I. Pendahuluan
Pada saat melihat televisi, melewati billboard di pinggir jalan, saat menonton media
sosial dan membuka beberapa aplikasi seperti contohnya aplikasi belanja online, kita
melihat penampakan selebritis Korea yang menjadi artis iklan dari merek produk atau
jasa. Tidak hanya sampai di situ saja, beberapa produk mulai dari pakaian, makanan,
hingga tempat wisata mulai mengadaptasi budaya Korea untuk mendongkrak citra
brand ataupun meningkatkan penjualan mereka. Fenomena ini bukan lagi hal baru
dalam masyarakat tanah air. Sebelumnya, budaya Amerika, Eropa, China dan Jepang
telah memengaruhi format dan isi budaya populer mulai dari musik, program televisi,
dan perfilman di Indonesia. Fiske (2011) dalam bukunya berjudul “Understanding
Popular Culture” menyatakan bahwa budaya populer adalah kategori konsumsi yang
muncul konsumen kepada konsumen. Menurut Gogali (dalam Laura &
Wahyuningratna, 2021), budaya populer dapat hadir dan menghilang secara tiba-tiba
serta menjadi masif karena adanya kontribusi media massa. Budaya ini ditandai
dengan adanya pemakaian komoditas secara populer seiring perkembangan
industrialisasi melalui periklanan, industri hiburan, media, dan ikon sebuah gaya yang
diproduksi bagi massa yang luas sehingga budaya pop merupakan budaya yang
memang banyak disukai oleh orang karena memang diperuntukkan sesuai kesukaan
khalayak sasaran (Piliang, 2008; Saputra, 2018).
II. Pembahasan
Salah satu budaya populer yang marak berkembang di Indonesia ialah Korean Wave.
Adapun beberapa faktor yang berkontribusi pada munculnya Korean Wave ini
diprakarsai oleh pemerintah pada saat krisis keuangan Asia 1997 dengan tujuan
sebagai sumber utama pendapatan asing penting bagi kelangsungan dan kemajuan
ekonomi negara (Youna Kim dalam Park, 2020). Upaya pemerintah Korea ternyata
tidak mengecewakan karena hasil ekspor konten budaya Korea meningkat secara
eksponensial sejak tahun 2010. Hal ini membuat Shim (2006) mencetuskan bahwa
Koreanisasi merupakan bentuk baru dari imperialisme budaya. Pada awalnya, teori
imperialisme budaya dicetuskan oleh Schiller (1979) yakni merupakan dominasi
negara Barat di seluruh media massa dunia dimulai dari proses peniruan hingga
dalam jangka panjang bisa menyebabkan terjadinya penghancuran budaya asli dari
suatu negara. Namun, seiring berjalannya waktu, dominasi budaya tidak lagi berasal
dari budaya barat sebab Korea Selatan juga telah melalukan imperialsime budaya
dengan begitu masif menyebarkan dan menempatkan budaya Korea sebagai pusat
budaya dunia. Penyebaran itu juga terjadi di Indonesia di mana secara tidak langsung
masyarakat meniru budaya Korean Wave ke dalam bentuk gaya hidup, makanan, cara
berbicara, pakaian, hingga tempat wisata (Laura & Wahyuningratna, 2021).
Korean Wave atau Hallyu Wave menurut definisi dari Korean Culture and Information
Service merupakan fenomena mengalirnya budaya populer Korea Selatan yang
secara bertahap merambah pasar global, termasuk Indonesia terutama dimulai
dengan beberapa drama televisi, musik populer (K-pop), animasi, komik, dan game
(Ridaryanthi, 2014; Yong & Yoon, 2017). Korean Wave disambut baik oleh negara-
negara di seluruh dunia, mulai dari negara Timur ke Barat, negara maju dan
berkembang. Pertumbuhan budaya populer Korea yang tiba-tiba signifikan berpotensi
mendorong perkembangan budaya populer ini di pasar global. Evolusi dari media
sosial dan perkembangan internet semakin meningkatkan pengaruh Korean Wave di
seluruh dunia karena memberikan kemudahan serta kesempatan bagi khalayak
sasaran untuk mengakses media sosial dan menikmati K-Pop, game, film, komik,
serta produk budaya Korea lainnya (Jin, 2016; Lee & Nornes, 2015).
Melihat pengaruh besar Korean Wave ini terhadap ekonomi dan budaya nasional
negara ginseng tersebut, pemerintah Korea pun secara substansial mengubah
kebijakan budayanya yakni secara khusus memanfaatkan kepopuleran budaya Hallyu
tersebut sebagai sarana soft power untuk meningkatkan citra nasional (Yong & Yoon,
2017). Pemanfaatan tersebut menggunakan stasiun televisi di luar Korea, terutama di
negara-negara Asia yang memiliki nilai-nilai budaya hampir serupa. Minat yang tinggi
menimbulkan kuantitas pemirsa yang tinggi semakin membuat pemasok program
yakni pihak Korea dan penerima program yakni produsen/ stasiun televisi negara yang
dituju menggunakan budaya populer ini untuk menguntungkan kedua belah pihak
karena kantitas pemirsa yang tinggi merupakan komoditas berharga bagi produsen
untuk meningkatkan citra merek dan pembelian bagi produk (Triartanto dkk., 2020).
III. Penutup
Maka dari itu, perlu adanya keterlibatan banyak pihak mulai dari pemerintah, pihak
swasta yang memegang kendali atas media, produsen, dan masyarakat untuk
memberikan fokus kepada kebudayaan tradisional/lokal Indonesia karena
keberagaman budaya di tanah air merupakan ciri khas Indonesia yang patut untuk
dilestarikan. Bila perlu memanfaatkan kelebihan kebudayaan populer untuk
mendongkrak budaya lokal melalui penggabungan atau akulturasi dalam rangka
menghasilkan produk budaya lokal yang mampu menarik perhatian audiens hingga
mancanegara. Salah satu keberhasilan eksplorasi penggabungan antara musik
tradisional dengan musik modern EDM (electronic dance music) dapat dilihat pada
musik video “Wonderland Indonesia” karya Alffy Rev pada tahun 2021 yang disponsori
oleh Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek dalam rangka merayakan hari
kemerdekaan Indonesia sekaligus memperkenalkan kembali lagu daerah Indonesia.
Daftar Pustaka
Jin, D. Y. (2016). New Korean Wave: Transnational cultural power in the age of social
media. Urbana, IL: University of Illinois Press.
Lee, S. J., & Nornes, A. (2015). Hallyu 2.0: The Korean Wave in the age of social
media. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press.
Royan, Frans M. (2005). Marketing Selebrities: Selebriti dalam Iklan dan Strategi
Selebriti Memasarkan Diri Sendiri . Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Saputra, R. (2018). Representasi Budaya Populer dalam Novel Anak B-Jell Cheers
Karya Thalia Salsabilla (Tinjauan Sosiologi Sastra). 10–27.
Shim, D. (2006). Hybridity and the rise of Korean popular culture in Asia. Media,
Culture & Society. Singapura: National University of Singapore.
Simbar, F. K. (2016). Fenomena Konsumsi Budaya Korea Pada Anak Muda di Kota
Manado. Jurnal Holistik, 10(18).
Triartanto, A. Y., Suryanto, A. D., & Mutiah, T. (2020). Diseminasi Budaya Pop Televisi
Celebrity Branding pada Iklan E-Commerce. Global Komunika, 1(2), 32–44.
Yong, D. J., & Yoon, T. J. (2017). The Korean Wave: Retrospect and prospect.
International Journal of Communication, 11(9), 2241–2249.
https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/6296/2047