Disusun oleh:
Edward Justin Mathew
202002020115
I. Latar Belakang
Pasca dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia masuk ke dalam era
Orde Lama yang ditandai dengan pemberlakukannya Demokrasi Terpimpin oleh
Presiden Soekarno. Hal tersebut terjadi karena tidak lain Pasca Pemilu 1955 Dewan
Konstituante yang diharapkan dapat membentuk Undang-Undang Dasar baru gagal
untuk membentuknya, dan selain itu ada pula munculnya gerakan-gerakan separatis
akibat dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia pasca kemerdekaan. Presiden
Soekarno yang melihat hal tersebut-pun akhirnya turun tangan dengan menekan
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 di mana isinya adalah membuarkan Konstituante, kembali
kepada UUD 1945, dan dibentuknya MPRS ( Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara ) dan DPAS ( Dewan Pertimbangan Agung Sementara ).
Hal ini tentu disambut baik oleh PKI ( Partai Komunis Indonesia ) yang sejak tahun
1957 mendukung Presiden Soekarno lewat Konsepsi Presiden yang menyatakan
doktrin Nasakom ( Nasionalisme, Agama, dan Komunisme ) yang menjadi “embrio”
dari sistem Demokrasi Terpimpin di mana menurut Bung Karno sendiri Nasakom ialah
perasan dari Sila ke-4 dalam Pancasila. Selain itu pula posisi PKI juga semakin diperkuat
oleh pidato Bung Karno pada 17 Agustus 1957 yang berjudul Penemuan Kembali
Revolusi Kita di mana dalam pidato tersebut Bung Karno menyatakan gagasan Manipol
USDEK ( Manifesto Politik UUD 45, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin,
Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia ) yang menjadi GBHN ( Garis Besar
Haluan Negara ), tujuan daripada pemberlakuan doktrin ini sebenarnya memiliki
makna yang menjunjung tinggi nilai gotong-royong dan menempatkan kepentingan
nasional di atas kepentingan pribadi atau golongan, akan tetapi acap kali
implementasinya melenceng dengan UUD 1945 dan juga Pancasila itu sendiri.
Dalam buku Catatan Seorang Demonstran yang ditulis oleh Aktivis bernama Soe
Hok Gie ia menggambarkan Demokrasi Terpimpin sebagai rezim yang otoriter dan
kurang mengakomodasi partisipasi rakyat secara aktif dalam pengambilan keputusan
politik. Selain itu juga dari sisi kebebasan pers menurutnya pada masa itu pers tak
lebih hanya berfungsi sebagai alat penyebaran propaganda pemerintah daripada
sebagai sarana penyampaian informasi bebas, hal ini pun didukung dengan adanya SIT
( Surat Izin Terbit ) dan SIC ( Surat Izin Cetak ) yang digarap di tahun 1960-an di mana
penerbit harus penerbut harus menyetujui pernyataan dukungan atas Manipol-USDEK
yang tertuang dalam 5 poin persetujuan* , selain itu pula dalam wawancara Bung
Karno bersama Cindy Adams di tahun 1966 ( 1 tahun pasca Gerakan 30 September )
Bung Karno juga menuturkan bahwa tidak akan membuka kebebasan Pers karena
hanya akan mengganggu jalannya revolusi yang kala itu sedang dijalankan Bung Karno.
Dengan banyaknya pembredelan atau-pun penyegelan kantor-kantor pers di Era
Orde Lama mungkin kita akan berfikir bahwa akan ada secercah cahaya kebebasan
pada Era Orde Baru, nyatanya tidak juga. Pasca Gerakan 30 September 1965,
perpolitikan Indonesia masuk ke dalam transisi menuju ke Orde Baru dan justru
menjadi awal mula daripada apa yang saya sebut sebagai Enternal Indonesian Red
Scare, sebagaimana fenomena yang sama terjadi di Amerika Serikat di tahun 1950 di
mana terjadi “ketakutan” penyebaran ideologi Komunisme di sana sehingga terjadi
kecurigaan terhadap orang-orang seperti selebriti, pejabat, dll yang dianggap sebagai
Komunis.
Hal serupa-pun juga terjadi di Indonesia pada Era Orde Baru di mana dalam
pemerintahan Presiden Soeharto ini-lah lewat kebijakan-kebijakannya berhasil
“menanamkan” rasa takut terhadap Komunisme bagi masyarakat Indonesia lewat
Media Massa khususnya dari film dan sastra serta kebijakan-kebijakan politiknya.
Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti bentuk komunikasi yang digaungkan Orde
Baru dalam membentuk perspektif masyarakat terkait Anti-Komunisme melalui film
dan sastra selain itu juga sebagai pengantar untuk memahami perkembangan
Komunisme itu sendiri di Indonesia akan diawali dengan sejarah PKI ( Partai Komunis
Indonesia ) mulai dari pada masa Hindia Belanda sampai meletusnya Gerakan 30
September 1965.
II. Masalah Penelitian
- Mengapa pemerintah Orde Baru menggunakan film & sastra sebagai alat doktrin
dan propaganda Anti-Komunisme ?
- Bagaimana isu komunisme di Indonesia begitu populer dan masih relevan dalam
kancah politik Indonesia meskipun kita telah masuk ke dalam era reformasi ?
III. Landasan Teori
- Teori Kritis
Menurut Max Horkheimer, salah satu pendiri Mazhab Frankfurt, teori kritis
adalah suatu pendekatan sosial kritis yang berupaya memahami dan mengungkap
ketidakadilan sosial, ketidakseimbangan kekuasaan, dan kesenjangan yang ada
dalam struktur sosial. Teori kritis berupaya tidak hanya menganalisis fenomena
sosial tetapi juga mengidentifikasi penyebab mendasarnya. Horkheimer dan
pemikir Mazhab Frankfurt lainnya percaya bahwa melalui pemahaman yang
mendalam, masyarakat dapat bergerak menuju perubahan sosial yang lebih adil
dan inklusif. Mereka menekankan pentingnya berpikir kritis ketika menghadapi
realitas politik dan sosial.
• Tesis: Ini adalah proposisi atau ide awal yang menyatakan suatu konsep
atau keadaan tertentu.
• Sintesis: Merupakan resolusi dari konflik antara tesis dan antitesis. Sintesis
mengintegrasikan elemen-elemen dari tesis dan antitesis untuk
membentuk konsep baru yang lebih tinggi atau tahap perkembangan yang
lebih maju.
- Marxsime:
MMarxsisme adalah suatu teori dan gerakan politik dan sosial yang didasarkan
pada pemikiran Karl Marx dan Friedrich Engels. Mereka adalah dua filsuf dan
teoretikus politik abad ke-19 yang mengembangkan ide-ide kunci yang
membentuk dasar dari aliran ini lewat 2 karya yang termasyur yakni, Manifesto
Komunis dan Das Kapital.
Menurut Marx & Engels dalam kedua bukunya Marxsisme sendiri memiliki
beberapa komponen inti:
• Teori Nilai Buruh: Marx mengajukan teori bahwa nilai dari suatu barang
atau jasa seharusnya tergantung pada jumlah tenaga kerja yang diperlukan
untuk memproduksinya.
Komunikasi Massa sendiri memiliki beberapa ciri khas yang dapat kita lihat
antara lain adalah audiens yang besar dan diversifikasi, biasanya satu
arah/terpusat, menggunakan media massa, dan dapat memengaruhi opini publik,
oleh sebab itu teori ini dapat memainkan peran penting dalam penyebaran
propaganda dan doktrin karena para pelaku dapat memahami cara pesan
diproduksi, disebarkan, dan diterima untuk memengaruhi pikiran dan perilaku
orang-orang dalam skala besar.
Partai Komunis Indonesia (PKI) didirikan pada tanggal 23 Mei 1914 dengan
nama Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) oleh tokoh komunis asal
Belanda, Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet, bersama dengan
Brandsteder dan Semaun. Pada awalnya, ISDV merupakan organisasi sosialis yang
bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak kaum buruh di Hindia Belanda
(sekarang Indonesia). Namun, pada perkembangannya, ISDV mulai bersinggungan
dengan masalah-masalah politik dan melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh
pergerakan dalam organisasi pergerakan nasional, termasuk Sarekat Islam. Dari
keadaan yang demikian, pada tanggal 23 Mei 1920, ISDV mengganti namanya
menjadi Partai Komunis Hindia Belanda dan menjadi hari lahir PKI. Pada tahun
1924, PKI mengubah namanya menjadi Partai Komunis Indonesia dan menjadi
partai pertama yang menyandang nama “Indonesia” di masa kolonial. PKI
memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada masa kolonialisme Belanda dan
memberikan perlawanan besar pada Belanda lewat pemberontakan di tahun
1926. Namun, perlawanan tersebut harus dihancurkan dengan brutal oleh
Belanda, sehingga PKI memilih bergerak secara diam-diam. Tak hanya sekali
memberontak pada era kolonialisme Belanda, di tahun 1948 setelah salah satu
pemimpinannya yanh bernama Musso kembali ke Indonesia, PKI kembali
melakukan pemberontakan bersama FDR ( Front Demokrasi Rakyat ) di Madiun
tetapi juga gagal, dan yang terakhir mereka dinyatakan menjadi partai terlarang di
tahun 1965 akibat disinyalir mendalangi peristiwa G30S.
selain itu pula dalam menggalang kekuatan untuk merebut kekuasaan Orde Lama,
Jendral Soeharto bersama dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
melancarkan pembantaian besar-besaran terhadap orang-orang terduga
PKI/Komunis dengan tujuan pembersihan politik, dan tentu hal ini menjadi titik
awal dari pemerintahan Orde Baru dalam menggunakan isu komunisme sebagai
alat propaganda & doktrin dalam menegakan kekuasaannya selama 32 tahun.
- Penggunaan Film & Sastra sebagai alat kekuasaan politik Anti-Komunisme
Orde Baru:
Pengaruh propaganda anti-komunis dalam film dan sastra pada masa Orde Baru
terhadap masyarakat Indonesia sangat signifikan. Berikut beberapa dampaknya:
• Adams, Cindy. Bung Karo: Penjambung Lidah Rakjat Indonesia. Gunung Agung.
Djakarta, 2010.
• Marx, Karl, dan Friedrich Engels. Manifesto Komunis. Terjemahan oleh Tim
Penerjemah. Yogyakarta: Resist Book, 2007.
• Marx, Karl. Das Kapital. Terjemahan oleh Tim Penerjemah. Jakarta: Resist Book,
2008.
• Soe, Hok Gie. Catatan Seorang Demonstran. Jakarta: Lentera Dipantara, 2015.
• Soe, Hok Gie. Di Bawah Lentera Merah: Riwayat Sarekat Islam Semarang.
Jakarta: Hasta Mitra, 2015.
• Munsi, H. (2016). Dari Masa Lalu ke Masa Kini: Memori Kolektif, Konstruksi
Negara dan Normalisasi Anti-Komunis. ETNOSIA: Jurnal Etnografi Indonesia,
1(1).
• Hadi, D. W., & Kasuma, G. (2012). Propaganda Orde Baru 1966-1980. Media
Verleden, 1(1), 1-109.
• Mirnawati, M. (2019). Film dan propaganda politik (studi atas film “g-30s/pki”
dan “jagal”). Tamaddun: Jurnal Kebudayaan dan Sastra Islam, 19(2), 70-91.