Anda di halaman 1dari 9

Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an

Oktober 12, 2010

Artikel ini dikutip dari “Al-Qur’an: Sejarah Turun, Penulisan, dan


Pemeliharaannya” Oleh: Muhammad Riyanto, Uji Ngakibah, dan Mardatillah.

Pemeliharaan Al-Qur’an di Masa Nabi SAW


Pengumpulan Al-Qur’an di masa Nabi SAW terbagi atas dua cara, yaitu:

1. Pengumpulan dalam dada, dengan cara menghapal, menghayati dan


mengamalkan.
Al-Qur’anul Karim turun kepada Nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis).
Karena itu, perhatian Nabi hanyalah untuk sekedar menghapal dan
menghayatinya, agar ia dapat menguasai Al-Qur’an persis sebagaimana
halnya Al-Qur’an diturunkan. Setelah itu, ia membacakannya kepada
umatnya sejelas mungkin agar mereka pun dapat menghapal dan
memantapkannya.
Nabi SAW memiliki keinginan untuk menguasai Al-Qur’an, sehingga beliau
menghiasi salat malamnya dengan membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Itulah
sebabnya tidak mengherankan apabila Rasul menjadi seorang yang paling
menguasai Al-Qur’an. Beliau bisa mengabdikan (menghimpun) Al-Qur’an
dalam hatinya yang mulia. Beliau menjadi tumpuan bagi orang-orang Islam
dalam memecahkan masalah yang mereka perlukan sehubungan masalah Al-
Qur’an.
2. Pengumpulan dalam dokumen, dengan cara menulis dalam kitab, atau
diwujudkan dalam bentuk ukiran.
Keistimewaan yang kedua dari Al-Qur’an Karim adalah pengumpulan dan
penulisannya dalam lembaran. Rasulullah SAW mempunyai beberapa orang
sekretaris wahyu. Setiap turun ayat Al-Qur’an, beliau memerintahkan
kepada mereka untuk menulisnya dalam rangka memperkuat catatan dan
dokumentasi dalam kehati-hatian beliau terhadap Al-Qur’an, sehingga
penulisan tersebut dapat memudahkan penghapalan dan memperkuat daya
ingat.
Para penulis wahyu tersebut adalah sahabat pilihan Rasul dari kalangan
sahabat yang terbaik dan indah tulisannya sehingga mereka benar-benar
dapat mengemban tugas yang mulia ini. Diantaranya adalah Zaid bin Tsabit,
Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Muawiyah bin Abu Sufyan, Khulafaur
Rashidin dan sahabat-sahabat lain. Proses penulisan Al-Qur’an pada masa
Nabi SAW sangat sederhana. Mereka menggunakan alat tulis sederhana dan
berupa lontaran kayu, pelepah kurma, tulang belulang dan batu. Kegiatan
tulis-menulis Al-Qur’an pada masa Nabi disamping dilakukan oleh
sekretaris Nabi, juga dilakukan oleh sahabat lain.
Sebagaimana Hadits Nabi yang diriwayatkan Muslim: ”Janganlah kamu
menulis sesuatu yang berasal dariku, kecuali Al-Qur’an. Barang siapa telah
menulis dariku selain Al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya”.
Faktor yang mendorong penulisan Al-Qur’an pada masa Nabi SAW adalah:
membukukan hapalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna. Hal ini karena
hapalan para sahabat saja tidak cukup, terkadang mereka lupa atau sebagian
dari mereka ada yang sudah wafat. Adapun tulisan akan tetap terpelihara
walaupun pada masa Nabi, penulisan Al-Qur’an tidaklah pada satu tempat.
Penulisan Al-Qur’an tidak pada satu tempat berdasarkan proses penurunan
Al-Qur’an masih berlanjut sehingga ada kemungkinan ayat yang turun
belakangan “menghapus” redaksi dan ketentuan hukum ayat yang sudah
turun terdahulu. Penyusunan ayat dan surat Al-Qur’an tidak bertolak dari
kronologi turunnya, tetapi bertolak dari keserasian antara satu ayat dengan
ayat lainnya, atau antara satu surat dengan surat yang lain. Terkadang ayat
atau surat yang turun belakangan ditulis lebih dahulu ketimbang ayat atau
surat yang turun terlebih dahulu.

Pemeliharaan Al Qur’an di Masa Abu Bakar ra.


Ketika Rasulullah SAW meninggal, Al Qur’an belum dihimpun di dalam satu
mushaf karena masih menunggu kemungkinan adanya penghabisan sebagian
hukum dan tilawahnya. Ketika penurunan wahyu sudah terputus dengan
meninggalnya Rasulullah maka Allah mengilhamkan kepada para khalifah yang
terpimpin melakukan penghimpunan Al Qur’an. Saat itu kondisi yang ada Al
Qur’an hanya dihapal oleh para sahabat dan orang-orang yang terpilih, maka sesuai
dengan janji Allah SWT yang akan menjamin keterpeliharaannya bagi ummat ini.
Pada hakekatnya Al Quran juga telah dihimpun pada masa Rasulullah SAW atas
petunjuk Jibril kepadanya, kemudian yang kedua masa Abu Bakar al-Shiddiq dan
ketiganya pada masa Usman bin Affan dengan penerbitan surat-suratnya. Pada
masa Rasulullah SAW terdapat beberapa sahabat yang bertugas sebagai penulis
wahyu. Apabila diturunkan ayat-ayat Al Qur’an, Nabi memanggil mereka agar
menulisnya diatas sarana penulisan yang ada pada satu naskah untuk disimpan di
tempat Nabi SAW dan yang lainnya untuk penulis itu sendiri. Pada waktu Nabi
SAW meninggal, lembaran-lembaran tulisan itu dan yang lainnya berada pada
istri-istri beliau. Diceritakan bahwa Bukhari meriwayatkan di dalam shahihnya dari
Zaid bin Tsabit, ia berkata: “Abu Bakar ra memintaku datang berkenan dengan
kematian para sahabat di peristiwa Yamamah, pada saat itu Umar ra berada di
sisinya, lalu Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya Umar ra datang kepadaku
mengatakan bahwa para penghapal Al Qur’an banyak terbunuh di peristiwa
Yamamah dan sesungguhnya aku khawatir akan terbunuhnya para penghapal Al
Qur’an (yang masih ada ini) di berbagai tempat lalu dengan itu banyak bagian Al
Qur’an yang hilang; karena itu aku mengusulkan agar kamu memerintahkan
penghimpunan Al Qur’an. Kemudian aku berkata pada Umar : “Bagaimana kita
akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW? Lalu Umar
berkata ; “Demi Allah, ini adalah kebaikan”. Maka Umar pun terus mendesakku
sehingga Allah SWT melapangkan dadaku untuk itu dan aku (sekarang)
sependapat dengan Umar. Zaid berkata bahwa, “Abu Bakar berkata :
Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang bijaksana, kami tidak menyangsikanmu,
karena kamu pernah menjadi penulis wahyu bagi Nabi SAW maka periksalah Al
Qur’an dan himpunlah”. Demi Allah, seandainya mereka menugasiku untuk
memindahkan salah satu gunung, sungguh itu tidaklah lebih berat bagiku
ketimbang apa yang ia perintahkan kepadaku yaitu menghimpun Al-Qur’an”.

Jati diri Zaid bin Tsabit sendiri begitu istimewa sehingga tak heran Abu Bakar dan
Umar diberikan kelapangan dada untuk memberikan tugas tersebut pada Zaid bin
Tsabit, yang mana sebagai pengumpul dan pengawas komisi ini Zaid bin Tsabit
dibantu Umar sebagai sahibul fikrah yakni pembantu khusus. Beberapa
keistimewaan tersebut diantaranya adalah :

 Berusia muda, saat itu usianya di awal 20-an (secara fisik & psikis kondisi
prima)
 Akhlak yang tak pernah tercemar, ini terlihat dari pengakuan Abu Bakar
yang mengatakan bahwa, “Kami tidak pernah memiliki prasangka negatif
terhadap anda”.
 Kedekatannya dengan Rasulullah SAW, karena semasa hidup Nabi, Zaid
tinggal berdekatan dengan beliau.
 Pengalamannya di masa Rasulullah SAW masih hidup sebagai penulis
wahyu dan dalam satu kondisi tertentu pernah Zaid berada di antara
beberapa sahabat yang sempat mendengar bacaan Al Qur’an malaikat jibril
bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan.
 Kecerdasan yang dimilikinya menunjukkan bahwa tidak hanya karena
memiliki vitalitas dan energi namun kompetensinya dalam kecerdasan
spiritual dan intelektual

Di sebutkan Abu Bakar ra mengatakan pada Zaid, “Duduklah di depan pintu


gerbang Masjid Nabawi jika ada orang membawa (memberi tahu) anda tentang
sepotong ayat dari Kitab Allah SWT dengan kesaksian 2 orang maka tulislah. Hal
ini bermakna bahwa kesaksian 2 orang saksi erat hubungannya dengan hafalan
yang diperkuat dengan bukti tertulis dimana Qur’an diwahyukan. Bukan itu saja 2
orang sahabat tersebut juga menyaksikan bahwa orang yang menerima ayat
tersebut seperti yang diperdengarkan Rasulullah SAW. Tujuannya adalah agar
menerima sesuatu yang telah ditulis di hadapan Nabi bukan hanya berdasarkan
hafalan semata-mata.

Waktu pengumpulan Zaid terhadap Al Qur’an sendiri sekitar 1 tahun, ini


dikarenakan dalam mengerjakannya Zaid sangat hati-hati sekalipun ia seorang
pencatat wahyu yang utama dan hafal seluruh Al Qur’an. Dalam melakukan
pekerjaannya ini Zaid berpegangan pada :
a. Ayat-ayat Al Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi Muhammad SAW dan yang
disimpan di rumahnya
b. Ayat-ayat yang dihafal oleh para sahabat yang hapal Al Qur’an

Buah hasil kerja Zaid sangat teliti dan hati-hati sehingga memiliki akurasi yang
sangat tinggi. Hal ini dikarenakan :
a. Menulis hanya ayat Al Qur’an yang telah disepakati mutawatir riwayatnya
b. Mencakup semua ayat Al Qur’an yang tidak mansukh at-tilawah
c. Susunan ayatnya seperti yang dapat kita baca pada ayat-ayat yang tersusun
dalam Al Qur’an sekarang ini
d. Tulisannya mencakup al-ahruf al-sab’ah sebagaimana Al Qur’an itu diturunkan
e. Membuang segala tulisan yang tidak termasuk bagian dari Al Qur’an

Senada dengan itu, Az Zargani menyebutkan bahwa ciri-ciri penulisan Al Qur’an


pada masa khalifah Abu Bakar ini adalah :
a. Seluruh ayat Al Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan
penelitian yang cermat dan seksama
b. Tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat Al Qur’an yang telah mansukh atau di
nasakh bacaannya
c. Seluruh ayat Al Qur’an yang ditulis di dalamnya telah diakui kemutawatirannya
Kekhusususan hasil kerja Zaid sendiri membedakan dengan catatan para sahabat
yang menjadi dokumentasi pribadi. Catatan mereka yang masih mencakup ayat-
ayat yang mansukh at-tilawah, ayat-ayat yang termasuk kategori riwayat al-ahad,
catatan doa dan tulisan yang diklasifikasikan sebagai sebagai tafsir dan takwil.

“Maka sebagaimana Allah telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar
sebelumnya dan akhirnya Allah pulalah yang melapangkan dadaku maka aku
periksa Al Qur’an dan aku menghimpunnya dari pelepah kurma, batu-batu tulis
dan dada-dada para sahabat sehingga aku mendapati akhir surat At-Taubah pada
Abu Khuzaimah al-Anshari; aku tidak mendapatkannya pada sahabat lainnya, yaitu
ayat laqad ja’akum rasulu(n)….. sampai akhirAt-Taubah”. Maka mushaf-mushaf
itu disimpan oleh Abu Bakar sampai ia meninggal kemudian disimpan oleh Umar
sampai ia meninggal dan selanjutnya disimpan oleh Hafsah binti Umar.

Pemeliharaan al-Qur’an dari Masa Usman bin Affan ra – Kini


Pada masa khalifahan Usman bin Affan ra umat Islam mulai menyebarkan jihad
Islam ke arah utara sampai Azerbaijan dan Armenia. Berasal dari suku kabilah dan
provinsi yang beragama sejak awal pasukan tempur memiliki dialek yang
berlainan. Nabi Muhammad SAW sendiri memang telah mengajarkan membaca Al
Qur’an berdasarkan dialek mereka masing-masing lantaran dirasa sulit untuk
meninggalkan dialek mereka secara spontan. Namun kemudian adanya perbedaan
dalam penyebutan atau membaca Al Qur’an yang kemudian menimbulkan
kerancuan dan perselisihan dalam masyarakat.

Bukhari meriwayatkan dari Anas bahwa Hudzaifah bin al-Yaman pernah datang
kepada Usman, waktu itu Hudzaifah memimpin penduduk Syam dan Iraq dalam
menaklukkan Armenia dan Azarbaijan, maka ia terkejut oleh perselisihan mereka
(antara penduduk Syam dan Iraq) dalam qira’ah 135, lalu ia berkata pada Usman,
“Selamatkanlah umat ini sebelum mereka berselisih sebagaimana perselisihan
orang-orang Yahudi dan Nasrani”. Maka Usman meminta pada Hafsah agar
meminjamkan mushaf-nya untuk ditranskrip dalam beberapa mushaf kemudian
Usman meminta pada Zaid bin Tsabit, Abdullah bin al-Zubair, Sa’d bin Abi
Waqqashdan Abdul Rahman bin al-Harits bin Hisyamlalu mereka pun
menterjemahkan kepada beberapa mushaf . Usman berkata kepada kepada 3 tokoh
Quraisy tersebut, “ Apabila kalian bertiga berselisih dengan Zaid tentang sesuatu
dari Al Qur’an maka tulislah ia dengan bahasa Quraisy karena ia diturunkan
dengan bahasa mereka. Pesan ini mereka lakukan dengan baik. Kemudian setelah
penulisan beberapa mushaf tersebut maka dikirimkan setiap mushaf ke berbagai
pusat Islam, masing-masing salinan Al Qur’an ini disediakan sebagai otoritas
rujukan bagi masyarakat yang dari situ mereka membuat lagi salinannya dan
kepadanya mereka merujukkan bila muncul perbedaan pembacaan mushaf antar
kota. Adapun mushaf di Madinah sebagai mushaf al-Iman yang menjadi rujukan
terakhir umat Islam.

Ide tentang penyeragaman bacaan Al Qur’an sendiri digulirkan sahabat Huzaifah


bin al Yaman. Kesaksian Huzaifah tentang perselisihan umat Islam disebabkan
perbedaan bacaan ditanggapi oleh Usman dengan positif. Ia menyadari bahwa
perbedaan bacaan ini muncul lantaran adanya perbedaan bacaan para guru yang
mengajarinya berpangkal pada beberapa alternatif yang dimunculkan oleh sab’atu
ahruf. Dalam kaitan ini seperti yang dikutip Sirojuddin dalam Nur Faizah berkata
bahwa Usman tidak bermaksud seperti maksud Abu bakar dalam mengumpulkan
Al Qur’an namun hanya ingin menyatukan versi qira’at umat Islam ke dalam qiraat
tetap yang diketahui berasal dari Rasulullah SAW serta membatalkan berbagai
qiraat yang bukan dari beliau. Sehingga Usman telah memberikan ruang ragam
dialeknya menjadi satu dialek saja yakni dialek quraisy.
Adapun mushaf Hafsah binti Umar kelak dimusnahkan pada masa pemerintahan
Marwan bin Hakam dari Dinasti Umayyah. Tindakan Marwan dilakukan demi
mengamankan keseragaman mushaf Al Qur’an yang telah diupayakan oleh
Khalifah Usman serta untuk menghindari keragu-raguan umat Islam di masa yang
akan datang terhadap mushaf Al Qur’an jika masih terdapat dua macam mushaf
yakni mushaf Usman dan mushaf Hafsah.

Az Zargani sendiri mencatat bahwa ciri-ciri mushaf yang disalin pada Khalifah
Usman adalah sebagai berikut :
a. Ayat-ayat Al Qur’an yang tertulis di dalamnya seluruhnya berdasarkan riwayat
yang mutawwir berasal dari Rasulullah
b. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat Al Quran yang mansukh atau dinasakh
bacaannya
c. Susunan menurut urutan wahyu
d. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong pada Al Qur’an seperti apa
yang ditulis oleh sebagian sahabat dalam mushaf masing-masing sebagai
penjelasan atau keterangan terhadap ayat-ayat tertentu
e. Mushaf yang ditulis pada masa khalifah usman tersebut mencakup “tujuh huruf”
dimana Al Qur’an diturunkan dengannya

Dari penjelasan ini maka periodesasi pengumpulan Al Quran tersebut terdapat


perbedaan yang prinsipil yang diutarakan oleh Az Zargani yakni:
a. Penulisan Al Qur’an pada masa Nabi Muhammad dilakukan untuk mencatat dan
menulis setiap wahyu yang diturunkan kepadanya dengan menertibkan ayat-ayat di
dalam surah-surah tertentu sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW
b. Saat khalifah Abu Bakar pengumpulan tulisan-tulisan Al Quran menurut urutan
turunnya wahyu, dikarenakan kekhawatiran banyaknya penghafal Qur’an yang
meninggal dalam peperangan
c. Saat khalifah Usman dilakukan penyalinan mushaf menjadi beberapa mushaf
dengan tertib ayat maupun surahnya sebagaimana yang ada sekarang, dikarenakan
adanya perpecahan dikalangan umat Islam dipicu oleh perbedaan qiraat Al Qur’an

Kondisi umat Islam sesudah adanya mushaf yang dilakukan pada khalifah Usman
sendiri sangat hati-hati, cermat dan teliti ketika menyalin dengan bahasa mereka.
Salah satunya terlihat pada gubernur Mesir Abdul Aziz ibn Marwan yang
menyuruh orang untuk menunjukkan bahwa suatu kesalahan dalam salinan tersebut
jika terjadi kesalahan maka berikan padanya seekor kuda dan 30 dinar, diantaranya
yang memeriksa adalah seorang qori yang dapat menunjukkan suatu kesalahan
yaitu kesalahan naj’ah padahal sebenarnya na’jah.

Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca seperti titik dan syakal karena semata-
mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni di mana mereka
tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita kenal
sekarang ini. Pada masa itu tulisan hanya terdiri atas beberapa simbol dasar, hanya
melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering menimbulkan
kekaburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.

Ketika bahasa Arab mulai mendapat berbagai pengaruh dari luar karena bercampur
dengan bahasa lainnya maka para penguasa mulai melakukan perbaikan-perbaikan
yang membantu cara membaca yang benar. Perlunya pembubuhan tanda baca
dalam penulisan Qur’an mulai dirasakan ketika Ziyad bin Samiyah menjadi
gubernur Basrah pada masa pemerintahan khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan
(661-680M). Ia melihat telah terjadi kesalahan di kalangan kaum muslimin dalam
membaca Al qur’an. Sebagai contoh kesalahan dalam membaca firma Allah SWT
dalam surat 9:3 . Melihat kenyataan seperti itu Ziyad meminta Abu al-Aswad al
Duali untuk memberikan syakal. Ia memberi tanda fathah atau tanda bunyi (a)
dengan membubuhkan tanda titik satu di atas huruf, tanda kasrah atau tanda bunyi
(i) dengan membubuhkan tanda titik satu dibawah huruf, tanda dammah atau tanda
bunyi (u) dengan membubuhkan tanda titik satu terletak di antara bagian-bagian
huruf sementara tanda sukun atau tanda konsonan (huruf mati) ditulis dengan cara
tidak membubuhkan tanda apa-apa pada huruf yang bersangkutan

Kemudian tanda baca Abu Al-Aswad tersebut disempurnakan lagi oleh ulama
sesudahnya pada masa dinasti Abbasiyah yaitu oleh al-Khalil bin Ahmad. Ia
bersependapat bahwa asal usul fathah ialah alif, kasrah dan ya dan dammah adalah
wawu. Kemudian fathah dilambangkan dengan tanda sempang di atas huruf,
kasrah di bawah huruf dan dammah dengan wawu kecil di atas huruf sedangkan
tanwin dengan mendobelkannya. Ia juga memberi tanda pada tempat alif yang
dibuang dengan warna merah, pada tempat hamzah yang dibuang dengan hamzah
warna merah tanpa huruf. Pada nun dan tanwin yang berhadapan dengan huruf ba
diberi tanda iqlab dengan warna merah. Nun dan tanwin berhadapan dengan huruf
halqiyah diberi tanda sukun dengan warna merah.
Begitu pula pada masa khalifah Bani Umayyah yang kelima, Abdul Malik bin
Marwan memerintahkan seorang ulama bernama al-Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi
untuk menciptakan tanda-tanda huruf Qur’an. Untuk mewujudkan hal tesebut
diberikan tugas tersebut al-Hajjaj menugaskan kepada Nasr bin Ashin dan Yahya
bin Ya’mur. Akhirnya mereka berhasil menciptakan tanda-tanda pada huruf Al
Qur’an dengan membubuhkan titik pada huruf-huruf yang serupa untuk
membedakan huruf yang satu dengan yang lainnya. Misalnya, huruf dal dengan
huruf zal, huruf ba dengan huruf ta dan huruf sa. Demikianlah huruf-huruf
sebagaimana yang kita kenal seperti saat ini.
Jadi tampak bahwa perbaikan Rasm al-Usmani terjadi melalui tiga proses yakni :
1. Pemberian syakal yang dilakukan oleh Abu al-Aswad al-Duali
2. Pemberian a’jam, titik yang dilakukan oleh Abdul Malik bin Marwan dan al-
Hajjaj
3. Perubahan syakal pemberian Abu al-Aswad ad-Duali menjadi seperti sekarang
ini yang dilakukan oleh al-Khalil

Al Qur’an sendiri pertama kali dicetak di Hamburg Jerman pada 1113H. Salah satu
mushaf hasil cetakan pertama ini konon terdapat di Dar al-Kutub al-Arabiyah,
Kairo Mesir. Sementara di Turki pertama kali dicetak pada 1129H kemudian
menyusul di Iran 1248H. Madinah saat ini terdapat percetakan Al Qur’an yang
diklaim terbesar di dunia. Percetakan itu mulai dibangun oleh Raja Fahd pada
tanggal 2 November 1982. Pada Oktober 1984 dimulai diproduksi dengan berbagai
ukuran, dengan komplek yang lengkap mulai dari masjid, show room produksi
sekaligus toko tempat penjualan, asrama karyawan, klinik dan perpustakaan.

Percetakan ini juga mencetak dan menterjemahkan al-Qur’an ke dalam 50 bahasa


di dunia termasuk bahasa Indonesia. Al Qur’an disini dicetak di percetakan dan
dibagikan secara gratis ke seluruh dunia seperti melalui masjid-masjid. Demikian
juga yang dibagikan kepada jamaah haji, mereka akan mendapatkan Al Qur’an
secara gratis pada waktu hendak naik pesawat terbang untuk kembali ke negeri
mereka masing-masing.

Daftar Pustaka:

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, edisi Indonesia: Bagaimana Kita Memahami
Al-Qur’an, penerjemah: Muhammad Qawwam, LC., Abu Luqman, penerbit: Cahaya Tauhid
Press Malang, cet. ke-1 Muharram 1427H/Pebruari 2006M, hal. 33-38,

Anwar,R. 1998. Ulumul Qur-an. Pustaka Setia, Bandung.

Az Zargani t.t Manahil al-Irfan fi Ulum al Qur’an juz 1. Mesir: Isa al Babiy al Halabiy
Bukhari, Kitab Al-Iman, Bab ; Ziyaadatul Iman Wa Nuqshaanuhu (Bertambah dan berkurangnya
keimanan), hadits nomor 45, Muslim, Kitab At-Tafsir, Bab Fii Tafsiri Aayaatin Mutafarriqah,
hadits nomor 3015

Imam As-Suyuthi, 1995. Apa itu Al Qur’an. Gema Insani Press. Jakarta

Hudhari Bik, 1980. Tarikh At-Tasyri’ Al-Islami, (Terj. Mohammad Zuhri, Rajamurah Al-
Qanaah)

Nur Faizah, 2008. Sejarah Al Quran . CV. Artha Rivera. Jakarta.

Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah. Al-Madkhal li Dinasat al-Quran al Karim. Kairo: Al-
maktabah al-Sunnah

Muhammad Ali Ash-Shaabuniy (Alih Bahasa : Drs. H. Aminuddin) Studi Ilmu Al-Qur’an,
Pustaka Setia.1999,

Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy. 2000. Sejarah & Pengantar Ilmu Al Qur’an dan
Tafsir. PT.Pustaka Rizki Putera. Semarang

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar
Mudah Ilmu Tafsir Penerbit Pustaka As-Sunnah, Penerjemah Farid Qurusy

Subhi Ash-Shalih, 1988. Mabahits fi ‘Ulum Al-Qur’an, Dar Al-Qalam li Al-Malayyin Bairut

Zuhdi, M. 1997. Pengantar Ulumul Quran. Karya Abditama. Surabaya

Anda mungkin juga menyukai