Anda di halaman 1dari 344

PEMIKIRAN POLITIK MAO TSE TUNG TENTANG REVOLUSI DUA

TAHAP UNTUK PEMBANGUNAN SOSIALISME DI TIONGKOK

Oleh:

SYMPHATI DIMAS RAFI’I

F1D009046

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

PURWOKERTO

2016

i
ii
PERNYATAAN

Dengan ini, saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya

sendiri dan dalam skripsi ini, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi. Sepengetahuan saya,

dalam skripsi ini, juga tidak terdapat karya atau pendapat orang lain yang pernah

ditulis atau diterbitkan, kecuali yang dikutip dan diacu sesuai dengan referensi

dalam daftar pustaka. Dengan kata lain, semua isi yang ada dalam skripsi menjadi

tanggung jawab saya. Apabila ada tulisan yang dianggap sebagai plagiasi, maka

saya bersedia untuk dicabut gelar kesarjanaan saya.

Purwokerto,03 Mei 2016

Symphati Dimas Rafi‟i


F1D009046

iii
MOTTO

“Intelektual sering cenderung subjektif dan individualistik, tidak


praktis dalam pemikiran mereka dan tidak tegas dalam tindakan
sampai mereka menerjunkan hati dan jiwanya ke perjuangan massa
revolusioner, atau membangkitkan kesadaran mereka untuk terus
melayani kepentingan rakyat dan menjadi satu dengannya”
-Mao Tse Tung-

“Suatu hari nanti, pasti akan muncul cahaya kemerdekaan. Pintu


kebebasan akan terbuka. Saat itulah, yang hina berubah menjadi
mulia”

“Alangkah indah kehidupan tanpa merangkak-rangkak di hadapan


orang lain” -Pramoedya Ananta Toer-

iv
PERSEMBAHAN

Untuk:
“seluruh semesta perlawanan”
Semoga karya kecil ini bermanfaat

v
RINGKASAN

Penelitian ini bertujuan antara lain sebagai berikut: Pertama,


memahami perspektif pemikiran Mao Tse Tung tentang Revolusi Dua Tahap.
Kedua, mengetahui dan memahami pemikiran Mao Tse Tung tentang revolusi dua
tahap dan korelasinya terhadap pembangunan sosialisme di Tiongkok. Dilandasi
oleh perspektif filsafat politik dan paradigma konstruktivisme, penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan hermeneutika.
Sementara data diperoleh dengan menggunakan teknik analisis data penafsiran
teks secara mendalam dari Hans Georg Gadamer.
Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pemikiran politik Mao Tse
Tung tentang Revolusi Dua Tahap untuk pembangunan sosialisme di Tiongkok
terpengaruh oleh marxisme-leninisme dan kondisi sosial politik di Tiongkok.
Revolusi Dua Tahap merupakan karakter revolusi dari Tiongkok yang berbentuk
setengah jajahan setengah feodal. Dalam hal ini, revolusi dua tahap terdiri dari
Revolusi Demokrasi Baru dan Revolusi Sosialis. Revolusi Demokrasi Baru
merupakan revolusi tahap pertama yang bertujuan menghancurkan dominasi
imperialisme dan feodalisme di Tiongkok dengan tiga aspek pokoknya, yaitu
kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok, perang tahan lama, dan pembangunan
front persatuan nasional. Tenaga penggerak dalam Revolusi Demokrasi Baru
adalah kelas-kelas revolusioner di Tiongkok yang terdiri dari proletariat, kaum
tani, borjuasi kecil, dan borjuasi nasional yang progresif. Revolusi Demokrasi
Baru bertujuan untuk mendirikan negara Republik Rakyat Tiongkok dengan
karakter diktator demokrasi rakyat. Sedangkan Revolusi Sosialis adalah revolusi
yang akan membangun sistem sosialisme di Tiongkok. Negara akan berubah
menjadi negara yang berkarakter diktator proletariat. Terdapat tiga aspek pokok
dalam upaya pembangunan sosialisme di Tiongkok, yaitu revolusi agraria,
pembangunan industri nasional, dan revolusi besar kebudayaan proletariat.
Kesimpulannya adalah revolusi dua tahap adalah teori tentang revolusi untuk
Tiongkok dengan kondisi setengah jajahan setengah feodal. Revolusi Dua Tahap
adalah revolusi yang mengantarkan Tiongkok untuk membangun negara dengan
sistem sosialis.

Kata Kunci: sosialisme, revolusi dua tahap, marxisme-leninisme,


setengah jajahan setengah feodal, demokrasi baru

vi
SUMMARY

This research entitling “The Political Thought of Mao Tse Tung on


Two-Stage Revolution for the Development of Socialism in Tiongkok” aims at:
First, knowing and understanding the perspective of Mao Tse Tung on two-stage
revolution. Second, understanding and discribing the political thought of Mao
Tse Tung on two-stage revolution for the development of socialism in Tiongkok.
Based on the perspective of political philosophy and constructivism paradigm,
this research a qualitative method with a hermeneutic approach. The data in this
research are collected by using in-depth interpretation of text from Hans Georg
Gadamer as the data-analysis technique.
The result of this study reveals that the political thought of Mao Tse
Tung on Two-Stage Revolution for the development of socialism in Tiongkok is
influenced by marxism-leninism and the sociopolitical condition in Tiongkok. The
Two-Stage Revolution is a revolution character from Tiongkok in the form of
semi-colonial semi-feudal condition. In this case, the Two-Stage Revolution
consists of the New Democratic Revolution and the Socialist Revolution. The New
Democratic Revolution is a revolution that aims at destroying the first- phase
domination of imperialism and feudalism in Tiongkok with three main aspects, i.e.
the Tiongkok Communist Party leadership, the long-lasting wars, and the
development of the national united front. The driving force in the New
Democratic Revolution is the revolutionary classes in Tiongkok, which consisting
of the proletariat, the peasantry, the petite bourgeoisie, and the progressive
national bourgeoisie. The New Democratic Revolution aims at establishing the
Republic of Tiongkok with the character of the people democratic dictatorship.
Meanwhile, the socialist revolution is a revolution that will build a system of
socialism in Tiongkok. In this case, the state will turn into a country that has a
character of the proletariat dictatorship. There are three main aspects for the
development of socialism in Tiongkok, i.e. the agrarian revolution, the national
industrial development, and the great cultural revolution of the proletariat. In
conclusion, the Two-Stage Revolution is a theory of a revolution for Tiongkok
with the semi-colonial semi-feudal condition. Finally, the Two-Stage Revolution
is a revolution that has brought Tiongkok to build a country with a socialist
system.

Keyword: socialism, two-stage revolution, marxism-leninism, semi-colonial semi-


feudal, new-democratic

vii
KATA PENGANTAR

Seluruh dukungan dari berbagai elemen yang pernah bersinggungan


oleh penulis baik secara langsung ataupun tidak adalah aspek penting dalam
terselesaikannya penyusunan karya kecil yang berjudul “Pemikiran Mao Tse Tung
tentang Revolusi Dua Tahap untuk Pembangunan Sosialisme di Tiongkok”.
Skripsi ini merupakan sebuah hasil dari rentetan proses dialektika selama penulis
berada di Kampus. Selama proses penulisan, tentu bukan tanpa hambatan,
berbagai tantangan dan kesukaran adalah kewajaran dalam sebuah proses, hal ini
yang terus memacu penulis untuk menyelesaikannya satu per satu.
Mao Tse Tung merupakan tokoh Marxis-Leninis yang konsisten
menerapkan prinsip-prinsip dari ideologi Marxisme-Leninisme. Pemikiran Mao
Tse Tung merupakan pemikiran tokoh revolusioner sekaligus seorang negarawan
yang saat ini tidak lagi banyak diketahui oleh mayoritas masyarakat Indonesia.
Padahal, pemikiran Mao merupakan „alat pemandu‟ bagi perjuangan rakyat
Tiongkok untuk membebaskan diri dari belenggu penghisapan dan penindasannya
hingga mampu membangun sebuah negara sosialis yang besar. Lebih jauh lagi,
berbagai revolusi dan perjuangan kemerdekaan negara-negara jajahan maupun
setengah jajahan seperti, Vietnam, Kuba, Filipina, Nepal, Korea Utara juga tidak
lepas dari pengaruh pemikirannya. Selain itu, di Indonesia pada periode pra
hingga pasca kemerdekaan pemikiran tersebut menjadi referensi dan pedoman
untuk merebut hingga upaya mempertahankan kemerdekaannya.
Pemikiran yang sistematis dan praktis inilah yang menggugah hasrat
penulis untuk mempelajarinya lebih dalam. Hal ini juga yang menjadikan penulis
untuk menetapkan hati memilih pemikiran Mao Tse Tung sebagai tema skripsi ini.
Bagi penulis, pemikiran Mao Tse Tung, khususnya yang berkaitan dengan
revolusi dua tahap dan pembangunan sosialisme tidak hanya sebatas teks atau
rentetan pemikiran biasa, namun penulis memandangnya sebagai suluh yang
mampu menerangi gelapnya zaman.

viii
Revolusi dua tahap adalah gagasan yang menjadikan Mao sebagai sosok
yang menyajikan „alternatif‟ di tengah gelombang pemikiran liberal yang
digawangi oleh imperialis dan rusaknya Marxisme-Leninisme akibat suburnya
pemikiran Revisionis Modern. Seolah, akan tergerus oleh zaman, pemikiran yang
didasari oleh kemurnian Marxisme-Leninisme muncul dengan bentuknya yang
paling baru sesuai dengan perkembangan objektifnya melalui pemikiran Mao.
Revolusi dua tahap merupakan revolusi yang menjadi karakter dari negara-negara
jajahan dan setengah jajahan di dunia untuk menghancurkan dominasi
imperialisme dan keberadaan feodalisme. Dalam hal ini, aspek utama dari
pemikirannya tentang revolusi adalah tentang peran dan kepemimpinan Partai
Komunis Tiongkok, perjuangan rakyat bersenjata, hingga pembangunan front
persatuan nasional. Begitu pula halnya dengan pembangunan sosialisme yang
digagas oleh Mao di Tiongkok. Mao menjadi pemimpin utama dalam membangun
Tiongkok menjadi negeri sosialis. Melalui pemikirannya dalam hal kolektivisasi
agraria, revolusi besar kebudayaan proletariat, hingga pembangunan industri
nasional yang mandiri adalah „tiang penyangga‟ pembangunan sosialisme di
Tiongkok. Semua itu yang menjadi pembahasan utama penulis dalam skripsi ini.
Penulis meyakini bahwa sekecil apapun karya jika ditujukan untuk
massa akan sangat bermanfaat. Mudah-mudahan karya ini juga merupakan bagian
dari hal itu. Karya ini diberikan dan ditujukan sepenuhnya untuk massa, karena
penulis yakin, bahwa massa adalah pencipta sejarah dan peradaban. Bagi penulis,
penulis merasa sangat merasakan manfaat yang luar biasa selama proses
penulisan. Penulis dapat semakin membuka pikiran terhadap pandangan-
pandangan mengenai perjuang, arti hidup, dan bagaimana menjalani kehidupan.
Keyakinan massa bahwa perubahan nasib untuk menjadi lebih baik akan datang,
keyakinan itu bagi penulis bukan tanpa sebab. Sama halnya dengan harapan
kemerdekaan saat Indonesia dalam belenggu kolonialisme dengan waktu yang
begitu lama, pada awalnya hanya segelintir yang meyakini kemerdekaan akan
datang, namun proses menjawab bahwa keyakinan itu menyebar dan terbukti
nyata. Terakhir, penulis juga mampu belajar bagaimana kondisi dan perjuangan
rakyat Tiongkok yang tiada henti dan tanpa lelah dalam merebut kemerdekaannya.

ix
Penulis sangat sadar bahwa karya ini masih terdapat begitu banyak
kekurangan. Penulis sadar bahwa dalam memahami dan menyusun pemikiran
Mao diperlukan ketekunan dan pengetahuan yang komprehensif tidak hanya
dalam konteks karya-karyanya. Dalam memahami hal tersebut, dibutuhkan
cakrawala pengetahuan yang luas mengenai kondisi Tiongkok saat itu, juga
memahami secara mendalam pemikiran-pemikiran Karl Marx, Engels, Lenin
hingga Stalin sebagai pemikir yang menjadi rujukan Mao dalam membangun
pemikirannya. Oleh karena itu, penulis dengan penuh kerendahan hati sangat
mengharapkan hadirnya kritik yang membangun terhadap skripsi ini.
Akhir kata, pada kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terima
kasih yang dalam terhadap seuruh pihak yang telah membantu selama proses
belajar penulis dan proses penyusunan skripsi ini. Karena, saat ini hanya ucapan
terima kasih-lah yang dapat penulis berikan untuk segala bantuan yang telah
diberikan kepada penulis.

Berikut ucapan terima kasih penulis ingin sampaikan kepada pihak-


pihak yang telah berjasa dengan memberikan dukungan, baik materil maupun non
materil, selama proses penyusunan karya kecil ini:
1. Bapak Elan Surahlan dan Ibu Sri Andarusmini selaku orang tua sekaligus
teman yang tiada henti mengingatkan dan memberi dukungan segala hal
untuk menyelesaikan skripsi ini. Relakanlah anak-anakmu memilih jalan
hidupnya sendiri.
2. Dr. Sofa Marwah, M, Si selaku pembimbing utama skripsi ini, telah
banyak mencurahkan waktu, pemikiran, koreksi, dan masukan yang
berharga selama proses hingga selesainya skripsi ini.
3. Triana Ahdiati selaku dosen pembimbing kedua skripsi ini yang telah
sabar memotovasi penulis melalui sindiran dan marah-marahnya yang
mengasyikan. Terima kasih telah memantik rasa ingin tahu yang dalam
selama penulis berkuliah.
4. Andi Ali Said Akbar selaku penguji skripsi yang telah memberi masukan,
koreksi, serta dukungan yang sangat berharga.
5. Bapak Indaru Setyo Nurprojo dan Solahuddin Kusumanegara selaku
pembimbing akademik yang telah banyak membantu dan mengarahkan
penulis selama berkuliah, begitu juga dengan masukan-masukan dan
sumbangan beribu nasehat agar penulis tetap rajin menulis skripsi ini.
6. Ibu Oktafiani Catur Pratiwi, S.IP. MA selaku Ketua Jurusan Ilmu Politik.

x
7. Dr. Ali Rokhman, M. Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Unsoed yang telah membubuhkan tanda pengesahan skripsi ini.
8. Symphati Diva R, adikku tercinta. Mulailah belajar dan berpikir yang
benar. Kelak kau akan menjadi bagian dari perubahan zaman baru.
9. Dia yang tidak kunjung padam Adzkiya Syahidah. Membara membakar
semangat, terima kasih dan jangan pernah padam.
10. Ibu dan Bapak dosen jurusan Ilmu Politik dan dosen-dosen jurusan lain
yang telah berdialektika bersama baik di ruang kuliah maupun dalam
segala kesempatan.
11. Staff Jurusan Ilmu Politik, Mas Miftah dan Mas Trisno yang telah
membantu dalam segala hal dan memberikan perhatian juga terhadap
penulis dalam proses perkuliahan hingga selesai.
12. Kawan-kawan Ilmu Politik 2009: Fica, Eko Surya, Bage, Rijal, Kahfi,
Ramdhan, Ibel, Arip, Pendi, Tria, Dida, Ana, Nisa, Seto, Tomo, Novia,
Dea, Sendi, Shandy, Prabowo, Mara, Denif, Sugi, Nia, Iwan, Fadli, dan
lainnya, terima kasih telah memberikan dukungan dan saling memberikan
semangat untuk segera menyelesaikan skripsi, dan tak lupa terima kasih
atas keikhlasannya untuk berbagi ilmu selama ini.
13. Kawan-kawan Kolektif Pimpinan Pusat Front Mahasiswa Nasional:
Rachmad P Panjaitan, Badarudin, Nuradam, Widianto, Tri Mulyono,
Sofian Efendi, Anggarda, Rizqi yang telah banyak sekali memberikan
pelajaran berharga baik teori maupun praktik yang maju, juga telah secara
sabar membantu dan menyemangati penulis dalam penyusunan skripsi ini.
Jayalah Perjuangan Massa!!.
14. Kawan-kawan Front Mahasiswa Nasional Cabang Purwokerto, yang telah
belajar, berorganisasi, dan berjuang bersama, Bagus Munnaraya, Ahmad
Taqiyudin, Edy Prianto, Yahya Z, Hasatamah Acep, Harry K, Handika F,
Dwi P, Inggit, Sipit, Dajjal, Arthur, Andry W, Laras P, Haris, Rio S, Heru
H, Hirmaski, Mugianto, Azmi Fajar, Ahmad Sucipto, Imah, Bintang,
Arbiawan, Nina, Zaky, Fariza, Bondan, Panji, Fredrick, Fachrurrozi, Deni,
Azka, Fikky, Gais, Seto, Asep, Chen, Naufal, Azmi Besar, Along, Acong,
Tigis, Yusril, Rachel, Biko, Adam coro, Dea, Nuni S, Bani, Hristo,
Bangkit, Dennis, Beler, Dita, Ihbar, Kiki, Septa, Avier, Ghea, Septi, Echi,
Kibe, Fauzi, Arif, Wildan, Bonnie, Anggi, dan semoga „ribuan‟ lainnya
yang telah berproses bersama dengan curahan pikiran dan tenaga yang luar
biasa besar. Tetap jaga semangat, tetap giat belajar, perjuangan adalah
darah dan jiwa kita.
15. Pak Slamet Suparmo, kakek-kakek yang tiada lelah memberikan semangat
dan dorongan baik nasihat hingga meminjamkan buku-buku tua sebagai
penunjang dalam penulisan skripsi ini.

xi
16. Serikat Tani Amanat Penderitaan Rakyat (STAN AMPERA): Pak Katur,
Pak Darsum, Bung Zaenal, Bung Karsim, Bung Rasiman, dan lainnya
seluruh kaum tani yang banyak memberikan tempaan panjang selama
penulis berada di sana. Yakinlah rakyat pasti menang.
17. Kawan-kawan Organisasi: Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI),
Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), KABAR BUMI, Serikat
Pemuda Jakarta (SPJ), INDIES, SERUNI, MINERAL dan lainnya.
18. Kawan-kawan Organisasi-organisasi di Purwokerto: IMM, PMII,
KAMMI, LMND, HMI MPO, HMI, PMKRI, GMKI, GMNI, GEMA
Pembebasan, LPM SOLIDARITAS, Teater Si ANAK, LPM Pro Justitia,
Teater Teksas, Teater Didik, yang telah berproses bersama.
19. Dan, seluruh semesta perlawanan.

Selamat membaca

Purwokerto,03 Mei 2016

Symphati Dimas Rafi‟i

xii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Matriks Penelitian Terdahulu ............................................................ 26


Tabel 2. Matriks Fokus Kajian Penelitian ........................................................ 31
Tabel 3. Klasifikasi Rumpun Bahasa di Tiongkok .......................................... 94
Tabel 4.Persebaran dan Jumlah Populasi Suku di Tiongkok Menurut Sensus
Resmi Tahun 1957 ............................................................................. 95
Tabel 5. Peningkatan Produksi Agrikultur di Tiongkok Sejak 1957 ............... 303

xiii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Saint Simon: Pencetus Pemikiran Sosialisme Utopis ................... 48

Gambar 2. Charles Fourier: Tokoh Sosialisme Utopis dengan Jalan

Reformasi Birokrasi ...................................................................... 52

Gambar 3. Robert Owen: Sosok Borjuasi dan Pemikir Sosialisme Utopis

asal Inggris .................................................................................... 55

Gambar 4. Karl Marx dan Friedrich Engels: Tokoh Pemikir Sosialisme

Ilmiah ............................................................................................ 60

Gambar 5. Peta Pemikiran dan Perkembangan Sosialisme dari Utopis

hingga ilmiah ................................................................................. 69

Gambar 6. Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) Pemimpin Revolusi Sosialis

Uni Soviet...................................................................................... 73

Gambar 7. Peta Negara Tiongkok ................................................................... 109

Gambar 8. Bentuk Hukuman Mati bagi Para Pemberontak yang Dilakukan

oleh Pasukan Imperialis ................................................................ 114

Gambar 9. Mao Tse Tung: Pemimpin Revolusi Tiongkok ............................. 126

Gambar 10.Mao Tse Tung saat Meninggal Dunia Pada 9 September 1976 .... 138

Gambar 11.Peta Pemikiran Mao Tse Tung tentang Analisis Kelas,

Kontradiksi dan Demokrasi Baru .................................................. 181

Gambar 12.Bendera Partai Komunis Tiongkok ............................................... 213

Gambar 13.Peta Jalur yang ditempuh saat Long March 1934-1935 ................ 250

Gambar 14.Lambang Negara Republik Rakyat Tiongkok yang Diresmikan

Pada 18 Juni 1950 ......................................................................... 276

xiv
Gambar 15.Bendera Republik Rakyat Tiongkok ............................................. 279

Gambar 16.Mao Tse Tung Sedang Membacakan Deklarasi Republik Rakyat

Tiongkok pada 1 Oktober 1949 ..................................................... 281

Gambar 17.Pemikiran Politik Mao Tse Tung tentang Revolusi Dua Tahap

untuk Pembangunan Sosialisme di Tiongkok ............................... 312

xv
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM

KMT : Partai Nasionalis Tiongkok

Komintern : Komunis Internasional

PD I : Perang Dunia 1

PD II : Perang Dunia 2

PKT : Partai Komunis Tiongkok

RBKP : Revolusi Besar Kebudayaan Proletariat

xvi
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
HALAMAN PERNYATAAN ......................................................................... iii
MOTTO ....................................................................................................... iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... v
RINGKASAN .................................................................................................. vi
SUMMARY ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM .................................................... xvi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1


1.1 Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................... 7
1.3 Pembatasan Masalah .............................................................. 7
1.4 Tujuan Penelitian ................................................................... 7
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................. 8
1.5.1 Manfaat Teoretis ........................................................... 8
1.5.2 Manfaat Praktis ............................................................. 8
1.6 Sistematika Penulisan Laporan Penelitian ............................. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 11


2.1 Kerangka Teoretis dan Pemikiran Penelitian ......................... 11
2.2 Penelitian Terdahulu .............................................................. 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................... 28


3.1 Metode Penelitian................................................................... 29
3.2 Pendekatan Penelitian ............................................................ 29
3.3 Fokus Penelitian ..................................................................... 30
3.4 Sasaran Penelitian .................................................................. 32
3.5 Jenis dan Sumber Data ........................................................... 32
3.6 Teknik Pengumpulan Data ..................................................... 33
3.7 Teknik Analisis Data .............................................................. 34
3.8 Keabsahan Data ...................................................................... 35

BAB IV SOSIALISME DAN KONDISI SOSIAL MASYARAKAT DI


TIONGKOK .................................................................................. 37
4.1 Sosialisme dan Perkembangan Pemikirannya ........................ 38
4.1.1 Latar Belakang Lahirnya Sosialisme: Kritik Terhadap
Perkembangan Kapitalisme di Eropa............................ 38

xvii
4.1.2 Perkembangan Sosialisme: Dari Sosialisme Utopis
hingga Sosialisme Ilmiah .............................................. 46
4.1.2.1 Sosialisme dalam Pemikiran Saint Simon:
Peran Ilmu Pengetahuan, Industri, dan
Kolaborasi Kelas sebagai Fondasi
Pembangunan Sosialisme ............................... 47
4.1.2.2 Sosialisme dalam Pemikiran Charles Fourier:
Reformasi Kapitalisme Menuju Sistem
Sosialisme ....................................................... 50
4.1.2.3 Sosialisme dalam Pemikiran Robert Owen:
Perkumpulan Komunal Masyarakat Berkelas 54
4.1.2.4 Sosialisme dalam Pemikiran Karl Marx dan
Friedrich Engels: Dari Teori Nilai Lebih,
Perjuangan Kelas, hingga Sosialisme Ilmiah . 59
4.1.3 Pencapaian Tujuan Sosialisme: Praktik Revolusioner
Sosialisme Komunis ..................................................... 71
4.1.3.1 Berdirinya Negara Sosialis: Pemikiran Lenin
tentang Revolusi Sosialis dan Kemenangan
Revolusi di Rusia ............................................ 72
4.1.3.2 Hegemoni Sosialisme Komunis di Dunia:
Penyebaran Pemikiran dan Praktik Revolusi
Sosialis ............................................................ 85
4.2 Kondisi Sosial dan Politik Masyarakat di Tiongkok.............. 91
4.2.1 Tiongkok: Negeri Besar dengan Sejarah
Peradabannya ................................................................ 92
4.2.2 Masyarakat Tiongkok dalam Belenggu Penjajahan
Imperialisme dan Rezim Bonekanya ............................ 102
4.2.3 Dekadensi Kehidupan Masyarakat Tiongkok:
Kemiskinan Struktural Rakyat Tiongkok ..................... 120
4.2.3.1 Ketimpangan Agraria dan Kemiskinan Kaum
Tani di Perdesaan .............................................. 120
4.2.3.2 Penghisapan Tenaga Kerja dalam
Industrialisasi Tiongkok ................................... 121

BAB V MAO TSE TUNG: KEHIDUPAN DAN PEMIKIRAN SANG


PEOPOR REVOLUI DI NEGERI TIONGKOK .......................... 125
5.1 Latar Belakang dan Perjalanan Kehidupan Pemimpin
Revolusi Tiongkok ................................................................. 125
5.2 Berbagai Pemikiran Mao Tse Tung: Dari Analisis Kelas,
Kontradiksi, hingga Demokrasi Baru ..................................... 138
5.2.1 Pemikiran Mao Tse Tung tentang Analisis Kelas di
Tiongkok: Pemetaan Kepentingan antara Kekuatan
Revolusioner dan Kontra Revolusioner ........................ 139
5.2.2 Pemikiran Mao Tse Tung tentang Kontradiksi:
Keumuman dan Kekhususan Kontradiksi, Kontradiksi

xviii
Pokok dan Non-Pokok, Serta Antagonisme Kelas
dalam Kontradiksi ......................................................... 152
5.2.3 Pemikiran Mao Tse Tung tentang Demokrasi Baru:
Arah Perubahan Politik, Ekonomi, dan Budaya dalam
Revolusi di Tiongkok ................................................... 170

BAB VI PEMIKIRAN POLITIK MAO TSE TUNG TENTANG


REVOLUSI DUA TAHAP UNTUK PEMBANGUNAN
SOSIALISME DI TIONGKOK .................................................... 183
6.1 Revolusi Dua Tahap dalam Perspektif Pemikiran Mao Tse
Tung ....................................................................................... 183
6.1.1 Revolusi Dua Tahap: Karakter Revolusi di Negeri
Setengah Jajahan Setengah Feodal ............................... 185
6.1.2 Dua Tahap Revolusi Tiongkok: Dari Revolusi
Demokrasi Baru Menuju Revolusi Sosialis .................. 208
6.2 Pemikiran Politik Mao Tse Tung tentang Revolusi Dua
Tahap untuk Pembangunan Sosialisme di Tiongkok: Dari
Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok hingga
Pembangunan Sosialisme ....................................................... 271
6.2.1 Berdirinya Negara Diktator Demokrasi Rakyat
Tiongkok ....................................................................... 272
6.2.2 Pembangunan Sosialisme di Tiongkok: Dari Revolusi
Agraria, Pembangunan Industri, hingga Revolusi
Besar Kebudayaan Proletariat....................................... 288

BAB VII PENUTUP ..................................................................................... 315


7.1 Kesimpulan.............................................................................. 315
7.2 Saran ........................................................................................ 318

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 320

xix
1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Revolusi adalah sebuah istilah yang menunjuk pada segala sesuatu yang

berkaitan dengan perubahan radikal. Revolusi, demikian juga diskursus revolusi,

mencakup segala aktivitas yang berusaha untuk membicarakan, membuat

pernyataan, memandang dan menjelaskan tentang perubahan radikal. Melalui

definisi yang demikian cair itu, tidak ada satu pun ilmuwan sosial yang berani

menempatkan kapan awal mula revolusi muncul. Namun yang jelas terdapat

sebuah keyakinan yang menyatakan bahwa revolusi menampilkan diri setelah

terjadinya praktik penjajahan manusia atas manusia.

Penjajahan manusia atas manusia dimulai saat munculnya sistem yang

melahirkan kelas sosial dalam masyarakat.1 Munculnya kelas sosial dalam

masyarakat mengakibatkan terjadinya pertentangan kelas. Pertentangan kelas

yang semakin runcing akan memaksa kelas yang berkuasa membentuk suatu

pemerintahan/negara.

1. Kelas adalah sebagian penduduk yang mempunyai hubungan tertentu dengan


alat-alat produksi. Kaum kapitalis memiliki pabrik-pabrik, tambang, dll, dan merekalah yang
merupakan kelas kapitalis. Kaum buruh bekerja di pabrik-pabrik dan tambang-tambang, tetapi
mereka tidak memiliki pabrik dan tambang itu, mereka adalah kelas buruh. Kelas-kelas yang
pokok dalam masyarakat modern ada dua : kaum kapitalis (burjuasi) dan kaum pekerja upahan
(proletariat). Pada zaman dulu ada kaum pemilik budak, ketika kaum pekerja menjadi budak
sebagai barang dengan tidak mempunyai suatu hak hukum atau hak sosial apapun juga; kemudian
tuan-tuan feodal dengan hambanya (kaum pekerja pertanian dan abdi kaum pemilik tanah) yang
terikat pada tanah; juga ada kelas-kelas kepala gilda, kenek, pedagang, dsb. Menurut Manifes
Partai Komunis: “Dengan burjuasi dimaksudkan kelas kaum kapitalis modern, pemilik² alat²
produksi sosial dan pemakai kerja-upahan. Dengan proletariat dimaksudkan kelas kaum pekerja-
upahan modern yang, karena tidak mempunyai alat² produksi sendiri, terpaksa menjual tenaga-
kerja mereka untuk hidup”. L.Harry Gould, Kamus Kecil Istilah Marxis, terj. Rollah Syarifah
(Jakarta: Kelompok Kerja Untuk Demokrasi Rakyat, 2006), 33.
2

Negara lahir dari kebutuhan kelas penguasa untuk mengendalikan

pertentangan kelas.2 Untuk itu, pada masa imperialisme saat ini, revolusi juga

diperlukan untuk pembebasan kelas tertindas. Pembebasan melalui revolusi

adalah dengan mengganti negara borjuis menjadi negara proletar, melalui cara

kekerasan, di mana kekerasan adalah bidan bagi setiap masyarakat lama yang

telah menghamilkan masyarakat baru.3 Revolusi juga ditujukan sebagai alat dari

gerakan sosial untuk merintis jalan bagi dirinya sendiri dan mengahancurkan

bentuk-bentuk politik yang telah membatu dan mati.4

Dalam sejarah dunia, perkembangan masyarakat yang penuh

kontradiksi mensyaratkan lahirnya serangkaian revolusi. Ada beberapa revolusi

besar yang telah mengantarkan dunia ke era saat ini, seperti Revolusi Amerika

(1775), Revolusi Perancis (1787), Revolusi Industri di Inggris (abad 18), Revolusi

Sosialis Rusia (1917), hingga Revolusi Sosialis Tiongkok (1949). Revolusi lahir

sebagai jawaban bagi kondisi sosial politik yang ada di suatu negara. Kondisi

sosial politik yang penuh atas penindasan dan penghisapan yang melahirkan

penderitaan bagi rakyat. Revolusi tidak akan meninggalkan apapun dari keadaan

yang sebelumnya.5 Rentetan fenomena revolusi besar yang pernah terjadi

menunjukan revolusi dapat lahir di manapun. Revolusi dapat lahir baik di negara

maju maupun negara terbelakang sekalipun seperti Tiongkok, selama di dalamnya

terdapat sistem kelas yang menindas dan menghisap.

2. Darsono, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, (Jakarta: Diadit Media,
2007), 170.
3. V.I. Lenin, NEGARA DAN REVOLUSI, Ajaran Marxis Tentang Negara dan
Tugas-Tugas Proletariat Di Ddalam Revolusi, terj. Sulang Sahun, (Yogyakarta: IndonesiaTera,
2000), 29.
4. Ibid, 31.
5. Nur Syahid Santoso, Negara Marxis dan Revolusi Proletariat, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011), 35.
3

Tiongkok pada periode sebelum Perang Dunia Kedua merupakan

negara di mana kesengsaraan ekstrim melanda hampir seluruh rakyatnya.

Sebagian besar masyarakat Tiongkok yang saat itu merupakan kaum tani

seluruhnya berada di jurang kemiskinan yang akut. Pemaksaan pembangunan

industri yang terjadi hanyalah melahirkan jam kerja yang begitu panjang dan upah

yang sangat rendah. Tidak hanya itu, pembangunan yang tidak diorientasikan

untuk masyarakat ini juga terus memperluas jangkauan dengan mempekerjakan

anak-anak yang diupah murah ataupun tanpa dibayar. Hal ini juga digambarkan

oleh sejarahwan Inggris R.H. Tawney dengan menyebutkan bahwa kondisi

pembangunan industri di Tiongkok mengingatkan pada bagian pertama dan paling

buruk dari Revolusi Industri di Inggris, yang sarat dengan pengabaian hak-hak

pekerja seperti kesehatan maupun keselamatan kerja.6 Kondisi ini diakibatkan

oleh eksisnya imperialisme dan feodalisme secara bersamaan yang melahirkan

pemerintahan boneka pimpinan Chiang Kai Shek.

Keberadaan imperialisme di Tiongkok merupakan bagian yang tidak

dapat dipisahkan dari kondisi sosial politik masyarakat. Keberadaan imperialisme

Amerika Serikat yang diwakili oleh rezim Chiang Kai Shek melakukan kolaborasi

bersama sistem feodalisme yang sudah lebih dulu ada. Kepentingan dari

imperialis Amerika Serikat jelas untuk membendung segala kemungkinan krisis

yang semakin parah dalam sistem yang dibangunnya. Imperialis Amerika Serikat

bersama dengan tuan tanah besar di Tiongkok harus memastikan bahwa Tiongkok

hanya akan dijadikan sebagai sumber bahan mentah, penyedia tenaga kerja murah,

6. W.F. Wertheim, Dunia Ketiga, dari dan Ke Mana: Negara Protektif Versus Pasar
Agresif, terj. Oey Hay Djoen, (Yogyakarta: Oey‟s Renaissance, 1997), 45.
4

dan pasar bagi barang-barang hasil produksinya. Penindasan yang diakukan

secara bersama oleh imperialisme dan feodaisme inilah yang menjadikan

Tiongkok sebagai negara Semi Kolonial Semi Feodal. Dengan demikian, revolusi

menampakan dirinya dengan membawa harapan baru berupa sistem yang lebih

baik, yaitu sosialisme.

Sosialisme kerap dijadikan sebagai sebuah harapan dan dianggap

sebagai jawaban permasalahan sosial politik. Sosialisme bukanlah sebuah wacana

baru dalam sejarah perkembangan masyarakat. Wacana tentang sosialisme mulai

muncul dan marak dibicarakan pada abad 18. Hal ini terjadi sebagai respon dari

perubahan cepat yang terjadi akibat dua revolusi bersar yaitu, Revolusi Perancis

dan Revolusi Industri di Inggris. Perubahan struktur politik maupun ekonomi dari

sistem feodalisme ke kapitalisme hingga mencapai tahapan tertingginya yaitu

imperialisme tidak mampu menjawab permasalahan kesejahteraan masyarakat.

Bentuk-bentuk hak kepemilikan lama masih tetap ada, para borjuasi hadir dalam

kapasitasnya sebagai pemilik alat-alat produksi dan mengubah hasil produksi

menjadi komoditi.7

Perubahan cepat sistem ekonomi politik di Eropa yang

melatarbelakangi lahirnya pemikiran awal tentang sosialisme. Pada tahun 1802

muncul Saint Simon, 1803 muncul karya pertama Charles Fourier, dan di Inggris

pada 1800 muncul Robert Owen.8 Ketiga tokoh besar ini kemudian dikenal

dengan tokoh “sosialisme utopis”. Ketiganya hidup pada masa dan sangat

7. Fredrick Engels, Anti Duhring, terj Oey Hay Djoen, (Bandung: Hastamitra-
Ultimus, 2005), 379.
8. Fredrick Engels, Anti Duhring, terj Oey Hay Djoen, (Bandung: Hastamitra-
Ultimus, 2005), 342.
5

terpengaruh dengan pemikiran rasionalis Revolusi Perancis. Ketiganya juga

mengembangkan ide sosialisme bersamaan dengan belum matangnya kontradiksi

antara kelas borjuis dengan proletar. Fenomena ini menjadikan gagasan

sosialisme dari ketiganya menjadi utopis, karena tidak memasukan analisis

antagonisme kelas. Terlepas dari kesalahan-kesalahan pembacaan atas

kondisinya, gagasan awal sosialisme tetap menjadi sebuah terobosan besar

sebagai usaha untuk mengubah kondisi sosial masyarakat menjadi lebih baik.

Dalam perjalannya kemudian gagasan sosialisme terus dikembangkan, salah satu

tokoh besar yang menggagas ide tentang sosialisme adalah Karl Marx.

Karl Marx menekankan bahwa saat ini kelas proletariat adalah kelas

yang memikul tugas sejarah menjalankan revolusi, yaitu berupa Revolusi Sosialis.

Revolusi Sosialis adalah revolusinya kelas bukan pemilik alat produksi terhadap

kelas pemilik alat produksi.9 Revolusi Sosialis bertujuan untuk menghancurkan

secara penuh sistem sosial kapitalisme dan menggantinya dengan sistem ekonomi

sosialis dan masyarakat kolektif tanpa penghisapan. Revolusi Sosialis akan pecah

dan lahir di negeri-negeri industri.

Perkembangan dari sosialisme menjadi semakin pesat seiring

meruncingnya kontradiksi kelas yang terjadi. Gagasan-gagasan untuk

membangun sosialisme menjadi seperti “angin segar” bagi masyarakat tertindas.

Gagasan ini kemudian tidak hanya tumbuh pada negara-negara Eropa dan

Amerika, namun juga mulai merambah ke negara miskin dan berkembang, seperti

Rusia dan Tiongkok. Karakter dari gerakan revolusi di negara berkembang,

9. Darsono, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, (Jakarta: Diadit Media,
2007), 179.
6

khususnya Tiongkok menampilkan dirinya dengan ciri khusus yaitu revolusi dua

tahap.

Revolusi dua tahap adalah pemikiran dari Mao Tse Tung untuk

membebaskan masyarakat Tiongkok dari tindasan imperialisme dan feodalisme.

Pasalnya, dalam pandangan Mao, imperialisme bukanlah suatu sistem yang baik

bagi masyarakat. Penindasan bersama oleh imperialisme dan feodalisme itu

meninggalkan penderitaan yang hebat.10 Relasi kuasa ini menyebabkan matinya

demokrasi dan munculnya penindasan yang dilakukan oleh tuan tanah dan

borjuasi. Hal ini menjadikan revolusi dua tahap merupakan revolusi yang

menumbangkan imperialisme melalui penghancuran sistem feodalisme di

pedesaan, sehingga dapat mengubah Tiongkok yang setengah jajahan setengah

feodal menjadi negara sosialis.

10. Tzen Po Ta, MAO TZE TUNG, Peralihan dari Revolusi Demokrasi ke
Sosialisme, (Bantul: Kreasi Wacana, 2000), 8.
7

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakangnya, maka perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1) Apakah yang dimaksud dengan revolusi dua tahap dalam perspektif

pemikiran Mao Tse Tung?

2) Bagaimanakah pemikiran politik Mao Tse Tung tentang revolusi dua tahap

untuk pembangunan sosialisme di Tiongkok?

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan perumusan masalahnya, maka penelitian ini akan dibatasi

pada perspektif pemikiran Mao Tse Tung tentang revolusi dua tahap, kemudian

tentang pemikiran politik Mao Tse Tung tentang revolusi dua tahap untuk

pembangunan sosialisme di Tiongkok.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembatasan masalahnya, maka tujuan dari penelitian ini

adalah untuk:

1) memahami dan memahami perspektif pemikiran politik Mao Tse Tung

tentang revolusi dua tahap.

2) memahami dan mendeskripsikan pemikiran politik Mao Tse Tung tentang

revolusi dua tahap untuk pembangunan sosialisme di Tiongkok


8

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Teoritis

Mengembangkan studi ilmu politik dengan memberikan sumbangan

pemahaman tentang pemikiran politik Mao Tse Tung tentang konsep revolusi dua

tahap di Tiongkok kepada mahasiswa, khususnya mahasiswa Ilmu Politik Unsoed.

Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan rujukan dan pembanding bagi

sivitas akademik yang ingin melakukan penelitian terkait pemikiran politik Mao

Tse Tung.

1.5.2 Manfaat Praktis

Memberikan informasi kritis kepada pembaca tentang sebuah gagasan

yang dapat menjadi contoh, perbandingan dan pelajaran dalam melakukan

perubahan sosial di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Pembaca juga

diharapkan dapat menjadikan pemikiran Mao Tse Tung sebagai point of view

dalam menafsirkan teks-teks dan praktik-praktik tentang revolusi dua tahap.

1.6 Sistematika Penulisan Laporan Penelitian

Laporan penelitian ini tersusun atas 7 (tujuh) bab. Masing-masing bab

mencakup pokok-pokok pemikiran penelitian yang disusun secara sistematis.

Adapun penjabaran dari masing-masing bab adalah sebagai berikut:

Bab satu, pendahuluan. Bab ini mengulas tentang latar belakang

masalah, perumusan masalah, pembatasan masalah, tujuan penelitian, manfaat

penelitian, dan kerangka penulisan laporan penelitan.


9

Bab dua, tinjauan pustaka. Bab ini memuat kerangka teori dan

pemikiran penelitian dan penelitian-penelitian terdahulu. Kerangka teori dan

pemikiran penelitian mengulas tema-tema dan konsep-konsep kunci seperti

filsafat dan pemikiran politik, idealisme dan materialisme, materialisme

dialektika, Marxisme-Leninisme, revolusi, dan sosialisme. Selain itu, bab ini juga

mencakup dan menyajikan tinjauan kritis terhadap berbagai penelitian terdahulu

yang bertujuan untuk menemukan orisinalitas dan signifikansi penelitian.

Bab tiga, metodologi penelitian. Bab ini memberikan informasi tentang

metodologi penelitian yang digunakan dalam penelitian. Secara detail, bab ini

mengulas beberapa hal di antaranya tentang perspektif dan paradigma penelitian

yang digunakan, metode penelitian, pendekatan penelitian, fokus penelitian,

sasaran penelitian, jenis dan sumber data penelitian, teknik pengumpulan data,

teknik analisis data, hingga keabsahan data.

Bab empat, sosialisme dan kondisi sosial politik masyarakat di

Tiongkok. Bab ini secara khusus membahas tema-tema yang terkait dengan

sosialisme dan kondisi sosial politik masyarakat di Tiongkok. Dalam penelitian

ini, tema-tema tersebut merupakan aspek yang menjadi latar belakang dari

pemikiran-pemikiran Mao Tse Tung. Secara khusus bab ini akan menjelaskan

banyak hal tentang perkembanga kapitalisme dan kritiknya, perkembangan

pemikiran dan praktik Revolusi Sosialisme, hingga kondisi sosial politik

masyarakat di Tiongkok.

Bab lima, Mao Tse Tung: kehidupan dan pemikiran sang pelopor

revolusi di negeri Tiongkok. Bab ini mengulas tentang pemikiran-pemikiran Mao


10

Tse Tung yang terkait dengan fokus penelitian. Bab ini diperlukan untuk

menghubungkan bab sebelumnya dengan permasalahan inti penelitian yang

terletak pada bab selanjutnya. Beberapa tema penting yang dibahas dalam bab ini

meliputi latar belakang kehidupan Mao dan berbagai pemikirannya tentang

analisis kelas masyarakat Tiongkok, tentang kontradiksi dan demokrasi baru.

Bab enam, pemikiran politik Mao Tse Tung tentang revolusi dua tahap

untuk pembangunan sosialisme di Tiongkok. Bab ini merupakan bagian utama

dari penelitian ini. Dengan demikian, pembahasan-pembahasan yang telah

dipaparkan dan dibahas di bab sebelumnya, akan digunakan untuk membedah

habis pemikiran Mao yang telah dipilih sebagai inti dari penelitian ini. Seluruh

makna yang dipahami oleh peneliti tentang pemikiran Mao Tse Tung tentang

revolusi dua tahap untuk pembangunan sosialisme di Tiongkok akan dicurahkan

seluruhnya dalam bab ini. Secara sistematis bab ini mengulas pemikiran Mao Tse

Tung tentang revolusi dua tahap sebagai karakter revolusi di negeri setengah

jajahan setengah feodal, Revolusi Demokrasi Baru dan Revolusi Sosialis dan

pemikiran politik Mao Tse Tung tentang revolusi dua tahap untuk pembangunan

sosialisme di Tiongkok.

Bab tujuh, penutup. Bab ini memaparkan uraian tentang hasil

penelitian yang telah dilakukan. Selain itu, bab ini juga memberikan saran

penelitian yang berisi tentang beberapa catatan kritis atas pemikiran politik Mao

Tse Tung.
11

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian ini, tinjauan pustaka digunakan untuk mengumpulkan

informasi-informasi yang relevan dengan permasalahan penelitian dan kerangka

pemikiran penelitian. Selain dapat digunakan untuk menunjukkan di mana letak

permasalahan penelitian dan kerangka pemikiran penelitian yang akan dikaji,

tinjauan pustaka juga dapat digunakan untuk memeriksa dan mengukur sejauh

mana penelitian-penelitian lain telah membahas topik penelitian yang dilakukan.

Oleh karena itu, agar lebih sistematis, bagian tinjauan pustaka dibagi dalam dua

subbagian. Pertama, kerangka teori dan pemikiran penelitian. Kedua, penelitian

terdahulu.

2.1 Kerangka Teoretis dan Pemikiran Penelitian

Kerangka teori dan pemikiran penelitian adalah bagian dari prosedur

penelitian yang memuat tentang berbagai macam kategori informasi, baik itu

konsep-konsep ataupun data-data yang dianggap relevan dengan permasalahan

penelitian yang akan dilakukan. Berdasarkan dengan permasalahan

penelitiannya, maka peneliti merasa perlu untuk menggali beberapa informasi di

antaranya tentang filsafat dan pemikiran politik, idealisme dan materialisme,

materialisme dialektika, marxisme-leninisme, revolusi, sosialisme, Mao Tse Tung.

Filsafat secara umum adalah proses untuk mencari ataupun menelusuri

hakekat kebenaran. Hal ini berkaitan dengan makna etimologisnya, yaitu berasal
12

dari bahasa Yunani. Filsafat berasal dari kata philos yang berarti „cinta‟ dan

sophia yang artinya „kebijaksanaan‟. Filsafat menjadi “senjata” untuk menelaah

gejala-gejala baik alam maupun sosial yang bertujuan untuk membantu kehidupan

manusia. Filsafat mengantarkan semuanya dalam refleksi atas proses cara

berpikir yang mendalam dan penuh perenungan.11

Konsepsi-konsepsi tentang filsafat dipengaruhi oleh dua faktor.

pertama, konsepsi tentang religiusitas dan etis warisan; kedua, adalah yang

berlandas dengan penelitian ilmiah.12 Kedua faktor ini yang mempengaruhi

lahrinya sistem-sistem dan pemikiran yang dibangun oleh para filosof. Dalam hal

ini, faktor-faktor inilah yang melahirkan banyak cabang filsafat. Filsafat

berkembang menjadi sedemikian luas. Filsafat menjadi dasar dari banyak cabang

ilmu pengetahuan. Seperti yang dikemukakan oleh Jujun S. Suriasumantri, bahwa

cabang-cabang dari filsafat dapat dibagi menjadi, filsafat pengetahuan, filsafat

moral/etika, filsafat seni/estetika, metafisika, filsafat agama, filsafat ilmu, filsafat

pendidikan, filsafat hukum, filsafat sejarah, filsafat matematika, hingga filsafat

politik.13

Filsafat politik lahir dari perkembangan ilmu filsafat yang mencoba

mencari hakekat kebenaran yang berkaitan dengan sikap moralitas manusia dalam

masyarakat. Pencariannya ditujukan untuk melahirkan pemikiran-pemikiran yang

dapat memperbaiki sistem masyarakat pada setiap periode sejarah. Filsafat politik

11. Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum dari Mitologi Sampai Teofilosofi,
(Bandung: Pustaka Setia, 2008), 15.
12. Bertrand Russell, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-
Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, terj Sigit Jatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), xiii.
13. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan, 2003), 32-33.
13

menekankan pada disiplin yang ketat terhadap wilayah jangkaunya seperti,

kekuasaan, keadilan, moralitas, tata peraturan, pemerintahan, hingga negara.

Seperti yang dikatakan oleh Henry J. Schmandt tentang filsafat politik, bahwa

filsafat politik berusaha menjelaskan pemahaman mengenai cara bagaimana

manusia di sepanjang zaman membentuk dan mengimplementasikan aspirasi

politik dan sosialnya.14

Filsafat politik tidak begitu saja diartikan hanya menganalisa kondisi

yang ada sebelumnya. Filsafat politik begitu pula para filosofnya juga berupaya

menemukan prinsip yang lebih luas yang mendasari fenomena politik dalam

semua perkembangan situasinya. Dalam hal ini, upaya yang dilakukan para

filosof dalam mengamati dan menganalisis fenomena itulah yang kemudian

melahirkan berbagai macam pemikiran-pemikiran politik. Ragam pemikiran

politik seperti teori negara, ilmu politik, konservatisme politik, kekuasaan,

ekonomi politik, sosiologi politik, sistem pemerintahan, dan masih banyak lagi

yang lainnya. Pada dasarnya, filsafat dan pemikiran politik yang berkembang

menjadi beragam varian pemikiran itu dapat dibagi menjadi dua pokok pikiran

dasar, yaitu idealisme dan materialisme.

Filsafat dan pemikiran politik yang berkembang hingga kini terus

membawa semangat persaingan antara dua aliran dasarnya, yaitu materialisme dan

idealisme. Keduanya memperdebatkan dalil mana yang paling benar.

Perdebatanya lahir dari pandangan dalam memposisikan apakah „ide‟ ataukah

14. Henry J. Schmandt, Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Zaman Modern, terj Ahmad Baidlowi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 24-25.
14

„materi‟ yang merupakan sumber primer pengetahuan. Hal ini yang menggiring

para pemikir selanjutnya untuk terus menerbitkan dalil-dalil filosofis pembelaan.

Filsafat dan pemikiran idealisme adalah pemikiran yang memandang

bahwa kondisi riil dunia ini ditentukan oleh „ide‟. Dalam hal ini, dunia material

ditentukan oleh otoritas „ide‟. Artinya, hamparan dunia hanyalah gambaran tidak

sempurna dari „dunia ide‟. Dengan demikian, hal primer dari kehidupan manusia

adalah „ide‟.

Filsafat idealisme berkembang menjadi dua aliran besar, yaitu idealisme

objektif dan idealisme subjektif. Aliran filsafat idealisme menaruh penekanan

pada arti pokoknya „ide‟ yang objektif dalam kehidupan. „Ide‟ objektif ini adalah

suatu entitas lain di luar manusia dan alam semesta yang memiliki kekuatan untuk

menentukan segala sesuatu atau sering disebut dengan „ide absolut‟. Idealisme

objektif tumbuh menjadi suatu gagasan yang subur di tengah masyarakat yang

kesulitan dalam menyelesaikan permasalahan sosialnya. Idealisme objektif

menekankan bahwa „ide absolut‟ sudah ada sebelum alam semesta. Dalam hal ini,

„ide absolut‟ diposisikan sebagai sumber dari seluruh hal-ihwal kehidupan.15

Aliran pemikiran filsafat idealisme objektif bertahan dan dikembangkan oleh

beberapa filosof besar seperti, Plato, Thomas Aquinas, G.W. Leibniz, dan G. W.

Friedrich Hegel.

Berbeda dengan idealisme objektif, idealisme subjektif berlandaskan

pada subjektivisme nalar dan inderawi manusia. Idealisme subjektif

memposisikan pikiran dan indera manusia sebagai sumber satu-satunya

15. Darsono, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, (Jakarta: Diadit Media,
2007), 34.
15

kebenaran. Lahirnya aliran pemikiran idealisme subjektif ini adalah upaya untuk

menegasikan ide idealisme objektif. Hal ini didasari pada pandangan yang

rasional dan subjektif yang menghancurkan dogma-dogma dari „ide absolut‟.16

Idealisme subjektif berkembang pesat beriringan dengan lahirnya filosof pada

Zaman Renaissance/Pencerahan. Para filosof yang beraliran pemikiran idealisme

subjektif antara lain adalah, Rene Descartes, George Berkeley, Aguste Comte, dan

David Hume.

Lahir dan berkembangnya pemikiran filsafat idealisme, baik objektif

ataupun subjektif sejatinya adalah untuk melanggengkan kelas yang berkuasa

pada setiap fase sejarah manusia. Pada saat sistem feodalisme mendominasi

dunia, saat itulah lahir aliran idealisme objektif yang menekankan pada suatu

entitas yang „maha agung‟ sebagai sumber dari segala kehidupan dunia.

Sementara, idealisme subjektif lahir di saat pecahnya berbagai revolusi untuk

menuju sistem kapitalisme, atau disebut saat zaman pencerahan. Hal ini

menjadikan idealisme subjektif sebagai sebuah alat perlawanan terhadap dogma-

dogma kerajaan dan menyokong lahirnya kekuasaan borjuis. Kedua aliran

pemikiran idealisme ini yang kemudian ditentang dan menjadi lawan dari aliran

materialisme.

Pemikiran filsafat materialisme merupakan lawan dari pemikiran

filsafat idealisme. Materialisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa

„materi‟ adalah hal yang primer dalam segala aspek kehidupan. Filsafat

materialisme menyatakan dengan tegas keyakinan bahwa alam semesta ini

16. Jindrich Zeleny, Logika Marx, terj. Ira Iramanto, (Bandung: Hasta Mitra, 2004),
165.
16

terbentuk dari materi-materi dan energi yang abadi. Dalam hal ini, materialisme

berpandangan bahwa „materi‟ ada lebih dulu sebelum munculnya „ide‟, jadi dunia

material adalah yang pertama, baru kemudian disusul dengan pemikiran tentang

dunia.17

Dalam perkembangannya, pemikiran filsafat materialisme berkembang

menjadi dua besar, yaitu materialisme mekanik dan materialisme dialektik.18

Materialisme mekanik merupakan pandangan dari materialisme yang memandang

bahwa gejala-gejala dan gerak materi manusia maupun alam semesta adalah

konstan. Alam semesta hanyalah tumpukan-tumpukan kejadian yang berjalan

begitu saja. Materialisme mekanik menganggap bahwa semua perubahan dunia,

baik yang menyangkut atomis maupun manusia semuanya bersifat mekanis

layaknya „mesin‟.

Perkembangan materialisme mekanik dimulai dengan tumbuh suburnya

para filosof alam. Para filosof alam, seperti Thales, Demokritus, dan Epikurus

mengonsentrasikan pemikirannya pada materi yang membentuk alam semesta.

Dalam hal ini, para filosof awal dari aliran materialisme mekanik menjadi

pembuka khasanah pemikiran filsafat materialisme. Namun kemudian, pada

Zaman „kegelapan‟ aliran ini surut.

Zaman „kegelapan‟ merupakan sejarah buruk bagi perkembangan

filsafat dan pemikiran materialisme. Aliran pemikiran materialisme mekanik

yang sempat tumbuh subur, secara perlahan hilang seiring dengan tumbuh dan

17. Atang Abdul Hakim, Filsafat Umum dari Mitologi Sampai Teofilosofi,
(Bandung: Pustaka Setia, 2008), 363.
18. Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, (Bandung: Yayasan Piara,
2002), 96.
17

meluasnya kekuasaan kerajaan pada Zaman feodalisme. Redupnya filsafat

materialisme mekanik juga terpengaruh dengan semakin hegemoniknya

kekuasaan gereja dalam memonopoli pengetahuan. Zaman „kegelapan‟ ini

menjadikan filsafat sepenuhnya menjadi milik ototitas kerajaan dan gereja.19

Fenomena ini terus terjadi sampai terjadi beberapa rangkaian revolusi, seperti

revolusi kebudayaan di Perancis maupun revolusi Industri di Inggris.

Pemikiran filsafat materialisme mekanik kemudian berkembang pesat

pada zaman „pencerahan‟. Perkembangan ini dipengaruhi dengan semangat

perjuangan dari kelas borjuis dalam menumbangkan sistem feodalisme dan

digantikan oleh kapitalisme. Dalam hal ini, perkembangan pesat dari filsafat

pemikiran materialisme mekanik digagas oleh beberapa filosof besar, seperti,

Francis Bacon, Benedictus Spinoza, Thomas Hobbes, John Locke, hingga Ludwig

Feuerbach.20

Perkembangan secara pesat dari filsafat pemikiran materialisme

mekanik menjadikan semakin melanggengnya sistem kapitalisme. Hal ini

dikarenakan dukungan dari para pemikir materialisme mekanik. Filsafat

materialisme mekanik yang mendasari diri pada pandangan bahwa gerak materi

alam semesta berjalan begitu saja dan tidak bisa terbantahkan. Hal ini

menegaskan bahwa aliran ini menggambarkan alam semesta dan manusia

layaknya mesin. Pandangan yang demikian sempit inilah yang membuat filsafat

pemikiran materialisme mekanik tidak dapat menemukan esensi dari

permasalahan yang diciptakan oleh sistem kapitalisme, yaitu penindasan dan

19. Dede Mulyanto, Antropologi Marx, (Bandung: Ultimus, 2011), 149.


20. Darsono, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, (Jakarta: Diadit Media,
2007), 36.
18

penghisapan manusia atas manusia lainnya. Hal ini yang melahirkan banyak

kritik kepadanya, salah satunya dan yang paling tegas adalah gagasan yang

dikemukakan oleh Karl Marx, yaitu pemikiran filsafat materialisme dialektika.

Materialisme dialektika merupakan filsafat dan pemikiran yang digagas

oleh Karl Marx. Materialisme dialektika adalah suatu kritik yang dilancarkan

oleh Marx terhadap perkembangan filsafat dan pemikiran sebelum dirinya. Kritik

ini ditujukan untuk dua aliran filsafat pemikiran sekaligus, yaitu idealisme Hegel

dan materialisme Feuerbach.21

Lahirnya filsafat pemikiran Marx tentang materialisme dialektika tidak

bisa lepas dari peran filsafat Hegel tentang dialektika dan Feuerbach tentang

materialisme. Kedua filosof besar inilah yang memberikan banyak pengaruh pada

pemikiran Marx, namun bukan berarti Marx menjadi pengikut dari salah satunya.

Marx mengambil gagasan Hegel tentang dialektika sekaligus menjungkir

balikannya. Marx mengadaptasi dialektika dengan mengambil sisi rasionalitasnya

dan mekanisme kontradiksinya. Marx memposisikan dialektika tidak sebagai

sesuatu yang terbatas dan ditentukan pada akhirnya oleh yang disebut Hegel „ide

absolut‟, namun Marx menempatkan hal yang lain. Marx memandang bahwa

dialektika adalah sebuah proses pergerakan materil dari alam semesta. Keadaan-

keadaan dari segala yang dihasilkan oleh gerak materi dan sejarah inilah yang

menentukan kesadaran manusia, sehingga perubahan pada setiap perkembangan

sejarah manusia hanya bisa dicapai di dunia nyata dengan sarana-sarana yang

nyata. Hal ini selaras dengan apa yang dikatakan oleh Marx, perhambaan dalam

21. Jindrich Zeleny, Logika Marx, terj. Ira Iramanto, (Bandung: Hasta Mitra, 2004),
194.
19

masa feodalisme hanya mungkin dicapai dengan hadirnya mesin uap dan mesin

tenun halus.22 Oleh karena itu, Marx menyandingkan gagasan dialektikanya

dengan filsafat materialisme.

Materialisme yang digagas oleh Marx adalah kritik terhadap

materialisme mekanik, khususnya pemikiran Feuerbach. Marx memandang

gagasan Feuerbach adalah meterialisme yang kaku. Feuerbach memandang

segala kejadian yang ditangkap oleh inderawi manusia hanya kebetulan-kebetulan.

Materialisme Feuerbach tidak mempertimbangkan asal atau sebab akibat dari

sesuatu hal yang terjadi. Sebagai seorang materialis, Feuerbach tidak menyentuh

unsur sejarah, materialisme dan sejarah adalah dua hal yang sama sekali berbeda,

sejarah hanyalah fakta yang kebetulan terjadi.23

Perpaduan kritik kepada filsafat pemikiran Hegel dan Feuerbach inilah

yang melahirkan aliran filsafat pemikiran materialisme dialektika. Marx

memandang bahwa filsafat materialisme dialektika adalah filsafat yang dapat

menjadi „senjata‟ bagi proletariat, kelas yang tertindas oleh sistem kapitalisme

untuk menumbangkannya. Dalam hal ini, filsafat pemikiran materialisme

dialektika menjadi karakter dari ajaran Marxisme-Leninisme.

Marxisme-Leninisme merupakan perpaduan antara teori dan praktik

yang revolusioner. Sebagai teori dan praktik yang revolusioner, Marxisme-

Leninisme menjadi panduan untuk menganalisis gerak sejarah perkembangan

masyarakat yang dialektis. Dalam hal ini, analisis terhadap perkembangan sejarah

juga didasari dalam bingkai ekonomi politik. Perkembangan sejarah umat

22. Karl Marx, Ideologi Jerman, terj Nasikhul Mutamanna, (Yogyakarta: Pustaka
Nusantara, 1976), 21.
23. Ibid, 27.
20

manusia adalah perjuangan memperebutkan alat produksi.24 Sehingga Marxisme-

Leninisme bukan hanya teori ilmiah saja, namun metode dan pedoman dalam

aksi.25 Marxisme-Leninisme juga menjadi pedoman dalam aksi untuk

membebaskan kaum proletariat dunia dari belenggu penghisapan dan penindasan

yang dilakukan oleh imperialisme melalui revolusi.

Marxisme-Leninisme membangun dasar pikir utamanya tentang

revolusi dengan keyakinan fundamental yang dirumuskan oleh Marx dalam tesis

ke-11 tentang Feuerbach “Para filosof hanya memberi interpretasi lain kepada

dunia. Yang perlu ialah mengubahnya!”.26 Revolusi, khususnya Revolusi

Sosialis merupakan jalan bagi setiap sistem sosial baru untuk menggantikan yang

lama. Revolusi kemudian akan mengakhiri kekuasaan kelas borjuis terhadap

kelas proletar. Masyarakat secara keselurhan semakin terpecah dalam dua

kelompok besar yang saling bermusuhan, menjadi dua kelas besar yang

berhadapan secara langsung satu sama lain, yaitu borjuis dan proletar.27 Oleh

karena itu, Revolusi Sosialis menjadi alat untuk perjuangan kelas proletar.

Revolusi Sosialis adalah revolusinya kelas bukan pemilik alat produksi terhadap

24. Alat produksi adalah alat kerja dan sasaran kerja yang digunakan untuk
berproduksi. Alat kerja seperti, mesin-mesin pengangkut, pabrik-pabrik, alat perhubungan.
Sementara sasaran produksi terdiri dari hutan, tanah, air, dan bahan mentah. L.Harry Gould,
Kamus Kecil Istilah Marxis, terj. Rollah Syarifah (Jakarta: Kelompok Kerja Untuk Demokrasi
Rakyat, 2006), 63.
25. Njoto, Marxisme Ilmu dan Amalnya,(Jakarta: Harian Rajat, 1962), 19.
26. Franz Magnis Suseno, Dari Mao ke Marcuse, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2013), 6.
27. Karl Marx, Manifesto Komunis, terj Komisi Penerjemah Depagitprop CC PKI,
(Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1959), 10.
21

kelas pemilik alat produksi.28 Revolusi Sosialis juga menekankan pentingnya

penghancuran negara sebagai representasi dari alat kelas borjuis.

Negara sebagai alat kelas borjuasi yang bertujuan untuk menindas kelas

proletariat harus dijadikan sasaran Revolusi Sosialis. Berlangsungnya penindasan

oleh negara memaksa revolusi untuk memusatkan semua kekuatan

penghancuranya terhadap kekuasaan negara, dan menetapkan tugas revolusi

bukan untuk menyempurnakan mesin negara, tetapi membinasakan dan

menghancurkannya.29 Tugas Revolusi Sosialis ini yang harus diemban oleh kelas

proletariat dalam upanya membangun negara yang dikuasai sepenuhnya oleh

kelas proletar. Pandangan inilah yang dijadikan panduan Lenin bersama kelas

proletariat Rusia untuk menjalankan Revolusi Sosialis Oktober 1917. Usaha

Revolusi Sosialis ini bertujuan untuk melakukan pembangunan sosialisme sebagai

sistem yang akan menggantikan kapitalisme.

Sosialisme berkembang menjadi gagasan dan harapan seiring semakin

merosotnya taraf kesejahteraan masyarakat. Revolusi sosialis dalam usahanya

untuk membangun sosialisme bukanlah sebuah tindakan tunggal, bukanlah

peperangan tunggal suatu front, namun adalah keseluruhan perjuangan ekonomi

dan politik yang akan tercapai jika terjadi pengambilalihan hak milik atas alat

produksi borjuis.30

28. Darsono, Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi, (Jakarta: Diadit Media,
2007), 179.
29. V.I.Lenin, NEGARA DAN REVOLUSI, Ajaran Marxis Tentang Negara dan
Tugas-Tugas Proletariat Di Ddalam Revolusi, terj. Sulang Sahun (Yogyakarta: IndonesiaTera,
2000), 16.
30. V.I. Lenin, Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib
Sendiri, (Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1964)
22

Secara ekonomi dan politik pembangunan sosialisme ditujukan untuk

melikuidasi segala bentuk sistem kapitalisme. Sosialisme menjadikan alat

produksi dikuasai oleh negara dan proses distribusinya pun diatur oleh negara.

Secara politik, negara dipimpin oleh diktator proletariat. Selama periode

pembangunan sosialisme ini kelas proletar akan terus mengambil alih semua

pabrik maupun sumber daya alam yang dimiliki oleh kelas borjuis.31

Pembangunan sosialisme dalam suatu negara menjadi penting untuk

dilakukan di tengah kondisi masyarakat yang semakin mengalami ketertindasan

dan penghisapan. Gagasan yang revolusioner dari Marxisme-Leninisme melalui

Revolusi Sosialis menjadi „angin segar‟ bagi kelas proletar untuk keluar dari

belenggu sistem kapitalisme. Pasca meletusnya kemenangan dari kelas proletar

Rusia dalam melawan rezim Tsar, perkembangan ide dan praktek pembangunan

sosialisme menjadi semakin massif. Salah satu yang mengadaptasinya adalah

Mao Tse Tung dalam upanya melakukan revolusi untuk membangun Tiongkok

menjadi negara sosialis.

Mao Tse Tung (1893-1976) ialah salah satu pemikir yang meneruskan

tradisi Marxisme-Leninisme di Tiongkok. Mao mengadaptasi Marxisme-

Leninisme untuk menganalisa kondisi masyarakat Tiongkok dan melancarkan

Revolusi Sosialis juga di Tiongkok. Mao melakukan upaya melalui pemikirannya

maupun prakteknya untuk mengusir imperialisme.

Dalam lingkaran pemikir Marxis-Leninis, Mao ialah salah satu kritikus

imperialisme yang menggunakan pisau analisa kelas. Dalam kritiknya, Mao

31. Henry J. Schmandt, Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno
Sampai Zaman Modern, terj Ahmad Baidlowi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 525.
23

berpendapat bahwa bertahannya penghisapan dan penindasan yang dilakukan oleh

imperialisme terutamanya bagi Tiongkok dan negara-negara setengah jajahan dan

setengah feodal lainnya tidak dapat dilepaskan dari adanya relasi kuasa antara

tuan tanah besar (feodalisme), kapitalis birokrat, dan kapitalis asing melalui

negara maju (imperialisme). Pasalnya, dalam pandangan Mao, imperialisme

bukanlah suatu sistem yang baik bagi masyarakat. Relasi kuasa ini menyebabkan

matinya demokrasi dan munculnya penindasan yang dilakukan oleh tuan tanah

dan pemilik modal. Argumentasi inilah yang menjadikan Mao terus menaruh

sikap kritis terhadap imperialisme. Oleh karena itu, Mao sangat tertarik dengan

gagasan revolusi. Menurut Mao Revolusi Sosialis ditujukan untuk

menghancurkan imperialisme melalui penghancuran feodalisme di pedesaan.

Dalam hal ini tujuan dari Revolusi Sosialisnya adalah untuk membangun sistem

sosialisme di Tiongkok, sehingga dapat mengakhiri penindasan manusia terhadap

manusia lain dan negara terhadap negara lain.

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu digunakan sebagai literatur pembanding dalam

sebuah penelitan yang dilakukan. Penelitian terdahulu juga digunakan untuk

mencari tahu di mana letak penelitian yang akan dilakukan di antara persebaran

penelitian-penelitan yang sudah ada. Selain itu, penelitian terdahulu digunakan

untuk mengetahui letak kebaruan penelitian yang akan dilakukan.

Ada empat penelitian terdahulu yang dianggap relevan dan berkaitan

dengan penelitian yang dilakukan. Pertama, skripsi yang berjudul “Pemikiran


24

Militer Mao Zedong dan Perananya Dalam Tentara Pembebasan Rakyat” yang

ditulis oleh Teddy Ichsan Arifin. Kedua, skripsi yang berjudul “Pemikiran Politik

Mao Tse Tung Tentang Persatuan Rakyat Cina” yang ditulis oleh Amsar. Ketiga,

Skripsi yang berjudul “Pemikiran Karl Marx tentang Revolusi” yang ditulis oleh

Rachmad P Panjaitan. Keempat, Artikel Jurnal yang berjudul “Pemikiran Politik

Sutan Sjahrir tentang Sosialisme Sebuah Analisa Psikologi Politik” yang ditulis

oleh Restuningsi Pramasanti.

Pertama,skripsi yang ditulis oleh Teddy Ichsan Arifin berusaha untuk

mendeskripsikan pemikiran Mao tentang militer dan tentara pembebasan rakyat.

Dalam skripsi ini, dijelaskan bahwa pemikiran Mao tentang militer dan tentara

pembebasan rakyat adalah salah satu taktik dari rangkaian panjang Long March

dan revolusi kebudayaan yang dilakukan oleh Mao dan pasukannya. Mao di sini

berusaha mengabungkan tiga unsur pokok dalam revolusi, yaitu rakyat, kader

partai, dan militer. Oleh karena itu, skripsi ini mencoba menggambarkan

bagaimana pemikiran Mao tentang militer dan tentara pembebasan rakyat dalam

perjuangannya melawan imperialisme.

Kedua, skripsi yang ditulis oleh Amsar berusaha untuk

mendeskripsikan pemikiran Mao Tse Tung tentang taktiknya mempersatukan

rakyat Cina. Cina adalah negara yang besar baik secara wilayah geografisnya

maupun populasi penduduknya. Kondisi tersebut menjadikan rakyat Cina terbagi

menjadi banyak suku dan sub-suku. Dalam hal ini, terbaginya rakyat Cina dalam

bermacam suku dan sub-suku mensyaratkan akan lahirnya bermacam kebudayaan.

Lahirnya bermacam kebudayaan ini akan memberikan pekerjaan tersendiri untuk


25

menganalisa tentang sebuah keumuman budaya yang terbangun. Fenomena ini

yang kemudian menjadi tantang bagi Mao Tse Tung sebagai pemimpin partai dan

negara untuk mempersatukan rakyatnya.

Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Rachmad P. Panjaitan berupaya untuk

mendeskripsikan dan menjelaskan isi dari pikiran Karl Marx tentang Revolusi.

Pengkajian terhadap pemikiran Marx ini bertujuan untuk menguak dasar dan latar

belakang gagasan Marx tentang revolusi. Dalam hal ini, pemikiran Marx tentang

revolusi berdasar pada filsafat meterialisme dialektika dan pandangan kritis

memandang sistem ekonomi kapitalisme inilah yang menjadikan lahirnya gagasan

Marx tentan Revolusi Sosialis. Revolusi kelas proletar untuk menumbangkan

kelas borjuis.

Empat, jurnal yang ditulis oleh Restuning Pramasanti mendeskripsikan

tentang sosialisme dalam perspektif pemikiran Sutan Sjahrir. Sjahrir sebagai

salah satu tokoh kemerdekaan Indonesia memiliki gagasan tersendiri tentang

sosialisme. Walalupun banyak dipengaruhi oleh Marx untuk membentuk gagasan

sosialismenya, namun Sjahrir juga memiliki banyak perbedaan pandangan.

Sjahrir memandang sosialisme dapat dicapai dengan cara kooperatif atau jalan

damai.

Secara ringkas dan rinci, penelitian-penelitian terdahulu dapat dilihat

dalam matriks penelitian terdahulu di bawah ini:


26

TABEL 1. Matriks Penelitian Terdahulu

Judul Penelitian Tahun Persamaan Perbedaan

“Pemikiran Militer Mao 1997 Persamaan terletak Perbedaan terletak pada fokus
Zedong dan Perananya pada subjek penelitian penelitian.
Dalam Tentara dan metode penelitian, Fokus penelitian skripsi Teddy
Pembebasan Rakyat” yaitu pemikiran Mao Ichsan Arifin ditekankan pada
Teddy Ichsan Arifin Tse Tung dan metode pemikiran Mao Tse Tung
(Skripsi) penelitian kualitatif tentang militer dan perannya
dalam tentara pembebasan.
Sedangkan fokus penelitian
yang akan saya lakukan
ditekankan pada pemikiran
Mao Tse Tung tentang
revolusi dua tahap di Tiongkok

“Pemikiran Politik Mao 2005 Persamaan terletak Perbedaan pada fokus


Tse Tung tentang pada subjek penelitian, penelitian. Amsar
Persatuan Rakyat Cina” yaitu pemikiran Mao menekankan fokus
oleh Amsar (Skripsi) Tse Tung penelitiannya pada bagaimana
konsep dan cara Mao Tse
Tung dalam mempersatukan
rakyat Cina.

“Pemikiran Karl Marx 2013 Persamaanya terletak Perbedaan pada subjek


tentang Revolusi” oleh pada metode penelitian. Rachmad
Rachmad P. Panjaitan penelitiannya, yaitu membedah pemikiran Karl
(Skripsi) kualitatif. Juga tema Marx tentang revolusi.
besarnya yaitu tentang
Revolusi

“Pemikiran Politik Sutan 2012 Persamaanya terletak Perbedaan terletak pada


Sjahrir Tentang pada metode subjek penelitian, Restuning
Sosialisme Sebuah penelitiannya, yaitu membedah pemikiran Sutan
Analisis Psikologi Politik” kualitatif. Sjahrir yang memfokuskan
oleh Restuning pada pemikiran politiknya
Pramasanti (Jurnal) tentang sosialisme.
27

Berdasarkan pada Tabel 1 (satu), dapat dinyatakan bahwa penelitian tentang

pemikiran politik Mao Tse Tung yang terfokus pada konsep revolusi dua tahap

untuk pembangunan sosialisme di Tiongkok belum pernah dilakukan. Dengan

demikian, penelitian yang saya lakukan tentu menarik dan memiliki nilai

kebaruan. Oleh karena itu, penelitian ini signifikan untuk dilakukan.


28

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami pemikiran

Mao Tse Tung tentang revolusi dua tahap untuk pembangunan sosialisme di

Tiongkok. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka penelitian ini akan

menggunakan perspektif filsafat politik menekankan pada pentingnya pembacaan

yang komprehensif atas sejarah. Sejarah adalah catatan dan bagian yang

mempengaruhi kejadian-kejadian dalam kehidupan saat ini dan selanjutnya.

Penekanan juga ditujukan pada pengkajian terhadap cita-cita, tujuan-tujuan moral,

dan maksud tertentu. Selain itu, penelitian ini juga akan menggunakan paradigma

nonpositivisme, khususnya konstruktivisme.

Konstruktivisme adalah sebuah paham filsafat yang meyakini bahwa

manusia adalah faktor konstitutif atas realitas dunianya. 32 Artinya, penampakan

sebuah realitas dunia tergantung pada bagaimana seseorang memaknai dan

memersepsikannya. Penelitian yang menggunakan paradigma konstruktivisme

menekankan pada proses pemaknaan yang dilakukan oleh peneliti terhadap subjek

penelitian. Dengan demikian, penampakan subjek penelitian sangat bergantung

pada kedekatan peneliti terhadap subjek penelitian dan juga bergantung pada

kedalaman dan keluasan cakrawala pengetahuan peneliti terhadap subjek

penelitian. Dengan menggunakan paradigma konstruktivisme, saya sebagai

32. Makna dan pengetahuan tentang realitas dunia adalah persoalan persepsi
manusia. Dalam hal ini, persepsi tidak dapat dilihat sebagai proses representasi yang pasif-
reseptif, melainkan lebih pada proses produksi yang aktif-konstitutif. Uwe Flick,
"Constructivism," dalam Companion to Qualitative Research, ed. Uwe Flick, Ernst von Kardorff
dan Ines Steinke, terj. Bryan Jenner (London: SAGE Publication, 2004), 88-90.
29

peneliti mengumpulkan informasi dan pengetahuan yang berkaitan dengan

pemikiran politik Mao Tse Tung pada umumnya, dan tentang pemikiran tentang

revolusi dua tahap dan tentang pembangunan sosialisme pada khususnya, agar

dapat mencapai tujuan-tujuan penelitian.

3.1 Metode Penelitian

Dalam melakukan sebuah penelitian, pemilihan metode penelitian dan

analisis adalah sebuah prosedur yang sangat penting, karena dengan memilih

metode penelitian dan analisis yang tepat seorang peneliti dapat mencapai hasil

penelitian yang mendalam dan teruji validitasnya. Dengan mempertimbangkan

topik, tujuan dan paradigma penelitiannya, maka penelitian ini menggunakan

metode penelitian kualitatif sebagai metode penelitiannya. Metode kualitatif

adalah sebuah metode yang berupaya untuk menyajikan dunia sosial, dan

perspektifnya di dalam dunia, dari segi konsep, perilaku, dan persoalan tentang

manusia yang diteliti.33 Dengan menggunakan metode kualitatif, penelitian ini

menggunakan data-data yang diambil dari tulisan-tulisan dan atau hasil-hasil

wawancara yang berkaitan dengan Mao Tse Tung yang dianggap relevan dengan

permasalahan penelitian.

3.2 Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitan ini adalah hermeneutik.

Secara etimologis, „hermeneutik‟ berasal dari bahasa Yunani, „hermeneuein’,

yaitu „menafsirkan‟. Pendekatan hermeneutik digunakan untuk memperkaya

33. Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja


Rosdakarya, 2013), 6.
30

pemaknaan terhadap teks, meskipun memaknai teks secara utuh dan benar adalah

sesuatu hal yang tidak mungkin tercapai.34 Selain itu, penggunaan hermeneutik

dalam penelitian ini ditujukan agar dapat memberikan ruang seluas-luasnya dalam

melakukan pemaknaan terhadap teks. Dalam hal ini, istilah hermeunetik disini

ialah pemahaman dalam menafsirkan teks. Oleh karena itu, dalam usaha untuk

melakukan penafsiran terhadap teks yang ingin diteliti, diperlukan sekali proses

dialektika antara peneliti dengan teks yang diteliti.

Dalam penelitian ini, teks-teks dalam karya-karya Mao akan

diinterpretasikan melalui proses dialog antara pemikiran peneliti dengan teks-teks

yang memuat pemikiran Mao. Konkretnya, untuk memahami pemikiran Mao,

dibutuhkan upaya untuk mendialogkan teks-teks Mao yang tersebar dalam karya-

karyanya, latar belakang kehidupannya, ranah di mana Mao mengonseptualisasi

kritik-kritiknya, juga pengalaman intelektual peneliti. Semua tersebut berjalan

secara dialektis yang bertujuan agar teks-teks pemikiran Mao Tse Tung menjadi

dapat dipahami dan bermakna.

3.3 Fokus Penelitian

Fokus penelitian dibuat agar penelitian dapat terhindar dari pembahasan

yang melebar. Oleh karena itu, sub-sub tema yang ada dalam penelitian ini

berfungsi untuk menjaga pembahasan agar tetap berada dalam jalur yang tepat.

Adapun fokus penelitian ini diarahkan pada pemikiran Mao Tse Tung tentang

revolusi dua tahap untuk pembangunan sosialisme di Tiongkok. Lebih jelas lagi,

34. E. Sumaryono, Hermeneutik (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999), 23-33.


31

fokus penelitian tersebut diuraikan dalam beberapa tema dan subtema. Lebih

jelasnya, fokus penelitian dalam penelitian ini disajikan secara rinci dan ringkas

dalam Tabel 2 (dua).

TABEL 2. Matriks Fokus Kajian Penelitian


Fokus Kajian Penelitian Sub-Aspek Kajian Penelitian
Aspek Kajian Penelitian
Pemikiran Politik Mao Tse Sosialisme dan Kondisi Sosial Deskripsi Sosialisme dan
Tung Tentang Revolusi Politik Masyarakat di Tiongkok Perkembangan
Dua Tahap untuk Pemikirannya
Pembangunan Sosialisme
Deskripsi Kondisi Sosial dan
Di Tiongkok
Politik masyarakat di
Tiongkok

Mao Tse Tung: Kehidupan dan Deskripsi Latar belakang


Pemikiran Sang Pelopor Revolusi di kehidupan Mao Tse Tung
Negeri Tiongkok
Deskripsi Pemikiran Mao
Tse Tung tentang Analisis
Kelas di Tiongkok
Deskripsi Pemikiran Mao
Tse Tung Tentang
Kontradiksi
Deskripsi Pemikiran Mao
Tse Tung tentang
Demokrasi Baru

Pemikiran Politik Mao Tse Tung Deskripsi Revolusi Dua


Tentang Revolusi Dua Tahap untuk Tahap dalam Perspektif
Pembangunan Sosialisme di Pemikiran Mao Tse Tung
Tiongkok
Deskripsi Pemikiran Mao
Tse Tung tentang Revolusi
Dua Tahap untuk
Pembangunan Sosialisme di
Tiongkok
32

3.4 Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian merupakan ruang atau lokasi di mana jawaban atas

pertanyaan penelitian dapat ditemukan. Penentuan sasaran penelitian dapat

membantu peneliti untuk melakukan pembahasan penelitian. Sesuai dengan fokus

penelitiannya, maka sasaran penelitian ini diarahkan pada teks-teks pemikiran

Mao Tse Tung yang di dalamnya terdapat poin tentang revolusi dua tahap, seperti

Pilihan Karja Mao Tje-Tung Djilid I, Pilihan Karja Mao Tje-Tung Djilid II,

Pilihan Karja Mao Tje-Tung Djilid III dan Pilihan Karja Mao Tje-Tung Djilid IV.

Selain itu, sasaran penelitian dalam penelitian ini juga diarahkan pada teks-teks

mengenai Marxisme-Leninisme, imperialisme , feodalisme, analisa kelas, dan

revolusi.

3.5 Jenis dan Sumber Data

Jenis penelitian ini adalah studi pustaka dengan bentuk deskriptif

analitis. Studi pustaka adalah sebuah bentuk studi yang mengandalkan

interpretasi yang mengacu pada referensi. Dalam hal ini, peneliti lebih

difokuskan pada teks literatur yang relevan dengan penelitiannya tanpa mencari

data ke mana-mana. Dengan demikian, peneliti hanya melakukan penelitian

melalui literatur-literatur yang ada di perpustakaan.35

Sumber data terbagi menjadi dua kategori, yaitu data primer dan data

sekunder. Data primer adalah data yang dipilih dan diprioritaskan sebagai sumber

data utama. Sumber-sumber data yang digunakan sebagai data primer dalam

35. Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor, 2004),4.
33

penelitian ini adalah buku-buku karangan Mao Tse Tung. Sedangkan, data

sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber pustaka seperti buku, jurnal,

majalah, maupun internet yang kemudian dipilih dan digunakan agar dapat

membantu memahami pemikiran Mao Tse Tung lebih mendalam.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui

empat tahap36, yaitu: tahap orientasi, tahap klasifikasi, tahap interpreted

elaboration, dan tahap penyusunan laporan. Pertama, tahap orientasi dengan cara

pengumpulan karya-karya Mao Tse Tung atau pustaka-pustaka lainnya yang

relevan dengan penelitian. Kedua, tahap klasifikasi, di mana data yang telah

terkumpul diproses dan disistematisasikan berdasarkan kelasifikasi permasalahan

yang telah ditentukan. Ketiga, tahap interpreted elaboration, mengaitkan bahan

dengan proses analisis dengan teori yang digunakan dalam menunjang penelitian

ini. Keempat, yaitu tahap terakhir, penyusunan laporan. yang dilakukan dengan

menyajikan secara sistematis keseluruhan proses penelitian. Dalam konteks

penelitian ini, teks-teks dalam karya Mao Tse Tung dan teks lain yang

mendukung penelitian ini dikumpulkan, diklasifikasi dan diidentifikasi, kemudian

dianalisa sesuai dengan teori yang digunakan. Dalam hal ini, semua proses

tersebut digunakan agar dapat menyusun laporan penelitian dan menjawab seluruh

permasalahan penelitian.

36. Ibid,16.
34

3.7 Teknik Analisis Data

Berdasarkan pendekatan penelitiannya, maka teknik analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah hermeneutik dari Hans Georg Gadamer.

Gadamer membuat model hermeneutika melalui proses tiga dunia, yaitu dunia

bacaan (the world of text), dunia pengarang (the world of author), dan dunia

pembaca (the world of reader).37 Teknik analisis ini dipilih karena teknik ini

dapat memperkaya dan mengoptimalkan upaya penafsiran terhadap teks yang

diteliti. Teknik ini memberikan tekanan pada pentingnya sebuah fusi cakrawala.

Fusi cakrawala adalah proses peleburan cakrawala pembaca dengan

cakrawala penulis melalui teks yang ditulisnya. Dalam hal ini, peleburan

cakrawala dapat bermanfaat agar pembaca bisa memperoleh esensi teks secara

tepat. Selain itu, cakrawala pembaca juga harus mampu masuk tidak hanya pada

ide-ide dalam teks, namun juga harus memperhatikan faktor-faktor, seperti kapan

teks tersebut ditulis, siapa penulisnya, dan kondisi masyarakat saat teks tersebut

ditulis. Dengan demikian, sumber-sumber data yang telah dipilih kemudian

ditafsirkan secara dialektik, sehingga terjalin sebuah kesatuan pemikiran tentang

revolusi dua tahap dalam revolusi Tiongkok dalam pemikiran Mao Tse Tung.

Fusi Cakrawala menekankan arti penting pengetahuan mendalam

seorang penafsir. Makna sebuah teks dapat diperoleh apabila terdapat proses

dialogis yang tidak berhenti antara penafsir dengan teks yang hendak ditafsirkan.

Dalam konteks penelitian ini, makna dari teks-teks pemikiran Mao Tse Tung

diperoleh dari dialektika antara teks pemikiran Mao Tse Tung dengan

37. Abdullah, M. Amin dkk, Antologi Studi Islam (Teori dan Metodologi)
(Yogyakarta: Dip PTA IAIN Sunan kalijaga, 200).
35

pengetahuan mendalam peneliti. Konkretnya, pemikiran Mao Tse Tung dapat

diperoleh dan dipahami dengan cara mendialektikakan teks-teks karya Mao

dengan cakrawala intelektual peneliti.

3.8 Keabsahan Data

Dalam sebuah penelitian, selalu terbuka kemungkinan terjadinya

penyimpangan atau bahkan kekeliruan atas pemaknaan/ penafsiran data-data yang

telah diperoleh. Oleh karena itu, dibutuhkanlah sebuah teknik validitas data yang

dianggap dapat meminimalisasi kesalahan penafsiran. Dalam konteks penelitian

ini, teknik validitas data yang digunakan adalah dengan mengadaptasi dan

menggunakan konsep tentang „relevansi intelektual‟ dari Ignas Kleden.

Menurut Kleden, pemikiran seseorang dapat dimaknai dengan cara

melihat pemikirannya secara keseluruhan yang tersebar dalam karyanya. Selain

itu, pemikiran seseorang dapat ditangkap maknanya dengan cara mencermati

perubahan dan konsistensi gagasan-gagasannya dalam setiap periode sejarah.38

Keabsahan data dikonseptualisasikan dengan cara melakukan pengujian

terhadap penafsiran data. Proses penafsiran terhadap data diujikan kembali

kepada konsistensi gagasan-gagasan Mao Tse Tung yang tersebar dalam setiap

karyanya dan juga pada setiap karya yang membahas pemikirannya dan relevan

dengan penelitian ini. Pemikiran Mao Tse Tung mengenai revolusi dua tahap

memang banyak tersebar dalam karya-karyanya, seperti kumpulan karya Mao Tse

Tung yang dibukukan dengan judul Pilihan Karja Mao Tje-Tung Djilid I, Pilihan

38. Ignas Kleden, kata pengantar untuk Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan,
(Jakarta: LP3ES, 1988), xiii.
36

Karja Mao Tje-Tung Djilid II, Pilihan Karja Mao Tje-Tung Djilid III, dan Pilihan

Karja Mao Tje-Tung Djilid IV. Namun demikian, untuk memahami makna-

makna teks tersebut, dibutuhkan pula pelacakan cermat terhadap gagasan-gagasan

Mao yang tersebar dalam karya-karya yang membahas tentang pemikirannya.

Dalam hal ini, karya-karya yang membahas pemikiran Mao dan masih erat

kaitannya dengan fokus penelitian adalah MAO TSE TUNG, Desa Mengepung

Kota: Dari Revolusi Demokrasi ke Revolusi Sosialisme, MAO TZE TUNG:

Peralihan dari Revolusi Demokrasi ke Sosialisme, Naga Merah, dan Dunia

Ketiga Dari-dan Ke Mana?.


37

BAB IV

SOSIALISME DAN KONDISI SOSIAL POLITIK MASYARAKAT

DI TIONGKOK

Pemikiran seseorang tidaklah lahir begitu saja, atau tidak lahir dalam

ruang kosong. Pemikiran seseorang selalu lahir dalam ruang sejarah dan kondisi

sosial yang menaunginya. Berkaitan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa

pemikiran seseorang tidak hanya dapat mempengaruhi, namun juga dipengaruhi

oleh ruang sejarah dan kondisi sosialnya. Dalam hal ini, untuk dapat memahami

pemikiran seseorang, pengkajian terhadap ruang sejarah dan kondisi sosialnya

mutlak diperlukan.

Pemikiran Mao Tse Tung dapat dipahami dengan cara mengkaji

wacana-wacana yang menaungi pemikirannya. Secara terperinci, wacana-wacana

tersebut meliputi perkembangan pemikiran tentang sosialisme, dan juga kondisi

sosial politik masyarakat Tiongkok. Dalam penelitian ini, wacana tersebut

dikonstruksi sebagai bagian yang mempengaruhi pemikiran Mao, baik secara

langsung maupun tidak langsung. Satu hal yang pasti, melalui pengkajian

wacana-wacana tersebutlah pemikiran Mao Tse Tung dapat dipahami. Dengan

demikian, pada bab ini membahas secara gamblang mengenai pemikiran tentang

sosialisme sebagai kritik terhadap perkembangan kapitalisme di Eropa dan

perkembangan pemikirannya dari sosialisme utopis hingga ilmiah. Lebih jauh

lagi, bab ini juga menyajikan pembahasan tentang kondisi sosial politik

masyarakat Tiongkok.
38

4.1 Sosialisme dan Perkembangan Pemikirannya

Sosialisme menjadi sebuah antitesis dari masyarakat yang sarat akan

penindasan dan penghisapan yang dibangun oleh kapitalisme-imperialisme.

Berakhirnya fase feodalisme di Eropa yang ditandai dengan revolusi kebudayaan

di Perancis dan revolusi industri di Inggris juga menandakan dimulainya fase

kapitalisme. Fase kapitalisme adalah fase di mana struktur ekonomi, politik,

maupun kebudayaan dikuasai oleh kelas borjuasi. Kekuasaan ini terjadi karena

kelas borjuasi adalah kelas penguasa alat produksi. Pada zaman kapitalisme juga

melahirkan dua kelas yang saling berkontradiksi, yaitu kelas borjuasi dengan

kelas proletariat. Oleh karena itu, pelacakan terhadap latar belakang kelahiran

pemikiran tentang sosialisme dan perkembangan selanjutnya penting untuk

dijelaskan.

4.1.1 Latar belakang Lahirnya Sosialisme: Kritik Terhadap Perkembangan

Kapitalisme di Eropa

Lahirnya kapitalisme secara nyata pertama kali adalah di Inggris. Di

Inggris, selain ditandai dengan revolusi industri, kemunculan kapitalisme juga

diperkuat dengan program enclosure. Melalui kebijakan Bill of Reform pada

tahun 1832 dan Poor Law Amandement pada 1834 pemerintah Inggris, yang

kemudian dicontoh oleh pemerintah seluruh Eropa mengesahkan perampasan dan

perampokan tanah-tanah.39 Praktik enclosure adalah upaya penggusuran dan

pengusiran kaum tani dari lahan garapannya melalui pengkaplingan tanah dan

39. Dede Mulyanto, Genealogi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik


Pranata Eksploitasi Kapitalistik, (Yogyakarta: Resist Book, 2012), 28.
39

menjadikannya hak milik pribadi melalui legalitas sertifikat. Fenomena ini

memaksa petani beralih bekerja di pabrik-pabrik yang telah dibangun oleh para

kapitalis. Kaum tani di Eropa bertransformasi menjadi buruh yang menjual

segenap tenaganya dan dibayar dengan upah. Dengan demikian, dimulailah fase

persaingan antar kelas borjuasi.

Lahirnya kapitalisme menandai pula kehancuran dari sistem

feodalisme, pasalnya momentum revolusi industri dan kebudayaan, program

perampasan dan kepemilikan tanah perseorangan, serta pengusaan alat produksi

adalah senjata untuk menghancurkan sistem produksi feodal. Dalam hal ini,

menandakan bahwa kapitalisme merupakan suatu epos sejarah dalam

perkembangan masyarakat dunia. Perubahan dari corak feodal menuju kapitalis

ditandai juga dengan mekanisme perluasan pasar. Dalam konteks perluasan pasar

untuk barang-barang industri Eropa, pemaksaan dilakukan melalui sistem kerja

upahan, sewa, dan akumulasi kapital. Hal ini berjalan beriringan dengan

penghancuran corak produksi kecil berskala rumah tangga. Kapitalisme

menggantikan corak, dari produksi untuk meningkatkan konsumsi menuju corak

memproduksi untuk akumulasi kapital. Perubahan ini mensyaratkan suatu

perluasan pasar-pasar baru untuk hasil produksi. Hal ini digambarkan oleh

Wertheim bahwa barang-barang industri tekstil Belanda dari Twente

menggantikan industri tenun rumahan di Jawa dan mendesak kaum tani untuk

menuju perekonomian uang.40

40. W.F. Weirtheim, “ Indonesian Society in Transition: A Study of Social Change,


(The Hague: Utigeverij W. Van Hoeve, 1956), 80.
40

Produksi yang semakin cepat akibat berkembanganya teknologi mesin

uap dan mesin tenun menyebabkan gilda-gilda yang kalah bersaing kehilangan

pasarnya sehingga harus gulung tikar dan bekerja di pabrik besar menjadi proletar.

Buruh tani kehilangan lahan garapannya karena tuan tanah secara perlahan

mengorientasikan pertanian kearah industri pertanian yang membutuhkan

penggarapan pertanian dengan tanah secara luas dan menjadikan buruh tani

sebagai buruh harian. Adapun hal ini menyebabkan munculnya pengangguran

secara besar-besaran.41 Fenomena kemunculan kapitalisme juga dilegitimasi

dengan serentetan pemikiran dari para pemikirnya.

Dalam konteks pemikirannya, kapitalisme meletakan dasar pikirnya

dalam sistem filsafat ekonomi liberalisme. Seperti halnya fase perkembangan

masyarakat sebelumnya yaitu feodalisme, kapitalisme dengan kelas penguasanya

juga memproduksi teori-teori dari para pemikir untuk melegitimasi sistemnya.

Dalam konteks teori-teori kapitalisme terdapat para pemikir seperti Adam Smith

dan David Ricardo, yang menjadi pemikir utama dalam sistem ekonomi liberal

dan pendukung kapitalisme. Mereka percaya bahwa kebebasan individu,

kepemilikan pribadi, dan inisiatif individu serta usaha swasta/pribadi merupakan

konsekuensi kehidupan yang harus dijalankan untuk mewujudkan kesejahteraan

masyarakat.42 Para pemikir ekonomi liberal ini yang kemudian memberi

kontribusi besar bagi perubahan sosial dengan melahirkan pemikiran berupa

41. Friedrich Engels, Kondisi Kelas Pekerja Inggris: Embrio Sosialisme Ilmiah,
(Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2012), 109.
42. Mansour Faqih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta:
Insist Press, 2009), 40.
41

prinsip dalam kapitalisme yaitu Laissez-Faire untuk menerapkan dan menjalankan

seluruh konsep dari kapitalisme.

Laissez-Faire merupakan sebuah frasa dari bahasa Perancis yang berarti

“biarkan terjadi”. Diksi ini pertama kali digunakan oleh golongan bangsawan

Perancis pada Abad ke-18 dalam upaya perlawanan terhadap intervensi dari

pemerintah dalam hal perdagangan. Prinsip Laissez-Faire adalah prinsip yang

meyakini bahwa haruslah ada kepercayaan akan kebebasan dalam bidang

ekonomi. Prinsip ini berdasar pada anggapan bahwa dengan memberikan

kepercayaan besar terhadap pasar maka perekonomian akan menjadi semakin

cepat pertumbuhannya ketimbang dengan skema perencanaan perekonomian yang

terpusat dari pemerintah. Dalam hal ini, campur tangan pemerintah harus sangat

dibatasi dalam hal perekonomian.43 Keberadaan pemerintah tidaklah diizinkan

untuk mengatur atau bercampurtangan secara relatif dalam kehidupan produksi,

jual-beli, hingga pembiayaan. Intervensi relatif dari pemerintah dimaksudkan

untuk tetap menjaga keberlangsungan hukum pasar persaingan sempurna.

Dalam tubuh kapitalisme mengharuskan para kapitalis melakukan

persaingan untuk memperebutkan pasar. Pasar bagi para kapitalis merupakan hal

yang potensial untuk mengkonversi kapitalnya menjadi keuntungan dan

melakukan akumulasi kapital. Persaingan ini mengharuskan para kapitalis untuk

melakukan efektifitas dan efisiensi dalam produksi. Hal ini dilakukan dengan

cara penambahan jumlah tenaga kerja, penekanan upah semurah mungkin,

pencarian bahan produksi murah, perpanjangan waktu kerja, dan perbaikan

43. Ibid, 41.


42

teknologi industri. Bagi para kapitalis yang tidak mampu memenuhi semua itu

tentunya akan mengalami kekalahan dalam persaingan, selanjutnya ancaman

gulung tikar akan semakin mendekati kenyataan. Dalam hal ini, Marx

mengantisipasi kecenderungan ke arah sentralisasi kapital dan munculnya

monopoli sebagai konsekuensi dari logika kapital itu sendiri.44 Hal inilah yang

menjadi bagian penting sebagai salah satu faktor selain berkembangan teknologi

mesin yang mendorong perkembangan pesat dari sistem kapitalisme di Eropa.

Perkembangan kapitalisme di Eropa memiliki ekses-eksesnya sendiri

yang mengakibatkan begitu banyak masalah sosial, ekonomi dan kebudayaan di

dalamnya. Permasalahan tersebut berupa ketimpangan sosial antara kelas borjuis

dengan proletar, kompetisi akibat eksisnya kepemilikan pribadi atas alat produksi

dan diterapkannya hukum pasar, perampasan tanah akibat akumulasi primitif, juga

kondisi kelas proletar yang sangat memprihatinkan di awal-awal perkembangan

kapitalisme. Perkembangan kapitalisme yang terus terjadi di Eropa ini yang

berkaitan dengan kondisi konkret yang terjadi sebagai akibatnya dapat terlihat

pada kondisi kelas pekerja di Eropa, khususnya di Inggris.

Inggris merupakan negara di Eropa yang mengalami perkembangan

pesat kapitalisme akibat dampak langsung dari revolusi industri. Kota

Manchester adalah salah satu kota penting di negara tersebut yang menjadi pusat

dari kota-kota di sekitarnya dalam menjalankan roda industri. Kota-kota yang

mengelilingi Manchester memiliki jumlah kelas pekerja terbanyak di Inggris.

Kota Manchester menjadi pemukiman bagi kelas borjuis dengan bangunan vila-

44. Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik, Terj. Oey Hay Djoen,
(Jakarta: Hasta Mitra, 2004), 774-777.
43

vila yang besar. Sedangkan kota-kota yang mengelilingi Manchester manjadi

pemukiman kelas proletariat. Orang-orang bisa masuk-keluar Manchester

melewati kota sekelilingnya tanpa harus bersentuhan dengan pemukiman buruh.

Sedangkan pemukiman kelas proletariat sangat buruk dan rawan penyakit akibat

pembangunan yang terpusat di Manchester. Wabah penyakit kolera sering

menghinggapi pemukiman buruh ini.45 Hal ini terus berkembang kearah yang

semakin buruk setiap waktunya.

Perkembangan kapitalisme di Eropa terus mengalami perubahan

bentuk. Persaingan sempurna antar kapitalis pada awalnya adalah hal yang

dominan terjadi perlahan digantikan dengan kartel-kartel yang mengarah pada

upaya monopoli dari beberapa kapitalis besar. Dalam hal ini, pergeseran bentuk

kapitalisme merupakan konsekuensi dari sistem yang dibangunnya. Pasar

persaingan sempurna mensyaratkan adanya kontradiksi sesama kelas borjuasi.

Kapitalis-kapitalis yang memiliki modal lebih kecil dipaksa untuk menutup

usahanya atau bergabung dengan perusahaan yang lebih besar. Pergeseran juga

terjadi pada industri kecil yang beralih menjadi industri dengan skala yang lebih

besar. Sebagaimana Lenin berkata bahwa kelahiran industri-industri besar

merupakan babak baru terciptanya friksi-friksi, antagonisme, dan konflik-konflik

yang jauh lebih akut dari fase kapitalisme sebelumnya.46

Friksi, antagonisme, dan konflik tersebut melahirkan persaingan untuk

menjadi borjuasi yang paling besar. Persaingan hanya bisa dimenangkan dengan

45. Friedrich Engels, Kondisi Kelas Pekerja Inggris: Embrio Sosialisme Ilmiah,
(Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2012), 21-23.
46. V.I. Lenin, Imperialisme Sebagai Tahapan Tertinggi Kapitalisme, (Jakarta:
Yayasan Pembaharuan, 1958), 73.
44

melakukan efektifitas dan efisiensi dalam produksi. Efektifitas dan efisiensi dapat

dicapai dengan beberapa cara seperti, mengembangkan teknologi atau mesin-

mesin produksi menjadi lebih modern, meningkatkan jumlah buruh yang bekerja,

menekan upah buruh, dan mencari sumber daya bagi pemenuhan bahan baku yang

lebih murah. Dalam hal ini, pencapaian sistem produksi yang efektif dan efisien

mengharuskannya untuk melakukan ekspansi ke wilayah-wilayah lain. Dalam

upayanya memenuhi kebutuhan ekspansinya, kelas borjuasi harus melibatkan

negara.

Negara didorong untuk memainkan peran dalam melegitimasi bisnis

yang dilakukan kelas borjuasi melalui segala regulasinya. Keterlibatan negara-

negara imperialis inilah yang mengubah pola ekonomi politik secara global.

Dalam hal ini, negara secara nyata muncul sebagai alat kelas yang berkuasa untuk

melanggengkan kekuasaan suatu kelas, yaitu kelas borjuasi.

Perubahan pola dalam tubuh kapitalisme dan keterlibatan negara di

dalamnya menjadikan Eropa sebagai benua yang dihuni oleh negara-negara

kapitalis. Kemunculan kelas borjuis menjadi kapitalis besar semakin

mengukuhkan tindakan kolonialisasi yang dilakukan oleh negeri-negeri Eropa.

Proses kolonialisasi menjadi lebih bersifat ekonomistik untuk membangun

perindustrian di negeri-negeri Eropa. Dalam hal ini, terjadi persaingan antara

kelas borjuis melalui tiap-tiap negara majunya untuk menguasai sebesar mungkin

wilayah lain. Skema kolonialisasi yang sejatinya adalah ekspansi dari kelas

borjuasi terus membentuk negeri-negeri Eropa seperti Inggris, Spanyol, Portugis,


45

Amerika Serikat, Belanda, dan Perancis sebagai negeri penjajah atau yang kerap

disebut imperialisme.

Imperialisme adalah tahapan tertinggi dan terakhir dari kapitalisme.

Seperti yang dikatakan oleh Lenin bahwa imperialisme adalah tahap monopoli

dari kapitalisme.47 Imperialisme adalah kapitalisme monopoli internasional, tidak

ada lagi persaingan bebas atau yang didefinisikan sebagai pasar persaingan

sempurna oleh Adam Smith.48 Imperialisme mensyaratkan adanya peralihan dari

industri-industri kecil menjadi industri besar yang menguasai proses industialisasi

dari hulu hingga hilir. Hal ini terjadi karena di dalam tubuh kapitalisme terdapat

kontradiksi yang mendasar antara seluruh kapitalis-kapitalis untuk menjadi yang

terbesar. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Lenin, bahwa Agar keluar

dari krisis periodiknya, kapitalisme harus keluar untuk mencari pasar baru,

mengekspansi batas-batas negara-bangsa untuk mencari lahan, tenaga kerja, dan

bahan-bahan mentah untuk produksi kapitalis yang lebih murah.49

Mengenai imperialisme, Lenin pada tahun 1916 menggambarkan lima

karakteristik dari imperialisme, pertama, konsentrasi produksi dan modal telah

berkembang ke sebuah tahapan yang begitu tinggi, sehingga menciptakan

monopoli-monopoli yang memainkan peran menentukan dalam kehidupan

ekonomi. Kedua, merger antara kapital perbankan dan kapital industri yang

menghasilkan oligarki finansial. Ketiga, ekspor kapital menjadi lebih penting

ketimbang ekspor komoditas. Keempat, pembentukan asosiasi-asosiasi monopoli

47. Ibid, 4.
48. Sri Edi Swasono, Daulat Rakyat Versus Daulat Pasar, (Yogyakarta: PUSTEP
UGM, 2005), 6.
49. Edy Haryadi, Melenyapnya Perspektif Negara, Perspektif Lenin (Jakarta:
Komunitas Studi untuk Perubahan, 2000), 39.
46

kapitalis internasional yang membagi seluruh dunia di antara diri mereka sendiri,

dan kelima, pembagian teritorial dari seluruh dunia telah selesai.50 Kelima

karakteristik ini terus berkembang dan semakin memperlihatkan penghisapan dan

penindasannya.

Kelima karakteristik dari imperialisme itu menandakan bahwa era

kapitalisme pasar bebas telah berakhir. Kapitalisme pasar bebas telah digantikan

oleh kapitalisme monopoli oleh beberapa negara imperialis saja. Dalam

melancarkan penjajahanya, tentu para negeri imperialis ini saling bertentangan

kepentingan khususnya, yaitu hasrat untuk menguasai sebesar-besarnya tanpa

membagi sedikitpun kepada yang lain. Perkembangan dari kapitalisme

tersebutlah yang menjadikan pemikiran dan sistem kapitalisme semakin ditentang.

Penentangan tersebut lahir mulai dari protes konkret berupa perjuangan rakyat

sampai ke kelahirannya ide tentang sosialisme.

4.1.2 Perkembangan Sosialisme: Dari Sosialisme Utopis Hingga Sosialisme

Ilmiah

Sosialisme baik perkembangan pemikirannya maupun upaya

pembangunannya merupakan fakta sejarah yang lahir atas kondisi objektif adanya

penindasan manusia atas manusia lainnya dalam sistem kapitalisme. Kondisi

penindasan tersebut ini hadir karena terdapat dominasi kelas dalam masyarakat

yang dibangun oleh sistem kapitalisme dan berlanjut hingga masa imperialisme

kini. Dengan demikian, sosialisme menggambarkan adanya perjuangan melawan

50. V.I. Lenin, Imperialisme, Tahap Tertinggi Dari Kapitalisme, (Jakarta: Yayasan
Pembaharuan, 1958), 3.
47

penindasan yang dilakukan oleh kelas borjuasi terhadap masyarakat lainnya.

Ibarat ibu dan anak, sosialisme adalah anak kandung dari perkembangan sistem

kapitalisme. Pemikiran dan berbagai uji coba untuk pembangunan sosialisme

semakin mencuat beriringan dengan makin nyatanya bukti-bukti konkret

penindasan yang terjadi pada masyarakat. Dialektika pemikiran yang melahirkan

ide tentang sosialisme dapat dibagi menjadi dua, yaitu pemikiran sosialisme

utopis dan pemikiran sosialisme ilmiah. Pembagian ini berdasar pada analisis dan

jalan keluar yang ditawarkan dari setiap „gerbong‟ sosialisme baik yang utopis

maupun ilmiah.

Perkembangan mengenai pemikiran-pemikiran sosialisme lahir dan

berkembang secara bertahap dari sosialisme utopis hingga sosialisme ilmiah di

Eropa. Pemikiran mengenai sosialisme utopis dilatarbelakangi dan dipengaruhi

oleh pemikiran Saint Simon, Charles Fourier, dan Robert Owen. Sedangkan

pemikiran mengenai sosialisme ilmiah dikembangkan oleh Karl Marx. Pemikiran

mengenai sosialisme utopis serta sosialisme ilmiah mencoba untuk mengkritik

sistem kapitalisme yang masih baru dan berkembang di Eropa pada saat itu.

4.1.2.1 Sosialisme dalam Pemikiran Saint Simon: Peran Ilmu Pengetahuan,

Industri dan Kolaborasi Kelas Sebagai Fondasi Pembangunan

Sosialisme

Saint Simon hidup di masa Revolusi Besar di Perancis. Kehancuran

kekuasaan feodal pada saat itu merupakan kemenangan besar bagi kaum borjuasi.

Selain itu, berkembangnya industri modern di Inggris serta kudeta Napoleon


48

Bonaparte memberikan kesempatan bagi kaum borjuasi untuk mengambil

dominasi dengan cara membeli tanah sitaan pemerintah dari kaum bangsawan dan

gereja, Selain itu, juga sebagian tanah pada saat itu diambil dengan cara

melakukan kontrak-kontrak kepada tentara. Menurut Saint Simon kekuasaan

feodal telah kehilangan kepemimpinan intelektual, kekuatan politik serta

supremasi politik yang selama ini hanya disebarkan melalui teror.

GAMBAR 1. Saint Simon: Pencetus Pemikiran Sosialisme Utopis

Sebagai „putra Revolusi Perancis‟ dan berasal dari keluarga bangsawan,

Simon tidak seperti mayoritas intelektual Perancis yang memuja dan melegitimasi

keberadaan sistem kapitalis. Keyakinan itu didapatkan karena Simon terlibat

langsung dalam Revolusi Perancis dan memandang bahwa revolusi tersebut gagal

mendatangkan perbaikan nasib bagi masyarakat miskin. Simon dengan tegas

membela kelas yang paling besar jumlahnya dan paling miskin tersebut.51 Dalam

merespon ketimpangan tersebut, Simon menyatakan bahwa harus ada

51. DN Aidit, Tentang Marxisme, (Jakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, 1963)
49

kepemimpinan dan pengelolaan negara yang baru. Simon meyakini bahwa yang

harus memipin serta memerintah adalah ilmu pengetahuan dan industri.52

Simon menilai bahwa ilmu pengetahuan dan perkembangan industri

akan membimbing masyarakat pada kesatuan ide-ide mengenai kesejahteraan

yang telah hilang sejak zaman Reformasi kekristianian baru pada saat feodalisme

bercokol. Melalui ilmu pengetahuan, borjuasi harus mampu mengubah dirinya

menjadi pejabat publik. Namun, borjuasi juga harus memiliki kedudukan secara

ekonomi dan politik di mata kaum buruh. Dalam hal ini, kedudukan tersebut

berguna untuk mengusahakan perbaikan terhadap nasib masyarakat. Contohnya,

seperti intelektual, pemodal, serta bankir- bankir yang menurutnya memiliki peran

besar dalam mengatur sirkulasi ekonomi serta produksi sosial.53 Kondisi ini

bertepatan dengan semangat industri modern di Perancis serta menciptakan

hierarki sosial, ekonomi, dan politik yang semakin jauh antara borjuasi dan

proletariat. Namun demikian, Saint Simon secara khusus menekankan bahwa

kelas yang lebih banyak jumlahnya atau yang dimaksud proletariat harus

ditempatkan sebagai kelas yang diperhatikan.

Dalam rangka memperhatikan kondisi mayoritas masyarakat, Simon

menekankan bahwa ilmu pengetahuan dan lembaga politik haruslah diabdikan

untuk kemajuan industri dan ekonomi. Hal tersebut dilakukan kerana menurut

Simon pengetahuan mengenai kondisi-kondisi ekonomi merupakan dasar bagi

lembaga-lembaga politik dalam menjalankan kekuasaannya masih terkesan

52. Friedrich Engels. Anti- Duhring: Revolusi Herr Eugen Duhring Dalam Ilmu
Pengetahuan. Terj.Oey Hay Djoen.(Bandung: Hasta Mitra & Ultimus, 2005), 345.
53. Ibid, 345.
50

parsial. Dalam hal ini, Saint Simon sudah menegaskan bahwa di masa yang akan

datang kekuasaan atas manusia menjadi suatu pengadministrasian segala sesuatu

dan suatu pengarahan proses-proses produksi adalah untuk dihapuskannya negara.

Pemikiran yang demikian tidak terlepas dari kondisi perkembangan

kapitalisme yang belum menunjukan memuncaknya antagonisme kelas yang ada.

Simon hanya menaruh perhatian kepada kelas buruh atas dasar iba atau kasihan

karena melihat penderitaannya akibat sistem kapitalisme. Saint Simon gagal

membaca bahwa sejarah pertentangan kelas dalam masyarakat bersifat

antagonistik antara yang menindas dengan yang ditindas. Hal ini mengakibatkan

Simon tidak memahami peran kelas proletariat yang sesungguhnya dalam

masyarakat kapitalistik. Simon masih mendasarkan bahwa kelas proletariat cukup

diberikan kesejahteraan oleh tata pemerintahan dan ekonomi yang baik yang tetap

dipimpin oleh borjuasi. Simon tidak menempatkan kelas proletariat sebagai

pemikul tugas sejarah untuk melikuidasi keberadaan para borjuasi dan

menggantikan pemerintahan serta sistem sosial menjadi sosialisme.

4.1.2.2 Sosialisme dalam Pemikiran Charles Fourier: Reformasi Kapitalisme

Menuju Sistem Sosialisme

Berbeda dengan Saint Simon yang berbicara mengenai kekuatan ilmu

pengetahuan, industri dan posisi borjuis dan proletariat, Charles Fourier berbicara

mengenai sejarah masyarakat dan keberlebihan sebagai sumber petaka

kemiskinan. Fourier membagi proses sejarah masyarakat menjadi empat tahapan


51

evolusi, yaitu: kebiadaban; barbarisme; patriarkat; peradaban. Dalam hal ini,

Fourier mengatakan:

“tahap beradab meningkatkan setiap kejahatan yang dipraktikkan oleh


barbarisme dalam suatu gaya sederhana menjadi suatu bentuk
keberadaan, yang kompleks, mendua- arti, samar-samar, munafik-
bahwa beradaban bergerak dalam suatu lingkaran mati.”54

Maksud Fourier adalah masyarakat selama dalam prosesnya selalu mengalami

“barbarisme”, hanya saja yang membedakannya adalah perubahan dari bentuk

yang sederhana menjadi lebih kompleks, sehingga terlihat kabur, bermakna ganda,

samar-samar dan munafik, serta bentuk lingkaran sejarah itu selalu berputar

menjadi suatu proses lingkaran “mati” dalam masyarakat yang tak berhenti.

Selain itu, juga Fourier menekankan bahwa kemiskinan dilahirkan dari

keberlimpahan. Fourier menggunakan konsep dialektika Hegel yang hidup

sezamannya, bahwa roda perputaran sejarah manusia tidak berhenti berputar

sebab tidak ada ujung dari kesempurnaan, setiap tahap sejarah akan memiliki

periode naik dan turun.

54. Ibid, 347.


52

GAMBAR 2. Charles Fourier: Tokoh Sosialisme Utopis dengan Jalan Refomasi


Birokrasi

Fourier menggambarkan bahwa kapitalisme, dalam hal ini apa yang

dilakukan oleh para borjuasi telah melahirkan keberlimpahan hasil dan

keuntungan dari produksi. Hal ini akan mengakibatkan krisis dalam tubuhnya

sendiri karena akan melahirkan suatu bentuk monopoli yang tidak terdistribusikan

dengan baik, sehingga akan berubah menjadi kemacetan proses ekonomi.

Fourier memiliki konsep masyarakat sosialis yang disebutnya dengan

istilah “phalange” atau dalam bahasa lainnya „persekutuan hidup‟. “Phalange”

merupakan sistem sosial yang diandaikan oleh Fourier bahwa kepentingan

perseorangan akan bersesuaian dengan kepentingan kolektif. Hal ini akan

mendorong kemakmuran masyarakat yang terus meningkat akibat dampak positif

dari produktivitas kerja. Lebih jauh lagi, sistem distribusi hasil kerja akan

berdasar pada prestasi dan keahlian kerja.


53

Sama dengan yang terjadi pada Simon, Fourier tidaklah melihat

perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari sejarah yang dialektik. Hal ini

mengakibatkan tidak hadirnya posisi yang revolusioner dari kelas proletariat

dalam pemikiran Fourier. Fourier menganggap bahwa kapitalisme akan berakhir

dengan perubahan sistem ekonomi dan reformasi birokrasi. Dalam hal ini,

Fourier justru mengharap pada bantuan kaum borjuis untuk melakukan pembagian

hasil secara adil. Upayanya tersebut pada akhirnya menuai hasil negatif berupa

kegagalan.

Simon dan Fourier dalam upaya mengembangkan pemikiran

sosialismenya juga terhambat oleh tradisi filsafat dan politik di Perancis. Perancis

pada masa itu sedang menunjukan perkembangan filsafat liberalisme yang pesat.

Pemikiran John Locke yang berperspektif liberalisme menjadi dasar dan pedoman

di Perancis. Tradisi filsafat liberalisme menjadikan kaum bangsawan baru

Perancis untuk semakin menuntut kebebasan dan hak kepemilikan yang lebih

besar.55 Pada perkembangan ini jugalah terjadi pergeseran peran absolut raja.

Dominasi kerajaan mengalami terpaan badai revolusi dan pemberontakan. Hasil

besar dari hal tersebut adalah terbentuknya majelis feodal pada tahun 1789 yang

terdiri dari kaum bangsawan, gereja, dan borjuis.

Perkembangan tersebut yang menjadi cikal bakal menguatnya posisi

bangsawan dan borjuis secara politik. Dengan demikian, kehancuran struktur

feodal dan kemajuan dari liberalisme dan kapitalisme tidak dapat terbendung.56

Perkembangan dan tradisi tersebutlah yang gagal dibaca oleh Simon dan Fourier

55. Hans Fink, FILSAFAT SOSIAL: Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas, Terj,
Sigit Djatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 82.
56. Ibid, 86.
54

dalam menyusun pemikirannya. Kontekstualisasi sosialisme mereka tidak dapat

disesuaikan dengan tradisi tersebut.

4.1.2.3 Sosialisme dalam Pemikiran Robert Owen: Perkumpulan Komunal

Masyarakat Berkelas

Berbeda dengan Saint Simon dan Fourier, Robert Owen seorang

pemodal di Inggris yang menjalankan pabriknya dengan cara yang “tidak lazim”.

Sejak tahun 1800 hingga 1829 Owen memimpin pabrik katun besar di New

Lanark, Skotlandia, hingga menjadi mitra pengelola, dan beberapa keberhasilan

yang menjadikan dirinya bereputasi di Eropa sebagai borjuasi yang sukses

mengelola bisnisnya. Di tengah maraknya berkembang wajib kerja tiga belas

hingga empat belas jam per hari, Owen mempekerjakan buruhnya selama sepuluh

setengah jam. Selain itu, Owen juga menyediakan sekolah bagi anak- anak untuk

kesejahteraan para pekerjanya.57 Owen melihat bahwa hadirnya mesin sebagai

alat produksi dapat mempercepat laju produksi dalam kerja produksi. Melihat

bahwa masifnya laju produksi yang tidak diimbangi dengan berjalannya

kesejahteraan buruh mendorongnya untuk mengagas ide mengenai rekonstruksi

sosial berupa hak kepemilikan bersama, yang bertujuan untuk alat produksi

industri. Dalam hal ini, proses produksi industrial dijalankan bagi kebaikan

bersama semuanya.

Owen bekerja di tengah- tengah buruh selama tiga puluh tahun dan

memperjuangkan hak buruh. Setelah lima tahun berjuang, pada tahun 1819 ia

57. Friedrich Engels. Anti- Duhring: Revolusi Herr Eugen Duhring Dalam Ilmu
Pengetahuan. Terj.Oey Hay Djoen.(Bandung: Hasta Mitra & Ultimus, 2005), 349.
55

berhasil memenangkan tuntutan undang- undang pertama untuk membatasi jam

kerja bagi kaum perempuan dan anak- anak di pabrik. Ia juga memimpin serikat

buruh besar tunggal di Inggris, melakukan kerjasama dengan himpunan-

himpunan koperatif perdagangan bersama pengusaha manufaktur. Praktik-

praktik Owen pada saat itu dimaksudkan untuk membangun sebuah tatanan

komunal yang dimaksudkan untuk kesejahteraan bersama serta mengkritik sistem

kapitalisme yang baru saja tumbuh di masa itu.58

GAMBAR 3. Robert Owen: Sosok Borjuasi dan Pemikir Sosialisme Utopis asal Inggris

Menurut Owen, sistem sosial akan berpengaruh besar pada moral

masyarakat. Dalam hal ini,Owen percaya bahwa sistem sosialis akan membawa

masyarakat pada kondisi moral yang baik. Pandangan ini didapat Owen akibat

pengaruh dari para pemikir beraliran materialis asal Perancis Abad 18.

Perkembangan pemikiran Owen sampai pada kesimpulan bahwa kapitalisme

justru menjerumuskan tenaga produktif masyarakat dalam kemiskinan,

58. Ibid, 352.


56

menjauhkannya dari kemakmuran dan mendekatkannya dengan dosa-dosa moral.

Oleh karenanya, Owen mengandaikan suatu masyarakat sosialis yang hidup saling

berdampingan dalam kelompok-kelompok untuk mengubah itu semua.

Masyarakat kecil yang dibangun melalui gagasan sosialisme utopisnya

adalah masyarakat yang hidup saling berdampingan di sekitaran pabrik miliknya.

Owen menyebut konsep masyarakat komunalnya dengan istilah “Home

Colonies”. Masyarakat tersebut terdiri dari kelas borjuasi dan proletariat yang

mengelola produksi secara bersama. Dalam hal ini, Owen mendapatkan tentangan

dari mayoritas masyarakat yang ada. Owen gagal menerjemahkan teorinya

sehingga mampu diterima secara luas, akhirnya Owen mendapat perlakukan

pengucilan dari masyarakat pasca berjalannya pabrik komunalnya. Hal ini

dikarenakan Owen telah menyatakan bahwa sosialismenya tidak perlu

menggunakan jalan revolusi atau pertentangan kelas, melainkan dengan cara

mendamaikan seluruh kelas dalam suatu sistem ekonomi dan sosial. Owen tidak

mampu membaca tradisi kuat dari kelas borjuasi Inggris.

Perombakan sistem Monarki pada tahun 1660 dan pembatasan

kekuasaan kerajaan pada tahun 1688 telah melahirkan kekuasaan kelas borjuasi

baru di Inggris. Kondisi ini melahirkan penyatuan secara regional antara negara

kebangsaan dengan monarki.59 Absolutisme tidak muncul di Inggris karena telah

terbentuknya koalisi yang kuat antara borjuasi perkotaan dengan kaum

bangsawan. Kedua golongan tersebut melahirkan poros baru dalam politik di

Inggris. Secara bertahap, monarki absolut mulai terkikis dan tergantikan dengan

59. Hans Fink, FILSAFAT SOSIAL: Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas, Terj,
Sigit Djatmiko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), 43.
57

Dewan Perwakilan Rendah. Dengan demikian, perkembangan industri di Inggris

sangat dipengaruhi oleh peran yang besar dari golongan borjuasi dan bangsawan.

Upaya keras Owen pada akhrinya dihentikan oleh terpaan krisis

kapitalisme yang menjalar hingga ke pabrik-pabrik miliknya. Kapitalis-kapitalis

Eropa mulai membuka kompetisi sengit yang berdampak pada bangkrutnya

berbagai kapitalis yang lebih kecil termasuk Owen. Momentum itulah yang

mengakhiri karir bisnisnya serta menunjukan kegagalan pemikiran Owen.

Ketiga pemikir sosialis tersebut telah meletakan dasar bagi lahirnya

pemikiran sosialisme yang lebih komprehensif. Simon, Fourier, dan Owen

merupakan representasi dari pemikir tentang sosialisme yang belum mampu

membaca kondisi konkret dalam perkembangan kapitalisme. Kesamaan

pemikiran ketiganya terletak pada gagasan bahwa sosialisme dapat dicapai dengan

jalan damai. Artinya, sosialisme dapat diwujudkan melalui percobaan-percobaan

individual atau mikro. Ketiganya belum mampu mengkorelasikan perkembangan

sejarah yang melahirkan sistem kapitalisme dengan munculnya kelas borjuasi dan

proletariat yang saling berkontradiksi. Dalam hal ini, kekeliruan gagasan dari

ketiganya yang paling fatal adalah mengenai analisis kelas dalam masyarakat.

Menguatnya posisi secara ekonomi dan politik dari kelas borjuasi dan

golongan bangsawan adalah bukti masifnya perkembangan kapitalisme.

Penghancuran dominasi absolut kerajaan di Eropa menajadi faktor utamanya.

Dalam hal ini, kapitalisme justru memberikan ruang luas bagi borjuasi dan

bangsawan untuk mendominasi negara. Dengan demikian, negara telah menjadi

alat kelas borjuasi dan bangsawan untuk mempertahankan kepentingannya.


58

Perkembangan tersebut sesungguhnya merupakan syarat yang baik

untuk melancarkan revolusi. Dalam hal ini, Eisenstadt mengatakan:

“Di seluruh masyarakat di mana revolusi modern berkembang–


Belanda, Inggris, koloni Amerika, dan Perancis– kombinasi tekanan
eksternal terutama berasal dari kemunculan sistem negara modern dan
sistem ekonomi kapitalis di satu fihak, dan tekanan internal serta
konflik di berbagai perkembangan tersebut di fihak lain, dapat
menimbulkan kemerosotan sebuah rezim.”60

Faktor-faktor ini pula yang tidak mampu diperhatikan oleh pemikir sosialisme

utopis. Dengan demikian, analisisnya mengenai perkembangan kapitalisme dan

kontradiksi kelas di dalamnya tidaklah komprehensif, meskipun perkembangan

kapitalisme pada masa itu belum sempurna.

Perkembangan kapitalisme saat itu belum secara komprehensif

memperlihatkan bentuk sejatinya. Pembagian masyarakat ke dalam dua kelas

besar yang saling bertentangan belumlah memuncak. Hal ini menjadikan para

pemikir sosialis utopis akhirnya mencari-cari cara dan ilmu-ilmu baru yang

mampu menjawabnya. Kesamaan ketiganya dalam soal analisa kelas adalah

mereka sama sekali tidak memandang terdapatnya kelas yang saling bertikai

meskipun belum dalam bentuknya yang sempurna. Hal ini menyebabkan

akhirnya segala teori-teori yang disuguhkan oleh mereka menyerukan secara

umum kepada seluruh masyrarakat, bukan kepada kelas tertentu yang memang

akan mewarisi zaman.

Kegagalan dalam membaca kedudukan kelas dalam masyarakat

kapitalisme ini yang menentukan sikap para pemikir sosialis utopis. Mereka

dengan tegas menolak aksi-aksi politik, terlebih aksi revolusioner untuk

60. SN. Eisenstadt, Revolusi dan Transformasi Masyarakat, Terj: Chandra Johan,
(Jakarta: CV. Rajawali, 1986), 242.
59

membangun sebuah sistem sosialis. Mereka menginginkan terjadinya sosialisme

dengan jalan perdamaian antara kelas proletariat dengan borjuasi. Hal ini yang

sudah barang tentu adalah sebuah kemustahilan, karena karakteristik dari konflik

kelas adalah antagonistik atau saling menegasikan. Dalam hal ini, dari seluruh

teori yang digagas oleh kelompok sosialisme utopis dan bermacam kekeliruan

analisisnya yang membuat Karl Marx dan Friedrich Engels kemudian melakukan

kritik terhadapnya melalui pemikiran tentang sosialisme ilmiah.

4.1.2.4 Sosialisme dalam Pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels: Dari

Teori Nilai Lebih, Perjuangan Kelas, hingga Sosialisme Ilmiah

Pemikiran sosialisme ilmiah diperkenalkan oleh Karl Marx melalui

karya utama yang terkenal yaitu Das Kapital. Sosialisme ilmiah lahir sebagai

kelanjutan yang langsung dari wakil-wakil terbesar sosialisme klasik Perancis,

filsafat klasik Jerman, dan ekonomi klasik Inggris.61 Marx menilai bahwa sejarah

dari masyarakat yang ada hingga saat ini adalah sejarah perjuangan kelas.

Kemunculan tuan budak dan budak, tuan tanah atau raja dan kaum tani hamba,

antara bangsawan dan pekerja, merupakan representasi dari kemunculan kelas

penindas dan tertindas dalam setiap fase perkembangan masyarakat. Kapitalisme

sebagai fase di mana Marx hidup dianggap olehnya tidak juga mampu

menghilangkan pertentangan kelas. Masyarakat borjuis yang lahir dari runtuhnya

feodalisme tidak menghapuskan pertentangan kelas, justru melahirkan kelas-kelas

baru, bentuk penindasan baru, dan bentuk perjuangan yang baru pula. Secara

61. Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya, (Jakarta: Harian Rajat, 1962), 31.
60

khusus zaman kapitalisme ini memiliki keistimewaan, bahwa kelas yang saling

bertentangan menjadi semakin terkonsentrasi ke dalam dua golongan besar, yaitu

borjuasi dan proletariat.

GAMBAR 4. Karl Marx dan Friedrich Engels: Tokoh Pemikir Sosialisme Ilmiah

Melalui teori-teori ekonomi kapitalisme yang Marx pelajari terutama

dari karya Adam Smith dan David Ricardo, Marx melahirkan teori ekonomi

politik yang lahir sebagai bentuk kritik terhadap kapitalisme. Kapitalisme yang

mengakui hak kepemilikan pribadi atas alat produksi menyebabkan konsekuensi

logis mengenai akumulasi kapital, yang menyebabkan akumulasi kemelaratan

bagi kaum pekerja.62 Seperti yang dipelajari Marx dari Fourier bahwa kemiskinan

dilahirkan dari keberlimpahan itu sendiri. Kapitalisme menjalankan prinsip

produksi tiada henti, sehingga barang-barang hasil produksinya mengalami

penumpukan dan menyebabkan krisis penumpukan hasil produksi. Dalam hal ini,

62. Ibid, 32.


61

untuk menanggulangi krisis keberlimpahan hasil produksi, kapitalisme harus terus

memperluas pasar dan menekan upah pekerja.

Proses kirtik sistematis terhadap sistem kapitalisme dimulai dengan

pembedahan mengenai komoditas. Komoditas merupakan hasil produksi yang

dilahirkan melalui proses pertemuan antara alat produksi dan tenaga kerja. Oleh

karena itu, komoditas merupakan hasil produksi yang di dalamnya terdapat nilai.

Nilai yang dimaksud adalah nilai yang terkandung akibat curahan kerja sosial

dalam suatu komoditi. Oleh karena itu, nilai kemudian dibedakan menjadi nilai

guna dan nilai tukar.

Nilai guna adalah suatu nilai yang secara alamiah melekat pada suatu

barang hasil kerja produksi. Nilai yang melekat pada barang tersebut lahir akibat

hubungannya dengan kebutuhan-kebutuhan manusia, artinya nilai yang dimaksud

adalah nilai yang bersifat sosial. Artinya nilai guna merupakan bagaimana suatu

barang dapat gunakan sesuai dengan fungsi dan kebutuhannya.

Nilai guna dapat dibagi secara kuantitas ataupun kualitas, misalnya

secara kuantitas dapat diukur dan memiliki nilai yang terkandung secara alamiah

seperti air untuk minum, gandum untuk makan, baju untuk pelindung tubuh dan

lain sebagainya. Selain itu, berbicara kualitas adalah sesuatu yang abstrak, tidak

bisa diukur, namun memiliki nilai pakai secara sosial, misalkan baju yang

memiliki nilai selain pelindung juga memiliki kegunaan dalam mempercantik

penampilan, atau ukiran kayu yang digunakan secara sosial untuk memenuhi

kepuasan estetika seni dan lain sebagainya. Artinya berbicara mengenai nilai

guna bisa relatif dan sesuai kegunaan barang yang akan dikonsumsi tersebut.
62

Dalam melakukan transaksi atau pertukaran sebuah barang harus memiliki nilai

tukar, guna nilai tukar sebagai proporsi atau jumlah yang dipakai untuk

menukarkan nilai pakai jenis tertentu dengan nilai pakai yang lain.63 Selain,

mengandung nilai guna, komoditas juga mengandung nilai tukar.

Nilai tukar merupakan nilai yang terkandung dalam komoditas yang

artinya komiditas tertentu dapat memiliki nilai untuk dipertukarkan dengan

komoditi lainnya. Nilai tukar senantiasa terlihat relatif, karena itu nilai hakiki

(valeur intriseque) atau nilai tukar tak terpisahkan dari sebuah komoditi sebagai

pengertian yang kontradiktif. Misalnya satu ekor sapi yang ditukarkan dengan

ayam, menukarkan seekor sapi dengan seekor ayam akan sangat timpang apabila

hanya menggunakan aspek pengukurnya adalah kuantitas jumlah 1:1, untuk

memproduksi satu ekor sapi tentu berbeda dengan memproduksi satu ekor ayam.

Pembeda ini bisa diukur secarara kuantitas ataupun kualitas, seperti waktu

produksi, biaya produksi, dan lain sebagainya. Artinya pertukaran kedua barang

tersebut harus mampu direduksi menjadi satuan yang dapat diukur yaitu nilai

tukar, namun hingga saat ini nilai tukar yang memungkinkan adalah dengan

menggunakan barang ketiga sebagai satuan ukur bersama, yaitu uang yang

kemudian dikonversi oleh kapitalis sebagai modal yang dapat diakumulasikan.

Karl Marx menjelaskan bagaimana sirkulasi kapital berjalan dalam

sistem kapitalisme yang di mana kapitalis mengambil keuntungan atas sesuatu

yang tidak pernah dikerjakannya. Pada dasarnya, orientasi produksi ditujukan

untuk menghasilkan barang dan menjualnya ke pasar agar mampu membeli

63. Karl Marx, Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik, Terj. Oey Hay Djoen,(Hasta
Mitra, 2004), 4.
63

barang yang diorientasikan memenuhi kebutuhannya sehari-hari atau “menjual

untuk membeli” atau digambarkan melalui rumus Commodity-Money- Commodity

atau C-M-C. Akan tetapi dalam sistem kapitalisme pemodal menggunakan

uangnya untuk membeli barang hasil produksi manufaktur untuk diolah kembali

menjadi barang jadi yang diorientasikan untuk dijual kembali atau “membeli

untuk menjual” atau digambarkan melalui rumus Money- Commodity- Money¹

atau M- C- M¹. Kegiatan yang dilakukan oleh kapitalis tersebut dimaksudkan

untuk mengembangkan modal yang sebelumnya ia putar agar menghasilkan

surplus. Modal yang pada awalnya berasal dari komoditas mulai berubah nilai, di

mana modal berasal dari uang yang pada awalnya hanya berfungsi sebagai alat

tukar.64 Pengembangan modal melalui uang inilah juga yang disebut oleh Marx

adalah akumulasi kapital dalam sistem sirkulasi kapital kapitalisme, suatu

mekanisme yang di mana uang mengembangkan nilai uangnya sendiri.

Nilai tukar merupakan ekspresi atau tampilan dari nilai barang tersebut.

Itulah sebabnya yang menentukan besaran nilai tukar sebuah barang adalah

jumlah kerja yang diperlukan secara sosial untuk memproduksinya. 65 Dalam hal

ini nilai tukar suatu barang dapat diukur dengan bagaimana proses kerja produksi

hingga barang tertentu tersebut dihasilkan. Proses produksi ini kemudian dalam

sistem kapitalisme diartikan dengan ongkos produksi suatu barang. Bagian pokok

dalam ongkos produksi dalam sistem kapitalisme adalah upah yang diberikan oleh

borjuasi pemilik perusahaan kepada buruhnya.

64. Friedrich Engels. Tentang Das Kapital Marx, Terj. Oey Hay Djoen, (Jakarta:
Oey‟s Renaissance, 2007), 16.
65. Ibid, 7.
64

Posisi tenaga kerja yang awalnya sebagai tenaga produktif dalam

hubungan produksi dijadikan komoditi oleh kapitalis. Hal ini menjadikan seakan-

akan tenaga kerja dalam sistem produksi dilihat sebagai mesin, bukan sebagai

manusia. Terpisahnya tenaga kerja dari alat produksinya menyebabkan buruh

tidak mampu mengakses dan mengkonsumsi barang hasil produksinya secara

langsung. Hal inilah yang menyebabkan buruh teralienasi selain dari alat

produksi juga terhadap hasil produksinya. Kedudukan buruh dalam corak

produksi kapitalisme menjadikannya terhisap sepenuhnya dalam sistem kerja yang

demikian. Penghisapan yang secara konkret terukur dan sekaligus menjadi

jantung penghisapan dari sistem kapitalisme adalah nilai lebih. Nilai lebih

merupakan skema penghisapan yang digunakan oleh kapitalis secara terselubung.

Dalam hal ini, Marx berhasil mengeluarkan teori yang baik mengenai nilai lebih,

hal ini yang kemudian disebut sebagai teori nilai lebih.

Nilai tenaga kerja adalah nilai kebutuhan hidup yang diperlukan untuk

memelihara, merawat serta mengembangkan tenaga kerja yang ditetapkan secara

relatif melalui berbagai macam satuan ukur seperti waktu, keterampilan,

kebutuhan hidup sehari-hari dan sebagainya. Akan tetapi karena nilai tenaga kerja

yang berubah menjadi komoditas, maka pekerja menjadi menjual tenaga kerja

yang dibutuhkan dalam hubungan produksi dengan upah. Kebutuhan yang

diperlukan oleh buruh untuk tetap produktif dalam berkerja dengan demikian

harus dipenuhi secara individual melalui upahnya tersebut.

Pemberian upah yang dilakukan dalam proses produksi kapitalisme

terhadap buruh inilah yang mengandung unsur nilai lebih. Nilai lebih merupakan
65

hasil kerja buruh yang nilainya lebih dari upah yang mereka terima. Bagi Marx,

seorang buruh harusnya mendapatkan hasil dari kerjanya lebih dari upah yang

diterimanya. Hasil lebih yang tidak diterima oleh buruh ini diambil oleh borjuis

untuk dimasukkan ke dalam komoditas dan dipertukarkan untuk akumulasi

kapital. Dengan mengambil nilai lebih dari buruh, sistem kapitalis dapat terus

mengakumulasi modal untuk memperbesar produksi dan mendapatkan

keuntungan lebih besar lagi secara terus menerus. Seperti yang dicontohkan oleh

Marx sebagai berikut: “Jika total kapital yang dibutuhkan dalam proses produksi

adalah C, maka C ini terdiri atas alat produksi (c) dan uang yang digunakan untuk

membayar proses kerja buruh (v). Sehingga C = c + v.” Dalam hal ini, Marx

menganggap c sebagai komponen yang konstan karena ia menganggap nilai biaya

bahan baku dan mesin tidak berubah, sedangkan v adalah variabel karena nilai

proses kerja buruh bisa naik dan bisa turun. Oleh karena itu, untuk menghitung

nilai lebih, nilai jual dikurangi proses produksi (C‟ = C + s). Misalnya, biaya

produksi di luar upah (c) adalah sebesar 500.000, sementara angka proses kerja

buruh (upah) (v) adalah sebesar 80.000/bulan, maka angka proses produksinya (C)

adalah sebesar 580.000. Kemudian bila harga jual (C‟) adalah sebesar 900.000,

maka nilai lebih (s) adalah sebesar 420.000.”66

Berjalannya sistem kapitalisme dengan berbagai problematika seperti

kepemilikian pribadi atas alat produksi, penghisapan nilai lebih, serta akumulasi

kapital bagi kelas borjuasi, inilah yang menjadikan kapitalisme sebagai sistem

yang menindas dan menghisap masyarakat. Hal inilah yang menegaskan Marx

66. Ibid, 191.


66

bahwa tidak ada persamaan kepentingan antara kelas borjuasi dan buruh.

Kepentingan antara borjuasi dengan buruh yang diametral atau saling

bertentangan inilah yang menjelaskan antagonisme kelas yang tidak akan pernah

bisa terdamaikan.

Marx menjelaskan kapitalisme mengorientasikan produksinya bersifat

sosial namun orientasi konsumsi bersifat individu. Sedangkan sosialisme

mengorientasikan produksinya bersifat sosial namun orientasi konsumsi juga

bersifat sosial.67 Artinya satu-satunya jawaban atas problem kapitalisme yaitu

menjadikan alat- alat produksi dari milik perseorangan menjadi milik masyarakat

atau yang disebut negara.68 Inilah alasannya mengapa Marx menempatkan bahwa

sosialisme adalah konsekuensi logis dari perkembangan masyarakat, yang akan

menegasi serta menjawab problem-problem yang tidak bisa dijawab oleh

kapitalisme.

Selain penjelasan mengenai kritiknya terhadap kapitalisme, Marx juga

menjelaskan lebih lanjut bahwa masa depan dunia adalah sosialisme menuju

komunisme. Marx merupakan filsuf yang menggagas filsafat meterialisme

dialektika historis, artinya Marx menggunakan analisa tersebut pula dalam

menjabarkan tentang kondisi masyarakat. Marx memandang bahwa sejarah umat

manusia adalah sejarah perjuangan kelas. Marx membagi masyarakat ke dalam

beberapa tahap perkembangan umum masyarakat, yaitu, fase komunal primitif,

perbudakan, feodalisme, kapitalisme-imperialisme, dan sosialisme-komunisme.

Di sinilah Marx menggunakan filsafat dialektikanya dalam menganalisa sejarah

67. Njoto, Marxisme: Ilmu dan Amalnya”, (Jakarta: Harian Rajat, 1962), 32- 33.
68. Ibid, 33.
67

perkembangan masyarakat, dan menemukan keimpulan bahwa setiap fasenya

akan melahirkan syarat-syarat bagi kehancuran fase tersebut dan tenaga

pendorong utama kehancurannya. Misalkan feodalisme, dalam zaman feodalisme

berkat mulai berkembangnya ilmu pengetahuan dan praktik produksi yang

semakin maju, juga ditopang dengan kegiatan perdagangan, menghasilkan

perubahan corak produksi menjadi memproduksi untuk menjual. Selain itu,

dalam internal zaman feodalisme jugalah lahir dan berkembangnya para brojuasi

atau kaum pedagang yang mulai merasakan ketidakpuasan dan ketidakadilan dari

sistem feodalisme. Para borjuis bersama kaum tani hambalah yang kemudian

menjadi tenaga pendorong kehancuran feodalisme dan berdirinya era kapitalisme

yang dikuasai oleh borjuasi.

Keberadaan proletariat sebagai kelas dalam masyarakat kapitalis juga

merupakan konsekuensi logis. Proletariat adalah „anak kandung‟ dari kapitalisme.

Dalam hal inilah Marx melihat bahwa kapitalisme seperti era sebelum-

sebelumnya juga memiliki kontradiksi internal di dalam dirinya. Watak yang

melekat pada kapitalisme seperti eksploitatif, ekspansif, dan akumulatif serta

prinsip kepemilikan pribadi dan liberalisme akan merupakan skema yang akan

menghancurkan dirinya sendiri. Kehancuran kapitalisme menurut Marx harus

pula didorong oleh gerakan revolusi yang besar. Dalam hal ini tugas sejarah

perjuangan untuk menghancurkan kapitalisme ada di tangan kelas proletariat.

Marx juga menyatakan bahwa sosialisme hanya bisa terwujud dengan

gerakan politik yang revolusioner. Artinya adalah perubahan besar mulai dari

pengambilalihan kekuasaan dari tangan borjuasi hingga perubahan struktur sosial


68

ekonomi masyarakat. perubahan menuju sosialisme inilah yang kemudian

dinamakan dengan gerakan Revolusi Sosialis.

Revolusi Sosialis merupakan revolusinya kelas proletariat yang

menjatuhkan kediktatoran dari pemerintahan negara kapitalis. Revolusi Sosialis

selain bertujuan untuk menumbangkan kapitalisme juga akan membanguan suatu

sistem kediktatoran. Kediktatoran yang dimaksud adalah kediktatoran proletariat,

kediktatoran ini tentunya berbeda dengan kediktatoran rezim di masyarakat

kapitalis. Perbedaannya adalah mayoritas rakyat dunia akan memaksakan sistem

baru berupa sistem sosialisme. Oleh karena itu, Marx kerap mengulang kata-kata

“biarkan kelas-kelas yang berkuasa gemetar menghadapi revolusinya komunis.

Kelas proletariat tidak akan kehilangan suatu apapun kecuali belenggu mereka”.

Peta pemikiran dan perkembangan mengenai sosialisme dapat dilihat

lebih mudah melalui Gambar 5 (lima). Pasalnya, secara umum seluruh pandangan

tentang sosialisme menghendaki suatu cita-cita yaitu menghilangkan penghisapan

dan penindasan terhadap manusia. Dalam hal ini, yang membedakan semua

pemikiran tersebut adalah secara spesifik dalam memandang masalah kapitalisme

dan jalan keluar atau metode pembangunan sosialisme yang digagasnya.


69

GAMBAR 5. Peta Perkembangan Sosialisme dari Utopis hingga Ilmiah


70

Seperti yang tercermin dalam Gambar 5 (lima), perkembangan

pemikiran mengenai sosialisme utopis hingga ilmiah terjadi sebagai respon kritis

terhadap pesatnya arus perkembangan kapitalisme. Kapitalisme sebagai suatu

sistem sosial yang berlandaskan pada jaminan hak milik pribadi atas alat produksi,

prinsip Laissez Faire, dan pembagian golongan masyarakat pada kenyataanya

telah melahirkan praktik penghisapan dan penindasan. Praktik tersebut tercermin

dari fenomena penghisapan seperti perampasan tanah, penjajahan, kolonisasi,

hingga skema perbudakan modern. Hal tersebut didukung oleh beberapa

kebijakan seperti Enclosure Movement dan Bloody Legislation.

Perkembangan yang demikian itu adalah yang melahirkan kritik

bertubi-tubi dari berbagai pemikir. Kritik tersebut mucul dengan keras terutama

sekali datang dari para pemikir yang membawa pemikiran tentang sosialisme.

Saint Simon, Fourier dan Robert Owen merupakan pemikir tentang sosialisme.

Mereka melahirkan berbagai karya untuk merespon perkembangan dari

kapitalisme. Masing-masing dari mereka memiliki kritik yang pada intinya

mendasari pada kegagalan kapitalisme dalam membangun masyarakat yang

sejahtera. Ketiganya memiliki kesamaan dalam hal jalan keluar dari sistem

kapitalisme. Bagi ketiganya, suatu masyarakat harus dibangun dengan adil dan

setara melalui kolaborasi kelas. Intinya, sosialisme adalah dapat dicapai melalui

jalan damai tanpa kekerasan atau revolusi.

Kelahiran pemikiran tentang sosialisme dari Simon, Fourier dan Owen

tidak memberikan dampak terhadap laju perkembangan kapitalisme. Dalam hal

inilah mereka disematkan sebagai pemikir sosialisme utopis. Kegagalan dari


71

sosialisme utopis untuk menghentikan laju perkembangan kapitalisme melahirkan

respon dari pemikir lainnya. Marx dan Engels merupakan “dwi tunggal” yang

melahirkan pemikiran tentang sosialisme ilmiah. Pemikiran tersebut dilandasi

atas kritik terhadap keberlanjutan sistem kapitalisme dan gagalnya teori dan

praktik dari sosialisme utopis. Bagi Marx dan Engels, kapitalisme telah

menghisap nilai lebih dari buruh, melahirkan pertentangan kelas, dan buruknya

kondisi kelas buruh dalam sistem kapitalisme. Lebih jauh lagi, Marx dan Engels

menyajikan bahwa pertentangan kelas antara borjuasi dan proletariat tidaklah

dapat didamaikan. Dalam hal ini, untuk mewujudkan sosialisme ialah dengan

jalan revolusi atau perjuangan kelas. Pemikiran sosialisme ilmiah inilah yang

menjadi satu dari tiga komponen pokok dalam Marxisme.

4.1.3 Pencapaian Tujuan Sosialisme: Praktik Revolusioner Sosialisme

Komunis

Sosialisme Komunis yang bersumber dari Marxisme dengan cepat

menyebar keseluruh penjuru dunia, khususnya Eropa. Hal ini juga berkaitan

dengan semakin kerasnya penghisapan dan penindasan yang dilakukan oleh

kapitalisme. Eropa mendadak menjadi benua yang dipenuhi oleh gagasan

marxisme. Marxisme juga yang menjadi bagian penting dalam semakin besarnya

gerakan buruh dan negeri-negeri terjajah. Salah satu dari sekian banyak negara

yang terguncang oleh Marxisme adalah Rusia.

Di Rusia, Marxisme menjelma sebagai suatu kekuatan baru yang

seakan siap meruntuhkan dominasi absolut dari Tsar. Dalam hal ini, pemimpin
72

sekaligus orang yang melanjutkan secara konkret teori-teorti Marxisme adalah

Lenin. Lenin bersama partai komunisnya berhasil mendirikan negara sosialis

pertama di Rusia pada tahun 1917 sekaligus menjadi bukti secara nyata

diterapkannya teori sosialisme ilmiah dalam Marxisme.

Lebih jauh lagi, pasca kemenangan Revolusi Sosialis di Rusia,

sosialisme komunis semakin berkembang pesat. Revolusi Sosialis di Rusia juga

melahirkan gairah perjuangan revolusioner di negeri-negeri jajahan seperti di

Asia. Dengan demikian, sosialisme komunis telah menemukan pencapaiannya

yang besar, yaitu mampu membawa pengaruh besar dan perjuangan pembebasan

nasional di dunia.

4.1.3.1 Berdirinya Negara Sosialis: Pemikiran Lenin tentang Revolusi

Sosialis dan Kemenangan Revolusi di Rusia

Wacana sosialisme ilmiah yang disebarluaskan oleh Marx dan Engels

segera menyebar di Eropa seiring dengan pertumbuhan pesat kapitalisme dan

munculnya Perang Dunia I. Salah satu tokoh yang mengadaptasi pemikiran Marx

dalam gerakannya adalah Vladimir Ilyich Ulyanov, atau yang lebih dikenal

dengan nama Lenin. Lenin lahir di Simbirsk (sekarang Ulyanovsk), pada 22 April

1870. Lenin-lah yang selanjutnya mencoba mengkontekstualisasikan Marxisme

dengan kondisi Rusia di eranya. Tujuan utamanya jelas yaitu membangun Rusia

menjadi negara sosialis.


73

GAMBAR 6. Vladimir Ilyich Ulyanov (Lenin) Pemimpin Revolusi Sosialis Uni


Soviet

Pada abad 19, kondisi Rusia jauh terbelakang ketimbang berbagai

Negara di Eropa lainnya. Revolusi industri dan enclosure yang terjadi sekitar

1760an telah merombak sistem perekonomian di Inggris, dan menyuburkan

kapitalisme. Revolusi Perancis di tahun 1789 juga telah mengguncang Perancis

dengan ide-ide liberte, egalite, freternite. Sementara, Rusia masih berjalan di

bawah otokrasi Tsar yang ditopang oleh ortodoksi gereja. Rusia di era itu juga

tercatat memiliki jumlah kelas menengah yang sedikit, dengan mayoritas


74

penduduknya merupakan budak pertanian buta huruf.70 Bahkan pembebasan

kelas budak baru dilakukan pada tahun 1861 di Rusia. Kondisi tersebut berusaha

diubah oleh Tsar Nicolas II yang mulai menjabat tahun 1894. Tsar berusaha

mengembangkan perekonomian Rusia dengan cara meningkatkan investasi asing

dan membangun infrastruktur serta industri.71

Di tengah penetrasi kapital asing yang masuk kedalam Rusia,

industrialisasi makin didorong untuk tumbuh. Dalam hal ini, skema tersebut

mendorong pemberantasan buta huruf dan mobilisasi rakyat Rusia dalam Industri.

Hal tersebut juga meningkatkan kuantitas kelas buruh Rusia, dan di sisi lain

menimbulkan gejolak petani yang tergusur oleh pembangunan industri. Di tengah

kondisi Rusia tersebut, Lenin mengajukan analisis perkembangan Rusia ketika itu

dalam tulisan berjudul „penjelasan‟ pada tahun 1895. Menurut Lenin :

“Akhirnya, kapital asing sangat berminat menanamkan modalnya di


Rusia. Mereka membangun cabang pabrik-pabriknya di sini dan
mendirikan perusahaannya di Rusia. Mereka mencoba dengan antusias
untuk bekerja di Negara yang secara industrial masih muda, di mana
pemerintahnya sangat bersahabat dan memenuhi semua kewajiban
kepada kaum kapital bila dibanding dengan tempat lain. Karena kaum
buruh tidak terorganisir dan tidak melakukan perlawanan terhadap
kapitalisme, serta di mana standar hidup sangat rendah”72

Analisa Lenin tersebut telah memberikan gambaran awal secara umum tentang

kondisi Negara Rusia yang saat itu dipimpin oleh kekuasaan Tsar Nicolas II.

Masuknya ekspansi kapital di Rusia dibawah kepemimpinan Tsar

Nicolas II, merupakan dampak dari perkembangan kapitalisme di dunia yang

70. Marvin Perry,Peradaban Barat : Dari Revolusi Perancis Hingga Zaman Global,
(Bantul: Kreasi Wacana, 2013), 287.
71. Ibid, 291
72. Christopher Hill,Lenin : Teori dan Praktik Revolusioner, terj: Darmawan,
(Yogyakarta: Resist Book, 2009), 16
75

mulai mengalami perubahan bentuk. Lenin mulai meneliti gejala-gejala

perubahan ini dengan mendasarkannya pada data yang telah dihimpun oleh R.

Calwer, di buku An Introduciton to the World Economy.73 Lenin melihat gejala

monopoli perdagangan oleh negara-negara kapitalis maju. Fenomena ini disebut

Lenin sebagai Imperialisme. Dalam hal ini, lebih lanjut Lenin mengemukakan

analisisnya mengenai imperialisme sebagai berikut:

“Kita harus memberikan imperialisme sebuah definisi yang akan


mengikutsertakan lima fitur utama seperti berikut ini: (1) Konsentrasi
produksi dan kapital telah berkembang ke sebuah tahapan yang begitu
tinggi sehingga menciptakan monopoli-monopoli yang memainkan
sebuah peran menentukan di dalam kehidupan ekonomi; (2) Merger
antara kapital perbankan dan kapital industrial, dan pembentukan,
berdasarkan “kapital finansial” ini, sebuah oligarki finansial; (3) Ekspor
kapital, yang berbeda dari ekspor komoditas, menjadi jauh lebih
penting; (4) Pembentukan asosiasi-asosiasi monopoli kapitalis
internasional yang membagi dunia di antara diri mereka sendiri, dan (5)
pembagian teritorial dari seluruh dunia oleh kekuatan-kekuatan
kapitalis terbesar telah selesai”74

Kelima fitur yang dikemukakan oleh Lenin tersebut mengacu pada tren keadaan

perekonomian yang sedang berkembang di dunia kini bergerak ke arah monopoli.

Investasi dan industrialisasi yang dipaksakan oleh Tsar Nicolas II ketika itu juga

akibat dari penetrasi kapital dari negara-negara imperialis.

Monopoli ekonomi politik oleh imperialisme mengharuskan dirinya

melakukan ekspor kapital dan komoditas secara intensif, untuk menghindari

resiko overkapital dan overproduksi yang lebih tinggi di tubuh imperialisme.

Sehingga, eksport tersebut akan menghisap proletariat seluruh dunia dalam skema

penghisapan nilai lebih. Menurut Lenin, tersentralkannya kapital dunia ke

73. V.I. Lenin, Imperialisme, Sebuah Tahapan Tertinggi Kapitalisme, (Jakarta:


Yayasan Pembaharuan, 1958)
74. Ibid, 3
76

segelintir borjuasi, telah mempertajam antagonisme kelas antara borjuasi yang

memonopoli kapital di dunia, dengan proletariat di seluruh dunia.75

Kondisi sosial-ekonomi-politik Rusia tersebut telah mendorong Lenin

dan berbagai tokoh Marxis Rusia lainnya untuk segera membuat partai politik

yang ditujukan untuk mewujudkan sosialisme. Akhirnya, pada tahun 1898,

lahirlah Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia (Russian Social Democratic Labour

Party).76 Pada tahun 1900, koran Iskra sebagai terbitan resmi partai, pertama kali

mulai beredar dan disebarluaskan ke seluruh Rusia untuk membangkitkan

perlawanan rakyat Rusia.

Ditengah dinamika gerakan Marxis yang berkembang di Rusia, mulai

muncul perdebatan dalam cara mewujudkan sosialisme.77 Beberapa pihak seperti

Fraksi Menshevik pada Partai Buruh Sosial Demokrati Rusia, Kuam Fabian, dan

para pengikut Karl Kautsky secara umum berpendapat bahwa sosialisme dapat

diwujudkan melalui jalur transisi secara damai. Lenin menjawab permasalahan

ini dengan mengawali pembahasannya tentang negara. Menurut Lenin, :

“Negara adalah produk dan manifestasi dari tak terdamaikannya


antagonisme-antagonisme kelas. Negara timbul ketika, di mana dan
untuk perpanjangan terjadinya antagonisme-antagonisme kelas secara
obyektif tidak dapat didamaikan. Dan sebaliknya, eksistensi negara
membuktikan bahwa antagonisme-antagonisme kelas adalah tak
terdamaikan”78

75. V.I. Lenin, Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib
Sendiri, 2
76. Juma De Putra, Revolusi-Revolusi Paling Spektakuler di Dunia, (Yogyakarta:
IRCiSoD, 2014), 178
77. Perbedaan pendapat tentang mewujudkan Sosialisme bahkan membuat Partai
Buruh Sosial Demokrat Rusia terpecah menjadi dua fraksi ; Yaitu Boleshevik (yang berarti
mayoritas) dan Menshevik (yang berarti minoritas). Perbedaan keduanya terletak pada
pembangunan partai dan cara mewujudkan sosialisme. Wikipedia.
78. V.I. Lenin, Negara dan Revolusi : Ajaran Marxis tentang Negara dan Tugas-
Tugas Proletaiat dalam Revolusi, terj. Sulang Sahun (Yogyakarta: IndonesiaTera, 2000), 10
77

Menurut Lenin, negara hadir sebagai bentuk dari tidak terdamaikannya konflik

kelas. Negara dipandang sebagai sebuah suprastruktur yang ditujukan untuk

menekan antagonisme kelas. Hal tersebut dikarenakan negara merupakan alat dari

kelas penguasa. Dengan demikian, negara berfungsi untuk menertibkan konflik

kelas di dalam suatu negara, agar melegitimasi penghisapan oleh kelas penguasa

terhadap kelas tertindas.

Dari analisa tersebut maka menurut Lenin, tidaklah mungkin

mewujudkan sosialisme secara damai, karena negara Rusia ketika itu merupakan

alat kelas borjuasi. Hal ini semakin memperlihatkan kesatuan pandang lenin

sebagai seorang revolusioner yang memegang teguh Marxisme. Ketika negara

menjadi alat kelas borjuasi, maka negara akan senantiasa melegitimasi sistem

kapitalisme dan tentu saja akan menghindari terciptanya sosialisme yang dapat

melikuidasi kelas borjuasi. Dengan demikian, proletariat tidaklah mungkin

menciptakan sosialisme sebelum berhasil merebut kekuasaan negara.

Kekuasaan proletariat tidak dapat berdiri begitu saja, karena negara

memiliki kekuatan khusus. Dalam hal ini, senada dengan apa yang dikatakan oleh

Lenin bahwa negara adalah suatu kekuatan penindas khusus terhadap kelas

tertindas.79 Kekuatan penindas khusus yang dimaksud adalah dengan melakukan

penindasan melalui aparat keamanannya (polisi, militer, lembaga hukum, penjara

dsb). Melalui aparat keamanan tersebut, negara meredam antagonisme kelas,

sehingga kelas proletariat dihalangi untuk melancarkan Revolusi Sosialis dan

membangun negara sosialisnya.

79. Ibid, 23
78

Secara historis, perebutan kekuasaan kelas tertindas terhadap kelas

penindas selalu diwarnai dengan kekerasan. Lenin mengutip tulisan Engels untuk

membuktikan hal tersebut :

“Bagaimanapun, kekuatan itu, kekerasan, juga memainkan peranan lain


dalam sejarah, yaitu peranan revolusioner, bahwa kekerasan, menurut
kata-kata Marx, adalah bidan bagi setiap masyarakat lama yang telah
mengandung masyarakat baru, bahwa kekerasan adalah alat yang
digunakan oleh gerakan sosial untuk merintis jalan bagi dirinya dan
menghancurkan bentuk-bentuk politik yang telah mati dan membatu”80

Analisa tersebut menunjukkan bahwa tidaklah mungkin sebuah perubahan

revolusioner sistem sosial masyarakat, dilakukan secara damai. Dengan analisa

tersebut, Lenin dan kelompok Bolshevik segera menyusun langkah untuk menuju

revolusi, dan menarik garis demarkasi dengan kekuasan Tsar.

Pasca deklarasi Bolshevik, sebelum meletusnya revolusi, partai terus

mengorganisir massa dalam perkumpulan-perkumpulan yang kemudian menjadi

soviet di perkotaan dan pedesaan.81 Pada tahun 1904, gejolak yang dihasilkan

dari pengorganisiran massa mulai muncul. Di daerah Baku, terjadi aksi

pemogokan buruh yang dipimpin oleh Joseph Stalin. Pemogokan berlanjut di St.

Petersburg. Kemudian, pada tanggal 22 Januari 1905, terjadi peristiwa yang

disebut sebagai „minggu berdarah‟, sebuah penembakan Tsar kepada massa aksi

buruh yang dipimpin oleh Romo Gabon.82 Gejolak rakyat Rusia tersebut

80. Ibid, 24
81. Soviet adalah perkataan Rusia yang artinya „Dewan‟. Alat kekuasaan proletariat.
Bentuk pemerintahan Negara Sosialis. Menurut Stalin, Soviet adalah organisasi yang langsing
daripada massa itu sendiri, yaitu organisasi massa yang paling demokratis, dan oleh karenanya,
organisasi massa yang paling berkuasa yang memberikan kepada massa fasilitas-fasilitas yang
sebesar-besarnya untuk turut serta dalam pembangunan negara baru dan pemerintahannya. L.Harry
Gould, Kamus Kecil Istilah Marxis, terj. Rollah Syarifah (Jakarta: Kelompok Kerja Untuk
Demokrasi Rakyat, 2006), 74.
82. Christopher Hill, Lenin : Teori dan Praktik Revolusioner, terj : Darmawan,
(Yogyakarta: Resist Book, 2009), 92
79

memuncak untuk pertama kali pada tahun 1905. Pada tahun 1905, revolusi

pertama meletus di Rusia. Revolusi dipengaruhi oleh kekalahan Rusia terhadap

Jepang dalam perang Rusia-Jepang. Sehingga, ditengah kekacauan ekonomi

akibat kalahnya Rusia dari Jepang, gerakan rakyat yang sedang memanas dapat

mengambil keuntungan. Otokrasi Tsar tidak serta merta hancur, revolusi 1905

menghasilkan penambahan struktur parlemen dalam pemerintahan Tsar Nicolas

II. Pada 30 Oktober 1905 akhirnya Tsar Nicolas II menandatangani manifesto

pembentukan Duma.83

Pembentukan Duma pada 1905 dimanfaatkan oleh kaum Sosialis-

Revolusioner dan kelompok Menshevik untuk melakukan perjuangan reformis

mereka di dalam parlemen. Kebijakan Duma hanya sebatas menyelenggarakan

pemilu-pemilu semata, sementara kondisi ekonomi Rusia pasca kekalahan perang

dengan Jepang tetap belum bisa dibenahi. Gejolak gerakan rakyat Rusia masih

terjadi sepanjang 1905, akibat kekacauan ekonomi. Pada tahun 1906, Stolypin

diangkat menjadi perdana menteri Rusia demi menstabilkan pemerintahan.

Kebijakan Stolypin selanjutnya adalah untuk menumbuhkan kapitalisme di

pedesaan. Stolypin mulai melakukan reformasi di sektor pertanian dengan

memperkenalkan kepemilikan pribadi, serta meningkatkan insentif bagi industri-

industri kecil di pedesaan.84 Insentif-insentif tersebut dibagikan kepada para tuan

tanah, sehingga memungkinkan mereka untuk menjadi borjuasi-borjuasi yang

lebih kuat. Insentif menjadikan para tuan tanah untuk bisa memperluas

83. Duma merupakan badan legislatif Rusia sejak zaman kekaisaran yang berdiri
berdampingan dengan Tsar Nicolas II. “Duma,” Wikipedia, terakhir diubah pada 22 September
2013, https://id.wikipedia.org/wiki/Duma_Negara.
84. Marvin Perry,”Peradaban Barat : Dari Revolusi Perancis Hingga Zaman
Global”, (Bantul: Kreasi Wacana, 2013), 291
80

kepemilikan tanahnya di desa dan membangun industri-industri di pedesaan.

Kondisi ini justru memperkuat posisi tuan-tuan tanah di pedesaan, dan tetap

melemahkan kaum tani miskin.

Kebijakan Stolypin menunjukkan bahwa arah pemerintahan Rusia kini

bergerak ke arah kapitalisme. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh komposisi

pemerintahan Rusia kala itu yang kebanyakan kaum liberal dan sosial-demokrat.

Secara ekonomi, komposisi Duma ketika itu didominasi oleh tuan tanah, sebanyak

130.000 orang.85 Kondisi ini sesuai dengan analisa Lenin tentang negara, bahwa

“negara adalah alat kelas berkuasa”, sehingga ketika negara dikuasai oleh klas

borjuasi, maka kebijakan negara tersebut juga menguntungkan bagi borjuasi.

Berbeda dengan kelompok Menshevik dan Sosialis Revolusioner yang

sibuk bergerak di jalur parlementer, Bolshevik di bawah kepemimpinan Lenin

terus mengorganisir soviet-soviet di di Rusia. Pada 22 Desember 1905 bahkan

Soviet di Moskow dikuasai secara mayoritas oleh Bolshevik dan menyebar di

puluhan kota lainnya di Rusia.86 Dengan kekuatan massanya, Bolshevik makin

gencar melakukan serangan-serangan mogok, bahkan pemberontakan bersenjata

di beberapa tempat. Menanggapi hal tersebut, pemerintahan Stolypin mulai

melakukan penangkapan-penangkapan, di tahun 1907, tercatat ada 11.000 orang

yang didakwa sebagai pelaku kejahatan dan 3.500 orang diantaranya dihukum

gantung. Fenomena penangkapan tersebut semakin memperlihatkan bahwa

pemerintahan Rusia merupakan representasi dari kepentingan kelas borjuis baik

internasional maupun dalam negeri.

85. Christopher Hill, Lenin: Teori dan Praktik Revolusioner, terj : Darmawan,
(Yogyakarta: Resist Book,2009), 100
86. Ibid, 94
81

Pada tahun 1916, Duma Rusia menjadi berantakan. Seiring dengan

pertumbuhan kapitalisme dan gejolak gerakan rakyat yang terus terjadi, krisis

dalam negeri tidak terhindarkan. Dalam tulisannya, Revolusi Sosialis dan Hak

Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib Sendiri, Lenin berpendapat :

“Intensifikasi penindasan nasional di bawah imperialisme menjadikan


sebuah keharusan bagi Sosial Demokrasi untuk tidak meninggalkan apa
yang digambarkan oleh borjuasi sebagai perjuangan “utopis” bagi
kemerdekaan bangsa-bangsa untuk memisahkan diri, tetapi, sebaliknya,
untuk mengambil keuntungan lebih banyak dari konflik-konflik yang
juga muncul atas dasar perjuangan tersebut dengan tujuan untuk
membangkitkan aksi massa dan serangan revolusioner terhadap
borjuasi.”87

Di tengah penindasan pemerintahan Rusia dan krisis yang kembali muncul, Lenin

dan Bolshevik semakin intensif melakukan aksi-aksi massa. Semua ditujukan

untuk menyerang langsung borjuasi yang berada dalam koalisi Tsar dan Duma

yang menguasai pemerintahan.

Pada tahun 1916, toko-toko mulai kosong dan uang semakin tak

bernilai, serta kelaparan menjangkit berbagai tempat.88 Puncaknya, pada awal

1917 hingga Februari 1917, terjadi pemogokan, demonstrasi, bahkan

pemberontakan bersenjata disertai huru-hara yang diorganisir oleh Bolshevik di

St.Petersburg, Moskow dan berbagai daerah Rusia. Para serdadu dan jajaran

pemerintahan yang bersekutu dengan Tsar di tahun 1905, berbalik menyerang

Tsar. Lenin berhasil memanfaatkan krisis dalam negeri dan kontradiksi di dalam

tubuh pemerintahan Rusia dengan baik. Pada April 1917, akhirnya pemerintahan

sementara yang diambil oleh kelompok sosialis-revolusioner dan kelompok

87. V.I. Lenin, Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib
Sendiri, (Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1964)
88. Marvin Perry, Peradaban Barat : Dari Revolusi Perancis Hingga Zaman
Global, (Bantul: Kreasi Wacana, 2013), 291
82

Menshevik, dibentuk untuk mengisi kekosongan kekuasaan di Rusia. Pasca April

1917, Rusia di bawah pemerintahan sementara, melanjutkan perang dan berada di

pihak sekutu.

Lenin menulis Tesis April, sebuah tesis tajam yang merangkum tugas-

tugas proletariat untuk menyongsong revolusi di tengah kondisi Rusia waktu itu.

Tesis pertama yang diungkapkan Lenin adalah untuk menolak perang imperialis

yang dilakukan oleh pemerintahan sementara. Lenin berpendapat bahwa perang

dapat diterapkan proletariat apabila negara sudah berada dalam kekuasaan

proletariat. Dalam tesis tersebut, Lenin juga menyerukan kepada proletariat untuk

tidak mendukung pemerintahan sementara, karena menurut Lenin, hanyalah

Soviet satu-satunya bentuk pemerintahan revolusioner yang dapat membawa

proletariat pada masyarakat sosialis. Setelah itu, Lenin menyerukan untuk

menyita tanah-tanah milik tuan tanah dan melakukan program nasionalisasi tanah

serta membentuk utusan-utusan tani di Rusia.89 Lenin juga berencana untuk

mengganti nama partai yang semula bernama Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia

(Fraksi Bolshevik), menjadi Partai Komunis.90

Pemerintahan sementara tidak berlangsung dengan stabil pasca April

1917. Kembalinya Rusia dalam perang dunia membuat kemarahan rakyat

memuncak. Di pertengahan tahun hingga September 1917, Bolshevik semakin

89. Berbeda dengan tradisi kaum Marxis yang menitikberatkan perjuangan buruh,
Lenin muncul sebagai seorang Marxis yang menganggap penting perjuangan petani. Petani miskin
(sebagai golongan klas borjuasi kecil di pedesaan) dan buruh tani, memiliki tugas-tugas revolusi
borjuis demokratik untuk melakukan revolusi agraria. Hal ini dikarenakan corak feodalisme masih
melekat di Rusia, sehingga dibutuhkan aliansi antara klas buruh dan kaum tani untuk mendorong
masyarakat ke tahap sosialisme. Christopher Hill, Lenin: Teori dan Praktik Revolusioner, terj :
Darmawan, (Yogyakarta: Resist Book,2009)
90. Lenin, V.I, “Tugas-Tugas Kaum Proletariat dalam Revolusi Sekarang Ini (Tesis
April),” Marxists.org, terakhir diubah Desember 1998, https:// www.marxists.org/ indonesia
/archive /lenin/1917/ Tugas.htm.
83

gencar melakukan pemogokan-pemogokan buruh, pemberontakan bersenjata di

perkotaan, hingga pengambilalihan paksa tanah-tanah para tuan tanah di pedesaan

oleh para petani. Akhirnya pada bulan Oktober 1917, Bolshevik meraih

kemenangannya dengan mengambil alih Rusia ke tangan proletariat. Aksi-aksi

demonstrasi dan pemberontakan yang secara intensif dilakukan Bolshevik telah

membuat pemerintahan sementara tidak mampu berbuat banyak. Pada tanggal 7

November 1917, Bolshevik meraih suara terbanyak dalam Kongres Soviet Kedua.

Pada 20 Januari 1918, Dewan Konstituante yang berisi kaum borjuis-opportunis,

dibubarkan oleh Bolshevik. Segera setelah pembubaran Dewan Konstituante,

Kongres Soviet Ketiga digelar untuk mengukuhkan kemenangan proletariat atas

kelas borjuasi di Rusia.

Kemenangan Revolusi Sosialis di Rusia segera menjadi berita yang

menggemparkan dunia. Hal ini terjadi karena untuk pertama kalinya Marxisme

secara komprehensif dapat diterapkan menjadi sebuah praktik revolusioner.

Perkembangan ini tentunya segera ditangkap oleh berbagai pihak, baik yang

kontra maupun yang mendukung dan terinspirasi dari perjuangan tersebut.

Alhasil, perjuangan untuk melepaskan belenggu imperialisme semakin bergema di

seluruh negeri. Pada wilayah negeri dunia ketiga, perjuangan tersebut mengambil

wujud perjuangan pembebasan nasional anti imperialisme dan kolonialisme.

Rusia di bawah kepemimpinan Lenin dan partainya menjelma menjadi

negara sosialis yang kuat. Hal ini karena Uni Soviet dipimpin oleh pemerintahan

diktator proletariat yang kuat dan didukung oleh kelas revolusioner lainnya.
84

Mengenai ini, akan dikutip pernyataan singkat dari Lenin mengenai

kepemimpinan kelas proletariat dalam negara:

“Hanya kekuasaan proletariat yang disokong oleh kaum semi-proletar,


dapat memberikan negara suatu kekuasaan yang benar-benar kuat dan
benar-benar revolusioner. Kekuasaan itu akan benar-benar kuat, karena
ia akan didukung oleh mayoritas Rakyat yang kokoh dan sadar klas.”91

Berbagai kebijakan dikeluarkan oleh negara untuk memperkuat

pembangunan sosialisme di Rusia. Lenin mengumumkan program pemerintahan

Soviet pada 8 November 1917, yaitu mengadakan perdamaian bagi seluruh

bangsa, pembagian tanah bagi kaum tani, kontrol atas produksi dan distribusi

barang oleh kaum buruh dan kontrol bank secara nasional.92 Lebih jauh lagi,

pemerintah Soviet juga mengumumkan undang-undang yang untuk

menghapuskan semua ketidaksetaraan yang didasarkan pada, kelas, jenis kelamin,

kebangsaan ataupun agama. Selanjutnya, perusahaan besar seperti kereta api,

perdagangan luar negeri, dan industri besar lainnya diambil alih oleh

pemerintah.93

Dalam sektor perburuhan misalnya, buruh bersama serikatnya memiliki

kontrol penuh terhadap produksi, penyimpanan, pembelian, dan penjualan seluruh

produk dan bahan baku.94 Lebih jauh lagi, Lenin menekankan pentingnya

keterlibatan kaum perempuan dalam pembangunan sosialisme, hal ini ditegaskan

oleh Lenin dalam tulisannya:

91. V.I. Lenin, “Suatu Pemerintahan Revolusioner Yang Kuat”, Marxists.org,


https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1917/SuatuPemerintah/htm
92. Christopher Hill, Lenin : Teori dan Praktik Revolusioner, terj : Darmawan,
(Yogyakarta: Resist Book, 2009), 153.
93. Ibid, 154.
94. Lenin, V.I, “Draft Regulasi Atas Kontrol Buruh”, Marxists.org, terakhir diubah
Agustus 2008, https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1917/DraftKontrol.htm
85

“Kirimkan lebih banyak lagi pekerja wanita untuk Soviet Moskow!


Semoga proletariat Moskow menunjukan bahwa ia bersedia untuk
melakukan semua hal, dan sedang melakukan semua hal, demi
perjuangan sampai kemenangan, melawan ketidaksejajaran yang kuno,
penghinaan kuno borjuis terhadap perempuan! Kaum proletar tidak
dapat mencapai kebebasan penuh sampai ia telah memenangkan
kebebasan penuh untuk kaum perempuan!”95

Hal ini menunjukan betapa sosialisme mendambakan dan merancang sistem yang

setara yang mampu mengangkat derajat kaum perempuan. Kebijakan dalam

sektor perburuhan dan industri ini menuai hasil cepat, pada tahun 1918 sebanyak

2000 perusahaan berhasil dinasionalisasi. Seluruh kebijakan tersebut adalah

kebijakan yang menopang pembangunan sosialisme menuju masyarakat komunis

seperti yang tetuang dalam Marxisme.

Kemenangan Revolusi Sosialis dan pembangunan negara sosialis di

Rusia menjadi petanda baik bagi seluruh kelas pekerja di dunia. Revolusi rusia

menjadi contoh yang baik bagi perjuangan revolusioner. Revolusi Rusia terus

berkembang menjadi perjuangan revolusioner di dunia. Dengan demikian,

lengkap sudah teori-teori revolusioner dari Marxisme. Marxisme telah

menemukan contoh praktik konkretnya, Marxisme telah berhasil dipraktikan oleh

Lenin. Dalam hal ini, kontribusi Lenin yang besar menjadikan dirinya bersanding

dengan Marxisme, menjadi Marxisme-Leninisme.

95. Lenin, V.I, “Kepada Para Pekerja Perempuan”, Marxists.org, terkahir diubah
November 1998, https://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1920/20-kpp.htm
86

4.1.3.2 Hegemoni Sosialisme Komunis di Dunia: Penyebaran Pemikiran dan

Praktik Revolusi Sosialis

Perkembangan perjuangan revolusioner untuk membangun negeri

sosialis secara cepat menghegemoni perjuangan rakyat lainnya di dunia.

Ketepatan analisis dari Marxisme-Leninisme dan kemenangan Revolusi Sosialis

di Rusia adalah kunci utamanya. Kemenangn Revolusi Sosialis di Rusia dengan

cepat tersiar ke penjuru dunia. Rakyat di seluruh belahan dunia dengan cepat juga

menangkap kabar tersebut. Hal ini juga bertepatan dengan terus bergejolaknya

perang nasional di negara-negara jajahan dan pasangnya perjuangan rakyat di

negara-negara imperialis.

Pada 2-6 Maret 1919 di Moskow terselenggara Kongres I Komunis

Internasional (Komintern).96 Komintern adalah organisasi internasional yang

menghimpun partai-partai komunis di dunia. Tujuan dari Komintern yang utama

adalah menggalang aliansi internasional dan mendukung seluruh perjuangan

rakyat baik di negeri imperialis maupun di negeri-negeri jajahan atau setengah

jajahan. Dengan demikian, Komintern menjadi organsasi internasional yang

bertugas menyebarkan pemikiran Marxisme-Leninisme dan mendorong

perjuangan revolusioner sosialis.

Keberadaan Komintern memberikan dampak besar bagi perkembangan

perjuangan rakyat melawan penindasan imperialisme. Komintern melalui Tesis

96. Komintern adalah nama lain dari Internasionale Ketiga. Pembentukan


Komintern menjadi penting secara sejarah setelah perpecahan gerakan buruh yang disebabkan
pengkhianatan pemimpin-pemimpin oportunis dari Internasionale Kedua terhadap urusan
Sosialisme pada awal perang dunia pertama dan menjelang runtuhnya Internasionale Kedua. Lenin
memainkan peranan istimewa dalam pembentukan Komintern. “Komintern,” Wikipedia, terakhir
diubah pada 6 April 2013, http://id.wikipedia.org/wiki/Internasionale_Ketiga.
87

yang ditulis oleh Lenin memaparkan perhatiannya terhadap negara-negara

kolonial sebagai berikut:

“Berhubungan dengan negeri-negeri yang memiliki karakter lebih


terbelakang, yang terutama feodal, patriarki atau berkarakter patriarki
petani, perhatian khusus harus diberikan. Semua Partai Komunis harus
mendukung gerakan kemerdekaan revolusioner di negeri-negeri
tersebut dengan tindakan-tindakan mereka. Bentuk dukungan harus
disesuaikan dengan Partai Komunis di negeri yang bersangkutan.”97
Lebih jauh lagi, Lenin mengungkapkan bahwa dukungan juga harus berupa

transformasi pandangan revolusioner bagi mayoritas rakyat di negeri kolonial.

Dalam hal ini, Lenin mengungkapkannya sebagai berikut:

“Dukungan untuk gerakan petani di negeri-negeri terbelakang melawan


tuan tanah dan setiap bentuk serta sisa-sisa feodalisme sangat
diperlukan. Apa yang paling penting diperjuangkan adalah untuk
memberikan gerakan petani karakter serevolusioner mungkin dan
kapanpun mungkin untuk mengorganisir petani dan semua korban
eksploitasi ke dalam soviet-soviet dan dengan demikian membawa
hubungan sedekat mungkin antara proletariat komunis Eropa Barat dan
gerakan revolusioner petani di Timur, di koloni-koloni, dan di negeri-
negeri terbelakang.”98

Pernyataan Lenin yang mewakili Komintern tersebut merupakan bukti dari upaya

keras untuk penyebarluasan teori-teori Marxisme-Leninisme dan juga mendorong

lahirnya revolusi untuk membangun sosialisme. Hasil dari upaya tersebut adalah

berdirinya Partai Komunis diberbagai benua, seperti di Tiongkok, Indonesia,

Vietnam, Nepal, Korea Utara, Afganistan, Kuba, Kanada, Amerika, Belanda,

Jerman, Inggris, Nigeria, Ethiopia, dll.

97. Dokumen Komunis Internasional, “Tesis Mengenai Persoalan Kebangsaan dan


Kolonial”, Marxists.org, terakhir diubah 6 Juni 2008, https://www.marxists.org/indonesia/archive/
komintern/1920-tesiskebangsaan.htm
98. Ibid, “Tesis Mengenai Persoalan Kebangsaan dan Kolonial”
88

Berkaitan dengan pengaruh dari sosialisme komunis di dunia melalui

kemenangan Revolusi Sosialis di Rusia, Nyoto salah satu pimpinan Partai

Komunis Indonesia mengungkapkan pandangannya:

“Boleh dibilang tidak ada satu negeri pun di dunia ini yang tidak
terkena oleh pengaruhnya, juga tidak ada peristiwa sejarah sesudah
Oktober 1917 yang tidak terkena pengaruhnya. Jalan sejarah
mengambil jurusan yang lain sama sekali: bukan lagi kapitalisme, tetapi
sosialisme.”99

Pengaruh besar dari Marxisme-Leninisme dan Revolusi Sosialis yang utama

karena dianggap mampu untuk memperbaiki nasib rakyat yang selama ini

tertindas. Dalam hal ini, Nyoto kembali memberikan argumentasinya sebagai

berikut:

“Untuk pertama kalinya dalam sejarah beribu-ribu tahun, kekuasaan,


yang selalu berada di tangan minoritet, beralih ke tangan mayoritet, hak
milik, yang selalu adalah hak milik perseorangan, berubah menjadi hak
milik bersama, dan penghisapan, yang selalu membebani
membongkokan punggung umat manusia, terhapus. Klas buruh dan
kaum tani Rusia mengusir kaum kapitalis dan kaum tuan tanah mereka,
dan dengan demikian mereka kehilangan satu-satunya yang ada di
tangan mereka: belenggu.”100

Pandangan Nyoto tersebut menunjukan betapa besarnya pengaruh sosialisme

komunis dan praktik revolusioner.

Di Indonesia, pekembangan perjuangan revolusioner terjadi pada awal

abad 20. Momentum perjuangan rakyat Indonesia ditandai dengan berbagai

pemberontakan dan juga terbentuknya serikat-serikat buruh, seperti Indische

Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) pada tahun 1914.101 Pelopor dari

99. Nyoto, ”Revolusi Oktober Rusia dan Revolusi Agustus Indonesia”,


Marxists.org, http://www.marxists.org/indonesia/indones/1957-NyotoRevolusiOktober.htm.
100. Ibid, “Revolusi Oktober Rusia dan Revolusi Agustus Indonesia.”
101. ISDV adalah serikat tenaga kerja di pelabuhan yang berdiri pada tahun 1914.
ISDV pada dasarnya dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, SDAP dan SDP
89

pendirian organisasi revolusioner di Indonesia adalah Henk Sneevliet yang

merupakan seorang anggota Komintern. Dalam hal ini, berdirinya ISDV

merupakan cikal-bakal dari lahirnya PKI yang berdiri pada 23 Mei 1920.

Mengenai ini, penting untuk mengutip tulisan DN Aidit mengenai kelahiran PKI

sebagai berikut:

“PKI adalah sintesa dari pada gerakan buruh Indonesia dengan


Marxisme-Leninisme. PKI didirikan pada tanggal 23 Mei 1920
bukanlah sebagai sesuatu yang kebetulan, tetapi sesuatu yang objektif.
PKI lahir dalam zaman imperialisme, sesudah di Indonesia ada kelas
buruh, sesudah di Indonesia dibentuk serikat buruh dan dibentuk ISDV,
sesudah Revolusi Sosialis Oktober Rusia tahun 1917. PKI adalah anak
zaman yang lahir pada waktunya”102

Lebih jauh lagi, Nyoto kembali memaparkan pandangannya mengenai pengaruh

dari teori dan praktik Revolusi Sosialis, khususnya di Indonesia:

“Kemenangan 1917 memberi ilham kepada Rakyat Pekerja semua


negeri dan dalam kemenangan 1917 itu rakyat pekerja negeri manapun
membayangkan kemenangannya sendiri di hari depan. Dua setengah
tahun sesudah Revolusi Oktober klas buruh Indonesia mempunyai
Partai Komunisnya, 9 tahun sesudah Oktober Rakyat Indonesia
mengangkat senjata melawan kaum kolonialis Belanda, dan 28 tahun
sesudah 1917 pecahlah Revolusi Nasional Rakyat Indonesia- Revolusi
Agustus 1945 yang berhasil mendirikan Republik yang merdeka.”103

Penuturan dari Nyoto dan DN Aidit merupakan argumentasi yang kuat untuk

memperlihatkan pengaruh besar dari sosialisme komunis dan Revolusi Sosialis di

Indonesia. Pada perkembangannya, PKI sukses menjadi pelopor perjuangan

melawan imperialis baik Belanda maupun Jepang di Indonesia. Meskipun tidak

Komunis. Para anggota Belanda dari ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis untuk mengedukasi
orang-orang Indonesia untuk menentang kekuasaan Kolonial. “ISDV,” Wikipedia, terakhir diubah
pada 16 November 2015, http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia.
102. D.N. Aidit, Lahirnya PKI dan Perkembangannya, (Jakarta: Yayasan Pembaruan,
1955)
103. Nyoto, ”Revolusi Oktober Rusia dan Revolusi Agustus Indonesia”,
Marxists.org, http://www.marxists.org/indonesia/indones/1957-NyotoRevolusiOktober.htm.
90

berkuasa, PKI berhasil menjelma menjadi partai yang didukung oleh jutaan rakyat

Indonesia.

Perkembangan dan pengaruh dari sosialisme komunis berkembang

hingga ke Benua Amerika. Kuba pada tahun 1959 berhasil menggulingkan rezim

diktator Batista melalui Revolusi Sosialis. Kuba merupakan negeri yang dipimpin

oleh rezim diktator yang disokong imperialis Amerika Serikat. Revolusi Kuba

menjadi bagian dari Revolusi Sosialis dunia. Dalam hal ini, revolusi Kuba tidak

bisa terlepas dari pengaruh Marxisme-Leninisme. Mengenai ini, Che Guevara

menjelaskan terkait kebenaran dari Marxisme-Leninisme sebagai teori yang

membimbing jalannya revolusi Kuba sebagai berikut:

“Marx memaparkan periode transisi sebagai hasil dari ledakan


transformasi dari sistem kapitalis yang dihancurkan oleh kontradiksinya
sendiri. Namun, dalam kenyataan sejarah, kita menyaksikan bahwa
beberapa negara yang ikatan dahannya dengan pohon imperialisme
lemah akan lepas pertama kali- sebuah fenomena yang diramalkan oleh
Lenin.”104

Pemikiran Che Guevara tersebut menunjukan bahwa para tokoh revolusioner di

Kuba membenarkan analisis yang dipaparkan oleh Marx dan Lenin. Revolusi

Kuba telah menunjukan kebenaran dari analisis Marxisme-Leninisme.105

Revolusi Kuba menunjukan bahwa tugas utamanya adalah memimpin dan

mengambil kekuasaan untuk mendirikan negara sosialis. Dengan demikian,

sosialisme komunis menjadi bagian yang sangat penting dalam Revolusi Kuba

dan pembangunan sosialisme di Kuba.

104. Che Guevara, “Sosialisme dan Manusia di Kuba”, Marxists.org,


http://www.marxists.org/indonesia/archive/guevara/1965-Sosialisme.htm.
105. Tim Narasi, “Che Guevara dan Revolusi Kuba”, terj Sovia Veronika
(Yogyakarta: Narasi, 2013), 264.
91

Pengaruh teori dan praktik sosialisme komunis terus berkembang

dengan pesat. Berbagai pemberontakan untuk meraih kemerdekaan terus terjadi

dan dipelopori oleh Partai Komunis seperti yang terjadi di India pada periode

1930an, Vietnam pada 1945, hingga Tiongkok pada tahun 1949. Tiongkok secara

khusus dapat menjadi prototipe bagi revolusi dan pembangunan sosialisme.

Tiongkok merupakan negara setengah jajahan pertama yang melakukan revolusi

dan membangun sosialisme. Dengan demikian, Tiongkok merupakan jembatan

bagi perkembangan teori dan praktik sosialisme di negara-negara jajahan maupun

setengah jajahan.

4.2 Kondisi Sosial dan Politik Masyarakat di Tiongkok

Perkembangan sejarah masyarakat dunia menyaratkan perubahan dan

perkembangan juga pada kondisi sosial dan politik Tiongkok. Pada

perkembangannya, Eropa telah sampai pada puncak dentuman perubahan sistem

ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaanya dengan ditandai oleh revolusi industri

di Inggris dan revolusi kebudayaan di Perancis. Kedua fenomena revolusi ini

menjadi momentum baru bagi perkembangan sejarah umat manusia di dunia.

Pola hubungan masyarakat yang feodalistik dengan cepat terlikuidasi dan

digantikan dengan pola hubungan baru, yaitu kapitalime. Negara-negara Eropa

menjelma menjadi negara yang siap beredar mengarungi dunia untuk

mengembangkan kekuasaannya dengan skema kolonialisme.

Secara harfiah, kolonialisme berasal dari kata „colonia‟ yang berarti

tanah pemukiman atau tanah pertanian. Pada awalnya, istilah ini digunakan untuk
92

menjelaskan fenomena tentang adanya sekumpulan orang Romawi yang

bermukim di wilayah lain namun tetap mempertahankan kewarganegaraannya.106

Sistem kolonialisme kemudian berkembang seiring dengan semangat penaklukan

yang dibawa oleh negara-negara Eropa untuk memenuhi kebutuhan

perekonomiannya. Sasaran dari kolonialisme adalah wilayah-wilayah yang kaya

akan sumber daya alamnya. Selain sumber daya alam, proyek perluasan

kekuasaan melalui kolonialisme juga mensaratkan adanya perluasan pasar barang

hasil produksi industri dan juga penyediaan tenaga kerja murah. Sasaran dari

ekspansi tersebut adalah negara-negara yang masih dalam kondisi sistem feodal

atau bahkan wilayah yang masih bercorak perbudakan, seperti Tiongkok di

wilayah Asia.

4.2.1 Tiongkok Negeri Besar dengan Sejarah Peradabannya

Tiongkok merupakan negara dengan luas wilayah terbesar di Asia

dengan luas 9.598.077 Km².107 Luasan wilayah tersebut terbentang dari Siberia

hingga wilayah tropis dan dari Samudera Pasifik hingga mencapai jantung Asia

Tengah. Wilayah Tiongkok yang luas itu juga terbagi dalam beberapa bentuk

wilayah seperti dataran tinggi di bagian Barat Daya yang di dalamnya terbentang

luas pegunungan tinggi Himalaya dari Hindukush hingga kepulauan Indocina.

Sementara itu, wilayah padang rumput terdapat di wilayah kawasan hutan Siberia

hingga Tiongkok Utara, pantai Tiongkok membentang dari muara Sungai Amur

106. Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, terj Hartono Hadikusumo


(Yogyakarta:Bentang Budaya, 2003), 1.
107. Wikipedia, “Daftar Negara Menurut Luas Wilayah”, terakhir diubah pada 15
Mei 2015, http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_negara_menurut_luas_wilayah.
93

yang memanjang hingga selatan Tiongkok. Terakhir adalah wilayah sekitaran

sungai-sungai besar seperti Sungai Sungari dan Lao di Manchuria, dataran rendah

Sungai Kuning dengan luas 300.000 Km², Sungai Yangzi, Kanton, hingga Sungai

Merah di Vietnam.108 Luasnya wilayah Tiongkok tersebut berdampak pada

perbedaan kondisi iklim yang ekstrem antara wilayah Siberia yang sangat dingin

dengan wilayah selatan Tiongkok yang beriklim tropis.

Keadaan geografis Tiongkok yang luas dan beraneka bentuk wilayah

serta iklim ini adalah syarat utama dari keragaman kebudayaan masyarakatnya.

Dengan wilayah yang sangat luas, tentunya persebaran kehidupan masyarakat

juga meluas. Hal ini terbukti pada bahasa-bahasa induk yang terdapat di wilayah

Tiongkok. Dalam hal ini, Tiongkok memiliki lima bahasa induk yang tersebar

dan digunakan berbagai suku-sukunya. Berikut adalah tabel yang menjelaskan

pengelompokan bahasa di Tiongkok:

108. Ivan Taniputra, History of China, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2013), 22.
94

TABEL 3. Klasifikasi Rumpun Bahasa di Tiongkok


Rumpun Bahasa Kelompok Pengguna Bahasa Wilayah Persebaran
Altia Altai Uigur, Kazak, Uzbek, Tatar,
Salar, Kirgiz, Yugu

Mongol Mongolia, Dachur

Tungsu Manchuria, Xibo, Hezhe,


Olunchun

Asia Timur Laut Jepang Jepang


Korea Korea

Sino-Tibet Tibet-Birma Tibet, Birma, Indocina


Thai Siam, Laos
Miao Yao Barat Daya Tiongkok
Tionghoa Tiongkok utara, Kanton,
Fujian, Hakka, dan Hunan

Austro-Asia (Mon-Khmer) Austro-Asia `Khmer, Cham, Yunnan


Melayu Polinesia Melayu polinesia Taiwan
Sumber: Ivan Taniputra, History of China, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2013).

Keragaman bahasa di Tiongkok menunjukan dengan jelas betapa

beragamnya corak budaya masyarakat. Bahasa-bahasa induk di Tiongkok

tersebut juga menjelaskan bahwa persebaran masyarakat Tiongkok sangat luas.

Hal ini menjadi wajar karena secara etnis di Tiongkok juga begitu banyak dan

beragam. Setidaknya terdapat 10 suku mayoritas yang ada di Tiongkok, seperti

Han, Zhuang, Mongol, Uigur, Manchuria, dan lain sebagainya. Suku-suku,

persebaran dan jumlah populasinya dapat dilihat pada tabel berikut yang

merupakan hasil sensus penduduk pada masa kepemimpinan Mao di tahun 1957:
95

TABEL 4. Persebaran dan Jumlah Populasi Suku di Tiongkok Menurut Sensus


Resmi Tahun 1957
Nama Suku Tempat Kediaman Jumlah Populasi
Han 21 Provinsi + Taiwan 900.000.000
Zhuang Yunnan, Guandong 7.800.000
Uigur Xinjiang, Gansu Barat 3.900.000
Yi Yunnan, Guizhou, Hunan 3.260.000
Tibet Tibet, Qinghai, Sichuan 2.770.000
Miao Provinsi Barat Daya dan Timur Laut 2.680.000
Manchuria Mongolia, Peking, Gansu, Qinghai 2.430.000
Mongol Timur laut Tiongkok 1.640.000
Buyi Sekitar Asia Tenggara 1.320.000
Korea Korea 1.250.000
Sumber: Ivan Taniputra, History of China, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2013).

Besarnya jumlah penduduk Tiongkok yang terdiri dari berbagai suku

inilah yang menjadi tenaga utama pembentuk kebudayaan. Suku-suku tersebut

tidak hanya mendiami dataran Tiongkok, namun menyebar hingga Asia Timur

dan Tenggara. Inilah yang menjadikan kebudayaan Tiongkok sangat berpengaruh

di wilayah Asia.

Tiongkok merupakan negara dengan peradaban yang sangat panjang.

Peradaban Tiongkok menjadi peradaban yang mempengaruhi sebagian besar

wilayah Asia. Sejarah perkembangan Tiongkok dimulai dari berdirinya Dinasti

Xia pada tahun 2205-1766 SM.109 Dinasti Xia menjadi pembuka era dinasti dan

kerajaan di Tiongkok. Mayoritas mata pencarian di Tiongkok pada masa awal

dinasti adalah bercocok tanam dan mencari ikan. Hal ini menjadikan Tiongkok

dihuni oleh mayoritas masyarakatnya yaitu petani dan nelayan.

Perkembangan terbesar pada zaman Dinasti Xia adalah mulai

dikenalnya kepemimpinan kaisar. Meskipun hal ini masih jauh dari demokrasi,

setidaknya pada periode ini Tiongkok sudah mengenal sistem pemerintahan yang

109. Ibid, 56.


96

terbagi dari pusat hingga beberapa daerah kekuasaan. Penguasa tunggal pada

masa awal dinasti ini adalah kaisar. Kaisarlah yang akan menentukan segala

sistem yang berlaku di masyarakat Tiongkok masa itu.

Perkembangan kebudayaan di Tiongkok terus berkembang sering

dengan perkembangan kehidupan sosialnya. Pada tahun 1766-1122 SM, berdiri

Dinasti Shang yang menggantikan Dinasti Xia.110 Pada zaman ini tercatat

Tiongkok sudah mengenal tulisan-tulisan, hal ini teridentifikasi dari penemuan

tulisan yang berada pada lembaran-lembaran tulang. Benda tersebut dinamakan

“Tulang Ramalan”.111 Tulisan Tiongkok kuno tersebut digunakan untuk

melakukan interaksi/ibadah terhadap roh-roh nenek moyangnya. Selain tulis

menulis, pada masa ini juga berkembang peternakan, pembuatan barang-barang

dari perunggu, hingga pembuatan senjata seperti kapak. Pada masa ini juga

menandakan memuncaknya zaman perbudakan. Tradisi yang paling terkenal

adalah prosesi penguburan tuan-tuan budak dan bangsawan bersama budak-

budaknya yang dikubur hidup-hidup.

Runtuhnya zaman dan sistem perbudakan berakhir seiring dengan

runtuhnya Dinasti Shang. Dinasti Shang digantikan oleh Dinasti Zhou yang

menguasai Tiongkok pada periode 1122-256 SM.112 Periode ini sekaligus

menandai berjalannya sistem sosial feodalisme di Tiongkok. Dinasti Zhou

membagi wilayah kekuasaannya dalam negara-negara kecil. Status negara-negara

bagian tersebut tunduk secara langsung oleh Kaisar Dinasti Zhou. Sistem ini

110. Ibid, 61.


111. Ibid, 68.
112. Ibid, 75.
97

berjalan panjang karena para pemimpin negara bagian juga merupakan kerabat

langsung dari keluarga kaisar.

Berdasar pada sistem feodal tersebut, Dinasti Zhou membagi 30 negara

bagian kelas satu, 60 negara bagian kelas dua, dan 120 negara bagian kelas tiga.

Pembagian kelas-kelas dalam negara berdasarkan pada luas wilayah yang

dikuasainya. Pada umumnya, negara kelas satu memiliki luas wilayah 100 li,

negara kelas dua 70 li, dan kelas tiga seluas 50 li.113 Pembagian ini tidak serta-

merta membuat stabil kondisi politik, pasalnya para pemimpin negara-negara

bagian tersebut saling bermusuhan dan berupaya menghancurkan satu sama lain.

Pada zaman feodal ini pulalah Dinasti Zhou melahirkan berbagai aliran

filsafat. Dalam hal ini, Dinasti Zhou juga dikenal dengan era lahirnya Filsuf

besar. Pada masa itu, lahir filsuf-filsuf besar Tiongkok yang juga terkenal di

dunia, yaitu Lao Zi (Lao Tse), Kong Zi (Konfusius), dan Meng Zi (Mensius).114

Pemikiran dari filsuf tersebutlah yang mewarnai dan menghegemoni mayoritas

masyarakat Tiongkok. Pemikiran tersebut pada perkembangannya tidak hanya

sebatas menjadi teori, namun juga menjadi panduan hidup dan kepercayaan

masyarakat. Pada tahun 256 SM, pemberontakan negara-negara bagian semakin

memuncak sehingga menyebabkan keruntuhan Dinasti Zhou. 115 Kekuasaan yang

telah berdiri selama 800 tahun akhirnya digantikan oleh Dinasti Qin.

Dinasti Qin berdiri di atas rerunthan kekaisaran Dinasti Zhou.

Eksistensi dari Dinasti Qin tidak bertahan lama hanya dari tahun 221 sampai 206

SM. Pada masa ini, kekuasaan kaisar terus dirundung perang-perang saudara.

113. Ibid, 78.


114. Ibid, 99.
115. Ibid, 91.
98

Hal inilah yang menjadikan Kaisar Dinasti Qin membuat program pembangunan

benteng besar yang kemudian disebut Tembok Besar Tiongkok. Pada tahun 206

SM, Dinasti Qin digantikan oleh kekaisaran Dinasti Han. Pada zaman Dinasti

Han inilah Tiongkok mulai mengembangkan ilmu pengobatan dan membangun

hubungan luar negerinya.

Dinasti Han berdiri selama periode 206 SM-221 M. Pada periode ini,

Dinasti Han dikenal dengan ilmu pengobatan yang baik. Bahkan beberapa tokoh

ahli pengobatan Tiongkok kerap disejajarkan dengan Hippokrates yang menjadi

bapak ilmu kedokteran di Eropa. Tokoh utama dalam ilmu pengobatan Dinasti

Han adalah Zhang Zhongjing.116 Ia dikenal sebagai pelopor ilmu diagnosis dan

pengobatan tradisional Tiongkok. Zhang Zhongjing menciptakan karya besar

berjudul Shanghanlun atau dengan arti “Penanganan Terhadap Penyakit yang

Disebabkan Udara Dingin”. Selain Zhang Zhongjing, terdapat tabib tersohor

bernama Hua Tuo yang menjadi ahli bedah dan kandungan.117

Catatan sejarah Tiongkok juga menunjukan bahwa pada masa Dinasti

Han adalah awal dari masuknya ajaran Buddhisme. Dalam hal ini, bukti dari

masuknya ajaran Buddhisme tercatat dalam Kitab Weilie sebagai berikut:

“Sebelumnya pada tahun Yuanshou yang pertama (2 SM) semasa


pemerintahan Kaisar Han Aidi, Jing Lu telah menerima dari Yi Cun,
duta negeri Yuezhi, transmisi lisan ajaran-ajaran Buddhisme.”118

Buddhisme sebagai sebuah ajaran terus berkembang dengan pesat di Tiongkok.

Hal ini dibuktikan juga melalui catatan riwayat hidup Pangeran Ying yang

116. Ibid, 196.


117. Ibid, 197.
118. Kenneth Ch‟en, Buddhism in China: A Historical Survey, (New Jersey:
Princeton University Press, 1963), 32.
99

menyatakan bahwa pada tahun 65 M telah terdapat komunitas-komunitas

Buddhis.119

Perkembangan Dinasti Han menjadi semakin pesat ketika Kaisar mulai

menyerukan untuk melakukan ekspedisi ke luar Tiongkok. Ekspedisi ini antara

lain adalah untuk menjalin kerja sama dengan negara lain hingga upaya

penaklukan wilayah-wilayah di luar kekuasaan Dinasti Han. Dengan ekspedisi

inilah Tiongkok sampai pada wilayah Asia Tengah yang sebelumnya tidak

diketahui. Lebih jauh lagi, Dinasti Han berhasil melakukan eksplorasi kekayaan

negara lain seperti emas, tembaga, batu giok, hingga kain katun. Capaian besar

hubungan luar negeri yang luas dari Dinasti Han tercatat saat diadakannya

hubungan dengan raja dari Yediao. Yediao menurut sarjana Perancis bernama

Ferrand adalah transliterasi dari kata Yawadwipa, atau Pulau Jawa.120 Selain itu,,

hubungan luar negeri juga dibangun Dinasti Han dengan dataran Eropa. Hal ini

dibuktikan pada tahun 166 M dengan datangnya sekelompok utusan dari Kaisar

Marcus Aurelius Antonius yang merupakan Kaisar Romawi saat itu.121

Dinasti Han mengalami masa keruntuhannya pada saat pemberontakan

terjadi di mana-mana. Pemberontakan tersebut terjadi karena ketiadaan

kekuasaan yang kuat untuk mengikat negara-negara bagiannya untuk setia.

Pemberontakan yang memberi pengaruh paling besar adalah Pemberontakan Topi

119. Ivan Taniputra, History of China, (Yogyakarta: Arruzz Media, 2013), 205.
120. Ibid, 215.
121. Ibid, 216.
100

Kuning.122 Akhir dari kekuasaan Dinasti Han adalah dengan adanya kudeta yang

dilakukan oleh Cao Bei atau Kaisar Wendi pada tahun 202 M.123

Keruntuhan Dinasti Han diikuti oleh berdirinya beberapa dinasti

maupun kerajaan di Tiongkok secara silih berganti. Beberapa dinasti dan kerajaan

yang berdiri pasca keruntuhan Dinasti Han antara lain, kerajaan Wei, Shu dan Wu

yang masuk dalam zaman Tiga Negara, Dinasti Jin, Dinasti Utara-Selatan, Dinasti

Sui, Dinasti Tang, Zaman Lima Dinasti, dan Dinasti Song. Perkembangan ini

juga berlaku pada perkembangan berbagai aspek kehidupan. Dalam catatan

sejarah, Dinasti Song mampu memberikan beberapa penemuan besar bagi

perkembangan kehidupan di Tiongkok.

Dinasti Song berdiri dari tahun 960-1268 dan menjadi dinasti yang

mengutamakan aspek pengetahuan dan teknologi. Pada masa ini pula terjadi

beberapa reformasi dalam tubuh kerajaan. Kaisar Dinasti Song melakukan

pergantian Gubernur Militer dengan golongan sipil. Lebih jauh lagi, peran

menteri dan perdana menteri menjadi semakin kuat karena diberikan hak yang

luas untuk mengusulkan sesuatu. Kemajuan tidak hanya terjadi pada aspek

politik, namun juga pada sektor lain.

Pada masa Dinasti Song ini juga telah ditemukan varietas padi yang

dapat dipanen sebanyak dua kali dalam satu tahun dan perbaikan irigasi. Dalam

hal ini, penemuan tersebut membuat keberlimpahan padi yang dimiliki oleh

Dinasti Song. Dalam sektor ilmu pengetahuan, Dinasti Song mengutamakan

ajaran Konfusius untuk disebarkan. Hal ini mendorong ditemukannya alat/mesin

122. Ibid, 185


123. Ibid, 187.
101

cetak yang membuat harga buku semakin murah dan mudah diakses. 124 Dari

sinilah mulai tumbuh subur intelektual-intelektual Tiongkok dalam segala bidang.

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan terus berkembang di

Tiongkok. Salah satu capaian yang besar adalah pada masa Dinasti Ming tahun

1368-1644. Dinasti Ming adalah dinasti yang berhasil mengembangkan teknologi

navigasi dan teknik pembuatan kapal. Pada masa ini, terkenal dengan perjalanan

Zheng He pada tahun 1405 (jauh lebih dulu dari penjelajahan Columbus) dengan

membawa 63 kapal yang memuat 27.870.125 Pada masa ini, ilmu navigasi yang

digunakan untuk berlayar adalah Bintang Kutub Utara (Polaris).126 Lebih jauh

lagi, pelaut Tiongkok juga sudah menggunakan Kompas maupun Jam Pasir.

Sementara itu, teknik pembuatan kapal juga menggunakan pengetahuan yang

tinggi. Kapal-kapal milik Tiongkok masa itu dibuat dengan desain yang baik

hingga mampu bertahan saat seluruh kapal terendam air dan saat berbenturan

dengan karang maupun gunung es. Dengan demikian tidak heran jika Dinasti

Ming mampu menjelajah samudera begitu jauh dengan kapal-kapalnya tersebut.

Perjalanan laut pertama Tiongkok pada masa Dinasti Ming berlangsung

dari Indocina hingga Palembang. Perjalanan kedua pada tahun 1408 mampu

menjelajah menuju Pahang, Singapura, Malaka, Kalkuta, Sri Lanka, Maladewa,

Persia, hingga Makkah. Sementara itu, pada perjalanan ketiganya di tahun 1412

berhasil sampai ke wilayah Sumatera, Jawa, hingga Madura. Lebih jauh lagi,

pelaut Dinasti Ming mampu berlayar hingga Arab, Afrika dan mengelilingi

124. Ibid, 185-187.


125. Ibid, 483.
126. Ibid, 485.
102

Madagaskar.127 Dari perkembangan inilah Tiongkok semakin luas bersinggungan

dengan negara-negara di belahan dunia lainnya. Dengan demikian, Dinasti Ming

juga menjadi pembuka bagi negara-negara khususnya wilayah Eropa untuk masuk

ke Tiongkok.

Dinasti Ming pada tahun 1644 digantikan oleh Dinasti Qing (1644-

1912).128 Dinasti Qing merupakan dinasti yang terkahir atau sebagai penutup era

dinasti di Tiongkok. Secara umum, Dinasti Qing terlikuidasi oleh keberadaan

negara-negara Eropa di Tiongkok yang berusaha untuk menjajah. Selain itu,,

faktor paling utama kehancuran Dinasti Qing adalah berkembangnya perjuangan

dan pemberontakan rakyat, seperti Gerakan Boxer dan revolusi di tahun 1911.

Dengan demikian berkahirlah era Dinasti dan Kekaisaran di Tiongkok. Tiongkok

beralih menjadi negara modern yang menggunakan sistem republik, kemudain

berangsur berkembang seiring dengan dialektikanya. Hingga saat ini, Tiongkok

tetap menjadi negara besar dan berpengaruh baik dalam sektor politik, ekonomi,

militer maupun kebudayaan.

4.2.2 Masyarakat Tiongkok dalam Belenggu Penjajahan Imperialisme dan

Rezim Bonekanya

Perkembangan sejarah negara-negara Eropa yang sudah mulai

membangun industri yang bercorak kapitalistik tidak serta merta adalah cerminan

dari negara-negara di wilayah belahan dunia lain, seperti Asia. Pada saat roda

industrialisasi dan sistem kapitalisme lahir dan berkembang di Eropa, Asia masih

127. Ibid, 488.


128. Ibid, 495.
103

merupakan wilayah yang bercorak feodal bahkan perbudakan. Perbedaan

perkembangan masyarakat ini dilatarbelakangi dari perkembangan internal

masyarakatnya. Kemajuan teknologi yang berada di Eropa dengan ditemukannya

mesin uap tidak terjadi di wilayah Asia. Pola hubungan struktur ekonominya

masih bercorak feodal, sementara secara politik negara-negara Asia masih

terbelenggu dengan kekuasaan absolut dari kerajaan. Namun, yang menjadi

catatan adalah bahwa Asia menjadi wilayah yang terdiri dari bangsa-bangsa yang

cukup makmur meski industrinya belum tumbuh secara pesat. Perbedaan tahap

perkembangan masyarakat inilah yang menjadikan negara-negara kapitalisme

melakukan kolonisasi dan selanjutnya melakukan penjajahan dan penghisapan di

negara-negara yang masih bercorak feodal dan perbudakan.

Transformasi sistem kapitalisme melalui jalan kolonisasi tidak

dilakukan untuk membangun sebuah negara di wilayah Asia menjadi negeri

industrial seperti Inggris atau Italia misalnya, namun kolonisasi ditujukan untuk

membangun wilayah kekuasaan ekonomi dan politik untuk memakmurkan negara

pusatnya. Bentuk kolonialisasi Eropa ke Asia baru mulai berjalan secara masif

saat Industri Eropa mulai mampu menggunakan mesin uap hasil revolusi industri

sebagai mesin utama penggerak kapal-kapal ekspedisi dan perangnya. Dengan hal

tersebut, membuat proses kolonisasi menjadi lebih masif dan cepat. Dalam

konteks dataran Asia, Jepang merupakan negara pertama yang bersinggungan

dengan perkembangan kapitalisme Eropa. Persinggungan disini bukan berarti

Jepang menjadi negeri koloni, namun lebih tepatnya membuka ruang kerjasama.
104

Jepang pada fase sebelum Restorasi Meiji sesungguhnya sudah mulai

meninggalkan politik isolasi yang telah beratus tahun dijalankan. Kekaisaran

Tokugawa-Syogun mulai mengalami tekanan untuk segera mengubah wajah

pemerintahan agar lebih terbuka. Alhasil, pada tahun 1854 disepakati perjanjian

Syimoda dengan poin utama yaitu membuka pelabuhan untuk perdagangan asing.

Selanjutnya disusul dengan ditandatanganinya Townsend Harris Agreement pada

tahun 1858, yang berisikan membuka kantor kedutaan Amerika di Jepang.

Kebijakan kekaisaran Tokugawa ini yang menjadikan cikal-bakal

lahirnya sebuah perubahan besar dalam perkembangan Jepang. Pada periode

1866-1869 terjadilah Restorasi Meiji, momentum ini juga ditandai dengan

bergantinya kekaisaran Jepang dari Kaisar Osyahito ke Kaisar Mutsuhito atau

Kaisar Meiji pada tahun 1867. Restorasi Meiji memberikan perubahan yang

signifikan pada pola hubungan Jepang dengan dunia kapitalisme Eropa. Jepang

pada zaman Meiji mulai membuka diri untuk melakukan bisnis perdagangan,

utamanya persenjataan dan pembangunan rel perkeretaapian. Hal ini dilakukan

untuk menyatukan kembali Jepang sebagai bangsa yang kuat dan memiliki

semangat untuk memimpin Asia.

Pada perkembangannnya, Jepang mulai membangun formasi

industrialisasinya sendiri terutama untuk memperkuat barisan militernya.

Perkembangan ini menjadikan Jepang sebagai negeri di Asia yang mampu

membangun industri mandiri namun dengan tetap bercorak politik kekaisaran

yang feodalistik. Perkembangan pesat kekuatan militer dan industri Jepang

melahirkan semangat untuk terus memperluas wilayah kekuasaanya. Dengan


105

demikian Jepang mulai melakukan ekspansi ke negara-negara tetangganya untuk

menancapkan kekuasaanya secara total. Sasaran pertama adalah wilayah Korea

yang saat itu dikuasai oleh Tiongkok di bawah Dinasti Qing. Dengan

mengandalkan armada militer yang besar dan berteknologi maju, perang antara

Jepang dan Tiongkok untuk memperebutkan Korea dengan mudah dimenangkan

oleh Jepang. Dengan memenangkan perang tersebut Jepang telah menguasai

Korea beserta Pulau Formosa dan juga Port Arthur.

Perkembangan yang sangat pesat dari negeri Jepang ini yang kemudian

menyulut api peperangan selanjutnya oleh Rusia. Rusia merasa terancam dengan

keberadaan Jepang di Korea yang sebenarnya sedang dijadikan pangkalan

Angkatan Laut Rusia untuk memantau wilayah Timur Jauh. Berbagai

perundingan telah dilakukan antar kedua pihak, namun Rusia masih tetap tidak

mau meninggalkan Port Arthur. Hal ini memancing militer Jepang untuk

mendeklarasikan perang terhadap Rusia.

Perang antara Jepang dan Rusia berlangsung dari 1904-1905.

Kemajuan industri persenjataan Jepang sangat terlihat dari perang melawan Rusia.

Rusia mengalami kekalahan dalam peperangan sehingga Jepang berhasil

menguasai Port Arthur secara mutlak dan memukul mundur armada Rusia di Selat

Tsushima. Kemenangan ini juga yang semakin menandai kekuatan baru dari

Asia. Dengan menangnya Jepang dalam perang melawan Rusia, hal ini juga

menandai era kolonisasi Jepang terhadap negara-negara di Asia lainnya untuk

menyaingi kekuasaan kapitalisme Eropa yang semakin luas di dataran Asia.


106

Kemenangan Jepang tersebut menjadikan Jepang semakin

mengukuhkan kekuasaannya sebagai imperium baru di Asia. Manuver

penjajahannya, salah satunya adalah dengan masuk ke wilayah Tiongkok.

Persinggungan Jepang dan Tiongkok sesungguhnya sudah terjadi sejak lama.

Berbeda dengan Jepang, Tiongkok merupakan negeri tua yang memiliki sejarah

dan peradaban yang sangat panjang, namun pada akhir peralihan menuju negara

modern Tiongkok justru mengalami keterpurukan akibat dampak kolonialisme.

Perkembangan masyarakat Tiongkok berkembang pesat terutama yang

berkaitan dengan tekstil, pengobatan dan pemikiran filsafat timur. Namun

pesatnya perkembangan di Tiongkok mulai mendapat perhatian oleh para negara-

negara Eropa, sehingga kerap menjadi sasaran kolonisasi. Inggris misalnya,

dengan menggunakan metode “Perang Candu” yang kemudian semakin

melemahkan kualitas hidup rakyat Tiongkok. Perkembangan penyelundupan

candu ke Tiongkok terjadi saat zaman Dinasti Qing. Inggris secara brutal

melakukan penyelundupan candu-candu ke Tiongkok. Perang Candu dapat dibagi

menjadi dua tahap, pertama terjadi antara tahun 1840 hingga 1842 dan tahap

keduanya pada 1856 sampai 1860.129 Perkembangan candu di Tiongkok pada

tahun 1838 saja sudah sebanyak 1.400 ton. Hal ini menyebabkan kekaisaran

membuat kebijakan pelarangan dan mengangkat beberapa pejabat baru untuk

mengurusi masalah candu. Pada Mei 1839 Tiongkok berhasil mengusir kongsi

dagang milik Inggris bernama EIC/East India Company. Namun beberapa bulan

selanjutnya armada kapal perang Inggris berangsur-angsur mengepung dan

129. Taniputera, Ivan, History Of China, (Depok: Arruzz Media, 2013), 506.
107

menenggelamkan kapal-kapal milik Tiongkok, alhasil justru Tiongkok pada tahun

1842 yang harus menandatangani perjanjian kekalahannya dari Inggris. Beberapa

poin pokok dalam perjanjian yang dinamakan Perjanjian Nanjing adalah,

Tiongkok dipaksa menyewakan Hongkong pada Inggris, Pelabuhan Kanton,

Xiamen, Ningho, Fuzhou, dan Shanghai harus dibuka untuk perdagangan pihak

Inggris, membayar rampasan perang sebesar 21 juta mata uang perak, dan

memberikan hak istimewa bagi Inggris untuk membuka daerah khusus dan

kediaman warga Inggris. Upaya penguasaan atas negeri Tiongkok juga dilakukan

oleh Amerika Serikat. Pada tahun 1844 Amerika Serikat menekan kekaisaran

Dinasti Qing untuk memberikan hak yang sama seperti apa yang didapat oleh

kolonial Inggris.130

Penjajahan negara-negara kolonial Eropa dan Amerika Serikat tidak

hanya sampai disitu. Pada tahun 1858 terjadi kembali perjanjian yang merugikan

rakyat Tiongkok, yaitu perjanjian Tianjin. Isi pokok perjanjian Tianjin adalah

Tiongkok harus mengizinkan dibukanya kedutaan untuk Inggris, Perancis,

Amerika Serikat dan Rusia, serta membuka sepuluh pelabuhannya untuk

digunakan sebagai sarana dagang bagi bangsa Eropa dan Amerika.

Perkembangan dan kemajuan yang pesat atas negara-negara kolonial

baik Eropa, Amerika, maupun Jepang terus melahirkan kontradiksi di dalamnya.

Kontradiksi ini tentunya berlabuh pada kepentingan untuk mendominasi secara

total negara jajahannya. Hal ini terjadi pula di Tiongkok yang telah menjadi

negeri jajahan bagi banyak negara, termasuk Jepang. Jepang menguasai Tiongkok

130. Ibid, 509.


108

dengan lahirnya Perjanjian Shimonoseki pada tahun 1895. Beberapa isi pokoknya

adalah, mengakui kemerdekaan Korea, Menyerahkan beberapa semenanjung

kepada Jepang, membuka lebih banyak kota pelabuhan untuk Jepang. Penindasan

dan penghisapan yang dilakukan ini melahirkan Tiongkok sebagai negeri yang

sama sekali tidak memiliki kedaulatan dalam menjalankan segala aktifitasnya.

Kondisi Politik Tiongkok sangat dipengaruhi oleh panjangnya sejarah

pergolakan kekaisaran dan juga revolusi-revolusi di dalamnya. Setidaknya ada

dua kejadian revolusi sebelum Revolusi Sosialis terjadi di Tiongkok. Pertama,

Revolusi 1911 di mana gerakan nasionalis pimpinan Dr. Sun Yat Sen berhasil

menumbangkan kekuasaan berbentuk kekaisaran dan mendirikan republik untuk

Tiongkok. Kedua, adalah kemenangan Partai Nasionalis Tiongkok pimpinan

Chiang Kai Sek melawan dan menggantikan era Warlord.

Gerak sejarah masyarakat Tiongkok mencapai sedikit titik terang pada

akhir kekaisaran Dinasti Qing. Perjuangan membangun negeri yang modern dan

lebih demokratis serta terbebas dari segala bentuk penjajahan menjadi semangat

perjuangan rakyat Tiongkok. Pada akhir tahun 1911 perjuangan untuk

kemerdekaan dan menjatuhkan kekaisaran Dinasti Qing menemui momentum

kemenangannya. Alhasil pada 1 Januari 1912 Dr. Sun Yat Sen diangkat menjadi

Presiden Republik Tiongkok.


109

GAMBAR 7. Peta Negara Tiongkok

Pascakemenangan perjuangan gerakan nasionalis pada revolusi 1911,

Tiongkok berangsur membaik. Kepemimpinan Dr. Sun menjadi seperti setitik

harapan bagi perubahan nasib rakyat di Tiongkok. Dr. Sun menjabat sebagai

Presiden hanya untuk mengantarkan Tiongkok masuk ke dalam transisi dari

kerajaan menuju Republik, begitu kekaisaran Dinasti Qing menyerah secara

mutlak, maka Dr. Sun dengan demikian menanggalkan kekuasaanya.

Kepemimpinan Dr. Sun digantikan oleh Yuan Shikai, yang kemudian memutar

kembali Tiongkok menjadi negara yang tidak merdeka dan berdaulat. Berbeda

dengan gaya kepemimpinan Dr. Sun yang demokratis dan menjunjung nilai

humanis, Yuan lebih condong menggunakan cara-cara diktator. Untuk

mengamankan posisi politiknya, Yuan melakukan manuver dengan meminjam


110

uang sebesar £ 25.000.000 dari bangkir-bangkir asal Inggris, Perancis, Jerman,

Rusia, Belgia, dan Jepang. Kebijakan ini menandakan bahwa pemerintahan yang

dipimpinnya merupakan pemerintahan yang menyandarkan pembangunan

nasionalnya pada hutang luar negeri yang tentunya akan mendikte segala

kebijakan dalam negerinya.

Konstelasi politik di Tiongkok mengalami sedikit pergeseran akibat

dampak dari meletusnya Perang Dunia I. Negara-negara penjajah Tiongkok

seperti Jerman, Perancis, Rusia, dan Inggris, disibukan dengan kondisi perang.

Dalam hal ini, Jepang memanfaatkan kekacauan PD I untuk memperluas

kekuasaannya di Tiongkok. Kekuasaan jepang yang makin meluas mendapat

kecaman yang begitu besar dari gerakan rakyat di Tiongkok, pada tahun 1915

terjadi gerakan pemboikotan barang-barang Jepang. Sementara dalam tubuh

pemerintahan Yuan Shikai terjadi perubahan. Yuan Shikai tidak lagi menjadi

Presiden dari republik, namun pada 1 Januari 1916 menobatkan diri menjadi

Kaisar. Hal ini tentunya merupakan kemunduran bagi perkembangan sejarah

negeri Tiongkok. Di lain pihak, saat terjadinya PD I kekuatan baru dunia melalui

pemikiran Marxisme mulai muncul dan membesar, terutama di Rusia.

Perkembangan pemikiran Marxisme dan ide gerakan Komunisme yang

dibawanya juga menyebar di negara-negara dunia ketiga Asia seperti Tiongkok.

Pada masa itu persebaran ide Komunisme menyebar terutama karena faktor

kemenangan Revolusi Sosialis Oktober 1917 di Rusia di bawah kepemimpinan

Lenin. Dengan cepat ide tentang perjuangan revolusioner menyebar dengan

tujuan untuk menghapuskan penindasan dan penghisapan sistem kapitalisme


111

maupun feodal yang ada. Pada tahun 1921, resmi berdiri Partai Komunis

Tiongkok, dan setelahnya mulai melakukan pergerakan untuk ikut terlibat dalam

menghancurkan dominasi Warlord.

Berakhirnya kekuasaan Yuan tidaklah lama pasca penetapannya sebagai

kaisar Tiongkok, yaitu pada 6 Juni 1916. Kekuasaan Tiongkok pasca Yuan

beralih ke tangan Li Yuanhoang. Parlemen kembali dipulihkan fungsinya pada

masa ini. Pada masa kepemimpinan Presiden Li muncul konflik internal dari

kelompok-kelompok kepentingan di Tiongkok. Kelompok yang berkonflik ini

disebut dengan Gubernur Militer/Penguasa Perang (Warlord). Zaman Warlord ini

menjadikan Tiongkok seperti layaknya negeri perang, artinya selama masa ini

perang terus berkecamuk di dalam negeri. Perang antar penguasa perang ini terus

terjadi demi memperebutkan kekuasaan dan memperluasnya. Dalam hal ini,

keberadaan Warlord secara konkret menegasikan kekuasaan pemerintah pusat.

Perang dalam negeri ini terus terjadi sampai proses penyatuan yang dilakukan

oleh pemerintahan pimpinan Chiang Kai Sek.131

Chiang Kai Sek merupakan pemimpin Tiongkok yang lahir dari

Koumintang. Pada saat Tiongkok secara mayoritas wilayahnya dikuasai oleh para

Warlord, Dr. Sun yang mengungsi ke wilayah Tiongkok Selatan mendirikan

Partai Nasionalis Tiongkok dan Dr. Sun diangkat menjadi Presiden di wilayah

Tiongkok Selatan. Pasca wafatnya Dr. Sun, kepemimpinan partai dan Tiongkok

Selatan beralih ke tangan Jenderal Chiang Kai Sek. Di bawah kepemimpinanya,

Chiang Kai Sek melakukan ekspedisi Utara selama tahun 1926-1928 untuk

131. Ibid, 544.


112

meruntuhkan kekuasaan dan dominasi Warlord. Pada tahun 1928, pasukan

Chiang Kai Sek berhasi menyatukan Tiongkok. Pada tahap sejarah ini,

kemenangan pasukan Chiang Kai Sek juga melibatkan secara aktif golongan

Partai Komunis Tiongkok dalam melawan Warlord. Dengan kembali

dipersatukannya Tiongkok, pada 10 Oktober 1928 Chiang Kai Sek diangkat

sebagai Presiden Republik Tiongkok.

Kepemimpinan Chiang Kai Sek sudah sejak awal tidak menyukai

kehadiran Partai Komunis Tiongkok. Hal ini disebabkan karena Partai Komunis

Tiongkok dianggap akan mengganggu stabilitas pemerintahan yang baru saja di

bangun. Persinggungan pertama antara kelompok Chiang Kai Sek dengan Partai

Komunis Tiongkok terjadi saat Chiang Kai Sek menyerukan untuk menangkapi

anggota-anggota Partai yang pro-komunis, kejadian ini terjadi pada 20 Maret

1926. Sikap anti komunis yang ditunjukan oleh Chiang Kai Sek adalah bentuk

konkret dari pemerintahan yang tetap memasung iklim demokrasi.

Pemerintahan Tiongkok pimpinan Chiang Kai Sek walaupun telah

menghancurkan Warlord, namun kemudian pemerintah baru tersebut membuat

kondisi di mana berkembang raja-raja perang baru. Kekuasaan Chiang Kai Sek

juga secara bertahap telah menyerahkan Tiongkok kepada kepentingan

imperialisme. Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Mao Tse Tung

bahwa kekuasaan yang dibangun oleh Chiang Kai Sek dan Koumintang telah

membentuk Warlord baru dan menyerah kepada kepentingan para imperialis,


113

sementara penghisapan ekonomi dan penindasan politik kepada kelas buruh dan

kaum tani semakin kejam.132

Penindasan dan penghisapan yang dilakukan oleh Chiang Kai Sek

merupakan manifestasi dari pemerintahan yang tetap mempertahankan

kepentingan imperialisme. Masuknya imperialisme ke Tiongkok tentunya telah

berjalan semenjak dinasti Qing. Keberadaan imperialisme dalam bentuk negara-

negara Eropa seperti Inggris, Perancis, dan Rusia, Serta Amerika Serikat dan

Jepang telah mengakar kuat dalam segi politik, ekonomi, dan budaya di Tiongkok.

Perjuangan revolusi borjuis pada tahun 1911 dan penyatuan Tiongkok di bawah

Chiang Kai Sek tidak juga menghilangkan dominasi dari imperialisme terhadap

Tiongkok. Sementara hadirnya imperialisme justru terus ditopang oleh tuan-tuan

tanah besar Tiongkok yang menjadi basis sosial bagi imperialisme. Kolaborasi

yang terjadi antara imperialisme dan feodalisme dengan topangan dari pemerintah

dalam negeri pimpinan Chiang Kai Sek inilah yang menjadikan Tiongkok sebagai

negara setengah jajahan setengah feodal.

132. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 79.
114

GAMBAR 8. Bentuk Hukuman Mati bagi Para Pemberontak yang Dilakukan oleh
Pasukan Imperialis

Tiongkok sebagai negeri setengah jajahan setengah feodal berarti

Tiongkok telah didominasi oleh kekuasan dari imperialisme dan feodalisme.

Dalam hal ini, dominasi dari imperialisme telah mulai berkembang saat era

Dinasti Qing. Pesatnya dominasi imperialisme diperparah saat Tiongkok di

bawah kepemimpinan Yuan Shikai, saat pinzaman dari berbagai kapitalis

monopoli internasional dan lembaga keuangan mengalir deras. Dominasinya

terus berjalan semakin kuat dimasa pemerintahan Chiang Kai Sek. Keberadaan

imperialisme dari berbagai negara seperti Inggris, Rusia, Jerman, Amerika

Serikat, dan Jepang tentunya bertujuan untuk melakukan eksploitasi sumber daya
115

alam dan manusia Tiongkok. Selain itu, bertujuan juga untuk menjadikan

Tiongkok sebagai pasar potensial bagi hasil produksi industri-industri mereka.

Keberadaan imperialisme di Tiongkok tidak begitu saja mampu

bertahan tanpa adanya topangan dari internal Tiongkok. Dalam hal ini yang

melakukan kolaborasi dengan imperialisme untuk melakukan penindasan dan

penghisapan terhadap rakyat adalah sistem feodalisme yang lebih dulu eksis.

Feodalisme secara umum dapat dikatakan sistem sosial yang mengandalkan

monopoli atas tanah oleh tuan-tuan tanah, dan secara politik dimanifestasikan oleh

kepemimpinan monarki kekaisaran atau raja. Sejarah Tiongkok membuktikan

eksisnya feodalisme, pada masa dinasti Qing feodalisme direpresentasikan oleh

kekaisaran sendiri dan raja-raja kecil yang tersebar di setiap wilayah. Kemudian,

pada masa selanjutnya, masa revolusi borjuis dan terbentuknya republik,

feodalisme termanifestasi dalam tubuh tuan-tuan tanah besar, borjuasi besar

komprador dalam negeri, dan kapitalis birokrat. Jadi, feodalisme sejatinya adalah

basis sosial penopang kehidupan imperialisme di Tiongkok. Relasi ini menjadi

penting, karena penguasaan dan monopoli tanah terbesar yang ada dan corak

kehidupan masyarakat masih didominasi oleh sistem feodal, ini yang menjadi

pintu bagi imperialisme untuk menguasai dan menjalankan bisnisnya.

Di Tiongkok, dominasi imperialisme dan feodalisme yang membuat

Tiongkok menjadi negeri setengah jajahan setengah feodal terus berlangsung

karena topangan dan pengabdian dari pemerintahan dalam negeri. Pemerintah

Chiang Kai Sek merupakan representasi rezim pengabdi bagi kepentingan

imperialisme dan feodalisme. dalam hal ini, pengabdiannya ditunjukan dengan


116

terus melanggengkan skema perampasan dan monopoli tanah juga pembangunan

industri yang dilakukan oleh imperialisme dan tuan-tuan tanah. pola

ketertundukan yang dilakukan oleh pemerintahan Chiang Kai Sek terhadap

dominasi imperialisme terlihat dari tidak adanya sama sekali tindakan pengusiran

atau perlawanan yang konkret terhadap segala aktifitas yang dilakukan oleh

imperialisme di Tiongkok.

Pada tahun 1931, Jepang semakin mengukuhkan diri sebagai

imperialisme yang paling berkuasa atas Tiongkok. Berbagai kebijakannya terus

menekan rakyat Tiongkok. Dengan semakin gencarnya ekspansi yang dilakukan

oleh Jepang, maka rakyat Tiongkok terus melakukan perlawanan keras.

Perlawanan keras rakyat Tiongkok ini mayoritas dipimpin oleh Partai Komunis

Tiongkok yang berada di wilayah-wilayah pedesaan dan pedalaman. Dalam hal

ini pemerintahan Chiang Kai Sek mula-mula mengambil sikap pasif dalam

merespon keberadaan Jepang yang semakin memperbesar wilayah kekuasaanya.

Pemerintahan Chiang Kai Sek justru terus melakukan tekanan dan

gempuran kepada kaum komunis. Berbagai gerakan yang dilakukan kaum

komunis Tiongkok untuk melawan ekspansi imperialisme Jepang justru dibiarkan

dan tidak didukung oleh pemerintahan Chiang Kai Sek. Pada tanggal 17 Juli

1937, Jepang mengajukan tuntutan pada pemerintah pusat Tiongkok agar tidak

memusuhi Jepang dan secepatnya menarik mundur tentaranya dari daerah

konflik.133 Dalam menyikapi tuntutan Jepang tersebut pemerintah pimpinan

Chiang Kai Sek menyetujuinya. Sikap ini yang menunjukan bahwa Chiang Kai

133. Taniputera, Ivan, History Of China, (Depok: Arruzz Media, 2013), 567.
117

Sek tidak memperhatikan aspirasi dan tindakan nyata rakyat Tiongkok yang

berkeinginan dan sedang berjuang mengusir imperialis Jepang.

Perjuangan jutaan rakyat Tiongkok dalam melawan dominasi dari

imperialisme Jepang dan tekanan dari Partai Komunis Tiongkok yang kemudian

menekan pemerintah Chiang Kai Sek untuk menjalankan perlawanan total pada

kekuasaan Jepang. Persatuan rakyat Tiongkok dalam menghadapi Jepang inilah

yang menjadi kunci bagi keberhasilannya mengusir Jepang, disamping peran

kondisi internasional yang sedang menghadapi Perang Dunia II. Kekuatan utama

dalam melawan Jepang tetap adalah rakyat di bawah pimpinan Partai Komunis

Tiongkok, sementara Chiang Kai Sek tetap sibuk menjalin hubungan dan mencari

keuntungan dari pihak imperialis lainnya. Pada tahun 1941 Amerika Serikat

memberikan pinzaman sebesar £ 50.000.000, sementara Inggris meminjamkan £

5.000.000. tidak hanya itu, beberapa hari setelah mengucurkan pinzamannya,

Presiden Roosevelt mengirimkan Owen Lattimore sebagai penasihat politik

pemerintahan Chiang Kai Sek. Hal inilah yang menjadi cikal bakal kerjasama

pemerintahan Chiang Kai Sek dengan imperialisme Amerika Serikat.

Kondisi PD II yang semakin menuju akhir juga mempengaruhi kondisi

penjajahan Jepang di Tiongkok. Pada tahun 1945, pasca diserang secara total oleh

tentara sekutu Amerika Serikat dengan Bom Atom, Jepang kemudian menyerah

tanpa syarat. Penyerahan diri tanpa syarat ini juga menjadikan Jepang secara

bertahap melepaskan negara-negara jajahannya, salah satunya adalah Tiongkok.

Dalam hal ini, Tiongkok tidak begitu saja menjadi negara yang merdeka, namun

penjajahan Jepang kemudian digantikan oleh Amerika Serikat.


118

Enam Minggu pasca kekalahan resmi Jepang, Amerika Serikat

mendaratkan pasukan Marinirnya di Qingdao, Tiongkok. Tujuan Amerika Serikat

datang adalah memastikan kekalahan Jepang. Selain itu, Amerika Serikat juga

melakukan upaya untuk menopang gerakan Chiang Kai Sek untuk menumpas

gerakan komunis yang semakin luas dan besar, terutama di pedesaan. Topangan

kepada Chiang Kai Sek tentunya tidak sebatas pemberian bantuan, namun

Amerika Serikat juga berkepentingan untuk menancapkan dominasi politik dan

perluasan bisnis kapitalis monopoli internasional yang ditopangnya. Dalam hal

ini Tiongkok tetap berstatus sebagai negara setengah jajahan setengah feodal.

Beralihnya penguasaan atas Tiongkok dari Jepang ke Amerika Serikta

berarti pula menandai kembali perang dalam negeri antara pasukan revolusioner

komunis dengan pasukan kontra revolusioner pimpinan Chiang Kai Sek. Amerika

Serikat secara terbuka mendukung dan memberikan bantuan kepada Chiang Kai

Sek yang merupakan rezim kaki tangannya untuk menumpas seluruh gerakan

rakyat yang menginginkan revolusi pembebasan nasional Tiongkok. Tunduknya

Chiang Kai Sek pada imperialisme Amerika Serikat dibayar dengan berbagai

bantuan seperti mengangkut pasukan Chiang Kai Sek menggunakan pesawatnya

ke Shanghai dan Nanjing untuk menghancurkan gerakan revolusioner rakyat.

Bahkan secara langsung, tentara Amerika Serikat sebesar 100.000 orang

didaratkan ke Tiongkok dan disebar untuk mendukung tentara pemerintah.134

Kolaborasi antara imperialisme dan pemerintahan dalam negeri pimpinan Chiang

Kai Sek menjadikan tetap langgengnya segala kebijakan perampasan dan

134. Ibid, 576.


119

monopoli tanah di Tiongkok yang menyebabkan penderitaan kaum tani semakin

parah. Di samping itu, upaya Amerika Serikat melalui kapitalis monopoli

internasionalnya dan borjuasi besar komprador Tiongkok dalam membangun

industri dan menghisap rakyat dalam proses produksinya juga semakin masif

dijalankan.

Kolaborasi penindasan antara imperialisme Amerika Serikat dengan

tuan tanah besar dan dijaga oleh pemerintahan Chiang Kai Sek melahirkan

kepemimpinan bersama dari tuan tanah besar, borjuis besar komprador, dan

kapitalis birokrat. Kepemimpinan bersama musuh-musuh rakyat Tiongkok

bertujuan untuk menjadikan Tiongkok sebagai wilayah yang dieksploitasi baik

secara ekonomi, politik, maupun kebudayaan. Tiongkok dijadikan tempat

pengerukan sumber daya alam yang murah melalui mekanisme perampasan dan

monopoli tanah, proyek pembangunan infrastruktur skala besar, penyedia tenaga

kerja dan buruh-buruh industri berupah rendah, dan sebagai pasar bagi distribusi

hasil produksi milik imperialis ataupun borjuasi besar komprador. Berbagai

kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan Chiang Kai Sek inilah yang

menjadikan bahwa musuh utama dalam negeri bagi rakyat Tiongkok adalah

negara. Hal ini dikarenakan kondisi politik dengan berkolaborasinya pemerintah

dengan imperialisme dan tetap bertahannya eksistensi feodalisme di Tiongkok

yang menyebabkan penghidupan rakyat Tiongkok pada umumnya menjadi

semakin terpuruk.
120

4.2.3 Dekadensi Kehidupan Masyarakat Tiongkok: Kemiskinan Struktural

Rakyat Tiongkok

Kondisi politik melalui penguasaan Tiongkok oleh imperialisme dan

feodalisme serta kepemimpinan dari pemerintahan Chiang Kai Sek menimbulkan

penderitaan yang begitu dalam bagi rakyat Tiongkok. Kondisi sosial rakyat

Tiongkok pada masa itu sungguh miskin dan terkungkung kebebasannya.

Kemiskinan yang akut terutama diderita oleh kaum tani dan kelas buruh

Tiongkok. Hal ini senada dengan apa yang diutarakan oleh Prof. Weirtheim yang

menggabarkan bahwa sebelum Perang Dunia II Tiongkok di bawah pemerintahan

Chiang Kai Sek adalah bagian besar dunia di mana kesengsaraan ekstrim menjadi

nasib rakyat jelata. Kaum tani Tiongkok juga digambarkan berada dipinggiran

jurang kepapaan.135 Kondisi ini lahir akibat dari dominasi sistem perampasan dan

monopoli tanah rakyat di pedesaan. Perampasan dan monopoli tanah yang

dilakukan oleh tuan-tuan tanah, imperialisme, dan borjuasi besar komprador serta

negara yang menjelma sebagai tuan tanah menyebabkan kaum tani tercerabut dari

tempat hidupnya.

4.2.3.1 Ketimpangan Agraria dan Kemiskinan Kaum Tani di Perdesaan

Menurut penyelidikan di desa, bahwa penguasaan tanah di perbatasan

seperti wilayah Suitjuhuan sebesar 80% tanah dimiliki oleh tuan tanah. sementara

begitu juga di wilayah Jungsin tuan tanah menguasai 70% dari selurh tanah.

Wilayah Wanan, Ningkang, dan Lienhua kaum tani hanya memiliki tanah 40%

135. F. Wertheim, Dunia Ketiga, dari dan Ke Mana: Negara Protektif Versus Pasar
Agresif, terj. Oey Hay Djoen. (Yogyakarta: Oey‟s Renaissance, 1997), 44.
121

dan sisanya tetap dikuasai oleh tuan tanah. Kabupaten Tjhaling dan Lingsien 70%

nya dikuasai oleh tuan tanah.136 keberadaan tuan tanah di wilayah Tiongkok jelas

berdampak begitu buruk bagi kehidupan kaum tani.

Secara konkret kaum tani semakin kekurangan dalam hasil produksinya

karena tanah yang dimiliki sangat kecil bahkan tidak memiliki sama sekali (buruh

tani). Selain itu,, tuan tanah juga acap kali merangkap sebagai tengkulak yang

memaksa kaum tani untuk menjual hasil pertaniannya dengan harga murah.

Dalam hal ini, sebagian besar wilayah Tingkok penduduknya di pedesaan secara

mengerikan menderita karena ketidakpastian kehidupan dan kepemilikan,

kelaparan merupakan ciri perekonomian Tiongkok yang paling banyak

didengar.137 Selama kepemimpinan Chiang Kai Sek hampir setiap tahunnya

muncul bencana kelaparan yang besar dan menelan korban jiwa. Nasib kaum tani

yang semakin miskin terus menerus terusir melalui skema pajak penyitaan dan

peraturan sewa yang eksesif.

4.2.3.2 Penghisapan Tenaga Kerja dalam Industrialisasi Tiongkok

Kesengsaraan di Tiongkok tidak hanya terjadi di pedesaan, namun di

kota-kota yang menjadi sasaran pembangunan industri oleh imperialisme dan

borjuasi besar juga menggambarkan bentuk ketertindasan rakyatnya.Keberadaan

imperialisme di Tiongkok tentunya salah satu tujuannya adalah membangun

pabrik-pabrik industrial milik kapitalis monopoli internasionalnya.Keberadaan

136. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 112.
137. W.F. Wertheim, Dunia Ketiga, dari dan Ke Mana: Negara Protektif Versus
Pasar Agresif, terj. Oey Hay Djoen. (Yogyakarta: Oey‟s Renaissance, 1997), 45.
122

pabrik di Tiongkok adalah konsekuensi dari eksploitasi sumber daya alam di sana.

Pada 1900 misalnya, tambang batubara di Khailun merupakan tambang besar

yang dikuasai dan monopoli kepemilikannya oleh imperialsime Inggris.138

Pabrik didirikan di negeri jajahan agar lebih dekat dengan sumber

bahan mentahnya, dan lebih mudah didistribusikan, sehingga pekerjaan lebih

efisien dan keuntungan yang didapat lebih besar. Kondisi pabrik-pabrik di

perkotaan Tiongkok amat mengerikan. Seperti wataknya dari kelas borjuis, maka

pabrik industri dibuat sedemikian menguntungkannya meski harus menindas dan

menghisap buruhnya. Dalam hal ini, Weirtheim melalui hasil observasi Rewi

Alley menggambarkan kondisi pabrik di Tiongkok pada tahun 1928:

“Perajutan-perajutan sutera di Shanghai adalah di antara tempat-tempat


yang mengerikan yang saya teliti, dengan barisan panjang anak-anak
yang kebanyakan di antaranya tidak lebih dari usia delapan atau
sembilan tahun. berdiri selama 12 jam di depan kuali-kuali perebus
kepompong mendidih, dengan jari-jari tangan yang bengkak kemerah-
merahan, mata yang meradang, dan otot-otot mata yang luruh. Banyak
di antara mereka yang menangis karena sabetan dari mandor yang
berjalan mondar-mandir di belakang mereka dengan sepotong kawat
meteran sebagai cambuk. Lengan mereka kurus dan sering dipenuhi
luka bakar akibat hukuman jika mengulurkan benang rajutan secara
tidak tepat, ruangannya begitu penuh dengan uap panas. Upah-upah di
situ mengenaskan sekali.”139

Kondisi ini memperlihatkan bahwa Tiongkok bukanlah negara yang merdeka dan

berdaulat meski sudah melakukan revolusi fisik pada tahun 1911. Rakyat

Tiongkok terus dijadikan budak dengan sistem yang modern oleh kepentingan

imperialisme dan feodalisme. Pemerintah pusat pimpinan Chiang Kai Sek terus

138. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 23.
139. Ibid, 45-46.
123

melegitimasi penindasan dan penghisapan yang terjadi terhadap rakyat dan

negerinya.

Pembangunan ekonomi negeri Tiongkok terus menggunakan skema

milik imperialisme, khususnya Amerika Serikat yang mendominasi sejak

berakhirnya PD II. Pada tahun 1946, tercatat bahwa kerjasama ekspor-impor

antara Tiongkok dengan Amerika Serikat, 51% hasil produksi Tiongkok dijual

pada Amerika Serikat, sementara sebesar 57% kebutuhan dalam negerinya didapat

dari Amerika Serikat. Kondisi ini yang terus menerus kemudian melahirkan

berbagai pemberontakan rakyat yang semakin membesar. Selain gerakan yang

membesar, pemikiran yang revolusioner juga semakin tersebar luas di Tiongkok.

Kondisi masyarakat Tiongkok merupakan cerminan dari negara yang

terdominasi oleh kekuasaan imperialisme dan rezim boneka dalam negerinya.

Imperialisme menjelma melalui kekuasaan borjuasi besar dan tuan tanah menjadi

golongan yang melakukan penghisapan dan penindasannya. Sementara itu, rezim

boneka dalam negeri menjadi kolaborator yang setia melegitimasi penghisapan

dan penindasan tersebut. Dengan demikian, kondisi masyarakat Tiongkok berada

dalam belenggu sistem setengah jajahan setengah feodal.

Dari pemaparan mengenai perkembangan sosialisme dan kondisi sosial

politik masyarakat di Tiongkok, dapat dinyatakan bahwa kedua hal tersebut

adalah aspek utama yang mempengaruhi pemikiran Mao. Pemikiran tentang

sosialisme, khususnya sosialisme ilmiah dari Marx dan Engels menjadi alat pandu

bagi Mao untuk mengembangkan pemikirannya. Pengembangan pemikiran Mao


124

juga dilandasi oleh kondisi konkret masyarakat di Tiongkok. Kolaborasi inilah

yang melahirkan berbagai pemikiran dari Mao.


125

BAB V

MAO TSE TUNG:

Kehidupan dan Pemikiran Sang Pelopor Revolusi

Di Negeri Tiongkok

Dalam penelitian ini, pemikiran Mao Tse Tung tentang revolusi dua

tahap untuk pembangunan sosialisme di Tiongkok merupakan inti dari apa yang

ingin penulis teliti. Dengan demikian, dibutuhkan dasar yang tepat untuk

menguak pemikiran Mao Tse Tung tersebut. Dalam hal ini, dasar yang dimaksud

adalah konsep-konsep dari pemikiran Mao Tse Tung yang memiliki keterkaitan

dengan inti penelitian, yaitu tentang kontradiksi, pemetaan kekuatan revolusioner

dan kontra revolusioner dalam masyarakat Tiongkok, pembangunan demokrasi

baru. Selain itu, penulis juga merasa bahwa penting dan wajib untuk menguak

Latar belakang kehidupan Mao Tse Tung, sehingga mampu menambah khazanah

pengetahuan dari peneliti untuk memasuki inti pemikiran dari Mao Tse Tung

tentang revolusi dua tahap untuk pembangunan sosialisme di Tiongkok.

5.1 Latar Belakang dan Perjalanan Kehidupan Pemimpin Revolusi

Tiongkok

Mao Tse tung dilahirkan pada tanggal 26 Desember 1893 di desa

Shaoshan di Propinsi Hunan, Tiongkok.140 Tse berarti „bersinar, sementara nama

Tung artinya adalah‟Timur‟, jadi dapat dikatakan bahwa arti namanya adalah

140. Jung Chang dan Jon Halliday, MAO Kisah-Kisah yang Tak Diketahuií,
terj.Martha Wijaya dan Widya Kirana, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2007), 4.
126

„bersinar dari Timur‟. Mao dilahirkan dari rahim keluarga tani miskin, hal ini

mengharuskan sejak kecil Mao untuk bekerja keras dan hidup prihatin. Kondisi

Tiongkok dibawah dominasi Dinasti Qing mengharuskan orang tua Mao bekerja

sangat keras untuk menghidupi anaknya. Hal ini ditambah lagi dengan upaya dari

imperialisme Inggris untuk menarik Tiongkok agar masuk ke dunia industrialisasi

modern di bawah dominasinya.141 Perlahan keluarga Mao mulai mengalami

sedikit perbaikan nasib menjadi tani sedang dan mulai merintis usaha dagang

kecil.

GAMBAR 9. Mao Tse Tung Pemimpin Revolusi Tiongkok

141. Rizem Aizid, Rezim Mao: Mao Zedong dan Dinasti Kekuasaanya, (Yogyakarta:
Palapa, 2013), 14.
127

Mao kecil disekolahkan pada sekolah dasar tradisional. Di sekolah

dasar tersebut Mao mulai mempelajari ajaran-ajaran tua konfusianisme. Mao

merupakan remaja yang rajin dalam membaca dan menulis apa yang

dipelajarinya. Aktivitas membacanya kerap dilakukan oleh Mao hingga larut

malam di rumahnya. Semangat belajarnya ini kemudian harus menghadapi

pilihan yang sangat sulit karena permasalahan perekonomian keluarganya.

Ternyata kehidupan keluarga Mao di tengah penindasan yang dilakukan

pemerintah semakin memburuk. Mao kerap berangkat sekolah dengan

menggunakan pakaian kumal dan tanpa uang saku. Sepulang sekolah Mao masih

harus mencurahkan waktu dan tenaganya untuk bekerja di ladang milik

keluarganya Buruknya perekonomian Tiongkok mengakibatkan pada usia 13

tahun Mao dipaksa untuk berhenti sekolah untuk bekerja. Dalam hal ini, Mao

sangat menentang rencana ayahnya tersebut, Mao teguh dengan niat belajarnya

dan pergi meninggalkan keluarganya untuk melanjutkan sekolah.

Pada tahun 1905 Mao mengikuti ujian negara untuk melanjutkan

sekolah ke jenjang selanjutnya. Mao juga terlibat dalam perjuangan revolusi

Xinhai menumbangkan Dinasti Qing pada 1911. Mao terlibat dalam tentara

perjuangan revolusioner pimpinan Dr. Sun tersebut.142 Mao yang saat itu baru

berusia 19 tahun dan berkegiatan sebagai mahasiswa mulai menaruh perhatian

pada soal-soal politik dan perjuangan. Seperti yang dikatakan Marx, bahwa

„keadaan menentukan kesadaran‟, maka keadaan revolusioner melawan kekuasaan

absolut kekaisaran yang telah bercokol lebih dari 2000 tahun telah membentuk

142. Franz Magnis Suseno, Dari Mao ke Marcuse: Percikan Filsafat Marxis Pasca
Lenin, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2013), 93.
128

Mao menjadi tertarik pada revolusi. Ketertarikan ini yang terus mendorong Mao

untuk semakin mendalami soal-soal politik, kehidupan rakyat, dan gerakan-

gerakan.

Perhatian Mao terhadap perjuangan terus membawa dirinya pada upaya

pembelajaran teori dan praktik yang semakin mendalam. Mao lulus dari

Universitas Beijing pada tahun 1918. Pasca lulus dari Universitas, Mao kemudian

bekerja sebagai pustakawan dan kemudian menjadi guru di Peking. Pada 4 Mei

1919 terjadi demonstrasi besar di Peking yang dilakukan oleh pemuda dan

mahasiswa, mereka mengecam tindakan pemerintah yang telah dinilai mejual

Tiongkok pada imperialisme Jepang saat itu. Dalam perkembangannya Mao terus

semakin serius terlibat dalam setiap kegiatan organisasi mahasiswa dan para

intelektual muda. Dari persinggungannya dengan buku-buku dan organisasilah

Mao mulai mengenal teori-teori Marxisme.

Perkembangan teori-teori Marxisme di Tiongkok dimulai dari

kelompok-kelompok diskusi di Universitas Beijing. Terdapat beberapa aspek

yang mempengaruhi berkembang pesatnya Marxisme di Tiongkok. Pertama,

kondisi sosial dan politik Tiongkok di bawah kekaisaran dan pemerintahan

republik yang berkolaborasi dengan imperialisme, sehingga melahirkan

penderitaan bagi rakyat. Kedua, pecahnya Revolusi Sosialis Oktober 1917 di

Rusia, di mana Partai Komunis Uni Soviet berhasil memimpin jalannya Revolusi

Sosialis dengan menumbangkan kekuasaan Tsar dan membentuk negara sosialis

pertama di dunia. Kedua faktor inilah yang mendorong semakin cepatnya ajaran
129

Marxisme berkembang di Tiongkok dan diterima oleh para intelektualnya,

termasuk Mao.

Di sela-sela perjuangannya dalam menemukan pemikiran yang tepat

inilah Mao dipertemukan oleh perempuan seorang anak mantan gurunya di

Changsa bernama Yang Kaihui. Pertemuan ini berbuah pernikahan pada tahun

1920. Dari pernikahannya ini Mao mendapatkan seorang anak laki-laki bernama

Mao Anying pada 1922.

Latar belakang keluarga, pendidikan yang diterima, kondisi konkret

penindasan di Tiongkok, dan meletusnya revolusi Oktober 1917 di Rusia

merupakan serentetan kejadian yang membentuk kepribadian baru Mao. Mao

tumbuh dewasa sebagai seorang pemuda yang revolusioner. Mao memandang

bahwa revolusi adalah jalan utama dan satu-satunya untuk membebaskan rakyat

dari belenggu penghisapan dan penindasan. Keberadaan kolonialisme yang telah

bertransformasi menjadi penjajahan imperialisme telah mendorong Mao untuk

bersikap kritis terhadapnya. Dorongan ini yang membuat Mao semakin terlibat

aktif dalam lingkaran intelektual Marxis. Lingkaran diskusi ini kemudian

bertransformasi pada 23 Juli 1921 menjadi Partai Komunis Tiongkok. Di mana

pada kongres pendirinya yang diadakan di atas perahu sampan, Mao yang berusia

27 tahun terlibat di dalamnya. Dalam Kongres perdannya, partai mengamanatkan

kepada Chen Tu Shiu sebagai Sekretaris Jenderal. Mao kemudian ditugaskan oleh

partai untuk menjadi Ketua Cabang Partai dan mengembangkan gerakan kaum

tani di daerahnya, yaitu Hunan.


130

Mao menjadi seorang muda yang begitu tekun dalam menjalankan

tugas-tugas pembangunan basis kerja melalui propaganda dan pengorganisasian di

pedesaan. Kecakapan dan peningkatan kualitas kerjanya inilah yang kemudian

menjadikan Mao sebagai salah satu pimpinan di Komite Pusat Partai Komunis

Tiongkok. Dalam hal ini, pengangkatan Mao ke dalam Komite Pusat dilakukan

berdasarkan hasil Kongres ketiga Partai Komunis Tiongkok pada Juni 1923 di

Kanton. Satu tahun kemudian, Kongres Nasional Partai Koumintang (KMT) yang

berhaluan politik nasionalis diadakan, salah satu resolusinya adalah menerima

anggota partai yang juga menjadi anggota Partai Komunis Tiongkok, di sini

pulalah Mao diangkat menjadi salah satu Calon Anggota Eksekutif Komite

Pusat.143

Perjuangan gerakan revolusioner dari Partai Komunis Tiongkok tidak

berjalan mulus dalam melakukan kerjasama dengan KMT. Golongan anti

komunis dalam tubuh KMT terus mendorong keluarnya orang-orang komunis dari

dalam KMT. Selain itu, kesalahan kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok

dalam menyokong perjuangan revolusioner dari kaum tani juga menjadi masalah.

Kaum tani menjadi nomor dua setelah keselamatan front persatuan nasional

dengan KMT. Untuk menjawab dua masalah itu, Mao menulis hasil

penyelidikannya di Provinsi Hunan selama 32 hari mengenai gerakan tani. Mao

menulis dalam laporan penelitinya:

“Kebangkitan gerakan tani dewasa ini merupakan suatu masalah yang


sangat besar. Dalam waktu yang sangat singkat akan bangkit ratusan
juta kaum tani di provinsi-provinsi Tiongkok Tengah, Selatan, dan
Utara yang kedahsyatannya bagaikan prahara yang luar biasa kencang

143. Imam Soedjono, Rakyat dan Senjata: Perang Rakyat di Beberapa Negeri Asia,
(Yogyakarta: Resist Book, 2011), 23.
131

dan hebatnya, sehingga tidak ada kekuatan, betapapun besarnya, yang


akan dapat menahanya. Mereka akan menjebol segala rintangan yang
akan menghalangi mereka, dan maju cepat sepanjang jalan menuju
pembebasan. Semua kaum imperialis, raja perang, pejabat korup,
gembong lalim, dan ningrat jahat akan mereka masukan ke dalam liang
kubur. Setiap partai revolusioner akan diuji di hapadan mereka, untuk
diterima atau ditolak menurut keputusan mereka. Apakah berdiri di
depan mereka dan memimpinnya? Atau berdiri di belakang mereka dan
mengkritik dengan menuding-nuding? Atau berdiri dihadapan mereka
dan menentangnya? Setiap orang Tiongkok bebas untuk memilih satu
diantara ketiga itu, tapi situasi memaksanya untuk cepat-cepat
memilih”144

Dalam hal ini, terlihat bahwa Mao secara tajam melakukan kritik dan sekaligus

memberi masukan bagi Partai Komunis Tiongkok. Mao bermaksud

mengingatkan partai agar tidak terjebak pada sikap oportunisme. Dari paparan di

atas juga memperlihatkan bahwa Mao merupakan revolusioner yang memiliki

keterikatan dengan kaum tani. Hal ini tentunya berkaitan pula dengan jabatannya

sebagai salah satu anggota Komite Eksekutif Federasi Tani Seluruh Tiongkok.

Kemampuanya membaca antara kontradiksi yang berkembang di

Tiongkok, membuktikan bahwa Mao adalah seorang Marxis yang paham betul

mengenai Materialisme Dialektika. Mao tidak memandang dogmatis pandangan

mengenai peranan kelas buruh dalam era kapitalisme untuk pembebasan nasional.

Mao menyesuaikan analisanya dengan kondisi konkret Tiongkok yang merupakan

negeri setengah jajahan setengah feodal. Dengan kondisi demikian, kaum tani

Tiongkok bukan hanya mayoritas dari masyarakatnya, namun juga kelompok

yang memiliki pengalaman panjang perjuangan melawan penindasan sejak zaman

kekaisaran dinasti-dinasti sebelumnya.

144. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 28.
132

Sebagai seorang revolusioner yang berpandangan Marxis, Mao terus

selalu berupaya mendisiplinkan diri dalam berpikir dan bertindak. Bagi Mao,

Marxisme-Leninisme adalah pandangan hidup sekaligus pedoman untuk

berpraktik menjalankan revolusi. Oleh karenanya, Mao kerap melakukan

perdebatan baik secara metodis maupun hal-hal yang prinsipil terhadap sesama

kawan di Partai Komunis Tiongkok maupun musuh-musuh politiknya dari

imperialis atau pihak KMT. Hal ini tercermin dari bagaimana Mao melakukan

koreksi atas tudingan bahwa dirinya telah melenceng dari garis Marxisme-

Leninisme dan perjuangan yang dipimpinnya bukan bagian dari revolusi

proletariat.

Li Li-San sebagai anggota Politbiro Partai Komunis Tiongkok

menyatakan bahwa mental petani yang terdapat di partai akibat dari perjuangan

khusus di desa. Untuk itu hanya dengan kepemimpinan proletariat saja

penempelan mental petani itu dapat dihilangkan. Selanjutnya mengenai

kepemimpinan proletariat, Li Li-San takut kepemimpinan kelas buruh dalam

partai maupun dalam menjalankan revolusi digantikan oleh kaum tani. Dalam hal

ini, Mao menyatakan:

“Garis politik dan organisasi yang ditetapkan oleh partai sudah tepat,
yaitu pada tahapan ini revolusi Tiongkok adalah bersifat demokratis dan
bukan sosialis. Tugas partai dewasa ini ialah menarik massa dan bukan
melakukan pemberontakan dengan segera. Akan tetapi revolusi itu
akan berkembang sangat cepat, maka kita harus mengambil sikap yang
positif dalam propaganda dan persiapan untuk pemberontakan
bersenjata.”145

Dalam aspek kepemimpinan partai Mao juga mengungkapkan:

145. Ibid, 160.


133

“Pimpinan proletariat adalah satu-satunya kunci untuk kemenangan


revolusi. Peletakan dasar proletariat bagi partai dan pembentukan
resort partai di perusahaan-perusahaan industri di daerah penting adalah
tugas yang penting bagi partai di lapangan organisasi dewasa ini.
Tetapi dalam pada itu, perkembangan perjuangan di desa, pembentukan
kekuasaan politik merah di daerah-daerah kecil, pembentukan dan
perluasan Tentara Merah lebih-lebih merupakan syarat utama untuk
membantu perjuangan di kota-kota dan mempercepat pasangnya
revolusi. Sehingga kurang tepat jia melepaskan perjuangan di kota-
kota, tetapi menurut pendapat kami apabila ada anggota-anggota partai
yang merasa takut akan perkembangan kekuatan kaum tani karena
dikiranya akan melampaui kekuatan kaum buruh sehingga merugikan
revolusi juga bukan merupakan tindakan yang benar. Karena dalam
revolusi di Tiongkok setengah jajahan ini perjuangan kaum tani akan
menemui kegagalan yang tak terelakan jika tidak mendapatkan
pimpinan dari kelas buruh, sedangkan revolusi itu tidak akan dirugikan
apabila perjuangan kaum tani berkembang melampaui kaum buruh.”146

Praktik Mao dalam melakukan kritik yang tegas ke dalam partai adalah bukti

bahwa Mao merupakan pemikir Marxis yang cerdas. Dalam hal ini, kutipan di

atas menjelaskan bahwa Mao sangat mampu melakukan pembacaan yang

komprehensif terhadap kondisi material rakyat Tiongkok. Mao tidak terilusi oleh

pandangan yang salah dalam memahami dan menafsirkan sistem filsafat

materialisme dialektika historis milik Marxisme, dan tidak pula mau begitu saja

dogmatisme terhadap praktik pembangunan negeri sosialis Uni Soviet yang tentu

saja berbeda secara khusus dengan keadaan Tiongkok.

Perkembangan kehidupan Mao dalam menjadi seorang revolusioner

tentunya semakin maju seiring dengan aktifnya Mao di dalam Partai Komunis

Tiongkok. Mao semakin teguh dalam pendiriannya menjadi seorang revolusioner

ketika melihat secara nyata cara kepemimpinan Chiang Kai Shek. Mao

memandang cara kepemimpinan Chiang Kai Shek adalah anti terhadap gerakan

146. Ibid, 161.


134

revolusioner. Pada tahun 1927, akhirnya usulan Mao mengenai perang bersenjata

dengan pasukan utama kelas buruh dan kaum tani disetujui oleh partai.

Perang bersenjata ini ditujukan untuk melawan pihak imperialis Jepang

sekaligus tentara dari pemerintahan KMT pimpinan Chiang Kai Shek. Mao

semakin menunjukan sikap antinya terhadap kepemimpinan Chiang Kai Shek

yang menjadi kaki tangan imperialis. Hal ini semakin terbukti ketika pada tahun

1938 terjadi demonstrasi besar dari mahasiswa menuntut diakhirnya serangan

terhadap gerakan revolusioner dan memusatkan seluruh kekuatan untuk melawan

imperialis Jepang. Dalam menghadapi hal tersebut Chiang Kai Shek menyerukan

bahwa hanya dengan senjata yang dapat mendatangkan pengertian bagi para

mahasiswa „dungu‟ ini.147

Dalam menghadapi kediktatoran rezim Chiang Kai Sek, Mao bersama

Partai Komunis Tiongkok terus melancarkan berbagai peperangan dalam negeri.

Mao terlibat dalam memimpin resimen-resimen tentara rakyat untuk menguasai

Changsa, ibukota Hunan. Pertempuran pertamanya berujung pada kekalahan dan

hanya tersisa sedikit saja pasukan yang dipimpin olehnya. Pasca kekalahan dalam

pertempuran merebut Changsa, Mao melakukan reorganisasi terhadap tentara

rakyat yang dipimpinnya, menjadi Divisi 1 Tentara ke-1 Tentara Revolusioner

Buruh dan Tani.

Kekalahan dalam pertempuran memperebutkan Changsa menyebabkan

Mao mendapat celaan dan hukuman. Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok

memutuskan bahwa Mao Tse Tung dipecat dari anggota Komite Pusat maupun

147. Imam Soedjono, Rakyat dan Senjata: Perang Rakyat di Beberapa Negeri Asia,
(Yogyakarta: Resist Book, 2011), 131.
135

dari Komite Provinsi Hunan. Selain itu, Mao dinyatakan telah gagal menekan

revolusi agraria dan di bidang militer bersikap orpotunis. Dengan demikian, Mao

ditugaskan untuk membangun basis di daerah perbatasan Hunan-Chiangsi di

Maoping. Dalam Kongres daerah perbatasan tersebut Mao ditunjuk sebagai

Sekretaris. Selanjutnya, Mao bersama pasukan revolusioner daerah perbatasan

terus mempertahankan wilayahnya dari upaya penyerangan tentara KMT. Salah

satu upaya pertahanan dari serangan KMT, Mao bersama pasukannya

menjalankan Long March.

Long March merupakan pilihan terakhir untuk menghindari kekalahan

dari pasukan KMT. Serangan bertubi-tubi yang dilancarkan KMT dengan bentuk

pengepungan terjadi pada 1933. Satu tahun kemudian, pada Oktober 1934 Mao

terpaksa untuk memulai Long March. Long March diikuti oleh 85.000 tentara,

15.000 kader partai dan pemerintahan, baik laki-laki maupun perempuan. Long

March dimulai tanpa tujuan yang jelas, baru pada Januari 1935 dalam Konferensi

Zhunyi ditetapkan bahwa Long March akan berkahir di daerah Privinsi Shaanxi .

Perjalanan panjang ini sarat dengan kesulitan, selain desakan dari tentara KMT,

pasukan yang terlibat Long March juga harus menghadapi kondisi alam yang

„ganas‟. Baru pada 20 Oktober 1935 Mao dan sisa pasukan Long March nya

sampai di Provinsi Shaanxi. Dari 100.000 jiwa yang terlibat Long March, yang

dapat selamat hingga akhir hanya 7.000 saja. Dalam perjalanan ini, anak Mao

yang bernama Mao Zedan juga turut tewas. Total waktu yang dihabiskan dalam

Long March adalah 368 hari dengan jarak tempuh 12.500 Kilometer.
136

Perkembangan aktivitas politik Mao memuncak saat menjadi ketua

Partai Komunis Tiongkok pada tahun 1945. Aktivitas politik Mao bersama Partai

Komunis Tiongkok terus berkembang maju, alhasil Mao berhasil memimpin

perjuangan panjang revolusi Tiongkok pada 1 Oktober 1949 dengan

mendeklarasikan berdirinya Republik Rakyat Tiongkok. Kemenangan besar

revolusi ini praktis terus mengangkat nama Mao sebagai bapak bangsa sekaligs

panutan seluruh rakyat Tiongkok, dari sinilah semakin melekat kemudian julukan

“Ketua Mao” pada dirinya.

Mao Tse Tung terus melakukan tugas dalam memimpin negara dengan

penuh disiplin Marxisme-Leninisme. Pasca deklarasi kemerdekaan,

kepemimpinan Mao dalam mejalankan pemerintahan terus melaju pesat. Berbagai

kebijakan besar secara berangsur terus dikeluarkan. Rentetan kebijakan seperti

Landreform, pembentukan komune-komune rakyat pedesaan, Moderenisasi

pertanian, pembangunan industri, hingga revolusi besar kebudayaan proletariat

menjadi skema untuk mentransformasikan Tiongkok menjadi negeri sosialis.

Tidak hanya itu, dalam sektor politik luar negerinya Mao terus memberikan

dukungan pada rakyat seluruh dunia yang sedang dalam gelombang revolusi,

seperti Perang Kemerdekaan Vietnam dan Perang Korea.

Kepemimpinannya sebagai kepala negara berjalan selama sembilan

tahun, atau berakhir pada 1958. Kepemimpinan Republik Rakyat Tiongkok

kemudian digantikan oleh Liu Saoqi. Setelah itu Mao lebih aktif menjadi seorang

negarawan melalui Partai Komunis Tiongkok. Setelah tidak menjadi kepala

negara, Mao bukan berarti tidak terlibat lagi dalam setiap aktifitas. Pada suatu
137

program besar yaitu, Revolusi Besar Kebudayaan Proletariat Mao tetap menjadi

pemimpin untuk menjalankannya.

Dimasa tuanya, yaitu pada tahun 1967 Mao yang berusia 67 tahun

kembali disibukan dengan berbagai upaya pemberontakan dan sabotase di dalam

negerinya, serta upaya intervensi dari imperialisme Amerika Serikat di Tiongkok.

Gelombang protes dan demonstrasi sengaja dibuat oleh kelompok yang ingin

mengembalikan Tiongkok pada kekuasaan kelas Borjuis. Dalam hal ini, Mao

kemudian mengerahkan Tentara Pembebasan Rakyatnya untuk melakukan

penertiban dan menindak tegas upaya kontra revolusioner tersebut.

Setelah sekian lama mengabdikan diri pada revolusi dan upaya

pembebasan rakyat Tiongkok, akhirnya pada 9 September 1976 dalam usia 83

tahun Mao Tse Tung menghembuskan nafas terkahirnya. Kabar atas wafatnya

„Ketua Mao‟ ini meninggalkan duka mendalam bagi rakyat Tiongkok yang telah

merasakan begitu tepatnya kepemimpinan dari Mao Tse Tung. Sebagai bentuk

penghormatan terakhir, jenazahnya kemudian diawetkan dan disimpan dalam

sebuah Museum yang khusus dibangun untuknya. Tidak seperti para pemikir lain

pada zaman itu yang bergelimang oleh penghargaan dan apresiasi dari dunia

internasional, namun buah pikir dan tindakannya menjadi inspirasi bagi berbagai

negara di dunia. Perjuangan revolusioner yang dipimpin oleh Mao di Tiongkok

kemudian serta-merta menjadi contoh bagi perjuangan revolusioner di negara-

negara berkembang lainnya, seperti Vietnam, India, Kuba, Filipina, hingga

Indonesia.
138

GAMBAR 10. Mao Tse Tung saat Meninggal Dunia Pada 9 September 1976

5.2 Berbagai Pemikiran Mao Tse Tung: Dari Analisis Kelas, Kontradiksi,

hingga Demokrasi Baru

Revolusi dua tahap merupakan pemikiran pokok dari Mao dalam

rangka perjuangan pembebasan nasional rakyat Tiongkok. Dalam hal ini,

pemikiran tersebut juga menjadi inti dari penelitian ini. Dengan demikian,

diperlukanlah konsep-konsep dalam pemikiran Mao yang berkaitan dengan inti

penelitian. Hal ini dapat menjadi jembatan untuk memahami lebih mendalam

mengenai pemikiran Mao tentang revolusi dua tahap untuk pembangunan

sosialisme di Tiongkok.

Konsep-konsep pemikiran yang akan dibahas tentu bukan seluruh

pemikiran dari Mao. Fokus utama dalam hal ini adalah pemikiran Mao yang

menjadi latar belakang dan landasan untuk melahirkan pemikiran tentang revolusi
139

dua tahapnya. Pemikiran-pemikiran tersebut akan melingkupi tentang analisis

kelas di Tiongkok, pemikiran Mao tentang kontradiksi, dan pemikiran Mao

tentang demokrasi baru. Ketiga pemikiran tersebut adalah pemikiran yang akan

menjadi jembatan dalam rangka memahami dan membedah pemikiran Mao

tentang revolusi dua tahap untuk pembangunan sosialisme di Tiongkok.

5.2.1 Pemikiran Mao Tse Tung Tentang Analisis Kelas di Tiongkok:

Pemetaan Kepentingan antara Kekuatan Revolusioner dan Kontra

Revolusioner

Gagasan mengenai perjuangan revolusioner di Tiongkok untuk terlepas

dari belenggu imperialisme dan feodalisme tidak dapat dilepaskan dari pemikiran

Mao mengenai analisis kelas dalam masyarakat Tiongkok dikala itu. Analisis

kelas di Tingkok menjadi penting mengingat revolusi harus benar-benar

memahami siapa musuh dan siapa kawan dari rakyat Tiongkok secara tepat.

Dalam hal ini, pemetaan lebih spesifik pada kekuatan revolusioner dengan

kekuatan kontra revolusioner. Mao menekankan betapa pentingnya analisis kelas

karena mengacu pada kegagalan revolusi yang terjaddi pada 1911 di Tiongkok

pimpinan Dr. Sun Yat Sen. Menurut Mao, sebab pokok mengapa semua

perjuangan revolusioner di Tiongkok pada masa lampau sangat kecil hasilnya

karena tidak bisa bersatu dengan sahabat yang sesungguhnya untuk menggempur

musuh yang sesungguhnya.148 Sehingga Mao memandang penting untuk

148. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 13.
140

melakukan analisis Latar belakang ekonomi dan sikap terhadap revolusi dari

setiap kelas yang ada di Tiongkok.

Latar belakang analisis ini juga berkaitan dengan perkembangan

perdebatan gagasan mengenai revolusi di Tiongkok. Terdapat dua kubu yang

bersitegang untuk menggagas ide revolusi melalui analisis terhadap kelas di

Tiongkok. Pertama, dari kubu Tjhen Tu Siu yang memandang revolusi akan

berhasil jika bersandar pada kekuatan Koumintang, dengan demikian

menegasikan keterlibatan perjuangan massa, khususnya proletariat dan kaum tani

Tiongkok. Pandangan ini adalah penyelewengan oportunisme kanan. Kedua,

pandangan ini diwakili oleh Tjang Kuo Thao yang memandang hanya pada

gerakan buruh semata dan melupakan peranan penting kaum tani sebagai

mayoritas dari masyarakat Tiongkok. Pandangan ini adalah penyelewengan

oportunisme kiri.149 Dalam merespon dua pandangan yang mencuat dalam Partai

Komunis Tiongkok tersebut Mao tidak berdiri pada salah satu kubu, namun

melakukan koreksi pada keduanya. Kedua pandangan ini bagi Mao adalah

kesalahan yang berasal dari tidak tepatnya analisis kelas dalam masyarakat

Tiongkok.

Dalam melakukan analisis kelas dalam masyarakat Tiongkok, Mao

memulainya dengan kelas Tuan Tanah Besar dan Borjuasi Besar Komprador.

149. Oportunisme Kanan adalah sikap yang memandang bahwa kekuatan


revolusioner tidak akan sanggunp meraih kemenangannya sendiri sehingga harus bersatu dan
berdampingan dengan kelas penindas. Oportunisme Kanan hakekatnya menumpulkan perjuangan
kelas dan tetap mendukung keberadaan kelas penindas. Sementara, Oportunisme Kiri adalah
pandangan yang menganggap bahwa kekuatan yang dimiliki sudah mencukupi dan harus sesegera
mungkin melakukan manuver-manuver politik yang sesungguhnya menggiring gerakan
revolusioner ke dalam kehancuran karena kesalahan dalam menganalisis kekuatan internal gerakan
revolusioner. L.Harry Gould, Kamus Kecil Istilah Marxis, terj. Rollah Syarifah (Jakarta:
Kelompok Kerja Untuk Demokrasi Rakyat, 2006), 58.
141

Dalam analisisnya, Mao menekankan bahwa kedua kelas ini adalah perpanjangan

tangan dan penopang utama keberadaan imperialisme untuk menghisap dan

menindas. Kolaborasi antara imperialisme dan Tuan Tanah Besar yang berwatak

komprador inilah yang menjadikan Tiongkok sebagai negeri yang berkarakter

setengah jajahan setengah feodal. Dalam negeri Tiongkok, latar belakang

ekonomi kelas-kelas ini mewakili kelas yang melakukan monopoli terhadap alat

produksi, sehingga menghambat perkembangan tenaga produktif masyarakat

Tiongkok. Hal ini menyebabkan kelas ini adalah kelas yang paling kontra

terhadap perjuangan revolusioner rakyat Tiongkok.

Mao menyatakan bahwa Tuan Tanah Besar dan Borjuasi Besar

Komprador akan selalu mendukung imperialisme dan merupakan kaum kontra

revolusioner ekstrim.150 Kelas ini kemudian yang menguasi negara sekaligus

mendominasi formasi pemerintahan dalam negeri Tiongkok. Keberadaan kelas

Tuan Tanah Besar dan Borjuasi Besar Komprador yang mendominasi hubungan

produksi di Tiongkok kerap mengalami gesekan kepentingan dengan Borjuasi

Sedang atau kerap disebut Borjuasi Nasional.

Borjuasi Sedang adalah kelas yang memiliki kebimbangan terbesar

dalam menentukan sikapnya pada revolusi. Hal ini dikarenakan posisinya yang

terhimpit oleh dua kekuatan besar yaitu kekuatan perjuangan kelas yang dilakukan

oleh rakyat dan kekuatan imperialiasime bersama tuan tanah besar yang ingin

mempertahankan dominasinya. Borjuasi Sedang utamanya adalah kelas yang

mewakili berlangsungnya sistem kapitalisme baik di desa maupun perkotaan.

150. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 13.
142

Mereka dalam menjalankan bisnisnya hanya mengandalkan modal dalam negeri

atau nasional saja, sehingga upaya mengembangkan modalnya terus terhimpit

oleh monopoli Borjuasi Besar Komprador dan modal asing dari imperialisme.

Hal inilah yang membuat Borjuasi Sedang memiliki kebencian dan terus berupaya

melawan dominasi imperialisme di Tiongkok. Di sisi lain, mereka juga tidak

percaya pada perjuangan revolusioner karena akan mengancam perkembangannya

untuk menguasai Tiongkok.

Padangan dan program politik dari Borjuasi Sedang adalah mendirikan

sebuah negara baru yang dikuasai sepenuhnya oleh kelompoknya. Pandangan ini

diwakili oleh kelompoknya Tai Tji Tao yang pernah menulis dalam suatu Harian

Tjhen Pao dengan seruan “Angkat tangan kirimu untuk menghancurkan

imperialisme dan angkat tangan kananmu untuk menghancurkan Partai

Komunis”.151 Pandangan ini tentunya mencerminkan sebuah kepanikan sikap

dalam menghadapi kondisi Tiongkok yang telah terbelah dalam dua kekuatan

besar. Dalam hal ini, posisi Borjuasi Sedang yang bimbang akan menjadikan

dirinya terdifrensiasi dengan cepat, sebagian akan merapat pada kekuatan rakyat

yang revolusioner sedangkan sebagian lagi akan membuntut pada imperialisme.

Dalam perjuangan di Tiongkok antara kelompok revolusioner dan kontra

revolusioner, tidak ada tempat tengah atau netral bagi Borjuasi Sedang. Kondisi

ini yang kemudian menjadikan cita-cita politik mendirikan sebuah negara yang

dikuasai oleh Borjuasi Sedang adalah hal yang mustahil.152

151. Ibid, 14-15.


152. Ibid, 15
143

Selain Borjuasi Sedang, dalam masyarakat Tiongkok juga terdapat

kelas Borjuasi Kecil. Borjuasi Kecil merupakan kelas yang terdiri dari beberapa

golongan masyarakat. Golongan yang masuk dalam kelas Borjuasi Kecil antara

lain adalah Tani Pemilik, pengusaha rumahan, intelektual lapis bawah atau pelajar

dan mahasiswa, guru sekolah, pegawai negeri rendahan, pedagang kecil, dan lain

sebagainya. Dalam hal ini, Borjuasi Kecil tidak serta-merta sama kondisi

ekonomi dan sikapnya pada revolusi. Menurut pandangan dan analisis Mao,

dalam masyarakat Tiongkok terdapat tiga golongan Borjuasi Kecil. Pertama,

Golongan ini adalah Borjuasi Kecil yang memiliki kelebihan dalam

pendapatannya baik dari hasil kerja badan maupun otaknya. Dalam hal ini,

Golongan pertama mampu menimbun sisa penghasilannya menjadi pundi-pundi

modal. Golongan Borjuasi Kecil ini sangat dekat untuk naik menjadi Borjuasi

Sedang. Mao menilai bahwa Borjuasi Kecil ini sangat takut terhadap birokrat dan

percaya terhadap propaganda yang diproduksi oleh imperialisme dan Borjuasi

Besar. Dalam hal ini, kepercayaan atas propaganda dari imperialisme menjadikan

Borjuasi Kecil dari golongan pertama ini kerap menaruh curiga pada hari depan

dari revolusi.153 Dalam masyarakat Tiongkok, golongan ini adalah Golongan

Borjuasi Kecil yang paling sedikit jumlahnya.

Kedua, Borjuasi Kecil yang hanya mampu sekedar mencukupi

kebutuhan hidupnya semata tanpa mampu menimbun sisanya menjadi modal.

Dalam masyarakat Tiongkok, golongan ini tetap memiliki keinginan yang kuat

untuk menjadi kaya raya, namun tindasan yang dilakukan oleh imperialisme, tuan

153. Ibid, 16
144

tanah besar, dan borjuasi besar komprador terus menghambat angan-angannya.

Himpitan yang terus melanda golongan ini menjadikan dirinya frustasi dan

menganggap dirinya harus terus bekerja lebih ekstra. Dalam kondisi Tiongkok di

bawah dominasi imperialisme, kondisi kerja Borjuasi Kecil juga sangat

memprihatinkan. Tidak hanya jam-jam kerja yang terus begitu panjang, namun

upah bagi pekerja juga terus ditekan menjadi murah, selain itu untuk memenuhi

kebutuhan atas tenaga kerja, Borjasi Besar tidak jarang memobilisasi anak-anak

untuk berkerja.154 Dalam hal ini, Mao menggambarkan kondisi golongan ini

seperti berikut:

“... untuk dapat mempertahankan hidupnya mereka harus


memperpanjang jam kerjanya, bangun pagi-pagi, pulang malam dan
lebih hati-hati dalam pekerjaan. Mereka agak memaki orang asing
dengan makian setan asing, pejabat-bejabat dan sisa-sisa panglima
perang kerajaan dimakinya dengan sebutan perampok uang, sementara
bangsawan baik tuan tanah maupun borjuasi besar dikutuknya dengan
istilah si kaya yang jahat.”155

Kondisi yang semakin terpuruk dan menderita inilah yang membuka

ruang bagi golongan ini untuk tidak menentang revolusi. Sikap yang demikian

bukan tanpa hambatan bagi gerakan revolusioner untuk memobilisasi golongan

ini, karena golongan ini terus dilanda kebimbangan dalam memandang

keberhasilan dan masa depan dari gerakan revolusioner. Dalam hal ini,

pandangan tersebut berasal dari pandangan subjektif bahwa imperialisme dan

foedalisme sudah terlalu kuat untuk dikalahkan. Selain itu, golongan ini tidak

mau begitu saja terlibat aktif dalam gerakan revolusi dan cenderung netral serta

154. F. Wertheim, Dunia Ketiga, dari dan Ke Mana: Negara Protektif Versus Pasar
Agresif, terj. Oey Hay Djoen. (Yogyakarta: Oey‟s Renaissance, 1997), 44.
155. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 16.
145

menunggu gelombang revolusi hingga benar-benar pasang. Dalam masyarakat

Tiongkok, Borjuasi Kecil golongan kedua inilah yang mendominasi hampir

setengahnya jumlah kelas Borjuasi Kecil. Sementara yang selanjutnya adalah

Borjuasi Kecil golongan ketiga.

Borjuasi Kecil golongan ini merupakan golongan yang lebih menderita

lagi. Golongan ini terus merasakan kemerosotan dalam kehidupan secara drastis.

Mereka memandang semakin hari kehidupannya semakin jauh dari sejahtera.

Semula menjadi golongan yang cukup mampu untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya, namun kini terus terdegradasi akibat dari penghisapan dan penindasan

yang terus berlipat. Golongan ini teramat pening bagi perjuangan revolusioner

karena lebih memiliki sikap tegas dalam melawan imperialisme dan feodalisme.

Ketiga golongan Borjuasi Kecil ini memiliki sikap yang berbeda

terhadap revolusi, khususnya disaat-saat masih dalam keadaan damai. Ketiga

golongan ini akan berubah sikapnya menjadi pendukung setia dan berperan aktif

dalam gerakan revolusi ketika gelombang perjuangan telah berangsur naik dan

kemenangan dari revolusi semakin nampak. Kesimpulan ini bukan tanpa alasan,

karena gerakan revolusioner telah membuktikannya dalam sejarah perjuangan,

khususnya Gerakan 30 Mei 1925.156

Kelas selanjutnya dalam masyarakat Tiongkok adalah Semi Proletar.

Semi Proletar maksudnya adalah kelas yang hanya memiliki alat kerja ataupun

156. Gerakan 30 Mei 1925 adalah gerakan untuk melawan imperialisme yang
dilancarkan oleh rakyat seluruh negeri Tiongkok. Gerakan ini dipicu oleh tindakan fasis aparat
kepolisian Inggris yang menembak dan membunuh rakyat Tiongkok. Sepanjang bulan Mei 1925,
terjadi serentetan gerakan perlawanan terhadap imperialisme Inggris dari gerakan buruh hingga
pelajar dan mahasiswa yang melahirkan semboyan-semboyan “Hancurkan Imperialisme!” dan
“Bersatulah seluruh Rakyat Tiongkok!”.
146

sasaran dan modal yang sangat sedikit untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Mao membagi Semi Proletar dalam lima golongan utama, atau yang paling

mayoritas dalam masyarakat Tiongkok, yaitu Tani Setengah Pemilik, Tani

Miskin, Pengrajin Kecil, Pegawai Toko, dan Penjaja. Dalam hal ini, mayoritas

dari kelas Semi Proletar di Tiongkok adalah Tani Setengah Pemilik dan Tani

Miskin. Tani Setengah Pemilik adalah kaum tani yang memiliki tanah yang dapat

digunakan untuk memenuhi kurang lebih setengah dari kebutuhan hidupnya.

Sedangkan untuk memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya, Tani Setengah Pemilik

harus menyewa tanah dari tuan tanah, menjual tenaga kerjanya, atau berdagang.

Pada masa „paceklik‟ atau saat dilanda gagal panen, Tani Setengah Pemilik

terpaksa akan meminjam uang dan dengan demikian terus terlilit hutang yang

besar. Kondisi yang demikian yang membuat Tani Setengah Pemilik sangat

memerlukan revolusi untuk keluar dari penghisapan tuan tanah di pedesaan.

Secara kehidupannya, Tani Setengah Pemilik jelas lebih menderita ketimbang

Tani Pemilik, namun tidak lebih menderita dari Tani Miskin.

Tani Miskin adalah kaum tani yang tidak memiliki tanah sebagai

sasaran kerjanya. Tani Miskin juga memiliki keterbatasan dalam memiliki alat

kerja, bahkan tidak sedikit yang tidak memilikinya. Hal ini menyebabkan Tani

Miskin benar-benar menyandarkan kehidupannya dari bekerja di tanah-tanah

milik tuan tanah dengan sistem penghisapannya. Dalam hal ini, sudah barang

tentu Tani Miskin tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, karena

hasil pananen atau kerja produksinya hanya akan mendapatkan setenga bahkan

kerap tidak sampai setengahnya karena harus dipangkas dengan biaya sewa dan
147

bagi hasil kepada tuan tanah. Dalam hal memenuhi kebutuhan hidupnya, Tani

Miskin harus berhutang pada „lintah darat‟ di desa, sehingga hidupnya terus terlilit

oleh hutang yang semakin besar. Kondisi yang penuh penderitaan inilah yang

menyebabkan kaum Tani Miskin memiliki semangat revolusioner yang tinggi

melebihi Tani Pemilik dan Tani Setengah Pemilik. Tani Miskin sangat mudah

menerima propaganda revolusioner dan melibatkan dirinya dengan aktif dalam

perjuangan kelas di Tiongkok. Selain Tani Miskin, Pengrajin Kecil juga termasuk

dalam kelas Semi Proletar.

Pengrajin Kecil walaupun dapat dikatakan memiliki alat produksi yang

sederhana, namun posisinya tetap berada dalam kungkungan penghisapan dan

penindasan. Problematika mengenai alat produksi yang teramat sederhana dan

himpitan ekonomi membuat Pengrajin Kecil tidak dapat mengembangkan

perekonomiannya. Hal ini menyebabkan Pengrajin Kecil juga terpaksa harus

bekerja di tempat lain dengan menjual tenaga kerjanya. Beban penghidupan

keluarga yang berat, pendapatan dan upah yang sedikit, hingga ancaman

kemelaratan menjadikan golongan ini memiliki kepentingan yang besar dalam

gerakan revolusioner. Tidak jauh berbeda dengan Pengrajin Kecil, Pegawai Toko

adalah golongan yang sangat berkepentingan dalam gerakan revolusioner. Dalam

hal ini, kepentingannya lahir dikarenakan kondisi kerja upahan yang dialaminya.

Pegawai Toko hanya mengandalkan upah yang minim dan tidak ada kepastian

kenaikan upah secara berkala, sedangkan kenaikan kebutuhan pokok terus terjadi.

Sementara, golongan Penjaja baik yang berjualan keliling maupun yang di tepi

jalan hanya memiliki modal yang kecil. Hal ini kemudian menjadikan golongan
148

Penjaja hanya mendapatkan selisih keuntungan yang sedikit di tengah kebutuhan

hidup yang serba kekurangan.

Dalam masyarakat Tiongkok yang setengah jajahan setengah feodal,

tentunya sektor-sektor pertokan hingga usaha kecil seperti penjaja berkembang

cukup besar. Dalam hal ini, karakter negeri setengah jajahan yang didominasi

oleh imperialisme juga mensyaratkan lahirnya kelas yang paling baru, yaitu kelas

Proletariat. Kelas Proletar di Tiongkok lahir karena perkembangan industri yang

diciptakan langsung maupn industri yang ditopang oleh modal asing milik

imperialisme.

Kelas Proletariat adalah kelas buruh modern terutama yang bekerja di

lingkungan pabrik-pabrik industri Tiongkok. Kelas Proletariat adalah kelas yang

paling merasakan dampak dari penghisapan dan penindasan yang dilakukan oleh

imperialisme. Proletariat adalah masyarakat yang hanya memiliki tenaga untuk

dijual dengan imbalan upah, artinya Proletariat adalah kelas yang tidak memiliki

alat produksi. Dalam masyarakat Tiongkok, jumlah kelas Proletariat sebesar dua

juta jiwa. Jumlah yang sedikit ini dikarenakan perkembangan industri di

Tiongkok yang terbelakang. Pada umumnya, Proletariat Tiongkok terbagi dalam

lima cabang industri, yaitu kereta api, pertambangan, pengangkutan kapal, tekstil,

dan pembuatan kapal.157 Mayoritas dari kelas Proletariat bekerja dalam

perusahaan-perusahaan milik imperialisme.

Sistem penghisapan dan penindasan yang dilakukan, khususnya oleh

imperialisme dan Borjuasi Besar Komprador kepada kelas Proletariat

157. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 20.
149

menjadikannya memiliki kepentingan utama dalam revolusi. Dalam gerakan

revolusioner, proletariat Tiongkok berperan sebagai kelas yang memimpin

gerakan tersebut. Dalam hal ini, kepeimpinan kelas Proletariat dalam gerakan

revolusioner disebabkan setidaknya oleh tiga hal. Pertama, kelas Proletariat

adalah kelas yang lahir secara langsung akibat dari ekspansi perindustrian milik

imperialis di Tiongkok. Dalam hal ini, imperialisme secara massif melakukan

perombakan sistem dengan membangun pabrik-pabrik manufaktur di Tiongkok

untuk mempermudah sirkulasi dan akumulasi kapitalnya.

Ekspansi industri milik imperialis ini juga yang menyebabkan

berkembangnya kelas Borjuasi Besar Komprador di Tiongkok untuk membangun

industri-industri dengan bantuan modal dari imperialis. Berkembangnya industri

di Tiongkok adalah aspek yang mensyaratkan kebutuhan tenaga kerja bagi

industri milik imperialis dan Borjuasi Besar Komprador tersebut. Dengan

demikian, terciptalah kelas baru yaitu kelas Proletariat di Tiongkok. Dalam

hubungan produksinya, kelas Proletariat mengalami penghisapan dan penindasan

yang menyebabkan dirinya tidak mampu memiliki alat produksi sama sekali.

Selain itu, relasi hubungan produksi dalam industri juga merampas hak kelas

Proletar melalui perampasan upah dengan skema nilai lebih.

Latar belakang kelahiran inilah yang kemudian menjadikan kelas

Proletariat menjadi kelas yang mengalami penghisapan dan penindasan secara

langsung oleh imperialisme. Sehingga, kontradiksi yang bersifat antagonistik

yang lahir terutama adalah antara imperialisme dan kelas Proletariat. Oleh
150

karenanya, kelas Proletariat adalah kelas yang paling berkepentingan untuk

menjalankan menghancurkan imperialisme.

Alasan kedua adalah kelas Proletariat merupakan kelas yang disatukan

melalui hubungan produksinya. Kelas Proletariat terhimpun dalam suatu sistem

kerja yang kolektif, terutama di pabrik-pabrik. Hal ini berbeda dengan kelas lain

yang dalam hubungan produksinya dipisahkan oleh sistem kerja yang individual.

Sehingga hasil produksinya dihasilkan dan tertanam nilai individual. Oleh

karenanya, watak kelas proletariat jauh lebih kolektif ketimbang yang lainnya dan

lebih mampu untuk dipersatukan dalam suatu gerakan revolusioner. Ketiga,

adalah karena kelas Proletariat menjadi kelas yang paling terhisap dan tertindas

dalam masyarakat Tiongkok. Mao menjelaskan kondisi Proletariat Tiongkok,

Mereka telah kehilangan alat produksinya, tinggal mempunyai duabelah tangan

saja, sudah putus juga harapan untuk menjadi kaya, terlebih mereka ditindas

dengan kejam oleh kaum imperialis, tuan tanah besar, dan borjuasi besar

komprador.158 Oleh karenanya, kekuatan kelasnya teramat militan untuk

melancarkan revolusi.

Persoalan analisis kelas di Tiongkok dari pemikiran Mao jelas

memperlihatkan pemetaan antara kekuatan yang revolusioner dan kontra

revolusioner. Kolaborasi antara imperialisme, tuan tanah besar, dan borjuasi

besar komprador kemudian terus berupaya melanggengkan penghisapan dan

penindasannya di Tiongkok. Hal ini terutama sekali dilakukan dengan terus

melahirkan rezim-rezim atau pemerintahan dalam negeri, yaitu Kapitalis Birokrat.

158. Ibid, 20
151

Kapitalis Birokrat adalah pemerintahan dalam negeri yang merepresentasikan

pengabdiannya kepada imperialisme dan feodalisme. oleh karenanya, kapitalis

Birokrat masuk dalam golongan yang komprador, artinya golongan yang menjadi

perpanjangan tangan kepentingan imperialisme dan feodalisme. Secara konkret,

golongan Kapitalis Birokrat diwakili oleh pemerintahan pusat yang merupakan

rezim bersama yang berisi kolaborasi antara tuan tanah besar dan borjuasi besar

komprador. Peran dari rezim penguasa dalam negeri ini adalah terus melegitimasi

penghisapan dan penindasan imperialisme melalui kebijakannya. Selain itu,

rezim komprador dalam negeri Tiongkok juga terus melakukan tindakan

menghisap dan menindas terhadap rakyatnya secara langsung.

Dari analisis kelas yang dibuat oleh Mao, jelas terlihat bahwa

imperialisme, Tuan Tanah dan Borjuasi Besar Komprador, serta Kapitalis

Birokrat, dan golongan Borjuasi lainnya yang bersekongkol adalah musuh dari

rakyat Tiongkok. Dalam hal ini, kekuatan tersebut adalah kekuatan kontra

revolusioner. Sementara, kelas Proletariat adalah pemimpin utama dalam gerakan

revolusioner Tiongkok. Sedangkan kelas Semi Proletariat dan Borjuasi Kecil,

khususnya Golongan Kaum Tani adalah sekutu terdekat dalam revolusi.

Sedangkan, kaum tani adalah mayoritas dari rakyat Tiongkok yang memiliki

kepentingan dalam revolusi untuk menghancurkan struktur sosial feodalisme di

pedesaan. Dengan demikian, kontradiksi pokok dari kaum tani adalah berhadapan

dengan Tuan Tanah baik secara perorangan, perusahaan maupun negara sebagai

tuan tanah. Adapun, kelas Borjuasi Sedang akan terpecah menjadi dua kubu,
152

sebagian akan memihak kekuatan kontra revolusioner, sebagian lagi akan berada

dalam kubu kekuatan revolusioner.

Dengan melakukan analisis dan pemetaan yang mendalam terhadap

kelas dalam masyarakat Tiongkok, gerakan revolusioner yang menjadi sebuah

pemikiran dari Mao akan lebih mudah dijalankan. Pemikiran ini pula yang

menggiring Mao untuk menentukan arah dan karakter perjuangan revolusioner

menuju sosialisme di Tiongkok. Dalam hal ini, analisis ini juga menjadi alat

pemandu bagi gerakan yang diorganisasikan oleh Partai Komunis Tiongkok untuk

merebut kekuasaan dan menghancurkan musuh-musuh rakyat tersebut.

5.2.2 Pemikiran Mao Tse Tung Tentang Kontradiksi: Keumuman dan

Kekhususan Kontradiksi, Kontradiksi Pokok dan Non-Pokok, serta

Antagonisme Kelas dalam Kontradiksi

Salah satu konsepsi penting dari pemikiran Mao Tse Tung adalah

mengenai kontradiksi. Secara historis, hukum tentang kontradiksi telah

dijabarkan oleh Marx dan Engels, kemudian diteruskan dan digunakan secara

sistematis oleh Lenin hingga Stalin. Dalam pemikirannya, Mao turut

menggunakan hukum kontradiksi sebagai pisau analisisnya untuk membedah

pertentangan kelas dalam masyarakat Tiongkok, hingga menjadi dasar dalam

Revolusi Dua Tahap dan pembangunan Sosialisme.

Hukum kontradiksi merupakan poin pokok dalam filsafat materialisme

dialektika. Konsep kontradiksi inilah yang membedakan cara pandang

materialisme dialektika dengan cara pandang metafisis. Cara pandang metafisis


153

melihat segala fenomena yang terjadi di dunia merupakan fenomena-fenomena

yang sifatnya parsial, berdiri sendiri-sendiri, dan terpisah satu sama lain. Segala

sesuatu yang terjadi pada suatu hal, semata-mata terjadi akibat dari hal lain atau

faktor eksternal semata. Cara pandang metafisis juga melihat dunia ini secara

statis. Kendati dunia mengalami perubahan dari masa ke masa, pandangan

metafisis melihat perubahan tersebut hanya berbentuk pengurangan, penambahan,

ataupun pergeseran tempat semata, akibat adanya dorongan faktor eksternal. Cara

pandang metafisis ini tidak mampu melihat sesuatu fenomena dari dalam

fenomena itu sendiri (intern), maupun kaitan antara suatu fenomena dengan

fenomena lainnya. Dalam hal ini, materialisme ialektika tidak memandang suatu

hal secara parsial maupun mendeterminasikan faktor eksternal dalam melihat

perkembangan suatu hal. Mao berpendapat :

“Berlawanan dengan pandangan dunia metafisis, pandangan dunia


dialektis materialis menganjurkan supaya mempelajari perkembangan
hal-ihwal dari dalam hal ihwal itu sendiri, dari hubungannya dengan
hal-ihwal yang lain. Dengan kata lain, memandang perkembangan hal-
ihwal sebagai gerak hal-ihwal itu sendiri yang bersifat intern dan wajar.
Sedangkan setiap hal-ihwal dalam geraknya adalah saling berhubungan
dan saling berpengaruh dengan hal-ihwal lainnya. Sebab fundamentil
perkembangan hal-ihwal tidak terletak diluar, tetapi di dalam hal-ihwal
itu sendiri ; Kontradiksi intern terdapat dalam setiap hal-ihwal”159

Pendapat Mao tersebut menggambarkan bagaimana Materialisme dialektika telah

memberikan garis pemisah yang tegas dengan cara pandang metafisis. Dalam

cara pandang Materialisme Dialektika, perkembangan suatu hal-ihwal dapat

dilihat dari hal-ihwal itu sendiri, karena Materialisme Dialektika mampu

menemukan hukum kontradiksi di dalam suatu hal-ihwal. Pandangan ini senada

159. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 420.
154

dengan pandangan Lenin yang melihat Dialektika sebagai studi tentang

kontradiksi di dalam hakekat segala sesuatu itu sendiri.160 Secara alamiah,

kontradiksi inilah yang menjadi syarat suatu hal ada dan karenanya lah suatu hal

berkembang.

Mao mengartikan kontradiksi secara umum memiliki dua arti rangkap;

pertama, kontradiksi berada dalam setiap hal-ihwal dan kedua, kontradiksi terjadi

dari awal hingga akhir suatu hal ihwal.161 Pertama, kontradiksi berada dalam

setiap hal-ihwal, berarti bahwa di dalam semua hal-ihwal, terdapat unsur-unsur

penyusun yang sejak awal saling berkontradiksi satu sama lain. Unsur-unsur

penyusun yang saling berkontradiksi itu menjadi landasan suatu hal-ihwal ada,

dapat bergerak, berubah, dan berkembang. Hal ini dapat ditemui di berbagai hal,

mulai dari kontradiksi antara oksigen, air dan unsur-unsur penyusun tanaman

lainnya, yang diubah dan diserap hingga tanaman mampu melakukan proses

fotosintesa ; mati dan tumbuhnya sel-sel dalam setiap organisme ;

berkontradiksinya unsur-unsur penyusun bumi hingga menghasilkan gerak pada

bumi, hingga kontradiksi kebutuhan-kebutuhan biologis, ekonomi, hingga politik

dalam setiap unsur-unsur dalam masyarakat, yang kemudian disebut kontradiksi

kelas. Pendapat Mao tersebut senada dengan Stalin yang juga menjelaskan

kontradiksi dalam kerangka berfikir Materialisme Dialektika sebagai berikut :

“kontradiksi-kontradiksi intern terdapat di dalam segala sesuatu dan


gejala alam, karena semuanya ini mempunjai segi-segi negatif dan
positifnya, masa lampau dan masa depannya, sesuatu yang berangsur-
angsur mati dan sesuatu yang berkembang; dan bahwa perjuangan
antara pertentangan-pertentangan ini, perjuangan antara yang lama

160. V.I Lenin,Tiga Sumber dan Tiga Komponen Marxisme.


161. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 422.
155

dengan yang baru, antara apa yang sedang mati dengan yang sedang
lahir, antara apa yang sedang lenyap dengan yang sedang berkembang,
merupakan inti-sari proses perkembangan, inti-sari perubahan-
perubahan kuantitatif ke perubahan kualitatif”162

Penjelasan Mao tentang kontradiksi yang terjadi di internal hal-ihwal ini

merupakan poin penting dalam filsafat Materialisme Dialektika. Hukum

kontradiksi menjadikan Materialisme Dialektika mampu menemukan kontradiksi

yang terdapat dalam masyarakat. Seperti seluruh fenomena yang ada di dunia ini,

masyarakat juga memiliki kontradiksi-kontradiksi di dalamnya. Kontradiksi

dalam masyarakat tersebut terlihat dari adanya pertentangan kelas. Dalam hal ini

Lenin menyatakan:

“Kontradiksi dalam ilmu pasti terdapat (+) dan (-), diferensial dan
integral. Dalam mekanika terdapat aksi dan reaksi. Dalam ilmu listrik
terdapat positif dan negatif. Dalam ilmu kimia, terdapat persenyawaan
dan penguraian atom. Dalam ilmu sosial, perjuangan kelas”163

Perjuangan kelas merupakan bentuk dari kontradiksi internal di dalam

masyarakat. Kontradiksi internal masyarakat ini dapat ditemui dengan

menganalisis pola perkembangan masyarakat secara historis. Analisis

perkembangan masyarakat menjadi penting agar kontradiksi internal masyarakat

dapat dipahami secara historis, yaitu sejak awal munculnya manusia. Sehingga,

penjelasan Mao selanjutnya tentang kontradiksi terjadi dari awal hingga akhir

suatu fenomena perlu mendapat perhatian mendalam untuk memahami

kontradiksi secara komprehensif.

162. J.W. Stalin, Materialisme Dialektika Historis, (Jakarta: Indonesia Progresif,


1979), 4.
163. Dalam Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 425
156

Kontradiksi bukanlah fenomena yang terjadi setelah berlangsungnya

proses bergerak dan berkembangnya. Kontradiksi terjadi bukan dikarenakan ada

unsur-unsur yang pada prosesnya barulah mengalami pertentangan. Pandangan

ini sejatinya telah menyangkal hukum kontradiksi itu sendiri, karena menganggap

kontradiksi sebagai dampak, atau lahir di tengah proses. Kontradiksi bukanlah

dampak ataupun fenomena yang lahir setelah unsur-unsur bersinggungan.

Kontradiksi merupakan hakikat suatu hal di dunia ini, yang merupakan syarat

fenomena ada dan berkembang. Semua hal terkandung kontradiksi di dalamnya,

semenjak awal hingga akhir dari keberadaannya. Setiap materi mengandung

unsur-unsur penyusunnya yang sudah memiliki kontradiksi sejak awal

keberadaannya. Mao berpendapat :

“Sebagaimana ditunjukkan oleh Lenin, Marx di dalam Kapital telah


memberikan analisis yang menjadi teladan, mengenai gerak
kontradiksi-kontradiksi yang berlangsung sepanjang proses
164
perkembangan hal-ihwal, dari awal sampai akhir”

Keberadaan kontradiksi dari awal hingga akhir suatu hal juga terdapat dalam

masyarakat. Lahirnya manusia modern (Homo Sapiens) terjadi karena kontradiksi

antara kebutuhan biologis manusia primitif untuk mengkonsumsi makanan dan

keterbatasan fisik manusia primitif. Kontradiksi tersebut terus memuncak hingga

akhirnya melahirkan kemampuan manusia untuk melakukan kerja produksi

hingga distribusi yang paling sederhana, yaitu berburu dan meramu. Tidak

berhenti sampai disitu, proses produksi hingga distribusi sederhana juga

mengalami kontradiksi dengan peningkatan jumlah manusia dan keterbatasan

mengolah alam. Kontradiksi-kontradiksi tersebut yang akhirnya mendorong

164. Ibid, 427.


157

lahirnya kontradiksi kelas dalam masyarakat. Sekelumit kontradiksi tersebut terus

berkembang secara dialektis dan memajukan perkembangan masyarakat. Untuk

memperjelas kedudukan kontradiksi dan perkembangan masyarakat, Stalin

memberikan contoh bagaimana kontradiksi-kontradiksi tersebut berkembang

secara dialektis menuju fase-fase barunya sebagai berikut:

“Sistem kepemilikan budak akan menjadi tidak mempunyai arti,


merupakan kebodohan dan tidak wajar dalam keadaan modern. Tetapi
dalam keadaan sistem komunal primitif yang sedang runtuh
(kontradiksinya memuncak), sistem kepemilikan budak itu adalah
gejala yang sepenuhnya bisa dipahami dan wajar, karena ia merupakan
suatu kemajuan dibandingkan dengan sistem komunal primitif. Hal
lainnya adalah tuntutan untuk republik borjuis-demokratis pada waktu
ada Tsarisme dan masyarakat borjuis, seperti, kita katakan saja, di
Rusia dalam tahun 1905, adalah tuntutan yang sepenuhnya bisa
dipahami, tepat dan revolusioner, karena pada waktu itu suatu republik
borjuis akan berarti suatu langkah maju.”165

Kontradiksi demi kontradiksi tersebutlah yang selanjutnya mendorong masyarakat

untuk terus menegasi sistem yang lama dan beralih secara kualitas menuju sistem

masyarakat baru.

Hukum kontradiksi inilah yang berlaku secara umum pada seluruh

materi, termasuk masyarakat seluruh dunia. Dalam hal ini, kendati hukum

kontradiksi berlaku secara umum, setiap fenomena juga memiliki kekhususan-

kekhususan pola kontradiksinya tersendiri. Mao sendiri memberikan perhatian

khusus tentang kekhususan kontradiksi ini. Menurut Mao:

“Jika tidak mempelajari kekhususan kontradiksi, kita tidak mungkin


memastikan hakikat khusus suatu hal-ihwal yang membedakannya dari
hal-ihwal lainnya, tidak mungkin menemukan sebab khusus atau dasar

165. J.W. Stalin, Materialisme Dialektika Historis, (Jakarta: Indonseia Progresif,


1979), 5.
158

khusus bagi gerak atau perkembangan hal-ihwal, dan juga tidak


mungkin membedakan hal-ihwal yang satu dari yang lainnya”166

Konsep kekhususan kontradiksi ini merupakan penjelasan lebih lanjut tentang

hukum kontradiksi yang telah dijabarkan oleh Marx, Lenin, bahkan Stalin.

Penjelasan tentang kekhususan kontradiksi ini menjadi penting untuk

menjabarkan perbedaan fenomena dengan fenomena yang lain. Kontradiksi setiap

hal-ihwal sejatinya memiliki perbedaan-perbedaannya yang khas. Dengan

demikian, ilmu pengetahuan secara dialektis bergerak dari umum ke khusus dan

dari khusus ke umum secara bersamaan, dan terus melengkapi dan memajukan

ilmu pengetahuan.

Tanpa memahami kekhususan kontradiksi, pengetahuan akan

bertransformasi menjadi dogma. Dalam konteks ini, dogmatisme yang disebut

oleh Mao adalah pandangan yang tidak mampu melihat kekhususan kontradiksi

dari suatu hal-ihwal. Mao menyebut “kaum dogmatis” sebagai golongan yang

serampangan menerapkan kemana-mana rumus yang itu-itu juga, yang dianggap

tak dapat diubah.167

Perbedaan-perbedaan kualitatif setiap kontradiksi antar fenomena

menjadikan pemecahan atas setiap kontradiksi juga menjadi berbeda.

Kekhususan-kekhususan kontradiksi ini tidak bisa diperlakukan sama, dan juga

disisi lain tidak bisa juga dilihat saling terpisah. Sehingga penting melihat setiap

segi dari kekhususan kontradiksi yang terjadi dan hubungan-hubungannya.

166. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje-Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 430.
167. Ibid, 432.
159

Penjabaran mengenai kekhususan kontradiksi ini menjadi salah satu poin penting

dalam pemikiran Mao terkait filsafat Materialisme Dialektika.

Kekhususan kontradiksi ini memiliki posisi penting dalam penerapan

Marxisme-Leninisme di negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan. Mulai dari

Marx, Lenin, hingga Stalin telah menjabarkan seluruh prinsip umum tentang

hukum kontradiksi dan penerapannya dalam analisis perkembangan masyarakat,

hingga pembangunan gerakan revolusioner proletariat menuju sosialisme.

Namun, seiring dengan kontradiksi rakyat yang semakin bergejolak di seluruh

dunia, muncul kebutuhan akan pembacaan kontradiksi-kontradiksi di negara

jajahan maupun setengah jajahan yang memiliki kekhususan-kekhususan. Dengan

ditemukannya kekhususan kontradiksi ini, analisis terhadap negeri jajahan dan

setengah jajahan semakin komprehensif.

Berbeda dengan negeri-negeri kapitalis, di mana pertentangan

proletariat dan borjuasi semakin meruncing menjadi perjuangan kelas, kontradiksi

yang terjadi negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan jauh lebih kompleks.

Artinya, kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di dalam negeri jajahan dan setengah

jajahan, seperti Tiongkok tidak bisa disamakan dengan kontradiksi yang terjadi di

negeri-negeri kapitalis. Dengan demikian, pemecahan atas kontradiksi di dalam

negeri jajahan dan setengah jajahan tidak bisa dipecahkan dengan cara-cara yang

dilakukan di negeri kapitalis. Seperti apa yang diutarakan Mao, kontradiksi-

kontradiksi di negeri-negeri jajahan maupun setengah jajahan memiliki

karakteristiknya sendiri :

“Kontradiksi-kontradiksi yang kualitatif berbeda hanya dapat


dipecahkan dengan cara-cara yang kualitatif berbeda juga. Misalnya
160

kontradiksi antara proletariat dengan borjuasi dipecahkan dengan


Revolusi Sosialis. Kontradiksi massa rakyat dengan sistem feodal
dipecahkan dengan revolusi demokratis. Kontradiksi antara tanah
jajahan dengan imperialisme dipecahkan dengan cara perang
revolusioner nasional.”168

Penjabaran Mao mengenai kekhususan-kekhususan kontradiksi yang terjadi di

internal sistem masyarakat jajahan dan setengah jajahan tersebut telah

memberikan suatu gambaran tentang pemecahan setiap kontradiksinya. Mao

menggunakan cara memilah setiap kontradiksi yang kemudian berperan untuk

menentukan pemecahannya. Dalam hal ini, kontradiksi juga harus mampu

dijabarkan secara menyeluruh dan berkait. Untuk itu, diperlukan juga metode

dalam memahami seluruh segi dari kekhususan kontradiksi yang ada. Hal ini

digunakan untuk melihat bagaimana proses bergerak dan memuncaknya

kontradiksi secara keseluruhan, sehingga dapat ditemukan pemecahannya secara

sistematis.

Aspek penting lainnya dalam memahami kekhususan kontradiksi adalah

memahami seluruh segi dari setiap kontradiksi. Seluruh segi yang terdapat dalam

kontradiksi dapat memberikan gambaran penuh tentang bagaimana proses

kontradiksi itu berlangsung, bagaimana kelanjutan dari kontradiksinya, bagaimana

kontradiksi tersebut bisa makin meruncing, dan bagaimana seluruh kontradiksi

bisa dipecahkan. Sebagai contoh, dalam masyarakat jajahan dan setengah jajahan,

imperialisme dan feodalisme yang eksis secara bersamaan, mendominasi sistem

ekonomi, politik dan budaya. Di dalamnya terdapat kontradiksi antara proletariat

dan borjuis, antara rakyat dengan sistem feodalisme, antara rakyat yang terjajah

168. Ibid, 431.


161

dengan imperialisme, serta kekhususan kontradiksi lainnya. Namun, pemecahan

kontradiksi tidak akan mungkin dilakukan secara terpisah-pisah, karena

kontradiksi yang satu berhubungan dengan kontradiksi lainnya. Dalam hal ini

Kelas Proletariat tidak hanya berkontradiksi dengan imperialisme, namun juga

dengan feodalisme sebagai penopang utamanya. Begitu pula kaum tani, yang

tidak hanya berkontradiksi dengan feodalisme di pedesaan, namun pada

imperialisme pula yang terus melakukan perampasan tanah. Kerumitan

kontradiksi ini perlu dijabarkan secara komprehensif dan sistematis dengan

memahami setiap segi kontradiksinya. Mao mengatakan bahwa:

“kita tidak saja harus memahami kekhususan kontradiksi ini dalam


keseluruhannya, yaitu dalam kesaling-hubungannya, tapi juga harus
mempelajari semua segi dari kontradiksi-kontradiksi ini. Sebab hanya
dengan demikian baru mungkin memahami keseluruhannya”169.

Penjelasan Mao tersebut senada dengan penjelasan Lenin tentang pentingnya

pemahaman keseluruhan segi kontradiksi. Menurut Lenin:

“untuk sungguh-sungguh mengenal suatu objek, kita harus mencakup,


mempelajari semua seginya, semua hubungan dan perantara. Kita
selamanya tidak akan mencapai ini sepenuhnya, tetapi tuntutan akan
kesemua-segian menghindarkan kita dari kesalahan-kesalahan dan
kekakuan.”170

Pemahaman atas segi-segi kontradiksi khusus dapat memberikan gambaran umum

dari keseluruhan kontradiksi. Gambaran dari keseluruhan kontradiksi ini akan

berujung pada tersingkapnya seluruh kerumitan kontradiksi yang terjadi. Di

tengah kompleksitas kontradiksi ini, Mao menemukan konsepsi yang disebut

169. Ibid, 433.


170. V.I. Lenin, Sekali Lagi Tentang Serikat Buruh, Tentang Situasi Sekarang, dan
Tentang Kesalahan-Kesalahan Trotski dan Bucharin.
162

sebagai “kontradiksi pokok” untuk memandu pemecahan kontradiksi-kontradiksi

yang rumit tersebut.

Kontradiksi pokok berarti kontradiksi yang keberadaan dan

perkembangannya menentukan ataupun mempengaruhi keberadaan dan

perkembangan kontradiksi yang lain. Penemuan atas kontradiksi pokok ini

berfungsi sebagai „benang merah‟ dari seluruh kerumitan kontradiksi yang ada.

Menurut Mao, di antara seluruh kerumitan kekhususan kontradiksi, terdapat

kontradiksi pokok yang keberadaannya memiliki signifikansi terhadap kontradiksi

lainnya (kontradiksi non-pokok).

Dalam memahami kontradiksi pokok, Mao menjelaskan bahwa

kontradiksi pokok adalah kontradiksi yang terutama menjadi dasar bagi

kontradiksi-kontradiksi yang lainnya. Dalam hal ini, Mao menyatakan dengan

contoh:

“Misalnya di dalam masyarakat kapitalis, dua kekuatan yang


berkontradiksi, Proletariat dan Borjuasi, merupakan kontradiksi pokok.
Kontradiksi-kontradiksi lainnya, seperti kontradiksi antras sisa-sisa
kelas feodal dengan borjuasi, kontradiksi antara borjuasi kecil tani
dengan borjuasi, kontradiksi antara proletariat dengan borjuasi kecil
tani, kontradiksi antara kaum kapitalis bukan-monopoli dengan kaum
kapitalis monopoli, kontradiksi antara demokrasi borjuasi dengan
fasisme borjuasi, kontradiksi antara negeri-negeri kapitalis satu dengan
lainnya, kontradiksi antara imperialisme dengan tanah jajahan dan
sebagainya, semua ditentukan atau dipengaruhi oleh kontradiksi pokok
itu.”171

Dalam contoh tersebut, Mao memaparkan bahwa dalam suatu fenomena, akan

lahir satu saja kontradiksi pokok yang memimpin kontradiksi lainnya.

Kontradiksi yang lain adalah bagian lain namun tidak terpisahkan dari kontradiksi

171. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje-Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 443.
163

pokoknya. Dalam kondisi tertentu, kontradiksi pokok dapat berubah. Ketika

kontradiksi pokok dalam suatu masyarakat telah terselesaikan, maka akan muncul

kontradiksi yang tadinya berada pada posisi non-pokok menjadi kontradiksi

pokok yang baru.

Saling hubung antara kontradiksi pokok dan non-pokok juga terdapat

dalam masyarakat Tiongkok. Mao memandang bahwa kontradiksi di Tiongkok

sebagai negeri Setengah Jajahan Setengah Feodal berbeda dengan negeri-negeri

kapitalis. Artinya, Tiongkok memiliki kekhususan kontradiksinya. Mao

menyatakan hal ini secara jelas dalam menganalisis perkembangan kontradiksi

masyarakat Tiongkok sebagai berikut:

“Di negeri-negeri setengah jajahan seperti Tiongkok, hubungan antara


kontradiksi dengan kontradiksi-kontradiksi bukan pokok merupakan
suatu gambaran yang rumit. Ketika imperialisme melancarkan perang
agresi terhadap negeri demikian, berbagai kelas di dalam negeri itu,
kecuali beberapa gelintir pengkhianat bangsa, untuk sementara waktu
dapat bersatu melakukan perang nasional melawan imperialisme. Pada
saat demikian itu, kontradiksi antara imperialisme dengan negeri yang
bersangkutan menjadi kontradiksi pokok, sedangkan semua kontradiksi
di antara berbagai kelas di dalam negeri itu (termasuk apa yang semula
merupakan kontradiksi antara sistem feodal dengan massa rakyat) untuk
sementara turun kedudukannya menjadi yang sekunder, atau yang di
bawahkan.”172

Tiongkok pada zaman Perang Candu 1840, Perang Tiongkok melawan Jepang

1894, Peperangan Boxer 1900, hingga Perjuangan Tiongkok melawan Jepang di

era Mao adalah momentum di mana Tiongkok melakukan perjuangan melawan

penjajahan imperialis. Dalam hal ini, kontradiksi pokok masyarakat Tiongkok

adalah pada keberadaan imperialisme yang menjajah.

172. Ibid, 444.


164

Kekhususan kontradiksi yang rumit dalam masyarakat Setengah Jajahan

Tiongkok terus berkembang dan berubah seiring benturan-benturan kontradiksi di

dalamnya. Hal ini terbukti dari perkembangan penghisapan dan penindasan yang

dilakukan oleh imperialisme. Ketika imperialisme melancarkan perang agresinya

di Tiongkok, seketika itu pula kelas-kelas dan golongan dalam masyarakat

Tiongkok bersatu melawannya. Pergeseran gaya penindasan dari imperialisme

yang tidak menggunakan perang, namun dengan cara penindasan ekonomi,

politik, maupun kebudayaan. Hal inilah yang menjadikan kelas-kelas yang

berkuasa di Tiongkok seperti Borjuasi Besar, Tuan Tanah dan pemerintah dalam

negeri menyerah kepada dominasi imperialisme dan bersekutu dengannya. Dalam

hal ini, Mao menjelaskan mengenai perkembangan kontradiksi pokok yang dapat

berubah sering dengan kontradiksi di dalamnya, sebagai berikut:

“Kelas-kelas yang berkuasa di negeri setengah jajahan itu bisa


menyerah kepada imperialisme, dan keduanya membentuk persekutuan
untuk bersama-sama menindas massa rakyat. Pada saat demikian itu,
massa rakyat sering kali menggunakan perang dalam negeri untuk
melawan persekutuan imperialisme dengan kelas-kelas feodal,
sedangkan imperialisme kerap kali tidak mengambil tindakan langsung,
melainkan memakai cara yang tak langsung untuk membantu kaum
reaksioner di negeri setengah jajahan itu menindas rakyat, dan dengan
demikian kontradiksi dalam neregeri menjadi luar biasa meruncing.
Demikianlah yang terjadi di Tiongkok dala Perang Revolusioner 1911,
Perang Revolusioner 1924-1927, maupun Perang Revolusi Agraria
selama sepuluh tahun sejak tahun 1927.”173

Dalam pandangan Mao mengenai kontradiksi pokok, Mao meletakan

imperialisme pada posisi yang pokok. Oleh karena itu, penghancuran

imperialisme di Tiongkok melalui perjuangan revolusioner adalah jawaban yang

dilahirkan oleh pemikiran Mao.

173. Ibid, 444.


165

Pemikiran Mao tentang pentingnya menganalisis keberadaan

kontradiksi pokok dan non-pokok juga berlaku bagi seluruh aspek kehidupan.

Mao memandang bahwa kontradiksi haruslah mampu dibaca secara

komprehensif. Dalam hal ini, Mao menekankan bahwa pemikirannya tentang

kontradiksi juga memberikan sumbangsih besar untuk membendung pandangan

filsafat Materialisme Mekanik. Upaya untuk membendung padangan

Materialisme Mekanik tentang kontradiksi pokok tidak hanya ditujukan kepada

para pemikirnya, namun kepada kalangan Marxis yang masih terbelenggu dengan

cara berfikir demikian.

Padangan filsafat Materialisme Mekanik kerap terbelenggu pada

pandangan kaku yang menyatakan bahwa segi-segi yang pokok dalam kontradiksi

tidak dapat berubah atau bertukar tempat menjadi non-pokok untuk sementara

waktu. Dalam hal ini, padangan Materialisme Mekanik memandang bahwa dalam

kondisi, situasi, maupun lokasi seperti apapun segi-segi kontradiksi tetaplah sama.

Pandangan yang anti dialektis inilah yang dibantah oleh Mao dengan argumentasi

sebagai berikut:

“Sementara orang mengira bahwa tidak demikian halnya dengan


kontradiksi-kontradiksi tertentu. Misalnya, dalam kontradiksi antara
tenaga-tenaga produktif dengan hubungan produksi, tenaga-tenaga
produktif adalah segi yang pokok; dalam kontradiksi antara teori dan
praktek, praktek adalah segi pokok; dalam kontradiksi antara dasar
ekonomi dengan bangunan-atas, adalah segi yang pokok, dan
kedudukan mereka tidak bertukar. Ini adalah konsepsi Materialis
Mekanis, bukan konsepsi Materialis-Dialektis. Benar, bahwa tenaga-
tenaga produktif, praktek, dan dasar ekonomi pada umumnya
memainkan peranan yang pokok dan yang menentukan, barangsiapa
yang tidak mengakui ini, ia bukanlah seorang Materialis. Tetapi
haruslah diakui pula bahwa dalam syarat-syarat tertentu, segi-segi
166

seperti hubungan produksi, teori, dan bangunan-atas pada gilirannya


memaninkan peranan yang pokok dan yang menentukan.”174

Dari penjabaran terbut, jelas bahwa Mao ingin menekankan bahwa pada kondisi

tertentu, kondisi yang khusus dari umumnya suatu kondisi, segi-segi pokok

kontradiski dapat berubah dan bertukar. Perubahan tersebut tidak lain

dikarenakan hukum dialektika dalam kontradiksi. Hal ini senada dengan

penekanan Lenin atas pentingnya teori yang revolsioner. Tanpa teori

revolusioner, tidak mungkin ada gerakan revolusioner. Pandangan Lenin tersebut

menekankan bahwa dalam hal tertentu, di mana rakyat masih belum memahami

betul peranannya dalam revolusi sehingga segi pokok yang harus segera

diselesaikan adalah memberikan pemahaman melalui teori-teori revolusioner.

Dengan demikian, Mao kembali menekankan bahwa pandangan diluar hal ini

adalah pandangan yang Mekanis dan sudah pasti menyimpang dari Marxisme-

Leninisme.

Proses memahami dan menentukan dengan tepat kekhususan

kontradiksi, kontradiksi pokok dan non-pokok adalah mutlak diperlukan untuk

menganalsis permasalahan rakyat Tiongkok. Tanpa menemukan kekhususan

kontradiksi dan pokok serta non-pokoknya kontradiksi maka tidak akan pula

ditemukan cara pemecahan yang tepat. Dalam hal ini, menjadi penting bagi

gerakan revolusioner untuk mempelajari kekhususan kontradiksi Tiongkok dan

menemukan mana yang pokok dan non-pokok dalam kontradiksinya. Hal ini

berguna untuk menentukan karakter dari perjuangan revolusioner Tiongkok

sebagai bentuk pemecahan atas kontradiksi pokoknya.

174. Ibid, 450.


167

Dalam pemikiran tentang kontradiksinya, Mao juga menegaskan

adanya pertalian dan hubungan antara segi-segi kontradiksi. Dalam segala aspek,

keberadaan suatu segi kontradiksi menjadikan pula adanya segi yang lain dari

kontradiksi tersebut. Keberadaan imperialisme di negeri Tiongkok kemudian

menjadiakan adanya status baru berupa negeri jajahan maupun setengah jajahan di

Tiongkok. Kelahiran kelas Borjuasi dengan demikian melahirkan pula Kelas

Proletariat. Kedua contoh tersebut menjelaskan bahwa terdapat pertalian yang

erat antara segi-segi kontradiksi.

Pertalian erat dan saling berhubungannya antara segi kontradiksi inilah

yang membuat segi-segi kontradiksi memiliki kesamaan. Selain itu, kesamaan

antara segi kontradiksi juga terlihat dari bagaimana segi-segi kontradiksi dalam

suatu hal melalui syarat tertentu dapat bertukar tempat. Sebagai contohnya,

Koumintang merupakan partai yang memiliki peranan positif dalam melawan

imperialisme Jepang pada perang revolusi 1911, namun karena watak kelasnya

yang inheren dan desakan serta bujukan dari imperialisme, sejak tahun 1927

Komumintang beralih menjadi kaki tangannya imperialisme yang kontra

revolusioner. Begitu pula dengan kedudukan proletariat di Uni Soviet yang

semula menjadi kelas yang diperintah, karena pecahnya Revolusi Oktober 1917

menjadi kelas yang memerintah.

Mao kembali menegaskan bahwa segi-segi kontradiksi yang memiliki

kesamaan dan saling hubung tersebut untuk menuju perubahan adalah hal relatif.

Mao menekankan aspek penting dalam segi-segi kontradiksi, yaitu perjuangan

antar segi-segi kontradiksi. Perjuangan yang dimaksud adalah upaya dari segi-
168

segi kontradiksi untuk menyelesaikan kontradiksinya dengan menghilangkan segi

lainnya. Perjuangan antar segi kontradiksi ini merupakan aspek yang mutlak

dalam hukum kontradiksi. Dalam hal ini Mao menjelaskan:

“karena kesamaan segi-segi kontradiksi hanya terjadi dalam syarat-


syarat tertentu, maka kita katakan bahwa kesamaan adalah bersyarat
dan relatif. Di samping itu kita katakan pula, bahwa perjuangan antara
segi-segi kontradiksi berlangsung sepanjang proses dari awal sampai
akhir dan menyebabkan perubahan dari proses yang satu menjadi proses
yang lain, bahwa perjuangan segi-segi kontradiksi ada di mana-mana,
dan bahwa karena itu perjuangan segi-segi kontradiksi adalah tak
bersyarat dan mutlak.”175

Dalam hal ini Mao menekankan aspek perjuangan adalah hal yang paling utama

dalam perubahan kontradiksi dalam suatu hal. Perjuangan segi-segi kontradiksi

juga terdapat pada kontradiksi dalam masyarakat berkelas. Dalam masyarakat

berkelas, meruncingnya perjuangan segi-segi kontradiksi inilah yang melahirkan

antagonisme dalam kontradiksi.

Antagonisme adalah bagian dari perjuangan segi-segi kontradiksi.

Dalam mayarakat yang teradapt kelas-kelas, antagonisme di antara mereka adalah

manifestasi khusus dari kontradiksinya. Mao memandang bahwa kontradiksi pada

syarat-syarat tertentu akan menunjukan kedudukan yang antagonis. Dalam hal

ini, antagonisme kelas di masyarakat perbudakan, feodalisme, dan era

imperialisme pada tahapan tertentu akan melahirkan kontradiksi yang

antagonistik, yang merupakan cikal-bakal revolusi.

Antagonisme dalam kontradiksi harus selalu menjadi perhatian bagi

perjuangan revolusioner. Dalam masyarakat berkelas, kontradiksi antara kelas

penghisap dan yang terhisap menjadikannya antagonis. Oleh karenanya,

175. Ibid, 459.


169

kontradiksi tersebut hanya dapat terselesaikan jika salah satunya dapat

dimusnahkan. Dalam aspek kontradiksi kelas yang antagonis ini Mao

menyatakan dengan contoh sebagai berikut:

“Di bidang ekonomi, kontradiksi antara kota dengan desa termasuk


kontradiksi yang antagonistik baik di dalam masyarakat kapitalis (di
mana kota yang dikuasai oleh borjuasi dengan kejamnya merampok
desa) maupun di daerah-daerah kekuasaan Koumintang di Tiongkok (di
mana kota yang dikuasai oleh imperialisme asing dan borojuasi
komprador besar Tiongkok dengan sangat biadabnya merampok desa).
Tetapi di negeri sosialis dan di daerah-daerah basis revolusi, kontradiksi
yang antagonistik ini telah berubah menjadi kontradiksi yang non-
antagonis, dan kontradiksi ini akan lenyap apabila masyarakat komunis
telah tercapai.”176

Hal ini membuktikan bahwa kontradiksi dan antagonisme adalah sesuatu yang

berbeda namun berhubungan. Dalam masyarakat, kontradiksi yang bersifat

antagonisme pasti akan lenyap seiring dengan perjuangan yang dilakukan oleh

segi-segi kontradiksi. Dalam hal ini, Mao senada dengan apa yang diutarakan

oleh Lenin mengenai kedudukan antagonisme dalam perjuangan kontradiksi.

Lenin menjelaskan bahwa antagonisme dan kontradiksi sama sekali berlainan. Di

dalam sosialisme, antagonisme akan lenyap, sementara kontradiksi akan tetap ada.

Lenin menjelaskan bahwa antagonisme antara kelas penghisap dan yang terhisap

aan lenyap, namun tidak demikian dengan kontradiksi antara mereka yang terus

akan bergesekan sampai kelas borjuasi bisa sepenuhnya dihancurkan.

Dalam pemikirannya tentang kontradiksi dan seluruh aspek yang ada di

dalamnya, Mao menegaskan bahwa pemahaman atas filsafat Materialisme

Dialektika adalah penting. Mao melalui pemikirannya tentang kontradiksi

berusaha untuk menyabarkan dengan tepat prinsip-prinsip yang terkandung dalam

176. Ibid, 462.


170

Materialisme Dialektika. Dalam hal ini, kontradiksi adalah bekal untuk

melakukan serentetan analisis mengenai kondisi dan perkembangan masyarakat di

Tiongkok. Selain itu, pemikiran ini juga bertujuan untu tetap melindungi

Marxisme-Leninisme dari pandanga-pandangan metafisis, mekanik, maupun

dogmatis. Dengan demikian pemikiran Mao tentang kontradiksi pada puncaknya

dapat menjadi senjata untuk melancarkan revolusi rakyat Tiongkok.

5.2.3 Pemikiran Mao Tse Tung Tentang Demokrasi Baru: Arah Perubahan

Politik, Ekonomi dan Budaya dalam Revolusi di Tiongkok

Pemikiran dan analisis Mao mengenai kelas-kelas di Tiongkok telah

berhasil memetakan kekuatan antara yang revolusioner dengan kontra

revolusioner. Pemetaan kepentingan kelas-kelas tersebut juga menunjukan bahwa

perkembangan sejarah masyrakat Tiongkok tidaklah sama dengan negeri-negeri

maju di Eropa dan Amerika yang telah mencapai tahap kapitalisme. Kelas-kelas

yang begitu banyak di Tingkok menjadikan Mao mendapatkan landasan pijak

untuk melahirkan serentetan pemikiran lainnya. Pemikiran-pemikiran Mao pasca

analisis kelas tersebut terutama bertujuan untuk menjawab kebutuhan akan

revolusi rakyat Tiongkok. Salah satu yang menjadi penting adalah pemikiran

Mao tentang Demokrasi Baru.

Demokrasi Baru adalah sebuah gagasan yang meliputi aspek ekonomi,

politik, dan kebudayaan. Demokrasi Baru artinya adalah perubahan seluruh aspek

ekonomi, politik, dan kebudayaan di Tiongkok menjadi baru. Konsep “baru”


171

yang dimaksud adalah bentuk negasi dari demokrasi tipe lama yang

dikembangkan oleh feodalisme zaman kerajaan dan imperialisme di era kolonial.

Dalam hal ini, Mao memandang bahwa akibat dari dominasi imperialisme dan

feodalisme secara bersamaan di Tiongkok, menjadikan Tiongkok sebagai negeri

yang beralaskan sistem sosial yang “lama”. Dengan kata lain, Mao memandang

dominasi imperialisme dan feodalisme di Tiongkok terus menjaga pola demokrasi

tipe lama. Dalam memulai pandangan tentang Demokrasi Baru, Mao memulainya

dengan analisis sejarah sebagai berikut:

“Sejak Dinasti Tjou dan Dinasti Tjhin masyarakat Tiongkok adalah


masyarakat feodal, politiknya politik feodal, ekonominya ekonomi
feodal, dan kebudayaan yang berkuasa sebagai cerminan dari
politik dan ekonominya merupakan kebudayaan feodal.”177

Dalam hal ini, Mao memperlihatkan bahwa dominasi politik, ekonomi,

dan kebudayaan saat zaman dinasti-dinasti di Tiongkok adalah feodal. Tidak

hanya sampai disitu, Mao kemudian mengkaitkan bahwa telah terjadi kolaborasi

penindasan saat era agresi imperialisme ke Tiongkok. Sistem politik, ekonomi,

dan kebudayaan tidak lagi menjadi murni feodal, namun sudah bergeser menjadi

setengah jajahan setengah feodal. Seperti yang dikatakan oleh Mao:

“Sejak kapitalisme asing mengagresi Tiongkok, di dalam masyarakat


Tiongkok berangsur-angsur tumbuh pula unsur-unsur kapitalis.
Tiongkok pun berangsur-angsur berubah menjadi masyarakat Setengah
Jajahan Setengah Feodal. Di Tiongkok saat ini adalah daerah
pendudukan Jepang yang menjadikannya Setengah Jajahan. Sementara
di wilayah kekuasaan Jepang dan wilayah Koumintang, yang
berdominasi adalah sistem feodal, atau setengah feodal. Demikianlah
watak masyarakat Tiongkok dewasa ini, dan demikianlah keadaan
Tiongkok dewasa ini. Sebagai sesuatu yang berkuasa, politiknya adalah
politik setengah jajahan setengah feodal, ekonominya ekonomi
setengah jajahan setengah feodal, dan kebudayaan yang mencerminkan

177. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid II, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951), 442.
172

politik dan ekonominya adalah kebudayaan setengah jajahan setengah


feodal.”178

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemikiran Mao tentang Demokrasi

Baru ditujukan untuk merespon dan menegasikan penerapan sistem politik,

ekonomi, dan kebudayaan setengah jajahan setengah feodal, atau Demokrasi

Lama.

Proses pergantian dari Demokrasi Lama menuju Demokrasi baru adalah

proses yang beriringan dengan revolusi rakyat Tiongkok. Sistem politik,

ekonomi, dan kebudayaan „lama‟ di Tiongkok akan menjadi sasaran dari gerakan

revolusioner. Perjuangan kelas di Tiongkok dalam revolusinya akan bersamaan

membangun Demokrasi Baru di atas puing-puing sistem Demokrasi Lama yang

telah dihancurkan.

Dalam aspek politik, politik Demokrasi Baru adalah politiknya kelas-

kelas yang tegabung dalam kekuatan revolusioner. Proses pembangunan politik

„baru‟ dimulai dari pergeseran kekuatan pokok dan pemimpin dalam keseluruhan

perjuangan kelas di Tiongkok. Sebelum pecahnya Gerakan 4 Mei 1919 dan

sebelum kemenangan Revolusi Sosialis di Uni Soviet tahun 1917, perjuangan dan

rentetan revolusi Tiongkok masih dipimpin oleh kolaborasi antara Borjuasi

Nasional dan Borjuasi Kecil. Kelas Proletariat dan Kaum Tani Tiongkok belum

menunjukan kepeloporan politiknya sebagai kelas mayoritas di Tiongkok yang

akan memimpin gerakan revolusi. Dalam hal ini, yang menjadi contoh terbaik

adalah revolusi borjuasi tahun 1911 yang menumbangkan sistem kekaisaran dan

dinasti di Tiongkok.

178. Ibid, 443.


173

Pasca Gerakan 4 Mei 1919, kepemimpinan politik dalam perjuangan

revolusioner rakyat Tiongkok jatuh dari Borjuasi Nasional dan Borjuasi Kecil

kepada Kelas Proletariat dengan sekutu terdekatnya yaitu Borjuasi Kecil,

khususnya Kaum Tani Tiongkok. Dalam hal ini, kepemimpinan politik dari Kelas

Proletariat lahir karena terus meruncingnya kontradiksi dengan imperialisme dan

dorongan kuat dari momentum Revolusi Oktober 1917 di Uni Soviet. Kelas

Proletariat yang terpimpin oleh Partai Komunis Tiongkok adalah yang pertama

kali membuat seruan untuk “Hancurkan Imperialisme!”.179 Dalam upaya

membangun suatu kekuatan politik dan kepemimpinan politik yang baru di

Tiongkok, Mao menegaskan:

“Karena itu, Kelas Proletariat, Kaum Tani, Kaum Intelektuil dan


golongan-golongan Borjuasi Kecil lainnya di Tiongkok biar
bagaimanapun juga merupakan kekuatan dasar yang menentukan nasib
Tiongkok. Kelas-kelas ini ada yang sudah sadar dan sedang sadar,
sudah pasti akan menjadi komponen pokok dalam struktur negara dan
struktur pemerintahan Republik Demokratis Tiongkok, dengan
Proletariat sebagai kekuatan yang memimpin. Republik Demokratis
Tiongkok yang kini akan kita bangun tak bisa lain adalah republik
demokratis di bawah diktator bersama dari semua orang yang anti
imperialisme dan anti feodal dengan dipimpin oleh Proletariat, yaitu
Republik Demokrasi Baru, republik revolusioner yang sejati.”180

Dalam pandangan Mao, Republik Demokrasi Baru berbeda dengan

republik yang lahir di negeri Eropa dan Amerika, juga berlainan dengan republik

yang dibangun oleh Uni Soviet pascarevolusi Oktober 1917. Mao membagi tiga

ragam sistem politik menurut watak kelas yang berkuasa, yaitu 1). Republik

Diktator Borjuasi, 2). Republik Diktator Proletariat, dan 3). Republik Diktator

179. Ibid, 451.


180. Ibid, 453.
174

Bersama dari beberapa kelas revolusioner.181 Perbedaanya terletak pada kelas

yang memimpin dalam republik dan orientasi kepemimpinan kelas tersebut.

Republik Demokrasi Baru berbeda dengan negara-negara republik di Eropa dan

Amerika yang dipimpin oleh kelas Borjuasi yang berorientasi melanggengkan

kekuasaan kelasnya. Tipe republik ini bertujuan untuk terus melakukan

penghisapan dan penindasan kepada rakyat di negerinya maupun rakyat di negeri-

negeri jajahannya. Sementara, Republik Demokrasi Baru di Tiongkok juga

berbeda karakter dengan tipe Republik Diktator Proletariat yang telah

menghancurkan imperialisme dalam bentuk Kekaisaran Tsar dan mendirikan

negeri dan masyarakat Sosialis.

Republik Demokrasi Baru merupakan bentuk politik yang

menyesuaikan dengan kondisi Tiongkok yang setengah jajahan setengah feodal.

Sistem pemerintahan dan komposisi dalam Tiongkok yang diinginkan adalah

seluruh kelas revolusioner yang menentang imperialisme dan feodalisme.

Diktator kelas revolusioner akan terus melikuidasi kekuatan kontra revolusioner.

Hanya dengan kesatuan antara kelas-kelas anti imperialisme di Tiongkoklah

kemenangan menuju berdirinya Republik Demokrasi Baru dapat terwujud. Dalam

hal ini, satu hal penting lagi yang ditekankan oleh Mao adalah berdirinya politik

demokrasi baru bukanlah akhir dari tujuan revolusi, namun akan berlanjut menuju

pendirian suatu republik Diktator Proletariat.

Demokrasi Baru tidak saja harus tegak dalam aspek politik di

Tiongkok, namun harus pula dapat berjalan pada sektor ekonomi Tiongkok.

181. Ibid, 454.


175

Dalam hal ini, sektor ekonomi harus menjadi perhatian, terutama untuk masalah

kesejahteraan. Sektor ekonomi Tiongkok yang selama periode pasca Perang

Dunia I didominasi dan dimonopoli oleh imperialisme dan feodalisme telah

menjadikan ekonomi Tiongkok mengalami keterbelakangan. Dalam hal ini,

keterbelakangan ekonomi Tiongkok terjadi karena imperialisme tidak memiliki

orientasi untuk benar-benar mengembangkan sektor perekonomian Tiongkok

terutama bidang agraria dan industri. Imperialisme hanya menggunakan

Tiongkok dan masyarakatnya untuk menyediakan bahan baku bagi industrinya

dan juga penyedia buruh yang berupah rendah. Hal inilah yang mendasari bahwa

sektro ekonomi Tiongkok harus pula menegasikan sistem yang lama tersebut,

mengubah ekonomi Tiongkok menjadi ekonomi Demokrasi Baru.

Seluruh aspek ekonomi yang menyangkut kepentingan seluruh rakyat

akan diambil alih oleh negara. Mao dalam hal ini memaparkan:

“Perusahaan-perusahaan, baik milik bangsa sendiri maupun milik


bangsa asing, yang bersifat monopoli seperti bank, perusahaan kereta
api, penerbangan dan sebagainya akan diusahakan dan diurus oleh
negara, agar modal swasta tidak dapat menguasai penghidupan rakyat.
Inilah asas pokok pengontrolan modal.”182

Hal ini memperlihatkan bahwa Mao ingin menegaskan imperialisme dan

feodalisme tidak akan diberikan ruang untuk melakukan dominasi dan

monopilinya di Tiongkok. Dalam hal upaya untuk menghapuskan penghisapan

dan sistem feodal di pedesaan, Mao mengarahkan untuk penghancuran monopoli

tanah dan mendistribusikan tanah kepada kaum tani. Lebih lanjut Mao

mengeaskan:

182. Ibid, 457.


176

“Ekonomi Tiongkok sudah pasti harus menempuh jalan „pengontrolan


modal‟ dan „penyamarataan hak milik tanah‟, dan sekali-kali tidak
boleh dimiliki sendiri oleh beberapa gelintir manusia saja. Kita sekali-
kali tidak boleh membiarkan beberapa gelintir kapitalis dan tuan tanah
menguasai penghidupan rakyat. Kita sekali-kali tidak boleh mendirikan
masyarakat kapitalis ala Eropa-Amerika ataupun membiarkan
masyarakat lama setengah feodal berlaku terus.”183

Demikianlah yang dimaksud oleh Mao sebagai pembangunan ekonomi Demokrasi

Baru yang tetap bertalian dengan politik Demokrasi Baru. Ekonomi yang menjadi

tujuan gerakan revolusioner Tiongkok.

Demokrasi Baru merupakan visi besar dari gerakan revolusioner

Tiongkok, tidak hanya membangun politik dan ekonomi yang baru, namun

Demokrasi Baru juga berorientasi membangun kebudayaan baru. Kebudayaan

adalah cerminan dari suatu politik dan ekonomi dalam masyarakat. Dalam hal ini,

Demokrasi Baru merupakan pemikiran Mao yang juga meliputi aspek

kebudayaan. Hal ini dikarenakan kebudayaan memiliki andil besar untuk

mempengaruhi kehidupan rakyat agar suatu bangunan politik dan ekonomi dapat

terus berjalan. Dalam perkembangannya, di Tiongkok kebudayaanya sudah tidak

lagi sepenuhnya feodal. Kedatangan imperialisme di Tiongkok mempengaruhi

secara nyata perubahan dan perkembangan kebudayaan. Saat ini kebudayaan

yang mendominasi di Tiongkok adalah kebudayaan milik imperialis dan feodal.

Kedua kebudayaan ini adalah cerminan dari politik dan ekonomi yang setengah

jajahan setengah feodal di Tiongkok. Perihal persoalan pembangunan Demokrasi

Baru dalam aspek kebudayaan, Mao berpendapat:

183. Ibid, 458.


177

“Kebudayaan imperialis dengan kebudayaan setengah feodal


merupakan dua saudara yang sangat mesra, mereka membentuk
persekutuan reaksioner di bidang kebudayaan untuk melawan
kebudayaan baru Tiongkok. Kebudayaan reaksioner semacam ini
mengabdi pada imperialisme dan kelas feodal, dan harus dihancurkan.
Jika ia tidak dihancurkan, kebudayaan baru apapun tidak akan dapat
dibangun. Tanpa penjebolan tidak akan ada pembangunan, tanpa
pembendungan tidak ada aliran, tanpa diam tidak ada gerak, perjuangan
keduanya itu merupakan perjuangan hidup-mati.”184

Dalam hal kebudayaan, Mao menegaskan bahwa pembangunan kebudayaan baru

berarti penghancuran kebudayaan lama. Kebudayaan imperialis dan feodal akan

digantikan oleh kebudyaan baru yang dipimpin oleh perjuangan kebudayaan

proletariat.

Kebudayaan Demokrasi Baru merupakan kebudayaan yang nasional,

ilmiah, dan berorientasi pada kepentingan massa. Dalam hal ini, kebudayaan baru

Tiongkok merupakan kebudayaan yang anti terhadap hegemoni imperialisme.

Kebudayaan Tiongkok harus mampu menyerap segala unsur kebudayaan

manapun yang mendukung dan menyokong revolusi. Segala macam bentuk dan

nilai kebudayaan luar, baik dari negeri-negeri sosialis maupun kapitalis harus

mampu dipilah-pilah sesuai dengan perkembangan rakyat Tiongkok. Dalam hal

ini, Mao mencontohkannya dengan penyerapan Marxisme di Tiongkok:

“Dalam menerapkan Marxisme di Tiongkok, kaum komunis Tiongkok


harus mengintegrasikan kebenaran universil Marxisme itu dengan
praktek konkret revolusi Tiongkok sepenuh-penuhnya dan pada
tempatnya. Artinya, memadukannya dengan kepribadian nasional dan
menjelmakanya dalam bentuk nasional. Kita sekali-kali tidak boleh
menerapkannya secara subjektif sebagai rumus belaka. Marxis yang
main rumus-rumusan itu tidak bisa lain kecuali bermain-main dengan
Marxisme dan revolusi Tiongkok, dan tidak ada tempat bagi mereka di
dalam barisan revolusi Tiongkok.”185

184. Ibid, 478.


185. Ibid, 493.
178

Dalam kebudayaan baru, karakter kebudayaan adalah ilmiah.

Kebudayaan yang ilmiah merupakan kebudayaan yang akan menghancurkan

semua mitos dan tahayul-tahayul yang membelenggu pikiran rakyat. Kebudayaan

baru menentang segala macam corak berpikir feodal, menggantinya dengan

pencarian kebenaran objektif dan memadukan kesatuan teori-teori dengan praktik.

Dalam hal ini, manifestasi nyata dari pembangunan kebudayaan yang ilmiah

adalah dengan mendorong keterlibatan ilmuan-ilmuan maupun golongan

intelektual Tiongkok yang anti imperialisme dan anti feodalisme.

Perspektif kebudayaan baru yang anti imperialisme dan anti feodalisme

ini merupakan penegasan bahwa kebudayaan baru adalah kebudayaan massa.

Kebudayaan baru Tiongkok merupakan kebudayaanya rakyat Tiongkok.

Kebudayaan baru sudah seharusnya mengabdikan sepenuhnya kepada pekerja

buruh dan tani yang merupakan 90% dari masyarakat Tiongkok yang terhisap dan

tertindas. Dengan demikian, kebudayaan baru merupakan kebudayannya

kekuatan revolusiner Tiongkok. Dalam kaitanya kebudayaan dengan kepentingan

massa, Mao menyebutkan sebagai berikut:

“Kebudayaan revolusioner merupakan senjata revolusi yang ampuh


bagi massa rakyat. sebelum revolusi, kebudayaan revolusioner itu
merupakan persiapan ideologi bagi revolusi. Kebudayaan nasional,
ilmiah, dan untuk massa tak lain adalah kebudayaan massa rakyat yang
anti imperialisme dan anti feodal, kebudayaan Demokrasi Baru,
kebudayaan baru bangsa Tiongkok.”186

Pembangunan Demokrasi Baru di Tiongkok dalam seluruh aspeknya,

politik, ekonomi, dan kebudayaan merupakan bentuk baru yang akan

menggantikan politik, ekonomi, dan kebudayaan lama yang setengah jajahan

186. Ibid, 495.


179

setengah feodal. Perjuangan pembangunan Demokrasi Baru ini merupakan

kepentingan dari seluruh kekuatan revolusioner melawan bentuk lama dari

imperialis dan feodalisme. Dalam hal ini, Mao menekankan bahwa perjuangan

antara yang lama dan yang baru merupakan perjuangan revolusi melawan kontra

revolusi.187 Jadi, perjuangan untuk mewujudkan Demokrasi Baru di Tiongkok

harus melalui sebuah gerakan revolusi yang sesuai dengan kondisi Tiongkok yang

setengah jajahan setengah feodal. Revolusi dalam negara setengah jajahan

setengah feodal adalah Revolusi Dua Tahap.

Dari pemaparan tentang ketiga pemikiran Mao tersebut terlihat jelas

Mao memiliki pemikiran yang tajam dan sistematis. Lebih jauh lagi, ketiga

pemikiran tersebut menunjukan bahwa Mao konsisten dalam perspektif

Marxisme-Leninisme. Gambar 11 (sebelas) memperlihatkan peta pemikiran Mao

tentang analisis kelas, kontradiksi, dan demokrasi baru. analisis kelas merupakan

manifestasi dari prinsip objektif dari Marxisme-Leninisme untuk menentukan

kesimpulan permasalahan dalam masyarakat. Sementara itu, pemikiran tentang

kontradiksi merupakan buah pikir sederhana dari filsafat materialisme dialektika.

Demokrasi baru adalah sebuah pemikiran yang menunjukan tujuan atau aksiologi

dari pemikiran Mao, yaitu membangun masyarakat yang baru atau yang disebut

demokrasi baru.

187. Ibid, 479.


180

GAMBAR 11. Peta Pemikiran Mao Tse Tung tentang Analisis Kelas, Kontradiksi dan Demokrasi Baru
181

Dari berbagai pemikirannya tersebut, dapat disimpulkan bahwa Mao

telah berhasil meramu pemikirannya sebagai seorang Marxis secara dialektis.

Mao mampu memadukan antara teori Marxisme-Leninisme dengan kondisi

konkret masyarakat Tiongkok. Dalam pandangan Mao, pemetaan kelas-kelas

dalam masyarakat adalah kunci untuk mengetahui kontradiksi pokok di dalamnya.

Ketika kunci tersebut terbuka maka perjuangan yang revolusioner akan menuju

pada arah yang tepat untuk mampu menyelesaikan kontradiksi demi kontradiksi

yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, kontradiksi rakyat Tiongkok

dalam menghadapi musuh-musuhnya yaitu, tuan tanah besar, pemerintah boneka,

borjuasi besar dan imperialisme adalah bersifat antagonis. Oleh karena itu,

pemikiran Mao bertujuan untuk mengubah masyarakat Tiongkok yang terhisap

dan tertindas dalam sistem setengah jajahan setengah feodal menjadi masyarakat

tanpa penghisapan dan penindasan. Berbagai pemikiran tersebut yang mendasari

Mao untuk membangun pemikiran dan melaksanakan revolusi dua tahap demi

terbangunnya sosialisme di Tiongkok.


183

BAB VI

PEMIKIRAN POLITIK MAO TSE TUNG TENTANG REVOLUSI DUA

TAHAP UNTUK PEMBANGUNAN SOSIALISME DI TIONGKOK

Pembahasan yang terpapar dalam bab ini merupakan bagian puncak

dari penelitian. Dalam hal ini, seluruh kerangka berpikir yang telah dipaparkan

dan dikupas dalam bab-bab sebelumnya akan disasarkan pada bagian ini. Adapun

permasalahan inti penelitian yang dimaksud adalah pemikiran politik Mao Tse

Tung tentang revolusi dua tahap untuk pembangunan sosialisme di Tiongkok.

Dalam penelitian ini, agar pemahaman mengenai seluruh pembahasan utama ini

dapat tercapai dengan baik, maka peneliti merasa perlu membagi bab ini ke dalam

beberapa bagian kajian, yaitu pemikiran Mao Tse Tung tentang revolusi dua

tahap, dua tahap revolusi mulai dari Revolusi Demokrasi Baru hingga sosialisme,

dan pembangunan sosialisme di Tiongkok.

6.1 Revolusi Dua Tahap dalam Perspektif Pemikiran Mao Tse Tung

Kehadiran imperialisme Jepang di tengah masyarakat yang bercorak

feodal di Tiongkok melahirkan penghisapan dan penindasan yang begitu akut.

Kehadiran imperialisme Jepang tersebut tentunya untuk memperluas kekuasaan

dan dominasinya dalam berbagai aspek, khususnya ekonomi, politik, hingga

kebudayaan. Dalam hal ini, keberadaan imperialisme Jepang di Tiongkok tidak

serta-merta menghancurkan atau menyingkirkan kelas feodal. Tuan-tuan tanah

serta raja-raja perang di Tiongkok kemudian menjadi kolaborator yang


184

menguntungkan bagi imperialisme Jepang. Hal inilah yang mendorong

pergeseran dari Tiongkok yang bercorak feodal menjadi Tiongkok yang terjajah.

Dalam pemikiran Mao, kolaborasi yang dijalin antara imperialisme

Jepang dengan kelas feodal adalah kolaborasi yang saling menguntungkan. Hal

ini karena datang dan berkembanganya imperialis di Tiongkok berbeda dengan

kelahiran kapitalisme di Eropa dan Amerika. Kedatangan dan tujuan

imperialisme Jepang ke Tiongkok terutama sekali adalah penguasaan sumber daya

alam untuk bahan baku industrinya dan eksploitasi tenaga kerja di Tiongkok.

Imperialisme Jepang sama sekali tidak memiliki tujuan untuk menghancurkan

secara keseluruhan kelas-kelas tuan tanah dan raja-raja di Tiongkok. Dalam hal

ini, keberadaan tuan tanah dan raja-raja di Tiongkok menjadi keuntungan

tersendiri bagi imperialisme. Keuntungannya adalah untuk memastikan

mudahnya menguasai tanah-tanah dan menjaga corak feodal yang terbelakang.

Keberadaan imperialisme yang berkolaborasi dengan tuan tanah besar

menjadikan Tiongkok sebagai negeri terjajah. Dalam hal ini Mao memandang,

bahwa perkembangan dari imperialisme Jepang yang berhasil diusir bukan berarti

kekuasaan dari imperialisme di Tiongkok telah berkahir. Imperialisme justru

muncul dengan cara yang baru, dengan topangan penuh dari tuan tanah besar.

Penghisapan dan penindasan yang dilakukan oleh imperialisme Jepang hadir tidak

secara langsung, melainkan menguasai ekonomi, politik hingga kebudayaan.

Dalam aspek ini, Mao memandang bahwa hal itu dapat terjadi karena

pemerintahan borjuis dalam negeri mau menjadi komprador dari imperialisme.

Sehingga menjadikan Tiongkok sebagai negeri setengah jajahan setengah feodal.


185

Dalam pemikiran Mao, karakter Tiongkok yang setengah jajahan

setengah feodal menandakan bahwa perjuangan rakyat Tiongkok harus sesuai

dengan kondisinya. Perjuangan yang digagas Mao berupa revolusi harus lah

memiliki karakter khusus sebagai revolusinya negeri setengah jajahan setengah

feodal. Revolusi di Tiongkok tidak dapat begitu saja meniru pola Revolusi

Sosialis di Uni Soviet. Tidak juga bisa mengikuti pola revolusi borjuasi yang

pernah terjadi di Perancis. Dalam hal ini, Mao memiliki pemikiran politik tentang

sebuah pola revolusi untuk Tiongkok, yaitu revolusi dua tahap.

6.1.1 Revolusi Dua Tahap: Karakter Revolusi di Negeri Setengah Jajahan

Setengah Feodal

Tiongkok merupakan negeri yang memiliki sejarah peradaban panjang.

Berbagai kemajuan budaya dan perkembangan peradabannya sudah sejak lama

dikenal dan mempengaruhi negeri-negeri lain, khususnya di Asia. Dalam hal

perkembangan masyarakat, seperti dengan bangsa di negeri-negeri lainnya,

Tiongkok pernah melalui kehidupan yang bercorak komunal primitif selama

ribuan tahun. Dalam hal ini, Tiongkok juga melewati fase masyarakat berkelas

yaitu perbudakan dan feodalisme.

Lebih dari 3000 tahun masyarakat Tiongkok terbelenggu dalam sistem

feodal. Dalam periode feodalisme ini, berkali-kali rakyat Tiongkok khususnya

kaum tani melakukan perjuangan revolusioner untuk melawan penindasan.

Dalam hal ini, perjuangan revolusioner selama masa feodalisme terus menemui

kegagalan untuk kemenangan kaum tani. Perjuangannya selalu diperalat oleh


186

tuan tanah dan raja-raja untuk mendapatkan kekuasaan, sementara kaum tani

Tiongkok terus terbelenggu dalam penghisapan dan penindasan.

Pada masa panjang feodalisme, masyarakat Tiongkok terbelenggu

dengan berbagai karakter feodal terutama dalam aspek ekonomi dan politik.

Dalam aspek ekonomi, sistem ekonomi feodalisme mencirikan hanya sekedar

untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Dalam hal ini, kaum tani bukan hanya

memproduksi hal pertanian, namun juga menciptakan sebagian besar barang

kerajinan tangan yang diperlukan. Sistem sewa tanah saat itu yang memeras

kaum tani juga dinikmati sendiri oleh tuan tanah dan bangsawan. Pada masa itu,

meskipun sudah terdapat corak pertukaran namun belum menjadi corak yang

dominan di Tiongkok. Sementara, yang menguasai sebagian besar tanah adalah

tuan tanah, bangsawan, dan kaisar. Dalam hal ini, penguasaan dan monopoli

tanah menyebabkan kaum tani Tiongkok hanya memiliki tanah yang kecil, bahkan

banyak yang tidak memiliki tanah. Penderitaan kaum tani akibat penguasaan

tanah tersebut dijabarkan oleh Mao sebagai berikut:

“Kaum tani menggarap tanah tuan tanah, bangsawan dan keluarga


kaisar dengan perkakas kerjanya sendiri, dan menyerahkan 40%, 50%,
60%, 70%, bahkan 80% lebih dari hasilnya untuk dinikmati tuan tanah,
bangsawan, dan keluarga kaisar. Kaum tani yang demikian sebenarnya
masih merupakan hamba”188

Pada kenyataanya, kaum tani Tiongkok tidak hanya diperas oleh tuan tanah,

bangsawan dan keluarga kaisar, namun juga dilakukan oleh negara kerajaan.

Negara kerajaan merupakan negara yang dipimpin oleh kaisar yang

membawahi kerajaan-kerajaan kecil lainnya. Dalam kekuasaanya, negara

188. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid II, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 394.
187

kerajaan ini didominasi oleh kelas tuan tanah dan sebagian bangsawan. Kaum

tani dipaksa oleh negara kerajaan untuk menyetorkan upeti, membayar pajak,

hingga kerja paksa untuk memenuhi kebutuhan aparatur negaranya. Di sinilah

aspek politik dari penindasan feodal berjalan.

Dalam aspek politik, kekuasaan feodal di Tiongkok telah terkonsentrasi

pada masa Dinasti Qin. Pada masa tersebut kekuasaan tertinggi ada di tangan

kaisar. Dalam aspek ini, Mao menjelaskan bahwa:

“Di dalam negara feodal, kaisar memegang kekuasaan mahatinggi. Ia


menempatkan pejabat-pejabat di berbagai daerah untuk menagtur
urusan ketentaraan, kehakiman, keuangan, bahan makanan dan lain-
lain, serta bersandar pada tuan tanah dan kaum ningrat sebagai dasar
seluruh kekuasaan feodal.”189

Dalam melancarkan penghisapan ekonomi dan penindasan politik, kelas tuan

tanah dapat melakukan berbagai tindak kekerasan untuk memaksakan kepatuah

dari kaum tani. Semua inilah yang menyebabkan mayoritas rakyat Tiongkok

hidup dalam belenggu kemelaratan. Dalam hal ini, pada masa feodalisme di

Tiongkok, kontradiksi antara kelas penindas dengan yang tertindas semakin

meruncing.

Seperti pada hukumnya, kontradiksi merupakan bagian integral dan

universal dari setiap materi termasuk masyarakat Tiongkok. Pada masa

feodalisme di Tiongkok dengan berbagai ragam kontradiksinya, tetap terdapat

satu kontradiksi pokok. Kontradiksi pokok saat itu adalah antara kelas tuan tanah

dengan kaum tani yang merupakan mayoritas masyarakat Tiongkok. Dalam hal

ini, kontradiksi pokok tersebut tidak hanya bersyaratkan mayoritas dan minoritas

189. Ibid, 395


188

secara kuantitas, namun juga karakternya yang antagonisme. Kontradiksi antara

kelas tuan tanah dan kaum tani berkarakter antagonistik. Karakter antagonistik ini

dapat terlihat dari benturan kepentingan dan orientasi dari kedua segi kontradiksi

tersebut. Kelas tuan tanah menghendaki terus berlanjutnya penguasaan dan

monopolinya terhadap tanah dan memperhamba kaum tani, sementara kaum tani

Tiongkok memiliki kepentingan untuk mendapatkan tanah dan bekerja secara

merdeka. Kedua hal dari segi-segi kontradiksi tersebutlah yang melahirkan

karakter kontradiksi yang antagonistik.

Antagonisme kelas antara kaum tani dan tuan tanah yang melahirkan

berbagai pemberontakan dan gerakan revolusioner kaum tani. Sejarah panjang

penindasan feodalisme di Tiongkok juga beriringan dengan sejarah panjang

perjuangan revolusioner kaum tani. Mao mencatat beberapa pemberontakan

sebagai berikut:

“Pemberontakan yang besar dan kecil berjumlah ratusan kali. Mulai


dari pemberontakan-pemberontakan Tjhen Sheng, Wu Kuang, Siang Ju
dan Liu Pang pada zaman Dinasti Qin, kemudian pemberontakan kaum
Sinshe, kaum Phinglin, kaum Tjhemei, kaum Thungma dan kaum
Huangjin pada zaman Dinasti Han. Pemberontakan Li Mi dan Tou
Tjien pada zaman Dinasti Sui. Pemberontakan Wang Sien Tje dan
Huang Tjhao pada zaman Dinasti Thang, pemberontakan-
pemberontakan Sung Tjiang dan Fang La pada zaman Dinasti Sung.
Pemberontakan Tju Juen Tjang pada zaman Dinasti Juen,
pemberontakan Li Tje-tjheng pada zaman Dinasti Ming, sampai pada
Perang Kerajaan Surga Thaiphing pada zaman Dinasti Qing.”190

Semua pemberontakan yang pernah hadir di Tiongkok adalah pemberontakan

yang revolusioner dari kaum tani. Kaum tani selalu menjadi tenaga penggerak

utama dalam setiap zaman dan pemberontakannya. Artinya, kaum tani Tiongkok

190. Ibid, 396


189

sesungguhnya telah memiliki watak yang revolusioner akibat tempaan sejarah

perjuangan kelas yang panjang.

Perjuangan kelas yang dilancarkan oleh kaum tani Tiongkok selama

masa dinasti pada kenyataanya belum mampu mencapai kemenangan. Dalam hal

ini, pemberontakan revolusioner yang dilakukan kaum tani Tiongkok belum

mampu benar-benar menghapuskan penghisapan dan penindasan sistem feodal.

Dalam pemikiran Mao, terdapat dua faktor utama kegagalan perjuangan

revolusioner kaum tani Tiongkok. Faktor pertama adalah belum adanya teori

Marxisme-Leninisme yang mampu menjadi pedoman untuk melakukan aksi-aksi

revolusioner dengan tepat. Faktor kedua adalah belum lahirnya kepemimpinan

dari proletariat dan Partai Komunis yang menjadi senjata utama untuk

melancarkan perjuangan revolusioner. Dengan demikian walaupun gerakan

rakyat sedikit sudah mencapai kemajuan dari setiap perjuangan revolusioner yang

dilakukan, namun hubungan produksi feodal beserta sistem politiknya tetap

berdiri dan dominan di Tiongkok.

Kekuasaan struktur ekonomi dan politik feodalisme mencapai akhir

kekuasaanya pada saat pecahnya Perang Candu 1840. Saat itu Tiongkok beralih

menjadi masyarakat jajahan, setengah jajahan setengah feodal. Artinya, peralihan

besar dan masif baru terjadi pada pertengahan Abad ke 19 yang pada praktiknya

disebabkan oleh dua faktor. Pertama, adalah perubahan dengan adanya

pergeseran pola dan hubungan produksi dalam masyarakat Tiongkok. Corak

perekonomian yang semula secara sederhana untuk memenuhi kebutuhan mulai

digantikan oleh ekonomi jual beli hasil produksi. Hal inilah yang merupakan
190

faktor utama, karena tanpa adanya pengaruh kapitalisme asing Tiongkok akan

tetap menuju fase kapitalisme. Faktor kedua, ialah peran pendorong percepatan

lahirnya kapitalisme yang dilakukan oleh kapitalisme asing melalui agresi.

Penghancuran corak ekonomi feodal bertujuan untuk membuka pasar

secara luas bagi barang dagangan milik industri kapitalis dan menjadikan kaum

tani sebagai tenaga kerjanya. Dalam perkembangannya, kapitalisme berkembang

pesat seiring dengan sejumlah besar tuan tanah, pedagang besar, birokrat negara

mulai menanamkan modalnya pada industri modern. Dalam hal ini Mao

memandang bahwa hal-hal tersebutlah yang menjadikan lahirnya kelas baru dalam

masyarakat Tiongkok, yaitu kelas borjuasi nasional dan proletariat. Borjuasi

Tiongkok berasal dari kelas dan golongan tuan tanah, pedagang dan birokrat

negara. Sedangkan proletariat Tiongkok adalah bentuk perubahan dari kaum tani

dan pekerja kerajinan kecil yang tidak lagi memiliki alat produksi yang cukup.

Dalam aspek kemunculan kelas borjuasi dan proletariat Tiongkok Mao menulis

sebagai berikut:

“pada akhir Abad ke 19 dan awal Abad ke 20, yaitu 40 tahun yang lalu,
kapitalisme Tiongkok mulai berkembang. Dan 20 tahun yang lalu, yaitu
masa perang dunia imperialis yang pertama, industri nasional
Tiongkok, terutama industri tepung terigu dan tekstil, mengalami
perkembangan yang lebih lanjut, sebab negeri-negeri imperialis Eropa
dan Amerika sedang sibuk dengan peperangan itu sehingga untuk
sementara waktu mengendorkan tekanannya terhadap Tiongkok.”191

Dalam hal ini, terlihat jelas bahwa kedua kelas baru ini adalah „anak kembar‟

yang dilahirkan oleh zaman feodalisme. Borjuasi dan proletariat merupakan kelas

191. Ibid, 398


191

yang saling berhubungan sebagai segi-segi kontradiksi, sekaligus di sisi lain

saling bertentangan.

Perkembangan kelas borjuasi dan proletariat Tiongkok tidak berjalan

dan berkembang pesat seperti yang terjadi di negeri-negeri imperialis Eropa dan

Amerika. Perkembangan kapitalisme dalam negeri Tiongkok justru ditekan oleh

kepentingan imperialis yang bersekongkol dengan feodalisme. Tujuan utama dari

agresi imperialisme di Tiongkok adalah menjadikan Tiongkok sebagai wilayah

jajahannya secara langsung maupun tidak. Imperialisme membangun industri-

industri modern secara langsung di Tiongkok. Pabrik-pabrik didirikan dengan

bekerja sama dengan kelas feodal dan birokrat. Borjuasi dalam negeri hanya

diberikan kebebasan dalam mengembangkan perusahaanya pada batas-batas

tertentu. Borjuasi nasional ditekan untuk terus ketergantungan baik dalam modal

maupun pemenuhan kebutuhan industrinya pada imperialis. Hal ini menyebabkan

mayoritas borjuasi nasional dan proletariat Tiongkok mengalami kemandekan

dalam perkembangannya. Borjuasi nasional Tiongkok kemudian bertransformasi

menjadi borjuasi komprador yang selalu bertalian dan bekerjasama dengan

imperialis.

Perkembangan kekuasaan negara-negara imperialis di Tiongkok

menggunakan pola agresinya secara ekonomi, politik, militer hingga kebudayaan.

Pertama kali imperialis datang ke Tiongkok adalah dengan cara agresi dan perang.

Negara-negara imperialis berkali-kali melancarkan perang, misalnya Perang

Candu pada 1840 oleh Inggris, perang tahun 1857 oleh gabungan tentara Inggris

dan Perancis, Perang Tiongkok-Perancis 1884, Perang Tiongkok-Jepang 1894,


192

dan perang tahun 1900 oleh tentara gabungan delapan negara imperialis. Rentetan

peperangan inilah yang membukakan jalan bagi imperialis yang unggul dalam

segala aspek kemiliteran untuk mengalahkan kerajaan besar Tiongkok. Mao

menilai bahwa setelah mengalahkan dan menundukan Tiongkok melalui agresi

militernya, imperialis terus melakukan penghisapan dan penindasan secara

ekonomi, politik dan kebudayaan.

Negara-negara imperialis memaksa Tiongkok menandatangani banyak

perjanjian, memperoleh hak untuk menduduki dan membagi wilayah-wilayah

Tiongkok. Berbagai pelabuhan strategis dikuasai sepenuhnya oleh imperialis,

sehingga kontrol distribusi dan jalur perdagangan dimonopoli oleh negara-negara

imperialis. Secara langsung imperialis juga menjadikan Tiongkok sebagai

wilayah pembangunan industri ringan hingga berat. Hal ini ditujukan untuk

menggunakan secara lansung bahan mentah dan tenaga kerja yang murah. Dalam

aspek ini, monopoli industri yangg dilakukan menyebabkan perkembangan

industri nasional Tiongkok mengalami Stagnasi. Stagnasi perkembangan industri

nasional Tiongkok menyebabkan terganggunya aspek perekonomiannya. Hal ini

diperparah dengan pola monopoli perbankan dan sirkulasi modal.

Imperialisme membuka bank-bank baru di Tiongkok dan memberikan

pinjaman berupa hutang luar negeri kepada pemerintah maupun borjuasi

komprador. Hal inilah yang mengikat pemerintah maupun borjuasi Tiongkok

pada kepentingan dari imperialis. Dengan melakukan penindasan yang demikian

imperialis terus melahirkan banyak golongan-golongan kompradornya di

Tiongkok. Dalam hal ini, Mao berpandangan bahwa dengan skema yang
193

demikian itulah penghisapan dan penindasan yang dialami oleh rakyat Tiongkok

menjadi berlipat ganda. Mao memandang bahwa peranan aktif untuk menindas

rakyat juga dilakukan oleh tuan-tuan tanah, borjuasi besar, dan pemerintah dalam

negeri demi kepentingannya masing-masing dan menjaga kepentingan

imperialisme. Tidak sampai di aspek ekonomi saja, Mao juga menganggap bahwa

untuk terus menjaga dominasinya, imperialisme bersama dengan kelas dan

golongan pendukungnya juga menggunakan kebudayaan.

Kebudayaan merupakan aspek yang mampu untuk meracuni dan

membangun pola berpikir masyarakat. Dalam hal ini, imperialisme tidak sama

sekali diam, mereka menggunakan reduksi-reduksi ajaran agama, pembukaan

sekolah dan perguruan tinggi untuk menyebarkan ilmu pengetahuan yang

melegitimasinya, hingga penerbitan media-media propagandanya. Tujuan utama

dari hal tersebut adalah membentuk pola kebudayaan baru yang berkarakter

imperialis dan melahirkan intelektual yang siap menjaga kepentingannya. Hal

inilah yang dimaksud oleh Mao sebagai alat untuk memperdaya rakyat Tiongkok

secara luas.

Kehadiran imperialisme yang melakukan agresi secara ekonomi,

politik, militer dan budaya di Tiongkok, menjadikan Tiongkok sebagai negeri

setengah jajahan setengah feodal. Kekuasaan ekonomi beralih dari tangan tuan

tanah secara monopoli ke tangan imperialisme, borjuasi besar dalam negeri, tuan

tanah besar dan negara. Negara-negara imperialis, khususnya Jepang melakukan

monopoli segala sektor ekonomi Tiongkok. Di ranah politik, kekuasaan kaisar

yang mutlak telah dihancurkan. Kekuasaan politik beralih pada kediktatoran


194

bersama dari tuan tanah besar, borjuasi besar komprador, dan kapitalis birokrat

yang semuanya adalah perpanjangan tangan dari imperialisme. Dengan demikian

Tiongkok secara mutlak berubah dari negara feodal menjadi negara setengah

jajahan setengah feodal.

Tiongkok yang setengah jajahan setengah feodal terutama sekali karena

kekuatan imperialisme, khususnya Jepang berkolaborasi dengan feodalisme

Tiongkok yang diwakili oleh tuan tanah besar. Hal ini melahirkan kontradiksi

dalam masyarakat Tiongkok. Dalam hal ini, Mao memandang bahwa kontradiksi

utama atau pokok di dalamnya adalah kontradiksi antara imperialisme dan

feodalisme dengan rakyat tertindas di Tiongkok. Selain hal itu, misalnya

kontradiksi antara borjuasi dengan proletariat, antara sesama tuan tanah maupun

sesama borjuasi besar adalah kontradiksi yang non pokok. Kontradiksi pokok

tersebut menjadi terus meruncing dan menjadikan syarat utama lahirnya gerakan

revolusioner. Revolusi Tiongkok akan lahir di atas dasar kontradiksi pokok

tersebut.

Lahirnya gerakan revolusioner tentunya tidak dapat terlepas dari

kondisi internal suatu negara. Dalam hal ini, Tiongkok yang memiliki corak

setengah jajahan setengah feodal juga memiliki karakter revolusinya sendiri.

Dalam memandang revolusi, Mao menjelaskan pentingnya untuk menjawab

beberapa pertanyaan untuk menjelaskan mengenai revolusi Tiongkok. Beberapa

pertanyaannya adalah siapakah yang menjadi sasaran revolusi? Apakah tugas-

tugas Revolusi Tiongkok? Siapa saja yang menjadi tenaga penggerak revolusi?
195

Bagaimana watak revolusi Tiongkok? Dan apa perspektif dari revolusi

Tiongkok?.

Sasaran dari sebuah gerakan revolusioner adalah hal yang penting untuk

menentukan karakter dari sebuah revolusi. Dalam menentukan sasaran revolusi,

pertama kali harus tepat dalam meletakan analisis masyarakatnya. Karakter

masyarakat Tiongkok yang setengah jajahan setengah feodal menjadikan revolusi

di Tiongkok memiliki karakternya sendiri.

Sistem sosial masyarakat Tiongkok yang setengah jajahan setengah

feodal memposisikan imperialisme dan feodalisme sebagai aktor utama yang

melakukan penghisapan dan penindasan terhadap rakyat. Dalam hal ini, Mao

menyatakan bahwa imperialisme dan feodalisme yang berisikan borjuasi-borjuasi

dari negeri imperialis dan tuan-tuan tanah dalam negeri adalah kekuatan pokok

yang menekan dan merintangi perkembangan masyarakat Tiongkok.192

Keduanya berkolaborasi untuk menindas rakyat Tiongkok. Dalam menjalankan

kerja penghisapan dan penindasannya, imperialisme dan feodalisme di Tiongkok

juga melahirkan golongan-golongan komprador yang dipimpin oleh pemerintahan

dalam negeri yang disebut oleh Mao sebagai kaum reaksioner.

Perkembangan penindasan yang terjadi di Tiongkok beralih drastis

pasca meletusnya Perang Dunia I. Perang Dunia I membuat negeri-negeri

imperialis khususnya Eropa dan Amerika disibukan oleh konstelasi peperangan.

Hal ini dimanfaatkan oleh imperialis Jepang untuk memperluas kekuasaanya di

Tiongkok. Jalan yang ditempuh oleh Jepang adalah dengan cara melakukan

192. Ibid, 405


196

agresi besar-besaran. Tujuan utama dari agresi Jepang adalah untuk menjadikan

Tiongkok sebagai negeri yang murni terjajah. Dalam hal ini, Mao menegaskan

bahwa dengan bergesernya penguasaan negeri-negeri imperialis di Tiongkok pada

kekuatan utama imperialis Jepang, maka imperialis Jepang adalah musuh utama

rakyat Tiongkok. Oleh karenanya imperialisme Jepang bersama feodalisme

Tiongkok merupakan sasaran utama dari perjuangan revolusioner rakyat

Tiongkok.

Kontradiksi pokok rakyat Tiongkok antara kekuatan revolusioner

dengan imperialisme dan feodalisme bersama kaum reaksionernya harus

diselesaikan dengan perjuangan yang panjang. Kekuatan imperialisme Jepang

berhasil menggalang begitu banyak tuan tanah dan borjuasi besar komprador

Tiongkok untuk bersekutu. Penggalangan kekuatan ini sesungguhnya adalah

bentuk penaklukan yang dilakukan oleh imperialisme Jepang. Oleh karenanya,

hal ini menunjukan bahwa musuh dari kekuatan revolusioner sangatlah besar.

Besarnya kekuatan kontra revolusioner yang dipimpin oleh

imperialisme Jepang mengharuskan rakyat Tiongkok sadar untuk terus

mengorganisasikan kekuatannya. Dalam hal ini, Mao memandang:

“... yang menjadi musuh revolusi Tiongkok bukan saja imperialisme


yang kuat, tetapi juga kekuatan feodal yang besar, dan pada masa-masa
tertentu termasuk juga kaum reaksioner borjuis yang bersekongkol
dengan imperialisme dan kekuatan feodal untuk memusuhi rakyat. oleh
karena itu, meremehkan kekuatan dari musuh rakyat revolusioner
Tiongkok adalah pandangan yang tidak tepat.”193

Dalam hal ini, Mao menegaskan bahwa unsur meremehkan kekuatan musuh yang

nyatanya besar adalah pandangan yang keliru. Mao memandang bahwa

193. Ibid, 406


197

perjuangan revolusi Tiongkok akan berjangka waktu panjang. Kekuatan

revolusioner untuk menghancurkan sasaran revolusi Tiongkok harus dididik dan

ditempa dengan keras dan ulet. Di sinilah peran penting Partai Komunis

Tiongkok dalam memimpin perjuangan revolusioner.

Partai Komunis Tiongkok adalah organisasi yang mempunyai tugas

untuk memimpin kerja-kerja revolusioner Tiongkok agar tetap pada garis idoelogi

Marxisme-Leninisme. Partai Komunis Tiongkok berperan untuk mengarahkan

seluruh elemen revolusioner di bawah kepemimpinan politik kelas proletariat.

Dalam hal ini salah satu peran pentingnya adalah memastikan apa saja yang

menjadi tugas-tugas pokok revolusi Tiongkok.

Tugas utama revolusi Tiongkok sebagai negeri setengah jajahan

setengah feodal haruslah disandarkan pada sasaran utama dari revolusi. Dalam

hal ini, dapat ditekankan bahwa tugas utama dari revolusi Tiongkok adalah

menghancurkan dominasi imperialisme dan feodalisme sampai ke akar-akarnya.

Penghancuran imperialisme artinya melakukan revolusi nasional, sementara

penghancuran feodalisme adalah dengan melancarkan revolusi demokratis.

Kedua tugas besar ini berhubungan satu dengan yang lainnya.

Imperialisme merupakan penyokong utama dari tetap bertahannya

kekuasaan tuan tanah di Tiongkok. Dalam hal ini, Mao memandang bahwa

tidaklah mungkin melenyapkan tuan tanah besar dan sistem feodalisme tanpa

menghancurkan imperialisme. Hal tersebut juga berlaku sebaliknya bagi

keharusan revolusi untuk menghancurkan feodalisme. Keberadaan tuan tanah

besar adalah basis sosial utama Tiongkok sebagai negeri setengah feodal. Oleh
198

karenanya, kekuasaan dari imperialisme sebagai aspek utama yang membuat

Tiongkok menjadi negeri setengah jajahan adalah kekuasaan feodal. Jadi, tanpa

menghancurkan basis sosial feodalisme, akan mustahil pula revolusi Tiongkok

mampu menghancurkan imperialisme. Dalam memandang tentang tugas utama

revolusi Tiongkok, secara spesifik Mao menjelaskan sebagai berikut:

“Tugas revolusi nasional Tiongkok dewasa ini terutama yaitu melawan


imperialisme Jepang yang telah mengagresi wilayah Tiongkok; di
samping itu tugas revolusi demokratis juga perlu diselesaikan untuk
merebt kemenangan peperangan, maka dengan demikian kedua tugas
revolusi itu sudah berjalin menjadi satu.”194

Hal ini menunjukan bahwa pemikiran Mao tentang tugas-tugas pokok revolusi

Tiongkok sangat disesuaikan dengan perkembangan kondisi sosial dan politik

masyarakat Tiongkok. Kedua tugas tersebut adalah satu kesatuan perjuangan

revolusioner rakyat Tiongkok.

Revolusi Tiongkok adalah revolusi yang bercirikan masyarakat

setengah jajahan setengah feodal. Dalam hal ini, arah dari revolusi Tiongkok

adalah menghancurkan sasaran utama revolusi yaitu imperialisme, khususnya

Jepang dan feodalisme. Dalam upaya mewujudkan kemenangan revolusi

Tiongkok yang demikian, Mao menyatakan pentingnya mengetahui tentang

tenaga utama penggerak revolusi Tiongkok. Penentuan tenaga utama penggerak

revolusi Tiongkok adalah dengan melihat asal kelasnya.

Tiongkok yang setengah jajahan setengah feodal tentunya memiliki

banyak sekali kelas dalam masyarakatnya. Hal ini sesuai dengan pemikiran Mao

yang menyatakan bahwa karena kolaborasi yang dilakukan oleh imperialisme dan

194. Ibid, 409


199

feodalisme dalam menindas rakyat, maka dari sanalah terlahir berbagai kelas dan

golongan-golongan dalam masyarakat Tiongkok. Dalam konteks ini, tidak semua

kelas dalam masyarakat Tiongkok yang mampu menjadi tenaga utama penggerak

revolusi.

Kelas tuan tanah besar dan borjuasi besar adalah dua kelas yang bukan

dan tidak akan pernah menjadi tenaga penggerak revolusi Tiongkok. Kedua kelas

tersebut justru adalah sasaran utama selain dari imperialisme dalam gerakan

revolusioner Tiongkok. Hal ini terjadi karena watak dari kedua kelas tersebut

yang komprador, atau bergantung dari sokongan imperialisme. Selain itu, kelas

tuan tanah besar dan borjuasi besar Tiongkok adalah kelas yang memimpin dan

menguasai pemerintahan Tiongkok untuk melegitimasi penghisapan dan

penindasan terhadap rakyat. Dalam menyikapi keberadaan tuan tanah besar Mao

menyatakan analisisnya sebagai berikut:

“Kelas tuan tanah adalah dasar sosial yang utama bagi kekuasaan
imperialisme di Tiongkok, adalah kelas yang menghisap dan menindas
kaum tani dengan menggunakan sistem feodal, dan adalah kelas yang
menghalangi kemajuan masyarakat Tiongkok di lapangan politik,
ekonomi, dan kebudayaan, dan sedikitpun tidak memainkan peranan
yang progresif. Karena itu kelas tuan tanah adalah sasaran revolusi, dan
bukan tenaga penggerak revolusi.”195

Sementara untuk kelas borjuasi besar Tiongkok, Mao menyatakan sebagai

berikut:

“Politik kita terhadap golongan kapitulator borjuasi besar ialah


menganggap mereka sebagai musuh dan dengan tegas menggempur
mereka. Melakukan perjuangan yang tegas terhadap mereka, sebab
mereka menjalankan politik tangan besi anti Komunis dan anti rakyat
yang mensabot perang perlawanan dan merusak persatuan”196

195. Ibid, 411


196. Ibid, 412
200

Dengan demikian jelas sudah bahwa kedua kelas tersebut, yaitu tuan tanah besar

dan borjuasi besar yang pasti berwatak komprador adalah sama sekali bukan

tenaga penggerak revolusi Tiongkok.

Dalam kelas borjuasi Tiongkok terdapat pula golongan borjuasi sedang

atau borjuasi nasional dan borjuasi kecil. Borjuasi nasional pada umumnya

memiliki watak ganda, satu sisi mereka ditindas oleh skema dari imperialisme dan

dikekang perkembangannya oleh feodalisme, di sisi inilah mereka menurut Mao

dapat dikatakan salah satu kekuatan revolusi. Hal ini dibutktikan Mao melalui

sejarah perlawanan borjuasi nasional terhadap negeri-negeri imperialis dan kaisar-

kaisar besar Tiongkok.

Di sisi yang lain, borjuasi nasional memiliki kelemahan dalam ekonomi

dan politik karena belum benar-benar terputus hubungannya dengan imperialisme.

Dalam hal ini, borjuasi nasional tidak berani mengambil keputusan terbuka untuk

melawan imperialisme dan feodalisme secara konseken. Oleh karena berwatak

ganda tersbut Mao menekankan bahwa pentingnya untuk menerapkan politik yang

hati-hati terhadap borjuasi nasional. Watak ganda borjuasi nasional berbeda

dengan watak yang dimiliki oleh borjuasi kecil Tiongkok.

Dalam menganalisis kelas borjuasi kecil Tiongkok, Mao membagi

borjuasi kecil sebagai borjuasi kecil di luar kaum tani. Hal ini dikarenakan kaum

tani adalah bagian dari kelas borjuasi kecil yang mengalami ketertindasan terparah

dalam sistem setengah jajahan setengah feodal. Dalam lingkup ini, kelas borjuasi

kecil di luar kaum tani meliputi kaum intelektual, pedagang kecil, tukang
201

kerajinan tangan, dan perkerja merdeka yang luas.197 Menurut Mao, seluruh

golongan borjuasi kecil tersebut kedudukannya agak mirip dengan tani sedang

dari kaum tani.198 Mereka menderita penindasan yang dilakukan oleh

imperialisme, feodalisme, dan borjuasi besar komprador.

Dalam kondisi Tiongkok yang dikuasai oleh imperialisme dan

feodalisme, borjuasi kecil dari golongan pedagang kecil, tukang kerajinan tangan,

dan pekerja merdeka sangat dekat dengan ancaman kebangkrutan usahanya. Hal

ini karena imperialisme dan feodalisme melakukan skema monopoli dalam

seluruh aspek usaha di Tiongkok. Sementara dalam golongan kaum intelektual

dan pelajar Tiongkok, mereka terancam tidak dapat mendapatkan lapangan

pekerjaan yang layak dan ancaman putus sekolah yang tinggi.

Dalam revolusi Tiongkok, keberpihakan dari borjuasi kecil di luar kau

tani ini sangat penting. Dalam menyokong revolusi, borjuasi kecil ini juga

memiliki kekurangan, yaitu mudah dihasut dan terjebak pengaruh dari politik dan

kebudayaan dari imperialisme dan feodalisme. Dalam hal ini Mao memandang:

“Berbagai elemen borjuasi kecil tersebut merupakan massa yang besar


jumlahnya. Mereka umumnya bisa ikut serta dalam revolusi atau
menyokong revolusi dan merupakan sekutu revolusi yang sangat baik,
maka it harus ditarik ke pihak kita dan dilindungi. Kekurangan mereka
ialah bahwa sebagian dari mereka mudah dipengaruhi oleh borjuasi,
karena itu kita harus melakukan pekerjaan propaganda dan kerja
organisasi revolusioner dikalangan mereka dengan penuh perhatian.”199

Dengan demikian, jelas bahwa borjuasi kecil diluar kaum tani adalah tenaga

penggerak revolusi Tiongkok, namun bukan merupakan tenaga pokok dalam

revolusi.

197. Ibid, 413


198. Ibid, 414
199. Ibid, 415
202

Kedudukan Tiongkok sebagai negeri setengah jajahan setengah feodal

telah melahirkan beragai skema penindasan terhadap rakyat. Salah satu dampak

besarnya adalah terjadinya fenomena pengangguran massal yang terjadi di

pedesaan maupun perkotaan Tiongkok. Dalam hal ini, fenomena pengangguran

massal ini menyebabkan lahirnya golongan yang dinamakan oleh Mao sebagai

kaum gelandangan. Kaum gelandangan adalah golongan yang dipaksa oleh

kondisi untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang tidak layak, seperti perampok,

pengemis, pelacur, dan yang lainnya. Kaum gelandangan ini merupakan

kelompok yang bimbang untuk terlibat dalam revolusi. Mereka kerap

dimobilisasi oleh kekuatan kontra revolusioner untuk „memukul‟ perjuangan

rakyat. Dalam hal ini, Mao menegaskan bahwa pentingnya untuk memberi

perhatian lebih dalam menarik kaum gelandangan ke barisan revolusi. Partai

Komunis Tiongkok harus mampu mendidik secara perlahan untuk menghilangkan

watak merusaknya tersebut. Dengan demikian, kaum gelandangan dapat

dimasukan dalam tenaga penggerak revolusi, namun tetap bukan merupakan

kekuatan pokok.

Tenaga utama penggerak revolusi Tiongkok adalah kaum tani dan

proletariat Tiongkok. Dalam hal ini, Mao berpandangan bahwa dengan jumlah

sekitar 80% dari jumlah penduduk Tiongkok dan merupakan kekuatan utama

dalam perekonomian nasional Tiongkok, maka kaum tani menempati posisi

teramat penting dalam revolusi. Dalam persoalan kedudukan kaum tani dalam

revolusi, Mao tetap melakukan klasifikasi dengan spesifik. Mao membagi kaum

tani menjadi tiga golongan utama yaitu tani kaya, tani sedang dan tani miskin.
203

Ketiganya merupakan tenaga dalam revolusi Tiongkok, namun ketiganya

memiliki kadar revolusioner yang berbeda.

Tani kaya merupakan golongan kaum tani dengan jumlah yang kecil,

menurut Mao jumlahnya hanya sekitar 5% di setiap desa.200 Tani kaya adalah

golongan dalam kaum tani yang menjalankan penindasan setengah feodal di

pedesaan. Artinya, tani kaya adalah aktor utama setelah tuan tanah besar yang

melakukan penghisapan dan penindasan kepada buruh tani maupun tani miskin.

Cara-cara penghisapan dan penindasannya terutama dengan menyewakan

sebagian tanahnya dan meminjamkan uang dengan buang yang tinggi. Dalam hal

ini, tani kaya tidak begitu saja dapat disamakan dengan tuan tanah. Pada

praktiknya, tani kaya tetap ambil bagian dalam kerja produksi pertaniannya, maka

mereka tetap masuk dalam kelompok kaum tani. Menurut Mao, tani kaya bisa

ambil bagian tertentu dalam perjuangan revolusi, khususnya dalam melawan

imperialisme dan tuan tanah besar yang selama ini mengganggu

perkembangannya.

Golongan selanjutnya dalam kaum tani Tiongkok menurut pemikiran

Mao adalah golongan tani sedang. Tani sedang adalah kaum tani yang jumlahnya

sebanyak 20%.201 Golongan tani sedang pada umumnya tidak melakukan praktik

penghisapan. Dalam aspek ekonomi, tani sedang cenderung mampu memenuhi

kebutuhannya. Golongan tani sedang hanya bergantung sepenuhnya pada tanah

yang mereka miliki, jika hasil panennya baik, maka mereka memiliki sedikit

modal untuk ditabung ataupun digunakan untuk usaha lainnya. Secara aspek

200. Ibid, 416


201. Ibid, 416
204

politik, tani sedang tidak mempunyai hak-hak politik yang memadai untuk

mewakili golongannya. Dalam sistem produksi setengah jajahan setengah foedal,

tani sedang juga tertekan dan tertindas oleh keberadaan dari imperialisme, tuan

tanah besar, dan borjuasi besar. Dengan demikian, menurut Mao bahwa tani

sedang bukan saja golongan yang berkepentingan dalam melawan imperialisme

melalu revolusi, tetapi juga mampu menerima pembangunan sosialisme di

Tiongkok.202

Golongan ketiga adalah tani miskin Tiongkok yang merupakan

golongan dengan jumlah 70% dari seluruh penduduk di pedesaan. Tani miskin

adalah kaum tani yang tidak memiliki cukup tanah sebagai sandaran hidupnya.

Ketiadaan tanah ini terutama disebabkan oleh perampasan dan monopoli tanah

yang dilakuakn oleh imperialisme, tuan tanah besar, borjuasi besar dan negara.

Dalam aspek inilah golongan tani miskin sesungguhnya adalah golongan kaum

tani yang memiliki kepentingan utama dalam perjuangan revolusiner. Dalam hal

ini Mao menjelaskan tentang golongan tani miskin sebagai berikut:

“Tani miskin adalah massa luas tani yang tidak memiliki tanah atau
tidak cukup tanahnya, yaitu semi proletariat di desa, adalah tenaga
penggerak yang paling luas dari revolusi Tiongkok, adalah juga sekutu
proletariat yang wajar dan paling dapat dipercaya, dan adalah induk
kekuatan barisan revolusioner Tiongkok.”203

Hal ini menunjukan bahwa sesunggunya kekuatan utama dalam barisan

revolusioner Tiongkok adalah kaum tani, khususnya tani miskin. Hal ini

berkaitan terutama denganpenghancuran sistem setengah feodal di pedesaan

Tiongkok yang merupakan topangan utama dari imperialisme. Mao juga

202. Ibid, 416


203. Ibid, 417
205

menekankan bahwa kedudukan tani miskin dalam revolusi adalah sekutu terdekat

dari kelas proletariat Tiongkok.

Kelas yang akan memimpin revolusi Tiongkok adalah kelas proletariat.

Kelas proletariat adalah kelas yang tidak memiliki alat produksi perorangan.

Kedudukan inilah yang menjadikan proletariat Tiongkok harus menjual tenaga

kerjanya pada perusahaan milik imperialisme dan borjuasi besar dalam negeri.

Dalam masyarakat Tiongkok, Mao membagi kelas proletariat terdiri dari buruh

industri modern berkisar 3.000.000 orang, pekerja upahan industri kecil dan

kerajinan tangan di perkotaan, serta pegawai toko berkisar 12.000.000 orang, di

samping itu juga terdapat proletariat desa atau buruh tani yang sangat besar

jumlahnya.204 Dalam hal ini, kepemimpinan kelas proletariat terutama sekali

karena proletariat adalah kelas yang bersentuhan langsung dengan perkembangan

ekonomi termaju di Tiongkok, yaitu kapitalisme. Proletariat adalah kelas yang

berhadapan langsung secara antagonistik dengan borjuasi dan imperialisme. Hal-

hal tersebutlah yang membuat kelas proletariat memiliki kesadaran yang tinggi

untuk berorganisasi dan berjuang. Hal ini adalah kekuatan umum dari proletariat

seluruh dunia.

Dalam pemikiran Mao, selain dari kekuatan umum kelas proletariat,

juga terdapat kekuatan spesifik kelas proletariat Tiongkok sebagai kelas yang

akan memimpin gerakan revolusioner. Mao menyebutkan terdapat 3 (tiga) aspek

yang menjadi kekuatan spesifik kelas proletariat Tiongkok.205 Pertama, karena

proletariat Tiongkok adalah satu-satunya kelas yang mengalami tiga macam

204. Ibid, 417


205. Ibid, 418
206

penindasan yaitu dari imperialisme, penindasan dari kelas borjuasi besar

Tiongkok, maupun dari feodalisme. Maka Mao memandang atas dasar itulah

proletariat adalah kelas yang paling tegas dan konsekuen dalam perjuangan

revolusioner. Kedua, proletariat Tiongkok sejak awal muncul dalam perjuangan

revolusioner telah berada di bawah kepemimpinan partai revolusioner, yaitu Partai

Komunis Tiongkok. Dalam hal ini, kelas proletariat menjadi kelas yang relatif

paling sadar atas ketertindasannya dan tujuan perjuangannya dalam masyarakat

Tiongkok. Ketiga, proletariat Tiongkok mayoritas berasal dari kaum tani yang

teramat miskin dan bangkrut. Dalam hal ini, asal kelas semuanya menjadikan

proletariat Tiongkok memiliki keterkaitan yang erat dengan kaum tani sebagai

mayoritas dalam masyarakat dan kekuatan pokok dalam revolusi. Hal ini

menjadikan akan lebih mudah dalam menggalang persatuan yang erat atara

proletariat dengan kaum tani Tiongkok.

Dengan melihat seluruh aspek tersebut, jelaslah bahwa Mao dengan

tepat dan konsekuen tidak keluar dari jalur Marxisme-Leninisme. Mao tetap

menempatkan proletariat sebagai kelas pemimpin dalam gerakan revolusioner.

Mao justru menerapkan hukum filsafat Materialisme Dialektika dengan baik

dengan menyesuaikan gagasan revolusinya dengan kondisi sosial masyarakat

Tiongkok. Mao menunjukan kejernihan dalam menempatkan tenaga penggerak

revolusi sesuai dengan musuh atau sasaran revolusinya. Dengan demikian maka

akan menentukan watak dari revolusi yang digagas oleh Mao.

Watak dari sebuah revolusi adalah tindak lanjut dari aspek-aspek

khusus mengenai kondisi lahirnya gerakan revolusioner. Kondisi khusus tersebut


207

seperti yang telah dibahas sebelumnya, yaitu karakter masyarakat Tiongkok,

sasaran revolusi Tiongkok, tugas pokok dalam revolusi, hingga tenaga penggerak

gerakan revolusioner Tiongkok. Mengacu pada hal itu semua, Mao menyatakan

dalam pemikirannya bahwa revolusi Tiongkok pada tahap setengah jajahan

setengah feodal bukanlah Revolusi Sosialis, melainkan revolusi borjuis-

demokratik. Watak revolusi borjuis-demokratik ini menurut Mao tidak hanya

berlaku bagi Tiongkok, namun bagi seluruh negeri yang memiliki karakter

setengah jajahan setengah feodal. Dalam hal ini, Mao menekankan bahwa watak

revolusi Tiongkok yang borjuis-demokratik tidaklah sama dengan revolusi borjuis

demokratik di Eropa dan Amerika saat menumbangkan feodalisme. Dalam aspek

ini, Mao dalam pemikiranya menjelaskan berbedaan antara revolusi borjuis-

demokratik yang digagasnya dengan revolusi yang terjadi terdahulu di Eropa dan

Amerika sebagai berikut:

”Revolusi borjuis-demokratik Tiongkok sekarang ini bukan lagi


revolusi borjuis-demokratik tipe lama yang umum, yang sudah usang
itu, melainkan revolusi borjuis-demokratik tipe baru yang khusus.
Revolusi semacam ini sedang berkembang di Tiongkok dan juga di
semua negeri jajahan dan setengah jajahan, dan kita menyebutnya
Revolusi Demokrasi Baru.”206

Dengan demikian, jelas bahwa revolusi dalam masyarakat setengah jajahan

setengah feodal seperti Tiongkok adalah Revolusi Demokrasi Baru. Mao juga

menekankan bahwa sesungguhnya Revolusi Demokrasi Baru sangat bertalian erat

dan merupakan bagian dari Revolusi Sosialis.

206. Ibid, 421


208

Revolusi Demokrasi Baru meupakan revolusi yang digerakan oleh

seluruh sektor rakyat untuk melawan imperialisme dan feodalisme. Revolusi

dengan karakter demikian adalah pintu gerbang bagi tindak lanjutnya Revolusi

Sosialis. Dalam hal ini, pemikiran Mao menekankan bahwa hanya melalui jalan

Revolusi Demokrasi Baru menuju Revolusi Sosialislah jalan satu-satunya negeri

Tiongkok yang setengah jajahan setengah feodal dapat merdeka.

6.1.2 Dua Tahap Revolusi Tiongkok: Dari Revolusi Demokrasi Baru

Menuju Revolusi Sosialis

Revolusi Demokrasi Baru di Tiongkok merupakan jalan keluar bagi

negeri Tiongkok yang setengah jajahan setengah feodal. Hal ini menjadi kunci

utama bagi terwujudnya masyarakat yang merdeka dan terbebas dari belenggu

imperialisme dan feodalisme. Dalam hal ini, Mao memandang bahwa revolusi

yang dijalankan oleh seluruh rakyat tertindas Tiongkok tidaklah akan berhenti

sampai tahap demokrasi baru, namun akan menuju sosialisme. Hal inilah yang

dikatakan oleh Mao sebagai perspektif dari revolusi Tiongkok.

Revolusi Demokrasi Baru Tiongkok adalah bentuk yang sama sekali

lain dari revolusi borjuis-demokratik tipe lama. Perbedaan utamanya adalah jelas

dari mulai sasaran revolusi, hingga tenaga penggerak utama dan hari depan

revolusinya. Revolusi borjuis-demokratik tipe lama adalah alat dari kelas borjuis

untuk melahirkan diktator dan pemerintahan borjuis. Dalam aspek ini, Mao

menjelaskan perspektif dari revolusi Tiongkok:

“Oleh karena revolusi borjuis-demokratik Tiongkok pada tingkat


sekarang bukanlah revolusi borjuis-demokratik tipe lama yang umum,
209

melainkan revolusi borjuis-demokratik tipe baru yang khusus, yaitu


Revolusi Demokrasi Baru, dan oleh karena revolusi Tiongkok
berlangsung dalam keadaan internasional yang baru pada tahun
tigapuluhan dan empatpuluhan abad ke-20, yaitu dalam keadaan
internasional di mana sosialisme menanjak dan kapitalisme merosot,
dan dalam zaman Perang Dunia kedua dan zaman revolusi, maka juga
tidak usah diragukan lagi bahwa perspektif terakhir revolusi Tiongkok
bukanlah kapitalisme, melainkan sosialisme dan komunisme.”207

Dalam hal ini, penekanan utama dalam pemikiran Mao tentang perspektif revolusi

Tiongkok adalah bahwa revolusi Tiongkok memiliki ciri yang khas sebagai negeri

setengah jajahan setengah feodal. Mao tidak memungkiri bahwa revolusi

Tiongkok pada tahapan yang pertama baru berupa revolusi demokratis yang baru.

Revolusi yang tidak sepenuhnya menghancurkan dan melikuidasi sistem

kapitalisme di Tiongkok. Dalam pemikirannya, Mao memandang bahwa untuk

menghancurkan sepenuhnya kapitalisme, Tiongkok terutama sekali harus

melewati tahap Revolusi Demokrasi Baru.

Pemikiran Mao tentang revolusi dua tahap merupakan buah pikiran

dialektis dari kondisi masyarakat Tiongkok yang setengah jajahan setengah

feodal. Dalam menyusun pemikirannya tersebut, Mao tetap tidak meninggalkan

landasan ideologinya yaitu Marxisme-Leninisme. Dalam mengaplikasikan suatu

teori yang revolusioner, Mao kemudian menyusun bagaiman seharusnya teori

tersebut dapat dioperasikan dengan baik agar mencapai tujuannya. Dalam hal ini,

lahirlah kemudia pemikirannya mengenai pokok-pokok dalam Revolusi

Demokrasi Baru.

207. Ibid, 424


210

Pokok-pokok dalam Revolusi Demokrasi Baru adalah apa yang

dianggap oleh Mao sebagai instrumen utama untuk meraih kemenangan dalam

revolusi. Revolusi Demokrasi Baru bukanlah sebuah revolusi yang akan

dimenangkan oleh gerakan revolusioner begitu saja. Gerakan revolusioner tidak

hanya membutuhkan kondisi yang semakin meruncing atar segi-segi kontradiksi

pokok, tidak juga hanya sebatas pemberontakan yang sporadis, atau juga bukan

sebuah gerakan yang hanya meniru yang sudah pernah terjadi. Jika hanya hal-hal

tersebut yang berjalan, maka menurut Mao sudah dipastikan bahwa rakyat

Tiongkok tidak akan mencapai kemenangannya. Berangkat dari kondisi

tersebutlah Mao kemudian menyusun beberapa hal pokok dalam revolusi dua

tahap, khususnya Revolusi Demokrasi Baru. Beberapa hal pokoknya adalah,

kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok dalam gerakan revolusioner, selanjutnya

adalah bentuk nyata dari perjuangan revolusioner berupa perang tahan lama yang

dilakukan oleh gerakan revolusioner untuk melawan golongan kontra

revolusioner, kemudian adalah dibentuknya front persatuan sebagai ruang

konsolidasi besar kelas-kelas tertindas di Tiongkok melawan imperialisme dan

feodalisme.

Kemenangan revolusi Oktober di Rusia pada tahun 1917 membawa

gelombang pasang perjuangan kemerdekaan dan pembebasan yang revolusioner

ke seluruh penjuru dunia, termasuk Tiongkok. Gema kemenangan tersebut tidak

hanya sebatas kemenangan menumbangkan suatu rejim, namun kemenangan

gerakan proletariat. Berkat kemenangan tersebut, untuk pertama kalinya berdiri

pula negara sosialis pertama di dunia. Negara sosialis yang berhasil membuktikan
211

kebenaran teori Marxisme yang revolusioner. Hal-hal inilah yang tidak luput dari

perhatian para intelektual di Tiongkok.

Pada saat meletusnya kemenangan revolusi Oktober di Rusia, para

intelektual di Tiongkok sedang merasakan puncak ketidakpuasannya pada kondisi

negerinya yang setengah jajahan setengah feodal.208 Selain itu, keberadaan Partai

Nasionalis Tiongkok pimpinan Dr. Sun dianggap hanya mampu mengahncurkan

secara relatif dominasi dari imperialisme. Hal ini dinilai karena pada prinsipnya

Partai Nasionalis Tiongkok adalah partai yang mewakili dan membawa

kepentingan nasional dari borjuasi Tiongkok. Dengan demikian, Partai Nasionalis

Tiongkok dianggap tidak mampu melakukan revolusi pasca pembentukan

Republik Tiongkok pada tahun 1911.

Berangkat dari kondisi tersebut, Lenin yang mewakili Komunis

Internasional (Komintern) mencoba untuk mendekati pemerintahan konservatif

Tiongkok maupun dengan Dr. Sun. Pada tahun 1920, Komintern mengutus

Grigory Voitinsky untuk membangun kontak dengan intelektual radikal di

Tiongkok. Alhasil kontak awal yang didapatkan oleh Voitinsky adalah Li Ta-

Chao dan Chen Tu-Shiu. Tujuan utama dari utusan Komintern tersebut adalah

untuk menyebarluaskan Marxisme melalui pembentukan “Grup Belajar

Marxisme”.209 Tujuan tersebut menuai hasil positif dengan terbentuknya Grup

tersebut di Shanghai, dengan cabang di beberapa Provinsi seperti, Peking, Hunan,

Hupei, Chechiang, Anhui, Shantung, dan Kwangtung.

208. Imam Soedjono, Rakyat dan Senjata: Perang Rakyat di Beberapa Negeri Asia,
(Yogyakarta: Resist Book, 2011), 12.
209. Ibid, 13.
212

Pada tahun 1920 pula Komintern mengadakan Kongres

Internasionalnya yang ke -2 (dua). Kongres yang dilaksanakan di Moskow

terebut salah satu ketetapan yang dihasilkan adalah mendorong perjuangan

pembebasan nasional di Tiongkok. Di dalam ketetapan tersebut setidaknya

terdapat 4 (empat) poin pokoknya.210 Pertama, Komintern berkomitmen untuk

membantu gerakan pembebasan nasional di negeri-negeri jajahan dan setengah

jajahan, sekalipun gerakan tersebut berwatak gerakan borjuis demokratis. Kedua,

Komintern menekankan untuk membangun persekutuan antara Uni Soviet dengan

gerakan-gerakan pembebasan dalam melawan imperialisme. Ketiga, menekankan

untuk pembentukan sekita buruh terorganisasi dan pembangunan Partai Komunis-

Partai Komunis di negeri tersebut. Keempat, masa depan revolusi nasional dapat

tumbuh menjadi Revolusi Sosialis dikarenakan kegiatan dari Partai Komunis-

Partai Komunis nasional dan peranan Uni Soviet. Keempat hal ini menandakan

bahwa, Komintern memiliki perhatian yang baik bagi perkembangan gerakan

revolusioner di negeri-negeri jajahan maupun setengah jajahan seperti Tiongkok.

Di Tiongkok, perkembangan gerakan revolusioner semakin pesat. Hal

ini ditentukan terutama karena perkembangan kontradiksi yang semakin

meruncing antara rakyat Tiongkok dengan imperialisme dan feodalisme di

Tiongkok. Meruncingnya kontradiksi tersebut melahirkan kebutuhan sebuah

gerakan yang terorganisasi dengan baik untuk melakukan perlawanan. Dalam hal

ini, kemudian terbentuklah organisasi Pemuda Sosialis pada Agustus 1920 di

210. Ibid, 14.


213

Tiongkok. Hal inilah yang melatari lahirnya Partai Komunis Tiongkok sebagai

organisasi yang memimpin perjuangan revolusi Tiongkok.

Partai Komunis Tiongkok berdiri pada 12 Juli 1921. Kongres

pembentukannya diadakan di Shanghai dan dihadiri oleh 12 orang, yaitu, Mao Tse

Tung, Chang Kuo Tao, Tung Pi-wu, Chou Fu-hai, Chen Kung-po, Chen Wang-

tao, Chen Tan-Chiu, Li Han-chun, Li Ta, Ho Shu-cheng, Lu Jen-ching, dan Pao

Hui-sheng.211 Dalam kongres ini dihadiri pula oleh perwakilan dari Komintern

yaitu Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet (Henk Sneevliet). Dalam

kongres perdananya ini, Partai Komunis Tiongkok dengan tegas mengesahkan

ideologi kelas proletariat, yaitu Marxisme-Leninisme sebagai ideologinya.

GAMBAR 12. Bendera Partai Komunis Tiongkok

Terbentuknya Partai Komunis Tiongkok menandakan sebuah era baru

dalam perjuangan rakyat Tiongkok menuju kemerdekaan. Hal ini terutama sekali

211. Ibid, 15.


214

berkaitan dengan bagaimana sesungguhnya jenis atau bentuk dari revolusi

Tiongkok yang harus dipimpin oleh partai. Mengenai pentingnya partai dalam

melancarkan revolusi di Tiongkok, Mao menyampaikan pemikirannya sebagai

berikut:

“Mengapa harus ada partai revolusioner? Karena di dunia ini ada


musuh yang menindas rakyat, sedangkan rakyat ingin menghancurkan
penindasan musuh itu, maka harus ada partai revolusioner. Pada zaman
kapitalisme dan imperialisme ini justru diperlukan adanya suatu partai
revolusioner seperti Partai Komunis. Kalau tidak ada partai
revolusioner seperti Partai Komunis, maka sungguh tidak mungkin bagi
rakyat untuk menghancurkan penindasan musuh itu.”212

Dalam hal ini, Mao berusaha menekankan pentingnya partai revolusioner untuk

menjadi wadah mengorganisasi dan memimpin perjuangan revolusi di Tiongkok.

Mao mengkontekstualisasikan pemikirannya tentang revolusi dua tahap,

khususnya Revolusi Demokrasi Baru dengan keperluan untuk membangun Partai

Komunis Tiongkok.

Dalam pemikirannya, Mao memandang bahwa untuk menghancurkan

musuh yang terorganisasi dengan baik yaitu imperialisme dan feodalisme, gerakan

revolusioner Tiongkok harus membangun partai yang revolusioner pula. Dari hal

inilah kemudian Mao menjadikan kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok

menjadi hal yang penting dalam Revolusi Demokrasi Baru. kepemimpinan dan

tugas besar dari Partai Komunis Tiongkok lebih lanjut dijelaskan oleh Mao

sebagai berikut:

212. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid III, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 41.
215

“... menyelesaikan revolusi borjuis-demokratik Tiongkok (Revolusi


Demokrasi Baru) dan bersiap-siap mengalihkannya ketingkat Revolusi
Sosialis bila semua syarat yang diperlukan sudah tersedia, itulah
seluruh tugas revolusioner yang mulia dan besar dari Partai Komunis
Tiongkok.”213

Mao menegaskan bahwa keberadaan Partai Komunis Tiongkok dalam Revolusi

Demokrasi Baru adalah teramat penting dan tidak bisa tergantikan. Menurut Mao,

partai apapun baik partai borjuasi maupun milik borjuasi kecil tidaklah akan

mampu memimpin kedua tahap revolusi yang besar tersebut. Hal ini dikarenakan

partai-partai tersebut, termasuk Partai Nasionalis Tiongkok tidak memiliki tujuan

untuk benar-benar melancarkan revolusi demi membangun masyarakat sosialisme

menuju komunisme. Partai Komunis Tiongkok memiliki tugas menjadi alat

perjuangan dalam mewujudkan revolusi di Tiongkok. Dalam hal ini, Partai

Komunis Tiongkok harus mampu menjaga 3 (tiga) aspek penting dalam revolusi,

yaitu ideologi, politik, dan organisasi.

Partai Komunis Tiongkok merupakan partai yang sejak berdirinya telah

memiliki watak kelas proletariat. Artinya, menurut Mao bahwa Partai Komunis

Tiongkok tetap memegang teguh Marxisme-Leninisme sebagai ideologinya.

Dalam hal ini, salah satu tugas dari Partai Komunis Tiongkok adalah menjaga

ideologi Marxisme-Leninisme untuk tetap menjadi pedoman dalam Revolusi

Demokrasi Baru menuju Revolusi Sosialis. Menurut pemikiran Mao, hal ini

diperlukan untuk tetap menjaga pimpinan maupun anggota partai dan rakyat

Tiongkok dalam kesatuan ideologi. Hal ini berkaitan dengan pemikiran Mao

sebagai seorang Marxis, bahwa Marxisme-Leninisme bukan sekedar teori, namun

213. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid II, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 425.
216

„alat pemandu‟ dalam revolusi untuk menghancurkan imperialisme dan

feodalisme. Dalam pemikirannya, Mao mengemukakan bahwa partai tidak hanya

cukup untuk memahami Marxisme-Leninisme, namun perlu membekali dengan

pengetahuan sejarah dan tentang gerakan praktisnya.214

Dalam pemikirannya mengenai Marxisme-Leninisme, Mao tidak

memandangnya sebagai dogma. Mao memandangnya dengan jernih melalui

pandangan filsafat materialisme dialektika. Dalam aspek teori dan ideologi

revolusioner, Mao lebih lanjut berpendapat bahwa:

“Teori Marx, Engels, Lenin, dan Stalin adalah teori yang berlaku untuk
seluruh dunia. Teori mereka tidak boleh dipandang sebagai dogma,
melainkan sebagai pedoman untuk beraksi. Mempelajari Marxisme-
Leninisme tidak boleh hanya mempelajari istilah-istilah dan kalimat-
kalimatnya saja, tetapi harus memperlajari sebagai ilmu revolusi. Kita
bukan saja harus memahami kesimpulan tentang hukum-hukum umum
yang ditarik oleh Marx, Engels, Lenin, dan Stalin dari studi mereka
mengenai kehidupan nyata yang luas dan pengalaman revolusioner,
tetapi juga harus mempelajari pendirian dan metode mereka dalam
meninjau dan memecahkan masalah.”215

Dalam hal ini, Mao bertujuan untuk menekankan bahwa salah satu fungsi dan

tugas dari Partai Komunis Tiongkok adalah memperdalam ideologi Marxisme-

Leninisme. Mao menekankan bagi seluruh kader dan pimpinan partai untuk giat

dan keras dalam belajar teori-teori Marx, Engels, Lenin, dan Stalin. Selain itu,

teori-teori tersebut juga harus disebar secara luas pada seluruh rakyat Tiongkok,

hal ini bertujuan untuk membangkitkan kesadaran atas gerakan revolusioner.

Inilah yang disebut oleh Mao sebagai tugas Partai Komunis Tiongkok dalam

aspek ideologi.

214. Ibid, 273.


215. Ibid, 273-274.
217

Dalam aspek ideologi, Mao juga menekankan bahwa penting bagi

Partai Komunis Tiongkok untuk mempelajari sejarah dan kondisi konkret

masyarakat Tiongkok dengan menggunakan metode Marxis. Perkembangan dan

dinamika sejarah adalah catatan penting bagi gerakan revolusioner. Dari hal

tersebutlah Mao mampu menyatakan bahwa perspektif revolusi Tiongkok adalah

revolusi dua tahap, Revolusi Demokrasi Baru menuju Revolusi Sosialis. Bagi

Mao, Marxisme baru dapat dilaksanakan dalam praktik apabila dipadukan dengan

ciri-ciri yang khusus dari Tiongkok. Kekuatan besar dari Marxisme-Leninisme

justru terletak pada dapat dipadukannya dengan praktik revolusioner konkret di

setiap negeri.216 Aspek ideologi inilah yang kemudian menjadikan Partai

Komunis Tiongkok mampu menentukan arah politiknya dalam memimpin

Revolusi Demokrasi Baru.

Tugas Partai Komunis Tiongkok selanjutnya adalah dalam aspek

politik. Aspek politik terbagi dalam dua bagian utama, yaitu politik untuk

menuntun gerak revolusi dan politik untuk terus memajukan dan memperbaiki

internal partai. Oleh karena itu aspek politik tidak bisa melepaskan dirinya dari

aspek ideologi sebagai pedomannya. Bagi Mao, tugas partai dalam aspek politik

menjadi penting karena mayoritas anggota partai adalah rakyat yang berasal dari

golongan kaum tani dan borjuasi kecil lainnya. Dalam hal ini, kaum tani dan

borjuasi kecil lainnya tentu dianggap memiliki pandangan politik yang kurang

teguh karena latarbelakang kelasnya tersebut. Hal ini harus butuh perhatian lebih

216. Ibid, 275


218

dari Partai Komunis Tiongkok agar tidak terjerumus pada pandangan borjuasi

kecil dalam memimpin revolusi.

Dalam kongres keduanya yang diselenggarakan pada Juli 1922, Partai

Komunis Tiongkok melahirkan beberapa keputusan-keputusan politik penting.217

Partai Komunis Tiongkok dalam hal ini meneguhkan kembali analisisnya

terhadap kondisi masyarakat Tiongkok yang setengah jajahan setengah feodal.

Berkaitan dengan hal tersebut, melalui usulan dari buah pikir Mao, Partai

menetapkan seluruh agenda revolusinya mulai dari sasaran hingga perspektif

revolusi Tiongkok. Partai dalam hal ini, menyatakan program revolusionernya,

menjalankan Revolusi Demokrasi Baru untuk menghancurkan imperialisme dan

kekuatan feodal.

Partai Komunis Tiongkok memiliki peranan untuk menjadi pemimpin

dalam revolusi Tiongkok. Dalam hal ini, Partai Komunis Tiongkok harus mampu

menggalang massa dari berbagai kelas tertindas. Oleh karenanya, salah satu

keputusan besar yang diambil adalah menggalang persatuan dan kerjasama

dengan Partai Nasionalis Tiongkok pimpinan Dr. Sun. Hal ini bertujuan untuk

menjadikan Partai Nasionalis Tiongkok sebagai aliansi taktis pendukung melawan

imperialisme. Alhasil, anggota Partai Komunis Tiongkok dapat juga menjadi

anggota dari Partai Nasionalis bahkan hingga menduduki beberapa jabatan

penting di dalamnya. Pasca kematian Dr. Sun, Partai Nasionalis Tiongkok justru

melakukan pengkhianatan dengan melakukan penyerangan dan pembasmian

217. Imam Soedjono, Rakyat dan Senjata: Perang Rakyat di Beberapa Negeri Asia,
(Yogyakarta: Resist Book, 2011), 17.
219

seluruh kader-kader dan pimpinan Partai Komunis Tiongkok. Hal inilah yang

disebut oleh Mao sebagai pengkhiatan borjuasi Tiongkok terhadap revolusi.

Dalam pemikirannya, Mao tetap menegaskan bahwa sekalipun terdapat

suatu kerjasama yang taktis dengan partai borjuasi, tetap tugas untuk memimpin

revolusi adalah tugas Partai Komunis Tiongkok. Dalam hal ini, Partai Komunis

Tiongkok harus mampu memimpin gerakan revolusioner untuk memecahkan

kontradiksi pokok yang ada. Lebih lanjut Mao menyatakan:

“Tiongkok sudah sejak lama sekali berada dalam dua macam


kontradiksi dasar yang hebat, kontradiksi antara imperialisme dengan
Tiongkok dan kontradiksi antara feodalisme dengan massa rakyat. Pada
tahun 1927 borjuasi yang diwakili oleh Kuomintang218 mengkhianati
revolusi dan menjual kepentingan nasional kepada imperialisme,
sehingga terciptalah situasi di mana kekuasaan buruh dan tani
bertentangan dengan kekuasaan Kuomintang secara meruncing dan
tugas revolusi nasional dan demokratis tak dapat tidak harus dipikul
sendiri oleh Partai Komunis Tiongkok.”219

Dalam hal ini, Mao ingin menegaskan bahwa perjuangan revolusioner adalah

tugas besar yang harus dipimpin hingga selesai oleh partai. Mao tidak

memposisikan pemikirannya pada pandangan pragmatis maupun oportunis dalam

membangun aliansi. Bagi Mao, kekuatan pokok dalam perjuangan revolusioner

tetap ada di dalam kelas buruh dan kaum tani Tiongkok yang dipimpin memlalui

Partai Komunis Tiongkok. Dalam membangun pemikirannya mengenai peran dan

tugas Partai Komunis Tiongkok sebagai bagian pokok dari Revolusi Demokrasi

Baru, Mao juga menekankan pentingnya politik internasional Partai Komunis

Tiongkok.

219. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 355.
220

Negeri-negeri imperialisme adalah musuh seluruh rakyat di dalam

negerinya dan musuh bagi negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan seperti

Tiongkok. Imperialisme telah melahirkan suatu syarat untuk pembangunan

kekuatan perjuangan kelas di seluruh dunia. Syarat pokoknya adalah sistem

penghisapan dan penindasan yang sudah termonopoli oleh imperialisme. Bagi

Marxis-Leninis, imperialisme adalah zaman di mana terdapat pembagian yang

dilakukan oleh mayoritas negara-negara penindas terhadap negara-negara jajahan

maupun setengah jajahannya. Hal inilah yang melahirkan suatu politik luar negeri

yang berperspektif internasionalisme.

Internasionalisme adalah Marxisme-Leninisme dalam lapangan politik

luar negeri. Artinya bahwa perjuangan kelas tidak mengenal batas teritorial suatu

negeri, tidak mengenal jenis kelamin, suku, corak budaya, dan hal lainnya.

Perjuangan kelas mutlak dibutuhkan oleh rakyat tertindas di seluruh dunia untuk

keluar dari belenggu penghisapan dan penindasan. Pandangan ini juga diadopsi

oleh Mao untuk menuntun politik Partai Komunis Tiongkok. Mao membangun

perspektif pemikirannya tentang hal tersebut dari kolaborasi antara patriotisme

dan internasionalisme. Dalam hal ini, Mao tidak melepaskan perspektif

patriotisme dan perjuangan nasional, namun melakukan suatu pola korelasi antara

keduanya, patriotisme dan internasionalisme.

Mao mencoba menjawab keraguan dalam pikiran internal partai

mengenai menggabungkan sekaligus perspektif Partai Komunis Tiongkok antara

patriotisme dan internasionalisme. Hal ini dilakukan oleh Mao karena berangkat

dari analisis bahwa Tiongkok adalah negeri yang diagresi oleh imperialisme.
221

Agresi ini menyebabkan perjuangan revolusioner yang terpimpin oleh Partai

Komunis Tiongkok haruslah memiliki perspektif politik yang tepat. Patriotisme

bagi Mao harus dinjunjung untuk menghancurkan agresor dari Tiongkok,

sementara internasionalisme bertujuan sebagai bentuk keterlibatakn revolusi

Tiongkok sebagai bagian dari revolusi di dunia. Dalam konteks ini Mao lebih

lanjut menjabarkannya sebagai berikut:

“Tiongkok adalah negara yang diagresi. Oleh karena itu orang Komunis
Tiongkok harus memadukan patriotisme dengan internasionalisme. Kita
adalah kaum internasionalis dan juga kaum patriot, dan semboyan kita
ialah berperang untuk membela tanah air untuk melawan kaum
agresor.”220

Dalam hal ini, pemikiran Mao bertolak pada prinsip kekhususan kontradiksi,

artinya peran Partai Komunis Tiongkok adalah ganda, yaitu internasionais

sekaligus patriot. Partai Komunis Tiongkok terutama sekali harus

mengejawantahkan perspektif politik luar negerinya yang internasionalis dalam

bingkai perjuangan nasional. Dengan demikian, pemikiran Mao menegaskan

bahwa patriotisme adalah penerapan perspektif internasionalisme dengan metode

perang revolusioner pembebasan nasional.

Kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok dalam Revolusi Demokrasi

Baru juga harus mampu membawa perspektif patriotisme dan internasionalisme

secara bersamaan. Hal ini akan menentukan arah dari Revolusi Demokrasi Baru.

Dalam pemikirannya, Mao memandang bahwa Revolusi Demokrasi Baru adalah

bagian yang tidak terpisah dari revolusi dunia melawan kapitalisme-imperialisme.

Hal ini terurai dalam karyanya sebagai berikut:

220. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid II, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 257.
222

“Karena hanya dengan berperang membela tanah air barulah kita dapat
mengalahkan kaum agresor dan mencapai pembebasan nasional. Dan
hanya dengan tercapainya pembebasan nasional barulah mungkin
tercapai pembebasan proletariat dan rakyat pekerja lainnya.
Kemenangan Tiongkok dan kekalahan kaum imperialis yang
mengagresi Tiongkok itu juga berarti bantuan bagi rakyat negeri-negeri
lain.”221

Dengan demikian, Mao dalam pemikirannya menyerukan kepada Partai Komunis

Tiongkok untuk terus memimpin perjuangan melawan imperialisme, khususnya

Jepang dan kekuatan feodalisme.

Demi menyokong politik Partai Komunis Tiongkok di aspek dalam dan

luar negeri, Mao menegaskan partai harus terus memperluas dan memperbesar

organisasinya. Dalam hal ini, Mao menandaskan bahwa Partai Komunis

Tiongkok harus bersifat massa. Bersifat massa artinya partai harus mampu

terbuka bagi rakyat yang sungguh-sungguh mengabdi pada gerakan revolusioner.

Artinya, Mao melarang Partai Komunis Tiongkok melakukan kencenderungan

„tutup-pintuisme‟. Hal ini berkaitan dengan pemikiran Mao yang memandang

bahwa partai sejatinya adalah milik massa.

Partai Komunis Tiongkok merupakan organisasi yang memimpin

seluruh perjuangan revolusi, khususnya Revolusi Demokrasi Baru. Dalam

memimpin jalannya revolusi, menjaga aspek ideologi dan politik partai adalah hal

yang penting. Dalam pemikiran Mao, aspek ideologi dan politik tidak akan

mampu membawa kemenangan dalam revolusi tanpa ditopang oleh aspek

organisasi. Mao menyatakan bahwa aspek organisasi partai adalah manifestasi

dari ideologi dan politik.

221. Ibid, 257.


223

Dalam memimpin Revolusi Demokrasi Baru, Mao memandang

pentingnya menegakan disiplin dan demokrasi di dalam partai. Perpaduan ini

yang dinamakan dengan prinsip sentralisme demokrasi. Disiplin partai

merupakan prinsip penting dalam Partai Komunis Tiongkok yang harus dipahami

dan dijalankan oleh pimpinan maupun kader partai. Menurut Mao, terdapat 4

(empat) aspek dalam disiplin partai.222 Pertama, perseorangan tunduk kepada

organisasi. Kedua, minoritas tunduk kepada mayoritas. Ketiga, Organisasi

tingkat bawahan tunduk kepada organisasi tingkat atasan. Keempat, seluruh

Partai tunduk kepada Komite Pusatnya. Seluruh disiplin partai ini bertujuan untuk

melakukan kontrol secara internal bagi Partai Komunis Tiongkok. Dalam hal ini,

lebih lanjut Mao mengemukakan:

“Maka itu anggota-anggota Partai perlu diberi pendidikan tentang


disiplin Partai, supaya anggota-anggota biasa tidak hanya bisa mentaati
disiplin, tetapi juga bisa mengkontrol pemimpin-pemimpin Partai agar
mereka juga mentaati disiplin.”223

Keempat disiplin partai itulah yang bagi Mao akan menuntun seluruh tenaga

penggerak Revolusi Demokrasi Baru mampu mengambil suatu sikap dan tindakan

politik yang satu. Dalam menjalankan disiplin partai yang merepresentasikan

prinsip sentralisme, Mao memandang perlu untuk memadukan dengan prinsip

demokrasi.

Revolusi Demokrasi Baru merupakan suatu revolusi yang bertujuan

menghapuskan sistem sosial setengah jajahan setengah feodal di Tiongkok.

Revolusi Demokrasi Baru bagi Mao merupakan proses untuk mendirikan suatu

222. Ibid, 267.


223. Ibid, 267.
224

negara demokrasi rakyat Tiongkok. Artinya, demokrasi adalah salah satu prinsip

sekaligus tujuan dari perjuangan revolusioner. Hal ini berangkat dari kondisi

setengah feodal di Tiongkok yang terus membatasi ruang demokratis bagi rakyat.

Pembatasan ini pula yang mengakibatkan kondisi rakyat Tiongkok mengalami

keterbelakangan diseluruh aspeknya. Dalam hal ini, Mao memandang demokrasi

bukan sebatas tujuan dari Revolusi Demokrasi Baru, lebih jauh Mao memandang

demokrasi sebagai suatu prinsip yang harus dijalankan khususnya dalam internal

Partai Komunis Tiongkok.

Dalam pemikiranya tetang peran Partai Komunis Tiongkok dalam

Revolusi Demokrasi Baru, Mao menekankan salah satu tugas partai adalah

membangun dan mengembangkan demokrasi di dalam partai. Hal ini menurut

Mao akan meningkatkan inisiatif bagi pimpinan, kader, dan anggota partai dalam

perjuangan revolusioner. Bagi Mao, tujuan untuk mengembangkan dan

meningkatkan inisiatif dari seluruh elemen partai tidak akan berhasil jika tidak

terlebih dahulu menetapkan demokrasi sebagai salah satu prinsip yang harus

dijalankan. Hal ini tergambar jelas dalam pemaparan Mao:

“tujuan mengembangkan inisiatif tidak akan tercapai jika dalam Partai


kurang kehidupan demokratis. Juga hanya dalam kehidupan demokratis
dapat diciptakan orang-orang cakap dalam jumlah besar.”224

Perkembangan kehidupan yang demokratis di dalam internal Partai Komunis

Tiongkok juga dihambat oleh faktor lainnya. Faktor tersebut adalah aspek sistem

setengah jajahan setengah feodal. Oleh karenanya, sebelum membangun sebuah

demokrasi baru melalui perjuangan yang revolusioner, penting bagi Partai

224. Ibid, 268


225

Komunis Tiongkok untuk terlebih dulu membangun iklim demokrasi di dalamnya.

Menurut Mao sistem setengah jajahan setengah feodal adalah perintang utama

bagi berkembanganya demokrasi dalam partai dan perjuangan revolusioner:

“Negeri kita adalah negeri di mana sistem patriarkal yang berdasarkan


produksi kecil-kecilan menempati kedudukan yang unggul, dan
dipandang dari negeri kita sebagai keseluruhan sampai sekarang belum
ada kehidupan demokratis; sebagai pencerminan dari keadaan
demikian ini ialah gejala kurangnya kehidupan demokratis dalam
Partai. Gejala ini merintangi seluruh Partai dalam mengembangkan
inisiatif sepenuh-penuhnya. Bersamaan dengan itu ia telah
mengakibatkan kurangnya kehidupan demokrasi dalam front persatuan
dan gerakan massa rakyat.”225

Padanganan Mao tersebut memperlihatkan betapa pentingnya

membangun sebuah sistem yang demokratis di dalam partai. Dalam hal ini, Partai

Komunis Tiongkok adalah cerminan dalam kehidupan demokratis rakyat

Tiongkok. Seberapa mendalamnya pemahaman pimpinan, kader, dan anggota

Partai akan menentukan arah demokrasi yang akan dibangun melalui jalan

Revolusi Demokrasi Baru. Selain itu, Mao juga menegaskan bahwa membangun

demokrasi semata-mata bertujuan untuk meningkatkan disiplin Partai dan daya

juang gerakan revolusioner.226 Hanya dengan hal tersebut Partai Komunis

Tiongkok akan mampu memperluas kehidupan demokratisnya tanpa terjerumus

dalam „lumpur‟ ultra demokrasi yang liberal dan akan merusak disiplin Partai.

Kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok dalam Revolusi Demokrasi

Baru harus tercermin dalam aspek pembangunan disiplin dan demokrasi di dalam

Partai. Tujuanya tidak lain adalah untuk memperkuat dan memperluas pengaruh

kepemimpinannya, sehingga massa kelas proletariat, kaum tani, dan borjuasi kecil

225. Ibid, 268-269.


226. Ibid, 269.
226

mampu terhimpun secara luas. Lebih, lanjut Mao menulis tujuan utama dari

prinsip sentralisme demokrasi:

“... memperluas demokrasi intern-Partai harus dipandang sebagai suatu


langkah yang perlu untuk mengkonsolidasi dan mengembangkan Partai
dan sebagai suatu senjata penting yang memungkinkan Partai menjadi
hidup dan dinamis dalam perjuangan besar, sanggup mengadapi tugas-
tugasnya, menciptakan kekuatan baru dan mengatasi kesulitan-kesulitan
perang.”227

Bagi Mao, setelah menerapkan disiplin dan demokrasi dalam Partai maka Partai

Komunis Tiongkok dapat menjadi pemimpin perjuangan revolusioner dengan

terus memperluas ideologi dan politiknya di tengah-tengah rakyat Tiongkok.

Dalam memimpin perjuangan Revolusi Demokrasi Baru, Partai

Komunis Tiongkok dituntut harus mampu memobilisasi massa secara luas.

Kepemimpinan kelas proletariat melalui Partainya, tidak mungkin dapat

memenangkan Revolusi Demokrasi Baru tanpa peran aktif dari seluruh massa

rakyat tertindas di Tiongkok. Hal ini berkenaan dengan betapa besar musuh dari

Revolusi Demokrasi Baru, yaitu imperialisme dan feodalisme. Mao memandang

hal ini dengan menyebutkan bahwa Partai Komunis Tiongkok memiliki peranan

vital di tengah masyarakat Tiongkok. Bagi Mao, sebelum rakyat Tiongkok

dimobilisasi melakukan perjuangan revolusionernya, terlebih dulu Partai Komunis

Tiongkok harus mampu memperhatikan kehidupan dan cara kerja massa. Terkait

hal ini, pernyataan Mao harus dikutip sedikit panjang:

“Jika kita ingin menang, kita harus bekerja lebih banyak lagi. Kita harus
memimpin perjuangan kaum tani untuk tanah dan membagikan tanah
kepada mereka, mempertinggi antusiasme kerja mereka dan
meningkatkan produksi pertanian. Menjamin kepentingan kaum buruh,
mendirikan koperasi-koperasi, mengembangkan perdagangan dengan

227. Ibid, 269.


227

luar daerah kita, memecahkan masalah yang dihadapi massa seperti


sandang, pangan, perumahan, kayu bakar, beras, minyak goreng dan
garam, penyakit dan kesehatan serta perkawinan. Pendeknya, semua
masalah praktis dalam kehidupan massa sehari-hari harus mendapat
perhatian kita. Apabila kita memperhatikan dan memecahkan masalah-
masalah tersebut serta memenuhi kebutuhan-kebutuhan massa, maka
kita akan benar-benar menjadi organisator kehidupan massa, dan
massapun akan benar-benar berhimpun di sekitar kita dan dengan
gairah mendukung kita.”228

Dalam kutipan di atas, Mao bermaksud ingin menekankan pada seluruh pimpinan,

kader, maupun anggota Partai Komunis Tiongkok mengenai tugas Partai di tengah

massa.

Dalam menekankan pentingnya memperhatikan kehidupan massa, Mao

tidak hanya memaparkan gagasan-gagasan teoritik, namun juga mencontohkan

dengan beberapa capaian yang telah didapat oleh beberapa daerah yang dikuasai

Partai Komunis. Mengenai ini, Mao menuliskan panjang lebar:

“Ketika satu setengah kamar dari rumah seorang tani yang miskin di
kecamatan Changkang musnah terbakar, pemerintah kecamatan itu
segera menyerukan kepada massa supaya menyumbangkan uang untuk
membantunya. Ketika ada tiga orang kehabisan makanan, pemerintah
kecamatan tersebut dan perkumpulan saling-bantu segera memberikan
beras kepada mereka. Pada masa paceklik di musim panas yang lalu,
pemerintah kecamatan Changkang mendatangkan beras dari kabupaten
Kunglue yang jauhnya lebih dari 200 li untuk menolong massa.
Demikian juga di kecamatan Chaisi, pekerjaan-pekerjaan semacam ini
dilakukan dengan sangat baiknya.”229

Contoh tersebut membuktikan bahwa Mao mengerti betul tentang kehidupan

massa. Bagi Mao, massa adalah sumber kekuatan utama dalam melakukan

perjuangan. Revolusi Demokrasi Baru tidak akan pernah mencapai

kemenangannya tanpa keterlibatan aktif dari massa.

228. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 196.
229. Ibid, 197.
228

Pemikiran Mao mengenai pentingnya peranan massa tidak lepas dari

pengetahuannya yang tajam mengenai sejarah. Sejarah perjuangan revolusioner

telah memberi pelajaran berharga kepada Mao. Hal ini terutama pasca

kemenangan revolusi proletariat di Rusia dalam menumbangkan rejim Tsar pada

1917. Bagi Mao, seberapapun besarnya kekuatan dari kelompok penghisap dan

penindas tetap akan dapat dikalahkan dengan kekuatan besar massa. Dalam hal

ini, kedudukan massa menjadi semakin penting seiring jalan revolusi yang

ditetapkan oleh Partai Komunis Tiongkok, yaitu revolusi melalui medium perang

bersenjata rakyat melawan kekuatan kontra revolusioner.

Mao menggambarkan kekuatan massa dalam perjuangan revolusioner:

“Bayangkanlah istana-istana kaisar feodal selama ribuan tahun yang


lalu, bukankah semua itu cukup kuat dengan tembok-tembok dan parit-
paritnya? Namun sekali rakyat bangkit, robohlah semua itu satu demi
satu. Tsar Rusia adalah salah satu penguasa yang paling lalim di dunia,
tetapi ketika proletariat dan kaum tani bangkit berrevolusi, masih
adakah Tsar itu? Tidak ada lagi. Dan benteng bajanya semua roboh.”230

Mao meyakini benteng terkuat sesunggunya adalah massa yang berhimpun dan

mendukung revolusi dengan sungguh-sungguh. Sebelum hal itu terjadi, massa

harus dibangkitkan kesadarannya, bahwa revolusi adalah kewajiban bersama dan

Partai Komunis Tiongkok adalah partainya massa rakyat Tiongkok. Dengan

menghimpun berjuta massa tersebut di bawah pimpinan Partai Komunis

Tiongkok, barulah Revolusi Demokrasi Baru dapat mengalahkan imperialisme

dan feodalisme serta pemerintahan komprador dalam negeri.

Partai Komunis Tiongkok merupakan aspek pokok pertama dalam

Revolusi Demokrasi Baru. Keberadaan Partai Komunis Tiongkok juga berkaitan

230. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid II, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 340.
229

dengan kepemimpinannya dalam menjalankan Revolusi Demokrasi Baru. Aspek

lain yang berkaitan dengan Revolusi Demokrasi Baru dan Partai Komunis

Tiongkok adalah perang tahan lama. Perang tahan lama merupakan manifestasi

dari Revolusi Demokrasi Baru dalam menghancurkan kekuatan imperialisme dan

feodalisme.

Perang merupakan bentuk perjuangan revolsioner yang mau tidak mau

harus terjadi. Dalam hal ini, perang yang dimaksud adalah perang revolusioner.

Perang revolusioner adalah perang yang bertujuan untuk memecahkan kontradiksi

yang terjadi. Kontradiksi yang dimaksud adalah antara kelas-kelas penghisap

dengan yang terhisap. Kontradikisi tersebut bersifat antagonis, sehingga

mengharuskan hancurnya salah satu segi kontradiksi tersebut. Mengenai ini, Mao

mengamini apa yang dikatakan oleh Lenin:

“... pembebasan melalui revolusi adalah dengan mengganti negara


borjuis menjadi negara proletar, melalui cara kekerasan, di mana
kekerasan adalah bidan bagi setiap masyarakat lama yang telah
menghamilkan masyarakat baru.”231

Perang revolusioner untuk memecahkan kontradiksi, juga menjadi

jalan dari Revolusi Demokrasi Baru di Tiongkok. Kontradiksi antara

imperialisme dengan negeri Tiongkok dan antara feodalisme dengan rakyat

menjadi hal yang pokok. Kontradiksi ini menurut pemikiran Mao hanya dapat

dipecahkan melalui perang revolusioner. Lebih lanjut Mao menulis dalam

karyanya:

“Perang- suatu bentuk perjuangan yang tertinggi untuk memecahkan


kontradiksi-kontradiksi antara klas dengan klas, bangsa dengan bangsa,

231. V.I.Lenin, NEGARA DAN REVOLUSI, Ajaran Marxis Tentang Negara dan
Tugas-Tugas Proletariat Di Ddalam Revolusi, terj. Oey Hay Djoen (Bandung: Ultimus, 2005), 29
230

negara dengan negara, atau golongan politik dengan golongan politik


pada tingkat tertentu dari perkembangan kontradiksi itu, perjuangan
yang telah ada sejak lahirnya milik perseorangan dan klas-klas.”232

Dalam hal ini, Mao ingin menekankan bahwa perang adalah tahap tertingi dari

perjuangan revolusioner. Mengenai hal ini, Mao menyatakan bahwa perang

revolusioner rakyat Tiongkok harus mampu memahami kondisi-kondisi umum

dan khusus dalam perang.

Tiongkok sebagai negara setengah jajahan setengah feodal tentunya

memiliki kondisi khusus yang berbeda dengan negara lain. Analisis kelas-kelas

dalam masyarakat Tiongkok juga telah menunjukan betapa kompleksnya

masyarakat Tiongkok. Dalam hal ini, perang juga harus disesuiakan dengan

kondisi-kondisi tersebut. Dalam pemikirannya, Mao membahas apa yang

dinamakan perang revolusioner rakyat Tiongkok. Perang revolusioner rakyat

Tiongkok merupakan perang untuk menghancurkan imperialisme dan feodalisme

secara bersamaan.

Pemikiran Mao mengenai perang revolusioner dipengaruhi oleh

beberapa aspek baik secara teori maupun praktik. Secara teori, jelas bahwa

rumusan-rumusan dari Marxisme-Leninisme mengenai revolusi merupakan aspek

utamanya. Dalam hal ini, pemikiran Mao merupakan tindak lanjut dari

Marxisme-Leninisme, khususnya di negara setengah jajahan setengah feodal.

Aspek lain yang mempengaruhinya adalah pengalaman internal Tiongkok dan

pengalaman negeri-negeri lain dalam melancarkan perang revolusioner untuk

pembebasan nasionalnya. Kemenangan revolusi Oktober 1917 di Uni Soviet telah

232. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 240.
231

memberikan begitu banyak pengetahuan tentang perang revolusioner bagi

pemikiran Mao. Hal ini terjadi karena, pengalaman perang revolusioner Uni

Soviet adalah yang pertama di dunia hingga berhasil menghancurkan kekuasaan

otokrasi Tsar dan membangun negara sosialis. Pengalaman ini semakin

memperkaya dan meyakinkan pemikiran Mao tentang jalan revolusioner dan

perang revolusionernya.

Pengalaman lain yang mempengaruhi pemikiran Mao adalah perang

dalam negeri Tiongkok. Perang dalam negeri yang dimaksud adalah perang

revolusioner pertama yang sering disebut gerakan „Ekspedisi ke Utara‟. Ekspedisi

ke Utara adalah perang revolusioner yang dilakukan oleh Partai Komunis

Tiongkok bersama front persatuannya dengan Partai Nasionalis Tiongkok

pimpinan Chiang Kai Sek. Perang revolusioner ini terjadi pada periode 1924-

1927. Secara umum, tujuan dari perang revolusioner Ekspedisi ke Utara adalah

untuk mengalahkan raja-raja perang yang mengabdi pada beberapa negara

imperialis dan mempersatukan Tiongkok dalam pemerintahan nasional. 233 Dalam

hal ini, bagi Partai Komunis Tiongkok perang tersebut memiliki tujuan yang

khusus. Tujuan utama Partai Komunis Tiongkok adalah melancarkan revolusi

agraria di pedesaan untuk mendirikan daerah-daerah bebas di bawah kekuasaan

Partai Komunis Tiongkok melalui organisasi-organisasi taninya.

Pengalaman perang Ekspedisi ke Utara dalam aspek tertentu

memberikan pengalaman dan kemenangan tersendiri bagi gerakan revolusioner.

Dalam hal ini, perang tersebut telah mendidik kaum tani khususnya untuk

233. Imam Soedjono, Rakyat dan Senjata: Perang Rakyat di Beberapa Negeri Asia,
(Yogyakarta: Resist Book, 2011), 25.
232

membangun organisasi dan berkuasa di wilayahnya masing-masing. Menurut

penyelidikan Mao di wilayah Hunan, serikat-serikat tani telah melakukan

perjuangan menghancurkan kekuatan feodal baik bangsawan maupun tuan-tuan

tanah di desa.234 Hal ini banyak yang berujung pada kemenangan serikat tani.

Perang revolusioner Ekspedisi ke Utara pada sisi yang lain memberikan

pengalaman berharga bagi pemikiran Mao. Serentetan kemenangan gerakan

revolusioner pada tahun 1924-1927 kemudian secara sepihak dikhianati oleh

Partai Nasionalis Tiongkok. Pada 12 April 1927, pasukan bersenjata Chiang Kai

Sek melakukan penyerbuan dan penumpasan terhadap kaum komunis Tiongkok di

Shanghai.235 Pergerakan tersebut disokong oleh para bankir maupun borjuasi di

Tiongkok. Dalam tragedi ini ribuan kaum komunis dan serikat buruh dibunuh dan

dimasukan dalam penjara.

Dari pengetahuan teori Marxisme-Leninisme dan pengalaman beberapa

perang revolusioner tersebut Mao merumuskan pemikirannya tentang perang

revolusioner. Perang revolusioner rakyat Tiongkok menurut Mao harus mampu

mengkolaborasikan hukum-hukum umum dan khusus tentang perang. Bagi Mao,

perang revolusioner dalam Revolusi Demokrasi Baru memiliki hukum-hukum

khusus di dalamnya. Perang tidaklah dapat disamakan begitu saja tanpa melihat

aspek-aspek khususnya. Aspek khusus yang dimaksud oleh Mao adalah waktu,

tempat dan sifat perang. Hukum umum dari perang sejatinya adalah berkembang.

Dalam aspek memahami perang revolusioner Tiongkok, Mao menekankan bahwa

234. Ibid, 32-33.


235. Ibid, 27.
233

pengalaman perang revolusioner Uni Soviet dan Ekspedisi ke Utara di Tiongkok

tidak bisa diterapkan secara mekanis.

Pandangan-pandangan keliru dalam memandang perang revolusioner

dalam internal partai maupun di luar partai juga tidak luput dari perhatian Mao.

Ada beberapa pandangan yang mengemuka tentang perang revolusioner

Tiongkok. Pandangan pertama adalah pandangan yang menyatakan untuk

memenangkan perang, Partai Komunis Tiongkok dan gerakan revolusionernya

cukum mempelajari dan menguasai pengetahuan perang secara umum.

Maksudnya adalah dengan mempelajari pedoman-pedoman perang dan

kemiliteran yang dikeluarkan oleh pemerintahan Tiongkok yang reaksioner dan

komprador.236 Hal ini menurut pandangan Mao tentu adalah sebuah kekeliruan

yang fundamental. Menurut Mao, panduan perang yang dikeluarkan oleh

pemerintahan Tiongkok adalah panduan perang kontra revolusioner, yang

bertujuan untuk memusnahkan seluruh perjuangan Revolusi Demokrasi Baru.

Dengan demikian, Mao benar-benar mengecam pandangan tersebut.

Pandangan yang kedua adalah yang memandang bahwa perang

revolusioner cukup dengan mengikuti apa yang dilakukan oleh perang

revolusioner Uni Soviet. Pandangan ini berangkat dari keberhasilan perang

revolusioner tersebut dalam mengantarkan kemenangan bagi proletariat Uni

Soviet. Dalam hal ini, pandangan tersebut lebih lanjut menganjurkan untuk

memperlajari kitab-kitab militer tentara merah Uni Soviet. Mengenai ini Mao

menulis argumentasinya:

236. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 241.
234

“... mereka tidak tahu bahwa walaupun kita harus teristimewa


menghargai pengalaman perang Uni Soviet, karena pengalaman itu
adalah pengalaman perang revolusioner yang terbaru dan diperoleh di
bawah pimpinan Lenin dan Stalin, tetapi kita juga harus menghargai
pengalaman perang revolusioner Tiongkok, karena revolusi Tiongkok
dan Tentara Merah Tiongkok mempunyai banyak kekhususannya
pula.”237

Pandangan selanjutnya yang besar pula mempengaruhi rakyat adalah

pandangan parsial tentang pengalaman perang revolusioner Ekspedisi ke Utara

pada tahun 1924-1927. Dalam hal ini, Mao melakukan kritik terhadap pandangan

tersebut. Kritik Mao terpusat pada pandangan tersebut yang mekanis. Bagi Mao,

pengalaman praktik revolusioner Ekspedisi ke Utara adalah pengalaman berharga

dan harus diapresiasi dan dipelajari, namun pengalaman tersebut tidak dapat

begitu saja ditiru. Perang revolusioner Ekspedisi ke Utara adalah perang yang

secara khusus memiliki sasaran dan tenaga penggerak revolusi. Sebut saja

kolaborasi antara Partai Komunis Tiongkok dengan Partai Nasionalis Tiongkok

saat Ekspedisi ke Utara. Pada perkembangannya, pasca keberhasilan Ekspedisi ke

Utara, antara Partai Komunis Tiongkok dengan Partai Nasionalis Tiongkok

mengalami kontradiksi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perang

revolusioner memang terus berkembang dan harus sesuai dengan kekhususan baik

waktu, tempat, maupun sifatnya.

Pemikiran Mao mengenai perang berangkat dari hal tersebut, yaitu

tentang hukum-hukum umum dan khusus dalam perang. Pemahaman hal tersebut

mengantarkan selanjutnya pada aspek tujuan perang. Filsafat materialisme

dialektika yang termanifestasi dalam pemikiran Mao tentang kontradiksi menjadi

237. Ibid, 242.


235

landasan utama dari maksud Mao mengenai tujuan perang. Mao memiliki

pemikiran bahwa perang seharusnya bertujuan akhir untuk meniadakan perang itu

sendiri. Perang yang dimasud Mao tentu adalah perang revolusioner, bukan

perang yang lainnya.

Perang memang selalu menjadi momok yang menakutkan dan jauh dari

kata humanis. Pandangan tersebut berlaku secara universal, tidak terkecuali

terhadap perang revolusioner. Bagi para pemikir Marxis, termasuk Mao

menyatakan bahwa perang revolusioner terjadi karena ada sebab struktural dan

sistemik yang melahirkannya. Penyebab yang dimaksud adalah sistem

penghisapan dan penindasan yang terjadi pada masyarakat berkelas. Hal ini

tentunya juga terjadi pada negeri Tiongkok yang setengah jajahan setengah feodal.

Dalam hal ini, kelas penghisap dan penindas akan terus melakukan apa saja,

termasuk perang untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan demikian,

perang revolusioner dan segala gerakan revolusioner sudah pasti akan

menghadapi perang kontra revolusioner.

Dalam tradisi pemikiran Marxis, para pemikirnya juga menyandarkan

analisisnya pada aspek sejarah. Dalam sejarah perkembangan masyarakat dunia,

setiap perubahan radikal selalu termanifestasi dengan perang. Perang pembebasan

budak di Romawi tahun 73-71 SM, perang kaum tani di Jerman tahun 1525,

hingga perang revolusioner di Uni Soviet 1917 adalah beberapa catatan sejarah

perang antara kelas tertindas melawan kelas penindas. Dari ulasan pemikiran dan

catatan sejarah tersebut, menjadikan Mao menyimpulkan bahwa perang

revolusioner merupakan bukan perang yang tanpa sebab dan tanpa tujuan.
236

Perang revolusioner bagi Mao bertujuan untuk meniadakan perang.

Maksud dari meniadakan perang adalah karena perang revolusioner akan

menghancurkan kekuatan dan kekuasaan kelas-kelas penindas, dengan demikian

memungkinkan untuk menghilangkan penindasan. Perang revolusioner bagi Mao

adalah perang melawan kekuatan kontra revolusioner yang tidak bisa dihindari.

Dalam masyarakat Tiongkok, perang revolusioner yang dipimpin oleh kekuatan

buruh dan tani bersenjata adalah untuk menghancurkan imperialisme dan

feodalisme. Mengenai ini, lebih lanjut Mao menulis:

“... perang, momok berupa saling bunuh antara sesama manusia ini,
akhirnya akan dilenyapkan oleh kemajuan masyarakat manusia, dan
bahkan akan dilenyapkan di masa datang yang tidak terlalu jauh lagi.
Tetapi hanya satu jalan untuk melenyapkannya, yaitu melawan perang
dengan perang, melawan perang kontra revolusioner dengan perang
revolusioner, melawan perang nasional kontra revolusioner dengan
perang perang nasional revolusioner, dan melawan perang kelas kontra
revolusioner dengan perang kelas revolusioner.”238

Lebih lanjut, Mao menekankan dalam tulisannya yang lain mengenai

tujuan dari perang revolusioner:

“Bilamana masyarakat manusia maju sampai pada saat di mana kelas


dan negara telah lenyap, maka tak akan ada lagi perang, baik perang
kontra revolusioner maupun perang revolusioner, perang tak adil
maupun perang adil, dan itulah zaman perdamaian abadi bagi umat
manusia. Dalam mempelajari hukum-hukum perang revolusioner, kita
bertolak dari hasrat kita untuk melenyapkan semua perang. Di sinilah
letak garis pemisah antara kita kaum Komunis dengan semua kelas
penghisap.”239

Dalam hal ini, Mao mencoba untuk menggambarkan tetang pemikirannya

mengenai perang revolusioner. Dalam pemikiran Mao, perang revolusioner

238. Ibid, 244.


239. Ibid, 245.
237

adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari perjuangan panjang menuju

Revolusi Demokrasi Baru. Perang revolusioner adalah jalan menuju kemenangan

Revolusi Demokrasi Baru.

Revolusi Demokrasi Baru merupakan perjuangan yang panjang. Bagi

Mao, Revolusi Demokrasi Baru tidak akan bisa dimenangkan dengan cepat. Hal

ini mengingat bahwa imperialisme Jepang dan feodalisme tidak akan diam begitu

saja melihat perkembangan revolusi. Demikian halnya dengan perang

revolusioner, perang revolusioner Tiongkok menurut Mao adalah perang yang

akan memakan waktu panjang. Berangkat dari hal ini, Mao kemudian

menamakan perang revolusioner Tiongkok sebagai perang tahan lama.

Sejarah perjuangan rakyat Tiongkok pasca kemenangan revolusi borjuis

tahun 1911 diisi dengan perang perlawanan rakyat. Dalam hal ini, Mao

mengklasifikasikan perang revolusioner rakyat Tiongkok dalam 3 (tiga) tahapan,

yaitu tahap Perang Dalam Negeri pertama pada tahun 1924 sampai tahun 1927,

Perang Dalam Negeri kedua dari tahun 1927 sampai 1936, dan Perang

Revolusioner nasional Anti-Jepang.240 Ketiga perang tersebut bukan merupakan

perang revolusioner yang terpisah-pisah. Ketiganya memiliki kelasinghubungan

yang erat, musuh dari seluruh perang tersebut adalah imperialisme dan kekuatan

feodal. Dalam aspek lain, tujuan dari ketiga perang tersebut adalah merombak

secara keseluruhan sistem setengah jajahan setengah feodal Tiongkok menjadi

demokrasi baru. Artinya, ketiga perang revolusioner tersebut adalah perang tahan

lama dalam rangka perjuangan besar Revolusi Demokrasi Baru.

240. Ibid, 256.


238

Ketiga perang revolusioner tersebut terjadi di bawah pimpinan kelas

proletariat Tiongkok melalui Partai Komunis Tiongkok. Menurut Mao, seluruh

perang revolusioner di Tiongkok tidak mungkin dipimpin oleh kelas yang lain

melalui partainya. Perang revolusioner, termasuk Revolusi Demokrasi Baru

hanya dapat dipimpin oleh Partai Komunis Tiongkok, namun Partai Komunis

Tiongkok juga harus tepat dalam menjalankan aspek ideologi, politik, dan

organisasinya. Hal ini menurut pemikiran Mao akan berguna untuk menghindari

perang dan revolusi Tiongkok dari penyimpangan garis politik oportunisme kanan

dan oportunisme kiri. Dalam hal ini, kedua penyimpangan itu adalah hal yang

akan merintangi kemenangan dalam perang revolusioner dan Revolusi Demokrasi

Baru secara keseluruhan.

Oportunisme kanan adalah pandangan kompromisme yang memandang

perjuangan revolusioner rakyat akan sulit menang. Dalam hal ini, pandangan

oportunisme kanan menganggap perlu untuk mengkolaborasikan kepentingan

kelas tertindas dengan kepentingan borjuasi. Dalam pengalaman perang

revolusioner di Tiongkok, hal ini pernah terjadi pada periode perang dalam negeri

tahun 1924-1927. Akhir tragis dari perang revolusioner tersebut adalah

pengkhianatan yang dilakukan oleh Partai Nasionalis Tiongkok dengan

melakukan pembunuhan dan penangkapan kepada kaum Komunis. Hal ini terjadi

karena kala itu pimpinan Partai Komunis Tiongkok Chen Tu-Shiu mengambil

politik oportunisme kanan. Dalam hal ini, sikap tersebut termanifestasi dari

pilihan politik untuk lebih menyelamatkan front persatuan dengan Partai

Nasionalis Tiongkok. Dari kejadian itulah kemudian muncul kritik terhadap sikap
239

yang menunjukan “segala-galanya demi keselamatan front persatuan‟‟, yang

mengorbankan perjuangan pokok perang revolusioner rakyat. 241 Kemelut dan

kesalahan oportunisme kanan dari pimpinan Partai Komuis Tiongkok tersbut

berimbas pada pemecatan Chen Tu-Shiu.

Pada tanggal 7 Agustus 1927, diadakan suatu konferensi darurat

Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok.242 Pada momentum inilah Chen Tu-Shiu

dipecat dari jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal dan digantikan oleh Chu Chiu-

pai. Dalam konferensi tersebut yang juga dihadiri oleh Mao, menetapkan kembali

garis perjuangan revolusioner melalui perang tahan lama. Dalam hal ini, perang

revolusioner untuk mewujudkan demokrasi baru di Tiongkok tidak hanya

diarahkan pada imperialisme dan feodalisme, namun Partai Komunis Tiongkok

juga menetapkan Partai Nasionalis Tiongkok yang telah berkhianat pada revolusi

dan perjuangan rakyat Tiongkok sebagai musuhnya.

Kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok pasca konferensi darurat

tersebut bukan tanpa masalah. Penyimpangan sikap oportunisme kanan memang

telah disingkirkan, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Partai Komunis

Tiongkok dalam menjalankan strategi perang revolusionernya mengalami

penyimpangan oportunisme kiri. Hal ini termanifestasi dalam program strategi

perang revolusioner pada Juli 1927, yaitu “Pemberontakan Panen Musim Gugur”.

Secara esensi, pemberontakan tersebut bertujuan untuk melakukan pembagian

tanah milik tuan tanah, pembentukan tentara merah yang berisikan kekuatan

241. Imam Soedjono, Rakyat dan Senjata: Perang Rakyat di Beberapa Negeri Asia,
(Yogyakarta: Resist Book, 2011), 29.
242. Ibid, 39.
240

buruh dan tani, dan mendirikan daerah kekuasaan Partai Komunis Tiongkok.

Dalam pemberontakan tersebut, Mao yang ditugaskan untuk memimpinnya.

Dalam rangka melakukan pemberontakan tersebut, Mao menyusun

strategi untuk melakukan pengepungan dan merebut kota Changsa. Dalam

strateginya, Mao merumuskan untuk melakukan penyerangan terlebih dahulu

pada daerah-daerah sekitar kota Changsa dan bersamaan dengan itu ribuan buruh

akan didorong untuk melakukan aksi-aksi besar di pusat kota Changsa. Rencana

Mao tersebut diarahkan untuk berakhir pada suatu titik yaitu penyerbuan bersama

pasukan yang berada di luar kota dan yang berada di dalam kota. Tujuan utama

strategi Mao tersebut adalah untuk memecah konsentrasi musuh dengan

menghancurkan satu demi satu daerah kekuasaan musuh.

Rencana perang revolusioner tersebut tidak mendapat restu dari Komite

Pusat Partai Komunis Tiongkok. Dalam menilai rencana Mao dalam memimpin

pemberontakan, Mao dinilai lebih mengutamakan kekuatan militer tentara merah

tanpa memperhatikan kekuatan rakyat bersenjata.243 Dalam hal ini, lebih lanjut

strategi Mao di cap sebagai “petualangan militer belaka”. Dalam melakukan

respon terhadap kritik dari Partai Komunis Tiongkok, Mao menegaskan bahwa

sikap Komite Pusat Partai Komunis Tiongkok adalah kontradiktif. Sikap

kontradiktif yang dimaksud adalah di satu sisi mengasikan perang dari militer,

namun di sisi lainnya menginginkan pemberontakan bersenjata dari rakyat. Lebih

lanjut, Mao menegaskan bahwa kondisi konkretnya adalah tentara merah baginya

243. Ibid, 42.


241

tetap adalah bantuan bagi kekuatan dari buruh dan tani yang tidak cukup

jumlahnya.244

Tindak lanjut dari strategi pemberontakan tersbut adalah pakasaan dari

Partai Komunis Tiongkok untuk tetap menyerang langsung kota Changsa.

Strateginya adalah dengan memaksimalkan perang rakyat bersenjata yang

sebelumnya dikatakan tidak cukup kuat oleh Mao. Hasil dari strategi yang

dipaksakan itu adalah kekalahan bagi pasukan revolusioner. Kegagalan dalam

“Pemberontakan Panen Musim Gugur” disebabkan dari penyimpangan

oportunisme kiri. Dapat disimpulkan bahwa oportunisme kiri adalah pandangan

yang menganggap terlalu lemahnya musuh yang dihadapi dan tidak memeriksa

dengan objektif jika kekuatan internal masih sangat minim. Hal ini yang kerap

menjerumuskan perang revolusioner pada kegagalan dan pengorbanan yang

merugikan perjuangan.

Selain pengalaman tersebut, Mao juga menyoroti penyimpangan

oportunisme kiri yang terjadi pada periode 1931-1934. Penyimpangan tersebut

terjadi dikala perang revolusioner sedang melakukan perang dan propaganda

kontra terhadap strategi “Pengepungan dan Penumpasan” kelima yang dilakukan

oleh Chiang Kai Sek. Akibatnya dari penyimpangan tersebut Mao menulis dalam

artikelnya:

“Perang Revolusi Agraria menderita kerugian yang luar biasa seriusnya


sehingga kita bukan hanya tidak dapat mengalahkan musuh dalam
kontra-kampanye terhadap „pengepungan dan penumpasan‟ kelima, tapi
malah kehilangan daerah-daerah basis dan tentara merah telah
diperlemah.”245

244. Ibid, 42.


245. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 259.
242

Kedua penyimpangan ini merupakan hal yang menjadi catatan

penting dalam pemikiran Mao mengenai perang tahan lama Tiongkok. Bagi Mao,

kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok memiliki aspek yang penting dalam hal

ini. Kepemimpinan Partai harus mampu menyingkirkan dua jenis penyimpangan

politik tersebut dari revolusi dan perang revolusioner Tiongkok.

Pemikiran Mao berlanjut dalam aspek menuju kesimpulan tetang

perang tahan lama. Aspek yang dimaksud adalah bantahan terhadap 2 (dua) teori

perang Tiongkok. Kedua teori tersebut adalah teori tentang “Kemusnahan

Negara” dan teori tentang “Perang Cepat Menang”. Keduanya bagi Mao adalah

pandangan yang tidak tepat dalam menilai karakter dan hari depan perang

revolusioner Tiongkok. Dalam hal ini, Mao membangun gagasannya untuk

meruntuhkan bangunan teoritik dari kedua teori tersebut.

Teori kemusnahan negara adalah teori yang memandang bahwa perang

revolusioner Tiongkok akan berakhir pada kehancuran dan kekalahan kelompok

kaum Komunis. Pandangan ini mendasari argumentasinya pada perbandingan

kekuatan semata. Bagi mereka, imperialisme Jepang memiliki persenjataan dan

modal yang jauh lebih baik untuk menghancurkan pasukan revolusioner

Tiongkok. Dalam hal ini, pandangan teori ini akan mendekatkan mereka pada

jalur-jalur kompromi terhadap imperialisme Jepang dan pemerintah dalam negeri.

Dalam menyikapi mengemukanya teori kemusnahan negara, Mao

mengatakan bahwa para penganut teori tersebut hanya berat sebelah menilai

situasi perang revolusioner. Dalam hal ini, lebih lanjut Mao mengatakan:
243

“Penganut-penganut teori kemusnahan negara, yang melihat satu faktor


saja, yaitu perbandingan antara kuatnya musuh dengan lemahnya kita,
dahulu sudah berkata: „Jika melakukan perang perlawanan pasti
musnah‟ dan sekarang mereka berkata pula: „Jika berperang terus pasti
musnah‟.”246

Bagi Mao, argumentasi teori mereka sesungguhnya tidak berdasar analisis yang

konkret. Semula, sebelum terjadinya perang mereka meyakini meletusnya perang

revolusioner akan memusnahkan Tiongkok. Hal ini dibantah oleh terus

berkembangnya perang revolusioner dan bertahannya kekuatan revolusioner.

Menyikapi itu, lalu mereka mengajukan satu argumentasi lagi, yaitu jika perang

terus berlangsung maka Tiongkok akan musnah.

Dalam argumentasi bantahan selanjutnya Mao mengemukakan syarat

internal kondisi Tiongkok dan Jepang. Menurut pemikiran Mao, Tiongkok saat

melakukan perang revolusioner sudah menjadi negeri yang berbeda dibandingkan

dengan zaman feodalisme. Kelahiran dan perkembangan kelas proletariat,

berdirinya Partai Komunis Tiongkok, semakin terdidiknya kaum tani dan borjuasi

kecil perkotaan dalam perlawanannya, dan pengalaman panjang perlawanan

melawan kelas penindas adalah faktor-faktor kemajuan dari negeri Tiongkok.

Faktor-faktor tersebut adalah syarat penting bagi kemenangan perang revolusiner

Tiongkok. Menurut Mao, kesemua faktor tersebut adalah faktor penting dan

menentukan bagi perang revolusioner. Lebih lanjut, Mao mengemukakan bahwa

hal yang sebaliknya terjadi pada imperialisme Jepang.

Perang revolsioner Tiongkok meruapakan perang tahan lama yang

memakan waktu panjang. Dalam hal ini, kondisi imperialisme Jepang justru

246. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid II, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 157.
244

sedang mengalami krisis. Jepang melakukan perang kontra revolusioner melawan

Tiongkok pasca terjadinya Perang Dunia I. Artinya kondisi negara-negara

imperialisme lain sedang mengalami kemunduran pasca perang.247 Selain itu,

periode tersebut juga akan menyeret Jepang dan negara-negara imperialis lainnya

ke fase perang besar selanjutnya, yaitu Perang Dunia II. Bagi Mao, hal ini akan

menjadikan imperialis Jepang mengalami „pecah fokus‟ dalam menghadapi

perang revolusioner Tiongkok. Mao menambahkan mengenai kondisi zaman

yang telah berubah. Menurut pemikiran Mao, Jepang juga sedang menghadapi

gejolak di dalam negerinya. Gerakan rakyat di dalam negeri Jepang mulai bangkit

dan melakukan protes terhadap pemerintahan. Hal ini terjadi tentunya akibat dari

politik agresor imperialis Jepang yang banyak ditentang rakyatnya. Jadi, bagi

Mao imperialisme Jepang sedang mengalami „pukulan‟ dari segala penjuru.

Pemikiran Mao untuk membantah teori kemusnahan negara berlajut

pada analisisnya tentang kondisi internasional. Menurut Mao, konstelasi politik

luar negeri sangat menguntungkan perang revolusioner Tiongkok. Kondisi

internasional sedang berkecamuk perang-perang pembebasan nasional negeri-

negeri jajahan maupun setengah jajahan seperti Tiongkok. Artinya kesadaran

politik untuk melakukan perebutan kemerdekaan semakin tinggi. Hal ini bagi

Mao akan berbanding lurus pada sikap politik rakyat dunia yang semakin

mengecam watak agresor dari imperialisme. Gerakan rakyat sedunia saat ini

sedang berkembang dengan skala yang luas untuk melawan imperialisme,

khususnya kelompok fasis, termasuk Jepang di dalamnya.248

247. Ibid, 158.


248. Ibid, 160.
245

Konstelasi politik internasional itu menjadikan posisi Tiongkok lebih

diuntungkan ketimbang imperialisme Jepang. Hal ini akan memungkinkan

Tiongkok untuk mendapatkan bantuan internasional dari berbagai gerakan rakyat,

khususnya Uni Soviet. Jepang justru harus menghadapi berbagai gejolak

internasional yang mendekatkan imperialisme Jepang dan kelompok negara-

negara fasis lainnya pada kekalahan.

Dari pemikiran Mao tersebut dapat disimpulkan bahwa pandangan teori

kemusnahan negara tidaklah tepat. Berbagai syarat yang telah dipaparkan oleh

Mao menunjukan bahwa perang revolusioner Tiongkok lebih diuntungkan. Hal

inilah yang menurut Mao akan memungkinkan perang revolusioner bertahan

lama. Berkaitan dengan hal ini, Mao tetap menegaskan bahwa walaupun teori

kemusnahan negara tidaklah tepat, namun perang revolusioner juga tidak mungkin

menang denga cepat. Artinya Mao juga tidak membenarkan teori perang cepat

menang.

Dalam pemikirannya, Mao menegaskan selemah apapun kondisi

Jepang, namun imperialisme tetaplah lebih kuat dan unggul ketimbang Tiongkok

yang setengah jajahan setengah feodal. Dari segala aspek, politik, ekonomi,

kebudayaan dan militer jelaslah bahwa imperialisme Jepang memiliki

keunggulan. Hal ini bagi Mao tidaklah boleh dipungkiri, karena ini adalah suatu

kebenaran.249 Dalam hal ini, Mao berpandangan bahwa perang revolusioner

antara Tiongkok melawan imperialisme Jepang tidak akan berlangsung cepat.

249. Ibid, 170.


246

Kemenangan perang revolusioner hanya bisa didapatkan melalui perang tahan

lama.

Perang tahan lama merupakan ciri bagi perang revolusioner Tiongkok.

Perjuangan untuk memenangakan Revolusi Demokrasi Baru harus melalui jalan

perang tahan lama menghadapi musuh-musuh yang kontra revolusioner. Dalam

hal ini, terdapat beberapa penyebab yang menyebabkan Tiongkok memilih

karakter perangnya. Aspek utamanya adalah sasaran dari Revolusi Demokrasi

Baru yaitu imperialisme dan feodalisme. Sasaran revolusi tersebut merupakan hal

yang besar untuk dikalahkan. Partai Komunis Tiongkok, pimpinan, kader, dan

anggotanya harus memahami betapa besar musuh yang sedang dihadapinya. Hal

ini diperparah dengan pengkhianatan pemerintahan dalam negeri pimpinan

Chiang Kai Sek. Dalam hal ini, menjadikan musuh dari perang revolusioner

Tiongkok menjadi bertambah dan semakin membesar kekuatannya.

Dalam pemikirannya tentang perang tahan lama, Mao melakukan

klasifikasi mengenai tingkatan dalam perang. Klasifikasi ini bertujuan menjadi

pedoman umum untuk melancarkan perang tahan lama. Mengenai ini, akan

dikutip cukup panjang tulisan dari Mao:

“Karena perang Tiongkok-Jepang merupakan perang tahan lama dan


kemenangan terkahir akan berada di pihak Tiongkok, maka dapat
dibayangkan secara masuk akal bahwa perang tahan lama ini
konkretnya akan melalui tiga tingkat. Tingkat pertama merupakan masa
serangan strategis musuh dan pertahanan strategis kita. Tingkat kedua
merupakan masa penjagaan strategis musuh dan persiapan kita untuk
serangan-balas. Tingkat ketiga merupakan masa serangan-balas dan
pemunduran strategis musuh.”250

250. Ibid, 174.


247

Ketiga tingkat tersebut adalah sesuatu yang harus dicapai secara bertahap dalam

perang revolusioner Tiongkok.

Strategi pada tingkat pertama perang tahan lama adalah pertahanan

strategis. Pada tingkat pertama, pihak imperialisme Jepang akan memaksimalkan

serangan bersenjatanya untuk dapat memenangkan perang dengan cepat. Menurut

Mao, yang harus dilakukan oleh perjuangan revolusioner adalah bertahan dan

sebisa mungkin mempertahankan daerah basis kekuasaannya di desa-desa.

Dengan melakukan ini, menurut Mao imperialisme Jepang akan mengalami

kesulitan yang berarti untuk mengalahkan kekuatan revolusioner.

Tingkat pertahanan strategis terutama mengandalkan penggalangan

front persatuan secara luas. Hal ini dilakukan oleh Partai Komunis Tiongkok

untuk menyatukan kekuatan rakyat dari berbagai elemen kelas tertindas. Dalam

tingkat ini juga kaum Komunis sedang menghadapi strategi yang dinamakan oleh

Chiang Kai Sek dengan sebutan “pengepungan dan penumpasa”. Strategi ini

ditujukan untuk memukul mundur seluruh Tentara Merah revolusioner dan

merebut wilayah-wilayah kekuasaanya.

Seluruh proses perang tahan lama dalam tingkatan ini terjadi saat

kekuatan imperialisme Jepang dan kroninya masih lebih unggul. Dalam hal ini,

Mao menyatakan bahwa strategi utama dalam tingkat pertahanan strategis adalah

Perang Mobil yang didukung oleh perang gerilya dan perang posisi.251 Prinsip

dalam Perang Mobil adalah “bertempur bila bisa menang, menyingkir bila tidak

251. Ibid, 175.


248

bisa menang” kira-kira demikianlah istilah yang Mao gunakan untuk

menyederhanakan penjelasannya. Perang Mobil, lebih lanjut Mao menjelaskan:

“Garis operasi Tentara Merah ditentukan oleh arah operasinya. Tidak


tepatnya arah operasi mengakibatkan tidak tetapnya garis operasi.
Meskipun arah besar tidak berubah untuk jangka waktu tertentu, arah-
arah kecil di dalam rangka arah besar itu senantiasa berubah; ketika kita
menjumpai rintangan pada suatu arah, kita harus berbelok kearah yang
lain. Sesudah beberapa waktu, apabila arah besar kita juga menjumpai
rintangan. Harus kita ubah pula arah besar itu.”252

Dalam aspek ini, Mao ingin menyatakan bahwa dalam tingkat pertama, perang

revolusioner akan menjadi sangat melelahkan. Hal ini bertujuan untuk tetap

menjaga daerah kekuasaan Partai Komunis Tiongkok dan memperluasnya secara

bertahap. Dengan demikian, pernyataan Mao tegas bahwa strategi yang pokok

adalah Perang Mobil dan aspek pendukungnya ialah perang gerilya dan perang

posisi.

Pada tingkat pertama ini juga terjadi suatu momentum besar bagi

sejarah negara Tiongkok, yaitu Long March. Long March merupakan tindak

lanjut dari serentetan kekalahan akibat kesalahan dalam menerapkan strategi

perang revolusioner. Menurut Mao, sebenarnya Long March tidak perlu

dilakukan jika strategi perang revolusioner dalam menghadapi kampanye

pengepungan dan penumpasan ke-5 berjalan dengan tepat.253 Bagi Mao, yang

terjadi selama perang revolusioner kontra-pengepungan dan penumpasan ke-5

adalah kesalahan fatal dari strategi perang. Partai Komunis Tiongkok melakukan

kesalahan dengan memaksakan perang posisi di daerah Chiangsi. Dalam

252. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 323.
253. Imam Soedjono, Rakyat dan Senjata: Perang Rakyat di Beberapa Negeri Asia,
(Yogyakarta: Resist Book, 2011), 98.
249

menyikapi ini, Mao melayangkan kritiknya dengan menyebut bahwa aktifitas

kontra-kampanye terhadap pengepungan dan penumpasan ke-5 tidak menunjukan

keinisiatifan dan kedinamisan sedikitpun juga. Hal ini lebih lanjut mengakibatkan

pengunduran diri kaum Komunis dari basis revolusioner Chiangsi.254

Long March dimulai pada 16 Oktober 1934 tanpa tujuan akhir yang

jelas. Tujuan baru ditetapkan pasca perdebatan panjang Mao dengan Chang Kuo-

tao mengenai arah Long March beberapa bulan berikutnya. Long March diikuti

oleh kurang lebih 100.000 orang yang terdiri dari tentara dan masyarakat sipil.

Dalam perjalannnya, Long March dipimpin oleh Mao dengan menempuh jarak

lebih dari 9.600 Km dan melewati 11 Provinsi. Long March melewati provinsi

Fucien, Ciangsi, Kuangtung, Hunan, Kuangsi, Kuicou, Yunnan, Sikang, Secuan,

Kansu, dan berakhir di Shensi pada 20 Oktober 1935.255 Dalam perjalanan inilah

Mao menerapkan dengan baik Perang Mobil untuk mengecoh pasukan Partai

Nasionalis Tiongkok dan pasukan imperialis Jepang.

254. Ibid, 99.


255. Tjen Tjan Feng, Long March Di Samping Ketua Mao Tse Tung, terj: Tim Buku
Guci Media, (Surabaya: Guci Media, 2001), 110.
250

GAMBAR 13. Peta Jalur yang ditempuh saat Long March 1934-1935

Dalam menggambarkan bagaimana perjalanan besar dalam Long

March, Mao menyatakan:

“Long March adalah suatu barisan propaganda. Ia menyadarkan pada


sekitar dua ratus juta rakyat dari 11 Provinsi, bahwa jalan yang
ditempuh Tentara Merah itulah satu-satunya jalan yang membawa
kebebasan mereka. Tanpa Long March , bagaimana massa rakyat yang
luas demikian cepatnya mengetahui bahwa di dunia ada suatu ide besar
yang didukung oleh Tentara Merah itu? Long March adalah sebuah
mesin penyebar benih. Menyebarkan banyak benih pada sebelas
Provinsi, dan benih itu kemudian bertunas, berdaun, berbunga, dan
berbuah dan akan membawa hasil di kemudian hari. Pendeknya, Long
March berakhir dengan kemenangan kita dan kekalahan musuh.”256

Perang Mobil dan Long March telah membuat pihak imperialisme dan

pemerintahan Chiang Kai Sek mengalami kebuntuan. Menurut Mao, strategi

256. Ibid, 112.


251

perang tahan lama menggunakan Perang Mobil telah membuat moril kekuatan

musuh sudah mulai merosot dan melahirkan pandangan kejemuan dalam

melakukan perang.257 Di pihak Partai Komunis Tiongkok, justru kekuatan

revolusioner semakin besar dengan bertambah luasnya keterlibatan buruh dan tani

dalam perang tahan lama. Hal inilah yang mengantarkan perang tahan lama pada

tingkat yang kedua.

Tingkat kedua dalam perang tahan lama adalah tingkat kesetandingan

strategis. Artinya, perbandingan antara kekuatan musuh dengan kekuatan

revolusioner sudah mulai berimbang. Pihak imperialisme Jepang dan

pemerintahan Chiang Kai Sek akan mengubah strategi perang mereka. Menurut

Mao, pihak musuh akan mengganti dari strategi serangan strategis menjadi

mempertahankan daerah kekuasaanya. Mengenai maksud utama dari strategi

musuh ini, lebih lanjut Mao menyatakan:

“... dalam tingkat kedua ini maksud musuh ialah menjaga daerah
pendudukannya, menjadikan daerah-daerah itu sebagai miliknya sendiri
dengan tipu-muslihat membentuk pemerintah boneka dan merampas
sebanyak-banyaknya kekayaan rakyat Tiongkok, tetapi ia akan
menjumpai juga perang gerilya yang ulet.”258

Dalam hal ini, Mao bermaksud untuk menyatakan bahwa kondisi perang

revolusioner telah berubah. Perang tahan lama telah menunjukan semakin

membesarnya syarat-syarat kemenangan bagi rakyat Tiongkok.

Pada tingkat kedua dalam perang tahan lama, strategi utama yang

digunakan adalah perang gerilya. Perang Mobil beralih posisi menjadi strategi

pendukung. Perang gerilya digunakan untuk menghancurkan daerah-daerah basis

257. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid II, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 176.
258. Ibid, 176.
252

milik pasukan Partai Nasionalis Tiongkok dan daerah pendudukan Jepang.

Lamanya tingkat ini menurut Mao akan sangan bergantng secepat apa perubahan

perimbangan kekuatan diantara kedua pihak.

Masalah terbesar dalam perang tahan lama tingkat kedua ini ada dua

aspek. Pertama adalah kehancuran ekonomi akibat perang tahan lama dan kedua

adalah politik pecah belah dalam front persatuan. Kedua hal ini memberikan

dampak negatif bagi barisan revolusioner. Dalam permasalahan ini, menurut

Mao kembali diujinya Partai Komunis Tiongkok untuk menjaga pandangan

ideologi dan politik massa dan mengkonsolidasikannya. Lebih lanjut Mao

memaparkan masalah tersebut dalam tulisannya:

“Di kalangan kita sendiri, berhubungan dengan jatuhnya kota-kota


besar dan kesulitan-kesulitan akibat perang, elemen-elemen bimabng
akan dengan giat menganjurkan teori kompromi, dan pesimisme akan
tumbuh dengan hebatnya. Yang menjadi tugas kita pada waktu itu
adalah memobilisasi massa rakyat seluruh negeri untuk bersatu-padu
dan membulatkan tekad, mempertahankan peperangan tanpa bimbang
sedikitpun, memperluas dan mengkonsolidasi front persatuan,
memberantas segala macam pesimisme dan teori kompromi,
menganjurkan perjuangan yang tak kenal susah-payah dan menjalankan
politik masa perang yang baru, agar supaya dapat tahan menempuh
perjalanan yang sulit ini.”259

Dalam tingkat kedua ini, perang akan menjadi penentu bagi nasib selanjutnya.

Kondisi Tiongkok akan menjadi semakin sulit pada masa perang tingkat kedua

ini, namun tingkat kedua ini menurut Mao sekaligus sebagai poros perubahan.

Pada tingkatan ini, perang tahan lama akan mengarahkan Tiongkok

pada keuntungan yang lebih besar. Hal ini berkaitan dengan kemunduran

kekuatan lawannya. Imperialisme Jepang, sebagai penyokong dan aktor utama

259. Ibid, 177.


253

sasaran perang adalah negeri yang sedang dalam krisis. Dalam mengatasi

krisisnya, imperialisme Jepang melakukan agresi dan pendudukan di negeri-

negeri Asia Tenggara. Hal ini tentunya akan menguras kekuatan dan konsentrasi

dalam menghadapi perang tahan lama. Mengenai ini, Mao menulis dalam tulisan

yang lain mengenai peralihan dari tingkat kedua menuju tingkat akhir perang

tahan lama:

“Apabila kita dapat mempertahankan Perang Perlawanan,


mempertahankan front persatuan dan mempertahankan perang tahan
lama, maka dalam tingkat ini Tiongkok akan memperoleh kekuatan
untuk mengubah dirinya dari lemah menjadi kuat. Ini akan merupakan
babak kedua dari sandiwara tiga babak Perang Perlawanan Tiongkok.
Dengan usaha semua perlaku, babak terkahir yang paling menarik akan
dapat dipanggungkan dengan sempurna.”260

Tingkat ketiga dalam perang tahan lama adalah perang tingkat akhir.

Tingakt ini disebut oleh Mao dengan tingkat serangan-balas. Dalam tingkatan ini,

perang tahan lama akan berwujud menjadi serentetan serangan strategis dari

Tentarah Merah dan pasukan revolusioner terhadap daerah-daerah pendudukan

musuhnya. Lebih lanjut,untuk memahami secara komrehensif tentang hal ini,

akan dikutip penjelasan Mao secara panjang lebar:

“Dalam tingkat ini peran kita tidak lagi berupa pertahanan stratergis,
melainkan akan berubah menjadi serangan-balas strategis, yang pada
lahirnya akan menampakan diri sebagai serangan strategis; dan kita
tidak lagi beroperasi digaris-dalam strategis, melainkan lambat-laun
akan berubah menjadi beroperasi digaris-luar strategis. Hanya setelelah
kita bertempur sampai ditepi sungai Jalu, perang ini dapat dikatakan
berachir. Tingkat ketiga merupakan tingkat terachir dari perang tahan
lama, dan yang dimaksud dengan meneruskan perang sampai selesai
ialah harus menjalani seluruh proses tingkat ini.”261

260. Ibid, 179.


261. Ibid, 179.
254

Perang tahan lama tingkat ketiga ini mengambil strategi utama Perang

Mobil, namun perang posisi berhadap-hadapan langsung akan ditingkatkan

menjadi hal yang penting. Posisi perang gerilya pada tingkatan ketiga berperan

sebagai pembantu dan pendorong untuk memenangkan Perang Mobil dan perang

posisi. Ketiga tingkatan ini adalah seluruh tingkat yang harus dilalui oleh Partai

Komunis Tiongkok dan rakyat untuk mengalahkan pemerintahan Chiang Kai Sek

dan imperialisme Jepang. Dalam pemikiran Mao, hanya dengan melewati ketiga

tingkat perang tahan lama tersebutlah Revolusi Demokrasi Baru akan mencapai

kemenangannya.

Dalam menyimpulkan pemikirannya tentang perang revolusioner yang

tahan lama ini, Mao menekankan bahwa perang tahan lama bukan sebatas perang

militer belaka. Bagi Mao, perang tahan lama juga berfungsi sebagai media

propaganda dan agitasi terhadap rakyat Tiongkok. Perang tahan lama juga

menjadi alat untuk mengkonsolidasikan dan memperluas front persatuan. Dalam

hal ini, pemikiran Mao berkembang dalam melihat peran Tentara Merah.

Tentara Merah bukan merupakan sebatas tentara seperi milik negara

dan kelas borjuasi, bukan juga tentara yang seperti ada pada masa feodal. Tentara

Merah merupakan bagian integral dari Partai Komunis Tiongkok dalam

menjalankan dan memimpin perang tahan lama. Dengan demikian, selain

memiliki tugas dalam perang, Tentara Merah juga bertugas menjalankan kerja-

kerja Partai Komunis Tiongkok. Dalam pemikiran Mao, Tentara Merah juga

berperan sebagai propagandis dan organisator.


255

Dalam setiap ekspedisi maupun perjalanan dalam perang, Tentara

Merah memiliki tugas untuk melakukan propaganda kepada massa rakyat,

khususnya kaum tani di pedesaan. Tujuan utamanya adalah mendorong rakyat

Tiongkok secara luas agar terlibat aktif dalam perang revolusioner. Hal inilah

yang menjadikan kekuatan untuk memenangkan Revolusi Demokrasi Baru

semakin besar.

Revolusi Demokrasi Baru merupakan capaian panjang dan besar untuk

perjuangan revolusioner Tiongkok. Kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok

dan jalan melalui perang tahan lama bagi Mao belum mampu untuk menjadikan

syarat kemenangan Revolusi Demokrasi Baru. Menurut Mao, aspek pokok yang

lain dalam Revolusi Demokrasi Baru adalah pembentukan front persatuan.

Front persatuan merupakan salah satu aspek pokok dalam Revolusi

Demokrasi Baru, selain kepemiminan Partai Komunis Tiongkok dan perang tahan

lama. Dalam hal ini, front persatuan merupakan front yang bertujuan untuk

menggalang aliansi secara luas dari seluruh kelas dan sektor rakyat yang tertindas

oleh keberadaan imperialisme dan feodalisme. Dalam front persatuan,

kepemimpinan politik dan organisasi tetap harus berada pada pundak Partai

Komunis Tiongkok. Hal ini berkenaan dengan posisi front persatuan nasional

yang harus tetap berpandangan kelas proletariat. Kekuatan pokok dan utama dari

front persatuan adalah aliansi dasar kelas buruh dan kaum tani Tiongkok.

Dalam pemikiran Mao, front persatuan merupakan sebuah kebutuhan

konkret atas situasi konkret revolusi Tiongkok. Baik kondisi internal dalam

negeri maupun kondisi internasional, kekuatan revolusi harus diakui masih


256

lemah. Gelombang pasang revolusi dunia secara konkret belum mampu

mengimbangi kekuatan kontra revolusi dari imperialisme. Hal ini menurut Mao

juga berlaku di Tiongkok. Kekuatan imperialis Jepang dan pemerintahan

komprador Chiang Kai Sek adalah kekuatan yang teramat besar. Mengenai ini,

Mao menuliskannya lebih lanjut dalam sebuah karya:

“Kekuatan kontra revolusioner di Tiongkok dan di dunia telah menjadi


lebih lemah daripada yang sudah-sudah, sedangkan kekuatan
revolusioner di Tiongkok dan di dunia terlah lebih kuat dari yang
sudah-sudah. Ini adalah penilaian yang tepat, penilaian dari satu segi.
Tetapi bersamaan dengan itu harus kita katakan bahwa pada dewasa ini
kekuatan kontra revolusi di Tiongkok dan di dunia untuk sementara
waktu masih lebih besar daripada kekuatan revolusioner.”262

Dalam hal ini, Mao juga memperhitungkan kondisi sosial masyarakat Tiongkok

melalui analisis kelasnya.

Tiongkok adalah negeri setengah jajahan setengah feodal. Dalam aspek

ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan Tiongkok memiliki perkembangan yang

berbeda-beda. Ketimpangan antara suatu tempat dengan tempat lain, keterpurkan

kehidupan di pedesaan, dan terbelakangnya sektor industri adalah konsekuensi

logis dalam sistem setengah jajahan setengah feodal. Seluruh hal ini yang

mensyaratkan lahirnya begi banyak kelas-kelas dalam masyarakat Tiongkok.

Dalam hal ini, Mao tetap menekankan walaupun begitu banyak kelas dalam

masyarakat Tiongkok, tetap terbagi dalam dua golongan. Kelas penindas yang

diwakili oleh borjuasi besar, tuan tanah besar, dan kapitalis birokrat yang menjadi

perpanjangan kepentingan imperialis. Kelas tertindas yang terdiri dari berbagai

262. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 216.
257

kelas, mulai dari proletariat, borjuasi kecil di luar kaum tani, kaum tani, borjuasi

sedang, dan beberapa golongan lainnya. Kedua kelompok tersebut melahirkan

kontradiksi yang bersifat antagonis. Hal ini menjadikan suatu kebutuhan untuk

melahirkan front persatuan untuk menggalang aliansi kelas-kelas tertindas.

Kedua ciri dan perkembangan tersebut mendorong gerakan revolusioner

untuk menyesuaikan taktik perlawanannya. Dalam pemikirannya tentang front

persatuan, Mao meletakan dasar pikirnya terhadap persatuan kekuatan yang luas

dan besar untuk mengucilkan dan mengepung musuh.263 Dalam hal ini, Mao

berpandangan bahwa salah satu tugas penting dari Partai Komunis Tiongkok

adalah menggalang front persatuan yang luas.

Manifestasi dari pemikiran Mao tentang front persatuan adalah dengan

mengorganisasi massa rakyat yang besar. Hal ini ditujukan untuk semakin

memperbesar kekuatan revolusioner dan memperkecil kekuatan kontra

revolusioner. Bagi Mao, jika hal ini dapat dilakukan dengan baik maka

imperialisme Jepang dan kompradornya di Tiongkok akan mampu dipersempit

ruang geraknya. Lebih lanjut, Mao menyebut taktik membangun front persatuan

adalah taktik yang berkarakter Marxis-Leninis.

Dalam membangun pemikiran dan menjalankan taktik front persatuan,

Mao dan Partai Komunis Tiongkok bukan tanpa hambatan. Hambatan utama

adalah pandangan yang disebut oleh Mao dengan istilah “tutup-pintuisme”.

Pandangan “tutup-pintuisme” berlandaskan pada keyakinan yang subjektif

terhadap kekuatan revolsioner Tiongkok. Pandangan tersebut menolak terlibatnya

263. Ibid, 218.


258

borjuasi sedang, tani kaya, maupun intelektual dalam aksi revolusioner. Mereka

menganggap bahwa golongan-golongan tersebut tidaklah sesuai dengan garis

revolusioner Tiongkok. Hal ini membawa pada kesimpulannya yang

menghendaki perang dengan kekuatan seadanya melawan imperialisme Jepang

yang lebih unggul disegala bidang.

“Tutup-pintuisme” menurut Mao adalah taktik yang akan

menjerumuskan gerakan revolusioner pada kekalahan dari imperialis Jepang. Hal

ini disebabkan karena taktik tersebut justru akan melemahkan dukungan dan

pratisipasi massa dalam revolusi. Mengenai ini, Mao menggambarkan dengan

istilah yang menarik:

“taktik tutup-pintuisme adalah taktik kaum isolasionis. Sama dengan


„menggiring ikan kedalam lubuk dan menghalau burung gereja
kebelukar‟, tutup-pintuisme akan menghalau „massa rakyat yang
berjuta-juta‟ dan „tentara yang sangat besar‟ itu ke pihak musuh; ini
hanya akan disambut gembira oleh musuh. Tutup-pintuisme pada
hakekatnya adalah budak setia dari kaum imperialis Jepang,
pengkhianat bangsa, dan penjual negara.”264

Mengenai pandangan “tutup-pintuisme”, lebih lanjut Mao mengatakan

bahwa hal tersebut adalah pandangan yang dogmatis sekaligus mekanis.

Maskudnya adalah bahwa pandangan tersebut seakan-akan sangat Marxis-Leninis

karena melarang keterlibatan borjuasi sedang, tani kaya, maupun intelektual dan

golongan yang dianggap kontra revolusioner lainnya. Dalam hal ini, Mao

kembali mengajukan argumentasinya menggunakan istilah Lenin tentang

“penyakit kekanak-kanakan”:

264. Ibid, 220.


259

“kawan-kawan, manakah yang benar, gagasan front persatuan atau


gagasan tutup-pintuisme? Manakah yang dibenarkan oleh Marxisme-
Leninisme? Saya jawab dengan tegas: front persatuan yang dibenarkan
dan bukan tutup-pintuisme. Di antara manusia terdapat kanak-kanak
berumur tiga tahun yang mempunyai banyak pengertian yang benar,
tetapi mereka tidak boleh disuruh mengurus urusan penting dunia atau
negara, karena mereka masih belum mengerti akan soal-soal dunia atau
negara. Marxisme-Leninisme menetang pennyakit kekanak-kanakan di
dalam barisan revolusioner. Apa yang dianjurakan oleh mereka yang
mempertahankan taktik tutup-pintuisme itu justru adalah penyakit
kekanak-kanakan.”265

Maksud argumentasi Mao tersebut ada dua aspek, yaitu penegasan dan upaya

pembersihan. Penegasan Mao bertujuan untuk meluruskan pandangan mengenai

taktik yang tepat dalam melancarkan perjuangan revolusioner. Dalam aspek

selanjutnya, Mao ingin menyatakan niatnya untuk membersihkan Partai Komunis

Tiongkok dan gerakan revolusioner melalui perang tahan lamanya dari unsur-

unsur “tutup-pintuisme”. Dengan demikian, Mao memastikan bahwa taktik yang

tepat adalah membangun front persatuan yang revolusioner.

Perkembangan front persatuan merupakan hal dialektis. Prinsip filsafat

materialisme dialektika harus kembali diterapkan dalam front persatuan. Mao

menilai bahwa Partai Komunis Tiongkok harus cakap dalam memutuskan

keterlibatan golongan ataupun kelompok dalam front persatuan. Hal ini bagi

Mao bertujuan agar front persatuan dapat saling memberikan bantuan positif

terutama bagi kepentingan Revolusi Demokrasi Baru. Seluruh kelompok yang

265. Ibid, 219.


260

terkonsolidasi dalam front persatuan harus mampu memberikan konsesi dan

bantuan positif pula untuk perkembangan kelompok masing-masing.266

Dalam front persatuan, kebebasan setiap kelompok dibatasi oleh garis

anti imperialis Jepang. Hal ini bertujuan untuk menyingkirkan pandangan

kompromisme dan kapitulasionis yang akan menjerumuskan revolusi. Dalam hal

ini, Mao mengungkapkannya secara singkat:

“Dulu di Tiongkok pernah ada Chen Tu Siu dan kemudian ada pula
Chang Kuo Tao; kedua-duanya adalah kapitulasionis. Kita harus
dengan keras menentang kapitulasionis.”267

Dalam pemikiran Mao, front persatuan haruslah tetap memiliki pandangan

revolusioner. Hal ini tidak akan berjalan jika bentuk-bentuk kapitulasionis dan

kompromisme dengan imperialisme Jepang terus berkembang. Front persatuan

harus tetap menjalankan politik perjuangan kelas yang termanifestasi dalam

perjuangan pembebasan nasional Revolusi Demokrasi Baru Tiongkok.

Kerjasama jangka panjang dan dialektis ini merupakan bentuk dari front

persatuan. Tujuan utamanya adalah melawan imperialis Jepang dan segala

kompradornya di dalam negeri Tiongkok. Mao menerapkan dua prinsip

kerjasama secara bersamaan di dalam front persatuan. Prinsip pertama adalah

front persatuan harus memberikan kebebasan kepada kelompok, golongan dan

kelas-kelas di dalamnya. Pada prinsip kedua, Mao menekankan bahwa

kebebasan dan hak masing-masing tersebut harus dibatasi di bawah

kepemimpinan politik buruh dan tani. Barulah dengan memadukan keduanya ini

266. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid II, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 279.
267. Ibid, 280-281.
261

Mao menganggap front persatuan akan bisa menjadi sarana yang luas melawan

imperialisme Jepang.

Keberhasilan taktik Mao dalam menggalang front persatuan terlihat

pada perpecahan dalam kubu Partai Nasionalis Tiongkok. Pada Oktober 1936,

dua Jenderal dari pasukan nasionalis bernama Zhang dan Yang melakukan

pertemuan bersama Chiang Kai Sek.268 Pertemuan tersebut ditujukan untuk

merekomendasikan penghentian terhadap perang dalam negeri dan fokus untuk

mengusir kekuatan imperialis Jepang. Pada pertemuan itu, Chiang Kai Sek tetap

menginginkan penumpasan kepada kaum Komunis Tiongkok.

Momentum besar dari desakan Partai Komunis Tiongkok pada

kelompok nasionalis terjadi pada 23 Desember 1936. Pada saat itu, ditetapkan

kesepakatan bersama yang terdiri dari 6 poin utama. Pertama, melakukan

reorganisasi Partai Nasionalis Tiongkok, mengeluarkan seluruh unsur pro Jepang

dengan menggantinya dengan unsur anti Jepang. Kedua, bebaskan pimpinan yang

patriotik dan tahanan politik lain serta berikan jaminan dan hak terhadap rakyat.

Ketiga, hentikan penindasan kepada kaum Komunis dan bersatu dengan Tentara

Merah untuk melawan Jepang. Keempat, mengadakan konferensi penyelamatan

nasional yang dihadiri oleh semua unsur front persatuan anti Jepang. Kelima,

membentuk hubungan kerjasama dengan seluruh negeri yang bersimpati pada

kondisi Tiongkok dalam melawan Jepang. Keenam, mengambil cara-cara khusus

lainnya untuk menyelamatkan bangsa.269

268. Imam Soedjono, Rakyat dan Senjata: Perang Rakyat di Beberapa Negeri Asia,
(Yogyakarta: Resist Book, 2011), 129.
269. Ibid, 135-136.
262

Partai Komunis Tiongkok juga harus mampu mencerminkan

kepemimpinan politik yang tepat dalam front persatuan. Mao tetap memposisikan

front persatuan sebagai taktik, bukan sebagai tujuan akhir atau segalanya. Dalam

hal ini, Mao memegang prinsip bahwa front persatuan adalah relatif sementara

perjuangan revolusioner adalah yang mutlak harus dijalankan. Pandangan Mao

ini bertujuan agar tidak terulang lagi kesalahan oportunisme kanan yang

memandang “segala-galanya demi front persatuan”. Keberadaan front persatuan

dengan demikan bukan berarti kaum Komunis tidak menarik garis demarkasi

terhadap kelas borjuasi, proletariat tetap harus teguh dalam politik dan partainya.

Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Y.W Stalin dalam bukunya:

“... apakah proletariat berhimpun di bawah panji nasionalisme borjuis,


ini bergantung pada tingkat perkembangan kontradiksi-kontradiksi
kelas, pada kesadaran dan tingkat keterorganisiran proletariat.
Proletariat yang sadar mempunyai panjinya sendiri yang teruji, dan
baginya tidak ada gunanya berhimpun di bawah panji borjuasi.”270

Perkembangan pemikiran Mao mengenai front persatuan juga menyentuh ranah

internasional.

Kondisi Tiongkok adalah berada pada kekuasaan imperialisme Jepang

yang fasis. Kondisi dalam negeri Tiongkok yang demikian tertindas dan terhisap

juga dialami oleh negara-negara lain di dunia. Perkembangan kondisi

internasional pada kisaran tahun 1936-1945 ada dalam masa perang perlawanan

melawan imperialisme, khsusnya kelompok fasis. Artinya keberadaan

imperialisme Jepang di Tiongkok tidak dapat dilepaskan dari kondisi

270. Y.W Stalin, Marxisme dan Masalah Nasional, terj. Badan Penerbit Literatur
Politik Negara, (Indonesia: Indonesia Progresif, 1979), 32.
263

internasionalnya. Dalam hal ini, Mao sampai pada kesimpulan bahwa taktik front

persatuan harus pula digalang pada lingkup internasional.

Front persatuan internasional yang dimaksud dalam pemikiran Mao

adalah yang berwatak anti fasis. Pemikiran Mao berpijak pada perkembangan

kontradiksi antar imperialisme. Imperialisme Jerman, Italia, dan Jepang

merupakan kekuatan utama fasis internasional. Pada perkembangannya,

kelompok fasis melakukan agresi besar-besaran ke seluruh belahan dunia,

termasuk ke Uni Soviet dan Tiongkok. Dalam merespon hal ini, Mao

mengemukakan pemikirannya:

“Tugas orang Komunis sekarang ini di seluruh dunia ialah memobilisasi


rakyat semua negeri untuk menggalang front persatuan internasional
dan berjuang untuk melawan fasisme, membela Uni Soviet, membela
Tiongkok, membela kebebasan dan kemerdekaan semua bangsa. Pada
masa sekarang semua kekuatan harus dipusatkan untuk melawan
perbudakan fasis.”271

Tujuan utama dari pemikiran Mao ini adalah untuk kepentingan pembebasan

Tiongkok dan pembebasan dari negeri-negeri di seluruh dunia.

Dalam upaya mencapai tujuan dari pembangunan front peratuan

internasional anti fasis diperlukan ketetapan mengenai tugas-tugas pokok dari

Partai Komunis Tiongkok. Mengenai ini, Mao menuliskannya secara tegas

sebagai berikut:

“Mempertahankan front persatuan nasional anti Jepang,


mempertahankan kerjasama Kuomintang-Komunis. Mengusir kaum
imperialis Jepang dari Tiongkok, dan dengan cara ini membantu Uni
Soviet. Harus tegas melawan segala kegiatan anti-Soviet dan anti-
Komunis dari kaum reaksioner di kalangan borjuasi besar. Dalam

271. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid III, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1967), 33.
264

hubungan luar negeri, bersatu dengan semua orang di Inggris, Amerika


Serikat dan negeri-negeri lain yang menentang kaum penguasa fasis
Jerman, Italia, dan Jepang, untuk melawan musuh bersama.”272

Tugas Partai Komunis Tiongkok yang dimaksudkan Mao tersebut

memperlihatkan kembali konsistensinya dalam menempatkan kontradiksi pokok.

Perkembangan dunia internasional telah melahirkan kesimpulan bagi

pemikiran Mao mengenai kontradiksi. Pada umumnya, kontradiksi rakyat seluruh

dunia adalah dengan kekuatan imperialisme. Pada situasi lain, beberapa negara

fasis menunjukan agresifitasnya dalam melakukan penjajahan. Hal inilah yang

melahirkan pemikiran Mao bahwa untuk sementara kontradiksi yang paling utama

rakyat seluruh dunia adalah melawan negara-negara fasis. Posisi negara

imperialis lain seperti Inggris, Amerika Serikat, maupun Perancis untuk sementara

ditangguhkan statusnya sebagai musuh utama. Dalam hal ini, Mao bukan berati

meminta kepada rakyat di negeri-negeri imperialis tersebut untuk menyudahi

perlawannya. Pemikiran Mao tersebut terlihat gamblang dalam tulisannya:

“Kompromi-kompromi demikian tidak meminta rakyat di negeri-negeri


kapitalis ikut mengadakan kompromi-kompromi di dalam negeri.
Rakyat di negeri-negeri tersebut akan tetap melancarkan perjuangan
yang berbeda-beda sesuai dengan keadaanya yang berbed-beda.”273

Lebih lanjut, Mao masuk kedalam pemikiran taktiknya dalam menghadapi

kekuatan reaksioner dari imperialis dalam tulisan dan penekannya yang lain:

“Prinsip kekuatan reaksioner dalam menghadapi kekuatan demokratis


rakyat ialah yang dapat dibasmi pasti mereka basmi, dan yang untuk
sementara belum dapat dibasmi mereka siap membasminya kelak.

272. Ibid, 33-34.


273. Ibid, 102.
265

Menghadapi keadaan demikan, kekuatan demokratis rakyat juga harus


menggunakan prinip yang sama terhadap kekuatan reaksioner.”274

Taktik yang dikemukakan oleh Mao tersebut tebukti banyak

menghegemoni rakyat di negeri-negeri lain. Perjuangan demokratis dan revolusi

pembebasan nasional semakin menyasarkan perlawanannya terhadap negara-

negara fasis. Negara-negara imperialisme lainnya juga dipaksa untuk terlibat

dalam perang melawan fasis. Hasil nyata dari perlawanan tersebt adalah

kemenangan perjuangan demokratis dengan ditandai kehancuran seluruh negara

fasis pada tahun 1945 melalui Perang Dunia II. Berakhirnya Perang Dunia II

merupakan akhir dari kekuasaan negara-negara fasis. Di Tiongkok, perang

revolusioner anti Jepang meraih kemenangannya pada 9 September 1945.

Pasca Perang Dunia II, kondisi internasional kembali berubah.

Kehancuran satu kekuatan imperialis, yaitu negara-negara fasis merupakan suatu

capaian bagi gerakan rakyat internasional. Dunia kembali pada kontradiksi

pokoknya, yaitu antara imperialisme dengan negara-negara jajahan atau setengah

jajahan. Menurut Mao, selesainya Perang Dunia II melahirkan imperialisme

Amerika Serikat sebagai pemenang. Bagi Mao, imperialisme Amerika Serikat

adalah pimpinan dari imperialisme dunia, menggantikan kelompok fasis.275

Mengenai ini, Mao menyatakan argumentasinya:

“Sesudah kemenangan Perang Dunia Kedua imperialisme Amerika


Serikat, yang menggantikan kedudukan Jerman, Italia, dan Jepang yang
fasis, bersama dengan kakitangannya di berbagai negeri secara gila-

274. Ibid, 102.


275. Ibid, 343.
266

gilaan mempersiapkan perang dunia yang baru dan mengancam seluruh


negeri.”276

Kondisi internasional yang berubah tersebut berimbas pula pada kondisi

Tiongkok. Perubahan konstelasi politik melahirkan perubahan kontradiksi pokok

dalam negeri Tiongkok, hal ini juga melahirkan perubahan dari taktik front

persatuan revolusioner.

Pasca kekalahan imperialis Jepang baik secara keseluruhan di

internasional maupun di Tiongkok, menjadikan kondisi front persatuan kembali

berubah. Partai Nasionalis Tiongkok kembali melepaskan diri dari front

persatuan, melakukan pengkhianatan kembali pada rakyat Tiongkok. Pertarungan

dalam negeri terjadi kembali, antara perjuangan revolusioner dengan

pemerintahan reaksioner yang ditopang oleh imperialisme Amerika Serikat.

Dalam hal ini, Mao menyatakan bahwa kontradiksi pokok rakyat Tiongkok adalah

menghancurkan imperialisme Amerika Serikat dan feodalisme. Kekuasaan dari

Partai Nasionalis Tiongkok kembali menjadi musuh dan sasaran Revolusi

Demokrasi Baru.

Perubahan ini juga melahirkan perubahan pada strategi perang tahan

lama. Mao mencatat, diantara Juli 1946 hingga Juni 1948, Tentara Pembebasan

Rakyat Tiongkok telah memukul mundur serangan pasukan 4.300.000 orang

tentara pemerintah.277 Dengan demikian, front persatuan revolusioner berjalan

tanpa keterlibatan Partai Nasionalis Tiongkok.

Ketepatan taktik front persatuan dari Mao terlihat dari pesatnya

perkembangan keanggotaan Partai Komunis Tiongkok. Jumlah anggota Partai

276. Ibid, 343.


277. Ibid, 344
267

Komunis Tiongkok berkembang dari 1.210.000 orang pada tahun 1945, menjadi

3.000.000 anggota pada 1948.278 Dalam pemikiran Mao, Partai Komunis

Tiongkok harus mampu kembali memperluas front persatuan dengan

mempersatukan dengan kuat kekuatan revolusioner di seluruh Tiongkok. Hal ini

ditujukan untuk melakukan perang tahan lama yang lebih kuat lagi. Tujuan

utamanya ialah mengusir kekuatan agresor imperialisme Amerika Serikat,

menggulingkan kekuasaan reaksioner Partai Nasionalis Tiongkok, dan mendirikan

republik rakyat Tiongkok yang bersatu dan demokratis. Tujuan tersebut

merupakan seluruh tujuan dari Revolusi Demokrasi Baru.

Pemikiran Mao tentang pokok-pokok Revolusi Demokrasi Baru telah

memberikan pengaruh besar dalam perjuangan revolusioner rakyat Tiongkok.

Pemikiran Mao tentang Partai Komunis Tiongkok, perang tahan lama, dan front

persatuan pada akhirnya mampu mengantarkan rakyat Tiongkok pada

kemenangannya. Revolusi Demokrasi Baru dapat dimenangkan melalui cara

perang tahan lama, dan front persatuan di bawah pimpinan Partai Komunis

Tiongkok. Kekuatan revolusioner pada tahun 1949 akhirnya berhasil menekan

dan memaksa pemerintah Chiang Kai Sek untuk mundur dan pindah ke Taiwan.

Hal ini juga menandakan kemenangan revolusi dalam menghadapi imperialisme

dan feodalisme di Tiongkok. Manifestasi dari hal tersebut terjadi pada 1 Oktober

1949 di Lapangan Tian An Men, Mao Tse Tung secara resmi mendeklarasikan

berdirinya Republik Rakyat Tiongkok.279

278. Ibid, 344.


279. Imam Soedjono, Rakyat dan Senjata: Perang Rakyat di Beberapa Negeri Asia,
(Yogyakarta: Resist Book, 2011), 138.
268

Revolusi Demokrasi Baru pada tahapan tertentu dan batas-batas tertentu

justru akan membuka ruang bagi kapitalisme di Tiongkok untuk berkembang. Hal

ini terjadi karena penyebab utama dari keterbelakangan kapitalisme di Tiongkok

yaitu dominasi imperialisme dan feodalisme telah dihancurkan melalu Revolusi

Demokrasi Baru. Bagi Mao, perkembangan kapitalisme di Tiongkok sampai

tahapan tertentu adalah hal yang tidak terelakan lagi dari kemenangan Revolusi

Demokrasi Baru. Bagi Mao, aspek perkembangan kapitalisme adalah satu segi

dari kemenangan Revolusi Demokrasi Baru. Pada segi yang lain, yaitu segi yang

utama dari tujuan jangka panjang Revolusi Demokrasi Baru adalah perkembangan

menuju sosialisme di Tiongkok.

Pemikiran Mao tentang revolusi dua tahap meletakan Revolusi

Demokrasi Baru sebagai revolusi yang mengantarkan rakyat pada tahap yang

selanjutnya yaitu Revolusi Sosialis. Dalam hal ini, Mao menjelaskan bahwa

terdapat setidaknya 4 (empat) faktor yang mendorong Revolusi Sosialis di

Tiongkok.280 Pertama, pasca Revolusi Demokrasi Baru Mao menyatakan bahwa

akan bertambah besarnya pengaruh dan kekuatan politik proletariat dan Partai

Komunis Tiongkok. Hal ini akan mengantarkannya pada pengakuan yang begitu

kuat atas kepemimpinan proletariat dan Partai Komunis Tiongkok yang didapat

dari kaum tani sebagai sekutu terdekatnya dan kelas borjuasi kecil lainnya, inilah

faktor kedua menurut Mao. Faktor ketiga adalah telah terbangunnya ekonomi

sektor negara yang dikuasai oleh republik demokratis dan pembangunan koperasi

milik rakyat pekerja. Terakhir, adalah syarat kondisi internasional di mana

280. bid, 425


269

perjuangan revolusioner telah mengalami gelombang yang pasang. Keempat

faktor inilah yang dimaksud Mao sebagai segi-segi yang penting untuk

mengantarkan Revolusi Demokrasi Baru menuju tahap Revolusi Sosialis.

Revolusi Demokrasi Baru menuju Revolusi Sosialis adalah pemikiran

Mao mengenai revolusi dua tahap di negeri Tiongkok. Dalam hal ini, revolusi

yang bertahap tersebut mengharuskan gerakan revolusioner Tiongkok memiliki

dua tugas yang ganda pula. Tugas pertama jelas adalah menjalankan perjuangan

Revolusi Demokrasi Baru untuk mendirikan diktator demokrasi rakyat yang

dipimpin oleh kelas proletariat Tiongkok. Sementara, pada tahap selanjutnya

ketika seluruh syarat yang disiapkan telah terpenuhi, maka menurut Mao revolusi

Tiongkok akan beralih menjadi Revolusi Sosialis. Kedua tahap revolusi tersebut

adalah tahapan yang tanpa jeda dan tetap dipimpin oleh kelas proletariat melalui

Partai Komunis Tiongkok.

Bagi Mao, menjalankan Revolusi Demokrasi Baru hingga

menyelesaikannya berarti pula sedang menyusun syarat untuk mengalihkannya

ketahap Revolusi Sosialis. Dalam Revolusi Sosialis, kontradiksi pokok rakyat

Tiongkok akan menjadi antara kepentingan borjuasi dengan kepentingan umum

kelas proletariat. Kelas borjuasi yang dimaksud bukan lagi borjuasi besar yang

komprador dan monopolistik, namun borjuasi yang tersisa pasca kemenangan

Revolusi Demokrasi Baru. Borjuasi yang akan dihancurkan selanjutnya adalah

borjuasi sedang dan borjuasi kecil seluruh sektor. Penghancuran yang dimaksud

Mao bukanlah perang yang dilakukan seperti saat menghancurkan imperialisme

dan feodalisme. Perubahan yang dimaksudkan adalah dengan mendorong dan


270

menekan kelas-kelas borjuis yang tersisa untuk perlahan-lahan mengikut

kepentingan dari kelas proletariat. Dalam tahap ini, Mao menilai bahwa tidak

hanya dengan penghancuran dan perubahan secara bertahap hubungan

produksinya yang akan diubah, namun begitu juga dengan politik dan kebudayaan

borjuasi akan diubah. Perubahan ini bertujuan untuk membangun masyarakat

sosialis berdasarkan ekonomi, politik, dan kebudayaan proletariat.

Kedua tahap revolusi tersebutlah yang kemudian dinamakan dengan

revolusi dua tahap. Revolusi yang menurut pemikiran Mao merupakan revolusi

yang digunakan untuk negeri-negeri jajahan, setengah jajahan setengah feodal

seperti Tiongkok. Dalam menegaskan pemikirannya mengenai revolusi tersebut,

Mao memiliki himbauan kepada internal Partai Komunis Tiongkok sebagai

berikut:

“Tiap-tiap anggota Partai Komunis harus mengerti bahwa seluruh


gerakan revolusioner Tiongkok yang dipimpin Partai Komunis
Tiongkok adalah gerakan revolusioner yang sempurna yang meliputi
dua tingkat, yaitu revolusi demokratis dan Revolusi Sosialis. Ini adalah
dua proses revolusi yang berbeda wataknya, dan proses revolusi yang
belakangan itu hanya mungkin diselesaikan bila proses revolusi yang
pertama telah selesai. Revolusi Sosialis merpakan persiapan yang
diperlukan bagi Revolusi Sosialis, dan Revolusi Sosialis merupakan
arah perkembangan yang wajar bagi revolusi demokratis. Dan tujuan
terakhir semua kaum komunis ialah berjuang sekeras-kerasnya untuk
pada akhirnya mewujudkan masyarakat sosialis dan masyarakat
komunis.”281

Kedua tahap revolusi tersebut harus mampu dipahami secara komprehensif, baik

perbedaan maupun kesalinghubungannya.

281. Ibid, 426


271

6.2 Pemikiran Politik Mao Tse Tung tentang Revolusi Dua Tahap untuk

Pembangunan Sosialisme di Tiongkok: Dari Berdirinya Negara

Republik Rakyat Tiongkok hingga Pembangunan Sosialisme

Pemikiran Mao tse tung tentang revolusi dua tahap merupakan

pemikiran tentang revolusi di negara-negara setengah jajahan setengah feodal.

Revolusi dua tahap adalah revolusi yang memiliki dua aspek, pertama adalah

Revolusi Demokrasi Baru, kemudian tanpa jeda akan menuju Revolusi Sosialis.

Perspektif Revolusi Demokrasi Baru adalah sosialisme. Antara Revolusi

Demokrasi Baru dan Revolusi Sosialis memiliki irisan yang sangat dekat. Dalam

hal ini, irisian tersebut terjadi karena Revolusi Demokrasi Baru juga membangun

prasyarat untuk menuju sosialisme. Artinya, Revolusi Demokrasi Baru bagi Mao

adalah „pintu gerbang‟ menuju pembangunan negeri Tiongkok yang sosialis.

Revolusi Demokrasi Baru merupakan perubahan seluruh aspek

kehidupan masyarakat Tiongkok. Sistem sosial Tiongkok yang setengah jajahan

setengah feodal menjadi sasaran utama perubahannya. Dalam hal ini, untuk

mewujudkan semua itu, terlebih dahulu Revolusi Demokrasi Baru harus

menghancurkan imperialisme, feodalisme, kekuatan reaksioner dalam negeri dan

komprador-kompradornya. Dalam perkembangan akhir dari Revolusi Demokrasi

Baru, kekuatan revolusioner melalui Partai Komunis Tiongkok harus mampu

menggulingkan kekuasaan pemerintahan reaksioner dan mendirikan pemerintahan

yang baru. Pemerintahan yang didirikan merupakan pemerintahan yang

demokratis. Dalam pemikiran Mao, Revolusi Demokrasi Baru harus melahirkan


272

pemerintahan rakyat, pemerintahan yang oleh Mao disebut Republik Rakyat

Tiongkok.

Republik Rakyat Tiongkok merupakan negara yang dipimpin bersama

oleh kelas-kelas yang terlibat aktif dalam revolusi. kepemimpinan ini tentunya

dilandasi oleh ideologi, politik kelas proletariat. Dengan demikian watak dari

republik yang dibangun dari Revolusi Demokrasi Baru adalah diktator demokrasi

rakyat. Hanya dengan bentuk dan watak yang demikianlah revolusi di Tiongkok

dapat maju ketahap Revolusi Sosialis dan secara langsung membangun Tiongkok

menjadi negeri sosialis.

6.2.1 Berdirinya Negara Diktator Demokrasi Rakyat Tiongkok

1 Oktober 1949 adalah momentum berdirinya Republik Rakyat

Tiongkok. Hal ini tentunya merupakan suatu lompatan sejarah dalam

perkembangan masyarakat Tiongkok. Dalam hal ini, rakyat Tiongkok juga telah

membuktikan perjuangan panjangnya akhirnya mampu melikuidasi sepenuhnya

sistem setengah jajahan setengah feodal. Revolusi Demokrasi Baru menghasilkan

sebuah negara Tiongkok yang baru. Hasil yang diraih ini tidak terlepas dari andil

Mao Tse Tung. Andil Mao dalam revolusi Tiongkok terdapat pada pemikiran dan

kepemimpinannya.

Dalam serentetan pemikirannya, salah satu yang terbesar adalah

mengenai akhir dari Revolusi Demokrasi Baru, yaitu berdirinya negara Republik

Rakyat Tiongkok. Bagi Mao, dalam melanjutkan revolusi Tiongkok dan sampai

pada tahap sosialisme, terlebih dulu proletariat Tiongkok harus membangun suatu
273

negara. Negara baru yang mewakili kelas-kelas tertindas adalah yang akan

menjadi „motor‟ penggerak Revolusi Sosialis.

Pemikiran Mao tentang negara dan bentuk negara berdasar pada

perkembangan konsep tentang negara. Mao mengklasifikasikan ke dalam tiga

konsep tentang negara. Klasifikasi Mao ini berlandaskan dengan watak kelas

yang menguasainya. Dalam hal ini, Mao membagi tiga sistem negara, yaitu

republik diktator borjuis, republik diktator proletariat, dan republik diktator

bersama dari beberapa kelas revolusioner.

Republik diktator borjuis ialah sistem negara yang dianut oleh negara-

negara yang dikuasai oleh kapitalis. Dalam hal ini, struktur negara yang ada

dikuasai oleh borjuasi dan diabdikan untuk kepentingannya. Sistem ini menurut

Mao dapat berubah bentuk sewaktu-waktu menjadi diktator militer yang fasis.

Kolaborasi kepemimpinan antara tuan tanah besar dan borjuasi besar juga

diklasifikasikan oleh Mao masuk dalam sistem ini.282

Sistem yang kedua yaitu republik diktator proletariat merupakan sistem

yang sedang bangkit dan dibangun oleh Uni Soviet. Kelas proletariat merupakan

unsur termaju dan terbanyak dalam mengisi struktur negara. Tujuan utamanya

adalah menjaga sistem tersebut agar tidak mengalami restorasi kapitalisme.

Diktator proletariat merupakan jembatan untuk menuju masyarakat komunis.

Dalam pemikirannya, Mao fokus pada bentuk sistem negara republik

diktator bersama. Sistem tersebutlah yang menurut Mao merupakan karakter dari

negara setengah jajahan setengah feodal. Sistem tersebut merupakan sistem

282. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid II, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 454.
274

peralihan dari republik diktator bersama antara tuan tanah besar dan borjuasi besar

menjadi diktator bersama beberapa kelas revolusioner. Tujuannya ialah beralih

menjadi republik diktator proletariat melalui Revolusi Sosialis. Pemikiran Mao

ini bertujuan untuk menggantikan demokrasi tipe lama yang dimonopoli oleh satu

kelas, yaitu borjuasi menjadi demokrasi yang baru. negara dalam pemikiran Mao

ini akan menjadi wadah bagi seluruh kepentingan kelas-kelas revolusioner.

Kekuatan kontra revolusioner dari kelas dan golongan manapun tidak

diperkenankan masuk atau terlibat dalam sistem negara tersebut. Hal ini juga

berlaku dalam sistem pemerintahan demokrasi baru.

Sistem pemerintahan menurut Mao merupakan bentuk dari struktur

kekuasaan politik, keterlibatan kelas-kelas revolusioner dalam aparatur negara.

Berkaitan dengan mekanisme sistem pemerintahan, Mao menuliskannya:

“Tiongkok sekarang dapat mengambil sistem kongres rakyat, dari


kongres rakyat nasional sampai pada kongres-kongres rakyat provinsi,
kabupaten, kewedanaan dan kecamatan, dan kongres rakyat dari semua
tingkat memilih badan pemerintah masing-masing. Tetapi hanya bila
dilaksanakan sistem pemilihan yang sungguh-sungguh umum dan sama
tanpa memandang jenis kelamin, kepercayaan, harta milik atau
pendidikan, barulah sistem itu bisa sesuai dengan kedudukan berbagai
kelas revolusioner di dalam negara, sesuai untuk menyatakan kemauan
rakyat dan memimpin perjuangan revolusioner, dan sesuai dengan
semangat demokrasi baru. Sistem demikian ialah sentralisme-
demokratis.”283

Dalam hal ini, sistem pemerintahan sentralisme demokrasi bertujuan untuk

menjaga semangat dan prinsip-prinsip demokrasi baru. Sistem tersebut menurut

Mao juga akan menghindari keterlibatan kelompok kontra revolusioner untuk

terlibat dalam pemerintahan rakyat Tiongkok.

283. Ibid, 456


275

Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok pada 1 Oktober 1949

menandakan suatu era baru. Sistem sosial dan politik Tiongkok telah berubah.

Revolusi Demokrasi Baru dengan ini telah mencapai kemenangannya yang

pertama. Dalam momentum ini pulalah Mao mengemukakan tentang pentingnya

untuk membangun sistem diktator demokrasi rakyat. Diktator demokrasi rakyat

merupakan perpanjangan tangan dari sistem demokrasi baru yang digagas oleh

Mao. Dalam hal ini, diktator demokrasi rakyat terdiri dalam tiga aspek pokok,

yaitu politik, ekonomi dan kebudayaan. Ketiga aspek pokok tersebut juga

menunjukan analisis Mao terhadap kontradiksi di dalam masyarakat Tiongkok.


276

GAMBAR 14. Lambang Negara Republik Rakyat Tiongkok yang Diresmikan Pada 18
Juni 1950

Mao mengemukakan dalam aspek yang pertama, yaitu politik

demokrasi baru. Dalam sistem demokrasi baru, Mao menggagas lahirnya sebuah

sistem diktator demokrasi rakyat. Mao pertama kali menjelaskan tentang apa

yang dimaksud dengan rakyat. Bagi Mao, kemenangan Revolusi Demokrasi Baru

menjadikan rakyat sebagai bagian yang revolusioner. Artinya, Mao menyebut

rakyat untuk merujuk pada kelas-kelas yang dalam analisisnya dan

keterlibatannya dalam revolusi. Mengenai ini, Mao memaparkan argumentasinya

lebih lanjut:

“Di Tiongkok dan pada tingkat sekarang, rakyat adalah kelas buruh,
kelas tani, borjuasi kecil kota, dan borjuasi nasional. Di bawah
pimpinan kelas buruh dan Partai Komunis, kelas-kelas ini bersatu untuk
membentuk negaranya sendiri, memilih pemerintahannya sendiri,
menjalankan diktator atau kediktatoran terhadap kakitangan-kakitangan
imperialisme, kelas tuan tanah, borjuasi birokrat, dan orang-orang yang
277

mewakili kelas-kelas tersebut, yaitu kaum reaksioner Kuomintang


beserta pembantu-pembantu jahatnya.”284

Pemikiran Mao yang demikian mencermikan pandangan umum dari Marxisme-

Leninisme tentang negara. Bagi Marxisme-Leninisme, negara dan seluruh alat

kekuasaanya merupakan alat kelas berkuasa untuk menindas kelas lain. Mao

berangkat dari definisi ini bahwa negara pada masa demokrasi baru adalah alat

kelas revolusioner.

Negara Tiongkok yang dalam kurun waktu sebelum Revolusi

Demokrasi Baru adalah alat dari tuan tanah dan borjuasi besar untuk menindas

rakyat, bagi Mao harus diubah. Negara dengan diktator demokrasi rakyat adalah

negara yang berbalik menindas dan memaksa kelas-kelas kontra revolusioner

untuk tunduk. Dalam negara diktator demokrasi rakyat, Mao menegaskan hanya

rakyat yang diberikan hak demokrasi. Bagi para kelas kontra revolusioner yang

berada dalam negeri Tiongkok, sistem yang digunakan adalah diktator, yaitu

memaksa kelas tersebut untuk tunduk pada kekuasaan rakyat.

Dalam aspek kediktatoran rakyat, Mao membedakannya dengan konsep

dan praktik dari diktator borjuis baik yang demokratis maupun militeristik.

Dalam diktator negara borjuis, kediktatoran dimonopoli oleh satu atau segelintir

kelas yang berkuasa. Artinya minoritas menindas mayoritas besar rakyat. Hal ini

adalah berkebalikan dari sistem diktator demokrasi rakyat. Dalam perspektif ini

Prof. Wertheim seorang peneliti asal Belanda mengemukakan pendapatnya

tentang Tiongkok yang menjalankan ideologi Marxisme-Leninisme:

284. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid IV, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1967), 499.
278

“rezim-rezim seperti itu mempunyai sifat-sifat diktatorial, tetapi


ideologi Marxis maupun gaya yang dengannya revolusi sosial itu
dijalankan telah memberikan kesempatan-kesempatan yang lebih
baik daripada yang ditawarkan oleh suatu kediktatoran militer,
yaitu mempunyai suara dalam urusan-urusan politik.”285

Dalam hal ini, Wertheim ingin mengemukakan pendapatnya bahwa ada

kecenderungan sistem yang lebih demokratis di Tiongkok terutama mengenai

pratisipasi rakyatnya.

Mengenai perbedaan gagasan diktatornya dengan diktator borjuasi,

Mao menekankan bahwa Republik Rakyat Tiongkok akan melingdungi segenap

rakyatnya. Salah satu tujuan berdirinya dan tugas pasca berdirinya negara

republik diktator demokrasi rakyat adalah mendidik rakyat. kerja pendidikan dan

propaganda harus terus dilakukan oleh negara. Tujuan dari semua itu adalah

untuk menanamkan perspektif baru dalam bernegara dan bermasyarakat. Dalam

hal ini, lebih lanjut Mao menulis dalam karyanya:

“Cara yang kita gunakan dalam hal ini adalah cara demokratis, yaitu
cara meyakinkan dan bukan cara memaksa. Apabila di kalangan rakyat
ada yang melanggar undang-undang, ia juga akan dihukum,
dipenjarakan atau bahkan dihukum mati; tetapi ini adalah beberapa
kejadian yang khusus dan berbeda secara prinsipil dengan diktator yang
dilakukan terhadap kelas reaksioner sebagai kelas.”286

Lebih lanjut Mao memaparkan bagaimana sikap negara diktator demokrasi rakyat

kepada golongan reaksioner dan kontra revolusioner:

“... mengenai orang-orang dari kelas-kelas reaksioner dan golongan-


golongan reaksioner, setelah kekuasaan politik digulingkan, asal saja
mereka tidak berontak, tidak mensabot dan tidak mengacau, dapat

285. W.F. Wertheim, Dunia Ketiga, dari dan Ke Mana: Negara Protektif Versus
Pasar Agresif, terj. Oey Hay Djoen. (Yogyakarta: Oey‟s Renaissance, 1997), 145.
286. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid IV, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1967), 500.
279

hidup dan mengubah diri menjadi manusia baru melalui kerja badan.
Apabila mereka tidak mau bekerja, maka negara rakyat akann memaksa
mereka bekerja. Pekerjaan propaganda dan pendidikan juga akan
dilakukan terhadap mereka, bahkan akan dilakukan dengan sangat
seksama dan sepenuhnya sebagaimana telah kita lakukan terhadap
opsir-opir tawanan.”287

Negara diktator demokrasi rakyat merupakan bentuk negara satu-

satunya yang bisa melakukan tugas-tugas demikian. Menjalankan politik kelas

proletariat hanya bisa dilakukan melalui sistem demokrasi baru dan hanya dengan

inilah Tiongkok mampu beralih dari demokrasi baru menuju sosialisme. Dalam

sistem demokrasi baru, aspek politik tidak akan dapat berjalan tanpa perubahan

mendasar dalam aspek ekonomi Tiongkok.

GAMBAR 15. Bendera Republik Rakyat Tiongkok

Berdirinya negara diktator demokrasi rakyat berarti juga menandakan

suatu perubahan sistem ekonomi Tiongkok. Prinsip-prinsip dalam demokrasi baru

287. Ibid, 500.


280

menurut Mao harus pula tercermin dalam hal ekonomi. Dalam prinsipnya,

ekonomi Tiongkok demokrasi baru adalah peran dominan negara rakyat untuk

menguasai sektor-sektor ekonomi yang berkaitan langsung dengan penghidupan

rakyat banyak. Perusahaan, sektor agraria, pertambangan, industri, dan bank-bank

akan dikuasai oleh negara. Hal ini menurut Mao akan mendorong lebih cepatnya

peralihan ekonomi menuju sistem sosialisme. Mengenai ini, baiknya dikutip

penjelasan Mao tentang ekonomi demokrasi baru dalam tulisannya sebagai

berikut:

“Di dalam republik demokrasi baru di bawah pimpinan proletariat,


ekonomi sektor negara bersifat sosialis dan merupakan kekuatan
memimpin dalam seluruh ekonomi nasional, tetapi republik ini tidak
akan mensita tanah milik perseorangan kapitalis umumnya ataupun
melarang perkembangan produksi kapitalis yang tidak „menguasai
penghidupan rakyat‟, sebab ekonomi Tiongkok masih sangat
terbelakang.”288

Tujuan utama dari ekonomi demokrasi baru ialah menghancurkan sistem

monopoli baik alat produksi maupun tanah yang dilakukan oleh borjuasi besar

maupun tuan tanah.

Negara yang didirikan ini bertujuan untuk mengontrol modal dan

melakukan pendsitribusian tanah kepada kaum tani. Kontrol terhadap modal

adalah upaya nyata untuk menghancurkan sistem monopoli yang telah dibangun

oleh imperialisme bersama dengan borjuasi besar komprador. Hal ini harus

dilakukan menurut Mao untuk menghancurkan sistem monopoli dan membatasi

288. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid II, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 457.
281

ruang gerak borjuasi. Dalam hal ini, negara berhak untuk menentukan sektor-

sektor ekonomi mana saja yang dikelola oleh swasta.

GAMBAR 16. Mao Tse Tung Sedang Membacakan Deklarasi Republik Rakyat
Tiongkok pada 1 Oktober 1949

Dalam aspek agraria, konsep penyamarataan hak milik tanah dalam

pemikiran Mao bertujuan untuk menghapuskan sistem feodalisme di pedesaan.

Dalam hal ini, keberadaan tani kaya di desa dalam syarat-syarat tertentu

diperbolehkan. Perhatian besar Mao lebih pada sektor agraria, pasalnya Mao

menyadari bahwa kaum tani sesungguhnya adalah kelas borjuasi keci. Watak

kaum tani bagi Mao akan lebih sulit untuk didorong menerima sistem kolektif

sosialisme. Mengenai hal ini, Mao memandang bahwa kondisi kaum tani harus

terus diperhatikan. Pembangunan koperasi dan penyediaan pasar oleh negara

menjadi penting untuk mendidik kaum tani. Keseriusan perhatian Mao dalam

masalah kaum Tani tercermin dari tulisannya:


282

“Masalah yang serius ialah mendidik kaum tani. Ekonomi kaum tani
terpencar-pencar, dan menurut pengalaman Uni Soviet, sosialisasi
pertanian memerlukan waktu yang lama dan pekerjaan yang seksama.
Tanpa sosialisasi pertanian tidak akan ada sosialisme yang sempurna
dan kokoh.”289

Sistem pertanian yang kokoh adalah dasar bagi pembangunan negara Tiongkok.

Dengan demikian mendidik dan mendorong kaum tani secara bertahap adalah

jawaban untuk meningkatkan hasil produksi pertanian.

Dalam melahirkan suatu bangunan perekonomian yang kuat dalam

Republik Rakyat Tiongkok, Mao menegaskan tugas demikian bukan semata-mata

hanya diemban oleh kaum tani dan kelas buruh. Mao menghendaki seluruh

elemen kelas-kelas revolusioner, tentara pembebasan rakyat, maupun badan-badan

pemerintah melakukan kerja produksi bersama. Dalam hal ini, sudah sejak

sebelum kemenangan Revolusi Demokrasi Baru Mao memberikan seruan-seruan

tentang kerja ekonomi produksi. Tujuan dari hal tersebut adalah untuk melakukan

kerja ekonomi produksi yang mandiri dan melibatkan massa yang luas. Sebagai

contoh misalkan apa yang dituliskan Mao pada tahun 1945:

“Pasukan-pasukan di Daerah Perbatasan jasanya lebih besar lagi.


Banyak pasukan sudah swasembada seluruhnya dalam hal bahan
makanan, pakaian, selimut dan barang-barang lainnya, artinya
sasembada 100% dan tidak menerima sesuatu apapun dari
pemertintah.”290

Manifestasi dari perjuangan ekonomi di pedesaan adalah perihal Land

Reform dan penurunan sewa tanah. Kedua hal ini adalah bentuk konkret dari

289. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid IV, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1967), 501.
290. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid III, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1967), 246.
283

revolusi agraria yang merupakan „roh‟ dari Revolusi Demokrasi Baru. Gerakan

penurunan sewa tanah terutama ditujukan untuk mendidik kaum tani membangun

perjuangan massa yang lebih baik. Selain itu, perjuangan penurunan sewa tanah

adalah upaya dari kaum tani di bawah pimpinan Partai Komunis Tiongkok untuk

mencapai kemenangan tahap awal melawan tuan tanah.

Badan-badan Partai Komunis Tiongkok harus mampu mendorong

terlaksananya program penurunan sewa tanah dan pendistribusian tanah. Partai

harus mampu mendesak tuan tanah dan tani kaya untuk menurunkan sewa tanah,

selain itu mendorong kaum tani untuk meningkatkan produktifitas pertanian.

Mengenai ini, Mao lebih lanjut menekankan pada seluruh pimpinan dan

anggotanya Partai Komunis Tiongkok dalam tulisannya:

“Dalam masalah keuangan dan ekonomi, personil Partai dan pemerintah


di kabupaten dan kewedanaan harus mencurahkan 90% tenaganya
untuk membantu kaum tani meningkatkan produksinya, dan selanjutnya
menggunakan 10% tenaganya untuk memungut pajak dari kaum
tani.”291

Selanjutnya, Mao menekankan pentingnya untuk mendidik rakyat untuk selalu

belajar menghidupi dirinya sendiri dan bekerjasama:

“... di semua tempat harus diadakan kursus-kursus yang berjangka


untuk 7 sampai 10 hari, seperti kursus menanam sayur, kursus memiara
babi dan kursus juru masak untuk menyempurnakan makanan.
Penghematan darus diperhatikan, pemborosan harus ditentang dan
korupsi harus dilarang di semua badan partai, jawatan pemerintah dan
instansi militer.”292

Penekanan ini terutama ditujuan Mao untuk Partai Komunis Tiongkok dan badan

pemerintahan yang berada dalam daerah kekuasaan Tiongkok..

291. Ibid, 171.


292. Ibid, 171.
284

Dalam rangka mendirikan sebuah negara yang demokratis, sebuah

negara yang diktator demokrasi rakyat, maka penting untuk menghancurkan

seluruh sistem feodal di pedesaan. Menurut pemikiran Mao, cara utama untuk

menghancurkan feodalisme adalah memangkas sistem monopoli terhadap tanah.

Konkretnya, Mao mengeluarkan gagasan untuk melaksanakan Land Reform.

Petunjuk dan seruan mengenai perjuangan Land Reform telah dinyatakan jauh

sebelum kemenangan Revolusi Demokrasi Baru. Pada periode pertama perang

dalam negeri Tiongkok, kaum tani sebenarnya sudah melakukan berbagai

perjuangan Land Reform. Dalam hal ini, perjuangan tersebut masih bersifat kecil

dan tidak menyeluruh. Barulah pada tahun 1948, menjelang kemenangan

Revolusi Demokrasi Baru Mao mengeluarkan seruan untuk dilaksanakan di

seluruh negeri.

Dalam pemikirannya mengenai perjuangan Land Reform, Mao

menekankan pentingnya menganalisis kondisi kelas di pedesaan untuk mampu

menetapkan status kelas dengan tepat. Bagi Mao, setelah analisis tersebut selesai

barulah Partai Komunis Tiongkok harus mampu membimbing kaum tani untuk

membagikan tanah-tanah feodal dan harta milik feodal. Dalam pemikiran Mao,

terdapat 4 (empat) tahapan inti untuk mewujudkan Land Reform dalam rangka

membangun ekonomi demokrasi baru. Pertama, membagikan tanah dan harta

milik feodal di pedesaan. Kedua, memberikan surat keterangan kepemilikan

tanah. Ketiga, mengatur kembali atau mengubah tarif pajak pertanian. Penetapan

tarif pajak pertanian harus disesuaikan dengan kepentingan dan kondisi umum

kaum tani. Hal ini akan menentukan peningkatan semangat kaum tani dalam
285

melakukan produksi pertanian. Keempat, membentuk organisasi-organisasi dan

badan koperasi yang sukarela. Metode ini ditopang dengan penyediaan benih,

pupuk, dan bahan bakar, membuat perencanaan produksi, memberikan kredit

pertanian dalam bentuk alat produksi, hingga pembangunan saluran irigasi.293

Dengan pembaharuan dalam aspek politik dan ekonomi yang

berperspektif demokrasi baru, Tiongkok yang baru menunjukan perbedaan-

perbedaan signifikan baik dalam kenegaraan, partisipasi, hingga kesejahteraan

rakyatnya. Khusus dalam aspek ekonomi, gaya pembangunan negara Mao adalah

dengan memaksimalkan sektor pertanian di desa. Dalam hal ini, Wertheim dalam

tulisannya mengenai Tiongkok mengungkapkan:

“Investasi negara dalam konservasi air mengambil suatu bagian besar


dari anggaran ekonomi (8 hingga 10%) di tahun 1950 dan 1951;
investasi-investasi itu bertahan pada tingkat yang cukup konstan (400-
500 juta yuan) selama 1952-1955. Walaupun banjir-banjir besar tahun
1954 mengharuskan diversifikasi dana investasi reparasi-reparasi besar-
besaran. Tahun-tahun 1956 dan 1957 menyaksikan suatu peningkatan
mutlak dalam investasi konservasi air dan pada tahun 1958 suatu
peningkatan tajam terjadi ke suatu tingkat yang dipertahankan hingga
1960.”294

Pemaparan Wertheim ini memperkuat argumentasi pemikiran Mao tentang

kepedulian negara yang ekstra bagi kaum tani.

Dalam melaksanakan sistem ekonomi demokrasi baru, Mao tidak

pernah terpaku dalam satu contoh konsep, sekalipun itu Uni Soviet. Mao

memandang bahwa negeri Tiongkok tidak memiliki cukup syarat untuk

293. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid IV, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1967), 303-304.
294. W.F. Wertheim, Dunia Ketiga, dari dan Ke Mana: Negara Protektif Versus
Pasar Agresif, terj. Oey Hay Djoen. (Yogyakarta: Oey‟s Renaissance, 1997), 55.
286

melakukan pembangunan industri dan mekanisasi pertanian secara cepat seperti

Uni Soviet. Mao memandang bahwa keterbelakangan ekonomi Tiongkok telah

memaksa negara untuk sabar dan perlahan mengubah sistem ekonominya. Bagi

Mao, kaum tani harus selalu diberikan contoh betapa baik dan bermanfaatnya

ekonomi demokrasi baru bagi kehidupannya. Hal ini akan merangsang kaum tani

untuk menerima program-program ekonomi demokrasi baru menuju sosialisme.

Pada tahun 1950 misalkan, pasca terjadinya Land Reform kaum tani

mulai menguasai dan mengelola tanah-tanah milik tuan tanah. Pada tahun

tersebut, perkebunan-perkebunan buah milik tuan tanah juga dikelola kembali

oleh kaum tani. Hasilnya signifikan, pada 1955 buah-buahan hasil produksi

mencapai jumlah 40 ton.295 Menyadari bahwa perbaikan nasib semakin menjadi

kenyataan pasca Land Reform, kaum tani Tiongkok menjadi sadar akan

keuntungan untuk mengikuti program negara dan Partai Komunis Tiongkok.

Politik dan ekonomi demokrasi baru tidaklah cukup untuk

memperteguh berdirinya negara diktator demokrasi rakyat Republik Rakyat

Tiongkok. Dalam pemikiran Mao, ada aspek lain yaitu aspek kebudayaan

demokrasi baru. Negeri Tiongkok yang setengah jajahan setengah feodal

membuat kebudayaan rakyat Tiongkok terbelakang. Dalam hal ini, Mao

menyampaikan data hasil investigasinya bahwa dari 1.500.000 orang penduduk

daerah perbatasan Shensi-Kansu-Ningsia masih terdapat 1.000.000 orang yang

295. Ibid, 57.


287

buta huruf.296 Massa yang luas masih dipengaruhi oleh tahayul-tahayul zaman

feodal.

Republik Rakyat Tiongkok harus mampu merubah kebudayaan lama

menjadi kebudayaan demokrasi baru. Dalam pemikiran Mao, kebudayaan

Tiongkok haruslah berupa kebudayaan yang ilmiah, kebudayaan yang lahir dari

kehidupan objektif rakyat Tiongkok. Dalam rangka mengaplikasikan perubahan

kebudayaan Mao menuliskannya:

“... di bidang pendidikan, kita harus mempunyai tidak saja sekolah


dasar dan sekolah menengah yang terpusat dan reguler, tetapi juga
sekolah-sekolah desa yang terpencar dan tidak reguler, regu-regu
pembaca surat kabar, dan kursus-kursus pemberantasan buta huruf. Kita
tidak saja harus mempunyai sekolah modern, tetapi juga harus
menggunakan dan merombak sekolah model kuno di desa.”297

Perubahan besar kebudayaan juga berlaku bagi kesenian dan kesusastraan

Tiongkok. Dongeng-dongeng dan pertunjukan masa lalu yang melegitimasi

kebdayaan feodal dan tertindas harus dihapuskan. Seni dan sastra Tiongkok harus

mencerminkan semangat perjuangan revolusioner. Bagi Mao, hal yang terpenting

dalam seni dan sastra selain unsur estetika adalah unsur realita untuk mendidik.

Pesan yang disampaikan oleh seni dan sastra harus objektif dan mampu

membangkitkan dan mendidik rakyat.

Melalui ketiga aspek, mulai dari politik, ekonomi, dan kebudayaan

demokrasi baru-lah Republik Rakyat Tiongkok mampu berdiri tegak. Ketiga

aspek tersebut bukan merupakan produk kebijakan baru pasca kemenangan

Revolusi Demokrasi Baru. Seluruh aspek tersebut telah dilaksanakan dan

296. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid III, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1967), 237.
297. Ibid, 238.
288

dipupuk secara bertahap oleh Partai Komunis Tiongkok di daerah-daerah basis

kekuasaanya. Dengan demikian, lahirnya negara yang berwatak diktator

demokrasi rakyat Tiongkok adalah perkembangan dari pembangunan sistem-

sistem yang demikian di desa-desa Tiongkok sejak dulu.

Dalam pemikiran Mao, kemenangan gerakan revolusioner melawan

musuh-musuh rakyat dengan ditandai berdirinya Republik Rakyat Tiongkok

bukanlah akhir dari perjuangan. Ibarat Long March, Mao mengistilahkan bahwa

apa yang telah dicapai dari Revolusi Demokrasi Baru adalah Long March tahap

pertama dan masih menyisakan jalan terjal yang begitu jauh. Mao ingin

menyatakan bahwa kemenangan Revolusi Demokrasi Baru akan dilanjutkan

ketahap selanjutnya yaitu Revolusi Sosialis.

6.2.2 Pembangunan Sosialisme di Tiongkok: Dari Revolusi Agraria,

Pembangunan Industri Nasional, hingga Revolusi Besar Kebudayaan

Proletariat

Revolusi dua tahap adalah rangkaian dari Revolusi Demokrasi Baru dan

Revolusi Sosialis. Dalam pemikiran Mao, Revolusi Demokrasi Baru adalah pintu

gerbang menuju revolusi dan pembangunan sosialisme di Tiongkok.

Kemenangan Revolusi Demokrasi Baru pada 1 Oktober 1949 menandakan suatu

kemenangan besar perlawanan rakyat untuk menghancurkan imperialisme dan

feodalisme. Revolusi Demokrasi Baru melahirkan syarat-syarat untuk menuju

perubahannya ke sosialisme. Dalam pemikiran Mao, terdapat 3 aspek utama


289

untuk menuju pembangunan sosialisme, yaitu revolusi agraria, pembangunan

industri Tiongkok dan revolusi besar kebudayaan proletariat.

Revolusi agraria adalah bentuk nyata dan substansial dari Revolusi

Demokrasi Baru. Revolusi agraria merupakan revolusi untuk menghancurkan

basis sosial feodalisme di pedesaan. Penghancuran ini sekaligus sebagai bentuk

penghancuran dari struktur utama penopang keberadaan imperialisme di

Tiongkok. Dalam hal ini, revolusi memiliki andil yang sangat penting bagi

Revolusi Demokrasi Baru menuju sosialisme.

Revolusi agraria dimulai dengan rentetan pemberontakan besar di desa-

desa antara tahun 1924 sampai 1927. Pada periode ini terjadi pula momentum

besar “Ekspedisi ke Utara” yang bertujuan untuk menghimpun seluruh Tiongkok

ke dalam republik. Momentum tersebut digunakan oleh Partai Komunis

Tiongkok untuk mendidik dan mengagitasi kaum tani untuk melakukan

perjuangan di desa melawan tuan-tuan tanah. Pemberontakan yang dilakukan

oleh kaum tani diorganisasikan melalui serikat-serikat tani. Sasaran dari

pemberontakan terutama adalah tuan-tuan tanah dan kebudayaan feodal di desa.

Dari sinilah kemudain lahir semboyan “Semua Kekuasaan untuk Serikat Tani”.298

Hal ini terjadi karena kekuasaan dan hak-hak istimewa kaum feodal yang telah

ribuan tahun ada telah dihancurkan.

Perkembangan perjuangan kaum tani khususnya terjadi di Provinsi

Hunan, tempat pertama Mao mengorganisasikan dan memimpin perjuangan kaum

tani. Pada periode revolusione, perkembangan serikat-serikat tani maju dengan

298. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965), 30.
290

pesat. Dalam penelitiannya di desa, Mao menyampaikan bahwa pada tahun 1926

sampai pertengahan tahun 1927, anggota serikat tani hanya 300.000-400.000

orang. Satu tahun setelahnya, keanggotaanya berkembang menjadi 2 juta orang

yang mampu memimpin 10 juta orang massa di bawahnya. 299 Pertambahan yang

sangat signifikan ini menjadikan perjuangan kaum tani dalam melancarkan

revolusi agraria semakin membuahkan hasil. Mengenai hasil awal perjuangan

revolusi agraria, Mao menyatakan dalam tulisannya:

“... di bawah kekuasaan serikat tani itu, larilah gembong lalim setempat
dan ningrat jahat, yang kelas satu lari ker Shanghai, yang kelas dua lari
ke Hankhou, yang kelas tiga lari ke Changsa, yang kelas empat ke kota-
kota kabupaten, sedang yang kelas lima dan yang lebih rendah lagi,
yaitu kelas kambing, menyerah kepada serikat tani di desa-desa.”300

Penjelasan Mao tersebut mengarah pada betapa dahsyatnya gelombang pasang

revolusi agraria dalam menghancurkan struktur feodalisme. Kemajuan dalam

perjuangan ini tidak terlepas dari peran Partai Komunis Tiongkok yang mendidik

dan mengorganisasikan kaum tani.

Perjuangan revolusioner kaum tani masih terus berkembang dalam

melancarkan revolusi agraria. Revolusi agraria melakukan penghancuran

kekuasaan politik tuan-tuan tanah di pedesaan dengan berbagai kebijakan serikat.

Serikat tani dengan giat melakukan hukuman bagi para tuan tanah yang kejam dan

korup. Hukuman yang diberikan berbeda-beda sesuai dengan kadar kesalahan

yang dinilai oleh serikat tani, mulai dari teguran ringan, denda, penjara, hingga

hukuman tembak mati.

299. Ibid, 29.


300. Ibid, 30.
291

Penggulingan dan pengambialihan kekuasaan terus berkembang

semakin luas. Serikat tani tidak hanya mampu menguasai pedesaan, namun

menurut Mao serikat petani secara bertahap bergerak menggulingkan kekuasaan

kewedanaan, kecamatan, hingga kabupaten.301 Dalam hal ini, penggunlingan

kekuasaan feodalisme dan kaki tangannya juga ditentukan oleh keberhasilan

serikat tani mengalahkan pasukan bersenjata milik tuan tanah. Kemenangan ini

menimbulkan dampak besar pada sistem hukum dan demokratisasi di pedesaan.

Di segala tingkatan daerah, tidak lagi dikenal dengan pengadilan

negara. Pengadilan negara digantikan oleh pengadilan bersama yang

berkomposisikan kepala daerah dan perwakilan dari organisasi revolusioner

setempat.302 Segala perkara diputuskan melalui media tersebut, dengan sendirinya

menggantikan peranan dari pengadilan dan hakim-hakim lama yang ada. Dalam

hal ini, Mao memandang bahwa salah satu keberhasilan dari serikat tani adalah

mendorongnya peningkatan demokrasi di pedesaan.

Menurut Mao, menggulingkan kekuasaan politik di desa merupakan

langkah awal yang penting bagi revolusi. Mao memandang bahwa tanpa

pengambilalihan kekuasaan di desa maka sulit untuk menjalankan ekonomi dan

sistem kebudayaan demokrasi baru. Hasil dari perjuangan penghancuran struktur

politik di pedesaan adalah terkucil dan terusirnya tuan-tuan tanah dari desa.

Sebagai tindak lanjut pukulan politiknya, Mao menyampaikan harus dilanjutkan

dengan pukulan ekonomi.

301. Ibid, 49-53


302. Ibid, 54.
292

Perjuangan revolusi agraria dalam rangka Revolusi Demokrasi Baru

dalam bidang ekonomi adalah bagian penting untuk menggantikan ekonomi

feodalisme di pedesaan. Serikat tani mengeluarkan kebijakan untuk mendesak

kekuatan tuan tanah dan tani kaya. Kebijakan tersebut terdiri dari beberapa aspek,

antara lain mengenai padi dan beras, uang sewa tanah dan tanggungan, larangan

pencabutan tanah yang disewakan, dan penurunan biaya bunga pinjaman.303

Partai Komunis Tiongkok juga mendorong serikat tani untuk

menjalankan gerakan koperasi. Dalam hal ini, Mao menilai bahwa penghisapan

yang terjadi terhadap kaum tani salah satunya adalah tidak tersedianya

penjaminan harga terhadap hasi produksinya dan penyediaan pasar

untukdistribusi. Dalam kondisinya sebelum revolusi agraria dilancarkan, kaum

tani kerap dibenturkan oleh lintah-lintah darat dan tengkulak yang mengatur

harga-harga di desa. Dengan bersandar dari kondisi tersebut, maka revolusi

agraria juga harus mampu membangun koperasi-koperasi untuk membantu

penghidupan kaum tani. Mengenai ini, Mao menjelaskannya sebagai berikut:

“Kaum tani benar-benar membutuhkan koperasi, terutama koperasi


konsumsi, koperasi penjualan, dan koperasi kredit. Ketika membeli
barang-barang mereka dihisap oleh pedagang, ketika menjual hasil
pertaniannya mereka ditipu oleh pedagang, ketika meminjam uang atau
beras mereka diperas oleh lintah darat; karena itu mereka ingin sekali
memecahkan ketiga masalah itu”304

Pada praktiknya, kaum tani menurut Mao kerap mengalami kesulitan dalam

mendirikan koperasi. Di sinilah Mao menekankan peran penting dari pimpinan

303. Ibid, 48-50


304. Ibdi, 69.
293

maupun anggota Partai Komunis Tiongkok untuk mendampingi kaumtani dalam

mendirikan koperasi.

Program-program ekonomi tersebut berhasil mendesak tuan tanah dan

penguasa daerah. Semenjak kebijakan itu diterapkan, tuan tanah dan

pemerintahan daerah tidak lagi berani melakukan tindak penghisapan dan

penindasan. Bersamaan dengan itu, kesejahteraan kaum tani juga semakin

meningkat karena dengan drastisnya telah berkurang beban yang selama ini

disebabkan oleh sistem feodalisme. Prestasi besar ini yang menurut Mao adalah

dampak dari perjuangan kaum tani yang terpimpin dan terorganisir.

Selain politik dan ekonomi feodalisme, kebudayaan feodalisme juga

menjadi sasaran utama dalam revolusi agraria. Serikat-serikat tani di desa

melakukan penghancuran kebudayaan feodal. Budaya dan sistem feodal-

patriarkal adalah contoh yang dihancurkan.305 Penghancurnnya menggunakan

larangan untuk melakukan penindasan dan tindak sub ordinasi kepada perempuan

dan melibatkan perempuan secara aktif dalam segala aspek. Serikat tani dan

Partai Komunis Tiongkok juga mendidik kaum perempuan menjadi revolusioner.

Dalam aspek budaya, serikat tani juga mengeluarkan berbagai

kebijakan larangan untuk beberapa aktivitas yang sudah menjadi kebiasaan

masyarakat. Peraturan larangan tersebt antara lain ialah, bermain kartu dan judi,

menghisap madat/candu, melakukan prosesi pertunjukan vulgar, hingga

pelarangan pembuatan arak dan minuman keras lainnya.306 Menurut Mao,

larangan-larangan tersebut bertujuan khusus untuk melakukan perubahan

305. Ibid, 57.


306. Ibid, 61-64.
294

kebdayaan dan kebiasaan masyarakat. Rakyat Tiongkok menurut Mao telah

terreduksi dengan kebudayaan terbelakang dari kekuasaan tuan tanah yang

merugikan diri sendiri. Seiring dengan penghancuran kekuasaan tuan tanah dan

sistem feodalisme, Mao menganggap pentingnya untuk mengubah kebudayaan

yang diwarisi oleh sistem feodalisme.

Dalam melakukan revolusi agraria pada tahap yang pertama, Mao juga

mengemukakan beberapa prestasi besar lain yang diraih oleh kaum tani. Prestasi

lain dari serikat tani, antara lain adalah mampu menghilangkan perampok dan

bandit serta memperbaiki infrastruktur di pedesaan. Kekuatan dan kekuasaan dari

serikat tani menjadikannya suatu organisasi yang ditakutkan oleh kelompok yang

kontra revolusioner. Salah satu yang menjadi sasaran gerakan kaum tani adalah

perampok dan bandit. Menurut Mao, semenjak berkuasanya serikat tani tidak ada

lagi perampok dan bandit yang berani melakukan aksinya.307 Selain itu, jumlah

perampok dan bandit menjadi jau berkurang karena harga-harga kebutuhan pokok

menjadi murah dan dapat jangkau, hal ini berbanding lurus dengan berkurangnya

jumlah perampok dan bandit.

Serikat tani bagi Mao menjadi „idola‟ baru bagi massa di desa-desa.

Sebelum berdirinya serikat tani, jalan-jalan dan jembatan maupun infrastruktur

lain di pedesaan hampir seluruhnya rusak. Dengan desakan dari program serikat

tani, seluruh rakyat di daerah masing-masing saling mengerjakan dan

memperbaiki infrastuktur yang rusak.308 Program ini lebih diprioritaskan untuk

menyasar tuan tanah dan tani kaya. Serikat tani menekan tuan tanah dan tani kaya

307. Ibid, 66.


308. Ibid, 70.
295

untuk melakukan subsidi pada perbaikan infrastruktur di desa-desa. Seluruh

prestasi besar ini adalah awal yang baik dari revolusi agraria.

Kemenangan Revolusi Demokrasi Baru berarti kemenangan awal bagi

revolusi agraria. Berdirinya negara demokrasi rakyat, bukan berarti perjuangan

revolusioner telah selesai. Menurut Mao, pasca kemenangan tahap pertama,

dalam masyarakat Tiongkok masih terdapat kontradiksi kelas. Terdapatnya

kontradiksi kelas terutama karena masih terdapat tuan-tuan tanah dan boorjuasi

komprador di Tiongkok. Dengan demikian, di Tiongkok perjuangan kelas akan

tetap berjalan. Dalam tahapan ini, perjuangan kelas akan meningkat statusnya

menjadi perjuangan yang sosialis. Perjuangan yaang demikian juga menjadikan

revolusi agraria berganti watak, menjadi sosialis.

Revolusi agraria terus berjalan seiring dengan pembangunan sosialisme

di Tiongkok. Pasca kemenangan Revolusi Demokrasi Baru, revolusi agraria terus

berjalan. Menurut Mao, keberlangsungan revolusi agraria akan tetap berjalan

hingga terciptanya tatanan yang kolektif dan mandiri. Dalam pemikirannya, Mao

menekankan bahwa revolusi agraria yang terpimpin oleh Partai Komunis

Tiongkok melalui serikat-serikat tani merupakan upaya yang berat. Perubahan

status tanah dari milik pribadi kaum tani menjadi milik kolektif adalah tantangan

terbesarnya. Hal ini didasari pada asal kelas kaum tani yaitu borjuasi kecil yang

tetap memiliki ciri individualisme. Dengan demikian, Mao memandang penting

untuk mendidik kaum tani hidup berkoletif.

Melakukan pembangunan sosialisme melalui revolusi agraria

termanifestasi dalam program pembentukan “grup kerja saling bantu” dan


296

“komune rakyat”. “grup kerja saling bantu” merupakan upaya nyata dari negara

untuk mendorong rakyat melakukan kerja secara kolektif dalam kerja

produksinya. Seluruh keluarga diwajibkan untuk saling membantu dalam

mengerjakan kerja produksi, kerja ini dikhususkan pada sektor pertanian. Dalam

hal ini, tanah-tanah berskala besar ditetapkan sebagai tanah bersama dan harus

dikerjakan secara bersama melalui “grup saling bantu”.

Dalam proses pembangunan sosialisme di Tiongkok, Wertheim

mengatakan bahwa pembangunan “grup saling bantu” merupakan upaya di

Tiongkok untuk menuju kolektivisasi alat produksi secara lebih luas.309

Pandangan Wertheim tersebut berdasar pada kondisi yang terjadi di Tiongkok

pada tahun 1957. Lebih lanjut, untuk mengakomodir seluruh hasil kerja dari

“grup saling bantu” diperlukan koperasi-koperasi besar. Koperasi tersebut

ditujukan untuk menjadi badan pengelolaan dan pendistribusia hasil produksi.

Dengan demikian, jelas bahwa Tiongkok sedang menuju negeri yang sosialis.

Mao sebagai seorang pemimpin revolusi sekaligus pemimpin Partai

Komunis Tiongkok terus mendorong terjadinya perubahan-perubahan besar dalam

sektor agraria. Kolektivisasi alat produksi merupakan jalan keluar untuk

mengubah sistem kepemilikan alat produksi secara pribadi menjadi kepemilikan

secara kolektif. Mengenai ini, Wertheim lebih lanjut memaparkan:

“Kolektivisasi juga akan menjamin tinkat persamaan yang lebih tinggi.


Ini tidak berarti bahwa para pemimpin Tiongkok adalah „pemerata-
pemerata‟ yang mengarah pada suatu distribusi kekayaan secara merata.
Untuk suatu jangka waktu yang panjang, azas „sosialis‟ masih akan
berlaku, yaitu bahwa setiap orang akan mendapatkan sesuai
pekerjaanya. Namun begitu, kepemilikan kolektif atas tanah, ternak dan

309. W.F. Wertheim, Dunia Ketiga, dari dan Ke Mana: Negara Protektif Versus
Pasar Agresif, terj. Oey Hay Djoen. (Yogyakarta: Oey‟s Renaissance, 1997), 52.
297

alat-alat kerja sudah pasti menyumbang pada suatu pengurangan praktis


dari ketidakadilan-ketidakadilan.”310

Perkembangan dari program Land Reform menjadi kolektivisasi alat produksi

bertujuan untuk mendorong kesejahteraan rakyat menjadi lebih baik.

Arti penting kolektivisasi dalam program revolusi agraria juga

berkaitan dengan partisipasi dalam kerja. Dalam program kolektivisasi, negara

mendorong keterlibatan secara aktif bagi seluruh rakyat di setiap wilayahnya.

Dengan bentuk yang kolektif, akan melahirkan keterbukaan secara besar lapangan

kerja. Berbagai aspek dari sektor-sektor publik akan mendorong rakyat untuk

terlibat. Selain itu, partisipasi kerja juga menjadi penting mengingat azas “setiap

orang mendapatkan sesuai yang dikerjakannya”. Azas sosialis ini berarti juga

menutup „pintu‟ bagi kelas brojuasi yang semula tidak terlibat dalam partisipasi

kerja produksi.

Partisipasi kerja yang baik dalam mendukung berjalannya kolektivisasi

alat produksi telah membangun efisiensi kerja dan pembagian kerja secara lebih

baik. Dalam pemikiran Mao, kehidupan yang kolektif akan menjadikan rakyat

Tiongkok terdidik dalam membangun masyarakat sosialis menuju komunis.

Pandangan Mao tersebut diperkuat dengan pernyataan Wertheim melalui

penelitiannya di Provinsi Guangdong berikut:

“Pada bulan Mei 1954, telah bertumbuh kesadaran bahwa koperasi, di


bawah pemilikan pemerintah, akan menciptakan keuntungan-
keuntungan. Sementara orang hendak membentuk sebuah koperasi
tingkat lebih rendah, di mana para pemilik tanah akan mempertahankan
tanah mereka, dan sebagian atas landasan itu akan berbagi dalam
keseluruhan panennya.”311

310. Ibid, 53.


311. Ibid, 56.
298

Hal yang dipaparkan oleh Wertheim di atas adalah bentuk kolaborasi antara

bentuk sempurna dari kolektivisasi dan koperasi besar dengan kolektivisasi hasil

produksi dan koperasi skala kecil. Hasil dari program kolektivisasi di Provinsi

Guangdong adalah keuntungan sebesar 600 Yuan.312

Pesatnya perkembangan sektor pertanian Tiongkok terbukti dengan

rata-rata pertumbuhan 3,4% selama 10 tahun.313 Sektor pertanian menjadi fokus

pertama dalam upaya pembangunan sosialisme di Tiongkok. Hal ini berkaitan

dengan karakteristik negeri Tiongkok yang agraris. Program Land Reform dan

kolektivisasi menampakan efek positifnya kepada pembangunan sektor agraria.

Mao dalam hal ini, menekankan bahwa sektor agraria secara perlahan akan

ditingkatkan dari yanng tradisional menjadi modern. Dalam hal ini, Partai

Komunis Tiongkok melalui Republik Rakyat Tiongkok menyusun program

bertahap agar dapat disesuaikan dengan perkembangan dan kemampuan

rakyatnya. Mengenai ini, Tatiana Lukman memaparkan data-data mengenai

perkembangan lebih lanjut dari upaya pembangunan sosialisme di Tiongkok

dalam tulisannya:

“... luas tanah yang dikerjakan dengan mesin meningkat dari 2,4% pada
tahun 1957 menjadi 42,4% pada tahun 1979; luas lahan yang diirigasi
meningkat dari 24,4% dari seluruh luas lahan pada tahun 1957 menjadi
45,2% pada tahun 1979; pada periode yang sama, lahan yang diirigasi
dan dikerjakan dengan mesin meningkat dari 4,4% menjadi 56,3%.
Pada tahun 1957 terdapat 544 stasiun listrik- pada tahun 1979 jumlah
tersebut telah meningkat menjadi 83.244. Selama periode yang sama,
jumlah traktor ukuran besar dan menengah meningkat 45 kali, mesin
panen meningkat 12 kali, sedangkan traktor kecil meningkat jumlahnya
dari tidak ada menjadi 1.67 Juta.”314

312. Ibid, 57.


313. Tatiana Lukman, Alternatif,(Jakarta: Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, 2013),
107.
314. Ibid, 108.
299

Dalam pemikiran Mao, perkembangan pesat sektor agraria dalam upaya

pembangunan sosialisme di Tiongkok harus diimbangi dengan pembangunan

industri. Hal ini karena bagi Mao perpaduan antara sektor agraria dan industri

akan memperkuat perekonomian Tiongkok yang berarti memperkuat basis

struktur dalam masyarakat. Dalam memaknai mengenai pembangunan industri,

Mao bertolak pada latar belakang Tiongkok yang setengah jajahan setengah

feodal. Dalam hal ini, Mao memandang bahwa dalam Revolusi Demokrasi Baru

menju pembangunan sosialisme di Tiongkok, pembangunan industri harus

dilakukan secara bertahap.

Tahap pertama pembangunan industri harus disesuaikan dengan

program Revolusi Demokrasi Baru. Kontradiksi pokok masyarakat Tiongkok

yaitu dengan imperialisme dan feodalisme. Dengan demikian, pembangunan

industri Tiongkok tetap melibatkan kelas borjuasi nasional. Dalam menjalankan

revolusi demokrasin baru, borjuasi nasional yang menguasai sebagian sektor

industri ini masih dilindungi oleh revolusi. Mengenai ini, Mao menguraikan

dalam tulisannya:

“... harus diadakan perbedaan yang tegas antara penghapusan


penghisapan feodal dari tuan tanah dan tani kaya dengan perlindungan
atas industri dan perdagangan yang diusahakan tuan tanah dan tani
kaya; harus diadakan perbedaan yang tegas antara pedoman yang tepat
yaitu mengembangkan produksi, memakmurkan ekonomi,
memperhatikan kepentingan umum maupun kepentingan perseorangan
serta menguntungkan buruh maupun majikan.”315

Mao menekankan betapa pentingnya memadukan antara kepentingan buruh

dengan berusaha menjamin secara relatif kelangsungan bisnis borjuasi nasional.

315. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid IV, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1967), 241.
300

Dalam hal ini, Mao memandang hal tersebut harus ditempuh karena industri

Tiongkok selama penindasan dari imperialisme dan feodalisme mengalami

stagnasi. Dengan demikian, borjuasi nasional diperlukan dalam sektor-sektor

tertentu untuk menjaga perkembangan dan pertumbuhan industri Tiongkok pasca

kemenangan demokrasi baru. Dalam hal ini, Tatiana Lukman mengutip tulisan

Mao yang dikeluarkan pada tahun1950 mengenai kedudukan borjuasi nasional:

“Pada akhirnya kaum brojuasi nasional tidak akan ada lagi, tetapi pada
tahap saat ini kita harus mengumpulkan mereka di sekitar kita dan tidak
mendorong mereka keluar. Di satu pihak kita harus berjuang menentang
mereka, di lain pihak kita harus bersatu dengan mereka.”316

Pandangan Mao tersebut adalah bentuk kompromi politik taktis terhadap

kelompok borjuasi nasional. Pandangan politik tersebut akan diarahkan berubah

secepat mungkin. Hal ini terbukti pada tahun 1952, Mao menyatakan bahwa

kontradiksi antara kelas pekerja dan kelas borjuasi adalah kontradiksi pokok di

Tiongkok.317 Syarat untuk penghancuran kekuatan borjuasi terutama dinilai dari

perkembangan pembangunan sosialisme. Dalam hal ini, ukuran utamanya adalah

sistem produksi agraria dan industri Tiongkok.

Dalam praktik pembangunan industri di Tiongkok sesungguhnya sudah

mulai dilakukan sebelum kemenangan Revolusi Demokrasi Baru. Sejalan dengan

revolusi agraria dan pembangunan sektor pertanian, sektor industri juga menjadi

perhatian saat Mao dan Partai Komunis Tiongkok melancarkan revolusi. Hal ini

terlihat jelas pada artikel tentang perekonomian Tiongkok yang ditulis Mao pada

tahun 1945:

316. Tatiana Lukman, Alternatif,(Jakarta: Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, 2013),


107.
317. Ibid, 113.
301

“Kita harus berusaha supaya dalam dua tiga tahun Daerah Perbatasan
Shensi-Kansu-Ningsia dan semua Daerah Bebas di belakang garis
pertahanan musuh bisa swasembada seluruhnya atau sebagian besar
dalam hal bahan makanan dan barang-barang industri, dan bahkan ada
kelebihannya. Kita harus berusaha supaya pertanian, industri dan
perdagangan kita mencapai hasil yang lebih besar daripada sekarang
ini.”318

Pembangunan industri yang demikian berjalan hingga kemenangan Revolusi

Demokrasi Baru.

PascaRevolusi Demokrasi Baru, orientasi pembangunan industri

menjadi berubah sesuai dengan perkembangan kontradiksinya. Kemenangan

melawan imperialisme dan feodalisme menjadikan revolusi Tiongkok melangkah

pada tahap selanjutnya, yaitu sosialisme. Pada tahap ini, kontradiksi pokoknya

adalah antara politik kelas proletariat melawan kelas borjuasi. Dengan demikian,

pembangunan industri akan semakin membatasi keterlibatan dari kelas borjuasi.

Pembangunan industri dalam negeri Tiongkok pasca kemenangan Revolusi

Demokrasi Baru menurut Mao harus selaras dengan pembangunan sektor agraria

di pedesaan.

Perkembangan sektor industri melalui program keselarasan dengan

sektor agraria terbukti mampu menjawab permasalahan ekonomi Tiongkok. Pada

tahun 1952 sektor industri baru mencapai angka 36% dari nilai bruto produksi

nasional, angka tersebut meningkat pesat menjadi 72% pada tahun 1975. 319 Lebih

lanjut, capaian besar dari pembangunan industri Tiongkok adalah dengan adanya

pembangunan pada periode tahun 1966-1976 yang meliputi peletusan bom atom,

318. Mao Tse Tung, Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid III, (Peking: Komisi
Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1967), 242.
319. Tatiana Lukman, Alternatif,(Jakarta: Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, 2013),
107.
302

pembuatan insulin kristal sintetis untuk sapi, komputer transistor, komputer sirkuit

terpadu, kamera tiga dimensi otomatis, antibiotik Qingda, peluncuran satelit, rel

kereta api elektron, tanker 100.000 ton, perkembangan sumur minyak.320 Hasil

tersebut merupakan gambaran konkret dari hasil buah pikir Mao dalam

membangun sosialisme di Tiongkok.

Dalam pemikirannya, Mao menempatkan pembangunan sektor agraria

dan industri Tiongkok melalui bentuk koperasi-koperasi yang dikelola oleh

Komune Rakyat. Komune Rakyat adalah bentuk terkecil dari otoritas masyarakat

di Tiongkok. Komune Rakyat terdiri dari beberapa unit keluaraga dan “grup

saling bantu”. Tugas utama dari Komune Rakyat adalah mengelola unit produksi

yang terdapat di daerah masing-masing. Dalam hal ini, pengelolaan harus sesuai

dengan arahan program pembangunan sosialisme yang dikeluarkan oleh negara.

Dalam hal ini, pembentukan Komune Rakyat inilah yang secara nyata melibatkan

rakyat dalam segala urusan negara. Komune Rakyat inilah yang pada akhirnya

mendorong kemajuan pesat sektor agraria maupun industri Tiongkok.

320. Ibid, 110.


303

Secara ringkas dan rinci, data mengenai perkembangan Komune Rakyat

dapat dilihat melalui tabel 3 (tiga) berikut:

TABEL 5. Peningkatan Produksi Agrikultur di Tiongkok Sejak 1957


Wilayah Komune Tanaman Utama Hasil: Kg/Hektar

1957 1963 1964

Beijing Gandum 1.900 - 2.000


Jagung - 3.000 -
Beras - 4.500 -
Sayuran Segar 60.000 80.000 -

Shanghai Sayuran Segar 45.000 76.000 -


Gandum 1.200 - 2.700
Beras 4.000 6.000 -
Kapas (Murni) 310 660 -
Kolza 750 - 1.575

Hangzhou Beras 4.500 6.800 -

Guangzhou Beras 4.700 8.600 -

Guangdong Utara Beras 3.400 7.300 -


Kacang 720 1.500 2.000

Guangdong Selatan Beras - 7.200 -

Hubei-Utara Beras 3.900 7.650 -

Hubei-Utara Beras - 7.500 -


Kapas (murni) - 750 -

Sumber: W.F. Wertheim, Dunia Ketiga, dari dan Ke Mana: Negara Protektif
Versus Pasar Agresif, terj. Oey Hay Djoen. (Yogyakarta: Oey‟s Renaissance, 1997),
72-73.

Tabel tersebut merupakan hasil penelitian dari Wertheim saat mengunjungi

Tiongkok beberapa kali. Angka-angka di atas adalah bukti bahwa pembangunan

Komune Rakyat telah mencapai hasil yang signifikan dalam rangka mendirikan

negara sosialis Tiongkok.


304

Dalam melakukan upaya pendistribusian hasil produksinya, Komune

Rakyat juga memiliki sistemnya sendiri. Dalam hal ini, diperlukan untuk

mengutip panjang dari pemaparan Dongping-Han seorang tani yang tercantum

dalam buku Tatiana Lukman:

“Di desa saya terdapat delapan tim produksi. Tiap tim produksi ada 40
keluarga. Tiap tahun kami memilih lima pimpinan tim produksi. Semua
orang keluar dan bekerja bersama. Setelah selesai pekerjaan, kasir akan
mencatat berapa orang yang bekerja hari itu. Pada kahir tahun, ketika
panen datang, akuntan desa bersama dengan akuntan tim produksi, akan
merancang Plan distribusi. 70% dari gandum/padi dibagi menurut
jumlah orang yang ada di keluarga kamu. 30% dibagi menurut berapa
banyak kamu bekerja dalam kolektif. Jadi, seandainya kamu tidak
bekerja di sawah/ladang, kamu tetap mendapat hak atas 70% dari
gandum kolektif. Itu adalah ditribusi pada tingkat tim produksi. Ada
juga distribusi pada tingkat brigade produksi. Desa memiliki banyak
perusahaan. Setelah menyisihkan uang untuk dana kesejahteraan, uang
untuk membeli alat-alat baru dan sebagainya, desa akan membagi
pemasukannya menurut berapa banyak kamu telah bekerja dalam
kolektif.”321

Sistem pembagian hasil produksi yang demikian adalah ciri dari masyarakat

sosialisme di Tiongkok. Dalam aspek kebutuhan hidup lainya, seperti sayur,

buah, ikan, rokok, pakaian, dan lainnya juga diterapkan sistem kolektif yang sama

seperti pada contoh gandum/padi.322 Dalam menentukan pendapatan dari kerja

produksinya, ditetapkan melalui seberapa besar kerja dalam suatu unit produksi.

Hal ini menandakan Tiongkok tidak menghentikan revolusinya, namun terus maju

menuju pembangunan negeri sosialis.

Keberhasilan Komune Rakyat dalam memajukan perekonomian

Tiongkok menjadi kunci sukses pembangunan sosialisme. Pembangunan

sosialisme juga secara langsung menampakan hasilnya bagi masyarakat. Menurut

321. Tatiana Lukman, Alternatif,(Jakarta: Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, 2013),


118.
322. Ibid, 119.
305

Raymond Lottta, antara tahun 1949 dan 1975, harapan hidup di Tiongkok

meningkat dari 32 tahun menjadi 65 tahun.323 Dalam aspek pembaharuan sistem

kerja dalam industri juga terdapat perubahan. Sebelum kemenangan Revolusi

Demokrasi Baru, buruh Tiongkok rata-rata harus bekerja 18 jam sehari, sementara

pasca kemenangannya Partai Komunis Tiongkok menetapkan 8 jam sehari

menjadi peraturan yang baru.

Dalam strategi pembangunannya, Mao menekankan pentingnya

kesinambungan antara sektor pertanian dan industri. Dalam pemikirannya, Mao

memandang bahwa dana untuk mengembangkan industri hanya dapat diberikan

dari surplus sektor pertanian. Surplus sektor pertanian digunakan untuk

mengembangkan industri, satu sisi sektor industri harus mampu mengembangkan

sektor pertanian, terutama prihal alat-alat kerja modern. Mengenai ini, Tatiana

Lukman menjabarkan skema pembangunan sosialisme melalui kolaborasi sektor

pertanian dan industri sebagai berikut:

“Negara mengambil kebijakan menurunkan pajak pertanian dan


kebijakan lainnya yang menguntungkan sektor pertanian, dan investasi
disalurkan ke dalam proyek-proyek infrastruktur pertanian yang besar,
seperti Kanal Bendera Merah dan Proyek Sungai Kuning. Industri kecil
dan menengah dibangun di brigade-brigade dan komune rakyat untuk
memproduksi alat-alat dan mesin-mesin yang diperlukan untuk
mekanisasi dan modernisasi pertanian. industri yang dibangun di
pedesaan menciptakan lapangan kerja baru bagi kaum tani.”324

Model pembangunan tersebutlah yang dinamakan oleh Mao dengan

kesinambungan sektor dalam rangka pembangunan sosialisme di Tiongkok.

Dengan demikian, pembangunan politik dan ekonomi baru dapat dilakukan

dengan baik.

323. Ibid, 108.


324. Ibid, 241.
306

Pembangunan sosialisme dalam aspek politik dan ekonomi yang

dilakukan oleh negara di bawah pimpinan Mao telah berdampak besar bagi

peningkatan kesejahteraan rakyat. Maju dan berkembangnya politik dan ekonomi

pascaRevolusi Demokrasi Baru menandakan sebuah tahapan baru dalam sistem

sosial Tiongkok. Tiongkok secara bertahap beralih menjadi negeri sosialis.

Dalam perjalanannya, Mao juga menggagas program besar untuk menopang

pembangunan sosialisme. Program tersebut adalah Revolusi Besar Kebudayaan

Proletariat (RBKP).

RBKP merupakan tindak lanjut dari revolusi demokrasi bar di sektor

kebudayaan. Dalam peralihan dari sistem demokrasi baru menuju sosialisme,

sektor kebudayaan juga memiliki peran penting. Dalam pemikiran Mao,

kontradiksi pokok antara borjuasi dengan proletariat Tiongkok juga terdapat

dalam aspek kebudayaan. Revolusi Sosialis Tiongkok harus mampu melikuidasi

kebudayaan borjuasi dalam masyarakat Tiongkok. Dengan demikian, Mao

menandaskan bahwa diperlukan suatu perubahan dan perjuangan besar dalam

sektor kebudayaan.

Mao menyadari bahwa pasca kemenangan Revolusi Demokrasi Baru

tetap terdapat pertentangan kelas di dalam masyarakat. Kelas borjuasi dalam

negeri tetap berupaya keras untuk melakukan restorasi kapitalisme di Tiongkok.

Dalam hal ini, Mao membagi 2 (dua) macam kelas borjuasi yang ingin

menghancurkan pembagunan sosialisme di Tiongkok. Pertama, kelompok

borjuasi yang sejak awal memang menetang pembangunan sosialisme dengan

dukungan langsung dari imperialisme. Kedua, kelompok borjuasi yang berada


307

dalam kekuatan revolusioner maupun Partai Komunis Tiongkok, kelompok ini

dinamakan oleh Mao sebagai kaum revisionis.325

Berdasar dengan analisis kelas yang berkembang pascaRevolusi

Demokrasi Baru inilah Mao menegaskan pentingnya RBKP dalam menopang

pembangunan sosialisme. Mengenai RBKP, Mao menjelaskannya secara detail:

“Revolusi Besar Kebudayaan Proletariat, pada dasarnya, adalah sebuah


revolusi politik besar yang dipimpin oleh kelas proletariat melawan
kelas borjuasi dan semua kelas penghisap lainnya di bawah kondisi
sosialisme, kelanjutan dari perjuangan panjang yang dilancarkan oleh
Partai Komunis Tiongkok dan massa rakyat revolusioner besar yang
diorganisasinya, melawan Kuomintang, kelanjutan dari perjuangan
kelas antara proletariat dan borjuasi.”326

Dalam hal ini, Mao menegaskan bahwa RBKP adalah suatu agenda untuk

menghancurkan kebudayaan borjuasi di Tiongkok. Kebudayaan borjuasi yang

dimaksud Mao tidak hanya yang berada luas di masyarakat, namun yang berada

dan menjangkit dalam tubuh Partai Komunis Tiongkok dan pemerintahan

Republik Rakyat Tiongkok.

Mao dalam pemikirannya ini sekali lagi secara konsisten menggunakan

teorinya tentang kontradiksi. Bagi Mao, suatu revolusi benar adanya akan

menghancurkan suatu kontradiksi pokok, namun bukan berarti sudah

menyelesaikan seluruh kontradiksi. Pergeseran kontradiksi pasca kemenangan

Revolusi Demokrasi Baru menjadi sebuah keniscahyaan bagi Mao. Kontradiksi

yang awalnya pokok menjadi lenyap, sementara kontradiksi non-pokok menjadi

325. Kaum revisionis adalah kaum yang berdalih ingin meninjau kembali Marxisme
yang justru menghilangkan seluruh unsur revolusionernya. Kepentingannya adalah mengalihkan
perjuangan revolusioner menjadi reformis. Tujuan utamanya adalah untuk mempertahankan atau
mengembalikan kepentingan dari imperialisme baik seara terbuka ataupun sembunyi-sembunyi.
L.Harry Gould, Kamus Kecil Istilah Marxis, terj. Rollah Syarifah (Jakarta: Kelompok Kerja Untuk
Demokrasi Rakyat, 2006), 66.
326. Tatiana Lukman, Alternatif,(Jakarta: Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, 2013),
129.
308

kontradiksi pokok. Inilah yang terjadi pada kontradiksi antara borjuasi dan

proletariat Tiongkok.

Kontradiksi antara borjuasi dan proletariat Tiongkok merupakan hal

yang harus segera diselesaikan. Pemikiran Mao tentang perjuangan kebudayaan

kemudian termanifestasi dalam program Partai Komunis Tiongkok. Dalam

dokumen keputusan Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok tentang RBKP

yang diterbitkan pada tahun 1966, tertulis jelas arah dari perjuangan kebudayaan

Tiongkok. Dokumen tersebut menjelaskan:

“... tujuan kita adalah berjuang melawan dan menggulingkan orang-


orang berkuasa yang mengambil jalan kapitalis, mengkritik dan
menolak „otoritas‟ kaum akademis borjuis reaksioner dan ideologi dari
kelas borjuasi dan semua kelas penghisap lainnya, dan mengubah
pendidikan, sastra dan seni dan semua bagian lain dari bangunan atas
yang tidak sesuai dengan dasar ekonomi sosialis, sehingga
memudahkan konsolidasi dan perkembangan dari sistem sosialis.”327

Perjuangan kebudayaan melalui RBKP merupakan kunci untuk melikuidasi

pandangan-pandangan maupun sikap-sikap elit borjuasi di Tiongkok. Dalam hal

ini, beberapa rangkaian perjuangan kebudayaan sudah dilakukan sebelumnya.

Pada tahun 1951, terdapat gerakan “Kampanye Tiga Anti”. “Kampanye

Tiga Anti” merupakan program untuk melawan segala bentuk penyelewengan dan

penyalahgunaan kekuasaan, yang terdiri dari anti-korupsi, anti-pemborosan dan

anti-birokratisme. Dalam hal ini, Mao menekankan keterlibatan massa rakyat

Tiongkok secara luas untuk melakukan kampanye ini. Rakyat Tiongkok berhak

mengadukan segala bentuk tindakan yang dilarang dalam program tersebut. Hal

327. Ibid, 133.


309

ini bertujuan agar Partai Komunis Tiongkok dan pemerintahan yang ada bersih

dari seluruh tindakan tersebut. Program kampanye ini berlanjut pada tahun 1952.

Tahun 1952 terjadi gerakan kebudayaan kembali, yaitu “kampanye

Lima Anti”. Aspek-aspek yang terdapat dalam kampanye ini mengenai,

penyogokan, tidak membayar pajak, pemalsuan, pencurian kekayaan negara dan

pembocoran rahasia negara. Gerakan kampanye tiga dan lima anti ini

menunjukan suatu keseriusan dari Mao dan Partai Komunis Tiongkok untuk

memperbaiki kebudayaan masyarakatnya. Hal ini terus dilakukan, bahkan tidak

jarang yang menjadi sasaran dari gerakan tersebut adalah pimpinan-pimpinan

Partai.

Selain gerakan tersebut, Mao juga pernah memimpin suatu gerakan

yang dimulai pada 1960 yaitu “Gerakan Pendidikan Sosialis”. Gerakan ini

ditujukan untuk mendidik dan menanamkan kembali nilai-nilai sosialisme,

khususnya teori-teori Marxisme-Leninisme. Selain itu, gerakan tersebut juga

mengambil langkah praksis, yaitu gerakan Su Qing (empat pembersihan).

Keempat aspek yang harus dibersihkan atau diperbaiki antara lain adalah, disiplin

politik, penyimpangan ideologi, penyimpangan organisasi, dan kesalahan

manajemen ekonomi.328

Keseluruhan gerakan kebudayaan tersebut menjadi penting bagi

pembangunan sosialisme di Tiongkok. Pendidikan-pendidikan di Tiongkok

sepenuhnya dipergunakan untuk mendidik seluruh rakyatnya. Di dalam

Universitas dilarang adanya perbedaan dan pembatasan peserta didik. Manteri

328. W.F. Wertheim, Dunia Ketiga, dari dan Ke Mana: Negara Protektif Versus
Pasar Agresif, terj. Oey Hay Djoen. (Yogyakarta: Oey‟s Renaissance, 1997), 170.
310

yang diberikan bertujuan untuk menggabungkan antara kemampuan kerja mental

dengan kerja praktik.329 Mahasiswa juga diarahkan untuk menghilangkan unsur

borjuasi kecilnya. Berikut adalah kutipan sumpah mahasiswa yang terdapat di

Universitas Beijing yang mencerminkan pengaruh dari RBKP:

“Kami, mahasiswa, kaum buruh, kaum tani dan prajurit, tidak


mengaitkan arti penting khusus pada kartu nama „insinyur. Kami tidak
akan pernah membiarkan diri kami dikorupsi, baik itu oleh pentingan
diri sendiri atau oleh suatu hasrat untuk memperoleh kemasyhuran
pribadi. Keputusan telah kami ambil: sekalipun kita menduduki suatu
pos baru, kesadaran revolusioner kami tetap seperti sediakala.
Sekalipun lingkungan kami berbeda, posisi kami sebagai kaum buruh
yang lahir dari rakyat tetap tidak akan berubah. Terpanggil untuk
menunaikan tugas baru, kami akan terus melakukan perjuangan kami
dengan cara yang sama.”330

Pada dasarnya, orientasi pendidikan menurut Mao adalah untuk memenuhi

kebutuhan kolektif dan memecahkan masalah yang ada di dalamnya. Dengan

demikian, ilmu pengetahuan yang didapat harus mampu diabdikan untuk

kehidupan dan kemajuan kolektif. Dalam hal ini, maksud Mao adalah untuk

mengikis watak individual masyarakatnya.

Kemajuan lain yang dicapai dari RBKP adalah keterlibatan dan

persamaan jenis kelamin. Revolusi Demokrasi Baru dan RBKP menjadi sarana

bagi kaum perempuan Tiongkok untuk lebih aktif bekerja dan berkegiatan.

Mengenai ini, Wertheim memaparkan penemuannya saat melakukan kunjungan

ke Tiongkok:

“Menurut keterangan yang diberikan kepada saya, di antara 80 dan 90%


dari mereka yang mampu bekerja terlibat dalam kerja agrikultur. Rata-
rata mereka bekerja 100 hari dalam setahun, tetapi ada pula yang
bekerja lebih dari 200 hari. Dalam kunjungan-kunjungan saya ke

329. Ibid, 180.


330. Ibid, 181.
311

komune-komune rakyat, saya juga memperhatikan bahwa banyak gadis


belajar di sekolah-sekolah menengah.”331

Bagi Wertheim, fenomena tersebut tidak terlepas dari pemikiran Mao tentang

perjuangan kebudayaan dalam RBKP.

RBKP merupakan sebuah lompatan besar yang beriringan dengan

perubahan politik dan ekonomi untuk pembangunan sosialisme. Pemikiran Mao

tentang pembangunan sosialisme mendapatkan artinya yang luas dengan

berjalannya RBKP. Mao berhasil memadukan secara dialektis antara perubahan

ekonomi sebagai basis sosial masyarakat dengan aspek penting yang

mendukungnya seperti politik dan kebudayaan. Tak pelak, pemikiran Mao

merupakan pemikiran yang mengantarkan Tiongkok dalam upayanya membangun

suatu negeri yang sosialis.

Seperti yang tercermin dalam Gambar 17 (Tujuhbelas), dalam

pemikiran Mao, revolusi dua tahap ditentukan oleh tiga aspek penting dalam

setiap tahapnya. Dalam Revolusi Demokrasi Baru, memiliki aspek pokok berupa,

peran kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok, Perang Tahan Lama melawan

imperialisme dan kekuatan negara, serta pembentukan Front Persatuan anti

imperialisme dan feodalisme. Sementara itu, dalam tahap Revolusi Sosialis untuk

membangun sosialisme di Tiongkok, diperlukan tiga aspek pokok juga, yaitu

revolusi agraria, pembangunan industri nasional, dan revolusi besar kebudayaan

proletariat. Keseluruhan aspek-aspek tersebut berjalan beriringan dan

berkesinambungan tanpa jeda.

331. Ibid, 182.


312

GAMBAR 17. Pemikiran Politik Mao Tse Tung tentang Revolusi Dua Tahap untuk Pembangunan Sosialisme di Tiongkok
313

Pemikiran Mao tentang revolusi dua tahap dapat dinyatakan bertujuan

untuk membangun sistem demokrasi baru menuju pembangunan sosialisme

hingga berdirinya masyarakat komunis di Tiongkok. Mao dalam hal ini,

menyuguhkan revolusi yang sistematis sesuai dengan kondisi konkret masyarakat

Tiongkok. Revolusi di Tiongkok menurut Mao terlebih dahulu harus melewati

tahap demokrasi baru. Dalam tahap ini, revolusi harus dipimpin oleh Partai

Komunis Tiongkok untuk melancarkan program-program revolusi seperti perang

tahan lama dan pembangunan front persatuan. Dalam hal ini, tujuan dari revolusi

adalah menghancurkan sistem setengah jajahan setengah feodal dan menggantinya

dengan sistem demokrasi baru. Dengan demikian, Revolusi Demokrasi Baru

menjadi tahap pertama revolusi di Tiongkok. Dalam tahap ini, negara menjelam

menjadi diktator demokrasi rakyat. Artinya, negara dikuasai oleh kelas-kelas

revolusioner Tiongkok. Revolusi tahap pertama ini yang akan menjadi jembatan

untuk menuju revolusi selanjutnya, yaitu Revolusi Sosialis.

Revolusi Sosialis menjadi langkah selanjutnya pasca kemenangan

Revolusi Demokrasi Baru. Revolusi Sosialis mengambil peranan untuk

melakukan transformasi dalam masyarakat baik dalam aspek politik, ekonomi,

maupun kebudayaan. Revolusi Sosialis akan tetap dipimpin oleh Partai Komunis

Tiongkok untuk melancarkan revolusi agraria, pembangunan industri nasional,

dan revolusi besar kebudayaan proletariat. Hal ini menjadikan Revolusi Sosialis

sebagai senjata untuk membangun sistem sosialisme di Tiongkok. Peralihan juga

terjadi pada tahapan ini, negara tidak lagi dikuasai atau berkarakter diktator

demokrasi rakyat, namun berubah menjadi diktator proletariat.


314

Pemikiran Mao tentang revolusi dua tahap pada akhirnya bertujuan

untuk menghancurkan sistem setengah jajahan setengah feodal dan

menggantikannya dengan masyarakat tanpa kelas, masyarakat komunis.

Masyarakat komunis inilah yang akan dicapai melalui dua tahap revolusi,

Revolusi Demokrasi Baru dan Revolusi Sosialis.


315

BAB VII

PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Berdasarkan pada hasil penelitian ini, maka terdapat beberapa

kesimpulan umum yang dapat ditarik. Pertama, pemikiran Mao tentang revolusi

dua tahap lahir karena dilatar belakangi oleh kondisi sosial Tiongkok dan

pengaruh pemikiran Marxisme-Leninisme. Kondisi sosial Tiongkok merupakan

negeri setengah jajahan setengah feodal yang didominasi oleh imperialisme dan

feodalisme menjadikan Mao merasakan betul keterhisapan dan ketertindasan

masyarakat Tiongkok. Kondisi sosial yang demikian itu kemudian dianalisa oleh

Mao dengan menggunakan perspektif Marxisme-Leninisme. Kolaborasi antara

pengetahuan Mao tentang kondisi sosial Tiongkok dan Marxsisme-Leninisme

inilah yang menjadi dasar lahirnya pemikiran Mao tentang revolusi dua tahap.

Kedua, revolusi dua tahap merupakan revolusi yang sesuai dengan

karakter negara setengah jajahan setengah feodal. Revolusi dua tahap terdiri dari

Revolusi Demokrasi Baru dan Revolusi Sosialis. Namun demikian, haruslah

dipahami bahwa kedua revolusi tersebut berjalan tanpa jeda dan beriringan.

Revolusi Demokrasi Baru bertujuan untuk menghancurkan

imperialisme dan feodalisme di Tiongkok. Revolusi tersebut digerakan oleh

kekuatan revolusioner yang terdiri dari kelas proletariat, kaum tani, borjuasi kecil,

dan menggalang juga borjuasi sedang yang progresif. Dalam menjalankan

Revolusi Demokrasi Baru, Mao menyaratkan adanya 3 (tiga) aspek yang menjadi
316

pokok dalam revolusi, yaitu kepemimpinan Partai Komunis Tiongkok, Perang

Tahan Lama melawan imperialisme untuk merebut kekuasaan negara, dan terakhir

adalah membentuk Front Persatuan kelas-kelas revolusioner anti imperialisme dan

feodalisme. Lebih jauh lagi, Revolusi Demokrasi Baru yang merupakan bagian

pertama dari revolusi dua tahap beralih menuju Revolusi Sosialis ditandai dengan

berdirinya negara diktator demokrasi rakyat bernama Republik Rakyat Tiongkok

pada 1 Oktober 1949.

Berdirinya Republik Rakyat Tiongkok merupakan tanda melajunya

revolusi di Tiongkok ketahap revolusi sosilais dengan cara pembangunan

sosialisme. Tahap ini adalah tahap kedua dari revolusi dua tahap. Revolusi

Sosialis Tiongkok dilancarkan melalui program nasional revolusi agraria,

pembangunan industri nasional yang mandiri dan kolektif, serta melancarkan

Revolusi Besar Kebudayaan Proletariat (RBKP). Sasaran dalam tahap ini adalah

kelas borjuasi yang masih tersisa juga watak-watak borjuasi yang selama ini

tertanam dalam seluruh kelas revolusioner Tiongkok. Tujuan utamanya adalah

membangun sistem sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan yang sosialis.

Menjadikan Republik Rakyat Tiongkok menjadi negara sosialis.

Harus diakui pula bahwa Mao merupakan seorang pemikir sekaligus

praktisi politik yang lengkap. Sebagai seorang pemikir, Mao mampu dengan baik

menerjemahkan dan menggunakan teori-teori Marxisme-Leninisme sesuai dengan

kondisi konkret di Tiongkok. Dalam setiap karyanya, Mao tidak hanya

memaparkan teori-teori abstrak, ia selalu menyandingkan penjelasan teorinya

dengan contoh-contoh yang begitu dekat dengan masyarakat.


317

Mao adalah orang pertama yang mampu menerjemahkan Marxisme-

Leninisme dalam kondisi negara setengah jajahan setengah feodal. Dengan

demikian, Mao berhasil keluar dari „ruang sempit‟ dogmatisme. Sebagai seorang

praktisi politik, Mao secara nyata mampu mengaplikasikan segala teorinya dengan

baik. Dalam hal ini, kehidupan Mao tidak pernah lepas dari perjuangan

revolusioner. Mao secara konsisten mengabdikan hidupnya untuk revolusi,

menerapkan seluruh teorinya baik dalam memimpin perang revolusioner,

memimpin partai, hingga menjadi kepala negara.

Lebih jauh lagi, Mao jauh lebih memperhatikan mengenai aspek

kebudayaan dalam upaya pembangunan sosialisme ketimbang pemikir-pemikir

Marxis lainnya. Hal ini dikarenakan Mao memandang bahwa aspek budaya

adalah hal yang penting untuk menunjang percepatan dalam membangun

sosialisme. Inilah mengapa kemudian Mao terus menyerukan kepada Partai

Komunis Tiongkok, tentara rakyat dan seluruh organisasi rakyat untuk

menghancurkan secara bertahap budaya yang dibangun oleh imperialisme dan

feodalisme. Puncak praktik perjuangan kebudayaannya adalah berjalannya

program revolusi besar kebudayaan proletariat di Tiongkok untuk menghancurkan

budaya-budaya borjuasi. Perjuangan kebudayaan ini menurut Mao adalah

perjuangan mengubah kesadaran hingga tindakan rakyat. Hal ini terus dijalankan

meskipun kerap mengalami kesulitan dan hambatan. Seluruh hal tersebutlah yang

menjadikan pemikiran Mao tentang revolusi dua tahap menjadi sebuah karya

besar.
318

Revolusi dua tahap merupakan sebuah pencapaian besar dari pemikiran

Mao Tse Tung. Revolusi dua tahap merupakan teori sekaligus senjata konkret

untuk membebaskan rakyat Tiongkok dari belenggu penindasan. Dengan

demikian, dapat disimpulkan bahwa revolusi dua tahap merupakan revolusi yang

sistematis dan komprehensif untuk membawa masyarakat Tiongkok membangun

sosialisme hingga tercapainya cita-cita berdirinya masyarakat tanpa kelas,

masyarakat komunis.

7.2 Saran

Pertama, pemikiran Mao Tse Tung dapat digunakan sebagai alternatif

dalam menjalankan perjuangan revolusioner bagi negara-negara dengan bentuk

setengah jajahan setengah feodal. Pemikiran Mao telah menunjukan tidak hanya

sebagai teori tentang revolusi yang sistematis dan matang, namun juga

keberhasilan secara praktik menghancurkan penghisapan dan penindasan dalam

masyarakat Tiongkok. Terkait dengan hal ini, perlu diingat bahwa bagian penting

dalam aspek ilmu politik adalah mengupayakan lahirnya masyarakat yang

sejahtera tanpa penghisapan dan penindasan.

Kedua, penelitian ini telah mampu membuktikan bahwa revolusi dan

sosialisme bukanlah suatu hal yang tidak mungkin. Namun demikian, bukan

berarti penelitian ini menjadi anti kritik. Dalam hal pemikiran Mao, penulis tidak

banyak menemukan karya yang membahas mengenai pemberantasan terhadap

pikiran-pikiran dan tindakan oportunis dan revisionis di dalam elemen revolusi.

Hal inilah yang menurut penulis perlu dan penting ditelusuri lebih dalam melalui
319

penelitian selanjunya. Hal ini penting karena pengalaman sejarah perjuangan

revolusioner seperti di Uni Soviet dan Indonesia telah membuktikan betapa

besarnya dampak kehancuran akibat dari pikiran dan tindakan oportunis dan

revisionis. Hal tersebut juga yang akhirnya menggerogoti perjuangan

revolusioner di Tiongkok.

Ketiga, gagasan tentang revolusi terus berkembang di dalam seluruh

ruang akademik. Perkembangan ini dilandasi oleh kondisi sosial yang objektif

bahwa masyarakat masih dalam kondisi terhisap dan tertindas, dengan demikian

hendaknya para sivitas akademis dapat menggunakan pemikiran Mao sebagai

pisau analisis untuk membedah realitas masyarakat baik melalui kajian literatur

maupun kajian lainnya. Lebih jauh lagi, sangat diharapkan agar penelitian

mengenai pemikiran tentang revolusi, khususnya pemikiran Mao Tse Tung dapat

terus dikembangkan hingga terhapusnya penghisapan dan penindasan dalam

masyarakat.
320

DAFTAR PUSTAKA

Aidit, D.N. Lahirnya PKI dan Perkembangannya. Jakarta: Yayasan Pembaruan,

1955.

Aidit, D.N. Tentang Marxisme. Jakarta: Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, 1963.

Ch‟en, Kenneth. Buddhism ini China: A Historical Survey. New Jersey: Princeton

university Press, 1963.

Chang, Jung dan Jon Halliday. MAO Kisah-Kisah yang Tak Diketahui.

Diterjemahkan oleh Martha Wijaya dan Widya Kirana. Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 2007.

Darsono. Karl Marx Ekonomi Politik dan Aksi-Revolusi. Jakarta: Diadit Media,

2007.

Dokumen Komunis Internasional. Tesis Mengenai Persoalan Kebangsaan dan

Kolonial. 6 Juni 2008. Diakses 1 Desember 2015. <http:

//www.marxists.org/indonesia/archive/komintern/1920tesiskebangsaan.ht>

Eisenstadt, SN. Revolusi dan Transformasi Masyarakat, Diterjemahkan oleh

Chandra Johan. Jakarta: CV. Rajawali, 1986.

Engels, Friedrich. Anti Duhring: Revolusi Herr Eugen Duhring Dalam Ilmu

Pengetahuan. Diterjemahkan oleh Oey Hay Djoen. Bandung: Hasta Mitra-

Ultimus, 2005.

Engels, Friedrich. Tentang Das Kapital Marx. Diterjemahkan oleh Oey Hay

Djoen. Jakarta: Oey‟s Renaissance, 2007.


321

Engels, Friedrich. Kondisi Kelas Pekerja Inggris: Embrio Sosialisme Ilmiah.

Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2012.

Faqih, Mansour. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta:

Insist Press, 2009.

Feng, Tjen Tjan. Long March Di Samping Ketua Mao Tse Tung. Diterjemahkan

oleh Tim Buku Guci Media. Surabaya: Guci Media, 2001.

Fink, Hans. FILSAFAT SOSIAL: Dari Feodalisme Hingga Pasar Bebas.

Diterjemahkan oleh Sigit Djatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Gadamer, Hans-George. Kebenaran dan Metode: Pengantar Filsafat

Hermeneutika. Diterjemahkan oleh Ahmad Ahidah. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2004.

Gould, L. Harry. Kamus Kecil Istilah Marxis. Diterjemahkan oleh Rollah

Syarifah. Jakarta: Kelompok Kerja Untuk Demokrasi Rakyat, 2006.

Guevara, Che. Sosialisme dan Manusia di Kuba. Diakses 4 Desember 2015.

<http://www.marxists.org/indonesia/archive/guevara/1965Sosialisme.htm>

Hakim Abdulah, Atang. Filsafat Umum dari Mitologi Sampai Teofilosofi.

Bandung: Pustaka Setia, 2008.

Haryadi, Edi. Melenyapnya Negara Perspektif Lenin. Jakarta: Komunitas Studi

untuk Perubahan, 2009.

Hiariej, Eric, “Teori Negara Marxis,” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, no.2

(2003). 261-282.

Hill, Christopher. Lenin: Teori dan Praktik Revolusioner. Diterjemahkan oleh

Darmawan. Yogyakarta: Resist Book, 2009.


322

Kleden, Ignas. kata pengantar untuk Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan. Jakarta:

LP3ES, 1988.

Lenin, V. I. Draft Regulasi Atas Konrol Buruh. Agustus 2008. Diakses 17

Nopember 2015. <http://www.marxists.org/indonesia/ archive/lenin/1917

/Draft Kontrol.htm>

Lenin, V.I. Imperialisme, Sebagai Tahapan Tertinggi Kapitalisme. Jakarta:

Yayasan Pembaharuan, 1958.

Lenin, V. I. Kepada Para Pekerja Perempuan. Nopember 1998. Diakses 17

Nopember 2015. <http:/www.marxists.org/indonesia/ archive/lenin

/1920/20-kpp.htm>

Lenin,V. I. Negara dan Revolusi, Ajaran Marxis tentang Negara dan Tugas-

Tugas Proletariat di Dalam Revolusi. Diterjemahkan oleh Sulang Sahun.

Yogyakarta: Indonesia Tera, 2000.

Lenin, V. I. Revolusi Sosialis dan Hak Sebuah Bangsa untuk Menentukan Nasib

Sendiri. Diterjemahkan oleh Dipo Negoro. Yogyakarta: Pustaka

Nusantara, 2013.

Lenin, V. I. Suatu Pemerintahan Revolusioner yang Kuat. Diakses 13 Nopember

2015.<http://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1917/SuatuPemeri

ntahan.htm>

Lenin, V. I. Tugas-Tugas Kaum Proletariat dalam Revolusi Sekarang Ini (Tesis

April). Desember 1998. Diakses 13 Nopember 2015.

<http://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1917/Tugas.htm>
323

Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Diterjemahkan oleh Hartono

Hadikusumo. Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003.

Lukman, Tatiana. Alternatif. Jakarta: Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat, 2013.

Marx, Karl. Ideologi Jerman. Diterjemahkan oleh Nasikhul Mutamanna.

Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 1976.

Marx, Karl. Kapital: Sebuah Kritik Ekonomi Politik. Diterjemahkan oleh Oey Hay

Djoen. Jakarta: Hasta Mitra, 2004.

Marx, Karl. Manifesto Komunis. Diterjemahkan oleh Komisi Penerjemah

Depagitprop CC PKI. Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1959.

Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: P.T. Remaja

Rosdakarya, 2001.

Mulyanto, Dede. Antropologi Marx. Bandung: Ultimus, 2011.

Mulyanto, Dede. Genealogi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik

Pranata Eksploitasi Kapitalistik. Yogyakarta: Resist Book, 2012.

Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake Sarasin,

2002.

Njoto. Marxisme Ilmu dan Amalnya. Jakarta: Harian Rajat, 1962.

Nyoto. Revolusi Oktober Rusia dan Revolusi Agustus Indonesia. <http://

www.marxists.org/indonesia/indones/1957-NyotoRevolusiOktober.htm>

Perry, Marvin. Peradaban Barat: Dari Revolusi Perancis Hingga Zaman Global.

Bantul: Kreasi Wacana, 2013.

Praja, S. Juhaya. Aliran-aliran Filsafat dan Etika, Bandung: Yayasan Piara, 2002.
324

Putra, De Juma. Revolusi-Revolusi Paling Spektakuler di Dunia. Yogyakarta:

IRCiSoD, 2014.

Ricoeur, Paul. Hermeneutika Ilmu Sosial. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006.

Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitanya Dengan Kondisi Sosio-

Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Diterjemahkan oleh Sigit

Jatmiko. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.

Santoso, Nur Syahid. Negara Marxis dan Revolusi Proletariat. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2011.

Schmandt, Henry. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno

Sampai Zaman Modern. Diterjemahkan oleh Ahmad Baidlowi.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Soedjono, Imam. Rakyat dan Senjata: Perang Rakyat di Beberapa Negeri Asia.

Yogyakarta: Resist Book, 2011.

Stalin, J.W. Marxisme dan Masalah Nasional. Diterjemahkan oleh Badan

Penerbit Literatur Politik Negara. Indonesia Progresif, 1979.

Sumaryono, E. Hermeneutik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999.

Suriasumatri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan, 2003.

Suseno, Franz Magnis. Dari Mao ke Marcus. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2013.

Sutopo, Heribertus. Pengantar Penelitian Kualitatif. Surakarta: Pusat Penelitan

Universitas Sebelas Maret, 1988.


325

Swasono, Sri Edi. Daulat Rakyat Versus Daulat Pasar. Yogyakarta: PUSTEP

UGM, 2005.

Ta, Tzen Po. Mao Tze Tung Desa Mengepung Kota: Dari Revolusi Demokrasi Ke

Revolusi Sosialisme, Diterjemahkan oleh Muhidin M. Dahlan. Bantul:

Kreasi Wacana, 2000.

Ta, Tzen Po. MAO TZE TUNG, Peralihan dari Revolusi Demokrasi ke

Sosialisme. Diterjemahkan oleh Muhidin M. Dahlan. Bantul: Kreasi

Wacana, 2000.

Taniputra, Ivan. History of China. Yogyakarta: Arruzz Media, 2013.

Tim Narasi. Che Guevara dan Revolusi Kuba. Diterjemahkan oleh Sovia

Veronika. Yogyakarta: Narasi, 2013.

Tung, Mao Tse. Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid I. Peking: Komisi Penerbitan

Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1951.

Tung, Mao Tse. Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid II. Peking: Komisi Penerbitan

Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965.

Tung, Mao Tse. Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid III. Peking: Komisi

Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965.

Tung, Mao Tse. Pilihan Karja Mao Tje Tung Djilid IV. Peking: Komisi

Penerbitan Bahasa Asing Comite Central Partai Komunis Tiongkok, 1965.

Wertheim, Wim. F. Indonesian Sociaty in Transition: A Study of Social Change.

Hague: Utigeverij, 1956.

Wertheim, Wim. F. Dunia Ketiga Dari dan Ke Mana?. Diterjemahkan oleh Oey

Hay Djoen. Yogyakarta: Oey‟s Renaissance, 1997.


326

Wikipedia. Daftar Negara Menurut Luas Wilayah. 15 Mei 2015. Diakses 8

Desember 2015. <http:// id.wikipedia.org/ wiki/ Daftar_ negara_ menurut_

luas_ wilayah>

Wikipedia. Duma. 22 September 2013. Diakses 12 Agustus 2015.

<http://id.wikipedia.org/wiki/Duma_Negara>

Wikipedia. ISDV. 16 Nopember 2015. Diakses 1 Desember 2015.

<http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Komunis_Indonesia>

Wikipedia. Komintern. 6 April 2013. Diakses 1 Desember 2015.

<http//id.wikipedia.org/wiki/Internasionale_Ketiga>

Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor, 2004.

Zeleny, Jindrich. Logika Marx. Diterjemahkan oleh Ira Iramanto. Bandung: Hasta

Mitra, 2004.

Anda mungkin juga menyukai