Anda di halaman 1dari 13

BAB II

PEMBAHASAN
A. Tradisi Tulis Menulis Pada Masa Rasulullah Saw.
Pada zaman Rasulullah SAW dan pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ilmu-ilmu AlQuran belum dibukukan, karena umat islam belum memerlukannya. Sebab umat islam pada
waktu itu adalah bangsa Arab asli sehingga mereka mampu memahami Al-Quran dengan baik,
karena bahasa Al-Quran adalah bahasa mereka sendiri dan mereka mengetaahui sebab-sebab
turunnya Al-Quran. Oleh karenanya jarang sekali sahabat yang bertanya kepada Nabi tentang
maksud-maksud ayat. Ayat Al-Quran tidak dikumpulkan atau dibukukan seperti sekarang.
Karena disebabkan beberapa faktor, maka ayat Al-Quran mulai dikumpulkan atau dibukukan,
yaitu dikumpulkan dalam satu mushaf.1
Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu dari Quran dari sahabat-sahabat terkemuka,
seperti Ali, Muawiyah, Ubai bin Kab dan Zaid bin Sabit. Bila ayat turun, iya memerintahkan
mereka menuliskannya dan menunjukkan tempat ayat tersebut dalam surah, sehingga penulisan
pada lembaran itu membantu penghafalan di dalam hati. Di samping itu sebagian sahabat pun
menuliskan Quran yang turun itu atas kemauan mereka sendiri, tanpa diperintah oleh Nabi,
mereka menuliskannya pada pelapa kurma, lempengan batu, daun lontar kulit atau daun kayu,
pelana, potongan tulang-belulang binatang. Zaid bin Sabit berkata: Kami menyusun Quran di
di hadapan Rasulullah pada kulit binatang.
Ini menunjukkan betapa besar kesulitan yang dipikul para sahabat dalam menuliskan
Quran alat-alat tulis tidak cukup tersedia bagi mereka, selain sarana-sarana tersebut. Dan

dengan demikian, penulisan Quran ini semakin menambah hafalan mereka. Jibril membacakan

1 Ahmad Syadali dan Ahmad Rofii, UlumulQuran I,hlm.71-72.

Quran kepada Rasulullah pada malam-malam bulan Ramadan setiap tahunnya. Abdullah bin
Abbas berkata :
Rasulullah adalah orang paling pemurah, dan puncak kemurahannya pada bulan
Ramadan ketika ia ditemui oleh Jibril. Ia di temui Jibril pada setiap malam bulan Ramadan;
Jibril membacakan Quran kepadanya dan ketika Rasulullah ditemui oleh Jibril itu ia sangat
pemurah sekali
Para sahabat senantiasa menyodorkan Quran kepada Rasulullah baik dalam bentuk
hafalan maupun tulisan.
Tulisan-tulisan Quran pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, yang ada pada
seseorang belum tentu dimiliki oleh orang lain. Para ulama telah menyampaikan bahwa
segolongan dari mereka, diantaranya Ali bin Ali Talib, Muaz bin Jabal, Ubai bin Kab, Zaid bin
Sabit adalah orang yang terahir kali membacakan Quran di hadapan Nabi di antara mereka
yang disebutkan diatas.
Rasulullah berpulang ke rahmatullah di saat Quran telah dihafal dan tertulis dalam
mushaf dengan susunan seperti disebutkan diatas, ayat-ayat dan surah-surah dipisah-pisahkan,
atau di tertibkan ayat-ayatnya saja dan setiap surah berada dalam satu lembaran secara terpisah
dan dalam tujuh huruf, tetapi Quran belum di kumpulkan dalam satu mushaf yang menyeluruh
(lengkap). Bila wahyu turun segeralah dihafal ole para qurra dan ditulis oleh para penulis, tetapi
pada saat itu belum diperlukan membukukannya dalam satu mushaf sebab nabi masi selalu

menanti turunnya wahyu dari waktu ke ktu. Disamping itu terkadang pula terdapat ayat yang
me-nasikh (menghapuskan) sesuatu yang turun sebelumnnya. Susunan atau tertib penulisan
Quran itu tidak menurut tertib nuzulnya, tetapi setiap ayat yang turun dituliskan di tempat

penulisan sesuai dengan petunjuk nabi ia menjelaskan bahwa ayat itu harus diletakkan surah itu.
Andai kata (pada masa Nabi) Quran itu seluruhnya itu dikumpulkan di antara dua sampul
dalam satu mushaf, hal yang demikian tentu akan membawa perubahan setiap waktu. Oleh
sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Quran selesai turun semua, yaitu dengan
wafatnya Rasulullah.
Dengan pengertian inilah ditafsirkan apa yang diriwayatkan dari Zaid bin Sabit yang
mengatakan: Rasulullah telah wafat, sedang Quran belum dikumpulkan samasekali.
Maksudnya ayat-ayat dan surah-surahnya belum dikumpulkan secara tertib dalam satu mushaf.
Al-Khattabi berkata: Rasulullah tidak mengumpulkan Quran dalam satu mushaf itu karena ia
senantiasa menunggu ayat nasikh terhadap sebagian hukum-hukum atau bacaannya. Sesudah
berakhir masa turunnya dengan wafatnya rasulullah, maka Allah mengilhamkan penulisan
mushaf secara lengkap kepada para Khulafaur Rasyidin sesuai dengan janji-Nya yang benar
kepada umat ini tentang jaminan pemeliharaannya. Dan hal ini terjadi pertama kalinya pada
masa Abu Bakar atas pertimbangan usulan Umar, Pengumpulan Quran dimasa Nabi ini
dinamakan : a) Penghafalan; dan b) shuhuf/ pembukuan yang pertama.2
Dalam sejumlah riwayat yang sampai kepada kita seperti telah diungkapkan diatas, disebutkan
bahwa sejumlah shabat telah mengumpulkan secara tertulis wahyu dalam bentuk Shuhuf pada
masa nabi, sekalipun istilah pengumpulan disini sebagaimana telah disebutkan, basanya
ditafsirkan sebagai penghafalan, ada sejumlah riwayat yang secara tertulis atau merujuk pada
penggunaan bahan-bahan untuk menulis dalam aktifitas tersebut.

3
2 Manna Khalil al-Qattan, di terjemahkan oleh Drs. Mudzakir AS. STUDI ILMU-ILMU
QURAN (Jakarta: PT Pustaka Litera) hal. 185,186,187 dan 188

Dalam sejumlah riwayat di kemukakan nama Ali ibn Abi Thalib swbagai pengumpul
pertama al-Quran. Pada masa nabi berdasarkan perintah nabi sendiri, Ali merupaka khalifa ke
empat dari khulafau rasyidin, anak dari abu thalib pemimpin Banu Khasyim, nabi Muhammad
ia menerimah risalah nabi dalam usia relative muda dan termasuk hitungan orang-orang pertama
kali masuk islam, dikatakan bahwa ia orang ke dua masuk islam setelah Abu Bakar.3
B. Al-Quran Pada Masa Rasulullah Saw.
Rasulullah amat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu penurunan wahyu dengan rasa
rindu, lalu menghafal dan memahaminya, persis seperti dijanjikan Allah: Sesungguhnya atas
tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan membuatmu pandai) membacanya
(al-Qiyamah [75]:17).4 Oleh sebab itu, ia adalah hafiz (penghafal al-Quran pertama dan
merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi
kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber risalah. Quran diturunkan selama dua pulu
tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai
sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turu, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati,
sebab bangsa secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat. Hal itu karena
umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan sislsilah
mereka dilakukan dengan catatan di hati mereka.
Dalam kitabnya Sahih-nya Bukhari telah mengemukakan tentang adanya tujuh hafiz,
melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Masud, Salim bin Maqal bekas budak Abu
Huzaifah, Muaz bin jabal, Ubai bin Kab, Zaid bin Sabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda.
Dari Abdullah bin Amr bin As dikatakan:

3 Taufiq Adnan Ama, Rekonstruksi sejarah Al-quran (Forum kajian Budaya dan Agama FKBA)
Yogayakarta: 2001, hal. 133
4 Departemen Agama Republik Indonesia, Muqaddimah Al-Quran dan Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002.
Hlm.18

Aku telah mendenganr Rasulullah berkata: Ambillah Quran dari empat orang: Abdullah bin
Masud Salim, Muaz dan Ubaid bin Kab.keempat orang tersebut dua orang dari muhajirin,
yaitu Abdullah bin Masud dan Salim dan dua orang dari Ansar, yaitu Muaz dan Ubai.
Dan diriwayatkan pula melalui Sabit, dari Anas yang mengatakan:
Rasulullah wafat sedang Quran belum dihafal kecuali oleh empat orang: Abu Darda, Muaz
bin Jabal, Zaid bin Zabit dan Abu Zaid.
Abu Zaid yang disebutkan dalam hadis-hadis diatas penjelasannya terdapat dalam riwayat yang
dinukilkan oleh Ibn hajar dengan isnad yang memenuhi persyaratan Bukhari. Menurut Anas,
Abu Zaid yang hafal Quran itu namanya Qais bin Sakan. Kata Anas: ia adalah seorang lakilaki dari suku kami Bani Adi ibnun Najjar dan termasuk sala seorang paman kami. Ia
meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, dan kamilah yang mewarinya.
Ibnu Hajar ketika menuliskan biografi Said bin Ubaid menjelaskan bahwa ia termasuk
seorang hafiz dan dijuluki pula dengan al-Qari (pembaca Quran).
Penyebutan para hafiz yang tujuh atau delapan ini tidak berarti pemabatasan, karena
beberapa keterangan dalam kitab-kitab sejarah dan Suna menunjukkan bahwa para sahabat
berlomba menghafalkan Quran dan mereka memerintahkan anak-anak dan istri-istri mereka
untuk menghafalkannya. Mereka dalam salat di tengah malam, sehingga alunan suara mereka
terdengar bagai suara lebah. Rasulullah pun sering melewati rumah-rumah orang Ansar dan
berhenti untuk mendengarkan alunan suara mereka yang membaca Quran di rumah-rumah.5

5
5 Manna Khalil al-Qattan, di terjemahkan oleh Drs. Mudzakir AS. STUDI ILMU-ILMU
QURAN (Jakarta: PT Pustaka Litera) hal.179,180,181

C. Al-Qur'an pada Zaman al-Khulafa al-Rasyidin.


Periode Khalifah Abu Bakar. Semasa wahyu masih dan sedang turun, al-Qur'an sudah
menamakan dirinya "al-Kitab", Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk
bagi mereka yang bertaqwa (al-Baqarah:2),6 yang mencakup semua wahyu yang diterima Nabi,
tidak bergantung pada tuntasnya wahyu turun, dan meskipun belum berujud sebuah buku seperti
yang populer sekarang. Pembukuan al-Qur'an baru terjadi, pada waktu Abu Bakar menjadi
Khalifah, atas usul 'Umar ibn Khathab seperti yang diceritakan hadits Imam al-Bukhari dari
Zaid ibn Tsabit.
Dalam hadits tersebut diterangkan bahwa pada mulanya Abu Bakar menolak. Penolakan itu
bukan berarti Abu Bakar tidak punya kekhawatiran seperti yang dirasakan 'Umar, akan tetapi
lebih karena Abu Bakar merasa bahwa Rasul Allah hanya menyuruh "menulis", tidak
membukukan, hal ini cocok dengan sikap Zaid yang semula juga menolak, sebab yang dia
kerjakan

selama

itu

hanya

karena

setianya

kepada

Nabi

dan

ajarannya.

Usulan tersebut disampaikan 'Umar karena peristiwa pertempuran Yamamah yang merenggut
jiwa lebih dari 70 sahabat yang hafal al-Qur'an, bukan sedikit atau bahkan banyak yang tidak
hafal, sebab kalau banyak yang tidak hafal tentu 'Umar tidak perlu merasa cemas.
Ikhtisar pengumpulan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut : Bahwa pembukuan telah
dilaksanakan secara resmi oleh para pelaksana, dengan legalitas pemerintahan yang sah, dalam
suatu majlis di Masjid, yang sengaja diadakan untuk itu, melalui prosedur yang benar.
Pembukuan dilaksanakan dengan cara kerja yang benar, Zaid yang waktu itu sudah dalam usia

22 tahun membacakan berdasarkan ayat-ayat yang dia tulis selama mendampingi Rasul Allah,
mencakup berbagai tata-baca yang beliau ajarkan, selanjutnya dicocokkan dengan bacaan
6 Departemen Agama Republik Indonesia, Surya Surabaya, Al-Quran.

sahabat dan tulisan-tulisan yang ada, dibaca ayat demi ayat, mulai dari al-Fatihah hingga katakata "Min al-jinnati wa al-naas" di akhir surah al-Nas (sama dengan yang ada sekarang ini).
Pembukuan berlangsung kurang lebih selama 15 bulan, pada tahun 12 hijriyah, dimulai dan
selesai pada masa Abu Bakar masih menjabat sebagai Khalifah. Pada waktu itu tidak ada
seorang sahabat pun yang merasa keberatan, atau berusaha memalsu, menambah, mengurangi,
menjungkir

balik

susunan

surat

atau

ayatnya,

dan

lain

sebagainya.

Mushhaf ini kemudian diserahkan kepada Khalifah Abu Bakar untuk disimpan dan menjadi
milik negara, kemudian disimpan Khalifah 'Umar selanjutnya oleh Hafshah ummu al-mu'minin
binti 'Umar, setelah Umar dibunuh orang.
Sementara itu para sahabat tetap mengajar dan menyebarkan al-Qur'an berdasarkan
pengetahuan dan hafalan masing-masing, dari tahun ke tahun sampai ketika 'Utsman ibn 'Affan
menjadi Khalifah. Walaupun demikian tidak mungkin mereka bersepakat berbuat bohong
terhadap al-Qur'an (al-Taubah : 100. al-Mu'minun: 58-61). Al-Qur'an tersebut merangkum
semua bacaan-bacaan seperti yang diajarkan Malaikat Jibril kepada Nabi sebagaimana yang
diceritakan Hadits-hadits tentang turunnya al-Qur'an dengan "Tujuh Huruf"(117) yang
disebutkan di muka. Karena itu tata-tulisnya dikerjakan tanpa titik dan baris (harakat), sehingga
mengandung kemungkinan bisa dibaca dengan berbagai tata-baca sebagaimana yang diajarkan
Nabi, dan sejak itu sudah dinamakan "al-Mushhaf"(118).7
D. Mushaf al-Quran Pasca Usman
Dalam dunia islam muncul keraguan dikalangan sekte-sekte tertentu terhadap integritas
mushaf Usmani, skeptisme semacam ini pada faktanya tidak dipijakkan pada kritik historis atau

kajian ilmiah yang mendalam tentangnya, tetapi lebih bertumpuk pada prasangka dogmatis atau
7 H. M. Anas Adnan Lc. M. Ag, Jurnal, Fakultas Agama Islam (FAI) pada Universitas
Muhammadiyah Surabaya.

etis. Jadi sekelompok mutasilah yang saleh mengemukakan keraguan mereka terhadap bagianbagian tertentu al-Quran yang berisi hujatan-hujatan kepada musuh-musuh Nabi integral kitab
suci tersebut, dan dengan demikian bukan merupakan bagian integral kitab sucih tersebut, bagi
mereka tidak mungkin suatu pekabaran mulia berasal dari luh yang terpelihara memuat halhal semaca itu. Demikian pula sekte Maimuniya dari Aliran Khawarij menolak eksistensi surah
12 (Yusuf) sebagai bagian kitab suci al-Quran, karena surat ini menurut mereka berisi kisah
cinta yang tidak patut di kategorikan sebagai wahyu al-Quran.8
1. Pemberian Harakat (Nuqath Al-Irab)
Sebagaimana telah diketahui, bahwa naskah mushaf Utsmani generasi pertama adalah
naskah yang ditulis tanpa alat bantu baca yang berupa titik pada huruf (nuqath al-ijam) dan
harakat (nuqath al-irab) yang lazim kita temukan hari ini dalam berbagai edisi mushaf AlQuran-. Langkah ini sengaja ditempuh oleh Khalifah Utsman r.a. dengan tujuan agar rasm
(tulisan) tersebut dapat mengakomodir ragam qiraat yang diterima lalu diajarkan oleh
Rasulullah saw. Dan ketika naskah-naskah itu dikirim ke berbagai wilayah, semuanya pun
menerima langkah tersebut, lalu kaum muslimin pun melakukan langkah duplikasi terhadap
mushaf-mushaf tersebut; terutama untuk keperluan pribadi mereka masing-masing. Dan
duplikasi itu tetap dilakukan tanpa adanya penambahan titik ataupun harakat terhadap kata-kata
dalam mushaf tersebut.9[15] Hal ini berlangsung selama kurang lebih 40 tahun lamanya.
Hal ini kemudian menjadi sumber kekhawatiran tersendiri di kalangan penguasa muslim.
Terutama karena mengingat mushaf Al-Quran yang umum tersebar saat itu tidak didukung
dengan alat bantu baca berupa titik dan harakat.
Dalam beberapa referensi disebutkan bahwa yang pertama kali mendapatkan ide
pemberian tanda bacaan terhadap mushaf Al-Quran adalah Ziyad bin Abihi, salah seorang
gubernur yang diangkat oleh Muawiyah bin Abi Sufyan r.a. untuk wilayah Bashrah (45-53 H).
Kemudian Ziyad meminta kepada Abu Al-Aswad untuk mengerjakannya. Abu al-Aswad sendiri
pada mulanya menyatakan keberatan untuk melakukan tugas itu. Namun Ziyad membuat

8 Taufiq Adnan Ama, Rekonstruksi sejarah Al-quran (Forum kajian Budaya dan Agama FKBA)
Yogayakarta: 2001, hal. 234
9

semacam perangkap kecil untuk mendorongnya memenuhi permintaan Ziyad. Inilah yang
kemudian membuatnya memenuhi permintaan yang diajukan oleh Ziyad. Ia pun menunjuk
seorang pria dari suku Abd al-Qais untuk membantu usahanya itu.
Tanda pertama yang diberikan oleh Abu al-Aswad adalah harakat (nuqath al-irab).
Metode pemberian harakat itu adalah Abu al-Aswad membaca Al-Quran dengan hafalannya,
lalu stafnya sembari memegang mushaf memberikan harakat pada huruf terakhir setiap kata
dengan warna yang berbeda dengan warna tinta kata-kata dalam mushaf tersebut. Harakat
fathah ditandai dengan satu titik di atas huruf, kasrah ditandai dengan satu titik dibawahnya,
dhammah ditandai dengan titik didepannya, dan tanwin ditandai dengan dua titik. Demikianlah,
dan Abu al-Aswad pun membaca Al-Quran dan stafnya memberikan tanda itu. Dan setiap kali
usai dari satu halaman, Abu al-Aswad pun memeriksanya kembali sebelum melanjutkan ke
halaman berikutnya.
2. Pemberian Titik pada Huruf (Nuqath al-Ijam)
Pemberian tanda titik pada huruf ini memang dilakukan belakangan dibanding pemberian
harakat. Pemberian tanda ini bertujuan untuk membedakan antara huruf-huruf yang memiliki
bentuk penulisan yang sama, namun pengucapannya berbeda.
Ada beberapa pendapat yang berbeda mengenai siapakah yang pertama kali menggagas
penggunaan tanda titik ini untuk mushaf Al-Quran. Namun pendapat yang paling kuat
nampaknya mengarah pada Nashr bin Ashim dan Yahya bin Yamar.
Setelah

melewati

berbagai

pertimbangan,

keduanya

lalu

memutuskan

untuk

menghidupkan kembali tradisi nuqath al-ijam (pemberian titik untuk membedakan pelafalan
huruf yang memiliki bentuk yang sama). Muncullah metode al-ihmal dan al-ijam.10[16] Alihmal adalah membiarkan huruf tanpa titik, dan al-ijam adalah memberikan titik pada huruf.11
E. Uupaya Pemeliharaan Al-Quran Abad Modern
Pengertian Pemeliharaan al-Quran Pemeliharaan Al-Quran terdiri atas dua kata yaitu
pemeliharaan dan Al-Quran. Pemeliharaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
proses

pembuatan,

penjagaan

dan

perawatan.

10
11 Fathun Nasir, Makalah (STAI Al-Azhar) Surabaya

Sedangkan

Al-Quran

adalah:

Kitab suci umat islam yang berisi firman-firman Allah yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad saw., dengan perantaraan Malaikat Jibril untuk dibaca, dipahami, dan diamalkan
sebagai petunjuk dan pedoman hidup umat manusia.12
Sejak awal diturunkannya Empat belas abad yang lalu Sampai masa modern saat ini AlQuran senantiasa terjaga kemurnian dan kesuciannya. Karena Al-Quran satu-satunya kitab
yang dijaga oleh Allah keotentikannya, sebagiamana firman Allah SWT., dalam Q.S. Al-Hijr
(15) : 9 sebagai berikut: Terjemahnya: Sesungguhnya kami telah menurunkan peringatan (AlQuran) dan sesungguhnya kamilah yang memeliharanya.13
Pemeliharaan Al-Quran di Masa Sekarang, meskipun Al-Quran telah dibukukan pada
masa Usman bin Affan dan semua umat islam menyakini bahwa di dalamnya tidak ada
perubahan dari apa yang telah diturunkan kepada Rasulullah SAW. 14 abad yang lalu. Namun
orang orientalis masih saja ada yang meragukan keotentikan Al-Quran. Diantara mereka ada
yang mencoba melakukan yaitu dengan cara perubahan terhadap isi Al-Quran dengan merubah
sebagian teksnya, atau dengan cara merubah satu huruf yang mirip seperti dirubah jadi
sehingga-berubah-arti-dan-maknanya. Upaya-upaya kaum orientalis ini tidak pernah mengalami
keberhasilan karena sangat banyak umat Islam yang menghafal Al-Quran, sehingga perubahan
sedikit pun dari redaksi Al-Quran pasti ditemukan. Karena upaya tersebut tidak berhasil maka
mereka mencoba cara lain dengan melakukan yaitu melakukan penafsiran tidak sesuai dengan
makna yang sebenarnya. Apalagi banyaknya kisah israiliyyat yang merasuki penafsiran alQuran. kisah dan dongeng yang disusupkan dalam tafsir dan hadits yang asal periwayatannya
kembali kepada sumbernya yaitu Yahudi, Nashrani dan yang lainnya. Cerita-cerita yang sengaja
diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadits tersebut sama sekali tidak
dijumpai

dasarnya

dalam

sumber-sumber

lama.

Mufassir dituntut untuk memperhatikan cakupan pengertian dan keserasian makna yang
ditunjuk oleh redaksi ayat Al-Quran. Di samping itu harus tetap memelihara dan
memperhatikan semua konsekuensi makna yang terkandung dalam redaksi ayat, serta makna
lain yang mengarah kepadanya, yaitu makna yang tidak terjangkau oleh penyebutan redaksi
ayat,

tetapi

12 Kamus Besar Bahasa indonesia.


13 Al-Quran Q.S. Al-Hijr (15) : 9

relevan

dengannya.

10

Menurut para ulama, seseorang yang hendak menafsirkan ayat Al-Quran, hendaklah lebih
dahulu mencari tafsir ayat tersebut di dalam Al-Quran sendiri, karena kerap kali ayat-ayat itu
bersifat global di suatu tempat, sedang penjelasannya terdapat di tempat lain (ayat lain),
terkadang ayat itu bersifat ringkas di suatu tempat, dan penjelasannya ditemukan di tempat lain
(ayat lain). Lantaran yang lebih mengetahui makna Al-Quran secara tepat hanyalah Allah. Jika
tidak ada ayat yang dapat dijadikan tafsir bagi ayat itu, hendaklah memeriksa hadis-hadis Nabi.
Karena sunnah merupakan penjelas makna ayat Al-Quran. Jika tidak menemukan di dalam
sunnah hendaklah merujuk kepada perkataan sahabat, sesungguhnya mereka lebih tahu
mengenai hal itu lantaran mereka mendengar sendiri dari mulut Rasulullah dan menyaksikan
sebab-sebab turunnya ayat dan suasana yang meliputi ketika turunnya, mereka juga memiliki
pemahaman

bahasa

Arab

yang

benar,

ilmu

yang

benar

dan

amal

shalih.

Dalam hal tersebut di atas, maka pemeliharaan Al-Quran tidaklah berhenti sampai di situ,
melainkan umat Islam di masa sekarang haruslah senantiasa memelihara dan menjaga
keotentikan al-Quran dengan cara berusaha menghafal, mempelajari dan mengkaji Al-Quran,
serta memahami makna yang sebenarnya berdasarkan kaidah tafsir, sehingga setiap perubahan
isi Al-Quran serta adanya upaya untuk menafsirkan tidak sesuai dengan makna yang
sebenarnya dapat diketahui.
Dengan

mengetahui

secara

mendalam

tentang

pengumpulan

al-Quran,

serta

memeliharanya dengan menghafal dan memahami maknanya, maka kita akan menjadikannya
pedoman yang diyakini kebenarannya karena sebuah kitab suci harus dipertanggung jawabkan
keotentikannya sehingga tetap bisa dianggap sebagai kitab suci dan untuk membuktikan
keotentikan sebuah kitab suci salah satu caranya adalah dengan mengetahui sejarah turun
ataupun cara pengumpulannya serta untuk mengetahui sampai dimana usaha para sahabat
setelah Rasululllah saw. wafat, dalam memelihara dan melestarikan..Al-Quran.14

11
14 Mustanan, Diposkan oleh islam adalah rahmah. Tahun 2010

BAB III
PENUTUP
Sebagaimana kita pahami bahwa al-Quran kitab suci umat Islam yang sangat dimuliakan,
sehinga kitab suci sangan jagah kebedaannya sehingga kesucian dan kesempurnaannya tetap
selalu terjaga dan terpelihara, al-Quran sebagai tuntunan hidup umat Islam dalam sejarah
perkembangannya melalui proses yang tidak muda sehingga bisa menjadi kitab suci yang
sempurnah dalam pembukuan, sehingga kita umat islam mempunyai kewajiban untuk menjaga,
membaca dan memahami makna yang tekandung didalamnya.
Dalam penjelasan makalah ini penulis berusaha untuk memaparkan secara lengkap
tentang sejarah Mushaf al-Quran, dalam perkembangannya mushaf al-Quran melalui
beberapa pase-pase sehingga bisa menjadi al-Quran yang dibukukan, mulai dari pertama
diturunkannya kepad nabi Muhammad, proses pengafalannya dan pemeliharaan oleh para
sahabat, para tabiin, tabi-tabiin sampai kepada kita sekarang ini,.

Daftar Pustaka
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofii, UlumulQuran I,hlm.71-72.
Manna Khalil al-Qattan, di terjemahkan oleh Drs. Mudzakir AS. STUDI ILMUILMU QURAN (Jakarta: PT Pustaka Litera) hal. 179, 180, 181, 185,186,187
dan 188

12

Taufiq Adnan Ama, Rekonstruksi sejarah Al-quran (Forum kajian Budaya dan
Agama FKBA) Yogayakarta: 2001, hal. 133, 234

Departemen

Agama

Republik

Indonesia,

Muqaddimah

Al-Quran

dan

Terjemahnya, PT. Karya Toha Putra; Semarang. 2002. Hlm.18


H. M. Anas Adnan Lc. M. Ag, Jurnal, Fakultas Agama Islam (FAI) pada
Universitas Muhammadiyah Surabaya.
Fathun Nasir, Makalah (STAI Al-Azhar) Surabaya
Kamus Besar Bahasa indonesia.
Mustanan, Diposkan oleh islam adalah rahmah. Tahun 2010

13

Anda mungkin juga menyukai