Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR

AGAMA DAN MASYARAKAT

OLEH
KELOMPOK 3 KELAS A2

Alfarel Huzri 2111211050


Dinda Azati 2111212054
Gabriela Elvira 2111212022
Mufidah Rona 2111212023
Nabila Westi Khofifah 2111213022
Nadia Intan 2111213049
Septiawan Zalukhu 2111212033
Suci Khairunnisa 2111213003
Syahkila Ayurin Amalia 2111213020
Syifa Urrahmah 2111212070
Vania Nabila Ferdin 2111212037
Viana Rahim 2111212046
Yorie Anggraini 2111213044
Zahra Malika Ilmi 2111213032

DOSEN PENGAMPU
Septia Pristi Rahmah, SKM, MKM

PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat dan
karunia – Nya, kami dapat menyusun makalah ini dalam rangka memenuhi tugas kelompok
untuk mata kuliah Ilmu Sosial Dasar dengan judul “Agama dan Masyarakat”.

Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pengampu mata kuliah Ilmu Sosial Dasar
yaitu Ibu Septia Pristi Rahmah, SKM, MKM yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami berharap makalah ini dapat berguna untuk menambah wawasan serta pengetahuan kita
mengenai agama dan masyarakat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna dan masih memiliki banyak kekurangan di dalamnya.

Mengingat masih banyaknya kekurangan yang terdapat dalam makalah ini, kami
sangat mengharapkan adanya kritik ataupun saran yang bersifat membangun dari semua
pihak demi penyempurnaan dan pembelajaran dalam makalah yang kami buat di masa
mendatang.

Padang, 18 Mei 2022

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………................. i

DAFTAR ISI ……………………………………………………............................ ii

BAB I PENDAHULUAN ………………………………………............................ 1

1.1 Latar Belakang …………………………………………………………….. 1


1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………. 1
1.3 Tujuan Penulisan …………………………………………………………... 2

BAB II PEMBAHASAN ………………………………………............................. 3

2.1 Pengertian dan Macam – Macam Agama ..................................................... 3


2.2 Sejarah Adanya Agama ................................................................................ 4
2.3 Pengertian dan Macam – Macam Masyarakat ………....………………….. 8
2.4 Sejarah Adanya atau Terbentuknya Masyarakat ………….………………. 9
2.5 Hubungan Agama dan Masyarakat ………………………...…………….... 11

BAB III PENUTUP ……………………………………………............................. 15

3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………... 15


3.2 Saran ………………………………………………………………………. 15

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………. 16

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Peran agama dalam kehidupan masyarakat sangat penting. Setiap manusia


menginginkan keselamatan, baik dalam kehidupan di dunia maupun kehidupan di akhirat
kelak. Usaha untuk mencapai cita-cita tersebut tidak boleh dianggap ringan begitu saja.
Jaminan untuk mencapai cita-cita itu dapat ditemukan dalam agama, karena agama
mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk mencapai
kebahagiaan baik di dunia maupun di akhirat. Orang berpendapat bahwa hanya manusia
agama (homo religious) yang dapat mencapai titik itu, entah itu manusia yang hidup dalam
masyarakat primitif maupun masyarakat modern.

Oleh sebab itu, setiap orang baik yang berstatus social tinggi atau berstatus sosial
rendah dapat menemukan kesukaran dalam berbagai bentuk. Hanya satu yang mungkin sama-
sama diinginkan, yaitu ketenangan jiwa. Ketenangan jiwa ini dibutuhkan bagi setiap orang,
baik di desa maupun di kota, baik kaya maupun miskin.

Agama adalah sebuah kepercayaan yang dipegang teguh oleh sekelompok orang yang
biasanya berasal dan selalu turun-temurun yang menciptakan suatu kelompok yang percaya
akan kekuatan gaib dan kepercayaan itu juga berisi aturan-aturan yang dapat mengikat dan
juga menjadi pedoman bagi penganutnya yang ajaran tersebut dapat dilihat dalam bentuk
kitab suci yang dibawa oleh para rasul yang sudah dipilih tuhan untuk diajarkan kepada
manusia.

1.2 Rumusan Masalah

a. Apa pengertian dan macam – macam agama?


b. Apa sejarah adanya agama?
c. Apa pengertian dan macam – macam masyarakat?
d. Apa sejarah adanya atau terbentuknya masyarakat?
e. Apa hubungan agama dan masyarakat?

1.3 Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui pengertian dan macam – macam agama.


b. Untuk mengetahui sejarah adanya agama.

1
c. Untuk mengetahui pengertian dan macam – macam masyarakat.
d. Untuk mengetahui sejarah adanya atau terbentuknya masyarakat.
e. Untuk mengetahui hubungan agama dan masyarakat.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian dan Macam – Macam Agama

a. Pengertian Agama

Agama berasal dari bahasa sansakerta yang berarti tidak kacau, tidak pergi. Menurut
Müller, akar kata bahasa Inggris "religion", yang dalam bahasa Latin religio, awalnya
digunakan untuk yang berarti hanya "takut akan Tuhan atau dewa-dewa, merenungkan hati
hati tentang hal-hal ilahi, kesalehan".

Dalam arti teknis, kata religion (bahasa lnggris), sama dengan religie (bahasa
Belanda), din (bahasa Arab), dan agama (Bahasa Indonesia). Kemudian, baik religion (bahasa
lnggrjs) maupun religie (bahasa Belanda), kedua-duanya berasal dari bahasa induk kedua
bahasa termaksud, yaitu bahasa Latin : "relegere, to treat carefully, relegare, to bind together;
atau religare, to recover". Religi dapat juga diartikan mengumpulkan dan membaca. Agama
memang merupakan kumpuan cara-cara mengabdi kepada Tuhan, yang dibaca dari sebuah
kumpulan berbentuk kitab suci.

Dilihat dari Bahasa Sanskrit, kata agama dapat diartikan dari susunannya yaitu, a
artinya tidak, dan gama artinya pergi, jadi tidak pergi. Artinya tetap ditempat; diwarisi turun
temurun. Secara terminologis, Harun Nasution memberikan definisi- defenisi tentang agama
sebagai berikut:

1. Pengakuan adanya hubungan manusia dengan kekuatan gaib yang harus dipatuhi.
2. Pengakuan terhadap adanya kekuatan gaib yang menguasai manusia.
3. Mengikat diri pada suatu bentuk hidup yang mengandung pengakuan pada suatu sumber
yang berada di Iuar diri manusia dan yang mempengaruhi perbuatan manusia.
4. Suatu sistem tingkah laku (code of conduct) yang berasal dari kekuatan gaib.
5. Kepercayaan kepada suatu kekuatan gaib yang menimbulkan cara hidup tertentu.
6. Pengakuan terhadap adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini bersumber dari suatu
kekuatan gaib.
7. Pemujaan terhadap kekuatan gaib yang timbul dari perasaan lemah dan perasaan takut

3
terhadap kekuatan misterius yang terdapat pada alam sekitar manusia.
8. Ajaran-ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada manusia melalui seorang Rasul.

Selanjutnya Endang S. Anshari mengemukakan: “Sebagian filosof beranggapan


bahwa religion itu adalah supertitious structure of incoherent metafhisical nations; sebagian
ahli sosiologi lebih senang menyebut religion sebagai collective expression of human values;
para pengikut Karl Max mendefinisikan religion dengan the opiate of the people”.

Pengertian religion dalam arti luas, menurut "Fveryman 's Fncyclopedia"'


sebagaimana dikutip E.S. Anshari dapat didefinisikan sebagai penerimaan atas tata aturan
daripada kekuatan-kekuatan yang lebih tinggi daripada manusia itu sendiri. Selanjutnya,
Anshari juga mengutip "Vergilius Ferm" yang mengemukakan bahwa religion ialah
seperangkat makna dan kelakuan yang berasal dari individu-individu yang religious.

Sehingga, agama adalah sebuah kepercayaan yang dipegang teguh oleh sekelompok
orang yang biasanya berasal dan selalu turun-temurun yang menciptakan suatu kelompok
yang percaya akan kekuatan gaib dan kepercayaan itu juga berisi aturan-aturan yang dapat
mengikat dan juga menjadi pedoman bagi penganutnya yang ajaran tersebut dapat dilihat
dalam bentuk kitab suci yang dibawa oleh para rasul yang sudah dipilih tuhan untuk diajarkan
kepada manusia.

b. Macam – Macam Agama

Para ilmuwan mengelompokkan agama itu menjadi empat kelompok, sebagaimana


dikemukakan oleh Farichin Chumaidy, yaitu: (1) Agama-agama prasejarah, (2) Agama-
agama primitif, (3) Agama-agama kuno, dan (4) Agama-agama yang masih dianut oleh
penduduk dunia pada masa sekarang yang lebih populer dikenal dengan sebutan The World's
Living Religions.

Dalam pendapat lain, Agama ada dua (2) macam: Samawi (proses wahyu) dan Ardhi
(budaya, proses karsa dan karya manusia). Agama samawi: Islam dengan kitab suci al-
Qur’an, Yahudi dengan Kitab Suci Talmud, Kristen, dengan kitab suci Injil (al-Kitab).
Katholik kitab suci Injil (al-Kitab). Agama duniawi (Budaya) Hindu dengan kitab suci Weda,
Budha dengan kitab suci Tripitaka, Konghucu dengan Kitab suci, Si Su Wu Ching.

2.2 Sejarah Adanya Agama

a. Pengertian Agama

4
Agama merupakan sesuatu yang tetap selalu dan akan ada di dalam kehidupan
manusia, baik kapan juga dimanapun, sekalipun tampilannya tidak begitu jelas. Fakta
memperlihatkan bahwa agama merupakan sumber sekaligus kerangka peradaban manusia.
Hingga sekarang agama telah dipelajari oleh berbagai disiplin ilmu, terutama oleh Studi
agama – agama yang berusaha melakukan sistematisasi dan penyusunan pengetahuan tentang
agama – agama yang sangat banyak dan beragam.

Definisi paling umum agama menunjuk pada sebuah "keyakinan atau pemujaan
terhadap Tuhan atau dewa" atau "pemujaan terhadap Tuhan atau sesuatu yang dianggap
supernatural" atau "relasi manusia dengan sesuatu yang dianggap suci, spiritual, dan Ilahi."
Agama merupakan hubungan atau ikatan antara manusia dengan Tuhan, dewa, atau spirit.

b. Asal – Usul Agama

Asal – usul agama bisa dilihat dari dua perspektif, perspektif teori revelasi dan
perspektif teori evolusi. Para pemeluk agama – agama besar dunia cenderung memandang
agama dari perspektif teori revelasi atau wahyu dan mendefinisikannya sebagai prinsip, nilai
– nilai, dan perintah yang diwahyukan Tuhan. Sebaliknya, sebagian besar sarjana barat
modem penekun Studi Agama menjelaskan asal – usul agama berdasarkan perspektif teori
evolusi atau perkembangan dan berusaha menguraikannya berdasarkan ilmu yang berbeda-
beda: antropologi, sosiologi, psikologi atau lainnya. Pemikiran modem mengasumsikan
kemanusiaan sebagai sebuah gerakan menuju sesuatu yang lebih. baik. Gerakan tersebut tidak
dapat dicegah atau dibalikkan. Menurut teori evolusi, kemanusiaan telah berlangsung melalui
beberapa tingkatan perkembangan intelektual. Didasarkan pada teori tersebut, para sarjana
Barat mempelajari dan membahas agama sebagai sebuah organisme seperti halnya dunia
fisika. Memang, kontribusi paham evolusionisme terhadap kelahiran Studi Agama-agama
begitu besar sehingga dikatakan bahwa "Darwinism makes it possible".

Para antropolog generasi awal memusatkan perhatian pada masalah asal-usul agama
dan mereka sampai pada kesimpulan yang berbeda-beda. J. G. Frazer (1854- 1941),7
misalnya, menyatakan bahwa asal-usul agama adalah magi, sementara menurut E.B. Tylor
(1832-1917)8 adalah animisme, dan Wilhelm Schmidt (1868-1954) mengemukakan adanya
paham monoteisme asli. Antropolog lainnya berpendapat bahwa asal-usul agama adalah
paham pre-animisme, totemisme, fetisisme, atau politeisme.

c. Asal – Usul Agama Primitif

5
Koentjaraningrat berpendapat, bahwa minimal ada 6 (enam) teori yang terpenting
tentang asal-usul agama, antara lain sebagaimana dipaparkan di bawah ini:

1. Teori Jiwa

Edward B. Tylor (1832-1917), ia merupakan scorang ahli antropologi asal Inggris,


yang pertama kali menggagas teori ini, dalam buku fenomenalnya yang berjudul “Primitive
Culture” (1873). Tylor menyatakan bahwa kesadaran manusia mengenai faham jiwa
disebabkan adanya dua hal:

a. Perbedaan meyikapi hal-hal yang hidup juga mati. Makhluk pada suatu saat bergerak
disebut hidup dan pada saat tidak bergerak dalam artian mati. Dengan perkembangan dan
perluasan wawasan penentahuan manusia memahami bahwa adanya pergerakan dan hidup
terebut dikarenakan adanya jiwa, ayng merupakan kekuatan atau power dalam bagian luar
tubuh manusia.

b. Keadaan mimpi, dalam mimpi setiap manusia memperhatikan keadan dirinya bukan
tempat tidunya, melainkan di suatu tempat yang lain. Dengan demikian manusia mengetahui
bahwa adanya perbedaan di antara tubuhnya yang sedang terbaring tidur di tempat tidur
dengan tubuh yan berada di tempat lain.

2. Teori Batas Akal

Teori, ini dimunculkan oleh James G. Frazer (-1854-1941-), scorang antropolog


Inggris yang terkemuka, dalam bukunya The Golden Bough, A Shudy in Magic and Religion
(1890). Frazer menyatakan bahwa manusia, memecahkan persoalan hidupnya,dengan akal
serta pengetahuannya, namun akal dan pengetahuan, tersebut terbatas. Dengan demikian,
makin maju peradaban dan kebudayaan manusia lantas akan makin luaslah batas akal
tersebut. Akan tetapi dalam banyak kebudayaan batas akal manusia tersebut sangat sempit.
Olch karena itu berbagai persoalan kehidupa yang tidak terpecahkan dengan akal, maka
sepatutnya haruslah dipecahkan melalui ilmu gaib. Ilmu gaib merupakan segala perbuatan
manusia, termasuk abstraksi, dari perbuatan, untuk mencapai suatu maksud melalui kekuatan
yang ada di alam serta seluruh kompleks perbuatan di belakangnya.

Awal mulanya ilmu gaib digunakan manusia hanya sebatas untuk memecahkan
berbagai problematika kehidupan di luar batas ilmu pengetahuan dan kemampuan akal. Yakni
pada saat agama belum ada dalam kebudayaan manusia. Hingga akhirnya terbukti bahwa
ilmu gaib gagal dalam menyelesaikan problematika tersebut, maka manusiapun mulai

6
percaya bahwa alam dikuasai oleh makhluk halus yang lebih berkuasa. Lantas manusipun
berupaya mempelajari dan mengkaji hubungan dengan makhluk halus. Sehingga akhirnya
muncullah istilah agama.

3. Teori Masa Krisis

M. Crawley dan A van Gennep merupakan dua tokoh yang secara terpisah
memprakarsai teori ini, masing- masing dalam bukunya Tree of Life olhe M. Charley, juga
dalam bukunya Riter de Passages oleh Avan Gennep.

Menurut mereka berdua, dalam waktu manusia hidup, terdapat masa kemungkinan
hadirnya sakit dan mati bahkan sangat besar terjadi, seperti halnya pada masa kanaknya,
masa peralihan pemuda ke dewasa, masa hamil, masa kelahiran dan sebagainya. Lantas
menghadapi masa krisis tersebut manusia melakukan berbagai perbuatan guna memperteguh
keimanan dan memperkuat dirinya. Berbagai kegiatan serupajuga seperti upacara yang
dilakukan pada masa- masa krisis,

4. Teori Kekuatan Luar Biasa

R.R. Marett, seorang antropolog asal Inggris, dalam bukunya The Threshold of
Religion pertama kali memperkenalkan teori ini. la sangat mengecam teori yang diajukan
Tylor, yakni teori jiwa yang terkenal dengan istilah animisme. Lebih lanjut Marett
berpendapat bahwa mengakui akan adanya jiwa schingga menjadi makhluk halus adalah
suatu hal yang terlalu kompleks bagi manusia primitif. Maka dengan itu Marett mengajukan
pendapatnya yang baru, yakni pangkal dan segala kegiatan agama adalah timbul dikarenakan
adanya perasaan yang rendah menghadapi gejala dan peristiwa alam yang diasumsikan
sebagai hal yang luar biasa dalam kehidupan manusia.

5. Teori Sentimen Kemasyarakatan

Teori ini berasal dari Emile Durkheinm seorang filsuf dan sosiolog asal dari Prancis.
Durkheim berpendapat bahwa sentimen kemasyarakatan atau emosi keagamaan adalah inti
utama dari agama. Sementara itu, tiga lainnya, kesadaran akan adanya obyek keramat
(sacred) dan tidak keramat (profane), kontraksı masyarakat, serta totem sebagai lambang
masyarakat, dimaksudkan untuk menjaga inti agama. Ketiganya akan melaksanakan upacara
kepercayaan serta mitologi, dan kemudian akan menentukan bentuk lahirnya agama pada
suatu masyarakat.

7
6. Teori Firman Tuhan

Wilhelm Schmidt seorang antropolog Australia pada mulanya mengenalkan teori ini,
namun sebelumnya scorang sastrawan Inggris Andrew Lang dalam bukunya yang terbit pada
tahun 1898 The Making of Religion juga telah mengemukakannya lebih awal. Bahasan yang
terutama menjadi kajian Lang dalam bukunya ia menulis tentang folklore..dan mitologi suku
bangsa-suku bangsa di berbugai daerah di bumi ini.

Pada folklore juga mitologi tersebut terdapat beberapa tokoh dewa yang dianggap
sebagai dewa tertinggi juga sebagai pencipta alam serta sebagai penjaga ketertiban alam dan
kesusilaan oleh suku bangsa bersangkutan. Lang menemukan adanya bukti bahwa
kepercayaan pada dewa tertinggi itu tidak timbul akibat pengaruh agama Kristen maupun
Islam. Akan tetapi kepercayaan tersebut terkebelakangkan oleh adanya kepercayaan pada ruh
halus seperti ruh nenek moyang ataupun Dewa Alam.

2.3 Pengertian dan Macam – Macam Masyarakat

a. Pengertian Masyarakat

Pengertian Masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup secara bersama-
sama di suatu wilayah dan membentuk sebuah sistem, baik semi terbuka maupun semi
tertutup, dimana interaksi yang terjadi di dalamnya adalah antara individu-individu yang ada
di kelompok tersebut. Secara etimologis kata “masyarakat” berasal dari bahasa Arab, yaitu
“musyarak” yang artinya hubungan (interaksi).

Sehingga definisi masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang hidup bersama-
sama di suatu tempat dan saling berinteraksi dalam komunitas yang teratur. Suatu masyarakat
terbentuk karena setiap manusia menggunakan perasaan, pikiran, dan hasratnya untuk
bereaksi terhadap lingkungannya. Hal tersebut menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk
sosial yang secara kodrati saling membutuhkan satu sama lainnya. Adapun beberapa defenisi
masyarakat menurut para ahli sebagai berikut :

1. Paul B. Harton : Menurut Paul B. Harton, pengertian masyarakat adalah sekumpulan


manusia yang relatif mandiri, hidup bersama-sama dalam waktu relatif cukup lama,
mendiami suatu wilayah tertentu, memiliki kebudayaan yang sama, dan melakukan sebagian
besar kegiatan dalam kelompok manusia tersebut.

8
2. Ralp Linton : Menurut Ralp Linton, pengertian masyarakat adalah sekelompok manusia
yang hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan
menganggap diri mereka sebaga suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan
secara jelas.

3. John J. Macionis : Menurut John J. Macionis, definisi masyarakat adalah orang-orang


yang berinteraksi dalam suatu wilayah tertentu dan memiliki budaya bersama.

4. Soerjono Soekanto : Menurut Soerjono Soekanto, pengertian masyarakat adalah proses


terjadinya interaksi sosial, suatu interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi apabila tidak
memenuhi dua syarat yaitu interaksi sosial dan komunikasi.

5. Selo Sumardjan : Menurut Selo Sumardjan, pengertian masyarakat adalah orang-orang


yang hidup bersama dan menghasilkan suatu kebudayaan.

b. Macam – Macam Masyarakat

Secara umum, masyarakat dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu masyarakat primitif
dan masyarakat modern. Berikut penjelasannya:

1. Masyarakat Primitif / Sederhana : Ini adalah jenis masyarakat yang di dalamnya belum
terjadi perkembangan yang berarti dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
kehidupan mereka. Umumnya masyarakat ini masih terisolasi dan sangat jarang berinteraksi
dengan masyarakat lainnya di luar komunitas mereka. Adapun ciri-ciri masyarakat primitif/
sederhana adalah sebagai berikut; Masyarakatnya masih miskin ilmu dan harta, masih
berpatokan kepada budaya nenek moyang, menolak budaya asing di dalam komunitasnya,
pemimpinnya dipilih berdasarkan garis keturunan.

2. Masyarakat Modern : Ini adalah jenis masyarakat yang sudah mengenal ilmu
pengetahuan dan teknologi terbaru, serta menggunakannya sehari-hari. Umumnya
masyarakatnya sangat terbuka dengan hal-hal baru dan sering berinteraksi dengan masyarakat
luar. Adapun ciri-ciri masyarakat modern adalah sebagai berikut; Masyarakatnya sangat
terbuka dengan hal-hal baru, setiap individu di dalam masyarakat modern sangat menghargai
waktu, pemimpin dipilih berdasarkan kemampuannya, lebih mengandalkan logika dan
tindakan rasional, masyarakatnya terdiri dari berbagai suku dan golongan.

2.4 Sejarah Adanya atau Terbentuknya Masyarakat

a. Pengertian dari Masyarakat

9
Masyarakat merupakan kelompok manusia yang satu sama lainnya saling memiliki
hubungan dan juga saling mempengaruhi, mereka memiliki norma-norma, identitas yang
sama dan juga memiliki wilayah. Masyarakat dapat ditemukan di desa kota atau uku tertentu.

b. Proses Terbentuknya Masyarakat Menurut Gerhard Leinski

1. Pemburu dan Meramu

Pada proses yang pertama masyarakat merupakan pemburu dan juga peramu, mereka
adalah tingkat masyarakat yang paling sederhana. Mereka melakukan kegiatan memburu dan
juga meramu dengan peralatan yang sederhana. di Indonesia hingga saat ini masih ada
beberapa suku yang berkegiatan memburu dan juga meramu yang terdapat di Kalimantan,
suku tersebut yaitu: Punan Tubu dan Punan Malinau.

2. Hortikultural dan Pastoral (Pra Agraris)

Masyarakat multikultural adalah masyarakat yang menggunakan peralatan tangen


untuk mengumpulkan hasil dari pertanian. Masyarakat pastoral menggunakan peralatan untuk
mengumpulkan hewan. Masyarakat hortikultural dan pastoral ini memiliki tingkat produksi
makanan yang lebih besar daripada masyarakat yang sebelumnya karena peralatan yang
mereka gunakan. Karena hal itu jumlah populasi dari masyarakat hortikultural dan pastoral
ini mengalami kenaikan. Masyarakat pastoral tinggal di suatu tempat dengan membuat
peternakan dan masyarakat hortikultural melakukan pertanian dan mereka baru akan pindah
ke daerah lain ketika daerah yang mereka tinggali sudah tidak subur lagi. Walaupun begitu
terdapat akibat dari adanya perkembangan teknologi pada masyarakat ini, terjadinya
ketimpangan sosial akan hal hal tersebut

3. Agraris

Yang selanjutnya adalah Masyarakat agraris, Masyarakat agraris ini melakukan


kegiatan bertani atau cocok tanam dengan jumlah yang besar. Hal ini dikarenakan sudah
adanya penggabungan dari unsur lain yaitu dengan menggunakan unsur hewan atau ternak
untuk membantu kegiatan pertanian. Contohnya penggunaan kerbau untuk membajak sawah
sehingga dapat membantu mereka dalam proses penanaman padi. Mereka juga menemukan
beberapa hal lain selain bantuan bajak dari kerbau, yaitu teknik irigasi dan peralatan logam
sehingga ketika daerah yang mereka tinggali sudah tidak subur mereka tidak perlu untuk
pergi ke tempat lainnya dan mereka dapat mengembangkan daerah tersebut titik Masyarakat

10
agraris ini sudah mulai tersisihkan karena terdapat masyarakat yang baru, yaitu masyarakat
industrial.

4. Industrial

Pada masa industrial ini terdapat perubahan besar yang terjadi di masyarakat titik dik
masa ini proses pembuatan makanan pakaian dan bahan bangunan dibuat dengan
menggunakan tenaga non hewani yaitu dengan mesin. Pada masa ini terdapat teknologi-
teknologi baru yang dihasilkan seperti kereta uap, kapal uap, listrik, rerel besi dan juga
komunikasi kawat yang prosesnya dapat dilakukan dengan sangat cepat. Pada masa ini terjadi
ketimpangan sosial yang lebih parah daripada masyarakat yang sebelumnya Hal ini
disebabkan oleh adanya imperialisme yaitu adanya keinginan untuk memiliki keuntungan
yang lebih. Masyarakat industria ini lebih mudah ditemukan di daerah perkotaan.

5. Post Industrial

Pada masyarakat post industrial ini teknologi yang lebih dominan untuk digunakan
adalah komputer. Masyarakatnya berfokus pada pengelolaan dan manipulasi informasi yang
prosesnya bergantung kepada komputer dan perangkat lainnya. Teknologi utamanya mereka
gunakan untuk memproduksi, memproses, menyimpan, dan menerapkan informasi.
Masyarakat post industri juga lebih banyak yang mengembangkan soft skill dibanding
dengan hardskill mereka dan kecepatan mereka bekerja juga lebih cepat dibandingkan
masyarakat industrial.

c. Proses Terbentuknya Masyarakat Menurut Karl Marx

Karl Marx memiliki pendapat bahwa, dalam pembentukan masyarakat hal ini dipicu
dari adanya peran konflik. Dari teori yang telah dikemukakan oleh Gerhard Lenski, Karl
Marx menyimpulkan proses terbentuknya masyarakat itu dengan melewati proses
materialisme historis, dalam teori ini disampaikan bahwa masyarakat itu di setiap cara
produksinya akan menghasilkan tingkatan-tingkatan sosial masyarakat yang saling
bertentangan dan masyarakat yang selanjutnya adalah sebagai hasil antar suku masyarakat
yang lama.

d. Proses Terbentuknya Masyarakat menurut Max Weber

Teori yang disampaikan Max Weber menentang teori yang disampaikan oleh Karl
Max, karena menurutnya masyarakat itu terbentuk karena gagasan-gagasan dan cara berpikir.

11
2.5 Hubungan Agama dan Masyarakat

Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang


diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik
sebagai individu maupun kelompok. Sehingga, setiap perilaku yang diperankannya akan
terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan
sosial digerakkan oleh kekuatan dari dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama
yang menginternalisasi sebelumnya. Karena itu, Wach lebih jauh beranggapan bahwa
keagamaan yang bersifat subyektif, dapat diobjektifkan dalam pelbagai macam ungkapan,
dan ungkapan-ungkapan tersebut mempunyai struktur tertentu yang dapat dipahami.

Dalam bukunya, American Piety: The Nature of Religious Commitment, C.Y. Glock
dan R. Stark (1968: 11-19) menyebutkan lima dimensi agama. Pertama, dimensi keyakinan
yang berisikan pengharapan sambil berpegang teguh pada teologis tertentu. Kedua, dimensi
praktik agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keagamaan yang
terkandung di dalamnya. Ketiga, dimensi pengalaman keagamaan yang merujuk pada seluruh
ketrlibatan subjektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari suatu agama. Keempat,
dimensi pengetahuan agama , artinya orang beragama memiliki pengetahuan tentang
keyakinan , ritus, kitab suci, dan tradisi. Kelima, dimensi konsekuensi yang mengacu kepada
identifikasi akibat-akibat keyakinan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari
hari ke hari.

Ketika mengungkap hubungan interdipendensi antara agama dan masyarakat, Wach


menunjukkan adanya pengaruh timbal-balik antara kedua faktor tersebut. Pertama, pengaruh
agama terhadap masyarakat, seperti yang terlihat dalam pembentukan, pengembangan, dan
penentuan kelompok keagamaan spsesifik yang baru. Kedua, pengaruh masyarakat terhadap
agama. Dalam hal ini, Wach memusatkan perhatiannya pada faktor-faktor sosial yang
memberikan nuansa dan keragaman perasaaan serta sikap keagamaan yang terdapat dalam
suatu lingkungan atau kelompok sosial tertentu.

Pada dasarnya dimensi esoterik dari suatu agama atau kepercayaan itu tidak bisa
berdiri sendiri, tetapi berkaitan dengan dimensi lain di luar dirinya. Selain dibentuk oleh
substansi ajarannya, dimensi ini juga dipengaruhi oleh struktur sosial dimana suatu keyakinan
itu dimanivestasikan oleh para pemeluknya. Sehingga dalam konteks tertentu, di satu sisi,
agama juga dapat beradaptasi, dan pada sisi yang berbeda dapat berfungsi sebagai alat
legitimasi dari proses perubahan yang terjadi di sekitar kehidupan para pemeluknya.

12
Sejalan dengan pemikiran di atas, Peter L. Berger (1991) melihat relasi manusia dan
masyarakat secara dialektis. Berger memberikan alternatif terhadap determinisme yang
menganggap individu semata-mata dibentuk oleh struktur sosial dan tidak mempunyai peran
dalam pembentukan struktur sosial. Ia menolak kausalitas sepihak. Dengan pandangan ini,
Berger ingin memperlihatkan bahwa manusia dapat mengubah struktur sosial, dan manusia
pun akan selalu dipengaruhi bahkan dibentuk oleh institusi sosialnya.

Selanjutnya, Berger mengatakan bahwa hubungan manusia dengan masyarakat


merupakan suatu proses dialektis yang terdiri atas tiga momen: eksternalisasi, objektivasi,
dan internalisasi. Melalui eksternalisasi, manusia mengekspresikan dirinya dengan
membangun dunianya. Melalui eksternalisasi ini, masyarakat menjadi kenyataan buatan
manusia. Kenyataan menjadi realitas objektif, kenyataan yang berpisah dari manusia dan
berhadapan dengan manusia. Proses ini disebut objektivasi. Masyarakat, dengan segala
pranata sosialnya, akan mempengaruhi bahkan membentuk prilaku manusia. Dari sudut ini,
dapat dikatakan bahwa masyarakat diserap kembali oleh manusia melalui proses internalisasi.

Kaitan agama dengan masyarakat banyak dibuktikan oleh pengetahuan agama yang
meliputi penulisan sejarah dan figur nabi dalam mengubah kehidupan sosial, argumentasi
rasional tentang arti dan hakikat kehidupan, tentang Tuhan dan kesadaran akan maut
menimbulkan relegi, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa sampai pada pengalaman agamanya
para tasauf. Bukti di atas sampai pada pendapat bahwa agama merupakan tempat mencari
makna hidup yang final dan ultimate. Kemudian, pada urutannya agama yang diyakininya
merupakan sumber motivasi tindakan individu dalam hubungan sosialnya, dan kembali
kepada konsep hubungan agama dengan masyarakat, di mana pengalaman keagamaan akan
terefleksikan pada tindakan sosial, dan individu dengan masyarakat seharusnyalah tidak
bersifat antagonis.

Agama sebagai suatu sistem mencakup individu dan masyarakat, seperti adanya
emosi keagamaan, keyakinan terhadap sifat faham, ritus, dan upacara, serta umat atau
kesatuan sosial yang terikat terhadap agamanya. Agama dan masyarakat dapat pula
diwujudkan dalam sistem simbol yang memantapkan peranan dan motivasi manusianya,
kemudian terstrukturnya mengenai hukum dan ketentuan yang berlaku umum, seperti
banyaknya pendapat agama tentang kehidupan dunia seperti masalah keluarga, bernegara,
konsumsi, produksi, hari libur, prinsip waris, dan sebagainya. Dalam hal ini, hubungan antara
manusia dengan agama dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

13
a. Fitrah terhadap Agama

Dalam masyarakat sederhana banyak peristiwa yang terjadi dan berlangsung di sekitar
manusia dan di dalam diri manusia, tetapi tidak dapat dipahami oleh mereka. Yang tidak
dipahami itu dimasukkan ke dalam kategori gaib. Karena banyak hal atau peristiwa gaib ini
menurut pendapat mereka, mereka merasakan hidup dan kehidupan penuh kegaiban.
Menghadapi peristiwa gaib ini mereka merasa lemah tidak berdaya. Untuk menguatkan diri,
mereka mencari perlindungan pada kekuatan yang menurut anggapan mereka menguasai
alam gaib yaitu Dewa atau Tuhan. Karena itu hubungan mereka dengan para Dewa atau
Tuhan menjadi akrab. Keakraban hubungan dengan Dewa-Dewa atau Tuhan itu terjalin
dalam berbagai segi kehidupan: sosial, ekonomi, kesenian dan sebagainya. Kepercayaan dan
sistem hubungan manusia dengan para Dewa atau Tuhan ini membentuk sistem agama.
Karena itu, dalam masyarakat sederhana mempunyai hubungan erat dalam agama. Gmbaran
ini berlaku di seluruh dunia.

Kenyataan ditemukannya berbagai macam agama dalam masyarakat sejak dahulu


hingga kini membuktikan bahwa hidup di bawah sistem keyakinan adalah tabiat yang merata
pada manusia. Tabiat ini telah ada sejak manusia lahir sehingga tak ada pertentangan sedikit
pun dari seseorang yang tumbuh dewasa dalam sebuah sistem kehidupan. Agama-agama
yang berbeda-beda tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat tersebut.

b. Pencarian Manusia terhadap Agama

Akal yang sempurna akan senantiasa menuntut kepuasan berpikir. Oleh karena itu,
pencarian manusia terhadap kebenaran agama tak pernah lepas dari muka bumi ini.
Penyimpangan dari sebuah ajaran agama dalam sejarah kehidupan manusia dapat diketahui
pada akhirnya oleh pemenuhan kepuasan berpikir manusia yang hidup kemudian. Nabi
Ibrahim a.s. dikisahkan sangat tidak puas menyaksikan bagaimana manusia mempertuhankan
benda-benda mati di alam ini seperti patung, matahari, bulan, dan bintang.

c. Konsistensi Keagamaan

Manusia diciptakan dengan hati nurani yang sepenuhnya mampu mengatakan realitas
secara benar dan apa adanya. Namun, manusia juga memiliki ketrampilan kejiwaan lain yang
dapat menutupi apa-apa yang terlintas dalam hati nuraninya, yaitu sifat berpura-pura.
Meskipun demikian seseorang berpura-pura hanya dalam situasi tertentu yang sifatnya
temporal atau aksidental. Tiada keberpura-puraan yang permanen dan esensial. Sikap

14
konsisten seseorang terhadap agamanya terletak pada pengakuan hati nuraninya terhadap
agama yang dipeluknya. Konsistensi ini akan membekas pada seluruh aspek kehidupannya
membentuk sebuah pandangan hidup. Namun membentuk sikap konsistensi, juga bukanlah
persoalan yang mudah.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial
tertentu. Ia berkaitan dengan pengalaman manusia, baik sebagai individu maupun kelompok.
Sehingga, setiap perilaku yang diperankannya akan terkait dengan sistem keyakinan dari
ajaran agama yang dianutnya. Perilaku individu dan sosial digerakkan oleh kekuatan dari
dalam yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran agama yang menginternalisasi sebelumnya.

Agama sebagai suatu sistem mencakup individu dan masyarakat, seperti adanya
emosi keagamaan, keyakinan terhadap sifat faham, ritus, dan upacara, serta umat atau
kesatuan sosial yang terikat terhadap agamanya. Agama dan masyarakat dapat pula
diwujudkan dalam sistem simbol yang memantapkan peranan dan motivasi manusianya,
kemudian terstrukturnya mengenai hukum dan ketentuan yang berlaku umum, seperti
banyaknya pendapat agama tentang kehidupan dunia seperti masalah keluarga, bernegara,
konsumsi, produksi, hari libur, prinsip waris, dan sebagainya.

3.2 Saran

Kami sebagai penulis tentunya menyadari jika makalah di atas masih jauh dari
kesempurnaan baik dari tulisan ataupun bahasan kami. Oleh karena itu, kami selalu membuka
diri untuk menerima kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan dan penyempurnaan
dalam pembuatan makalah berikutnya.

15
DAFTAR PUSTAKA

Sodikin, R. A. (2003). Konsep agama dan islam. Al Qalam, 20(97), 1-20.

Rosyada, D. Pengertian Agama.

https://www.maxmanroe.com/vid/sosial/pengertian-masyarakat.html

Yusuf, W. M. (2013) Sosiologi agama, Sosiologi agama.

Fitriani. 2020. “Sejarah Agama-Agama.” Materi Perkuliahan 9–14.

16

Anda mungkin juga menyukai