Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u,


qiraa’atan, atauqur’anan yang berarti mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-
dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat), Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang
diturunkan kepada Rasul Muhammad. Dan menurut para ulama klasik, Alquran sumber
agama (juga ajaran) Islam pertama dan utama yang memuat firman-firman (wahyu) Allah,
sama benar dengan yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad sebagai
Rasul Allah sedikit demi sediki selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, dari Mekah ke Medinah.
Tiada bacaan melebihi Al-qur’an yang dibaca oleh ratusan juta orang yang tidak
mengerti artinya dan atau tidak dapat menulis dengan aksaranya.bahkan dihafal huruf demi
huruf oleh orang dewasa ,remaja atau anak-anak
Alquran adalah pedoman hidup, petunjuk, pembawa kabar gembira, ancaman, dan
segala aturan- aturan hidup manusia yang harus kita baca, pahami, dan kita amalkan.
Seiring dengan perkembangan zaman dan banyaknya fenomena yang perlu kita
ketahui yang   tersirat dalam Alquran dengan tujuan untuk kemaslahatan umat, maka kami
mengambil tema tentang Sejarah Penyempurnaan Alquran setelah masa Nabi Muhammad
SAW.
Berangkat dari pemahaman bahwa ayat-ayat al-quran merupakan petunjuk bagi
manusia, maka kami membuat makalah ini sebagai  salah satu wasilah  dalam upaya menjaga
kemurnian alquran dengan cara memahami sejarah penulisan Al-qur’an yang benar dan
autentik agar tidak ada keraguan untuk mengunakan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

2. Rumusan Masalah

Dari uraian diatas penulis dapat merumuskan masalah sebagai berikut:


a. Bagaimana Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad SAW?
b. Bagaimana Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Sahabat?
c. Bagaimana Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Setelah Sahabat?

3. Tujuan penulisan

Untuk mengetahui penulisan dan Pembukuan Al-Qur’an pada masa Nabi


Muhammad SAW, pada masa Sahabat dan pada masa Setelah Sahabat.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Nabi Muhammad SAW

Ayat-ayat al-Qur’an diturunkan kepada Nabi, kemudian beliau menghafalnya dan


membacakannya kepada sahabat serta menyuruh mereka menghafalnya dan menyuruh
para penulis wahyu untuk dapat menuliskannya. Pada tiap kali turun ayat, Nabi
menerangkan tempat meletakkan ayat itu. Dalam hal ini Nabi katakan umpamanya,
“Letakkan ayat ini sesudah ayat itu”. Kemudian kalau ayat al-Qur’an yang diturunkan
itu telah cukup satu surat, maka Nabi SAW memberikan nama kepada surat itu.
Sejarah mencatat bahwa pada masa awal-awal kehadiran agama Islam, bangsa arab
tergolong kepada bangsa yang buta aksara. Kalaupun ada yang bisa baca dan tulis, itu
hanya beberapa orang saja yang dapat dihitung dengan jari tangan.

Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa di kalangan para sahabat terdapat banyak


yang menghafal Al-Qur’an, di antara mereka banyak pula yang menulisnya. Ketika
Rasul masih hidup, Al-Qur’an belum dikumpulkan di dalam mushaf (sebuah buku
yang berjilid) yang kita lihat sekarang. Hal ini adalah disebabkan karena kertas pada
waktu itu belum ada. Para sahabat di masa Nabi SAW menulis Al-Qur’an pada
kepingan-kepingan tulang, pelepah-pelepah kurma dan pada batu-batu . Penulisan Al-
Qur’an Pada Masa Rasulullah Suatu kebiasaan Rasulullah ketika Al-Qur’an
diturunkan, maka ada dua hal yang beliau lakukan:

1).beliau lakukan adalah mengumpulkan para sahabatnya.


2).Kedua mencari sahabat yang mampu menulis di kalangan mereka dan
menugaskannya menulis ayat yang disampaikan itu untuk disimpan di rumah Rasul
SAW. Sahabat yang tidak ditugaskan Rasul SAW, menulis wahyu untuk beliau tetapi
merasa mampu menulis, maka mereka menulis wahyu untuk diri mereka pribadi.
Sahabat yang tidak pandai menulis memadakan hafalannya.

Beliau memerintahkan para sahabat yang dipercayainya sebagai penulis wahyu


untuk menuliskan wahyu yang turun kepada Rasullulah di atas pelepah kurma,
lempengan batu, daun lontar, kulit kayu, dan tulang belulang hewan. Semua ayat yang
turun ditulis teratur seperti yang Allah wahyukan, tetapi semua wahyu tersebut belum
terhimpun dalam satu mushaf . Para penulis yang ditunjuk Rasul saw disebut
Kuttabal-Wahyi. Tulisan pada setiap wahyu yang disampaikan Rasul saw terbagi ke
dalam 3 kelompok, yaitu:

a). Tulisan yang disimpan dirumah Rasul saw


b). Catatan Kuttab al-Wahyi yang disimpan dirumah masing-masing

2
c). Catatan yang ditulis oleh sahabat yang tidak digolongkan sebagai Kuttab al-Wahyi
yang juga disimpan dirumahmasing-masing. Kuttabal-Wahyi yang ditunjuk oleh
Rasul SAW yang terpopuler adalah:

1. Abu Bakar As-Shiddiq


2. Umar bin Khattab
3. Usman bin Affan
4. Ali bin Abi Thalib
5. Zaid bin Tsabit: Paling banyak menulis wahyu untuk Rasul.
6. Ubai bin Ka’ab : Suku Anshar di Kota Madinah
7. Mu’awiyah bin Abi Sufyan
8. Khalid Ibnal-Walid
9. Aban bin Sa’id
10. Sabit bin Qais

Untuk menjaga orisinalitas Al-Qur’an, Rasulullah memerintahkan para sahabat


untuk tidak menuliskan sesuatupun yang berasal dari mulut beliau kecuali Al-
Qur’an. Hal ini sangat wajar dan tepat karena tidak ada yang bisa menjamin bahwa
Hadits dan Al-Qur’an tidak bercampur aduk satu sama lainnya sehingga untuk
mencegah hal ini maka Rasullulah dengan petunjuk Allah melarang penulisan
apapun dari Rasulullah kecualiAl-Qur’an.
B. Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Sahabat.

Masa Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin KhattabSetelah Rasulullah SAW
wafat yaitu pada 12 Rabiul Awal tahun 10 Hijriah dalam usia 63 tahun. Pemerintah
dipegang oleh Abu Bakar r.a. Pada tahun pertama kepemimpinannya, bergeraklah
Musailamah al-Kazzab (si pendusta) di daerah Yamamah pada tahun 12 H ,dia
mengatakan dirinya sebagai Nabi. Setelah Abu Bakar mengetahui tindakan
Musailamah itu, Abu Bakar segera mengambil tindakan untuk memeranginya dengan
menyiapkan pasukan tentara yang terdiri dari 1000 pengendara kuda yang dipimpin
oleh Khalid ibn Walid. Dalam peperangan Yamamah tersebut, telah mati syahid
sebanyak 700 penghafal Al-qur’an. Musailamah juga mati terbunuh dalam
peperangan itu. Memperhatikan keadaan para sahabat penghafal Al-Qur’an banyak
yang mati terbunuh dalam peperangan Yamamah, maka timbullah gagasan Umar ibn
Khattab dan mengusulkan kepada khalifah Abu Bakar supaya Al-qur’an yang masih
bertaburan itu supaya dikumpulkan dan ditulis karena khawatir kalau pembunuhan
seperti ini kian meluas meliputi para penghafal Al Qur’an pada peperangan lainnya
dan akan hilanglah Al-Qur’an kalau hanya dihafal saja. Permintaan Umar bin Khatab
tersebut disetujui Abu Bakar.

Selanjutnya khalifah Abu Bakar menunjuk kepada Zaid bin Tsabit untuk menjadi
ketua panitia pengumpulan dan penulisan Al-Qur’an . Karena sebab-sebab tersebut,
Abu Bakar memerintahkan Zaid untuk menyusun Al-Qur’an atas pertimbangan
bahwa ia adalah penghafal Al-Qur’an dan sekretaris Rasulullah SAW. Pengumpulan
3
dilakukan dengan bersumber pada catatan-catatan dan hafalan, dengan dikuatkan oleh
dua saksi. Pada mulanya Zaid pun tidak mau melakukan tugas pengumpulan naskah-
naskah Al-Qur’an itu karena hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah. Malah
Zaid bin Tsabit mengatakan “andai kata ia disuruh memindahkan bukit, maka tidaklah
lebih berat daripada tugas mengumpulkan naskah-naskah al-Qur’an yang berserakan
di rumah para sahabat”. Namun karena alasan demi kelestarian Al-Qur’an itu sendiri
akhirnya Zaid bin Tsabit menerima tugas itu dan beliau zaid bin tsabit bekerja amat
teliti.

Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an itu,


khalifah Abu Bakar mengumumkan bahwa “Barangsiapa yang menyimpan atau
memiliki teks ayat Al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi supaya membawanya ke
Masjid dan menyerahkannya kepada Zaid bin Tsabit”.

Abu Bakar Berkata:

‫“ا‬Duduklah kalian di pintu masjid siapa yang datang kepada kalian membawa catatan
Al-Qur’an dengan dua saksi, maka catatlah”.

Begitu juga Umar bin Khattab berdiri di depan masjid menyeru orang yang lewat
untuk menyerahkan teks-teks itu kepada Zaid bin Tsabit. Di samping itu, ada
beberapa sahabt yang berkeliling Madinah menyerukan maksud yang sama.
Kemudian Zaid ibn Tsabit dalam rangka pemenuhan tugas ini berusaha mendatangi
orang-orang yang menghafal Al-Qur’an. Dalam pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an ini
khalifah Abu Bakar memberi arahan agar yang diterima adalah hanya yang ditulis
atau dicatat di hadapan Nabi saja. Bukan yang salinan. Begitupun sebuah teks ayat
Al-Qur’an, untuk menjaga keasliannya harus disertai dengan dua orang saksi.
Demikian pula, meskipun Zaid bin Tsabit hafal seluruh Al-Qur’an seutuhnya, dia
dilarang oleh khalifah untuk menuliskan teks baru dari hafalannya, melainkan harus
berdasarkan teks tertulis. Dari usaha tersebut terkumpullah Al-Qur’an, yaitu
pengumpulan ayat-ayat yang tertulis diatas tulang, pelepah dan kepingan batu,
kemudian disalin diatas kulit yang telah dimasak, serta disimpan dalam arsip
kenegaraan di bawah pengawasan Khalifah Abu Bakar.

pengumpulan hasil pekerjaan Zaid bin Tsabit ini belum dapat disebut mushaf
karena baru beberapa lembaran-lembaran kertas kulit yang ukurannya pun tidak sama,
Cuma ditumpuk, diikat belum dijilid dan tidak tersusun rapi. Namun, sudah lengkap
dan susunan ayat dan surahnya sudah seperti yang ditunjukkan oleh Rasulullah SAW.
Sebelum meninggal Abu Bakar berpesan dan mmepercayakan mushaf Al-Qur’an
yang disimpan sebagai arsip kenegaraan kepada Umar bin Khattab, yang kemudian
menggantikannya menjadi khalifah. Lembaran-lembaran yang di kumpulkan dalam
satu mushaf pada masa Abu Bakar memililki beberapa keistimewaan yang terpenting:

4
1. Diperoleh dari hasil penelitian yang sangat mendetail dan kemantapan yang
sempurna.
2. Yang tercatat dalam mushaf hanyalah bacaan yang pasti, tidak ada nasakh
bacaannya.
3. Ijma’ umat terhadap mushaf tersebut secara mutawatir bahwa yang tercatat adalah
ayat-ayat Al-Qur’an.
4. Mushaf mencakup qira’atussab’ah yang dinukil berdasarkan riwayat yang benar-
benar sahih.Setelah Abu Bakar wafat,Al quran tesebut dipegang oleh Khalifah
Umar dan dia menyuruh menyalin Al-Qur’an dari shuhuf-shuhuf itu ,di pindah
pada suatu shahifah(lembaran).

Kholifah Umar bin khottob bukan hanya menyimpan dan menjaga dengan
baik naskah Al-Qur’an yang dipercayakan kepadanya, tetapi juga menggiatkan
pengajaran Al-Qur’an, hingga melewati batas jazirah ke negeri-negeri sekitar yang
telah beriman, mengikuti ajaran Rasulullah. Beliau mengutus 10 orang ke Basra
untuk mengajarkan Al-Qur’an. Begitu juga Ibnu Mas’ud seorang sahabat yang
hafal Al-Qur’an untuk mengajar ke Kufah. Para sahabat yang diutus ini diberi
pesan agar mengajarkan Al-Qur’an bukan berdasarkan hafalan, tapi dari teks-teks
tertulis agar terhindar dari kealpaan terhadap hafalan.
Pada kesempatan berikutnya khalifah Umar bin Khattab juga mengirim
sejumlah sahabat untuk mengajarkan Al-Qur’an ke Suriah, Palestina, dan
Damaskus. Di tempat-tempat ini orang mengikuti pengajaran mencapai jumlah
ribuan orang. Demikian juga di tempat-tempat lain tempat-tempat yang baru
dikuasai pada zaman itu.Di ibu kota sendiri, Madinah, Umar bin
Khattabmenugasibeberapa sahabat untuk mengajarkan al-Qur’an kepada anak-
anak. Kiranya inilah juga salah satu upaya khalifah Umar bin Khattab untuk
menjaga keaslian al-Qur’an.

Setelah Umar wafat, naskah al-Qur’an disimpan pada Hafsah. Setidaknya ada
dua alasan mengapa naskah itu tidak diserahkan kepada Usman Khalifah yang
ketiga, yaitu :
1). karena Hafsah putri Umar
2). karena hafsah adalah juga istri Rasulullah saw.

Masa kholifah Usman bin Affan Selanjutnya pada masa khalifah Utsman bin
Affan, yaitu setelah beberapa tahun berjalannya pemerintahan dilakukan usaha
untuk menggerakkan para sahabat guna peninjauan kembali shuhuf-shuhuf yang
ditulis oleh Zaid ibn Tsabit. Ide ini timbul karena melihat hebatnya perselisihan
masalah qira’at pada daerah-daerah Islam yang baru dapat dikuasai. Ummat Islam
perlu diselamatkan sebelum mereka berselisih dalam Al-Qur’an.Kemudian
Utsman ibn Affan segera meminta kepada Hafsah istri Nabi agar dapat
memberikan shuhuf-shuhuf yang ada padanya untuk disalin ke dalam beberapa
mushaf dan setelah itu akan dikembalikan lagi shuhuf-shuhuf itu kepada hafsah.

5
Khalifah Utsman bin Affan menyuruh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,
Zaid bin Ash dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam menyalin dari shuhuf-
shuhuf itu ke beberapa mushaf hingga selesai, setelah itu shuhuf” pun di
kembalikan kepada hafsah.

Di masa Abu Bakar dan Umar masing-masing penulis mushaf memegang


tulisannya. Tujuan Khalifah Utsman dari penulisan kembali ke dalam mushaf
untuk menyatukan umat terhadap qira’at-qira’at yang diterima dari Nabi SAW
serta membatalkan yang lainnya. Utsman juga bermaksud supaya umat
memegangi mushaf yang telah tersusun sempurna buat menolak kerusuhan-
kerusuhan yang timbul diakibatkan karena perbedaan qira’at. Khalifah Usman
menetapkan bila terjadi perbedaan pendapat di antara qira’at, maka yang
dipedomani adalah pendapat anggota yang berasal dari suku Quraisy.

C. Penulisan/ Pembukuan Al-Qur’an Pada Masa Setelah Sahabat Nabi SAW

Mushaf Usmani yang tidak dilengkapi dengan tanda harakat dan titik untuk
membedakan bunyi konsonan yang hurufnya sama, pada mulanya tidak
bermasalah. Namun, setelah banyaknya orang ajam(bukan orang Arab) dan tidak
berbahasa Arab yang baru memeluk agama Islam, maslah kesalahan dan kesulitan
membaca timbul kembali karena mereka tidak memahami makna kata dan kalimat
dalam Al-Qur’an itu. Hal ini berlangsung hampir 40 tahun lamanya, sampai pada
suatu saaat Khalifah Muawiyah bin Abu Sofyan terkejut mengetahui Ubaidillah
(putra Ziyad bin Abihi, gubernur Basrah) malah banyak sekali melakukan
kesalahan dalam membaca. Maka khalifah meminta kepada Ziyad untuk menugasi
Abul Aswad Ad-Duali (w. 69 H), seorang pakar tata bahasa Arab untuk mengatasi
masalah ini. Ziyad langsung menyurati Abul Aswad Ad-Duali dan mengatakan:

“Orang-orang muslim non-Arab telah semakin banyak dan telah merusak bahasa
Arab, maka cobalah anda menuliskan sesuatu yang dapat memperbaiki bahasa
orang-orang itu, dan dapat membuat mereka membaca Al-Qur’an dengan benar”,
Abul Aswad Ad-Duali sendiri pada mulanya tidak mau melakukan tugas itu
karena terpengaruh oleh fatwa:

Abdullah bin Mas’ud, sahabat Rasulullah saw, dan sekaligus pakar terkemuka Al-
Qur’an yang mengatakan:

“Murnikan al-Qur’an, jangan dicampuri sesuatu apapun”.

Sampai pada suatu waktu Abul Aswad Ad-Duali mendengar seorang melafalkan
kata rosuluhu dengan lafal rosulihi yang terdapat pada ayat 3 surat at-Taubah
:
“……Annallaha bari-un minal musyrikin warosuluhu……”

6
Abul Aswad Ad-Duali sangat terkejut kalau kata rosuluhu pada ayat itu di baca
rosulihi makna ayat itu menjadi:

“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya”.

Padahal kalau kata itu dibaca dengan benar yaitu “rosuluhi”, maka makna ayat itu
adalah:

“Bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas dari orang-orang


musyrikin”.

Bacaan yang salah membuat Abul Aswad Ad-Duali merasa kaget dan terpukul
dan berseru:

“Maha Mulia Allah tidak mungkin berlepas diri dari Rasul-Nya”.

Dengan kejadian itu Abul Aswad Ad-Duali membunyikan huruf-huruf itu


dengan memberi tanda dengan satu titik (.) diatas untuk bunyi vocal (a), satu titik
dibawah untuk vocal (i) dan satu titik di depan untuk vocal (u) dan dua titik untuk
(tasydid).Yang di buat Abul Aswad Ad-Duali ini belumlah selesai karena orang
belum dapat membedakan huruf ‫ بتث‬dan ‫ ن‬juga tidak dapat membedakan ‫ جحخ‬atau
huruf ‫ صض‬Masalah ini kemudian di tangani oleh Khalifah Abdul Malik bin
Marwan ,oleh Yahya bin Ya’mar dan Nashubin‘Ashimal-Laitsi, murid Abul
Aswad sendiri .
D.  Permulaan Al quran dicetak    

Pencetakan Al-Qur’an Pada Tahun 1440 M Johannes Gutenberg di Mainz,


Jerman menemukan dan membuat mesin cetak. Dan al-Qur’an pertama kali di
cetak di Hanburg, Jerman pada abad 17 M. Penyalinan secara rasional di
Indonesia berlangsung sampai akhir abad ke 19 atau awal abad ke-20 di segala
tempat diseluruh Indonesia. Lalu sejak permulaan abad ke-20 rintisan usaha
pencetakan Al-Qur’an sudah dimulai. Namun, pencetakan Al-Qur’an di Indonesia
dimulai sekitar tahun 1950 M. sejak saat itu banyak Al-Qur’an di cetak di
Indonesia baik oleh pemerintah maupun swasta.Dalam hal ini yang mengawasi
pencetakan al-Qur’an di Indonesia adalah Lajnah Pantashih Al-Qur’an yang
dibentuk berdasarkan surat keputusan Menteri Agama RI nomor 1 Tahun 1957
tanggal 5 Februari 1957.

E. Cara menulis Alquran di luar mushaf.

Menulis mushaf mengikuti cara yang dipakai dalam penulisan mushaf


Khalifah ke-3 yaitu pada masa khalifah Ustman, yang dilaksanakan oleh komisi
yang terdiri dari sahabat-sahabat besar, dan tulisan-tulisan itu dinamai Resam
utsmani.

7
Dalam menulis Alquran terdapat 3 pendapat yang berbeda dari Ulama’ al-
Qur’an  :
1)      Tidak di bolehkan sekali-sekali kita menyalahi khat ustmani, baik dalam
menulis ‫و‬ maupun dalam menulis  ‫ا‬, dan dalam menulis yang lain-lainnya.
Pendapat ini dipegang erat oleh imam Ahmad. Abu ‘Amer Ad Dany
berkata: ”tidak ada yang menyalahi apa yang dinukilkan imam malik, yaitu tidak
boleh kita menulis Alquran selain dengan yang ditetapkan oleh para sahabat itu”
2)      Tulisan Alquran itu bukan tauqifi : bukan demikian diterima dari syafa’ tulisan
yang sudah ditetapkan itu, tulisan yang dimupakatkan menulisnya dimasa itu.
Ibnu khaldun dalam muqaddimahnya, dan Alqadli Abu bakar dalam kitab Al
intishar, Beliau berkata:  “Tuhan tidak mewajibkan kita menulis Alquran dengan
cara yang tertentu” Rasulullah SAW, hanya memerintahkan menulis Alquran
dan tidak menerangkan cara menulisnya.
3)      Pengarang Attibyan dan Al-burhan memilih pendapat yang dipahamkan dari
perkataan Ibnu ‘Abdis salam, yaitu kebolehan kita menulis Alquran untuk
manusia umum menurut istilah-istilah yang dikenal oleh mereka dan tidak
diharuskan kita menulis menurut tulisan lama. Karena dikhawatirkan akan
meragukan mereka.
 Dan harus ada orang yang memelihara tulisan lama sebagai barang pustaka
yakni orang ‘Arifin. Maka kami menulis ayat-ayat menurut istilah baru (istilah
para ulama) sesuai dengan undang-undang Imla’ yang mudah dibaca orang. Dan
tidak ada salahnya pula orang menulis ayat-ayat dengan tulisan latin, asal
qiraatnya benar.

8
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan Dari uraian-uraian di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan


sebagai berikut:

Ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi, kemudian beliau menghafalnya


dan membacakannya kepada sahabat serta menyuruh mereka menghafalnya dan
menyuruh para penulis wahyu untuk dapat menuliskannya. Pada masa sahabat, Abu
Bakar mengumpulkan Al-Qur’an kembali dengan menyeru kepada siapa saja yang
menulis Al-Qur’an di hadapan Nabi untuk segera mengantarkan tulisannya ke mesjid
dengan didampingi oleh 2 orang saksi. Usaha Abu Bakar ini mendapatkan saran dari
Umar bin Khattab karna di takutkan Al Qur’an akan punah dengan alasan banyaknya
para penghafal Al-Qur’an yang mati syahid dalam peperangan Yamamah. Kemudian
di Masa Usman bin Affan Al-Qur’an di bukukan.

9
DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Amin Suma, Muhammad,Ulumul Qur’an, Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Rosihan Anwar, Rosihan,UlumAl-Qur’an,Bandung:Pustaka Setia,2010.

Nawir Yuslem, Nawir,UlumulQur’an,Bandung: Cipta Pustaka Media Perintis, 2011.

Abdul Chaer, Abdul,Perkenalan Awal Dengan Al-Qur’an, Jakarta: PT Rineka Cipta,


2014.

Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuthi,TafsirJalalain,


Bandung: Sinar Baru Algensindo, copian tahun 2014

10

Anda mungkin juga menyukai