Pendahuluan
Tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi undangan Launching Laboratorium Ilmu Sosial
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Acaranya dikemas
dalam Diskusi Berseri. Penulis melihat ada ikhtiar yang sungguh-sungguh dari para dosen
sebuah tradisi baru dalam kerangka besar budaya akademik di kampus UNTIRTA, khususnya
FKIP. Hal ini sungguh menarik karena kampus tidak hanya melakukan kegiatan rutin
perkuliahan an sich, tetapi lebih jauh menembus sekat-sekat ruang kelas. Tema yang diangkat
tentang Revolusi Mental menunjukkan kemampuan berpikir khas para akademisi Ilmu Sosial
yang berupaya membumikan wacana kebijakan pemerintah ke tengah lapangan para akademisi.
Sehingga tema ini bukan sebuah wacana langitan yang beredar pada ruang hampa tanpa
menapakkan kakinya.
Revolusi Mental seperti yang telah kita tahu bersama ialah narasi besar dari kampanye
Pemerintahan Jokoki-JK yang saat ini menjadi pemerintahan yang sah. Jokowi menulis esai
Revolusi Mental pada harian Kompas 10 Mei 2014, argumentasi yang kemukakan adalah
perubahan ke arah kondisi yang lebih baik, tidak hanya perubahan pada institusi, melainkan juga
perubahan pada manusia. Dalam rilis resminya di Kemenko PMK, Revolusi mental merupakan
bentuk strategi kebudayaan, yang bidikannya ialah transformasi etos. Tujuan Revolusi mental,
yakni; (1) mengubah cara pandang, cara berpikir, cara bersikap, dan cara berperilaku; (2)
1
Disajikan pada Diskusi Seri, Launching Laboratorium Ilmu Sosial FKIP UNTIRTA, pada 09 Maret 2017
2
Dosen pada Jurusan Pendidikan Sejarah, FKIP UNTIRTA. Untuk kepentingan akademik dapat dihubungi melalui
email : muhammadilhamg12@gmail.com
1
membangkitkan kesadaran dan membangun sikap optimistik; (3) mewujudkan Indonesia yang
berdaulat, berdikari, dan berkepribadian. Sejurus dengan itu, tiga nilai revolusi mental, adalah (1)
integritas, yakni jujur, dipercaya, berkarakter, dan tanggung jawab-; (2) etos kerja, yakni etos
kerja, daya saing, optimistis, inovatif, dan produktif; (3) gotong royong, yakni kerja sama,
solidaritas, komunal, berorientasi pada kemaslahatan. Inti dari Revolusi Mental ialah revitalisasi
dan reaktualisasi niali-nilai karakter bangsa yang semuanya ini menjelma dalam perilaku dan
Konteks Sosio-Historis
Berbicara mengenai gagasan revolusi mental, tema ini mulai dikumandangkan oleh Bung Karno
di pertengahan tahun 1950-an. Tepatnya di tahun 1957 saat Pidato Kenegaraan memperingati 12
tahun Indonesia merdeka. Saat itu revolusi nasional Indonesia sedang mandek. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan revolusi itu mandek. Pertama, terjadinya penurunan semangat dan
jiwa revolusioner para pelaku revolusi (rakyat dan pemimpin nasional). Situasi semacam itu
memang biasa terjadi karena pada masa Perang Kemerdekaan, semua orang bisa menjadi patriot.
Namun, ketika era Perang Kemerdekaan sudah selesai, gelora atau militansi revolusioner itu
menurun. Kedua, banyak pemimpin politik Indonesia kala itu yang masih mengidap penyakit
mental warisan kolonial, seperti hollands denken (gaya berpikir meniru penjajah
Belanda). Penyakit mental tersebut mencegah para pemimpin mengambil sikap progresif dan
rakyat Indonesia, sebagai akibat praktek kolonialisme selama ratusan tahun, muncul mentalitas
nrimo, taken for granted, dan kehilangan kepercayaan diri (inferiority complex). Ketiga,
2
tersebut dipicu oleh penyakit mental rendah diri dan tidak percaya diri dengan kemampuan
sendiri.
Sejarah sebagaimana sifatnya ialah memberikan cerminan atas masa lalu untuk menghadapi
masa depan sekaligus cakap menjawab tantangan masa kini. Sejarah mengenai revolusi dapatlah
kita artikan sebagai gerakan sosial, hampir di seluruh negara pernah mengalaminya. Setidaknya
mari kita lihat, pengalaman tiga revolusi besar yang pernah terjadi.
Pertama, Revolusi di Inggris pada 1215 yang melahirkan Magna Carta (Piagam Besar),
membatasi kekuasaan absolut monarki Inggris. Lahir Magna Carta merupakan perubahan
besar yang melambangkan perjuangan hak-hak asasi manusia yang lebih penting dibanding
kedaulatan dan kekuasaan. Kedua, Revolusi Amerika pada tahun 1976 yang mengumumkan
persamaan derajat manusia, dan menjamin pemerintahan untuk hak-hak rakyat. Ketiga, Revolusi
Perancis pada tahun 1789. Revolusi ini digerakkan oleh para kaum Borjuis untuk mendapatkan
keadilan atas pengambilan pajak dan penggunaannya yang sewenang-wenang yang dilakukan
oleh Raja Louis XVI. Revolusi Perancis, melahirkan tiga nilai, yakni Liberte, Egalite, Freternite
(kebebasan, kesetaraan, dan persaudaraan) yang membawa inspirasi bagi perubahan tata kelola
pemerintahan yang adil dan tidak sewenang-wenang. Dari pengalaman sejarah di atas
sesungguhnya setiap revolusi membawa perubahan sosial yang besar dan positif pada setiap
aspek kehidupan suatu masyarakat. Membawa perubahan dari kejumudan berpikir, kecuekan
bersikap, dan kekeliruan bertindak menjadi kelancaran berpikir, keluwesan bersikap, dan
bertindak.
3
Pada Revolusi Mental sejatinya tidak memerlukan pertumpahan darah, melainkan harus
kolonial ini terlanjur mengurat nadi dalam mental masyarakat Indonesia. Inilah salah satu
keberhasilan kekuasaan kolonial yang dalam tinjauan J.S Furnival pada bukunya berjudul
Netherland India: A Study of Plural Economy sebagai masyarakat majemuk (plural society) yang
tidak bersatu. Dalam masyarakat majemuk ini dicirikan masyarakatnya kurang memiliki loyalitas
sebagai keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, serta kurang memiliki dasar-
dasar untuk saling memahami satu sama lain. Hal ini didasarkan atas dua unsur yang saling
indikatornya genetik-sosial (ras etnis, suku) budaya (kultur, nilai, kebiasaan), bahasa, agama
kasta, dan wilayah. Sementara, di sisi pihak kemajemukan sosial indikatornya, yakni kelas
sosial, status, lembaga ataupun kekuasaan. Teori Furnivall dewasa ini nampaknya muncul
Penutup
Setelah lebih dari dua tahun narasi besar Revolusi Mental digaungkan, penulis kira belum
terdapat langkah kongkret mewujudkannya sebagai strategi kebudayaan. Paling utama ialah
masih belum efektif dalam mengamputasi budaya-budaya warisan kolonial. Ambil contoh, masih
merebaknya upeti dalam lelang jabatan. Selain itu, nihilnya blue print yang memuat
berarti sama saja membiarkan Revolusi Mental menyusuri sendiri jalan sunyi, lambat laun hilang
ditengah hiruk pikuk politik nasional. Dan, nyatanya Revolusi Mental itu, mudah diucapkan,