Anda di halaman 1dari 7

Ujian Tengah Semester DS5232 Desain dan Media

Karinda Rumahorbo – 27121086


Topik: Desain, Media, dan Representasi

REPRESENTASI BUDAYA POPULER KOREAN WAVE DI INDONESIA

I. Pendahuluan

Pada saat melihat televisi, melewati billboard di pinggir jalan, saat menonton media
sosial dan membuka beberapa aplikasi seperti contohnya aplikasi belanja online, kita
melihat penampakan selebritis Korea yang menjadi artis iklan dari merek produk atau
jasa. Tidak hanya sampai di situ saja, beberapa produk mulai dari pakaian, makanan,
hingga tempat wisata mulai mengadaptasi budaya Korea untuk mendongkrak citra
brand ataupun meningkatkan penjualan mereka. Fenomena ini bukan lagi hal baru
dalam masyarakat tanah air. Sebelumnya, budaya Amerika, Eropa, China dan Jepang
telah memengaruhi format dan isi budaya populer mulai dari musik, program televisi,
dan perfilman di Indonesia. Fiske (2011) dalam bukunya berjudul “Understanding
Popular Culture” menyatakan bahwa budaya populer adalah kategori konsumsi yang
muncul konsumen kepada konsumen. Menurut Gogali (dalam Laura &
Wahyuningratna, 2021), budaya populer dapat hadir dan menghilang secara tiba-tiba
serta menjadi masif karena adanya kontribusi media massa. Budaya ini ditandai
dengan adanya pemakaian komoditas secara populer seiring perkembangan
industrialisasi melalui periklanan, industri hiburan, media, dan ikon sebuah gaya yang
diproduksi bagi massa yang luas sehingga budaya pop merupakan budaya yang
memang banyak disukai oleh orang karena memang diperuntukkan sesuai kesukaan
khalayak sasaran (Piliang, 2008; Saputra, 2018).

II. Pembahasan

Salah satu budaya populer yang marak berkembang di Indonesia ialah Korean Wave.
Adapun beberapa faktor yang berkontribusi pada munculnya Korean Wave ini
diprakarsai oleh pemerintah pada saat krisis keuangan Asia 1997 dengan tujuan
sebagai sumber utama pendapatan asing penting bagi kelangsungan dan kemajuan
ekonomi negara (Youna Kim dalam Park, 2020). Upaya pemerintah Korea ternyata
tidak mengecewakan karena hasil ekspor konten budaya Korea meningkat secara
eksponensial sejak tahun 2010. Hal ini membuat Shim (2006) mencetuskan bahwa
Koreanisasi merupakan bentuk baru dari imperialisme budaya. Pada awalnya, teori
imperialisme budaya dicetuskan oleh Schiller (1979) yakni merupakan dominasi
negara Barat di seluruh media massa dunia dimulai dari proses peniruan hingga
dalam jangka panjang bisa menyebabkan terjadinya penghancuran budaya asli dari
suatu negara. Namun, seiring berjalannya waktu, dominasi budaya tidak lagi berasal
dari budaya barat sebab Korea Selatan juga telah melalukan imperialsime budaya
dengan begitu masif menyebarkan dan menempatkan budaya Korea sebagai pusat
budaya dunia. Penyebaran itu juga terjadi di Indonesia di mana secara tidak langsung
masyarakat meniru budaya Korean Wave ke dalam bentuk gaya hidup, makanan, cara
berbicara, pakaian, hingga tempat wisata (Laura & Wahyuningratna, 2021).

Korean Wave atau Hallyu Wave menurut definisi dari Korean Culture and Information
Service merupakan fenomena mengalirnya budaya populer Korea Selatan yang
secara bertahap merambah pasar global, termasuk Indonesia terutama dimulai
dengan beberapa drama televisi, musik populer (K-pop), animasi, komik, dan game
(Ridaryanthi, 2014; Yong & Yoon, 2017). Korean Wave disambut baik oleh negara-
negara di seluruh dunia, mulai dari negara Timur ke Barat, negara maju dan
berkembang. Pertumbuhan budaya populer Korea yang tiba-tiba signifikan berpotensi
mendorong perkembangan budaya populer ini di pasar global. Evolusi dari media
sosial dan perkembangan internet semakin meningkatkan pengaruh Korean Wave di
seluruh dunia karena memberikan kemudahan serta kesempatan bagi khalayak
sasaran untuk mengakses media sosial dan menikmati K-Pop, game, film, komik,
serta produk budaya Korea lainnya (Jin, 2016; Lee & Nornes, 2015).

Saat ini, perkembangan budaya Korea marak mendominasi media-media di Indonesia


hingga para produsen barang/jasa melihat hal ini sebagai potensi untuk meningkatkan
penjualan mereka. Adapun media menjadi bagian dalam distirbusi budaya populer
secara tak langsung karena media menjadi jembatan antara produsen dan konsumen
yang bertujuan untuk mempengaruhi gaya hidup masyarakat (Abdullah dalam Simbar,
2016). Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Triartanto dkk., (2020), penyebaran
budaya populer Korea menjadi komunikasi efektif yang mampu mengubah perilaku
target audiens. Hal tersebut dikarenakan para artis Korea yang memiliki pengaruh
secara kognitif, afektif, dan konatif terhadap pemirsa Indonesia. Maka dari itu,
periklanan di Indonesia sudah mulai mengikuti tren budaya Korea, seperti
mengundang artis Korea sebagai brand ambassador, atau menggunakan konsep
drama Korea untuk mempersuasi khalayak sasaran, terutama remaja. Beberapa
contoh produk barang dan jasa Indonesia yang menggunakan artis Korea sebagai
brand ambassador ialah Shopee, Mie Sedap, Tokopedia, hingga produk domestik
seperti Ruang Guru juga ikut memanfaatkan selebriti Korea sebagai bintang iklan
yang muncul di media televisi, media konvensional, serta media digital karena hal
tersebut mampu meningkatkan citra merek serta mempengaruhi persepsi masyarakat
terhadap suatu merek hingga menimbulkan keinginan untuk membeli (Triartanto dkk.,
2020). Sebuah iklan yang disampaikan menggunakan selebriti populer akan
menimbulkan perhatian dan mudah diingat oleh khalayak sasaran (Royan, 2005).

Gambar I: Iklan Indonesia Menggunakan Selebriti Korea


(sumber: www.google.com)

Melihat pengaruh besar Korean Wave ini terhadap ekonomi dan budaya nasional
negara ginseng tersebut, pemerintah Korea pun secara substansial mengubah
kebijakan budayanya yakni secara khusus memanfaatkan kepopuleran budaya Hallyu
tersebut sebagai sarana soft power untuk meningkatkan citra nasional (Yong & Yoon,
2017). Pemanfaatan tersebut menggunakan stasiun televisi di luar Korea, terutama di
negara-negara Asia yang memiliki nilai-nilai budaya hampir serupa. Minat yang tinggi
menimbulkan kuantitas pemirsa yang tinggi semakin membuat pemasok program
yakni pihak Korea dan penerima program yakni produsen/ stasiun televisi negara yang
dituju menggunakan budaya populer ini untuk menguntungkan kedua belah pihak
karena kantitas pemirsa yang tinggi merupakan komoditas berharga bagi produsen
untuk meningkatkan citra merek dan pembelian bagi produk (Triartanto dkk., 2020).

Gambar II: Iklan Indonesia Menggunakan Selebriti Korea


(sumber: www.google.com)
Pada penjelasan sebelumnya dibahas bagaimana pihak kapitalis menggunakan
budaya populer untuk mencapai tujuan masing-masing dengan mengemas budaya
Korea melalui media dalam rangka menarik minat khalyak sasaran. Apabila terus
dibiarkan akan menyebabkan budaya asli/lokal semakin kurang menarik di mata target
audiens terutama remaja sebagai insan generasi penerus bangsa. Namun beberapa
peneliti seperti Joke Hermes (2005) dan Stubhaar yang justru berpendapat bahwa
penerimaan masyarakat terhadap produk-produk (drama, program televisi, perfilman,
musik, kuliner) dari negara seperti Korea, Jepang dan lainnya didasari oleh kesamaan
budaya Asia, sebagai bentuk pelarian dari aktivitas yang menjenuhkan, atau hanya
didasarkan pada keinginan semata tanpa berkaitan dengan politik suatu negara
sehingga persoalan imperialisme budaya dapat dibantah. Budaya populer dikatakan
hanyalah sebuah jembatan yang menghubungkan antara fantasi yang disukai
penikmatnya dengan target audiens (Ida dkk., 2019). Oleh karena itu, budaya populer
akan terus dikonsumsi selama hal tersebut memenuhi selera masyarakat. Namun,
peneliti justru menganggap ini sebagai suatu kelemahan karena seharusnya budaya
lokal nusantara dapat memberikan respons kesukaan yang sama bagi masyarakat
agar budaya lokal dapat terus lestari.

III. Penutup

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa media


memiliki peran penting dalam menyebarkan budaya populer Korea kepada
masyarakat Indonesia. Mengutip pernyataan Fiske bahwa kemampuan dari media
baru dapat digunakan untuk tujuan tertentu, seperti mencerminkan konteks suatu
kebudayaan. Teknologi baru tidak dapat dengan sendirinya menghasilkan perubahan
sosial karena selera masyarakat bergantung pada tren yang sedang muncul. Pada
akhirnya, suatu saat program dari budaya populer seperti Hallyu Wave ini bisa
berganti dengan program dari budaya negara lain, sesuai dengan kodrat budaya
populer pada umumnya yakni budaya yang bisa muncul dan menghilang seturut
perkembangan zaman.

Maka dari itu, perlu adanya keterlibatan banyak pihak mulai dari pemerintah, pihak
swasta yang memegang kendali atas media, produsen, dan masyarakat untuk
memberikan fokus kepada kebudayaan tradisional/lokal Indonesia karena
keberagaman budaya di tanah air merupakan ciri khas Indonesia yang patut untuk
dilestarikan. Bila perlu memanfaatkan kelebihan kebudayaan populer untuk
mendongkrak budaya lokal melalui penggabungan atau akulturasi dalam rangka
menghasilkan produk budaya lokal yang mampu menarik perhatian audiens hingga
mancanegara. Salah satu keberhasilan eksplorasi penggabungan antara musik
tradisional dengan musik modern EDM (electronic dance music) dapat dilihat pada
musik video “Wonderland Indonesia” karya Alffy Rev pada tahun 2021 yang disponsori
oleh Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek dalam rangka merayakan hari
kemerdekaan Indonesia sekaligus memperkenalkan kembali lagu daerah Indonesia.

Daftar Pustaka

Fiske, J. (2011). Understanding Popular Culture. London: Routledge.

Ida, R. (Eds). (2019). Budaya Populer Indonesia: Diskursus Global/Lokal dalam


Budaya Populer Indonesia, Jawa Timur: Airlangga University Press.

Jin, D. Y. (2016). New Korean Wave: Transnational cultural power in the age of social
media. Urbana, IL: University of Illinois Press.

Laura, R., & Wahyuningratna, R. N. (2021). Representasi Imperialisme Budaya Korea


Dalam Iklan Nutrisari Versi “Jung Min Butuh Vitamin.” Ekspresi Dan Persepsi :
Jurnal Ilmu Komunikasi, 4(1), 1–12. https://doi.org/10.33822/jep.v4i1.2173

Lee, S. J., & Nornes, A. (2015). Hallyu 2.0: The Korean Wave in the age of social
media. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press.

Park, H. (2020). Understanding Hallyu. New York: Routledge


https://doi.org/10.4324/9781003140115

Piliang, Y. A. (2009). Sastra dan E(ste)tika Massa. Pikiran Rakyat.

Ridaryanthi, M. (2014). Bentuk Budaya Populer dan Konstruksi Perilaku Konsumen


Studi Terhadap Remaja. Jurnal Visi Komunikasi, 13(1), 87-104.

Royan, Frans M. (2005). Marketing Selebrities: Selebriti dalam Iklan dan Strategi
Selebriti Memasarkan Diri Sendiri . Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Saputra, R. (2018). Representasi Budaya Populer dalam Novel Anak B-Jell Cheers
Karya Thalia Salsabilla (Tinjauan Sosiologi Sastra). 10–27.

Shim, D. (2006). Hybridity and the rise of Korean popular culture in Asia. Media,
Culture & Society. Singapura: National University of Singapore.

Simbar, F. K. (2016). Fenomena Konsumsi Budaya Korea Pada Anak Muda di Kota
Manado. Jurnal Holistik, 10(18).

Triartanto, A. Y., Suryanto, A. D., & Mutiah, T. (2020). Diseminasi Budaya Pop Televisi
Celebrity Branding pada Iklan E-Commerce. Global Komunika, 1(2), 32–44.

Yong, D. J., & Yoon, T. J. (2017). The Korean Wave: Retrospect and prospect.
International Journal of Communication, 11(9), 2241–2249.
https://ijoc.org/index.php/ijoc/article/view/6296/2047

Anda mungkin juga menyukai