Anda di halaman 1dari 1

Populisme, dalam penelitian ini, dipahami sebagai sebuah “gaya politik”ketimbang sebuah ideologi.

Gaya politik ini dicirikan oleh sebuah definisi yang relatif sama “orang-orang” yang menjadi candidat
politik dan pemimipim mengclaim pada tindakan. Hal ini menunjukkan relasi tanpa perantara antara
pemimpin populis dengan masyarakat. Pemimpin populis cenderung (rely heavily) anti kemapanan
(anti-establishment) dan anti wacana yang elitis, dan juga kharisma mereka sendiri untuk
memobilisasi dukungan. Istilah yang layak diteladani (exemplary) yang diasosiasikan dengan
populisme Indonesia dalam bahasa Jawa adalah “blusukan”, suatu istilah yang kurang labih
(roughtly) diterjemahkan dalam “gaya tanpa persiapan” (impromptu)yang seringkali dipakai untuk
mendiskripsikan presiden, gaya politik Joko Widodo selama perjalanannya menuju kekuasaan.

Berdasarakan pada hasil survey terbaru, bab ini akan mengeksplorasi lima tren utama yang
mencirikan post-clientelisme dalam perpolitikan Indonesia. Clientelisme politik didefinisikan sebagai
praktik kemampuan personal seperti uang, jabatan, atau akses terhadap pelayanan publik dalam
merubah dukungan elektoral. Bentuk lain dari perlindungan bahwa hal itu termasuk
menjanjikan(promising) pada pemilih untuk merubah kebijakan yang berfaedah sebuah janji menuju
kekuasaan. Bab ini akan membahas masalah peran aktor dominan yang berlanjt pada struktur
kekuasaan oligarki, walaupun tren ke depan lebih inklusif. Hal ini dapat dikatakan bahwa politisasi
aktor alternatif-----banyak yang percaya hal ini menjadi pro-demokrasi dan berpihak pada aktivis.----
tidak secara signifikan meningkatkan kapasitas mereka menuju tantangan demokrasi. Hal ini tepat
signifikan dalam fragmentasi internal dan ketidak jelasan strategi dan altenatif kebijkan yang akan
mendorong (propel) demokratisasi. Sebagai gantinya, aktor altenatif cenderung memikat dalam
hirarki kekuasaan elit dan dipercaya merepresentasikan masyarakat. akhirnya, mengeksplorasi
meningkatnya populisme yang didukung peningkatan jika post-clientelism dalam konteks
demokrastisasi di nusantara.

Anda mungkin juga menyukai