Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah swt. atas rahmat, hidayah dan
taufik-Nya yang telah dilimpahkan kepada kami sehingga makalah ini dapat rampung
dalam bentuk yang sederhana. Shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepada Nabi
Muhammad saw. sang revolusioner sejati, pembawa rahmat yang mengantar dari alam
biadab menuju alam beradab, dan semoga kita semua menjadi pengikutnya yang setia
dalam ajarannya.
Segala telah dilakukan dalam rangka menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Namun, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini tidak luput dari kekurangan.
Akan tetapi, kami tidak pernah menyerah karena kami yakin ada Allah swt. yang
senantiasa mengirimkan bantuan-Nya dan dukungan dari segala pihak. Semoga Allah swt
selalu merahmati kita semua dan menghimpun kita dalam hidayah -Nya.
Semoga Makalah ini bisa menambah pengetahuan bagi yang membacanya dan
C. Tujuan Makalah............................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 3
A. Kesimpulan........................................................................ 10
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada mulanya, sebelum abad 16 usaha-usaha "kesejahteraan sosial" dilakukan
kelompok keagamaan. Usaha-usaha "kesejahteraan" yang dilakukan pada umumnya
merupakan pelayanan "sosial" yang bersifat amal. keberagaman agama dalam praktek
pekerjaan "sosial" (spiritual diversity in "social" work practice: the heart of helping),
bahwa setiap agama (Budha, Hindu, Islam, Konghucu. Kristen dan Yahudi) memiliki
kepercayaan dan nilai dasar yang berimplikasi pada penerapan atau praktik kerja "sosial".
Sebagaimana yang dituliskan Canda dan Furman dalam bukunya. Pada Abad 13-18,
pemerintah Inggris beberapa peraturan perundangan untuk menangani masalah
kemiskinan. Undang-undang kemiskinan yang dikeluarkan Ratu Elizabeth (Elizabethan
Poor Law), merupakan salah satu undang-undang yang paling terkenal saat itu. Undang-
undang tersebut dianggap sebagai cikal bakal intervensi pemerintah terhadap
"kesejahteraan" warga negaranya karena usaha "kesejahteraan sosial" sebelumnya lebih
banyak dilakukan kelompok keagamaan, seperti pihak gereja. Usaha-usaha
"kesejahteraan sosial" pada dasarnya berasal dari nilai-nilai humanitarianisme yang
percaya bahwa kondisi kemiskinan yang terjadi di masyarakat adalah sesuatu yang tidak
seharusnya terjadi. Kemudian muncul kelompok-kelompok (relawan) yang
mengupayakan pengembangan usaha "kesejahteraan sosial" untuk memperbaiki kondisi
tersebut. Usaha "kesejahteraan sosial" yang dilakukan oleh relawan yang didasari
semangat filantropis selanjutnya berkembang menjadi lebih terarah dan terorganisir.
Organisasi para relawan inilah yang kemudian mendorong terciptanya beragam
usaha "kesejahteraan sosial". Karena itu, baik di Inggris maupun Amerika, sejarah
pekerjaan "sosial" sangat terkait dengan para relawan dan organisasi para relawan. Tahun
1869, organisasi relawan bernama COS (Charity Organization Society) didirikan di
London, Inggris. Perkembangan organisasi relawan di Inggris berpengaruh pula terhadap
perkembangan organisasi relawan di Amerika. Organisasi relawan tersebut
dikembangkan untuk menggalang dan mengkoordinasikan bantuan dana dan material dari
berbagai gereja serta kurang lebih 100 lembaga amal. Tahun 1877. COS kemudian di
kembangkan di Buffalo, New York. Dalam jangka waktu 10 tahun kemudian, terbentuk
25 organisasi "sosial" di Amerika Serikat. Berkembangnya berbagai COS di Amerika,
membuat para relawan aktif yang terlibat di dalamnya merasa perlu lebih memahami
materi yang berhubungan dengan perilaku individu, serta permasalahan "sosial" dan
ekonomi. Karena itu, Mary Richmond, seorang praktisi pekerjaan "sosial", berencana
untuk mengembangkan Sekolah Platihan Filantropi Terapan. Lembaga ini menjadi cikal
bakal kelas pekerjaan "sosial" di New York pada tahun 1898. Perluasan pokok bahasan
dalam sejarah perkembangan bidang pekerjaan "sosial" telah memunculkan suatu kajian
"kesejahteraan sosial" yang lebih luas. Munculnya kajian "kesejahteraan sosial" ini
kemudian mendorong terbentuknya disiplin baru bernama "ilmu kesejahteraan sosial".
Seiring dengan perkembangan filantropi, filantropi tidak lagi hanya berkaitan
dengan penyediaan bantuan kepada yang membutuhkan. Selama abad ke-19, ketika
kegiatan amal berkembang dengan cepat di Eropa dan Amerika utara, beberapa
pemimpin filantropis berusaha membawa isu reformasi "sosial" dan peningkatan kondisi
"sosial". Para pemimpin, yang sering berhubungan baik dengan anggota kelas menengah
atas, berusaha untuk menggunakan pengaruh mereka untuk menjaring dukungan dari para
pemimpin politik dan bisnis. Mereka menggunakan koneksi yang mereka miliki untuk
membujuk pemerintah agar memperkenalkan layanan "sosial" yang baru, membuat
undang-undang yang mencegah eksploitasi dan diskriminasi, atau untuk tindakan
perlindungan terhadap kelompok rentan.
B. RUMUSAN MASALAH
1) Apa Pengertian Kesejahteraan Sosial?
2) Apa Tujuan Kesejahteraan Sosial?
3) Apa saja Implikasi Kesejahteraan Sosial?
4) Apa Undang-undang Kesejahteraan Sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
8. Walter Friedlander:
9. Elizabeth Wickenden:
Jadi, kesejahteraan sosial adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
atau lembaga sosial dan telah terencana secara profesional demi menciptakan individu
atau masyarakat yang terpenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan selanjutnya
masyarakat atau individu itu dapat mengatasi masalah sosialnya sendiri. Kesejahteraan
sosial tidak bisa ditangani sepihak dan tanpa teroganisir secara jelas kondisi sosial yang
dialami masyarakat. Perubahan sosial yang secara dinamis menyebabkan penanganan
masalah sosial ini harus direncanakan dengan matang dan berkesinambungan karena
masalah sosial akan selalu ada dan muncul selama pemerintahan masih berjalan dan
kehidupan manusia masih ada.
a) Konsep pelayanan sosial (bidang praktik pekerjaan sosial), yaitu semua aktivitas
yang sangat luas, mulai dari perundang-undangan sosial sampai kepada tindakan
langsung pemberian bantuan.
b) Konsep kesejahteraan sosial berbeda dengan kesejahteraan; terpenuhinya
kebutuhan sosial (kesejahteraan sosial sebagai suatu keadaan) menjadi dasar bagi
terciptanya "kesejahteraan" (sebagai keadaan yang baik dalam semua aspek
kehidupan manusia).
c) Pada tingkat masyarakat, kesejahteraan sosial berarti terdapatnya ketertiban
sosial (social order) yang lebih baik.
Berdasarkan definisi tersebut, terlihat bahwa yang dimaksud dengan sejahtera itu
tidak hanya terpenuhinya kebutuhan fisik dan mental (spiritual saja), tetapi juga
terpenuhinya kebutuhan sosial dari anggota masyarakat. Akan tetapi jika ditelaah lebih
mendalam lagi, kebutuhan sosial itu lebih kepada bagaimana seorang individu berfungsi
secara sosial, keberfungsian sosial ini dapat diartikan secara sederhana adalah
kemampuan seseorang untuk menjalin hubungan dengan manusia lainnya. Dengan
demikian, hubungan antar manusia inilah yang menjadi fokus dari pekerjaan sosial
maupun kesejahteraan sosial. Skidmore and Thackeray (1988:21) menyatakan; "all
profession take cognizance of the wholeness of individuals. However, because life is
complex and science is specialized, each profession must confine itself to some aspect of
human functioning as a focus of its efforts and activities"
Kesejahteraan sosial dapat tercapai jika ada institusi yang akan berupaya untuk
mencapai tujuan tersebut. Ada tiga pendekatan dalam mengidentifikasi kesejahteraan
sosial dengan menggunakan institusi, yaitu
Hubungan yang erat antara pembangunan sosial dan kesejahteraan sosial sebagai
suatu keadaan, menjadikan keduanya tidak akan terlepas dari pembangunan ekonomi.
Kolaborasi antara pembangunan sosial (dalam hal ini sebagai pembangunan kesejah-
teraan sosial) dengan pembangunan ekonomi akan memperlihatkan sebuah negara apakah
termasuk negara sejahtera atau negara tidak sejahtera. Menurut Hill (1996), ia
mengkategorikan negara-negara menjadi empat kategori yang didasarkan pada tingkat
pembangunan. ekonomi yang dilihat dari Gross Domestic Product (GDP) dan tingkat
pembangunan sosial yang dilihat dari persentase pengeluaran negara untuk pembangunan
sosial terhadap GDP.
Kita fokus pada awal tulisan ini tentang penganggaran yang perlu memperoleh
perhatian dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Dari segi anggaran
penyelenggaraan kesejahteraan sosial perlu didukung oleh anggaran yang memadai.
Sebab hingga kini masalah yang bersangkutan dengan manusia yang kehilangan fungsi
sosialnya sehingga mereka perlu memperoleh pertolongan luar biasa banyak. Tetapi
penanggulangannya tidak bisa terselenggara dengan baik. Berapa banyak orang miskin
yang kesulitan pangan, sandang, perumahan layak, pendidikan, kesehatan serta
kebutuhan dasar lain?? Berapa banyak orang yang mengalami psikotik yang telantar di
jalan, dalam keluarga? Berapa banyak keluarga yang bermasalah dengan dampak
kekerasan kepada anak atau anak-anak mereka yang tidak tertolong dengan tuntas?
Berapa banyak lanjut usia telantar yang terlunta tanpa jaminan antara lain dari keluarga
atau sanak lainnya, sebab bagaimana mereka mau membantu sedangkan mereka sendiri
membutuhkan bantuan?
Bagaimana anak jalanan bisa berkurang dan kembali ke keluarga atau mulai
menapaki sekolah yang sempat terputus atau belum pernah mereka alami sejak usia
sekolah? Bagaimana dengan pelayanan kepada para penyandang cacat atau difable?
Bagaimana dengan pengentasan kemiskinan melalui Program Keluarga Harapan (PKH)
yang jangkauannya belum meliputi 33 provinsi, padahal seyognya 33 provinsi memiliki
keluarga miskin, dan mereka perlu masuk dalam kegiatan PKH Akibatnya mudah
ditebak, kondisi kehidupan perorangan, keluarga, kelompok, masyarakat yang mengalami
masalah tidak pernah dapat melaksanakan kehidupan mereka dengan baik.
Kita masygul juga, seakan tidak atau belum ada standar yang disepakai
pemerintah dan DPR RI atas besarnya dana APBN untuk membiayai masalah
kesejahteraan sosial. Berapa jumlah anggaran ideal dalam APIN setiap tahun untuk
kesejahteraan sosial? Pemerintah dan DPR RI perlu terbuka hati untuk menetapkan
standar yang ideal dengan landasan permasalahan sosial yang ada dalam masyarakat
Membandingkan dengan bidang pendidikan yang ditetapkan anggaran ideal setidaknya
20 persen dari APBN.
A. KESIMPULAN
Definisi kesejahteraan sosial tentunya sangatlah beragam, namun pada intinya
seluruh definisi kesejahteraan sosial tersebut merujuk pada keberfungsian sosial yang
terjadi dalam upaya untuk dapat meningkatkan kebutuhan dalam masyarakat.
Salah satu definisi yang juga tidaklah jauh berbeda dengan defisini kesejahteraan
sosial yang telah dijelaskan diatas adalah definisi kesejateraan sosial menurut UU No.6
Tahun 1974 Pasal 2 Ayat 1 yang diperbaharui dalam UU No.11 Tahun 2009 yang dikutip
oleh Fahrudin (2012: 10) adalah sebagai berikut :