Anda di halaman 1dari 6

Pemahaman Gerak Siklus

Teori Perkembagan kebudayaan


Teguh Wijaya
(12/335886/FI/03722)

1. Makhluk Hidup Bernama Kebudayaan Oswald Spengler


Oswald

Spengler

(1880-1836)

dengan

karyanya Decline

of

the

West (keruntuhan dunia Barat). Sebuah karya yang diterbitkan pada 1918
yang seolah mampu meramalkan sejarah masa depan dan ramalan itu
terkait erat dengan sebuah kebudayaan atau peradaban-peradaban.
Dalam karyanya, Spengler meyakini adanya kesamaan dasar dalam
sejarah

kebudayaan

besar

dunia,

sehingga

memungkinkan

ia

dapat

memprediksi secara umum tentang jalannya sejarah masa depan (the


course of future history). Prediksi Spengler terutama menyatakan bahwa
kebudayaan barat telah menemui ajalnya (doom), setelah ia melihat awal
dan berakhirnya kebudayaan barat (the beginning of the end). Ia percaya
bahwa setiap kebudayaan berlangsung melalui sebuah siklus mirip dengan
siklus kehidupan organisme. Kebudayaan dilahirkan, tumbuh kuat (grow
strong), melemah (weaken), dan akhirnya mati (die). (Suryo, 2009: 18)
Dalil Spengler ialah bahwa

kehidupan sebuah kebudayaan dalam

segalanya sama dengan kehidupan tumbuhan, hewan, manusia dan alam


semesta. Persamaan itu berdasarkan kehidupan yang dikuasai oleh hukum
siklus sebagai wujud dari fatum. Fatum adalah hukum alam yang menjadi
dasar segala hukum kosmos, setiap kejadian, setiap peristiwa akan terjadi
lagi dan terulang lagi.
Paham Spengler tentang kebudayaan pasti runtuh apabila sudah melewati
puncak kebesarannya. Oleh sebab itu keruntuhan suatu kebudayaan dapat

diramalkan

terlebih

dahulu

menurut

perhitungan.

Suatu

kebudayaan

mendekati keruntuhan apabila kultur sudah menjadi civilization (kebudayaan


yang sudah tidak dapat tumbuh lagi). Apabila kultur sudah kehilangan
jiwanya, maka daya cipta dan gerak sejarah akan membeku.
Karenanya, Spengler membedakan tentang kultur dan civilization. Istilah
pertama adalah kebudayaan yang masih hidup, sedangkan yang kedua
adalah peradaban, atau kebudayaan yang telah mati. Dalam Decline of the
West terangkum filsafat Spengler yang terangkum dalam tiga konsep yaitu
Relativisme, Pesimisme Dan Determinisme.
Pesimisme berati perkembangan masyarakat ditentukan oleh fatum dan
bukan oleh manusia, sehingga manusia hidup dalam sikap pesimis. Tidak
mampu

merubah

keadaan.

Dalam

dunia

Islam

termasuk

kelompok Jabariyah. Selanjutnya, determinisme berarti manusia tidak bisa


menentukan jalannya sejarah. Perjalanan sejarah ditentukan oleh faktor dari
luar diri manusia. Terakhir, relativisme. Pandangan ini berarti merupakan
konsekuensi bahwa sejarah tidak memiliki patokan yang jelas dan masingmasing kebudayaan memiliki isinya sendiri-sendiri. Dengan demikian suatu
kebudayaan tidak pernah bisa dimengerti oleh kebudayaan lain.

2. Dialektika Manusia dan Peradaban: Tantangan dan Respon


Arnold Joseph Toynbee
Toynbee memandang bahwa ada kesamaan pola kebudayaan atau
peradaban dalam sejarah umat manusia di manapun berada.
Ada perbedaan yang seolah menunjukkan bahwa Toynbee adalah anti
tesis

dari

Spengler.

Prediksi

Spengler

terutama

menyatakan

bahwa

kebudayaan Barat telah menemui ajalnya (doom) setelah dia melihat awal
dari berakhirnya kebudayaan Barat. Spengler seolah menggambarkan sikap
pesimitis peran manusia dalam mempertahankan kehidupannya. Berbeda

dengan Toynbee yang mengatakan bahwa Spengler hanya mempelajari


peradaban yang sangat tidak memadai dan pesimistis. Karena itu, dalam
karyanya A Study of History Toynbe menyatakan pemikiran visionernya untuk
menjawab

persoalan

timbul-tenggelamnya

peradaban

dengan

teori Challenge and Response (tantangan dan jawaban). Secara sederhana,


dari

teori

tantangan

dan

respon

ini

bisa

dikatakan

bahwa

sebuah

kebudayaan atau peradaban timbul karena adanya tantangan dan respon


manusia. Sebagai contoh yang diberikan Toynbee, yaitu tentang kelahiran
peradaban Mesir yang menurut pendapatnya merupakan sebuah respon
terhadap

tantangan

kegersangan

lingkungan

alam

sekitarnya

yang

mengancam, yaitu Padang Pasir Sahara. Dihadapkan pada tantangan ini,


Mesir Kuno mengeringkan rawa-rawa di wilayah Sungai Nil bagian selatan
dan diterusan dengan segala respons positif sehingga melahirkan peradaban
besar dalam sejarah. (Suryo, 2009: 18)
Dengan begitu kita mengetahui karakter manusia dalam peradaban
menurut Toynbee, yaitu manusia memiliki kekuatan untuk mengubah
perjalanan masa depan dan tetap menjaga peradaban dari kehancuran.

3. Interaksi Realitas dan Budaya: Pitirim A. Sorokin


Hal terpenting
kebudayaan

atau

perkembangan

dari

pemikirannya

klasifikasi

budaya

tiga

(Cuzzort,

adalah
tipologi

adanya

pola-pola

masyarakat

1985:3). Menurut

Cuzzort,

dalam
bangunan

atau pola ini dibuat atas dasar asumsi bahwa suatu kebudayaan sangat
dipengaruhi

oleh

bagaimana

cara

mendefinisikan

realitas

(Cuzzort,

1985:4). Dapat dikatakan bahwa dasar bagi perkembangan pola suatu


kebudayaan

muncul atas dasar

pemahaman ontologis dalam memaknai

realitas.
Dalam memahami realitas, Sorokin menekankan pada kenyataan sosialbudaya. Kenyataan tersebut menurutnya adalah sebuah supersistem budaya
yang

terintegrasi

dengan

mentalitas

budayanya. Karena

itu,

Sorokin

mengajukan tiga mentalitas budaya yang merupakan dasar supersistem


sosio-budaya sebagi berikut:
a. Kebudayaan Ideasional
Karakter mentalitas budaya tipe ini bersifat non-materi, transenden,
dan

perennial.

Dunia

dilihat

sebagai

suatu

ilusi,

sementera

dan

tergantung pada dunia transenden, atau sebagai aspek kenyataan yang


tidak sempurna dan tidak lengkap.
Pada tipe ini masih terbagi menjadi dua:
1) Kebudayaan ideasional asketik. Mentalitas ini memperlihatkan suatu
ikatan tanggung jawab untuk mengurangi sebanyak mungkin
kebutuhan materil manusia supaya mudah diserap ke dalam dunia
transenden
2) Kebudayaan ideasional aktif. Selain untuk mengurangi kebutuhan
inderawi, tipe ini berusaha mengubah dunia materil supaya selaras
dengan dunia transenden
b. Kebudayaan Inderawi (sensate culture)
Tipe ini didasarkan pada pemikiran pokok bahwa dunia materil yang
kita alami dengan indera kita merupakan satu-satunya kenyataan yang
ada. Eksistensi kenyataan transenden disangkal. Mentalitas ini dapat
dibagi sebagai berikut:
1) Kebudayaan inderawi aktif. Kebudayaan ini mendorong usaha aktif
dan giat untuk meningkatkan sebanyak mungkin pemenuhan
kebutuhan materil dengan mengubah dunia fisik ini sedemikian,
sehingga menghasilkan sumber-sumber kepuasan dan kesenangan
manusia. Mentalitas ini mendasari pertumbuhan teknologi dan
kemajuan-kemajuan ilmiah serta kedokteran.
2) Kebudayaan inderawi pasif. Mentalitas inderawi pasif meliputi hasrat
untuk mengalami kesenangan-kesenangan hidup inderawi setinggi-

tingginya. Sorokin menggambarkan pendekatan ini sebagai suatu


eksploitasi parasit, dengan motto, makan, minum dan kawinlah,
karena besok kita mati. Mengejar kenikmatan tidak dipengaruhi
oleh suatu tujuan jangka panjang apa pun.
3) Kebudayaan inderawi sinis.
Dalam hal tujuan-tujuan utama, mentalitas ini serupa dengan
kebudayaan inderawi pasif, kecuali bahwa mengejar tujuan-tujuan
inderawi/jasmaniah

dibenarkan

oleh

rasionalisasi

ideasional.

Dengan kata lain, mentalitas ini memperlihatkan secara mendasar


usaha

yang

bersifat

munafik

(hipokrit)

untuk

membenarkan

pencapaian tujuan materialistis atau inderawi dengan menunjukkan


sistem nilai transenden yang pada dasarnya tidak diterimanya.
c. Kebudayaan campuran
Tipe ini mengandung penegasan terhadap dasar berpikir (premis)
mentalitas ideasional dan inderawi. Ada dua tipe dasar yang terdapat
dalam mentalitas kebudayaan campuran ini:
1) Kebudayaan Idealistis. Kebudayaan ini terdiri dari suatu campuran
organis dari mentalitas ideasional dan inderawi, sehingga keduanya
dapat dilihat sebagai pengertian-pengertian yang sahih mengenai
aspek-aspek tertentu dari kenyataan akhir. Dengan kata lain, dasar
berpikir kedua tipe mentalitas itu secara sistematis dan logis saling
berhubungan.
2) Kebudayaan ideasional tiruan (Pseudo ideasional culture). Tipe ini
khususnya didominasi oleh pendekatan inderawi, tetapi unsur-unsur
ideasioal hidup secara berdampingan dengan inderawi, sebagai suatu
perspektif yang saling berlawanan. Tidak seperti tipe a di atas, kedua
perspektif yang saling berlawanan ini tidak terintegrasi secara
sistematis, kecuali sekedar hidup berdampingan sejajar satu sama lain.

Referensi
Suryo, Djoko. 2009. Transformasi Masyarakat Indonesia Dalam Historiograf
Indonesi
Modern. Yogyakarta: STPN Press.
Cuzzort,

Ray

P.

dan

Edit

W.

King.

1985. Kemelut Era Kita dalam

Pandangan Pitirim A.
Sorokin, Saduran: Mulyadi Guntur Waseso, YP2LPM, Malang.
http://www.pojokpedia.com/teori-perubahan-sosial-teori-siklus-pitirimsorokin.html

Anda mungkin juga menyukai