Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

JUDUL

NASAKH, NASIKH, MANSUK

Diajukan Kepada Program Pascasarjana IAIN Manado Sebagai Salah Satu Mata Kuliah
Ushul Fiqh

Oleh:

Muhamad Nasir Daeng Mangala

NIM 222

Dosen Pengampu:

Dr. Frangki Suleman

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA/ AKHHWAL AL-SYAKHSIYAH

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat-Nya sehingga
makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Ushul Fiqh. Tidak lupa pula ucapan terima kasih juga untuk beberapa
pihak yang telah berkontribusi hingga penyusunan makalah ini selesai .

Saya sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan mengenai
bagaimana Ushul Fiqh secara umum. Kami juga sangat berharap semoga informasi dan
materi yang terdapat dalam makalah ini dapat bermanfaat bagi yang membaca nya. Tiada
yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT. Tuhan yang maha sempurna, karena itu saya
memohon krtitik dan saran yang membangun bagi perbaikan makalah saya selanjutnya.

Demikian makalah ini dibuat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan, atau pun
adanya ketidaksesuaian materi yang di angkat pada makalah ini, saya memohon maaf. Saya
selaku penulis menerima kritik dan saran seluas-luas nya dari pembaca agar bisa membuat
karya makalah yang lebih baik pada kesempatan berikutnya.

Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh.

Manado, 25 Desember 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................2
DAFTAR ISI..............................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................4
A. Latar Belakang..............................................................................................................4
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................4
C. Tujuan Masalah............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................................5
A. Nasakh............................................................................................................................5
1. Pengertian Nasakh.......................................................................................................5
2. Macam-macam Nasakh...............................................................................................7
3. Hikmah Nasakh...........................................................................................................8
B. Nasikh.............................................................................................................................9
1. Pengertian Nasikh........................................................................................................9
2. Pembagian dan Macam-macam Nasikh Dalam Al-Qur’an.......................................10
C. Mansukh.......................................................................................................................10
1. Pengertian Mansukh..................................................................................................10
2. Macam-macam Mansukh..........................................................................................10
3. Hikmah Mansukh......................................................................................................13
BAB III PENUTUP..................................................................................................................14
A. Kesimpulan.......................................................................................................................14
B. Saran.............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................15
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Qur’an sebagai poros utama sumber hukum Islam merupakan kitab suci yang
didalamnya termuat dua bentuk tatanan hubungan universal, vertikal (hubungan manusia
dengan Allah) dan horizontal (hubungan manusia dengan manusia dan alam semesta). Lebih
dari 80 persen kandungan al-Qur’an secara teoritis membahas tentang permasalahan sosial
yang mencakup perdata, mu’amalah, pidana dan berbagai tata aturan hubungan manusia
dengan alam sekitar. Selebihnya al-Qur’an membahas yang berkenaan dengan akhirat, yaitu
kepatuhan penuh (‘ubudiyah).
Setelah al-Qur’an ada al-hadits yang juga memiliki peran signifikan dalam perumusan
hukum Islam. Di samping sekaligus sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, al-hadits
juga berperan sebagai “penerjemah” bahasa al-Qur’an. Karena al-hadits muncul
dari prototype kesempurnaan manusia yaitu Muhammad saw. yang membawa risalah Islam
yang mana sabda beliau bukan berasal dari nafsu humani, melainkan wahyu dari Allah swt.
Al-Qur’an sebagai dasar utama pijakan hukum Islam, sarat akan wahana keilmuan
yang teramat luas, yang hingga sampai saat ini, kajian keilmuan tentang al-Quran masih terus
berlanjut. Dan hingga akhir zaman, baik pembahasan maupun kritikan terhadap al-Qur’an
tidak akan pernah berhenti. Nasakh, nasikh dan mansukh, termasuk salah satu kajian
keilmuan Islam yang sering diperdebatkan tentang keberadaannya dalam al-Qur’an.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Nasakh, Nasikh, dan Mansukh?
2. Apa saja macam-macam bentuk dari Nasakh, Nasikh dan Mansukh?
3. Apa saja hikmah yang bisa didapat dari Nasakh, Nasikh, dan Mansukh?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui apa itu Nasakh, Nasikh dan Mansukh
2. Mengetahui macam-macam bentuk dari Nasakh, Nasikh dan Mansukh
3. Mengetahui hikmah yang terdapat di dalam Nasakh, Nasikh dan Mansukh
BAB II
PEMBAHASAN
A. Nasakh
1. Pengertian Nasakh

Secara etimologi, nasakh dalam Bahasa Arab memiliki beberapa makna. Kata ini
bisa dimaknai dengan “al-naql” (memindahkan). Dalam ungkapan Arab disebutkan
memindahkan saya apabila kitab-al nasakhtu (‫ه وخطه‬DD‫ا لفظ‬DD‫نسخت الكتاب إذا نقلت ما فيه حاكي‬
isinya, lafaz dan tulisannya). Kata ini juga bisa bermakna “izalah” (menghilangkan
atau menghapus). Makna izalah di sini bisa dalam arti menghapus tanpa
menggantikan posisinya. Seperti ungkapan ‫ )اآلثر الريح نسخت‬angin menghapus jejak dan
membersihkannya). Izalah juga dipahami dengan menghapus sesuatu dan apabila
‫ نسخت الشمس الظل‬Dikatakan). ‫ )ازالة الشيء و الحلول محله‬posisinya menggantikan matahari
menghapus dan menghilangkan mendung dan mengganti posisinya dengan terang.
Kata nasakh juga berarti tahwil (mengalihkan). Dikatakan ‫ المواريث تناسخ‬arti ‫واحد إلى‬
‫ )واحد من الميراث تحويل‬mengalihkan warisan dari seseorang ke orang lain).

Ketika dikaitkan dengan al-Qur'an, pertanyaan yang sering timbul apa makna
nasakh yang paling tepat. Mana makna yang termasuk makna hakiki dan mana yang
majazi? Menurut al-Nuhas dan dikuatkan oleh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Barkat
al-Suddi, makna kata nasakh yang paling cocok adalah al-naql (memindahkan).
Wahyu yang diturunkan secara berangsur-angsur semuanya telah ada di Umm al-
Kitab yakni diLauh al-Mahfuzh. Setelah diturunkan, al-Qur'an kemudian dipindahkan
dan ditulis dalam mushaf.

Berbeda dengan pendapat al-Nuhas, Abu Muhammad al-Makki menyebutkan


makna yang paling sesuai untuk kata nasakh adalah izalah baik dengan arti
menghapuskan tanpa menggantikan posisinya maupun menghapus dan mengganti
posisi yang dihapuskan. Sedangkan makna al-naql tidak sesuai dengan makna nasakh,
sebab tidak ada ayat dalam al-Qur'an yang me-nasakh (menggantikan atau menghapus
hukum) ayat yang lain, sedang keduanya memiliki lafaz dan makna yang sama serta
keduanya masih tetap ada. Kata al-naql berimplikasi melahirkan duplikat dari sesuatu
yang dipindahkan. Bila dikatakan naqaltu al-kitab ila kitab, maknanya adalah bahwa
isi kitab tersebut masih tetap ada karena telah disalin ke kitab yang lain.
Tampaknya pendapat al-Makki ini lebih banyak diikuti oleh ulama sesudahnya.
Bila melihat makna term nasakh yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur'an, lebih
banyakmerujuk pada makna izalah (menghilangkan atau menghapus) atau al-raf‘u
(mengangkat untuk digantikan dengan yang lain). Setiap peristiwa, kondisi, dan
situasi tidak mungkin kosong dari hukum syariat. Jika hukum dihilangkan, maka
harus diganti dengan hukum lain. Al-Zamakhsyari menafsirkan term nasakh dalam
ayat dengan makna izalatuha bi ibdali ukhra makanaha (menghapus atau
menghilangkan dengan mengganti posisinya dengan yang lain).

Senada dengan pendapat tersebut, al-Razi menyebutkan dua pengertian nasakh;


pertama, meninggalkan atau melupakannya sehingga teks dan hukumnya terangkat;
kedua, mengganti dengan yang lain baik mengganti lafaz atau hukum atau mengganti
keduanya.

Secara terminologis, nasakh mengalami perkembangan dan perubahan makna


antara pemahaman ulama salaf dan ulama muta'akhkhirrin. Ulama salaf memahami
terminologi nasakh dengan makna yang luas. Nasakh bermakna global yakni segala
yang terkait dengan dilalah sebuah nas (teks ayat) yang bertentangan dengan nas yang
lain. Dengan demikian, nasakh tidak hanya bermakna pembatalan hukum yang telah
ditetapkan terdahulu dengan hukum yang datang kemudian, namun juga berarti
pengecualian hukum yang bersifat umum dengan hukum yang bersifat khusus yang
datang kemudian (takhshish al-‘am), penjelasan yang datang kemudian terhadap
hukum yang bersifat samar dan global (tabyin al-mujmal), penetapan syarat terhadap
hukum terdahulu yang belum bersyarat (taqyid al-muthlaq), maupun pengecualaian
(istitsna').

Al-Syathibi dalam bukunya al-Muwafaqat menyebutkan bahwa pada dasarnya


terdapat perbedaan makna nasakh antara ulama mutaqaddimin dengan ulama ushul.
Ulama salaf menganggap taqyid al-muthlaq sebagai nasakh, takhshish al-‘am baik
dengan dalil muttasil maupun munfashil al-nasakh, tabyin al-mujmal maupun istitsna'
juga nasakh.

Para sahabat misalnya, mereka memahami nasakh hanya sekedar pertentangan


satu ayat dengan ayat yang lain dalam hal kejelasan lafaz. Sekalipun dari segi
keumuman dan kekhususan lafaz tersebut atau pengkhususannya (takhshîsh).
Sehingga pada masa ini tidak heran bila banyak ayat al-Qur'an yang tergolong ayat
yang nasikh dan mansukh. Pemahaman nasakh dengan makna yang khusus baru
muncul setelah al-Syafi‘i. Ia disebut sebagai orang pertama yang merumuskan definisi
nasakh. Menurut al-Syafi‘i, nasakh bermakna taraka fardhuhu (meninggalkan
kewajibannya). Maksudnya membatalkan beramal dengan hukum yang mansukh.
Sesuatu yang wajib tidak bisa ditinggalkan kecuali telah ada kewajiban lain yang
menggantikannya. Seperti menghapus kewajiban salat menghadap Baitul Maqdis
setelah adanya kewajiban menghadap Ka’bah. Dari ungkapan ini, al-Syafi‘i
membatasi makna nasakh dengan membatalkan hukum yang mansukh, sehingga di
dalam terminologi nasakh tidak lagi termasuk di dalamnya takhshish, taqyid dan
tabyin al-mujmal.

Makna terminologis yang dirumuskan ulama setelah al-Syafi‘i, umumnya


merujuk pada pengertian al-Syafi‘i. Al-Zarqani mewakili kalangan ahli ilmu al-
Qur'an, memformulasikan nasakh dengan:

‫رفع احلكم الشرعي بدليل شرعي‬

“Penghapusan hukum syar‘i berdasarkan dalil syar‘i”

Sementara Abu Zahrah, yang mereferensikan kalangan ushuliyyin, mendefinisikan


nasakh dengan:

‫رفع الشارع حكما شرعيا بدليل متأخرين‬

“Penghapusan hukum syara‘ oleh Syâri‘ (Allah) dengan dalil syar‘i yang dating
kemudian”.

Penulis berpendapat dua defenisi ini sudah cukup representatif dalam menjelaskan
makna nasakh secara terminologis. Nasakh dipahami dengan mengangkat, menghapus,
atau membatalkan hukum syar‘i dengan adanya hukum syar‘i yang dating kemudian
yang menjelaskan telah berakhirnya hukum yang terdahulu.

2. Macam-macam Nasakh
Pendukung nasakh internal ayat al-Qur'an membedakan nasakh menjadi tiga model;
1. Naskh al-tilawah wa baqa' al-hukm. Nasakh yang terjadi pada bacaan atau teks al-
Qur'an saja tanpa me-nasakh hukum, hukumnya masih tetap berlaku. Contoh,
ayat tentang perintah merajam laki-laki atau perempuan pezina. Teks ayat ini
sudah dihapus, namun hukumnya masih berlaku. Nasakh model ini ditolak oleh
sebagian besar ulama karena bagaimana mungkin hukum masih berlaku
sedangkan nas atau teks ayat sudah tidak ada.
2. Naskh al-hukmi wa baqa' al-tilawah, yakni penghapusan pemberlakuan suatu
hukum dengan tidak menghapus bacaan (teksnya tetap diabadikan). Di antara
contohnya adalah perintah mengarahkan kiblat salat dari Baitul Maqdis ke
Ka’bah, penghapusan puasa selama tiga hari setiap bulan dan puasa ‘Asyura
dengan puasa Ramadan.
3. Naskh al-tilawah wa al-hukmi ma‘an, yaitu penghapusan teks (bacaan) al-Qur'an
dan sekaligus juga penghapusan hukum yang terkandung di dalamnya. Contoh
yang umum dikemukakan ialah iwayat ‘Aisyah yang pernah berkata bahwa pada
mulanya, diturunkan ayat al-Qur'an (tentang saudara sepersusuan yang
diharamkan menikah) adalah sepuluh susuan yang diketahui, kemudian di-nasakh
dengan lima kali (susuan) yang diketahui, kemudian setelah itu Rasulullah Saw
wafat.

3. Hikmah Nasakh
Ketetapan Allah tidak ada yang sia-sia, baik yang menyangkut alam raya maupun
dalam hal penetapan nasakh dalam al-Qur'an. Syariat Islam adalah syariat sempurna yang
selalu menjaga kemaslahatan umat manusia. Menjaga agar perkembangan hukum
senantiasa relevan dengan perkembangan kondisi umat dan peradaban manusia. Adanya
nasakh dalam al-Qur'an memiliki hikmah tersendiri yang pada muaranya kembali kepada
kemaslahatan manusia.

1. Memelihara kemaslahatan hamba. Syariat Allah adalah perwujudan dari rahmat-Nya.


Dia-lah Maha Mengetahui kemaslahatan hidup hamba-Nya. Melalui sarana syariat-
Nya, Allah mendidik manusia hidup tertib dan adil untuk mencapai kehidupan yang
aman, sejahtera dan bahagia di dunia dan akhirat.
2. Menguji kualitas keimanan umat dengan memberikan beberapa perumpamaan
kemudian meniadakannya.
3. Perkembangan hukum syara’ menuju tingkat kesempurnaan disesuaikan dengan
kondisi dan perkembangan peradaban manusia. Al-Qur’an diturunkan secara
beransur-ansur berkaitan dengan proses penetapan syariat. Allah yang Maha
Bijaksana mengetahui kondisi masyarakat Arab pada saat al-Qur'an turun. Adanya
tahapan-tahapan dalam menetapkan hukum berguna untuk memudahkan pelaksanaan
hukum tersebut.
4. Memberikan kebaikan dan kemudahan kepada umat. Apabila hukum yang terakhir
(yang menggantikan hukum sebelumnya) lebih berat tentunya yang mengerjakan
(mukallaf) mendapat pahala yang lebih besar. Sebaliknya, apabila hukum yang
terakhir lebih ringan, pasti akan lebih mudah mengerjakannya.

B. Nasikh
1. Pengertian Nasikh
Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti diantaranya berarti “Izalatu al-
syay’I waa’damuhu” (menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti
“Naqlu al syay’I” (memindahkan dan menyalin sesuatu), berarti “Tabdil”
(penggantian), berarti “Tahwil” (pengalihan).

Sedangkan Naskh secara istilah : mengangkat (mengahapus) hukum syara’


dengan dalil/khithab syara’ yang lain”. Maksud mengangkat hukum syara’ adalah
terutusnya kitab hukum yang Mansukh dengan perbuatan mukallaf. Definisi di atas
apabila dijelaskan lagi dapat kita tarik beberapa kesimpulan yakni :

a. Dipastikan Naskh apabila ada 2 (dua) hal yaitu Naskh dan Mansukh
b. Naskh harus turun belakangan dari Mansukh
c. Menilai suatu ayat sebagai penaskh dan yang dinaskhkan apabilan ayat-
ayat kontradiktif itu tidak dapat dikompromikan dan diamalkan secara
bersama sedangkan syarat kontradiksi;adanya persamaan subjek, objek,
waktu dan lain-lain.
d. Al-Nasikh pada hakikatnya adalah Allah, kadang-kadang dimaksud juga
dengan ayat yang menasikh Mansukh. Sedangkan Mansukh hukum yang
diangkat atau dihapus.

Dari definisi di atas dijelaskan bahwa komponen Naskh terdiri dari; adanya
pernyataan yang menunjukan terjadi pembatalan hukum yang telah ada, harus ada naskh
harus ada Mansukh dan harus ada yang dibebani hukum atasnya. Dalam naskh diperlukan
syarat yaitu hukum yang Mansukh adalah hukum syara’, dalil pengahpusan hukum tersebut
adalah kitab syar’i yang datang kemudian dari kitab yang dimansukh, dan kitab yang dihapus
atau diangkat hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu tertentu.

2. Pembagian dan Macam-macam Nasikh Dalam Al-Qur’an


Naskh terbagi kedalam 3 bagian:
a. Naskh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an. Para ulama yang mengakui
adanya naskh telah sepakat adanya naskh Al-Qur’an dengan Al-
Qur’an dan itupun telah terjadi menurut mereka. Salah satu contohnya
ayat ‘iddah satu tahun di-naskhan dengan ‘iddah 4 bulan 10 hari.
b. Naskh Al-Qur’an dengan Sunnah. Naskh yang macam ini terbagi
menjadi dua. Pertama naskh Al-Qur’an dengan hadits ahad. Jumhur
ulama berpendapat, hadits ahad tidak bisa menaskhan Al-Qur’an
karena Al-Qur’an adalah naskh yang mutawatir, menunjukan
keyakinan tanpa ada praduga atau dugaan padanya, sedangkan hadist
ahad adalah naskh yang bersifat zhanni dan tidak sah pula menghapus
suatu yang sudah diketahui dengan suatu yang sifat dugaan/diduga.
c. Naskh sunnah dengan al-Qur’an. Jumhur ulama membolehkan naskh
seperti ini, salah satu contohnya adalah menghadap ke Baitul maqdis
yang ditetapkan oleh sunnah, kemudian ketetapan ini di nashkan oleh
Al-Qur’an.

Nash sunnah dengan sunnah, sunnah maca mini terbagi pada empat macam, yaitu :
Naskh sunnah mutawatir dengan sunnah mutawatir, Naskh sunnah ahad dengan sunnah ahad,
naskh sunnah ahad dengan sunnah mutawatir, dan Naskh mutawatir dengan sunnah ahad.

C. Mansukh
1. Pengertian Mansukh
Secara etimologi Mansukh artinya “suatu hal yang diganti”. Sedang secara
istilah/terminologi, Mansukh diartikan sebagai “hukum syara' yang menempati posisi
awal, yang belum diubah dan belum diganti dengan hukum syara' yang datang
kemudian”.

2. Macam-macam Mansukh
Didalam Al-Qur’an terdapat beberapa macam yaitu :

a. Dihapus bacaan maupun hukumnya


Terdapat ayat al-Qur’an yang dihapus bacaan sekaligus hukumnya. Contohnya adalah
ayat yang menerangkan jumlah susuan yang membuat adanya hubungan mahram,
sehingga dilarang untuk menikah. Yaitu sebanyak sepuluh kali susuan. Kemudian
ayat itu dihapus, baik bacaannya maupun hukumnya. Ayatnya tidak lagi menjadi
bagian al-Qur’an. Hukumnya pun tidak lagi berlaku.
b. Dihapus bacaannya saja
Terdapat ayat al-Qur’an yang dihapus bacaannya. Adapun hukumnya masih tetap
berlaku.

Contoh pertama

Contohnya adalah ayat yang menerangkan jumlah susuan yang menyebabnya adanya
hubungan mahram. Yaitu sebanyak lima kali. Ayat itu dihapus bacaannya. Namun
hukumnya masih tetap berlaku.
Sebagaimana dijelaskan oleh Imam az-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan fi ‘Ulumil
Qur’an, bahwa ayat yang menyebut lima susuan itu masih tetap dibaca oleh sebagian
shahabat hingga menjelang wafatnya Rasulullah Saw. Karena mengira bahwa ayat itu
masih merupakan bagian dari al-Qur’an. Setelah mengetahui bahwa ayat itu sudah
dihapus bacaannya, maka mereka pun berhenti membacanya. Namun hukumnya
masih berlaku.

Hal ini juga dikuatkan oleh keterangan Imam an-Nawawi, bahwa memang turunnya
ayat menyebut lima susuan ini turun menjelang wafatnya Rasulullah Saw. Sehingga
ketika ayat itu dihapus bacaannya, sebagian shahabat masih belum mengetahuinya.
Dan mereka pun masih mengiranya sebagai bagian dari al-Qur’an dan membacanya
dengan keyakinan tersebut. Lalu datanglah kepada mereka informasi bahwa ayat itu
telah dihapus bacaannya. Dan masalah ini pun telah menjadi ijma’ para shahabat.

Contoh Kedua

Contoh yang lain, adalah ayat yang menerangkan hukuman bagi pelaku perbuatan
zina, yaitu hukuman rajam. Khususnya bagi laki-laki maupun perempuan yang sudah
menikah.

Sambil duduk di atas mimbar Rasulullah Saw. Umar bin Khattab berkata :
“Sesungguhnya Allah telah mengutus Muhammad Saw. dengan kebenaran, dan Dia
juga telah menurunkan kitab kepadanya. Di antara ayat yang diturunkan kepadanya,
yang kita semua telah membacanya, mempelajari dan berusaha memahaminya adalah
ayat tentang rajam. Rasulullah Saw. telah melaksanakan hukuman rajam tersebut.
Begitu juga kita akan tetap melaksanakan hukum tersebut setelah kepergian beliau.
Aku khawatir, jika semakin lama, maka akan ada yang berkata, ‘Di dalam al Qur’an
tidak kita dapati ayat mengenai hukum rajam’. Lantas mereka tersesat karena
meninggalkan hukum wajib itu yang telah diturunkan oleh Allah Ta’ala.
Sesungguhnya hukuman rajam yang terdapat dalam Kitabullah, wajib dijalankan atas
orang laki-laki dan perempuan yang telah menikah lalu melakukan perzinahan apabila
ada saksi, ada bukti dan juga ada pengakuan.” (HR. Muslim)

c. Dihapus hukumnya saja


Di dalam al-Qur’an terdapat beberapa ayat yang hukumnya tidak berlaku lagi. Oleh
karena itu, hendaknya kita berhati-hati. Jangan sampai kita menggunakan ayat itu
sebagai dalil suatu hukum. Contohnya adalah masalah wasiat bagi kedua orangtua
sebagaimana telah kami jelaskan dalam contoh di atas. Yaitu Surat al-Baqarah ayat
180.

“Diwajibkan atas kamu apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, untuk berwasiat bagi kedua orangtuanya dan
karib kerabatnya secara ma’ruf. Ini adalah kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.”

Hukum dalam ayat itu dihapus oleh Surat an-Nisa’ ayat 11.
“Dan untuk kedua orangtua, bagi masing-masingnya adalah seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak. Jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh kedua orangtuanya saja, maka
ibunya mendapat sepertiga. Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara
maka ibunya mendapat seperenam.”

Berdasarkan Surat an-Nisa’ ayat 11 ini, maka kedua orangtua tidak lagi memperoleh
wasiat dari anaknya yang sudah meninggal. Namun kedua orangtua memperoleh harta
warisan. Dengan demikian, hak orangtua atas wasiat sebagaimana tercantum dalam
Surat al-Baqarah: 180 itu telah dihapus oleh Surat an-Nisa’: 11. Sebagai gantinya,
kedua orangtua memperoleh harta warisan.

3. Hikmah Mansukh
a. Menyadari sifat kasih Allah
Secara umum, ayat yang mansukh itu lebih berat daripada yang nasikh. Hal
ini menunjukkan bahwa syariat Nabi Muhammad merupakan syariat yang
paling ringan, hanafiyah-samhah. Namun adakalanya ayat yang nasikh itu
lebih berat. Dalam hal demikian, Allah telah menyediakan pahala yang lebih
besar. Hal ini menunjukkan sifat kasih Allah yang ar-Rahman dan ar-Rahim.
b. Syariat Islam tidak kaku
Dengan memahami nasikh-mansukh dalam al-Qur’an ini pula, kita
menyadari bahwa hukum Allah itu tidak bersifat kaku dan stagnan. Namun
dinamis dan selalu berkembang.
c. Hubungan yang erat antara syariat dan dakwah
Hal ini sangat penting untuk kita mengerti, bahwa syariat Islam itu bagian
dari strategi dakwah juga. Syariat dan dakwah merupakan saudara kandung
yang lahir dan tumbuh secara beriringan. Bahkan tidak bisa dipisahkan.
Keduanya saling menjaga, saling memberi, dan saling menguatkan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat kita ketahui bahwa naskh adalah mengangkat
(menghapus) hukum syara’ dengan dalil atau khitab syara’ yang lain. Dalam Naskh
diperlukan syarat, yaitu hukum yang Mansukh adalah syara’ dalil penghapusan hukum
tersebut adalah khitab syar’I yang datang lebih kemudian dari khitab yang di Mansukh, dam
khitab yang dihapus dan diangakat hukumnya tidak terikat atau dibatasi dengan waktu
tertentu. Dalam hal ini naskh dalam alqur’an dapat dbagi tiga bagian, nash Al-Qur’an dengan
Al-Qur’an, naskh Al-Qur’an dengan sunnah dan naskh Al-Qur’an dengan sunnah. Sehingga
dalam proses penggalian dan pendalaman terhadap kitab suci tersebut ada beberapa hal yang
yang berhubungan dengannya antara lain dari segi nuzul al-Qur’an, asbab al-nuzul, jam’ al-
Qur’an wa tartibuhu, surah-surah makkiyah dan madaniyah, muhkam mutasyabih, nasikh dan
mansukh serta masih banyak lagi ilmu-ilmu lainnya.

B. Saran
Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Reflita. 2017. Redefinisi Makna Nasakh Internal Ayat Al-Qur'an dalam Substantia, Volume
19 Nomor 1, April 2017.

Ahda Bina. 2019. “Nasikh-Mansukh : Pengertian, Contoh, Macam-macam dan Hikmah”,


https://www.ahdabina.com/nasikh-dan-mansukh/ diakses pada 25 Desember 2022
pukul 12:44.

Munawaroh, N.R. (2020). Nasikh Dan Mansukh Dalam Al-Qur’an. (Universitas Islam Negeri
Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2020).

Anda mungkin juga menyukai