Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Kodifikasi Al-Qur’an

Pengertian
Kodifikasi Al-Qur’an adalah proses penghimpunan, penyusunan, pencatatan yang telah dihasilkan oleh
pembakuan dalam bentuk buku, pemeliharaan, dan pencetakan Al-Qur’an sejak masa Nabi Muhammad SAW
sampai sekarang. Kata kodifikasi (pengumpulan/al-jam’) dalam arti penghafalan, sehingga orang-orang yang
hafal Al-Qur’an disebut jumma’ Al-Qur’an atau huffadz Al-Qur’an. Kata kodifikasi dalam arti penulisannya,
yakni penghimpunan seluruh al-Qur’an dalam bentuk tulisan, yang memisahkan masing-masing ayat dan
surah, atau hanya mengatur susunan ayat-ayat al-Qur’an saja dan mengatur susunan semua ayat dan surah di
dalam beberapa shahifah yang kemudian disatukan sehingga menjadi suatu koleksi yang merangkum semua
surah yang sebelumnya telah disusun satu demi satu.

Periodisasi
Kodifikasi terbagi ke dalam beberapa masa:

1. Masa Nabi Muhammad SAW


 Kodifikasi Al-Qur’an masa Nabi SAW ada dua:
 Hafalan: Setiap kali malaikat Jibril datang membawa ayat al-Qur’an, Nabi SAW langsung
menghafalnya. Nabi SAW adalah seorang penghafal al-Qur’an terbaik karena:
- Nabi SAW sebagai rasul yang diutus untuk menyampaikan ajaran-ajaran Allah SWT,
sehingga Allah memudahkan beliau untuk dapat menghafal al-Qur’an.
- Nabi SAW dan para sahabat terkenal sebagai orang-orang yang memiliki daya hafalan yang
kuat.
 Tulisan: Ada beberapa sahabat yang bertugas untuk menulis wahyu yang turun kepada Nabi
SAW.
 Para Sahabat Penghafal Al-Qur’an:
Sahabat adalah orang-orang yang punya keinginan yang besar untuk dapat belajar al-Qur’an
bersama Nabi SAW. Mereka sering mengikuti Nabi SAW dalam berbagai kesempatan, sehingga
tidak heran jika mereka sering menyaksikan langsung Nabi menerima al-Qur’an dari Jibril, dan
kemudian mereka ikut menghafalnya bersama Nabi SAW. Sahabat yang terkenal sebagai penghafal
yaitu Ibnu Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Mu’az bin Jabal, Ubay bin Ka’b, Abu Zaid bin Sakan, Abu
Darda’, dan Zaid bin Tsabit.
 Metode Tulisan:
Di samping menghafal, Nabi juga berusaha mendokumentasikan Al-Qur’an dalam bentuk
tulisan. Karena itulah, beliau menunjuk beberapa orang sahabat yang ahli menulis, seperti ‘Ali bin
Abi Thalib, Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Ubay bin Ka’b, dan Zaid bin Tsabit. Setiap kali ayat turun,
beliau memerintahkan menulis ayat tersebut pada tempat yang sudah ditentukan, baik dalam
kelompok surat maupun urutan ayatnya. Alat yang digunakan yaitu pelepah kurma, lempengan
batu, daun lontar, kulit kayu, potongan tulang, dan kulit hewan.
 Para Sahabat Penulis Al-Qur’an:
Sebelum Nabi SAW wafat, seluruh ayat al-Qur’an sudah ditulis secara lengkap, namun belum
terkumpul dalam satu mushaf. Alasan tidak dikumpulkan dalam satu mushaf, yaitu karena ayat al-
Qur’an masih turun semasa beliau hidup; dan sistematika ayat dan surat bukan berdasarkan
kronologi turunnya. Sahabat yang menulis al-Qur’an secara pribadi diantaranya yaitu ‘Ali bin Abi
Thalib, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’b, Ibnu Mas’ud, Zaid bin Tsabit, dll.
2. Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq
Yang dimaksud adalah kodifikasi atau pengumpulan al-Qur’an yang masih terpisah pada berbagai
macam lembaran menjadi satu kesetuan yang utuh. Alasannya karena ada kurang lebih 70 orang sahabat
penghafal al-Qur’an yang gugur dalam perang Yamamah. Jika dibiarkan, lama kelamaan al-Qur’an akan
hilang bersama gugurnya para sahabat. Usulan ini datang dari Umar nin Khaththab ketika menyaksikan
perang tersebut. Abu Bakar bersedia melakukan pekerjaan ini, sebagai sebuah pekerjaan yang sangat
mulia, karena berkaitan dengan pemeliharaan al-Qur’an.
Yang ditunjuk oleh Abu Bakar sebagai pengumpul al-Qur’an adalah Zaid bin Tsabit. Alasannya, dia
adalah orang kepercayaan Nabi SAW, pernah menjadi juru tulis Nabi, dan dia adalah sahabat yang
terakhir mentadaruskan al-Qur’an di hadapan Nabi SAW secara lengkap 30 juz sebelum Nabi SAW wafat.
Cara yang digunakan Zaid dalam pengumpulan tersebut adalah melalui dua hal, yaitu hafalan dan tulisan
dari para sahabat penghafal dan penulis al-Qur’an. Al-Qur’an hasil pengumpulan kemudian disimpan oleh
Abu Bakar, kemudian Umar bin Khaththab, lalu Chafshah bint Umar, yang kemudian disebut “Mushaf al-
Qur’an”.
3. Masa Utsman bin ‘Affan
Kodifikasi yang dimaksud adalah penulisan kembali naskah al-Qur’an yang bersumber dari naskah
yang sudah dikumpulkan Abu Bakar menjadi beberapa copy. Alasannya adalah munculnya perbedaan
cara membaca ayat al-Qur’an di kalangan umat Islam setelah Islam berkembang secara luas, sehingga
terjadi perselisihan. Orang yang mengusulkan adalah Hudzaifah bin Yaman, setelah dia melihat
perselisihan di kalangan umat Islam, yaitu ketika terjadinya perang umat Islam di Armenia dan
Azerbaijan. Orang yang ditunjuk oleh Usman untuk melakukan tugas tersebut yaitu Zaid bin Tsabit,
Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin ‘Ash, dan Abdurrahman bin Harits. Al-Qur’an yang dijadikan pedoman
oleh tim penulis adalah al-Qur’an yang disimpan pleh Chafshah. Hasil kerja tim penulis ini digandakan
menjadi 5 eksemplar, masing-masing dikirim ke Kufah, Bashrah, Syam, dan Mekah, dan 1 eksemplar di
Madinah agar umat Islam disana punya satu kitab suci yang sama yang bisa dijadikan sandaran dalam
membaca. Al-Qur’an hasil kerja tim ini disebut “Mushaf ‘Utsmani”.
4. Pasca Kodifikasi ‘Utsman bin ‘Affan
 Pemberian titik dan syakal
 Latar Belakang: Sejarah pemberian titik dan syakal dalam Al-Qur’an dilatarbelakangi oleh
adanya kebutuhan umat Islam karena terjadi ‘ujmah (kekeliruan dalam menentukan jenis huruf)
dan lachn (kesalahan dalam membaca).
 Periodisasi, terbagi dalam tiga periode:
- Pertama, bermula ketika Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib R.A. mempunyai inisiatif untuk
membuat I’rab al-Qur’an, guna mempermudah umat Islam dalam mempelajari Bahasa
Arab dan membaca Al-Qur’an. Usaha ini dilaksanakan oleh Abu al-Aswad al-Du’ali.
- Kedua, masa Dinasti Umayah. Berawal dari masih banyak kesalahan dalam membaca Al-
Qur’an. Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan memerintahkan Abu al-Aswad untuk membuat
tanda baca, dengan memberikan tanda titik dengan warna yang berbeda dengan warna
tulisan Al-Qur’an. Hal ini bertujuan untuk mempermudah membedakan antara huruf
hija’iyah dengan tanda baca. Kemudian Abdul Malik ibn Marwan, memerintahkan Nashr
ibn ‘Ashim dan Yahya ibn Ya’mur untuk membuat tanda huruf, guna membedakan huruf
yang mempunyai karakter penulisan yang sama.
- Ketiga, bermula ketika umat muslim kebingungan dalam membaca Al-Qur’an. Hal ini
disebabkan banyaknya tanda titik pada tulisan Al-Qur’an, yang dibuat oleh Abu al-Aswad
al-Du’ali, Nashr ibn ‘Ashim dan Yahya ibn Ya’mur. Akhirnya atas inisiatif Al-Khalil ibn Ahmad
Al-Farahidi membuat pembeda antara tanda titik pada huruf dan tanda titik syakal. Pada
masa ini diberikan juga tanda baris berupa dhammah, fathah, kasrah, dan sukun untuk
memperindah dan memudahkan umat Islam dalam membaca Al-Qur’an
- Pada masa Khalifah al-Makmun, para ulama berijtihad dengan menciptakan tanda-tanda
baca tajwid yang berupa isymam, rum, dan mad. Mereka juga membuat tanda lingkaran
bulat sebagai pemisah ayat dan mencantumkan nomor ayat, tanda-tanda waqf (berhenti
membaca), ibtida’ (memulai membaca), identitas surah pada awal setiap surah yang terdiri
atas nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ruku’, juz dan diikuti dengan
penomorannya dan tanda untuk menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima,
sepersepuluh, setengah juz, dan juz itu sendiri. Dengan adanya tanda-tanda tersebut, kini
umat Islam di seluruh dunia, apapun ras dan warna kulit serta bahasa yang dianutnya,
mereka mudah membaca Al-Qur’an.
 Pencetakan Al-Qur’an
 Sejak masa Utsman bin ‘Affan (35 H) sampai masa Turki Usmani (1123 H) al-Qur’an ditulis dan
diperbanyak secara manual.
 Tahun 1694 M al-Qur’an dicetak pertama kali di Hanburg, Jerman.
 Tahun 1828 M al-Qur’an dicetak oleh negara Islam yaitu Iran, di Teheran dan Tibris.
 Percetakan yang khusus untuk mencetak al-Qur’an muncul di Lepizig, Jerman pada tahun 1834
M.
 Pencetakan Al-Qur’an berkembang pesat pada abad 20 hingga abad 21 saat ini.

Anda mungkin juga menyukai