BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Kata hadits menurut bahasa berarti ( الجديد من األشياءsesuatu yang baru), lawan
kata dari ( القديمsesuatu yang lama). Secara terminologi, para ahli memberikan definisi
yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang ilmu dan tujuan masing-masing.
Diantaranya :
1. Pendapat Ulama Hadist membahas segala sesuatu dari Nabi Saw dalam
kapasitas beliau sebagai imam yang memberi petunjuk dan pemberi nasehat.
2. Pendapat Ulama Ushul fiqh memandang Nabi Saw sebagai penetap hukum
islam (al-syari’).
3. Ulama Fiqh memandang Nabi Saw dari sisi perbuatannya yang bermuatan
hukum syara’.
4. Struktur hadits nabi memiliki tiga komponen yaitu sanad atau isnad (rantai
penutur), matan (redaksi hadits), rawi (para periwayat hadits).
Berdasarkan pembahasan latar belakang di atas maka makalah ini kami susun
dengan judul “Hadits Dhaif di lihat dari segi sanad”.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang di maksud dengan hadits dhaif ?
2. Bagaimana hadits dhaif dilihat dari segi sanadnya?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hadits dhaif
2. Untuk mengetahui hadits dhaif dilihat dari segi sanadnya
BAB II
PEMBAHASAN
Kata dhaif menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari qowi yang
berarti kuat. Sabagai lawan kata dari shahih, kata dhaif juga berarti saqim (orang
yang sakit). Dengan sebutan hadits dhaif secara bahasa berarti hadits yang lemah,
hadits yang sakit, dan yang tidak kuat.
“Hadits yang didalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-
syarat hadits hasan”
Hadits Mu’allaq adalah hadits yang terputus diawal sanad. Kata Mu’allaq
secara bahasa berarti tergantung. Secara terminologi hadits Mu’allaq hadits yang
periwayatnya diawal sanad (periwayat yang disandari oleh penghimpun hadits) gugur
atau terputus seseorang atau lebih secara berurut. Patokan tentang keterputusannya
terletak pada awal sanad baik seorang periwayat atau lebih. Jika lebih maka
keterputusan itu harus secara berurutan. Ini berarti, seandainya yang terputus bukan
diawal sanad atau beberapa periwayat yang gugur tidak secara berurutan, maka hadits
itu tidak dinamakan Mu’allaq. Hadits Mu’allaq disebut hadits dhaif karena rangkaian
sanadnya hilang atau terputus, sehingga tidak diketahui identitas dan kualitas para
periwayat yang sesungguhnya
2. Hadits Munqathi’
Kata Munqathi’ berasal dari bentuk verbal inqatha’a yang berarti berhenti,
kering, patah, pecah, atau putus. Secara istilah hadits Munqathi’ adalah hadits yang
ditengah sanadnya ada periwayatnya yang gugur seorang atau dua orang tidak secara
berurutan. Keterputusan pada Hadits Munqathi’, menurut para ulama hadits dapat
terjadi pada Thabaqat (generasi) kedua, ketiga atau keempat, satu orang atau lebih
tetapi tidak berurutan. Jika terputus pada generasi pertama, haditsnya disebut mursal
dan jika berurutan pada generasi kedua, ketiga atau keempat, maka haditsnya
dinamakan Mu’dhal.
4. Hadits Mu’dhal
Kata Mu’dhal berasal dari kata kerja ‘adhala yang berarti melemahkan,
menutup rapat, atau menjadikan bercacat. Kata Mu’dhal digunakan untuk jenis
hadits tertentu karena pada hadits itu ada bagian sanadnya yang lemah, tertutup,
atau bercacat. Secara terminologi, menurut Muhammad Ajjaj Al-Khatib, Hadits
Mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang sanadnya atau lebih secara berurutan.
Kriteria Hadits Mu’dhal adalah:
A. Sanad yang gugur (terputus) lebih dari satu orang
b. Keputusan secara berurutan. Sebagian ulama menambahkan kriteria
c. Tempat keterputusan ditengah sanad, bukan diawal atau diakhir, Jadi hadits
Mu’dhal adalah hadits yang gugur dua orang periwayatnya atau lebih secara
berurutan baik gugurnya itu antara sahabat dengan tabi’in, antara tabi’in dengan
tabi’ al-tabi’in atau dua orang sesudah mereka.
5. Hadits Mursal
Kata Mursal secara bahasa berarti lepas atau terceraikan dengan cepat atau
tanpa halangan. Kata ini kemudian digunakan untuk hadits tertentu yang
periwayatnya melepaskan hadits tanpa terlebih dahulu mengaitkannya pada
sahabat yang menerima hadits itu dari Nabi SAW.
Secara terminologi, mayoritas ulama hadits mendefinisikan hadits mursal
dengan hadits yang disandarkan langsung kepada Nabi SAW oleh seorang tabi’I,
baik tabi’i besar maupun tabi’i kecil, tanpa terlebih dahulu disandarkan kepada
sahabat Nabi SAW. Hadits yang dinyatakan mursal menurut pendapat ini berstatus
marfu’ dan tabi’i tidak menyebut nama sahabat yang meriwayatkan hadits itu, baik
tabi’i senior maupun junior. Dalam hal ini keterputusan terjadi pada periwayat
pertama dari kalangan generasi sahabat Nabi SAW yang disebut juga sanad
terakhir.
6. Hadits Mawquf dan Hadits Maqthu’
Hadits Mawquf adalah hadits yang disandarkan kepada sahabat Nabi atau
hadits yang diriwayatkan dari para sahabat yang berupa perkataan, perbuatan atau
persetujuannya. Dari arti bahasa kata mawquf berasal dari kata waqafa-yaqifu
yang berarti dihentikan atau diwaqafkan. Maksudnya, Hadits ini dihentikan
penyandarannya kepada sahabat dan tidak sampai para Nabi SAW.
Menurut Ibn Hajar al-asqalani,sebuah hadits disebut mawquf jika disandarkan
pada sahabat baik sanadnya bersambung maupun tidak ( mutthashilan kana aw
munqathi’an). Pendapat ini sejalan dengan pernyataan Ibn Al-Shalah yang
membagi hadits mawquf menjadi dua yaitu:
1. Mawquf Mawshul, yaitu hadits-hadits mawquf yang sanadnya bersambung
sampai kepada sahabat sebagai sumber hadits.
2 Mawquf ghayr mawshul, yaitu hadits mawquf yang sanadnya tidak bersambung.
Hadits Mawquf yang mawshul atau muttashil ataupun yang ghayr mawshul
kedua-duanya termasuk hadits dhaif. Karena sumber beritanya adalah sahabat
yakni perkataan, perbuatan, atau ketetapan sahabat, kecuali ada beberapa kondisi
dimana hadits mawquf dapat diperlakukan sebagai hadits yang marfu’.
Hadits Maqthu’ berasal dari kata qatha’a (memotong) lawan kata washala
(menghubungkan). Secara istilah berarti hadits yang disandarkan kepada seorang
tabi’in atau sesudahnya baik perkataan maupun perbuatan, atau hadits yang
diriwayatkan dari para tabi’in berupa perkataan, perbuatan atau ketetapan tabi’in
orang sesudah mereka.
Disebut maqthu’ karena hadits itu terpotong, yaitu sandarannya dipotong
hanya hanya sampai pada tabi’in. Menurut Al-Sakhawi, suatu hadits disebut
maqthu’ karena tidak ditemukan adanya qarinah yang menunjukkan bahwa hadits
itu disandarkan kepada Nabi SAW. Sebagaimana hadits mawquf, hadits maqthu
berstatus lemah dan karenanya tidak dapat dijadikan hujjah meskipun betul hadits
itu berasal dari tabi’in. Menurut Mahmud Al-Thahhan, jika terdapat qarianah
yang menunjukkan bahwa hadits itu marfu’ maka dapat dijadikan hujjah karena
berstatus hadits marfu’ yang mursal.