapat diperbandingkan dengan pendekatan pasca kolonial? Artikel Koentjaraningrat hanya tidak menjelaskan proses apa yang terjadi di dalam masyarakat pasca kolonial. Pemikiran Koentjaraningrat juga dapat diperbandingkan dengan teori modernisasi yang menerapkan konsep modernity at large. Guru besar Antropologi Indonesia itu telah melihat betapa hidupnya batas-batas budaya, yang dapat hadir sangat longgar di suatu waktu, namun dapat juga mengetat di situasi dan kondisi yang lain. Pada waktu orang Indonesia meniru-niru gaya hidup metropolitan penduduk negara maju, unsur kebudayaan lain mudah menerobos masuk. Dan, dari artikelnya dapat disimpulkan, peniruan tersebut berkembang bersamaan waktunya dengan perkembangan orientasi perencana pembangunan kepada teknologi, sains, dan ilmu pengetahuan, serta pranata dan lembaga pendidikan formal, pranata antar bangsa, dan juga juga sistem organisasi dan administrasi dengan birokrasi di dalamnya. Koentjaraningrat hanya tidak merinci proses apa yang berlangsung di dalam modernisasi ini. Akhirnya, pemikiran Koentjaraningrat tentang peradaban dunia masa kini dapat diperbandingkan dengan telaah sistem dunia modern. Diagramnya menunjukkan betapa kebiasaan makan dan pola konsumsi makanan ditentukan oleh kondisi ekonomi dan lingkungan alam, bukannya selera. Sikap, konsep, dan keyakinan tentang makanan berpengaruh secara tidak langsung, yaitu melalui perkembangan ekonomi dan lingkungan alam. Koentjaraningrat tidak menjelaskan bagaimana ekonomi berkembang, tetapi
ibs (sbf) - 4 dari 6

ia menunjukkan pentingnya peranan perkembangan demogra (yang juga ditetapkan sebagai faktor pertumbuhan kapitalisme di dalam pendekatan sistem dunia modern). Akan tetapi, dari artikelnya dapatlah kita pahami bahwa ekonomi Indonesia tumbuh dan berkembang menuju kondisi sekarang dari sistem kolonialisme, dan kita tahu sistem ini merupakan cikal bakal kapitalisme historis yang berkembang menjadi kapitalisme industri dan kini kapitalisme uang, di dalam peradaban kapitalisme. Penulis menyadari interpretasi seperti ini mengandung risiko membesarbesarkan pemikiran Koentjaraningrat, mungkin jauh lebih besar daripada tujuannya semula. Perbandingannya dengan pendekatan, teori, dan telaah yang lebih baru pun mengundang kritik. Tetapi, permasalahannya dapat dirumuskan menjadi persoalan paradigma. Koentjaraningrat menulis tentang kebudayaan nasional dan peradaban dunia masa kini dalam paradigma ilmu pengetahuan positif. Kajian yang dilakukan di dalam paradigma ini ingin mengatur realitas yang dipandang signikan di seputar sebuah konsep inti; sama halnya dengan hukum positif yang ingin mengatur berbagai tingkah laku untuk mengusung konsep keadilan. Dalam hal kebudayaan, seperti juga Kluckhohn, ia ingin mengatur gejala sosial dan budaya seperti elektron yang mengelilingi inti atom, dan kebudayaan nasional merupakan inti atom itu. Persoalan yang timbul di dalam penerapan konsep seperti ini adalah bagaimana kita menjelaskan kekuatan yang mendorong sebuah unsur masuk ke dalam kebudayaan nasional. Di dalam paradigma positif, yang mengandalkan klasikasi sebagai instrumen ilmu pengetahuan yang netral, yang mengobservasi dan tidak pernah mengintervensi realitas, kekuatan tersebut adalah daya pikir sang Peneliti. Namun, kita menyadari, kekuatan tersebut merupakan kekuasaan, yang dalam berbagai kasus terwujud secara amat mengerikan. Berdasarkan kritik ini, pemikiran Koentjaraningrat dapat dimodikasi sebagai berikut. Kebudayaan nasional pasca kolonial dijadikan fokus untuk memahami bagaimana unsur-unsur kebudayaan dibentuk, diubah, direstorasi, dan seterunsya, terutama di kota-kota, tetapi tidak melupakan desa-desa. Gaya hidup metropolitan dalam kerangka konsep modernity at large dijadikan pusat perhatian untuk memahami bagaimana ethnoscapes, technoscapes, nancescapes, mediascapes, dan ideoscapes bertumpang tindih; dan bagaimana orang Indonesia mencari jalan kehidupannya di dalam hutan ini di satu pihak, dan di pihak lain bagaimana kerangka berpikir dan bertindak negara memberdayakan dan menghambat orang Indonesia di dalam perjalanan mereka. Akhirnya, peradaban kapitalisme dijadikan subyek penelitian untuk memahami bagaimana sistem ekonomi mempengaruhi perikehidupan orang Indonesia; dan bagaimana di dalam perkembangan perikehidupan tersebut kreativitas dijalankan (atau tidak dijalankan) untuk menghasilkan karya budaya.

ibs (sbf) - 5 dari 6

Penutup
Masih relevankah pemikiran Koentjaraningrat dalam upaya menghadapi Cetak Biru Kebudayaan Nasional Indonesia dengan lima pilar utama? Dengan modikasi, penulis berpandangan pemikiran guru besar Antropologi Indonesia yang dikemukakan 25 tahun yang lalu masih amat relevan. Hingga kini, kita belum melihat upaya sistematis untuk menata unsur-unsur kebudayaan. Kita belum menemukan cara untuk memperbandingkan satu unsur kebudayaan dengan unsur kebudayaan yang lain, secara akademis, berdasarkan data dan pemahaman yang berasal dari penelitian. Dengan kata lain, kita belum memiliki platform for debate untuk memahami keanekaragaman Indonesia dalam konteks budaya bangsa. Apa yang digagas Koentjaraningrat, dengan modikasi, adalah sebuah platform for debate seperti itu; bukan sebuah rencana apalagi sebuah resep untuk mengembangkan Kebudayaan Nasional Indonesia. Apakah bangsa Indonesia tidak memiliki platform for debate untuk membahas kebudayaan nasional? Apakah kita masih memerlukan platform for debate yang lainnya? Kita punya platform for debate. Namanya kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, seringkali sikap anggota DPR terhadap unsur kebudayaan menimbulkan rasa khawatir, seperti yang muncul dalam pengalaman seorang arkeolog senior ketika berbicara tentang kesulitan menempatkan Candi Borobudur sebagai situs arkeologis dan sekaligus atraksi pariwisata. Konon, seorang anggota DPR menanggapinya: Kalau DPR nanti memutuskan Borobudur sebagai pusat agama Buddha, kalian mau apa? Sulit untuk menjawab, ya tidak mau apa-apa, namun apakah pilihan tersebut sudah dipertimbangkan manfaat dan biaya sosialnya? Oleh karena itu, kita perlu platform for debate yang lain lagi untuk membangun forum bagi argumen-argumen ilmiah tentang kebudayaan nasional.

ibs (sbf) - 6 dari 6

Anda mungkin juga menyukai