Anda di halaman 1dari 18

Etnografi

Kata Pengantar
Atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah- Nyalah saya mampu menyelesaikan makalah Etnografi sebagai tugas mata kuliah Studi Masyarakat Indonesia . Untuk itu tiada kata yang patut saya sampaikan kecuali ungkapan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa.

Makalah ini disusun selain untuk melengkapi tugas kuliah Studi Masyarakat Indonesia, juga bertujuan meningkatkan motivasi dalam mempelajari dan menggali materi- materi tentang Etnografi melalui diskusi dan hasil rangkuman dari referensi terkait. Makalah ini disusun berdasarkan hasil analisis dari berbagai referensi terkait.

Dan kami ucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Endang Koswara yang telah memberikan bimbingan dan sarannya pada kami dalam penyelesaian penyusunan tugas Makalah tentang Etnografi ini, semoga menjadi ilmu yang lebih bermanfaat bagi kami

Penyusun

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kini banyak orang yang suka berdiskusi tentang masalah kebudayaan dan pembangunan, masalah hubungan kebudayaan tradisional dan

kebudayaan modern, masalah perubahan nilai nilai budaya, masalah mentalitas pembangunan, masalah pembinaan kebudayaan nasional,

masalah hubungan agama dam kebudayaan dan sebagainya. Dalam diskusi diskusi di berbagai studi klab, dalam konversaisi pada pertemuan pertemuan dengan para cendikiawan, dalam kursus kursus penataran para karyawan atau dosen, atau dalam pertemuan pertemuan Tanya jawab dengan para wartawan, saya sering di hadapkan dengan berbagai pertanyaan tentang masalah yang berkisar sekitar pokok pokok tadi. Salah satu pertanyaan yang sering diajukan adalah misalnya : Apakah sebenarnya yang tercakup dalam konsep kebudayaan itu? Banyak orang mengertikan konsep itu dalam arti yang terbatas, ialah pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang memenuhi hasratnya akan keindahan. Dengan singkat : Kebudayaan adalah kesenian. Dalam arti seperti itu konsep itu memang terlampau sempit. Sebaliknya, banyak orang terutama para ahli ilmu sosial, mengertikan konsep kebudayaan itu dalam arti yang amat luas yaitu seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa di cetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Konsep ituadalah amat luas karena meliputi hamper seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Hal hal yang tidak termasuk kebudayaan hanyalah beberapa reflex yang berdasarkan naluri, sedangkan suatu perbuatan yang sebenarnya juga merupakan perbuatan naluri, seperti

makan misalnya, oleh manusia dilakukan dengan peralatan, dengan tatacara sopan santun dan protocol, sehingga hanya bisa dilakukannya dengan baik sesudah suatu proses belajar tata cara sopan makan. Karena demikian luasnya, maka guna kerluan analisa konsep kebudayaan itu perlu di pecah lagi kedalam unsur unsurnya. Unsur unsur terbesar yang terjadi karena pecahan tahap pertama disebut Unsur unsure kebudayaan yang Universal, dan merupakan unsur unsure yang pasti bisa ditemukan disemua kebudayaan di dunia, baik yang hidup dalam masyarakat pedesaan yang kecil terpencil maupun dalam masyarakat perkotaan yang besar dan komplex. Unsur unsure universal itu, yang sekalian merupakan isi dari semua kebudayaan yang adadi dunia ini, adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Sistem Religi dan upacara keagamaan, Sistem dan organisasi kemasyarakatan, Sistem pengetahuan, Bahasa, Kesenian, Sistem mata pencaharian hidup, Sistem teknologi dan peralatan.

Ketujuh unsur universal tersebut masing masing dapat di pecah lagi kedalam sub unsur unsurnya. Demikian ketujuh unsur kebudayaan universal memang mencakup seluruh kebudayaan mahluk manusia di manapun juga di dunia, dan menunjukan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya.

Susunan tata urut dari unsur unsure kebudayaan universal seperti tercantum di atas di buat dengan sengaja untuk sekalian menggambarkan unsur unsur mana yang paling sukar berubah atau kena pengaruh kebudayaan lain, dan mana yang paling mudah berubah atau dig anti dengan unsur unsur serupa dari kebudayaan kebudayaan lain. Dalam tata urut itu akan segera terlihat bahwa unsur unsur yang berada di bagian atas dari deretan, merupakan unsur unsur yang lebih sukar berubah daripada unsur unsur yang tersebut kemudian. Sistem Religi dan sebagian besar dari sub unsur unsurnya biasanya memang mengalami perubahan yang lebih lambat bila di bandingkan, misalnya suatu teknologi atau suatu peralatan bercocok tanam tertentu, namun toh harus di perhatikan bahwa ini hanya dalam garis besarnya saja, karena ada kalanya ada sub sub unsur arsitektur sesuatu tempat pemujaan, hal yang pertama merupakan bagian dari sub unsur hukum, yang sebaliknya merupakan bagian bagian dari unsure sistem religi. Namun dalam garis besarnya tata urut dari unsur unsur universal tercantum di atas, toh menggambarkan continuum dari unsur unsur yang sukar berubah ke unsur unsur yang mudah berubah. Sudah tentu dalam peraktek kita sering tidak mungkin mempergunakan konsep kebudayaan dengan ruang lingkup seluas yang terurai di atas, dan yang di pergunakan oleh kebanyakan ahli ilmu social. Kalau demikian, maka misalnya direktorat kebudayaan dari Departemen P dan K Republik Indonesia akan merupakan satu satunya badan yang harus melaksanakan semua sector dalam hidup manusia Indonesia, dan dengan demikian semua Departemen dapat di hapuskan saja. Hal itu tentu tidak mungkin. Maka timbul pertanyaan lain : kalau banyak sector lain dalam hidup masyarakat Indonesia

itu sudah menjadi tanggung jawab dari berbagai Departemen dan lembaga di pusat pemerintahan Negara Indonesia, maka sector sector apakah yang harus tercakup dalam ruang lingkup Direktorat kebudayaan? Dalam kenyataan ruang lingkup Direktorat kebudayaan memang hanya mencakup kesenian. Untuk aktivitas pembinaan unsur unsur lain, seperti ilmu pengetahuan dan bahasa, di negeri kita ini ada badan badan khusus seperti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Lembaga Bahasa Nasional. Walaupun demikian, Direktorat kebudayaan tohharus dapat menghubungkan kesenian dengan unsur unsur lain dalam jaringan yang lebih luas, sehingga walaupun fokusnya itu kesenian, soal soal seperti masalah masalah pemuda remaja, masalah komunitas, masalah pendidikan kesenian, dan sebagainya dapat tercakup. Aspek ekonomi dan komersial dari kesenian yang di kembangkan oleh turisme, dan aspek politis dari kesenian, yang harus di terapkan dalam proses pembinaan kepribadian dan integrasi nasional, seharusnya merupakan masalah masalah yang memerlukan perhatian khusus dari direktorat kebudayaan.

BAB II PEMBAHASAN

A. KAJIAN ETNOGRAFI 1. Ciri-ciri Etnografi Model etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari peristiwa kultural, yang menyajikan pandangan hidup subyek sebagai obyek studi. Studi ini

akan terkait begaimana subyek berpikir, hidup, dan berperilaku. Tentu saja perlu dipilih peristiwa yang unik yang jarang teramati oleh kebanyakan orang. Penelitian etnografi adalah kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Berbagai peristiwa dan kejadian unik dari komunitas budaya akan menarik perhatian peneliti etnografi. Peneliti justru lebih banyak belajar dari pemilik kebudayaan, dan sangat respek pada cara mereka belajar tentang budaya. Itulah sebabnya pengamatan terlibat menjadi penting dalam aktivitas penelitian. Model etnografi cenderung mengarah ke kutub induktif, konstruktif, transferabilitas, dan subyektif. Kecuali itu, juga lebih menekankan idiografik, dengan cara mendeskripsikan budaya dan tradisi yang ada. Etnografi pada dasarnya lebih memanfaatkan teknik pengumpulan data pengamatan berperan serta (partisipant observation). Hal ini sejalan dengan pengertian istilah etnografi yang berasal dari kata ethno (bangsa) dan graphy (menguraikan atau menggambarkan). Etnografi merupakan ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari-hari. Etnografi lazimnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara holistik, yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material. Dari sini akan terungkap pandangan hidup dari sudut pandang penduduk setempat. Hal ini cukup bisa, dipahami, karena melalui etnografi akan mengangkat keberadaan senyatanya dari fenomena budaya. Dengan demikian akan ditemukan makna tindakan budaya suatu komunitas yang diekspresikan melalui apa saja. Ciri-ciri penelitian etnografi adalah analisis data yang dilakukan secara holistik, bukan parsial. Ciri-ciri lain seperti dinyatakan Hutomo (Sudikan, 2001:85-86) antara lain: (a) sumber data bersifat ilmiah, artinya peneliti harus memahami gejala empirik (kenyataan) dalam kehidupan sehari-hari; (b) peneliti sendiri merupakan instrumen yang paling penting dalam pengumpulan data; (c) bersifat pemerian (deskripsi), artinya, mencatat secara teliti fenomena budaya yang dilihat, dibaca, lewat apa pun termasuk dokumen resmi, kemudian mengkombinasikan, mengabstrakkan, dan menarik

kesimpulan; (c) digunakan untuk memahami bentuk-bentuk tertentu (shaping), atau studi kasus; (e) analisis bersifat induktif; (f) di lapangan, peneliti harus berperilaku seperti masyarakat yang ditelitinya; (g) data dan informan harus berasal dari tangan pertama; (h) kebenaran data harus dicek dengan dengan data lain (data lisan dicek dengan data tulis); (i) orang yang dijadikan subyek penelitian disebut partisipan (buku termasuk partisipan juga), konsultan, serta teman sejawat; (j) titik berat perhatian harus pada pandangan emik, artinya, peneliti harus menaruh perhatian pada masalah penting yang diteliti dari orang yang diteliti, dan bukan dari etik, (k) dalam pengumpulan data menggunakan purposive sampling dan bukan probabilitas statistik; (1) dapat menggunakan data kualitatif maupun kuantitatif, namun sebagian besar menggunakan kualitatif. Dari ciri-ciri tersebut, dapat dipahami bahwa etnografi merupakan model penelitian budaya yang khas. Etnografi memandang budaya bukan semata-mata sebagai produk, melainkan proses. Hal ini sejalan dengan konsep Marvin Harris (1992:19) bahwa kebudayaan akan menyangkut nilai, motif, peranan moral etik, dan maknanya sebagai sebuah sistem sosial. Kebudayaan tidak hanya cabang nilai, melainkan merupakan keseluruhan institusi hidup manusia. Dengan kata lain, kebudayaan merupakan hasil belajar manusia termasuk di dalamnya tingkah laku. Karena itu, menurut Spradley (1997:5) etnografi harus menyangkut hakikat kebudayaan, yaitu sebagai pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Itulah sebabnya etnografi akan mengungkap seluruh tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi yang holistik. 2. Deskripsi Mendalam Penentuan sampel pada penelitian kualitatif model etnografik, ada lima jenis yaitu: (1) seleksi sederhana, artinya seleksi hanya menggunakan satu kriteria saja, misalkan kriteria umur atau wilayah subyek; (2) seleksi komprehensif, artinya seleksi bedasarkan kasus, tahap, dan unsur yang relevan; (3) seleksi quota, seleksi apabila populasi besar jumlahnya, untuk itu populasi dijadikan beberapa kelompok misalnya menurut pekerjaan dan jenis kelamin; (4) seleksi menggunakan jaringan, seleksi menggunakan informasi

dari salah satu warga pemilik budaya, dan (5) seleksi dengan perbandingan antarkasus, dilakukan dengan membandingkan kasus-kasus yang ada, sehingga diperoleh ciri-ciri tertentu, misalnya yang teladan, dan memiliki pengalaman khas. Dari lima cara tersebut, peneliti budaya model etnografi dapat memilih salah satu yang paling relevan dengan fenomena yang dihadapi. Namun demikian, menurut pertimbangan penulis, seleksi secara komprehensif dipandang lebih akurat dibanding empat kriteria seleksi yang lain. Melalui seleksi secara komprehensif, peneliti akan mampu menentukan langkah yang tepat sejalan dengan apa yang diteliti. Yang lebih penting lagi, jika harus mengambil sampel, sebailrnya dilakukan secara pragmatik dan bukan secara acak. Peneliti perlu tahu konteks masyarakat yang diteliti, tanpa membawa prakonsep atau praduga atau teori yang dimilikinya. Peneliti etnogragi juga perlu mempertimbangkan aspek-aspek lain yang mungkin belum terkover dalam unsur-unsur budaya tersebut. Kecuali itu, peneliti juga perlu menggunakan skala prioritas. Artinya, unsur mana yang menjadi titik perhatian, itulah yang dikemukakan lebih dahulu, sedangkan unsur lain hanya penyerta. Pelukisan etnografi dilakukan secara tick deskription (deskripsi tebal dan mendalam). Namun demikian, tebal di sini lebih merupakan formulasi ke arah deskripsi yang mendalam, sehingga lukisan lebih berarti, bukan sekedar data yang ditumpuk. Memang etnografi bercirikan kelengkapan data, namun pembahasan juga mengandalkan akal sehat. Peneliti berusaha menangkap sepenuh mungkin informasi budaya menurut perspektif orang yang diteliti. Penelitian etnografi sering diasumsikan sebagai penelitian yang relatif lama, peneliti harus tinggal pada salah satu tempa, beradaptasi, dan seterusnya. Hal ini memang ideal dilakukan, namun masalah waktu sebenarnya sangat relatif. Bahan-bahan etnografi berasal dari masyarakat yang disusun secara deskriptif. Deskripsi data diharapkan secara menyeluruh, menyangkut berbagai aspek kehidupan untuk meninjau salah satu aspek yang diteliti. Deskripsi dipandang bersifat etnografis apabila mampu melukiskan fenomena budaya selengkap-lengkapnya. Deskripsi etnografi menurut Koentjaraningrat (1990:333) sudah baku, yaitu meliputi unsur-unsur kebudayaan secara

universal, yaitu bahasa, sistem teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, kesenian dan sistem religi. Namun demikian, deskripsi semacam ini tidak harus dipenuhi semua. Sebab, ini lebih didasarkan pada unsur kebudayaan secara universal, dan kalau peneliti ingin menyederhanakan pun sebenarnya tidak dilarang. Peneliti boleh saja mengungkapkan sub bab tertentu ayng dipandang spesifik dan langsung pada sasaran. Yang penting deskripsi menyeluruh dapat tercapai. Penetapan setting model etnografi memerlukan strategi khusus, yaitu: (a) jadilah praktisi, artinya setting tidak perlu terlalu luas dan terlalu sempit, yang penting mampu mewakili fenomena; (b) upayakan tempat yang asing dari peneliti, hal ini untuk lebih mampu mengambil jarak dalam penelitian, tetapi juga memperhatikan kemudahan masuk tidaknya ke dalam setting; (c) ketiga, jangan terlalu berpegang kaku pada rencana peneliti, rencana bisa berubah setelah di lapangan, (d) pikirkan sejumlah topik yang sulit dijangkau. Dalam kaitan itu, pelukisan etnografi mengenal dua desain penelitian yaitu: (1) studi kasus dan (2) multiple site and subject studies. Penerapan studi kasus akan mencari keunikan budaya pada wilayah tertentu. Penyimpangan-penyimpangan budaya yang merupakan kasus spesial dan menarik, akan menjadi sorotan peneliti. Sedangkan desain multiple site and subject studies cenderung untuk meneliti budaya dalam skup luas. Peneliti dapat melukiskan budaya tertentu pada berbagai tempat. Dari dua desain demikian, dapat dinyatakan bahwa etnografi adalah salah satu model penelitian budaya yang mengangkat hal-hal khusus. Kekhususan penelitian budaya adalah pada kemampuan memanfaatkan model etnografi sedetail mungkin. 3. Langkah-langkah Etnografer Sebagai sebuah model, tentu saja etnografi memiliki karakteristik dan langkah-langkah tersendiri. Langkah yang dimaksud adalah seperti dikemukakan Spradley (1997) dalam buku Metode Etnografi, sebagai berikut: Pertama, menetapkan informan. Ada lima syarat minimal untuk memilih informan, yaitu: (a) enkulturasi penuh, artinya mengetahui budaya miliknya dengan baik, (b) keterlibatan langsung, artinya (c) suasana

budaya yang tidak dikenal, biasanya akan semakin menerima tindak budaya sebagaimana adanya, dia tidak akan basa-basi, (d) memiliki waktu yang cukup, (e) non-analitis. Tentu saja, lima syarat ini merupakan idealisme, sehingga kalau peneliti kebetulan hanya mampu memenuhi dua sampai tiga syarat pun juga sah-sah saja. Apalagi, ketika memasuki lapangan, peneliti juga masih mendugaduga siapa yang pantas menjadi informan yang tepat sesuai penelitiannya. Kedua, melakukan wawancara kepada informan. Sebailrnya dilakukan dengan wawancara yang penuh persahabatan. Pada saat awal wawancara perlu menginformasikan tujuan, penjelasan etnografis (meliputi perekaman, model wawancara, waktu dan dalam suasana bahasa asli), penjelasan pertanyaan (meliputi pertanyaan deskriptif, struktural, dan kontras). Wawancara hendaknya jangan sampai menimbulkan kecurigaan yang berarti pada informan. Ketiga, membuat catatan etnografis. Catatan dapat berupa laporan ringkas, laporan yang diperluas, jurnal lapangan, dan perlu diberikan analisis atau interpretasi. Catatan ini juga sangat fleksibel, tidak harus menggunakan kertas ini itu atau buku ini itu, melainkan cukup sederhana saja. Yang penting, peneliti bisa mencatat jelas tentang identitas informan. Keempat, mengajukan pertanyaan deskriptif. Pertanyaan ini digunakan untuk merefleksikan setempat. Pada saat mengajukan pertanyaan, bisa dimulai dari keprihatinan, penjajagan, kerja sama, dan partispasi. Penjajagan bisa dilakukan dengan prinsip: membuat penjelasan berulang, menegaskan kembali yang dikatakan informan, dan jangan mencari makna melainkan kegunaannya. Kelima, peneliti melakukan memberi analisis sandi wawancara etnografis. budaya Analisis serta dikaitkan dengan simbol dan makna yang disampaikan informan. Tugas adalah simbol-simbol mengidentifikasikan aturan-aturan penyandian dan mendasari. Keenam, membuat analisis domain. Peneliti membuat istilah pencakup dari apa yang dinyatakan informan. Istilah tersebut seharusnya memiliki hubungan semantis yang jelas. Contoh domain, caracara untuk melakukan pendekatan yang berasal dari pertanyaan: apa saja cara untuk melakukan pendekatan.

Ketujuh, mengajukan pertanyaan struktural. Yakni, pertanyaan untuk melengkapi pertanyaan deskriptif. Misalkan, orang tuli menggunakan beberapa cara berkomunikasi, apa saja itu? Kedelapan, membuat analisis taksonomik. Taksonomi adalah upaya pemfokusan pertanyaan yang telah diajukan. Ada lima langkah penting membuat taksonomi, yaitu: (a) pilih sebuah domain analisis taksonomi, misalkan jenis penghuni penjara (tukang peluru, tukang sapu, pemabuk, petugas elevator dll.), (b) identifikasi kerangka substitusi yang tepat untuk analisis, (c) cari subset di antara beberapa istilah tercakup, misalkan kepala tukang kunci: tukang kunci, (d) cari domain yang lebih besar, (f) buatlah taksonomi sementara. Kesembilan, mengajukan pertanyaan kontras. Kita bisa mengajukan pertanyaan yang kontras untuk mencari makna yang berbeda, seperti wanita, gadis, perempuan, orang dewasa, simpanan, dan sebagainya. Kesepuluh, membuat analisis komponen. Analisis komponen sebaiknya dilakukan ketika dan setelah di lapangan. Hal ini untuk menghindari manakala ada hal-hal yang masih perlu ditambah, segera dilakukan wawancara ulang kepada informan. Kesebelas, menemukan tema-tema budaya. Penentuan tema budaya ini boleh dikatakan merupakan puncak analisis etnografi. Keberhasilan seorang peneltii dalam menciptakan tema budaya, berarti keberhasilan dalam penelitian. Tentu saja, akan lebih baik justru peneliti mampu mengungkap tema-tema yang orisinal, dan bukan tema-tema yang telah banyak dikemukakan peneliti sebelumnya. Keduabelas, menulis etnografi. Menulis etnografi sebaiknya dilakukan secara deskriftif, dengan bahasa yang cair dan lancar. Jika kemungkinan harus berceritera tentang suatu fenomena, sebailrnya dilukiskan yang enak dan tidak membosankan pembaca. Penentuan informan kunci juga penting dalam penelitian etnografi. Informan kunci dapat ditentukan menurut konsep Benard (1994:166) yaitu orang yang dapat berceritera secara mudah, paham terhadap informasi yang dibutuhkan, dan dengan gembira memberikan informasi kepada peneliti. Informan kunci adalah orang-orang yang memiliki hubungan erat dengan terhormat dan berpengetahuan dalam langkah awal penelitian. Orang

semacam ini sangat dibutuhkan bagi peneliti etnografi. Orang tersebut diperlukan untuk membukan jalan (gate keeper) peneliti berhubungan dengan responden, dapat juga berfungsi sebagai pemberi ijin, pemberi data, penyebar ide, dan perantara. Bahkan, akan lebih baik apabila informan kunci mau memperkenalkan peneliti kepada responden, agar tidak menimbulkan kecurigaan. Bagi peneliti memang tidak mudah menentukan informan kunci. Karena itu, berbagai hal perlu dipertimbangkan agar jendela dan pintu masuk peneliti semakin terbuka dan peneliti mudah dipercaya oleli responden. Pertimbangan yang harus dilakukan dalam menentukan informan kunci, antara lain: (a) orang yang bersangkutan memiliki pengalaman pribadi tentang masalah yang diteliti, (b) usia telah dewasa, (c) sehat jasmani rohani, (d) bersikap netral, tidak memiliki kepentingan pribadi, dan (e) berpengetahuan luas. Pada saat etnografer ke lapangan, mengambil data, mereka akan mendengarkan dan mengamati langsung maupun berperan serta, lalu mengambil keksimpulan. Setiap langkah pengambilan data akan disertai pengambilan kesimpulan sementara. Pemilihan informan kunci ada strategi khusus, antara lain dapat melalui empat macam cara, sebagai berikut: (a) secara insidental, artinya peneliti menemui seseorang yang sama sekali belum diketahui pada salah satu wilayah penelitian. Tentu cara semacam ini kurang begitu menguntungkan, tetapi tetap strategis dilakukan. Peneliti bisa menyamar sebagai pembeli atau penjual tertentu ke suatu wilayah. Yang penting, sikap dan perilaku peneliti tidak menimbulkan kecurigaan; (b) menggunakan modal orang-orang yang telah dikenal sebelumnya. Peneliti berusaha menghubungi beberapa orang, mungkin melalui orang terdekat. Cara ini dipandang lebih efektif, karena peneliti bisa mengemukakan maksudnya lebih leluasa. Melalui orang dekat tersebut, peneliti bisa meyakinkan bahwa penelitiannya akan dihargai. (c) sistem quota, artinya innforman kunci telah dirumuskan kriterianya, misalkan ketua organisasi, ketua RT, dukun dan sebagainya. (d) secara snowball, artinya informan kunci dimulai dengan jumlah kecil (satu orang), kemudian atas rekomendasi orang tersebut, informan kunci

menjajdi semakin besar sampai jumlah tertentu. Informan akan berkembang terus, sampai memperoleh data jenuh. Dari cara-cara tersebut, peneliti dapat memilih salah satu yang paling cocok. Pemilihan didasarkan pada aspek kemudahan peneliti memasuki setting dan pengumpulan data. Jika cara yang telah ditempuh gagal, peneliti boleh juga menggunakan cara yang lain sampai diperoleh data yang mantap. B. KAJIAN FOLKLOR 1. Ciri dan Fungsi Folklor berasal dari kata folk dan lore. Folk sama artinya dengan kolektif. Folk dapat berarti rakyat dan lore artinya tradisi. Jadi folklor adalah salah satu bentuk tradisi rakyat. Menurut Dundes (Danandjaja, 1998:53) folk adalah kelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok yang lainnya. Ciri fisik, antara lain berujud warna kulit. Ciri lain yang tidak kalah pentingnya adalah mereka memiliki tradisi tertentu yang telah turun-temurun. Tradisi inilah yang sering dinamakan lore. Tradisi semacam ini yang dikenal dengan budaya lisan atau tradisi lisan. Tradisi tersebut telah turun-temurun, sehingga menjadi sebuah adat yang memiliki legitimitasi tertentu bagi pendukungnya. Folklor adalah milik kolektif kebudayaan. Folklor memiliki ragam yang bermacam-macam. Dalam kaitannya dengan budaya, ragam folklor antara lain seperti yang dikemukan dalam buku Dictionary of Folklore Mythology and Legend oleh Leach (ed.), ada beberapa pendapat tentang unsur-unsur folklor. Misalkan saja menurut Bascom, folklor terdiri dari: budaya material, organisasi politik, dan religi. Menurut Balys, folklor terdiri dari: kepercayaan rakyat, ilmu rakyat, puisi rakyat, dsb. Menurut Espinosa folklor terdiri dari: kepercayaan, adat, takhayul, teka-teki, mitos, magi, ilmu gaib dan sebagainya. Dari unsur-unsur tersebut sebenarnya banyak menarik peneliti budaya melalui kajian folklor. Bahkan, seringkali ladang penelitian tei-maksud sering menjadi perebutan antar ilmu antara antropologi,folklor, dari sejarah. Namun, kalau semua ini dipahami sebagai wilayah kajian humanistis jelas akan saling melengkapi. Pendek kata, folklor tersebut dapat menjadi obyek penelitian

budaya yang spesifik. Karena, di dalamnya merupakan dokumen budaya tradisi yang amat tinggi nilainya. Untuk mengenali apakah yang akan diteliti tersebut folklor atau bukan, ada beberapa ciri tertentu, yaitu: (a) penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari mulut ke mulut, dan kadang-kadang tanpa disadari; (b) bersifat tradisional, artinya disebarkan dalam waktu relatif lama dan dalam bentuk standar, (c) folklor ada dalam berbagai versi-versi atau varian, (d) bersifat anonim, penciptanya tidak diketahui secara pasti, (e) biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, (f) mempunyai kegunaan dalam kehidupan kolektif, (g) bersifat pralogis, yaitu memiliki logika sendiri yang tidak tentu sesuai dengan logika umum, (h) menjadi milik bersama, (i) biasanya bersifat polos dan lugu (Dananjaya, 1986:3-5). Melalui ciri-ciri tersebut peneliti dapat mengenali tata kelakuan, pandangan hidup, etika pendukungnya. Menurut Bascom (Sudikan, 2001:100) ada beberapa fungsi folklor bagi pendukungnya, yaitu: (a) sebagai sistem pzoyeksi, (b) sebagai alat pengesahan kebudayaan, (c) sebagai alat pendidikan, dan (d) sebagai alat pemaksaan pemberlakuan norma-norma. Selanjutnya Alan Dundes menambahkan fungsi lain, yaitu: (a) untuk mempertebal perasaan solidaritas kolektif, (b) sebagai alat pembenaran suatu masyarakat, (c) memberikan arahan kepada masyarakat agar dapat mencela orang lain, (d) sebagai alat memprotes keadilan, (e) sebagai alat yang menyenangkan dan memberi hiburan. Dari fungsi tersebut berarti folklor dapat memuat aneka ragam fungsi, seperti fungsi kultural, hukum, politik, dan keindahan. Fungsifungsi tersebut tentu saja bisa berubah dan atau berkembang dalam kehidupan pemilik folklor. Untuk menggali fungsi-fungsi ini, peneliti juga dapat memanfaatkan teori analisis fungsionalisme dan atau fungsionalisme struktural. 2. Tahap-tahap dan Analisis Data Tahap-tahap penelitian folklor, sebenarnya cukup simpel, yaitu: pengumpulan data, pengklasifikasian, dan penganalisisan. Tahaptahap ini, tentu didahului prapenelitian yang bermacam-macam, antara lain perlu

persiapan matang dan mampu menjalin kerjasama yang baik dengan pemiliki folklor. Dengan cara terjun langsung ke kancah folklor, peneliti akan mengambil data asli dan bukan sekunder. Tentu saja, sulit tidaknya data digali dan memakan biaya banyak atau sedikit perlu dipertimbangkan masakmasak. Lebih penting lagi, peneliti folklor perlu membangun jalinan yang akrab dengan subyek penelitian. Jika tidak, kemungkinan besar folklor yang berhubungan dengan kepercayaan rahasia akan sulit terungkap. Padahal, folklor demikian justru ditunggu oleh pembaca. Hal ini berarti hubungan antara peneliti dan subjek penelitian sangat penting untuk menentukan keberhasilan penelitian. Jika hubungan terkesan kaku dan ada unsur kecurigaan, berarti ada tanda-tanda bahwa penelitian kurang berhasil. Metode penelitian folklor yang berhubungan dengan perekaman, Hutomo (1991:77-85) membedakan dua jenis, yaitu pertama, perekaman dalam konteks asli (natural). Cara ini disebut sebagai pendekatan etnografi. Kedua, perekaman konteks tidak asli, yaitu perekaman yag sengaja diadakan. Perekaman kedua ini tentu saja telah diatur dan ditata, atau bahkan seperti folklor pesanan. Tentu saja, dari dua jenis tersebut akan lebih baik model perekaman yang asli. Oleh karena, peneliti dan yang diteliti tidak berupaya memanipulasi data. Selanjutnya, juga diketengahkan tentang catatan-catatan yang harus dibuat peneliti, meliputi: (a) tanggal perekaman, (b) tempat, (c) rekaman asli atau tidak. Dalam kaitannya dengan informan, yang perlu disiapkan dalam pencatatan adalah: (a) nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan dan atau semua identitas pribadi yang menunjang, (b) ahli/bukan ahli (active beare atau pasif bearer), (c) pengalaman (pewaris folklor tersebut dari siapa). Berkaitan dengan bahan, disiapkan catatan: (a) genre (sage, mite, tradisi lisan, upacara ritual), (b) ungkapan spesifik ayng digunakan pemilik folklor, seperti nikah batin, tapa brata, semedi dll. (c) asal-usul folklor, (d) penjelasan terhadap simbol, seperti lagu Ilir-ilir, Jaka Tingkir, Ki Ageng Sela dsb. Pengumpulan data perlu didukung pula dengan pendokumentasian, dengan foto, video, dan VCD. Dokumentasi ini akan berguna untuk

mengecek data yang telah terkumpul. Pengumpulan data sebaiknya dilakukan secara bertahap dan sebanyak mungkin peneliti berusaha mengumpulkan. Maksudnya, jika nanti ada yang terbuang atau kurang relevan, peneliti masih bisa memanfaatkan data lain. Dalam fenomena budaya, biasanya ada data yang berupa tatacara dan perilaku budaya serta sastra lisan. Keduanya perlu menjadi fokus peneliti folklor, karena akan saling terkait. Misalkan saja, mengkaji folklor ritual Bekakak di Ambarketawang Gamping Sleman Yogyakarta, tentu ada mitos-mitos yang mengitari. Begitu pula tradisi ritual Bersih Sendang di Ceper Klaten yang berhubungnan dengan tardisi pertanian, tentu ada mitos yang melatarbelakangi. Semua itu akan menjadi daya tarik tersendiri bagi peneliti folklor humanistis maupun antropologis. Keduanya tidak akan lepas dari kajian budaya secara holistik. Oleh karena folklor merupakan bagian kebudayaan suatu kolektif, pendekatan holistik dipandang sangat cocok untuk mengungkapnya. Dengan cara ini, peneliti tidak ahanya mengungkap hal-hal yang dangkal, melainkan lebih mendalam, terurai, dan mencakup sekian banyak unsur yang mengitari folklor tersebut. Maksudnya, apabila peneliti akan mengkaji folklor yang berhubungan dengan bersih desa di daerah Purwosari, Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta perlu mengungkap latar belakang masyarakat yang bersangkutan. Bentuk-bentuk folklor yang perlu mendapat perhatian peneliti budaya, menurut Brunvand (Danandjaja, 1990:98) ada tiga, yaitu mentifact (folklor lisan), sociofact (sebagian lisan), dan non mentifact (folklor bukan lisan). Peneliti perlu membatasi diri pada bentukbentuk folklor ini agar penelitiannya lebih optimal. Mungkin sekali, seorang peneliti hanya tertarik satu, dua, dan ketiganya sekaligus. Dalam kaitannya, dengan kebudayaan, biasanya peneliti lebih tertarik pada bentuk folklor sebagian lisan, seperti kepercayaan rakyat, teater rakyat, tradisi ritual rakyat, adat istiadat, dsb. Sedangkan folklor lisan, biasanya banyak menyedot perhatian pemerhati sastra lisan. Adapun folklor bukan lisan, biasanya akan lebih menarik bidang-bidang kajian lain, seperti arsitektur rakyat, obat-obatan tradisional, dan sebagainya.

Penelitian folklor sebagian besar banyak memanfaatkan penelitian kualitatif dengan pendekatan holistik (Danandjaja, 1990:97). Karena, dalam folklor terkandung unsur-unsur budaya yang dimanaatkan oleh pendukungnya. Unsur-unsur budaya lisan tersebut harus berimbang dalam kajiannya. Artinya, peneliti tidak hanya menitikberatkan masalah folk nemun juga unsur lore-nya. Kedua unsur ini saling jalin-menjalin dan membentuk sebuah komunitas budaya yang unik. Penelitian kualitatif tentu banyak ragamnya. Setiap ragam memiliki konsekuensi metodologis yang sedikit berbeda. Begitu pula dalam kajian folklor, jelas ada kebebasan memilih ragam penelitian kualitatif tersebut. Ragam penelitian disesuuaikan dengan tujuan penelitian folklor. Di samping itu juga perlu disesuaikan dengan data yang akan diambil. Dalam penelitian kualitatif folklor, yang diutamakan adalah penyajian hasil melalui kata-kata atau kalimat dalam suatu struktur logik, sehingga mampu menjelaskan sebuah fenomena budaya. Dalam kaitan ini, penelitian model etnografi memang dipandang lebih cocok untuk meneliti folklor. Dengan cara ini, andai kata kita akan meneliti folklor Kangjeng Ratu Kidul di Parangtritis, perlu pula mengaitkan pandangan masyarakat sekitar secara menyeluruh. Penelitian yang terpisah-pisah, akan membuat hasil kajian yang kurang bermanfaat. Penelitian folklor model etnografi pada akhirnya akan menggunakan pengamatan dan wawancara. Dua cara pengambilan data folklor ini memiliki implikasi luas. Namun demikian, disarankan bahwa pengamatan berperanserta tetap dipandang paling bagus untuk penelitian folklor. Untuk itu peneliti patut menjalin rapport atau hubungan intim dengan subyek penelitian. Dengan cara ini, wawancara mendalam akan dapat diterapkan bahkan menjadi andalan dalam kajian. Dalam menganilis data folklor, telah disugestikan oleh Foley (1986:6-7) bahwa peneliti harus mampu menghubungkan antara persoalan yang diteliti dengan konteks. Konteks penelitian akan mendukung pemaknaan hasil. Dalam hal ini, jika berkiblat pada pandangan Vansina (1985:3) peneliti budaya perlu memaknakan kebudayaan sebagai proses dan produk. Kebudayaan sebagai proses perlu dicermati terjadinya transmisi pesan budaya dari waktu ke waktu. Sedangkan kebudayaan sebagai produk merupakan warisan

generasi masa lalu ke generasi sekarang. Baik kebudayaan sebagai proses maupun produk sama-sama pentingnya dalam kajian folklor. Karena itu, peneliti folklor perlu mencermati dua makna kebudayaan tersebut.

BAB III Kesimpulan dan Saran

Keanekaragaman suku dan budaya di Indonesia merupakan suatu anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa yang tak ternilai harganya. Kita wajib bersyukur dan berusaha menjaga kelestariannya agar tidak punah. Semua kekayaan itu tidak patut dibeda- bedakan dan dipermasalahkan, kita wajib menjaga persatuan dan kesatuan bangsa agar tidak terpecah belah sesuai dengan Bhineka Tunggal Ika. Kita sebagai generasi penerus bangsa harus mencintai dan melestarikan kebudayaan daerah dan nasional.

Anda mungkin juga menyukai