Pendahllillan
Ii Mabl;tiJ illt dis:tmpaikan ullIuk halJan Diskusi in[(.;fn Dosen lelltang DC IlWKrasi Ji Moot
Court HI UI Dq1l)k.
:: Stal" PellgaJar FI-I UI Dl:pok. MellgaJar P;1I1I b.lgliln Dasar-JiI~ar IIlllu I-iUklllll lIIati!
kul iall II lll u Neg.lr.. , dan juga p:uJa h;lgian lIukulll Tat;'1 Negara Mata kulia!! HA M.
LCl llha ga Kcpan;U<lll da n Orlna:'. Kckua saan Kc il;lkilll:ln. dan LPR .
A, Kebuclayaan
, Lillat
.
gall1b~trall
, . . .
kngkap rnengenal seJ_lr<lh dcmokrasl d.dam wlls.tIl David field. ModdJ
(!/Delllocracv. part I :.Classic MOllcJs (Athens). Smnford Umvcrsily Press. Californi;1. 1987.
4 Dalam tulisan ini. pcnulis mcnyajikan pembahasan mcngenai dampak dClllokrasi dCl1gan
llIcngal:u paLla kcr:lngka remhahasi.ln Y~lIlg uilakukan oleh Prof. SocrjaJlIO Poespowardnjo
kctikan rm:mhahas soa! tcknologi (lilam hukullya 'Strafeg; Keiml/a),a(lll" yang ditt:rhitkan
()lch Gramedia. Jakarta. Ii.Ihull. 1989. DClllokrasi mt:mang tidak t.hlpa! set:ara spt!sifik
diallalogikan dengan dCllIokrasi. ll'IIllUIl ada hchcrapa dampak yang set:ara siJ;lIi/iwl/f
n;unr;11.: her-iringan dan saling men,!!isi satu sama lain.
dari semua kebudayaan adalah (I) Sistem religi dan upacara keagamaan
(2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan, (3) Sistem pengetahuan, (4)
Bahasa , (5) Keseniaan. (6) Sistem matapencaharian hidup, (7) sistem
teknologi dan peralatan. Ketujuh unsUf universal tersebut masing-masing
dapat dipecah lagi ke dalam sub-unsur- unsurnya. Susunan tata urut dari
unsur-unsur kebudayaan universal seperti tercantum tersebut dibuat
dengan sengaja untuk sekalian menggambarkan unsur-unsur mana yang
paling sukar berubah arau kena pengaruh kebudayaan lain. Dalam rata
urur itu akan segera terlihat bahwa unsur-unsur yang berada di bagian
atas dari de reran. merupakan unsur-unsur yang lebih sukar berubah
daripada unsur-unsur yang tersebut kemudian .' Koentjaraningrat
kemudian juga menyebutkan bahwa kebuda yaan itu mempunyai paling
sedikir tiga wujud, ialah : (I) Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
dari idee-idee . gagasan. nilai-nilai , norma-norma, peraturan dan
sebagainya . (2) Wujud kebudayaan sebagai suaIU ko mpleks akriviras
kelakuan berpola dari manus ia dalam masyarakal, (3) Wuj ud ke budayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia." Keriga wujud kebudayaan iru ,
dalam kenyalaan kehidupan masyarakat temu tidak rerpisah saIU sama
lain. Kebudayaan ideel dan ad at isriadat mangarur dan memberi arah
kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-piki ra n dan ide-ide.
maupun perbuaran dan karya manUSla, menghasilkan benda-benda
kebudayaan fisiknya.'
Ani kebudayaan dapat dilihat pula dari tiga persepsi. ' Persepsi
perrama, cenderung melihat kemajuan dalam bemuk benda (marerial)
objektif (Tylor), Persepsi kedua melihat kebudayaan bukan sebagai kata
benda , melainkan sebagai kala kerja. Kebudayaa n bukan sekedar
merupakan koleksi barang-barang budaya, melainkan kegia ran manusia
yang menciprakan alat-alar kerja , yang senantiasa mem be rikan wujud baru
pad a pola-pola kebudayaan yang ada. Perseps i ked ua ini cenderung
melihat kemajuan dalam bentuk perkembangan subyekrif. Bukan saja hasil
pembangunan yang dianggap penting, melainkan Juga cara-cara
pelaksanaan pembangull3n akan menentukan kualiras budayanya. Persepsi
'I Ib id .. hal. 6S
It) Op. Cit.. Koentjaraningrat. hal. 107.
II Loe. Cil., Sot!ljanto Poespowardojo , hal. 65.
I ~ Lillat naskah pcrhillcangan para fOIll/{iill~ fatllers Indonesia dalam huku Risalall Sic/aliI-:
B(u/all Penyel/(lik Usa//fI-lIw/W Persiop(ln Kt!fllert/ckaflfl /tU/OIfcs;a (8PUPKl) dan Pallirill
I'enhlpllll KClllcrdl:k(ulII /!u/tmesi" (PPKl) 29 Mei /945-/9 ARltstlls 1945. Tim
Pcnyullting : Sa:tfrOt.!d ill Bah;.!r. N,lIluic Hullawati Sinaga. U.III An<tnua B. Kusumi.l (eu.al).
Sekrctilriat Neg.H.1 RI. Jakart<l. 1992.
j} Lillat pidaltl Moll. '-{;.ttta. Melll(ju Nq:,aro flllkum. kctika IIIclluap;'ll gclar kchormatml
sch.tg;ti DoclO[, Honoris Causa lIalam hidang hukulll oi Fakullas Hukulll Universitas
lm.lollt:sia. 30 Agustus 1975.
sintetis. 14 Pada karakter budaya yang lersebulkan ilU nyala lerlihal, lanpa
bermaksud Illendiskredilkan, bahwa konsepsi budaya Jawa seperti itu
adalah konsepsi kekuasaan yang anti-delllokrasi. berbeda dengan pola
budaya Minang yang lebih mendukung cirCIIlllslallces demokrasi.
Pola-pola budaya lokal (di seluruh Indonesia) ya ng Illengarah ke
kutub budaya Jawa bukan saja lebih banyak jumlahnya, lelapi juga lebih
dOlllinan, karena struktur dan sislem budaya di Indonesia sejak lama
banyak yang lelah ber-orientasi pada pola-pola seperti yang seeara
sempurna diperlihalkan oleh pola budaya Jawa. Masyara kat-Illasyarakat
yang lergolong pad a kelompok budaya M inang yang horisontal-egaliler
sentrifugal dan simelis, lebih sedikil dan tidak dominan. dan ll1ereka
umumnya adalah masya rakal kesukuan (tribal) yang tidak mengenal dalam
sejarah sos ial mereka hubungan slruktural yang hirarkis (vertikal).
Bangunan yang ada seeara lradisional lebih ll1erupakan bent uk .. republik
desa" . LI Kutub pola hudaya dell10kratis seperti budaya Minang ini lebih
scd ikit kClimbang pol a budaya Jawa ya ng herkesan feoda li slik . Jadi ,
sosialisasi pol a-pol a yang anti-dell1okraris jauh lebih kental masuk dalam
lingk ungan kebudayaan nasionallndonesia.
Perdebaran pemikiran politik dan huda ya pada hakikatnya
menunjukkan kesadaran bahwa kemajuan bangsa di masa depan menuntur
sikap-sikap blldaya bam seeara mendasar. Sudah semestinya kita
menempatkan permasalahan dalam perspektif yang lebih luas, yailu
sebagai proses akullUrasi. Kesadaran ya ng harus dibongkar adalah bahwa
struktur lllasyarakat feodal-Iah yang ridak lllemungkinkan hangsa
Indonesia berkelllbang uilluk meneapai delllokrasi. StruklUr ini diperparah
lagi dengan talllbahan rekayasa kolonial Belanda u11l11k ll1elllpertahankan
politik de vide et illlpera-nya. Pola budaya ya ng Illene rapkan kekuasaan
tidak terbllka, struktur vertikal yang menelllpatkan pelllimpin pada puneak
piramida kekuasaan, menolak kritik dan koreksi dari baIVahan (baca
rakyat , lllasyarakat), sikap ABS (Asal Bapak Senang) llleluas pad a
bawahan, senang dipuji-puji dan disembah-selllbah. Semuanya illl
met~urus pada sikap tidak rasional at au kurang rasional menghadapi
perkembangan tertentu."' Dan semuanya ini pula tidak bersesuaian dengan
budaya demokratis yang horisontal dan egal itarian.
14 Luhis. Mochtar. TraJ1.~form{/si Bur/a)'(1 IIl1wk Masa Depall, CV. I-Iaji Masagung.
Jakarta, t988. H,,1. 32
15 Ibitl .. hal. 32
In Ibid ., hal. 33
Apa yang dapat dicerna dari uraian tersebut adalah bahwa tidak
setiap kebudayaan dengan sendirinya mengejawantahkan nilai-nilai
universal kemanusiaan itu. Baik demokrasi Pancasila maupun demokrasi
liberal , dapat kurang dan dapat pula lebih dalam mewadahinya. Mutu
kemanusiaan setiap kebudayaan jelas berbeda, dell1ikian pula dengan mutu
kemanusiaan di setiap model demokrasi. Ada model demokrasi di mana
martabat ll1anusia terungkap dengan cukup memuaskan, ada juga
demokrasi-demokrasi (ll1 isalnya yang feodalistiknya kental) di mana orang
kecil tidak diakui sebagai manusia ."
Oleh karena itu, kiranya tidak ada pertentangan atau persaingan
antara kebudayaan lokal tertentu dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Jadi. bukan pertentangan tetapi pertemuan antara prinsip demokrasi
universal is dengan wawasan ideologis berdasarkan Pancasila (demokrasi a
la Indonesia) yang menjadi tujuan dari strateg i kebudayaan kita dalam
1M Pertanyaan ini diajukan Magnis secara retoris dal<tm bukunya, Film/at Keblldayaan
Po/itik: BuIir-hut;r Pemikiran Kritis. Gramedia Puslaka Ulama.lakarta , 1995. Ha144.
19 Dalam hal ini demokrasi dapal dianalogikan dengan kebudayaall . Lihat tulisan Magnis,
Filsafat KebuJll)'lIllll Poli1ik, hal. 44.
Penutup
Daftar Pustaka