Jati diri Zaid bin Tsabit sendiri begitu istimewa sehingga tak heran Abu Bakar dan
Umar diberikan kelapangan dada untuk memberikan tugas tersebut pada Zaid bin
Tsabit, yang mana sebagai pengumpul dan pengawas komisi ini Zaid bin Tsabit
dibantu Umar sebagai sahibul fikrah yakni pembantu khusus. Beberapa
keistimewaan tersebut diantaranya adalah :
Berusia muda, saat itu usianya di awal 20-an (secara fisik & psikis kondisi
prima)
Akhlak yang tak pernah tercemar, ini terlihat dari pengakuan Abu Bakar
yang mengatakan bahwa, “Kami tidak pernah memiliki prasangka negatif
terhadap anda”.
Kedekatannya dengan Rasulullah SAW, karena semasa hidup Nabi, Zaid
tinggal berdekatan dengan beliau.
Pengalamannya di masa Rasulullah SAW masih hidup sebagai penulis
wahyu dan dalam satu kondisi tertentu pernah Zaid berada di antara
beberapa sahabat yang sempat mendengar bacaan Al Qur’an malaikat jibril
bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan.
Kecerdasan yang dimilikinya menunjukkan bahwa tidak hanya karena
memiliki vitalitas dan energi namun kompetensinya dalam kecerdasan
spiritual dan intelektual
Buah hasil kerja Zaid sangat teliti dan hati-hati sehingga memiliki akurasi yang
sangat tinggi. Hal ini dikarenakan :
a. Menulis hanya ayat Al Qur’an yang telah disepakati mutawatir riwayatnya
b. Mencakup semua ayat Al Qur’an yang tidak mansukh at-tilawah
c. Susunan ayatnya seperti yang dapat kita baca pada ayat-ayat yang tersusun
dalam Al Qur’an sekarang ini
d. Tulisannya mencakup al-ahruf al-sab’ah sebagaimana Al Qur’an itu diturunkan
e. Membuang segala tulisan yang tidak termasuk bagian dari Al Qur’an
“Maka sebagaimana Allah telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar
sebelumnya dan akhirnya Allah pulalah yang melapangkan dadaku maka aku
periksa Al Qur’an dan aku menghimpunnya dari pelepah kurma, batu-batu tulis
dan dada-dada para sahabat sehingga aku mendapati akhir surat At-Taubah pada
Abu Khuzaimah al-Anshari; aku tidak mendapatkannya pada sahabat lainnya, yaitu
ayat laqad ja’akum rasulu(n)….. sampai akhirAt-Taubah”. Maka mushaf-mushaf
itu disimpan oleh Abu Bakar sampai ia meninggal kemudian disimpan oleh Umar
sampai ia meninggal dan selanjutnya disimpan oleh Hafsah binti Umar.
Bukhari meriwayatkan dari Anas bahwa Hudzaifah bin al-Yaman pernah datang
kepada Usman, waktu itu Hudzaifah memimpin penduduk Syam dan Iraq dalam
menaklukkan Armenia dan Azarbaijan, maka ia terkejut oleh perselisihan mereka
(antara penduduk Syam dan Iraq) dalam qira’ah 135, lalu ia berkata pada Usman,
“Selamatkanlah umat ini sebelum mereka berselisih sebagaimana perselisihan
orang-orang Yahudi dan Nasrani”. Maka Usman meminta pada Hafsah agar
meminjamkan mushaf-nya untuk ditranskrip dalam beberapa mushaf kemudian
Usman meminta pada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin al-Zubair, Sa’d bin Abi
Waqqashdan Abdul Rahman bin al-Harits bin Hisyamlalu mereka pun
menterjemahkan kepada beberapa mushaf . Usman berkata kepada kepada 3 tokoh
Quraisy tersebut, “ Apabila kalian bertiga berselisih dengan Zaid tentang sesuatu
dari Al Qur’an maka tulislah ia dengan bahasa Quraisy karena ia diturunkan
dengan bahasa mereka. Pesan ini mereka lakukan dengan baik. Kemudian setelah
penulisan beberapa mushaf tersebut maka dikirimkan setiap mushaf ke berbagai
pusat Islam, masing-masing salinan Al Qur’an ini disediakan sebagai otoritas
rujukan bagi masyarakat yang dari situ mereka membuat lagi salinannya dan
kepadanya mereka merujukkan bila muncul perbedaan pembacaan mushaf antar
kota. Adapun mushaf di Madinah sebagai mushaf al-Iman yang menjadi rujukan
terakhir umat Islam.
Az Zargani sendiri mencatat bahwa ciri-ciri mushaf yang disalin pada Khalifah
Usman adalah sebagai berikut :
a. Ayat-ayat Al Qur’an yang tertulis di dalamnya seluruhnya berdasarkan riwayat
yang mutawwir berasal dari Rasulullah
b. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat Al Quran yang mansukh atau dinasakh
bacaannya
c. Susunan menurut urutan wahyu
d. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong pada Al Qur’an seperti apa
yang ditulis oleh sebagian sahabat dalam mushaf masing-masing sebagai
penjelasan atau keterangan terhadap ayat-ayat tertentu
e. Mushaf yang ditulis pada masa khalifah usman tersebut mencakup “tujuh huruf”
dimana Al Qur’an diturunkan dengannya
Kondisi umat Islam sesudah adanya mushaf yang dilakukan pada khalifah Usman
sendiri sangat hati-hati, cermat dan teliti ketika menyalin dengan bahasa mereka.
Salah satunya terlihat pada gubernur Mesir Abdul Aziz ibn Marwan yang
menyuruh orang untuk menunjukkan bahwa suatu kesalahan dalam salinan tersebut
jika terjadi kesalahan maka berikan padanya seekor kuda dan 30 dinar, diantaranya
yang memeriksa adalah seorang qori yang dapat menunjukkan suatu kesalahan
yaitu kesalahan naj’ah padahal sebenarnya na’jah.
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca seperti titik dan syakal karena semata-
mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni di mana mereka
tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita kenal
sekarang ini. Pada masa itu tulisan hanya terdiri atas beberapa simbol dasar, hanya
melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering menimbulkan
kekaburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.
Ketika bahasa Arab mulai mendapat berbagai pengaruh dari luar karena bercampur
dengan bahasa lainnya maka para penguasa mulai melakukan perbaikan-perbaikan
yang membantu cara membaca yang benar. Perlunya pembubuhan tanda baca
dalam penulisan Qur’an mulai dirasakan ketika Ziyad bin Samiyah menjadi
gubernur Basrah pada masa pemerintahan khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan
(661-680M). Ia melihat telah terjadi kesalahan di kalangan kaum muslimin dalam
membaca Al qur’an. Sebagai contoh kesalahan dalam membaca firma Allah SWT
dalam surat 9:3 . Melihat kenyataan seperti itu Ziyad meminta Abu al-Aswad al
Duali untuk memberikan syakal. Ia memberi tanda fathah atau tanda bunyi (a)
dengan membubuhkan tanda titik satu di atas huruf, tanda kasrah atau tanda bunyi
(i) dengan membubuhkan tanda titik satu dibawah huruf, tanda dammah atau tanda
bunyi (u) dengan membubuhkan tanda titik satu terletak di antara bagian-bagian
huruf sementara tanda sukun atau tanda konsonan (huruf mati) ditulis dengan cara
tidak membubuhkan tanda apa-apa pada huruf yang bersangkutan
Kemudian tanda baca Abu Al-Aswad tersebut disempurnakan lagi oleh ulama
sesudahnya pada masa dinasti Abbasiyah yaitu oleh al-Khalil bin Ahmad. Ia
bersependapat bahwa asal usul fathah ialah alif, kasrah dan ya dan dammah adalah
wawu. Kemudian fathah dilambangkan dengan tanda sempang di atas huruf,
kasrah di bawah huruf dan dammah dengan wawu kecil di atas huruf sedangkan
tanwin dengan mendobelkannya. Ia juga memberi tanda pada tempat alif yang
dibuang dengan warna merah, pada tempat hamzah yang dibuang dengan hamzah
warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin yang berhadapan dengan huruf ba
diberi tanda iqlab dengan warna merah. Nun dan tanwin berhadapan dengan huruf
halqiyah diberi tanda sukun dengan warna merah.
Begitu pula pada masa khalifah Bani Umayyah yang kelima, Abdul Malik bin
Marwan memerintahkan seorang ulama bernama al-Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi
untuk menciptakan tanda-tanda huruf Qur’an. Untuk mewujudkan hal tesebut
diberikan tugas tersebut al-Hajjaj menugaskan kepada Nasr bin Ashin dan Yahya
bin Ya’mur. Akhirnya mereka berhasil menciptakan tanda-tanda pada huruf Al
Qur’an dengan membubuhkan titik pada huruf-huruf yang serupa untuk
membedakan huruf yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, huruf dal dengan
huruf zal, huruf ba dengan huruf ta dan huruf sa. Demikianlah huruf-huruf
sebagaimana yang kita kenal seperti saat ini.
Jadi tampak bahwa perbaikan Rasm al-Usmani terjadi melalui tiga proses yakni :
1. Pemberian syakal yang dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Duali
2. Pemberian a’jam, titik yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan dan al-
Hajjaj
3. Perubahan syakal pemberian Abu al-Aswad ad-Duali menjadi seperti sekarang
ini yang dilakukan oleh al-Khalil
Al Qur’an sendiri pertama kali dicetak di Hamburg Jerman pada 1113H. Salah satu
mushaf hasil cetakan pertama ini konon terdapat di Dar al-Kutub al-Arabiyah,
Kairo Mesir. Sementara di Turki pertama kali dicetak pada 1129H kemudian
menyusul di Iran 1248H. Madinah saat ini terdapat percetakan Al Qur’an yang
diklaim terbesar di dunia. Percetakan itu mulai dibangun oleh Raja Fahd pada
tanggal 2 November 1982. Pada Oktober 1984 dimulai diproduksi dengan berbagai
ukuran, dengan komplek yang lengkap mulai dari masjid, show room produksi
sekaligus toko tempat penjualan, asrama karyawan, klinik dan perpustakaan.
Daftar Pustaka:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, edisi Indonesia: Bagaimana Kita Memahami
Al-Qur’an, penerjemah: Muhammad Qawwam, LC., Abu Luqman, penerbit: Cahaya Tauhid
Press Malang, cet. ke-1 Muharram 1427H/Pebruari 2006M, hal. 33-38,
Az Zargani t.t Manahil al-Irfan fi Ulum al Qur’an juz 1. Mesir: Isa al Babiy al Halabiy
Bukhari, Kitab Al-Iman, Bab ; Ziyaadatul Iman Wa Nuqshaanuhu (Bertambah dan berkurangnya
keimanan), hadits nomor 45, Muslim, Kitab At-Tafsir, Bab Fii Tafsiri Aayaatin Mutafarriqah,
hadits nomor 3015
Imam As-Suyuthi, 1995. Apa itu Al Qur’an. Gema Insani Press. Jakarta
Hudhari Bik, 1980. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami, (Terj. Mohammad Zuhri, Rajamurah Al-
Qanaah)
Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah. Al-Madkhal li Dinasat al-Quran al Karim. Kairo: Al-
maktabah al-Sunnah
Muhammad Ali Ash-Shaabuniy (Alih Bahasa : Drs. H. Aminuddin) Studi Ilmu Al-Qur’an,
Pustaka Setia.1999,
Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. 2000. Sejarah & Pengantar Ilmu Al Qur’an dan
Tafsir. PT.Pustaka Rizki Putera. Semarang
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar
Mudah Ilmu Tafsir Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy
Subhi Ash-Shalih, 1988. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin Bairut