Anda di halaman 1dari 43

NAKETI ( DALAM PEMAHAMAN JEMAAT GMIT EFATA SO’E,

DIKAJI DARI PERSPEKTIF PASTORAL)

Oleh:
Wasti Juningsi Benu
NIM : 712013049

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Teologi

Guna Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar


Sarjana Sains Teologi

(S.Si Teol)

Program Studi Ilmu Teologi

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2018

i
ii
iii
iv
v
MOTTO

“ORANG-ORANG YANG MENABUR DENGAN MENCUCURKAN AIR MATA,


AKAN MENUAI DENGAN BERSORAK-SORAI.
ORANG-ORANG YANG BERJALAN MAJU DENGAN MENANGIS
SAMBIL MENABUR BENIH,
PASTI PULANG DENGAN SORAK-SORAI SAMBIL MEMBAWA BERKAS-
BERKASNYA”
~ Mazmur 126 :5-6 ~

“sebab Aku ini, mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu


mengenai kamu, demikianlah Firman Tuhan,
yaitu rancangan Damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan
untuk memberi kepada kamu hari depan yang penuh harapan”

~Yeremia 29:11~

Dengan penuh Rasa Syukur, Penulis persembahkan kepada :

Tuhan Yesus Kristus


Orang Tua
Keluarga

vi
Kata Pengantar

Puji Syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, sebagai Sumber
Pengetahuan. Atas bimbingan dan tuntunan-Nya penulis boleh dapat
menyelesaikan penulisan Tugas akhir ini dengan baik. Penulisan tugas akhir ini,
diajukan dalam memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Sains Teologi (S.Si Teol) pada Fakultas Teologi UKSW Salatiga. Judul yang
penulis ajukan ialah “Naketi (Dalam Pemahaman Jemaat GMIT Efata SoE, Dikaji
dari Perspektif Pastoral)”. Dalam proses penyusunan dan penulisan tugas akhir
ini, tidak terlepas dari dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh sebab
itu, penulis ingin mengucapkan Terima Kasih kepada :

1. Terima Kasih kepada seluruh Dosen UKSW Salatiga, secara khusus


bapak/ibu Dosen dan pegawai Tata Usaha (TU) Fakultas Teologi UKSW
yang boleh berkenan membantu dan menolong penulis dalam belajar
selama ± 4 tahun di Fakultas Teologi UKSW Salatiga. Kiranya Tuhan
Yesus sumber Hikmat dan Kebijaksanaan boleh memberkati Bapak/ibu
sekalian, dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
2. Terima Kasih kepada Bapak Pdt. Dr. J. D Engel, dan Bapak Pdt. Dr.
Ebenhaizer I. Nuban Timo selaku dosen pembimbing yang dengan penuh
kesabaran dan kebijaksanaan, boleh berkenan membimbing penulis
sehingga penulis telah menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis juga mohon
maaf atas kesalahan yang dilakukan selama proses bimbingan yang
dilakukan. Kiranya Tuhan Yesus Kristus senantiasa memberkati pak Yopi
dan pak Eben selalu.
3. Terima kasih kepada warga Jemaat GMIT Efata So‟E. yang mengijinkan
penulis untuk melakukan penelitian yang ada. Kiranya Tuhan Yesus
memberkati Jemaat dan para pelayan dalam menjalankan tugas dan
pelayanan.
4. Terima kasih kepada Pak Pdt. Tony Tampake dan Ibu Cindy Quartymina,
yang bersedia meluangkan waktu ditengah kesibukan yang dilakukan
untuk mereview tugas akhir ini. Penulis berterima kasih untuk masukan,
kritikan serta saran yang sangat baik yang diberikan untuk penulis agar

vii
dapat menyempurnakan tulisan ini. Kiranya Tuhan Yesus Kristus Sang
Pemiliki Kehidupan memberkati bapak Tony dan Ibu Cindy selalu.
6. Terima Kasih kepada kedua Orang tua (Bapak Lunu dan Mama Nuban)
serta Bapak Tii dan Mama Tii, untuk setiap Doa, Harapan, Motivasi dan
Dukungan baik secara moril dan materi yang selalu diberikan bagi penulis,
sehingga atas perkenanan Tuhan penulis dapat menyelesaikan proses
penulisan dan penyusunan Tugas Akhir ini. Tuhan Yesus Senantiasa
Memberkati dan Melindungi Bapak dan Mama.
7. Terima kasih kepada Ibu Tkela (Mama ani), untuk Doa yang selalu
diberikan kepada penulis. Terima kasih juga kepada Tantan Ton, untuk
segala berkat dukungan yang diberikan, Tuhan Yesus senantiasa menyertai
dan memberkati dalam pelayanan yang ada serta keluarga.
8. Terima Kasih kepada adik-adik tercinta (John, Mima, Elia dan Rina) yang
mengingatkan, menghibur dan mendukung penulis dalam menyelesaikan
perkuliahan ini. Tuhan Yesus Memberkati dan Mengasihi kalian semua.
9. Terima Kasih kepada seluruh teman-teman Fakultas Teologi angkatan 2013
untuk semua kebersamaan yang boleh dapat terjalin selama ± 4 tahun ini.
Kiranya Tuhan Yesus selalu menyertai dan memberkati kita sekalian.
10. Terima Kasih kepada Kaka KTB, Ka Indah, Ka Atty, dan Ka Chandra.
Terima kasih kepada sahabat dan saudara KTB Merry, Milde, Sarah, untuk
semua momen berharga dan semua kebersamaan yang dapat kita lalui
bersama. Terima Kasih juga kepada adik KTB Ilda dan Malla.
Akhir kata dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menyadari bahwa
ada terdapat kekuarangan didalamnya. Oleh sebab itu, kritik dan saran
yang membangun dari berbagai pihak penulis harapkan untuk melengkapi
tulisan ini.
IMANUEL

Salatiga, 08 Maret 2018

Penulis

viii
DAFTAR ISI

Halaman Judul.......................................................................................................... i
Halaman Pengesahan ............................................................................................. ii

Lembar Pernyataan Tidak Plagiat .......................................................................... iii

Lembar Pernyataan Persetujuan Akses .................................................................. iv

Lembar Pernyataan Persetujuan Publikasi ...............................................................v

Motto ..................................................................................................................... vi

Kata Perngantar .................................................................................................... vii

Daftar Isi................................................................................................................. ix

Abstrak .................................................................................................................. xi

1. Pendahuluan .....................................................................................................1

1.1 Latar Belakang ............................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat ....................................................5

1.3 Metode Penelitian .......................................................................................5

1.4 Sistematika Penulisan .................................................................................6

2. Pastoral..............................................................................................................6

2.1 Pengertian Pendampingan dan Pastoral .....................................................6

2.2 Fungsi-Fungsi Pastoral................................................................................9

2.3 Tujuan Pastoral .........................................................................................10

2.4 Pendekatan Pastoral ..................................................................................10

2.5 Penggunaan Sarana-Sarana Dalam Pastoral .............................................13

3. Hasil Data Penelitian ....................................................................................15

3.1 Gambaran Lokasi Penelitian .....................................................................15

3.2 Sejarah dan Latar Belakang Kehidupan Jemaat Efata So‟E .....................16

ix
3.3 Agama Asli Orang Timor .........................................................................17

3.4 Sejarah Ritual Naketi ................................................................................18

3.5 Makna, Tujuan, Fungsi Naketi Menurut Jemaat GMIT Efata So‟E .........19

3.6 Proses dan Sarana Dalam Ritual Naketi....................................................22

4. Pembahasan dan Analisa Data Penelitian .....................................................25

4.1 Deskripsi dan Analisa makna, tujuan, fungsi pastoral dengan

makna, tujuan, fungsi ritual naketi .....................................................25

5. Penutup
5.1 Kesimpulan dan Saran .................................................................................29

6. Daftar Pustaka ................................................................................................31

x
NAKETI ( DALAM PEMAHAMAN JEMAAT GMIT EFATA SO’E, DI
KAJI DARI PERKSPEKTIF PASTORAL )

WASTI JUNINGSI BENU

712013049

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisa makna


pelaksanaan Naketi bagi Jemaat GMIT Efata So‟E. Penelitian ini dimotivasi oleh
fakta masalah bahwa masyarakat dawan Timor selalu melakukan ritual naketi
untuk memecahkan setiap persoalan berkelanjutan yang dialami. Dalam penelitian
ini, peneliti menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data
diambil dengan menggunakan metode wawancara, serta studi pustaka (studi
dokumen). Data yang telah didapat kemudian dianalisis menggunakan teori
pastoral, berkaitan dengan makna, fungsi, tujuan, serta sarana-sarana yang di
gunakan dalam pastoral. Pada akhirnya peneliti menemukan bahwa naketi
merupakan salah satu bentuk konseling pastoral berbasis budaya Timor. Makna
naketi menurut masyarakat dawan Timor sebagai usaha untuk memperbaiki,
mengatur, meluruskan, memurnikan serta menjernihkan diri dari dosa/kesalahan,
yang menyebabkan tatanan kehidupan menjadi rusak. Oleh sebab itu, naketi
dilakukan sebagai upaya untuk memperbaiki dan menyelesaikan berbagai
persoalan berkelanjutan yang dialami. Dalam makna naketi terkandung nilai
didalamnya yakni nilai religious, sosial dan nilai moral.

Kata Kunci : Naketi, dari perspekif Pastoral, Jemaat GMIT Efata SoE,

xi
I. Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Negara Indonesia merupakan Negara kepulauan. Setiap pulau memiliki adat
istiadat dan budaya yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Nusa Tenggara
Timur (NTT) merupakan salah satu pulau yang kaya akan tradisi-tradisi adat dan
budayanya. Salah satu tradisi yang masih diterapkan dan dipelihara hingga kini
ialah Naketi. Secara hurufiah naketi berarti „menata/menyusun kembali.‟
Maksudnya ialah menyusun kembali tatanan yang sudah berserakan atau rusak
karena ulah (dosa/kelemahan) manusia.1
Penting untuk diketahui bersama bahwa naketi merupakan sebuah ritual yang
meliputi seperangkat kegiatan. Kegiatan tersebut dimulai dengan membaca
peristiwa-peristiwa berkelanjutan yang terjadi dalam kehidupan seperti
(Kecelakaan, kedukaan yang dialami secara berturut-turut, sakit-penyakit yang
sama yang diderita oleh sebuah keluarga serta masalah-masalah sosial yang terjadi
dan dialami), dan berusaha untuk mencari penyebab serta memberikan solusi dari
adanya peristiwa-peristiwa tersebut.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ritual adalah tata cara
dalam upacara keagamaan.2 J. Goody, dalam bukunya “Religion and Ritual; The
Definition Problem”, mendefinisikan ritual sebagai suatu kategori adat perilaku
yang dibakukan, di mana hubungan antara sarana-sarana dengan tujuan tidak
bersifat instrinsik (entah irasional atau nonrasional). Tindakan-tindakan magik
maupun religius termasuk dalam definisi ini, meskipun keduanya dapat dibedakan
karena kriteria yang lain.3
Dalam proses pelaksanaan ritual naketi oleh masyarakat dawan Timor,
biasanya tidak dilakukan secara individu atau perorangan melainkan dilakukan
secara bersama-sama. Apabila dalam sebuah keluarga mengalami krisis atau
masalah seperti yang telah dijelaskan diatas, maka mereka akan segera
memberitahukan keluarga terdekat mereka, mereka menentukan waktu secara

1
Welfrid Fini Ruku, “Fenomena kutuk/berkat di rumah Naomi: Hermeneutik
Etnomenomenologi Atoin Meto di Timor atas kitab Rut 1:1-6”, Disertasi Pascasarjana UKDW
Yogjakarta (Yogyakarta, Perpustakaan UKDW Yogyakarta, 2017), 139.
2
Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Keempat (Jakarta: Gramedia, Departemen
Pendidikan Nasional, 2008), 1178.
3
Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama,Trans A. Sudiarja(Yogyakarta: Kanisius,
2010),175.

1
bersama-sama untuk berkumpul dan bersama-sama mereka akan melakukan
proses naketi. Tujuan masyarakat dawan Timor mengadakan naketi yakni demi
terciptanya suatu kondisi atau tatanan kehidupan yang kembali normal.4 Dengan
kata lain bahwa, melakukan penyelidikan melalui naketi menjadi jalan penting
bagi masyarakat dawan Timor agar dapat menyelesaikan masalah atau persoalan
hidup yang dihadapi serta memperbaiki tatanan kehidupan yang rusak. Oleh sebab
itu, naketi dapat dipahami sebagai salah satu terapi penyembuhan atas masalah-
masalah yang dihadapi, serta memperbaiki krisis atau masalah yang dialami baik
individu dalam keluarga, alam dan dalam relasi dengan masyarakat dan Tuhan.
Dikatakan sebagai salah satu terapi penyembuhan, dikarenakan ritual naketi
yang dilakukan memiliki tujuan dan fungsi yang sama dengan konseling pastoral.
Dimana konseling pastoral berperan dalam suatu krisis dan kemalangan hidup,
baik itu individu dan kemalangan keluarga bahkan dalam krisis perubahan sosial
dalam masyarakat. Konseling pastoral menjadi alat penyembuhan dan
pertumbuhan dengan membantu orang memperbaiki dan mengembangkan yang
paling sulit, yang sementara dihadapinya.5
Konseling berasal dari bahasa Inggris to counsel yang secara hurufiah berarti
memberi arahan. Lebih lanjut menurut Engel, koseling merupakan salah satu
proses pertolongan antara seorang penolong (konselor) dan yang ditolong
(konseli), dengan maksud bukan hanya untuk meringankan penderitaan konseli,
tetapi untuk memberdayakannya.6
Wiryasaputra menyebutkan bahwa secara tradisional ada empat fungsi
konselor dalam melakukan pertolongan yakni, menyembuhkan (Healing),
membimbing (guiding), menopang (Sustaining) dan memperbaiki hubungan
(reconciling), dan Clinebell menambahkan fungsi kelima yakni merawat
(nurturing) dan fungsi keenam yang ditambahkan oleh Totok Wiryasaputra yakni
memberdayakan (Empowering).7

4
Ruku, Fenomena kutuk/berkat di rumah Naomi: 139.
5
Jacob D. Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2016), 11.
6
Engel,Pastoral dan kebutuhan dasar konseling, 1.
7
Totok S.Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, (Yogyakarta: Diandra Pustaka
Indonesia, 2014),106.

2
Konseling pastoral menurut Wiryasaputra, ialah sebuah perjumpaan antara
kedua belah pihak, baik konselor dan konseli secara sukarela dijumpai dan
menjumpai. Dimana dalam perjumpaan itu konselor berusaha menggunakan
seluruh pengetahuan, keterampilan dan sumber daya yang dimiliknya untuk dapat
membantu konseli. Tahap demi tahap dalam proses perjumpaan tersebut, konseli
tidak hanya mampu menghayati keberadaannya pada masa kini secara penuh dan
utuh, melainkan konseli harus mampu berubah dan bertumbuh, dimana dalam
proses konseling pastoral konseli diharapkan dapat menolong diri sendiri pada
masa kini dan yang akan datang, serta diharapkan juga dapat menolong orang lain
dilingkungannya.8
Dalam pemahaman dan kepercayaan masyarakat dawan Timor, bahwa suatu
hal terjadi tidak dengan sendirinya melainkan karena ada faktor penyebab. Dalam
naketi penyebab adanya sebuah peristiwa atau masalah harus dicari, apabila
penyebab adanya masalah tersebut telah ditemukan, maka mereka akan mencari
jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut. Masyarakat dawan Timor,
meyakini bahwa penyebab dari adanya masalah atau bencana dalam kehidupan
ialah dosa. Apabila dosa tersebut diakui dan mendapatkan pengampunan maka
masalah tersebut akan berlalu dan kondisi kehidupan akan stabil dan normal
kembali.9
Dalam hasil wawancara, diketahui bahwa dalam proses pelaksanaan ritual
naketi masyarakat dawan Timor, biasanya akan dipimpin atau dibimbing oleh
salah seorang tetua adat atau Imam yang dikenal atau disebut a‟ote „naus.10
Dalam proses pelaksanaan naketi ini tidak hanya dilakukan atau dihadiri oleh
orang yang mengalami masalah saja melainkan akan dihadiri juga oleh para amaf-
amaf (para pemimpin marga) atau keluarga untuk hadir ditempat yang telah
ditentukan.11 Para amaf-amaf ini akan membawa hewan yang akan disembelih,
hewan tersebut seperti ayam, kambing, babi, sapi. Hewan tersebut dibawa
8
Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, Hal. 65.
9
Wawancara dengan Bapak DF (Inisial), wawancara via telepon, (Salatiga, 15 Agustus
2017, pukul 17.45 WIB).
10
a’ote ‘naus terdiri dari tiga kata a’yang berarti „dia yang bisa‟, oteyang berarti
“memotong” dan kata„naus‟yang berarti dia „imam‟ yang bisa memotong duri‟ atau imam yang
bertugas untuk mengeluarkan duri dari daging manusia, yaitu dosa supaya orang tersebut bebas
dari kemalangan/hukuman.
11
Wawancara dengan Bpk DF (Inisial), via telepon, (Salatiga, 15 Agustus 2017, pukul
17.45 WIB).

3
tergantung pada jenis pelanggaran atau dosa yang dilakukan, dan setelah itu a‟ote
„naus akan menjelaskan alasan mengapa ritual naketi itu harus dilakukan.12
Ritual naketi seperti ini sering sekali dilakukan oleh para penganut agama
suku atau para leluhur atoni meto,13 sedangkan bagi masyarakat atau orang yang
telah menjadi kristen dan mengetahui ajaran kristen, mereka menganggap ritual
tersebut sebagai salah satu bentuk penyembahan berhala. Dipandang sebagai
bentuk penyembahan berhala karena menggunakan binatang sebagai korban.
Walaupun dianggap berhala, tetapi masyarakat dawan Timor yang telah
menjadi Kristen saat mereka mengalami masalah atau bencana seperti kecelakaan,
kedukaan, kemalangan secara berturut-turut maka, mereka cenderung untuk
melakukan ritual naketi, tetapi tidak lagi menggunakan unsur-unsur berhala
seperti penggunaan darah korban binatang, tidak lagi berhubungan dengan hal-hal
gaib atau mistik, dll. Melainkan mereka menggunakan ajaran Kristen tentang 10
hukum taurat yang terdapat didalam Alkitab dan juga doa sebagai media dalam
mencaritahu atau mengecek dosa-dosa dalam melakukan proses naketi.14
Berdasarkan pada penjelasan tersebut, diketahui bahwa naketi yang dilakukan
oleh masyarakat dawan Timor ialah untuk memperbaiki tatanan kehidupan
mereka. Oleh sebab itu penulis menilai bahwa tujuan naketi sesuai atau sejalan
dengan fungsi konseling pastoral menurut Howard Clinebell. Konseling pastoral
menurut Clinebell adalah suatu fungsi yang bersifat memperbaiki, yang
dibutuhkan ketika orang mengalami krisis atau masalah yang merintangi
pertumbuhannya.15
Melalui definisi tersebut dapat terlihat bahwa konseling pastoral adalah suatu
alat yang sangat penting untuk membantu seseorang dalam menghadapi persoalan
yang terjadi didalam kehidupannya, serta dapat menolong seseorang memperbaiki
dan menyelesaikan persoalan yang sedang dialami.

12
Ruku, Fenomena kutuk/berkat di rumah Naomi, 141.
13
Atoni meto merupakan Bahasa dawan masyarakat Timor yang dalam
Bahasa Indonesia berarti orang tanah kering. Kata Atoni berarti laki-laki
sedangkan meto berarti kering/tandus.
14
Ruku, Fenomena kutuk/berkat di rumah Naomi, 144.
15
Howard Clinebell,Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral,
(Yogyakarta:Kanisius, 2002), hal. 32.

4
Masyarakat dawan Timor secara umum tidak mengetahui apa itu konseling
dan tujuan dari konseling, tetapi yang mereka lakukan saat mengalami masalah
atau krisis seperti yang telah dijelaskan di atas maka mereka cenderung akan
melakukan praktek naketi untuk mencari jalan keluar dari krisis atau masalah
yang mereka alami.
Berdasarkan penjelasan tersebut penulis tertarik untuk melakukan penelitian
di GMIT Efata So‟E dengan melihat bahwa, walaupun jemaat GMIT Efata So‟E,
merupakan jemaat yang modern dan sebagian besar jemaatnya telah menempuh
pendidikan ke perguruan tinggi dan terdapat fasilitas kesehatan di setiap rumah
sakit yang ada, namun sebagian besar jemaat GMIT Efata So‟E, baik itu yang
berada di dalam gereja atau yang berada di luar gereja masih melakukan praktek
ritual naketi ketika mereka mengalami krisis atau masalah dalam kehidupan
mereka. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penulis akan melihat bagaimana
naketi dilihat dalam pemahaman atau pandangan Jemaat GMIT Efata So‟E, dikaji
dari perspektif konseling pastoral. Sehingga judul yang penulis angkat ialah:
“Ritual Naketi ( Dalam Pemahaman Jemaat GMIT Efata Soe, dikaji dari
perspektif Pastoral )”
Berdasarkan pada permasalahan di atas maka rumusan pertanyaan penelitian
adalah: Bagaimana naketi dalam pemahaman Jemaat GMIT Efata Soe, dikaji dari
perspektif konseling pastoral?. Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini ialah:
Mengkaji naketi dalam pemahaman warga Jemaat GMIT Efata Soe, dari
perspektif Konseling Pastoral. Melalui penelitian ini penulis berharap dapat
memberikan kontribusi bagi Jemaat GMIT Efata Soe dan juga Gereja. Kontribusi
tersebut berguna untuk memperkaya dan menambah pemahaman sebagai suatu
sumbangan pemikiran bagi dunia akademis tentang kebudayaan, khususnya untuk
budaya masyarakat NTT yang berkaitan dengan naketi serta memberikan
sumbangan pemikiran kepada masyarakat secara umum dan gereja secara khusus
tentang nilai-nilai pastoral yang dapat dilakukan dan dikembangkan.
Merujuk pada rumusan masalah dan tujuan penelitian yang hendak dicapai,
maka dalam penelitian ini penulis memilih untuk menggunakan metode deskriptif
dengan pendekatan kualitatif. Metode deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur
pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan/melukiskan keadaan

5
subyek/obyek penelitian (seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat
sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya.16
Sedangkan pendekatan kualitatif berusaha untuk memahami dan menafsirkan
makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu
menurut perspektif peneliti sendiri.17 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data diambil dengan
menggunakan metode wawancara serta studi pustaka (studi dokumen). Observasi
bertujuan untuk Wawancara bertujuan untuk mencoba mendapatkan keterangan
secara lisan dari beberapa responden, dengan bercakap-cakap atau dengan kata
lain dapat dilakukan secara tatap muka atau percakapan secara langsung dengan
orang tersebut. Wawancara inipun bermaksud untuk menggumpulkan keterangan
tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian-pendirian
mereka.18 Informan kunci (pendeta dan beberapa jemaat) yang mengetahui secara
pasti tradisi Naketi. Penelitian ini dilakukan di Gereja GMIT Efata Soe.
Kecamatan Kota Soe – Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS)–Nusa Tenggara
Timur (NTT).
Penulisan tugas akhir ini terdiri atas lima bagian: Bagian 1 berisi tentang
Pendahuluan. Bagian II, berisi tentang teori-teori, fungsi dan pendekatan pastoral
menurut para ahli. Bagian III, berisi tentang deskripsi temuan hasil penelitian
mengenai Naketi dalam pemahaman jemaat GMIT Efata Soe. Bagian IV, berisi
Analisa hasil penelitian dengan menggunakan teori pastoral terhadap proses
naketi. Bagian V, Penutup.

II. Pastoral
2.1 Pengertian pendampingan dan konseling pastoral
Menurut Kartadinata, pendampingan adalah suatu proses pendidikan kepada
individu untuk mencapai kemandirian dan perkembangan diri sepanjang hayat

16
H. Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang sosial (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1983 ), 63.
17
Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), 79.
18
W. Gullo, Metodologi penelitian (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2002),
116.

6
(lifelong education).19 Pendampingan berasal dari kata kerja mendampingi,
sebagai suatu kegiatan menolong, karena suatu sebab sehingga perlu
didampingi.20 Istilah pendampingan memiliki arti kegiatan kemitraan, bahu-
membahu, menemani, membagi/berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan
mengutuhkan.21
Menurut Clinebell, pendampingan mencakup pelayanan yang saling
menyembuhkan serta menumbuhkan didalam suatu jemaat dan komunitasnya
sepanjang hidup. Dalam pendampingan hubungan yang tercipta antara yang
mendampingi dan yang didampingi merupakan hubungan yang sejajar, dan
merupakan hubungan yang timbal balik. Pendampingan pastoral lebih bersifat
holistik yang meliputi aspek fisik, psikis, sosial, dan spiritual.22
Menurut Engel pendampingan pastoral tidak hanya sekedar meringankan
beban penderitaan, tetapi menempatkan orang dalam relasi dengan Allah dan
sesama, dalam pengertian menumbuhkan dan mengutuhkan orang dalam
kehidupan spiritualnya untuk membangun dan membina hubungan dengan
sesamanya, mengalami penyembuhan dan pertumbuhan serta memulihkan orang
dalam hubungan dengan Allah.23
Sehingga pendampingan pastoral merupakan sebuah tindakan yang dilakukan
secara sadar untuk mendampingi orang lain atas dasar Kasih dengan tujuan saling
mendukung, menopang serta dapat bertumbuh dalam Iman. Pendampingan
berlaku secara umum dan dapat di lakukan oleh semua orang, yang memiliki rasa
empati terhadap sesamanya.
Istilah konseling berasal dari bahasa Inggris “counseling” yang berarti nasehat
atau menasehati.24 Istilah “Pastoral” berasal dari bahasa latin “Pastor”. Pastor
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang berarti “gembala”. Sehingga,

19
Jacob Daan Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2016), 1.
20
Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling, 1.
21
Aart Martin Van Beek, Pendampingan Pastoral (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002),
9-11.
22
Friska R. S Girsang, Peran Majelis Sebagai Pendamping Pastoral di GKPS Tangerang,
Diakses 09, Oktober, 2017
http://sinta.ukdw.ac.id/sinta/resources/sintasrv/getintro/01072156/872e28f00f92277162b34c51785
405da/intro.pdf.
23
Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling, 4.
24
Van Beek, Potret diri …, 3.

7
istilah “Pastoral” berarti sesuatu yang bersifat pastor atau gembala, yang mana ciri
dari gembala yakni memiliki sifat memelihara, merawat dan melindungi serta
menolong orang lain.25
Melalui penjelasan tersebut maka, konseling pastoral adalah suatu fungsi dari
pastoral dalam pemahaman bahwa seorang konselor tidak hanya bersentuhan
dengan apa yang hanya disebut relasi terhadap sesamanya melainkan
menempatkan orang dalam hubungannya dengan Allah.26 Konseling dipahami
sebagai sebuah layanan percakapan terarah yang menolong sesama yang dalam
keadaan krisis agar mampu melihat dengan jernih krisis yang tengan dialaminya.27
Dalam layanan konseling pastoral, konselor memberi nasehat, melindungi,
merawat, menolong serta memelihara konseli untuk mampu bertumbuh dalam
iman. Bagi Clinebell konseling pastoral merupakan suatu fungsi yang bersifat
memperbaiki, yang dibutuhkan ketika orang mengalami krisis atau masalah yang
merintangi pertumbuhannya.28
Melalui definisi diatas, konseling pastoral merupakan suatu alat yang sangat
penting untuk membantu seseorang dalam menghadapi persoalan atau krisis yang
terjadi di dalam kehidupannya.29 Menurut Krisetya konseling pastoral merupakan
suatu bidang pelayanan yang berada di bawah payung pendampingan (Pastoral
Care), namun sesuai dengan kekhasannya konseling pastoral lebih menggunakan
suatu metode pendekatan yakni konversasi atau dialog secara langsung tentang
situasi kehidupan dari konseli.30
Antara pendampingan dan konseling memiliki fungsi dan tujuan yang sama,
tetapi perbedaannya ada pada metode dan penekanan. Konseling hanya dapat
dilakukan ketika seseorang mengalami masalah yang serius sedangkan
pendampingan dapat dilakukan dimana saja, kapan saja dan dengan siapa saja.
Dalam sebuah konseling tidak bisa berjalan tanpa adanya pendampingan, namun
sebuah pendampingan bisa berjalan tanpa adanya konseling.
25
Van Beek, Potret diri …, 3.
26
Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling,11.
27
Hendri Wijayatsih, “Pendampingan dan Konseling Pastoral”: 1, diakses 13 Oktober
2017, http://ukdw.ac.id/journal-theo/index.php/gema/article/viewFile/122/pdf .
28
Clinebell,Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral. 32.
29
Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling, 11.
30
Marthen Nainupu, “Konseling pastoral dalam gereja: Res Sine Qua Non”, JTA 11/20
(Maret 2009): 83, diakses 12 Oktober 2017.
http://sttaletheia.ac.id/wp-content/uploads/2012/08/konseling-pastoral-dalam-gereja.pdf.

8
2.2 Fungsi-fungsi Pastoral
Menurut Clinebell, tujuan dari seluruh proses pendampingan dan konseling
pastoral ialah adanya pertumbuhan spiritualitas yang dialami oleh konseli.31
Secara spesifik, menurut Clebsch dan Jaeckle mengatakan bahwa secara
tradisional ada 4 fungsi pendampingan pastoral32 yakni:
1. Fungsi Menyembuhkan (Healing)
Fungsi menyembuhkan ini, dipakai oleh konselor untuk memperbaiki atau
mengatasi kerusakan yang dialami oleh konseli, dengan cara mengembalikan
konseli pada keadaan yang kembali normal atau lebih baik dari sebelum dan
sesudah mengalami krisis.
2. Fungsi Membimbing (Guiding)
Fungsi membimbing ini dilakukan konselor untuk membantu konseli
yang mengalami kebingungan dalam mengambil sebuah keputusan atau
menentukan pilihan.
3. Fungsi Menopang/mendukung (Sustaining)
Fungsi menopang dilakukan untuk menolong orang yang “terluka” agar
dapat bertahan melewati masa krisis yang dialami pada masa lampau, di mana
perbaikan atau penyembuhan atas penyakitnya tidak mungkin lagi diusahakan
atau kemungkinannya sangat tipis sehingga tidak mungkin lagi diharapkan.
4. Fungsi Memperbaiki hubungan/mendamaikan (Reconciling)
Fungsi memperbaiki ini dilakukan, dengan berupaya membangun kembali
relasi yang rusak antara konseli dengan sesamanya maupun hubungannya
dengan Allah, dimana konselor berperan sebagai penengah/mediator.
Clinnebell, menambahkan fungsi kelima dari pendampingan/konseling
pastoral yaitu fungsi memelihara atau mengasuh. Tujuannya yakni
memampukan orang untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan
Allah kepada mereka, disepanjang perjalanan hidup mereka. 33 Dalam
melakukan fungsi memelihara ini, konselor menolong konseli untuk bertumbuh
menjadi seseorang yang memahami makna keberadaannya dalam dunia ini.34

31
Clinebell, Basic Type Of pastoral care and counseling, 67.
32
Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 106-110.
33
Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan, 54.
34
Engel, Pastoral dan kebutuhan dasar konseling, 9.

9
Dari kelima fungsi tersebut, Wiryasaputra turut menambahkan satu fungsi
yaitu fungsi memberdayakan (empowering).35 Fungsi ini, berguna untuk
membantu konseli menjadi penolong bagi dirinya sendiri pada masa yang akan
datang sekaligus membantunya menjadi pendamping bagi orang lain. Fungsi-
fungsi Pastoral yang telah disebutkan diatas, tidak selamanya digunakan pada
saat yang bersamaan, tetapi tergantung pada proses dan kebutuhan orang yang
didampingi.36

2.3 Tujuan Pastoral


Dalam bukunya Pengantar Konseling Pastoral, Wiryasaputra menyebutkan
ada 7 tujuan pelaksanaan pastoral yakni:37
1. Membantu konseli mengalami pengalamannya dan menerima kenyataan
2. Membantu konseli mengungkapkan dirinya secara penuh dan utuh
3. Membantu konseli berubah, bertumbuh, dan berfungsi maksimal
4. Membantu konseli menciptakan komunikasi yang sehat
5. Membantu konseli bertingkah laku baru
6. Membantu konseli untuk bertahan dalam situasi baru
7. Membantu konseli menghilangkan gejala disfungsional
Menurut Abineno bahwa tindakan pastoral ditujukan untuk membantu
banyak orang, yang karena berbagai sebab hidup dalam situasi yang sulit. 38

2.4 Pendekatan Pastoral


Dalam pelaksanaan pelayanan pastoral selain dibutuhkan penguasaan teori
dan metode konseling, maka dibutuhkan pula ketrampilan dalam
menjalankannya. Dalam upaya untuk menolong orang-orang yang mengalami
krisis, secara khusus bagi masyarakat di Indonesia yang merupakan bangsa
yang multikultural tentu saja tidak dapat menggunakan satu atau dua
pendekatan yang berasal dari budaya barat. Jika dilihat metode-metode
pendekatan yang diusulkan seringkali tidak mendalam atau tidak sesuai
dengan konteks budaya Indonesia yang memiliki ciri khas tersendiri.

35
Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 106-109.
36
Wijayatsih, “Pendampingan dan Konseling Pastoral”: 4.
37
Wiryasaputra, Pengantar Konseling Pastoral, 97-105.
38
J. L. Ch. Abineno, Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2010), 51.

10
Menurut Engel, isu metode pelayanan pastoral lebih menekankan pada
asumsi-asumsi nilai, preferensi ideologis, apriori kognitif, dan berorientasi
filsafat barat tanpa melihat individu sebagai makhluk yang berbudaya. 39 Dalam
penerapan pelayanan pendekatan pastoral bagi masyarakat di Indonesia, Engel
menawarkan 5 pendekatan yakni pendekatan Integratif, pendekatan Psikologi,
pendekatan Feminis, pendekatan konseling keluarga serta pendekatan
konseling lintas budaya.
Menurut Supriyatna40, sedikitnya ada tiga (3) pendekatan dalam konseling
lintas budaya, pertama; pendekatan universal atau etik yang menekankan
inklusivitas, komunitas atau keuniversalan kelompok-kelompok. Kedua,
pendekatan emik (Kekhususan-budaya) yang menyoroti karakteristik khas dari
populasi-populasi spesifik dan kebutuhan-kebutuhan konseling khusus mereka.
Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural.41 Palmer dan Laungani
mengajukan tiga (3) model konseling lintas budaya, yakni (1) Culture centred
model, (2) Integrative model, dan (3) Ethnomedical model.42
1. Model berpusat pada budaya (Culture centred model )
Palmer dan Laungani berpendapat bahwa budaya-budaya barat
lebih menekankan pada individualisme, kognitifisme, kebebasan, dan
materialisme, sedangkan budaya timur lebih menekankan kepada
komunalisme, emosionalisme, determinisme, dan spiritualisme. Konsep-
konsep ini bersifat kontinum tidak dikhotomus.
2. Model Integratif (Integrative model)
Berdasarkan uji coba model terhadap orang kulit hitan Amerika,
Jones (Palmer and Laungani, 2008) merumuskan empat kelas variabel
sebagai panduan konseptual dalam konseling model integratif, yakni
sebagai berikut :
a) Reaksi terhadap tekanan-tekanan rasial (reactions to racial
oppression).

39
Engel, Konseling pastoral dan isu-isu kontemporer, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2016), IX.
40
Indah Lestari, “Konseling berwawasan lintas budaya”, 5, Diakses 19 Oktober 2017 di
http://eprints.umk.ac.id/3636/3/artikel.pdf.
41
Lestari, “konseling berwawasan lintas budaya”, 5.
42
Engel, Konseling pastoral dan isu-isu kontemporer, 69-74.

11
b) Pengaruh budaya mayoritas (influence of the majority culture).
c) Pengaruh budaya tradisional (influence of traditional culture).
d) Pengalaman dan anugrah individu dan keluarga (individual and
family experiences and endowments).

Menurut Jones (Palmer and Laungani, 2008), pada kenyataannya


sungguh sulit untuk memisahkan pengaruh semua kelas variabel
tersebut. Menurutnya, yang menjadi kunci keberhasilan konseling
adalah asesmen yang tepat terhadap pengalaman-pengalaman budaya
tradisional sebagai suatu sumber perkembangan pribadi. Budaya
tradisional yang dimaksud adalah segala pengalaman yang memfasilitasi
individu berkembangan baik secara disadari ataupun tidak. Salah satu
hal yang tidak disadari termasuk apa yang diungkapkan Jung (1972)
dengan istilah colective uncosious (ketidaksadaran koletif), yakni nilai-
nilai budaya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Sehingga
kekuatan model konseling ini terletak pada kemampuan mengases nilai-
nilai budaya tradisional yang dimiliki individu dari berbagai varibel di
atas.

3. Model Etnomedikal (Ethnomedical model)


Model etnomedikal pertama kali diajukan oleh Ahmed dan Fraser
(1979) yang dalam perkembangannya dilanjutkan oleh Alladin (1993).
Model ini menempatkan individu dalam konsepsi sakit dalam budaya
dengan sembilan model dimensional sebagai kerangka pikirnya. Dalam
tulisan ini penulis hanya menjelaskan 1 model saja yakni konsepsi sakit.
Konsepsi sakit (sickness conception), seseorang dikatakan sakit apabila:
melakukan penyimpangan norma-norma budaya, melanggar batas-batas
keyakinan agama dan berdosa, melakukan pelanggaran hukum,
mengalami masalah interpersonal.
Dari ketiga (3) model pendekatan konseling lintas budaya,
diketahui bahwa konseling berwawasan lintas budaya menjadi begitu
penting. Perjumpaan budaya dalam masyarakat global menjadi semakin
terbuka dan hampir tanpa batas. Ketika konseling yang lebih

12
mementingkan individu dalam proses konseling, tanpa peduli atmosfir
yang melingkupi proses konseling, baik dalam konseling individual
maupun konseling kelompok, atau atmosfir baru yang muncul dalam
proses konseling, maka proses konseling akan berupa semacam khotbah
indoktrinasi, atau pengajaran.43 Penerapan konseling berwawasan lintas
budaya mengharuskan konselor peka dan tanggap terhadap budaya,
keragaman budaya dan adanya perbedaan budaya antar kelompok klien
yang satu dengan yang lainnya, dan antara konselor sendiri dengan
kliennya.44
Konseling lintas budaya melibatkan pendekatan ilmu antropologi
budaya, psikologi dan sosiologi, yang bertujuan untuk memberdayakan
serta memampukan konseli agar beradaptasi dengan situasi dengan
lingkungan untuk mengubah keadaan.45
2.5 Penggunaan sarana-sarana dalam Pastoral
Penggunaan sarana keagamaan dalam konseling pastoral, dinilai sangat
penting karena sarana keagamaan merupakan salah satu alat konseling pastoral
untuk menolong konseli memecahkan persoalan atau gangguan psiko-
spiritual.46 Wiryasaputra menyebutkan paling kurang ada enam (6) sarana
keagamaan yang dapat digunakan dalam konseling pastoral47 yakni:
1. Doa
Doa dilakukan ketika seseorang atau sekelompok orang yang sedang
mengalami krisis atau persoalan diluar kemampuannya untuk
mengatasinya sehingga memerlukan intervensi khusus dari Allah. Doa
merupakan sarana keagamaan sebagai simbol kebersamaan Allah dengan
kita dan sekaligus merupakan simbol kebersamaan kita dengan Allah dan
penyerahan diri yang total kepadaNya (Lukas 23:46).
2. Alkitab
Penggunaan Alkitab dalam konseling pastoral memang penting, karena
alkitab mempunyai berbagai cara untuk menyapa kebutuhan religius

43
Lestari, “konseling berwawasan lintas budaya”, 8.
44
Lestari, “konseling berwawasan lintas budaya”, 8.
45
Engel, Konseling pastoral dan isu-isu kontemporer, 73-74.
46
Wiryasaputra, Pengantar konseling pastoral, 181-182.
47
Wiryasaputra, Pengantar konseling pastoral, 190-202.

13
manusia, namun penggunaan tersebut harus dilakukan dengan berhati-hati.
Ada bermaca-macam penggunaan Alkitab dalam konseling pastoral,
seperti penggunaan untuk menghibur, mengajar, menasehati dan
mendiagnosis.
3. Nyanyian/Musik
Nyanyian/musik dikenal luas oleh komunitas kristiani, namun
penggunaannya dalam konseling pastoral tidak seluas penggunaan doa dan
alkitab. Nyanyian/musik sebagai bentuk ekspresi pengalaman hidup
seperti perasaan suka, rasa syukur, bahagia, sedih, duka, penyesalan,
komitmen, dan sebagainya.
4. Ziarah
Sarana keempat yang digunakan dalam konseling pastoral yakni Ziarah.
Dalam kekristenan, ziarah jarang sekali digunakan dalam pendampingan
dan konseling pastoral karena ketakutan terhadap sinkretisme, namun
dalam komunitas katholik penggunaan ziarah masih digunakan dalam
pastoral untuk membantu konseli yang mengalami kedukaan karena orang
yang dikasihinya meninggal.
5. Ibadah
Ibadah dapat dilakukan sebagai salah satu sarana pendampingan dan
konseling pastoral kepada keluarga yang mengalami kedukaan. Dalam
ibadah, konselor dapat memberi kesempatan kepada keluarga yang
berduka untuk mengungkapkan serta mengekspresikan perasaan mereka
karena kehilangan orang yang dikasihi.
6. Penumpangan tangan
Sarana keenam yang digunakan yakni Penumpangan tangan. Dalam
Perjanjian Baru, penumpangan tangan digunakan sebagai sarana
pertolongan, pendampingan dan konseling pastoral (Mark 5:23, 6:5, 7:32,
8:23, 16:18, dll). Dalam perjanjian lama penumpangan tangan digunakan
sebagai simbol pemberian hak istimewa atau kuasa kepada seseorang
(Imam dan raja). Bagi Yesus dan para pengikut-Nya penumpangan tangan
sebagai simbol pertolongan bagi yang menderita.

14
7. Sarana lain: minyak, lilin, air, anggur, Bunga
Ada banyak sarana yang dapat digunakan dalam pendampingan dan
konseling pastoral, seperti minyak, lilin, air, anggur dan bunga dapat
digunakan konselor sebagai relaksasi bagi konseli. Namun, dalam
penggunaanya harus memiliki tujuan yang jelas dan tidak dilakukan
secara sembarangan. Sarana keagamaan hanya digunakan untuk membantu
konseli menghayati kehidupannya secara utuh, kemudian berubah,
bertumbuh dan berfungsi secara maksimal.

III. Hasil Data Penelitian


3.1 Gambaran Lokasi Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini dilakukan di Wilayah Kota So‟E, Kabupaten
Timor Tengah Selatan, Propinsi Nusa Teng gara Timur. Secara Geografis
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS ), terletak antara 124o4910111 –
124o0410011 Bujur Timur 9o 261 – 10o 101 Lintang Selatan. Kabupaten Timor
Tengah Selatan (TTS) merupakan salah satu dari 22 Kabupaten yang ada di
Propinsi Nusa Tenggara Timur. Wilayah administrasi Kabupaten Timor Tengah
Selatan terdiri dari 32 Kecamatan, 266 Desa dan 12 Kelurahan.
Kota So‟E merupakan salah satu dari 32 Kecamatan yang ada di Kabupaten
Timor Tengah Selatan (TTS) dan Kota So‟E menjadi ibu kota Kecamatan. Kota
So‟E sendiri ada terdapat 2 desa dan 11 kelurahan. Jarak yang dapat ditempuh dari
Kupang ke So‟E yakni 110 Km dan sekitar 185 Km dari Atambua. Luas wilayah
Kabupaten Timor Tengah Selatan adalah 3.955,5 Km2 atau 395.550 Ha dengan
jumlah penduduk sebanyak 475.375 Jiwa.48 Dalam Kecamatan Kota So‟E secara
khusus, ada terdapat beberapa agama yang dianut oleh masyarakat setempat yang
akan dijelaskan dalam tabel dibawah ini.
Kecamatan Katolik Protestan Islam Hindu Budha Khong Lainnya
Fucu
Kota So‟E 11,57 78,72 9.30 0,38 0,01 - 0,02
*)Sumber Kantor Kementrian Agama Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Gambar Tabel 1

48
Katalog BPS (Badan Pusat Statatistik Kabupaten Timor Tengah Selatan) “Kabupaten
Timor Tengah Selatan dalam Angka 2012” hal. 21.

15
3.2 Sejarah dan Latar belakang kehidupan Jemaat Efata So’E
Jemaat Efata So‟E merupakan salah satu jemaat yang terletak dalam wilayah
Klasis So‟E. Klasis So‟E terbentuk pada tanggal 31 Oktober 1947, sesuai dengan
pembagian 6 Klasis dalam lingkungan pelayanan GMIT (Sejak berdirinya GMIT).
Pada saat itu wilayah pelayanan Klasis So‟E meliputi 3 Kabupaten yaitu:
Kabupaten TTS, TTU dan Belu.49
Sejalan dengan perkembangan Kabupaten maka, pada tahun 1964 Kabupaten
TTS berkembang menjadi 3 Klasis menurut wilayah Swapraja yakni: Klasis
Mollo, Klasis Amanuban dan Klasis So‟E. Pada tahun 1972 terjadi pemekaran
menjadi 8 Klasis dan kemudian pemekaran lagi menjadi 13 Klasis sampai
sekarang yaitu: Klasis SoE, Amanuban Selatan Barat, Amanuban Selatan Timur,
Amanuban Tengah Selatan, Amanuban Tengah Utara, Amanuban Timur Selatan,
Amanuban Timur, Amanatun Utara, Mollo Timur, Mollo Utara dan Mollo Barat.
Jemaat – jemaat GMIT di wilayah Klasis So‟E tersebar dalam 3 wilayah
pemerintahan yaitu kota SoE, Amanuban Barat, dan Batu Putih.50
Nama Efata baru digunakan sekitar tahun 1984. Awalnya jemaat terbagi atas
dua yaitu jemaat dengan berbahasa Indonesia dan jemaat dengan berbahasa daerah
atau Dawan. Pada awalnya kedua jemaat ini bersama-sama menggunakan satu
gedung kebaktian, namun barulah pada tahun 1984 kedua Jemaat ini berpisah
karena telah dibangun gedung kebaktian baru untuk jemaat dengan berbahasa
Indonesia, yang kemudian hingga kini dikenal dengan nama EFATA yang berarti
“terbukalah”. Pemberian nama ini ditujukan untuk membedakan jemaat yang
menggunakan bahasa Indonesia dengan jemaat yang berbahasa Dawan.
Gereja GMIT Efata SoE memiliki 6 pelayan pendeta dengan jumlah jemaat ±
13.000 jiwa, meliputi koordinator pelayanan 16 wilayah dari koordinator
pelayanan tersebut terdapat 92 ketua rukun jemaat. Pada tahun 2016-2017
penatua berjumlah 288 orang dan diaken berjumlah 194 orang.51 Jemaat Efata
SoE terletak dalam satu wilayah yang tersebar di berbagai kelurahan yaitu:
Taubneno, Kampung Baru, Karang Sirih, Cendana, SoE, Nunumeu, Oebesa,
Oenasi, Oekefan, dan Kota Baru. Jemaat Efata sendiri lebih didominasi oleh

49
Buku memori Pelayanan KMJ GMIT Efata Soe Priode 2013-2017, 2.
50
Buku memori Pelayanan, 2.
51
Buku memori Pelayanan, 3.

16
beberapa suku antara lain suku Timor, Rote, Sabu, Alor, Sumba, Jawa, Batak,
Ambon, Kisar, Tionghoa, dll. Suku Timor (Dawan) merupakan mayoritas dalam
wilayah pelayanan GMIT Efata SoE.
Kebanyakan jemaat GMIT Efata So‟E bermata pencaharian sebagai PNS,
pedagang, tukang, buruh, supir, tukang ojek, dll.52 Dalam memenuhi kehidupan
sehari-hari jemaat, biasanya jemaat mengolah pekarangan maupun kebun yang
dimiliki untuk ditanami sayur-sayuran, jagung, kacang-kacangan, dan tanaman
lainnya yang bermanfaat bagi jemaat.

3.3 Agama Asli Orang Timor


Seorang antropolog Belanda bernama Schulte-Nordholt melakukan penelitian
tentang struktur sistem politik masyarakat dawan Timor atau dikenal dengan
sebutan Atoni. Dalam tulisannya, Nordholt mengungkapkan bahwa masyarakat
dawan Timor dalam sistem kepercayaan, mereka mempercayai Uisneno sebagai
tuhan langit dan Uispah atau biasa disebut tuhan bumi. Uisneno disembah
dipercayai dalam berbagai cara sebagaimana ia memanifestasikan dirinya dalam
berbagai bentuk atau wujud. Uisneno sebagai tuhan langit dan tuhan bumi
sehingga Uisneno dipahami dan diyakini dalam dua wujud kehadiran yakni
Uisneno Mnanu yaitu tuhan langit yang tidak kelihatan dan Uisneno Pala yang
mengidentifikasikan diri dalam bentuk buaya dalam air sehingga dikenal sebagai
tuan air (Uis Oe), dan dalam wujud ular piton yang dikenal sebagai penguasa
tanah kering (Uis Meto). Sebagai Uisneno Mnanu yang dilangit ia selalu
memberikan kehangatan menyebabkan pergantin musim dan waktu yang
didalamnya petani menanam dan menuai. Uisneno Mnanu sebagai Ilah tertinggi
maka tugas Uisneno Pala adalah menyampaikan doa-doa yang disampaikan oleh
orang Atoni kepada Uisneno Mnanu. Uisneno Pala bagi masyarakat dawan Tmor
terkadang diidentifikasikan dengan roh atau arwah para leluhur agar dapat
menyampaikan doa-doa mereka.53
Selain Uisneno masyarakat dawan Timor, juga percaya adanya roh-roh atau
Nitu, yang berada disekeliling mereka, yang berdiam dibatu-batu, hutan, pohon,
sungai dan mata air dan gunung-gunung. Roh-roh atau Nitu ini diyakini sebagai
52
Buku memori Pelayanan, 3.
53
H.G. Schulte-Nordholt, The Political System Of The Atoni Of Timor, trans. M.J.L. Van
Yperen (The Hague: Martinus Nijhoff, 1971). 142-146.

17
kekuatan yang berasal dari Uisneno, dianggap demikian karena Uisneno dipercaya
sebagai asal mula atau sumber dari adanya segala sesuatu dialam semesta ini.
Dalam kehidupan sehari-hari roh-roh ini hadir dalam bentuk Pah Nitu (roh-roh
dunia atau roh penjaga bumi) dan Pah Tuaf atau Naid Juf (tuan atau penguasa
yang ada pada sebuah wilayah) istilah Pah Nitu berhubungan dengan Nitu yakni
roh dari orang sakti atau orang-orang yang sudah meninggal.54 Masyarakat dawan
Timor juga percaya pada Le‟u. Le‟u berarti suci, kramat, menimbulkan rasa
kagum atau segan dalam dirinya sendiri. Bagi orang Atoni, Le‟u diyakini sebagai
sumber bencana atau menyebabkan bencana dan sumber pemberi keuntungan atau
kebaikan bagi mereka. Masyarakat Timor biasanya mengenal dan membedakan
Le‟u berdasarkan tujuan dan fungsi.55
Masyarakat dawan Timor, meyakini bahwa Uisneno, roh-roh dan Uispah
dapat mengendalikan takdir manusia.56 Masyarakat dawan Timor, ketika
mengharapkan kesejahteraan, kesehatan dan kebaikan selalu memintanya dari
Uisneno, Uispah dan roh-roh berada pada urutan kedua. Bahkan terkadang Uispah
dianggap sebagai pembawa ketakberuntungan dan malapetaka bagi manusia,
sehingga manusia perlu untuk mengadakan ritual-ritual tertentu, namun apa yang
mereka inginkan akan mereka dapatkan, apabila mereka melakukan ritual dengan
benar dan sesuai dengan aturan yang telah dikenakan kepadanya.57

3.4 Sejarah ritual naketi masyarakat dawan Timor


Dalam pelaksanaan ritual adat istiadat yang dilakukan oleh setiap suku
maupun dalam sebuah komunitas selalu ada sejarah yang melatarbelakanginya.
Begitupun dengan pelaksanaan ritual naketi yang dilaksanakan oleh masyarakat
dawan Timor. Pelaksanaan ritual naketi sudah ada sejak zaman nenek moyang dan
dilakukan secara turun-temurun oleh para leluhur masyarakat Timor hingga saat
ini.58
Masyarakat dawan Timor dalam menjalani kehidupannya selalu berusaha
untuk menjalin relasi yang baik dengan Uisneno dan Uispah, karena keduanya

54
Schulte-Nordholt, The Political System, 146-147.
55
Schulte-Nordholt, The Political System. 147.
56
Schulte-Nordholt, The Political System, 151.
57
Schulte-Nordholt, The Political System, 151.
58
Wawancara dengan tokoh adat bpk M. Nuban, di Soe tanggal 2 November 2017.

18
dipercayai memiliki peran yang penting dalam menentukan keberlangsungan dan
keselamatan hidup mereka. Untuk menjamin kelangsungan dan keselamatan
hidup mereka, maka akan diadakan ritual dan upacara adat untuk meminta berkat
dan pertolongan kepada Uisneno dan Uispah. Masyarakat dawan Timor juga
meyakini bahwa setiap bencana, kedukaan, kemalangan, sakit penyakit yang
menimpa mereka juga merupakan akibat dari adanya ketidakharmonisan dalam
hubungan mereka dengan Uisneno dan Uispah.59 Sehingga untuk memulihkan
relasi yang rusak tersebut mereka perlu untuk melakukan pengakuan dosa yang
dewasa ini dikenal dengan istilah naketi.
Ketika mereka mengalami sakit penyakit, bencana, kesukaran dan kemalangan
dalam hidup mereka mempercayai bahwa hal tersebut dikarenakan upah dosa
yang telah mereka lakukan terhadap Uisneno dan Uispah sehinggah
mendatangkan persoalan/masalah. Oleh karena itu, untuk memperoleh jalan
keluar dari setiap persoalan yang di alami maka, mereka perlu mengakui dosa
mereka kepada Uisneno dan Uispah untuk memperoleh keselamatan. Para
pemimpin (tua adat) akan menggunakan hukum adat nenek moyang yang
dipegang dan telah mengatur seluruh proses kehidupan mereka.60

3.5 Makna, tujuan dan fungsi naketi dalam pemahaman Jemaat Efata So’E
Dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap informan mengenai,
makna Naketi (dalam pemahaman warga Jemaat GMIT Efata SoE, dikaji dari
perspektif Pastoral), maka diperoleh hasil wawancara yang hampir serupa antara
jawaban yang satu dengan jawaban lainnya dari masing-masing informan.
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa Naketi merupakan tradisi
praktek agama suku Timor yang berasal dari kata Naketi yang berarti mengatur,
meluruskan dan mensejajarkan suatu hal atau memperbaiki sesuatu yang bengkok
menjadi lurus. sehingga naketi berarti mengatur, memperbaiki dan meluruskan
kembali suatu hal ataupun relasi yang rusak, yang tidak sesuai dengan kehendak
Tuhan agar kembali normal.61 Pada umumnya, naketi itu ada atau harus
dilakukan, oleh seseorang ataupun sekeluarga yang sedang mengalami

59
Wawancara dengan tokoh adat Bapak M. Nuban, di Soe tanggal 2 November 2017.
60
Wawancara dengan tokoh adat bapak M. Nuban, di Soe tanggal 2 November 2017.
61
Wawancara dengan Pdt. Salatial Baitanu, Jemaat Efata SoE,tanggal 07 November 2017

19
masalah/persoalan atau beban berkelanjutan sehingga harus diselesaikan terlebih
dahulu.62
Naketi juga dapat dikatakan sebagai pemurnian atau penjernihan diri. Naketi
dilakukan untuk memurnikan atau menjernihkan diri dari masalah atau persoalan
akibat dosa yang dilakukan menuju pemulihan untuk menemukan kesucian
hidup.63 Dikatakan demikian karena, mereka meyakini bahwa segala sesuatu yang
buruk yang terjadi dalam kehidupan mereka, ialah akibat dari adanya dosa dan
pelanggaran yang dilakukan, sehingga mendatangkan kutukan atau bencana. Oleh
sebab itu, mereka akan berupaya untuk memurnikan diri dengan cara mengakui
dosa dan pelanggaran yang dilakukan untuk terlepas dari persoalan ataupun
bencana yang dialami.
Contoh kasusnya;
Ada seorang ibu AB64 yang menderita pembengkakan pada bagian perut yang
membuatnya sangat menderita. Ketika ibu AB ini dibawah kerumah sakit untuk
diperiksa, ditemukan komplikasi penyakit yang diderita seperti (tumor, kista, dll)
sehingga ibu AB ini tidak mendapatkan kesembuhan medis. Hal tersebut
membuat keluarga untuk melakukan naketi secara khusus untuk ibu AB. Maka,
selama sakit ibu AB bermimpi didatangi oleh 3 orang anggota keluarga yang telah
meninggal dua diantaranya masih bayi, dan salah satunya ialah orangtua ibu AB.
Maka ibu AB dalam hasil doa para Hamba Tuhan ditemukan bahwa ibu AB
pernah mengubur sesuatu dengan tersembunyi dan ibu AB melakukan naketi
(mengaku) jika, ia pernah menggugurkan janinnya sendiri berturut-turut sebanyak
dua kali yang berusia ± 2 bulan dan ± 3 minggu dan menguburnya tanpa
sepengetahuan dari keluarganya sendiri. Ibu AB inipun, mengaku kepada
keluarganya dan para Hamba Tuhan dan Tuhan, sehingga ia didoakan dan
didukung oleh keluarga untuk tetap kuat dan tabah. Setelah melakukan naketi
secara berangsur-angsur kondisi ibu AB tersebut mengalami pemulihan.
Berdasarkan pemahaman diatas maka, naketi merupakan cara orang Timor
untuk menyelesaikan persoalan dan krisis berkelanjutan yang dialami dengan cara
memperbaiki, mengatur, memurnikan/menjernihkan diri dari dosa. Setelah
melakukan naketi terjadi perubahan drastis yang dialami keluarga tersebut dalam
waktu singkat.
Adapun tujuan dari naketi yaitu untuk membantu masyarakat dawan Timor,
dalam upaya mengatur, memperbaiki sistem tatanan kehidupan mereka yang rusak

62
Wawancara dengan Diaken Aris Liufeto, Jemaat Efata SoE, tanggal 01 Oktober 2017.
63
Wawancara bersama Bpk A.B (Inisial), Jemaat Efata SoE, tanggal 02 Oktober 2017.
64
Wawancara dengan Diaken Aris Liufeto, Jemaat Efata SoE, tanggal 01 Oktober 2017.

20
dan berserakan sebagai penyebab adanya bencana dan krisis berkelanjutan dalam
hidup, karena dalam sistem kepercayaan mereka bahwa kehidupan yang baik dan
berjalan sesuai tatanan akan membawa kesejateraan dan keselamatan dalam
hidup, sebaliknya jika tidak hidup berdasarkan pada tatanan kehidupan,
melanggar atau melalaikan (hukum adat nenek moyang dan 10 perintah Tuhan),
akan mendatangkan kutukan ataupun bencana dalam hidup, serta sebagai upaya
memurnikan/menjernihkan diri dari dosa yang dilakukan secara pribadi maupun
dosa turunan, agar mereka dapat terlepas dari dosa yang ada.65
Contoh kasus:
Bagi masyarakat Timor Sanut mofut atau silsilah keluarga. Masyarakat dawan
Timor seluruhnya memberlakukan aturan adat bahwa seorang anak harus
mengenakan nama marga ayah (Fam). Dalam beberapa kasus ditemukan bahwa
jika tidak melakukan hukum adat tersebut anaknya akan mengalami nasib buruk
berkepanjangan. Seperti, keluarga istri yang (ibu si anak) yang menolak si anak
untuk menyandang marga/fam ayahnya. Dengan alasan, ayahnya tidak
bertanggung jawab menafkahi serta pergi meninggalkan keluarganya. Akibatnya,
keluarga ibu menuntut agar nama ayahnya dicopot/diganti dengan marga ibu.
Namun, dikemudian hari anak tersebut mengalami masalah/musibah
berkelanjutan. Sehingga a‟ote naus, majelis jemaat dan hama Tuhan akan menilai
bahwa akibat dari adanya musibah berkelanjutan yang dialami anak tersebut ialah
adanya kutukan dari arwah leluhur ayahnya karena tidak menyandang marga/fam
dari ayahnya. Sehingga, mereka akan berupaya untuk melakukan pemindahan
marga anak dari ibu ke marga ayahnya, hal tersebut dewasa ini dikenal dengan
sebutan „doa pindah fam”.
Fungsi dari naketi yang dilakukan masyarakat dawan Timor,66 dengan
memperbaiki, mengatur dan memurnikan/menjernihkan diri dari dosa,
dideskripsikan sebagai berikut:
a. Untuk membimbing
Fungsi untuk membimbing ini, dapat terlihat dan digunakan oleh a‟ote naus
dalam upaya menyelidiki kesalahan apa yang telah dilakukan, sehingga
mendatangkan persoalan atau krisis berkelanjutan yang dialami. Sehingga
a‟ote naus ataupun Majelis Jemaat dan Hamba Tuhan dalam upayanya
menyelidiki, ia juga membimbing mereka dalam proses untuk memperbaiki,
mengatur dan memurnikan diri, agar keadaan dan kondisi mereka kembali
normal.

65
Wawancara dengan tokoh adat bpk MN (Inisial), di Soe tanggal 02 November 2017.
66
Wawancara dengan tokoh adat bpk MN (Inisial), di Soe tanggal 02 November 2017.

21
b. Menopang
Fungsi menopang, dapat ditemukan selama proses naketi ini. Saat mengalami
krisis dan bencana berkepanjangan, maka kehadiran keluarga, kerabat sebagai
bentuk dukungan untuk menopang mereka dalam melewati masa sulit yang
dialami.
c. Untuk menyembuhkan
Fungsi untuk menyembuhkan, sering dijumpai dalam kehidupan masyarakat
dawan Timor. Ketika sakit penyakit yang diderita tak kunjung sembuh
walaupun telah berobat ke RS (rumah sakit), maka langkah selanjutnya ialah
mereka akan melakukan naketi, untuk mengecek dosa/kesalahan yang
dilakukan yang menjadi penyebab sakit tersebut, sehingga ada pengakuan
maka ada kesembuhan.
d. Memperbaiki hubungan
Fungsi mendamaikan/memperbaiki hubungan ini, digunakan untuk
mendamaikan dan memperbaiki relasi yang telah rusak antara sesama anggota
keluaga. Naketi akan dilakukan untuk mengecek penyebab yang
mengakibatkan terjadi sebuh krisis atau persoalan dalam keluarga. Apabila
penyebab telah ditemukan maka, sesama anggota keluarga akan diminta untuk
terbuka antara satu dengan yang lain atau disebut (Tae Nekaf) selanjutnya
akan dilanjutkan dengan pengakuan agar relasi tersebut dapat terjalin kembali
dan krisis yang dialami dapat terhenti. Oleh sebab itu dalam hal ini, naketi
dapat membantu masyarakat dawan Timor dalam upaya memperbaiki relasi
yang rusak baik dengan sesama, Tuhan dan dirinya sendiri.
3.6 Proses dan sarana dalam ritual Naketi
Berdasarkan hasil wawancara, diketahui bahwa proses pelaksanaan ritual
naketi, akan dipimpin oleh imam (a‟ote „naus) yang akan menentukan tempat
seperti batu besar yang dipercayai terdapat roh-roh yang mendiami tempat
tersebut dengan mengundang para pemimpin marga (amaf-amaf) untuk dapat
hadir ditempat tersebut dengan membawa hewan berupa ayam, sapi, babi,
kambing, atau kerbau tergantung pada jenis pelanggaran/dosa yang dilakukan.
Setelah tiba, maka a‟ote „naus akan menjelaskan alasan ritual tersebut harus
dilakukan. Proses selanjutnya, yakni dengan pemotongan binatang, yang darahnya

22
ditampung dalam sebuah tempat dan hati binatang itu akan diperiksa oleh a‟ote
„naus. Setelah hati binatang tersebut diperiksa, apabila terdapat benjolan/luka
pada hati binatang tersebut maka, hal tersebut sebagai tanda bahwa tuhan sedang
marah atau murka. Selanjutnya mereka akan berdiskusi untuk memastikan jenis
pelanggaran aturan adat, yang menyebabkan tuhan marah sehingga mendatangkan
kutuk. Apabila mereka telah menemukan jenis pelanggaran tersebut maka, a‟ote
„naus akan berdoa memohon ampun kepada Uisneno dan Uispah.67
Doa yang dilakukan oleh a‟ote „naus dengan cara berbisik dan mengarahkan
pandangan pada suatu objek tertentu, sehingga yang hadir dan mengikuti ritual itu
tidak mendengar kata-kata yang diucapkan oleh a‟ote „naus. Selesai berdoa, a‟ote
„naus memercik darah hewan yang telah dipotong ke (salah satu dari sekian
banyak) tempat terjadinya bercana, sedangkan dagingnya dibakar dan dimakan
bersama-sama. Tujuan diadakan pemercikan darah untuk mendinginkan amarah
tuhan sehingga kutuk segera dijauhkan. Dengan melakukan ritual naketi maka,
diyakini bencana atau persoalan yang dialami akan segera berakhir.68
Naketi yang dilakukan oleh masyarakat yang telah menjadi Kristen apabila
ditimpa bencana, serta sakit-penyakit dan kematian berkelanjutan maka,
cenderung akan melakukan ritual naketi. Namun, dalam proses pelaksanaan naketi
yang dilakukan, cenderung akan dipimpin oleh anggota majelis jemaat atau
dipimpin oleh hamba Tuhan (orang-orang yang memiliki karunia penglihatan dan
pendengaran saat mendoakan seseorang). Misalnya, dalam sebuah keluarga terjadi
perselisihan antara anak dan orangtua, sehingga orangtua mengeluarkan kata
kutuk kepada anak. Hal tersebut berdampak pada kehidupan anak yang sulit
mendapat pekerjaan dan berkat didalam hidup. Sehingga majelis Jemaat atau
hamba Tuhan menilai bahwa, kutuk tersebut akibat melanggar hukum ke-5 dari
sepuluh hukum (Kel. 20;12). Sehingga untuk memperbaiki sistem kehidupan yang
rusak tersebut maka, orangtua dan anak harus melakukan naketi dengan berdoa
yang dipimpin oleh hamba Tuhan atau majelis Jemaat setempat dan mengaku
dosa serta saling berdamai satu dengan yang lainnya.

67
Wawancara dengan tokoh adat bpk MN (Inisial), di Soe tanggal 2 November 2017
68
Ruku, Fenomena kutuk/berkat di rumah Naomi: 141.

23
Dengan penjelasan tersebut, maka berikut ini adalah pola pelaksanaan naketi
pada masa pra-Kristen dan masa pasca-Kristen yang digambarkan69 sebagai
berikut:
(1) Naketi sebelum Kristen:
HARMONI

SOLUSI KRISIS
(pemenuhan tuntutan adat)

MENGAPA?
(Adat menjadi acuan)
Gambar 1: Proses naketi versi agama suku Atoni

(1) Naketi setelah Kristen :


HARMONI

SOLUSI KRISIS
(pemenuhan adat dan/atau 10 perintah)

MENGAPA?
(Adat dan 10 hukum menjadi acuan)
Gambar 2: Proses naketi versi orang Atoni Kristen
Dengan masuknya agama Kristen di Timor maka ajaran Kristen tentang
sepuluh hukum taurat dijadikan sebagai media untuk mengecek dosa-dosa. Dari
aspek sosial dapat dikatakan bahwa, dengan masuknya agama Kristen di Timor
maka terjadilah proses akulturasi nilai-nilai budaya dan/atau hukum adat suku
meto dan nilai-nilai Kristen. Ada nilai-nilai budaya yang sesuai dengan nilai-nilai
Kristiani sehingga dapat didialogkan dan dipakai bersama tanpa masalah. Tetapi
ada juga nilai-nilai yang bertentangan satu dengan yang lain dan tidak bisa
didialogkan. Ruang Dialog

Budaya dan adat Budaya


suku Timor suku Timor
dan ajaran
Kristen

Gambar 3: Pola akulturasi nilai-nilai budaya dan injil

69
Ruku, Fenomena kutuk/berkat di rumah Naomi: 144.

24
Dalam proses pelaksanaan naketi, tentunya ada orang yang melakukan dan
hadirin yang turut hadir dalam menyaksikan dan mendukung proses
berlangsungnya naketi ini. Selama proses tersebut berlangsung maka, para hadirin
yang hadir berperan sebagai saksi yang mendampingi, mendengar serta menyimak
pengakuan (naketi) yang disampaikan oleh yang bersangkutan. Setelah itu para
pemimpin akan melakukan doa pengakuan dan hadirin juga turut mendoakan
secara pribadi setelah itu mereka akan memberikan nasehat, menolong dan
mendampingi orang yang mengalami masalah tersebut untuk kembali menjalani
kehidupannya.

IV. Pembahasan Dan Analisa Data Penelitian

Pada bagian ini, penulis akan melakukan perbandingan pemikiran para ahli
yang telah dibahas dalam bagian ke II dan hasil data penelitian yang ditemukan.
Ritual Naketi merupakan salah satu kebudayaan tradisional masyarakat dawan
Timor, dalam upaya mencari solusi dari krisis/masalah berkelanjutan yang
dialami. Berbicara mengenai suatu kebudayaan tradisional yang dianut oleh suatu
kelompok atau komunitas tertentu maka manusia tentunya tidak akan terlepas dari
hubungan dan kehidupan lingkungannya. Hal tersebut dikarenakan antara
kebudayaan dan manusia saling terkait antara satu dengan yang lainnya, serta
dalam kebudayaan karakter manusia dibentuk. Dilihati dari penjelasan tersebut
maka, ritual naketi sebagai kebudayaan masyarakat dawan Timor, didukung oleh
pemikiran Burnett Tylor, bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang
kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat
seseorang sebagai anggota masyarakat.70
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka, diperoleh data mengenai
makna Naketi yang dipahami oleh warga Jemaat Efata So‟E, sebagai upaya untuk
memperbaiki, mengatur, mensejajarkan, meluruskan serta sesuatu hal bengkok,
yang berada diluar sistem nilai dan tidak sesuai dengan tatanan kehidupan mereka
sehingga menyebabkan adanya persoalan dan kemalangan. Naketi juga dimaknai
sebagai upaya untuk memurnikan dan menjernihkan diri dari dosa atau

70
Dilihat di https://frwibowo.wordpress.com/2012/09/28/hubungan-antara-manusia-
masyarakat-dan-kebudayaan/ pada hari Jumat, 26 Januari 2017. Pukul 10.40 AM.

25
pelanggaran yang dilakukan, sebagai penyebab munculnya persoalan-persoalan
berkelanjutan yang dialami. Ritual naketi yang dilakukan untuk
memurnikan/menjernihkan diri ini, berfungsi untuk memulihkan/memperbaiki
kembali relasi yang rusak secara vertical (antara manusia dengan Tuhan) dan
horizontal (antara sesama manusia). Dari hasil data penelitian tersebut mendukung
pemikiran Clebsch dan Jaeckle mengenai fungsi-fungsi dalam pastoral dan salah
satunya yakni memulihkan/memperbaiki relasi, yang juga ditemukan dalam
pelaksanaan ritual naketi.71 Sejalan dengan pemahaman Clebsch dan Jaeckle,
Clinnebell mengungkapkan bahwa konseling pastoral merupakan suatu fungsi
yang bersifat memperbaiki yang dibutuhkan ketika orang mengalami krisis yang
merintangi pertumbuhnnya.72 Penulis melihat hal ini, sesuai dengan tujuan ritual
naketi yang dilakukan yakni untuk memperbaiki sistem tatanan kehidupan yang
rusak, yang menyebabkan adanya krisis dan bencana berkelanjutan, sehingga
mereka perlu untuk memperbaiki sistem tatanan kehidupan mereka agar kembali
normal.
Dalam proses pastoral salah satu fungsinya yakni untuk memperbaiki
hubungan/mendamaikan relasi yang rusak baik dengan sesama maupun dengan
Allah. Hal serupa juga ditemukan dalam proses naketi yang dilakukan untuk
memperbaiki relasi dengan uisneno. Dalam kekristenan Allah dipercayai sebagai
Pencipta dan pemelihara, maka bagi masyarakat dawan Timor uisneno juga
dipercayai sebagai pencipta dan pemelihara yang disembah dalam berbagai cara
sebagaimana ia memanifestasikan dirinya dalam berbagai wujud dan bentuk, yang
mengatur seluruh aspek kehidupan mereka. Sehingga penulis menilai bahwa, hal
tersebut sesuai dengan salah satu fungsi pastoral yang disebutkan oleh Clebsch
dan Jeackle yakni fungsi untuk mendamaikan/memperbaiki hubungan baik
dengan sesame maupun dengan Allah itu sendiri.73
Tujuan utama dalam pelaksanaan ritual naketi yakni untuk membantu orang
agar keluar dari persoalan/krisis yang dialami baik itu sakit penyakit, kedukaan
dan kemalangan berkelanjutan yang dialami. Berdasarkan hasil data tersebut,
menurut penulis mendukung pemikiran Abineno yang mengungkapkan bahwa

71
Wiryasaputra, pengantar konseling pastoral, 106-109.
72
Clinebell,Tipe-Tipe Dasar,…. 32.
73
Wiryasaputra, Pengantar konseling pastoral, 106-109.

26
sebuah tindakkan pastoral ditujukan untuk membantu banyak orang, yang karena
berbagai sebab hidup dalam masa yang sulit.74
Tujuan lain dari pelaksanaan ritual naketi yakni sebagai wujud bagi kerabat
dalam menunjukkan cinta kasih, kepedulian dan pertolongan kepada keluarga
yang mengalami krisis berkelanjutan. Sehingga kehadiran dan peran serta kerabat
keluarga, amaf-amaf (pemimpin marga), dan undangan bermakna kemitraan,
bahu-membahu, menemani, dan berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan
mengutuhkan sebagai keluarga serumpun. Kehadiran dan peran yang mereka
laksanakan membantu dan menopang/mendukung keluarga agar mengalami
pemulihan, mendukung dengan memandang bahwa orang yang mengalami krisis
tersebut berharga. Tujuan pelaksanaan naketi tersebut mendukung pemikiran dari
Aart Van Beek mengenai pendampingan sebagai sebuah kegiatan kemitraan, bahu
membahu, menemani, membagi/berbagi dengan tujuan saling menumbuhkan dan
mengutuhkan.75 Dikatakan demikian karena menurut Van Beek bahwa, bahwa
sebuah pendampingan pertolongan kepada sesama yang utuh mencakup jasmani,
mental, sosial, dan rohani hendaklah bersifat pastoral, yang mana pendampingan
tersebut tidak hanya memiliki aspek horizontal (dari manusia kepada manusia)
akan tetapi juga mewujudkan aspek vertikal (hubungan dengan Allah).76
Dalam proses pelaksanaan ritual naketi, penulis juga melihat adanya fungsi
untuk menyembuhkan dan membimbing. Hal ini dapat dilihat dari ritual naketi
yang dilakukan, yang mana mereka berusaha untuk memperbaiki sistem nilai agar
kembali pada tempatnya sehingga bencana berupa sakit yang dialami berupa
aspek (fisik, psikis, sosial, dan religius), dapat diatasi. Hasil penelitian tersebut
penulis nilai sesuai dengan pemikiran Van Beek mengenai Fungsi
menyembuhkan. Menurut Van Beek fungsi menyembuhkan ini, di pakai untuk
memperbaiki atau mengatasi kerusakan yang dialami dengan cara mengembalikan
konseli pada keadaan yang kembali normal atau lebih baik dari sebelum dan
sesudah mengalami krisis. Penulis melihat fungsi ini terdapat pula dalam tujuan
pelaksanaan ritual naketi.

74
Abineno, pedoman praktis…, 51.
75
Aart Van Beek, pendampingan pastoral, 10-11.
76
Aart van Beek, Pendampingan Pastoral, 12

27
Dalam ritual naketi, penulis menemukan bahwa selama berlangsungnya proses
tersebut akan dipimpin atau dibimbing oleh seorang tetua adat atau imam yang
disebut a‟ote naus. Sedangkan dalam kekristenan akan dipimpin oleh majelis
jemaat dan hamba Tuhan. Dengan kata lain, bahwa berlangsungnya proses naketi
tersebut akan dipimpin oleh seseorang yang dipercayai untuk membimbing
berjalan dan suksesnya ritual tersebut. Berdasarkan pada proses berjalannya ritual
adat naketi ini, maka penulis melihat bahwa proses tersebut mendukung pemikiran
dari Wiryasaputra, yang mengemukakan tiga jenis pendampingan pastoral yakni
pendampingan eksistensial (pendampingan ini dilakukan oleh semua anggota
masyarakat yang memiliki sikap untuk mendampingi sesamanya), ketrampilan
fungsional (dilakukan oleh seseorang dengan profesi lain selain konselor, yang
menggunakan konseling sebagai nilai tambah bagi profesinya, seperti: perawat)
dan pendampingan profesional (dilakukan oleh orang yang dipersiapkan, di didiki,
dan dilatih untuk melakukan tugasnya sebagai konselor).77 Dari ke-tiga jenis
pendampingan maka, menurut penulis dalam upaya membimbing yang dilakukan
oleh a‟oe naus termasuk pada jenis pendampingan konselor. Hal ini terlihat jelas,
bahwa pelaksanaan ritual naketi ini tidak dilaksankan oleh sembarang orang
melainkan orang yang mengerti dan mengetahui secara jelas dan pasti proses
pelaksanaannya.
Dengan pembahasan dan Analisa yang dilakukan, penulis menemukan bahwa
ritual naketi yang dilaksanakan masyarakat dawan Timor dalam upaya untuk
mencari jalan keluar, solusi dari persoalan berkelanjutan yang dialami, dengan
tujuan memperoleh kesembuhan, mendamaikan/memperbaiki hubungan,
menopang, menolong, membimbing dan memurnikan diri dari dosa maka penulis
menilai bahwa dalam pelaksanaannya sesuai atau sejalan dengan fungsi-fungsi
dan tujuan pastoral. Sehingga menurut penulis, ritual naketi yang dilakukan
merupakan salah satu bentuk pendekatan konseling pastoral berbasis budaya
Timor untuk mencari jalan keluar/solusi dari persoalan-persoalan berkelanjutan
yang dialami. Dimana masyarakat meyakini bahwa persoalan berkelanjutan yang
dialami sebagai upah dosa atau pelanggaran yang dilakukan baik dengan
melanggar norma agama, adat istiadat, dll. Hasil data tersebut mendukung teori

77
Wiryasaputra, Pengantar konseling pastoral, 72.

28
Ahmed dan Fraser (1979) tentang konsepsi sakit (sickness conception), dalam
model etnomedikal, dimana seseorang dikatakan sakit apabila: melakukan
penyimpangan norma-norma budaya, melanggar batas-batas keyakinan agama dan
berdosa, melakukan pelanggaran hukum, mengalami masalah interpersonal.
Sehingga, menurut penulis ritual naketi yang dilakukan sejalan/sesuai dengan
model etnomedikal.

V. Penutup
Kesimpulan
1. Naketi sebagai salah satu tradisi kebudayaan masyarakat dawan Timor,
dalam upaya mencari solusi dari krisis/masalah berkelanjutan yang dialami.
Dikatakan demikian karena, budaya naketi yang dianut saling terkait erat
dengan masyarakat dawan Timor, dalam pelaksanaan tradisi naketi karakter
orang Timor dapat dibentuk.
2. Tradisi Naketi dipahami sebagai upaya untuk memperbaiki, mengatur,
mensejajarkan, meluruskan serta sesuatu hal yang bengkok dan rusak, yang
berada diluar sistem nilai dan tidak sesuai dengan tatanan kehidupan mereka,
sehingga menyebabkan adanya persoalan dan kemalangan berkelanjutan.
Naketi juga dimaknai sebagai upaya untuk memurnikan dan menjernihkan
diri dari dosa atau pelanggaran yang dilakukan, sebagai penyebab
munculnya persoalan-persoalan berkelanjutan menuju pada pemulihan.
3. Dalam proses ritual naketi yang dilakukan masyarakat dawan Timor,
mencerminkan fungsi-fungsi dan tujuan pastoral seperti; meyembuhkan,
membimbing, menopang dan memperbaiki hubungan. Sehingga, jika dilihat
dari “makna, tujuan dan fungsi-fungsi” yang ada pada ritual naketi maka,
dapat disimpulkan sebagai salah satu model/bentuk konseling pastoral
berbasis budaya masyarakat dawan Timor .
Saran

1. Saran bagi masyarakat dawan Timor, agar tetap menjaga dan memelihara
kebudayaan yang ada, salah satunya yakni ritual naketi, karena
didalamnya terdapat nilai-nilai luhur yang berguna bagi pembentukan
karakter serta dapat membantu kehidupan yang dijalani bersama yang
menjadi ciri khas tersendiri bagi masyarakat Timor.

29
2. Kepada gereja GMIT Efata So‟E, untuk kembali melihat dan
memperhatikan makna, tujuan dan fungsi yang terdapat dalam naketi,
yang dikembangkan dalam upaya untuk mencari solusi atas masalah atau
krisis berkelanjutan yang dialami oleh Jemaat. Gereja juga perlu
memperhatikan nilai-nilai luhur yang ada, sehingga dapat dijadikan
sebagai salah satu sarana dalam mengembangkan pelayanan yang ada,
sebagai sumbangan bagi pelayanan gereja yang berdasar pada nilai-nilai
kristiani.
3. Pemahaman dan pemaknaan naketi dapat menjadi referensi bagi tokoh
masyarakat agar dapat mengatasi krisi berkelanjutan yang terjadi terlebih
khusus masyarakat dawan Timor dalam rangka menciptakan masyarakat
yang menjunjung tinggi kehidupan budaya yang beragam dan
memaksimalkan potensi daerah secara bersama-sama.

30
DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abineno J. L. Ch., Pedoman Praktis Untuk Pelayanan Pastoral. Jakarta: BPK


Gunung Mulia, 2010.

Clinebell, Howard, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral.


Yogyakarta:Kanisius, 2002.

Clebsch, William A and Charles Jaeckle, Pastoral Care in Historical Perspective,


Englewood cliff. NJ.:Prentice-hall, 1964.

Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 1995.

D. Engel. Jacob. pastoral dan kebutuhan dasar konseling. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2016.

. Konseling pastoral dan isu-isu kontemporer. Jakarta: BPK Gunung


Mulia, 2016.

Gullo. W. Metodologi penelitian. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia,


2002.

H. Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press, 1983.

Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen. Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Samiyono, David. Diktat Metode Penelitian Sosial. Salatiga: Universitas Kristen
Satya Wacana, 2004.

Schulte-Nordholt, H.G. The Political System of the Atoni of Timor. Terj. M.J.L.
van Yperen. The Hague: Martinus Nijhoff, 1971.

S. Totok Wiryasyaputra, 2014. Pengantar Konseling Pastoral. Yogyakarta:


Diandra Pustaka Indonesia, 2014.

Usman, Husaini dan Purnomo Setiady Akbar. Metodologi Penelitian Sosial.


Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Van Beek, Aart. Pendampingan Pastoral. Jakarta: Gunung Mulia, 2003.
. Konseling Pastoral Sebuah Buku Pegangan Bagi Para Penolong
diIndonesia . Satya Wacana: Semarang, 1987.
. Potret diri seorang konselor. Satya Wacana: Semarang, 1987.

31
Jurnal
Hendri Wijayatsih,“Pendampingan dan Konseling Pastoral”: Diakses 13 Oktober
2017.http://ukdw.ac.id/journaltheo/index.php/gema/article/viewFile/122/pdf

Marthen Nainupu, “Konseling pastoral dalam gereja: Res Sine Qua Non”, JTA
11/20 (Maret 2009): 83, diakses 12 Oktober 2017.
http://sttaletheia.ac.id/wp-content/uploads/2012/08/konseling-pastoral-
dalam-gereja.pdf.

Indah Larasati, “Konseling berwawasan lintas budaya”, Diakses 19 Oktober 2017,


http://eprints.umk.ac.id/3636/3/artikel.pdf.

Website/Blog
Frwibowo, “Hubungan antara Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan”. Diakses
26 Januari 2018. https://frwibowo.wordpress.com/2012/09/28/hubungan-
antara-manusia-masyarakat-dan-kebudayaan/

Skripsi/Thesis/Disertasi

Ruku, Welfrid Fini. "Fenomena Kutuk/Berkat di Rumah Naomi: Hermeneutik


Etnofenomenologi Atoin Meto di Timor atas Kitab Rut 1:1-6." Disertasi
Doktor Teologi (D.Th), UKDW Yogyakarta, 2017.

32

Anda mungkin juga menyukai