Anda di halaman 1dari 9

Ilmu Hadits 1. Hadits, Atsar dan Matan Ashal arti hadits ialah omongan, perkataan, ucapan dan sebangsanya.

Ghalibnya terpakai untuk perkataan Nabi SAW. Jika disebut hadits Nabi, maka maksudnya adalah sabda Nabi SAW. Misalnya disebut hadits Anas, maka maksudnya ialah hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Anas. Sering juga dikatakan Hadits Bukhari, maka maksudnya ialah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari di dalam kitabnya. Ada pun lafazh hadits yang diucapkan oleh Nabi SAW dinamakan matan hadits atau isi hadits. Sedang Atsar ialah perkataan sahabat sebagaimana hadits perkataan Nabi SAW, namun diucapkan oleh sahabat Nabi SAW, terkadang omongan dari sahabat dikatakan riwayat. 2. Gambaran sanad Sabda Nabi SAW didengar oleh sahabat (seorang atau lebih), kemudian mereka (sahabat) sampaikan kepada tabiin (seorang atau lebih). Kemudian tabiin sampaikan kepada orang-orang generasi berikutnya. Demikianlah seterusnya, hingga dicatat hadits-hadits tersebut oleh Imam-Imam ahli hadits, seperti Malik, Ahmad, Bukhari , Muslim, Abu Dawud, dan lain-lain. Demikian inilah gambaran sanad. Contohnya, ketika meriwayatkan hadits Nabi SAW, Bukhari berkata bahwa hadits ini disampaikan kepada saya melalui seseorang, namanya A. Dan A berkata, disampaikan kepada saya dari B. B berkata, disampaikan kepada saya dari C, dan seterusnya sampai G (misalnya). G berkata bahwa diucapkan kepada saya dari Nabi SAW. Maka menurut contoh ini, antara Nabi SAW dan Bukhari sanadnya ada 7 orang (A - G). Tentu dalam sebuah sanad, tidak selalu ada 7 orang perantara, karena bisa kurang dan bisa lebih, di atas tadi sekedar contoh. 3. Rawi, Sanad dan Mudawwin Tiap-tiap orang dari A sampai G yang tersebut pada contoh diatas dinamakan Rawi, yakni yang meriwayatkan hadits. Adapun kumpulan rawi-rawi tersebut dinamakan Sanad, yakni sandaran, jembatan, titian, atau jalan yang menyampaikan sesuatu hadits kepada kita. Sanad terkadang disebut juga isnad. Adapun Mudawwin artinya pembuku, pencatat, pendaftar, yaitu orang alim yang mencatat/membukukan hadits-hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam, seperti : Malik, Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dll. 4. Shahabi (Shahabat) dan tabii G yang mendengar hadits dari Nabi SAW seperti contoh nomor 2 tersebut adalah sahabi (sahabat), dan F yang mendengar hadits dari G dan tidak berjumpa dengan Nabi SAW disebut tabii. 5. Awal dan akhir sanad Menurut para ahli hadits, ada awal dan akhir dalam sebuah sanad. Awal sanad adalah A dan akhir sanad adalah G. Jadi, orang yang memberitahu mudawwin (Bukhari, Muslim, dll) dinamakan awal sanad, dan G adalah akhir sanad. 6. Sifat-sifat Rawi Tiap-tiap orang dari rawi sebuah hadits haruslah mempunyai sifat-sifat sebagai berikut : a. Bukan pendusta b. Tidak dituduh sebagai pendusta c. Tidak banyak salahnya d. Tidak kurang ketelitiannya e. Bukan fasiq f. Bukan orang yg banyak keraguan g. Bukan ahli bidah h. Kuat hafalannya i. Tidak sering menyalahi rawi-rawi yang kuat j. Terkenal (dikenal oleh sedikitnya 2 orang ahli hadits di jamannya) 7. Bagaimana mengetahui sifat-sifat rawi ? Page 1

Ilmu Hadits Setiap rawi haruslah dikenal oleh sedikitnya 2 orang ahli hadits di zamannya masing-masing. Sifat masing-masing rawi pun hendaknya diterangkan oleh ahli hadits di masing-masing masanya. Semua rawi-rawi hadits dari zaman Nabi SAW hingga zamannya mudawwin dicatat para Imam ahli hadits di zamannya masing-masing dan telah ada di kitab-kitab mereka dari zaman sahabi hingga zaman tabii dan generasi dibawahnya. Tiap ulama ahli hadits di suatu masa telah mencatat tarikh lahir dan wafat para rawi tersebut agar diketahui oleh orang-orang di bawah mereka. Tidak seorangpun dari rawi-rawi hadits yg terluput dari catatan para ulama hadits. Rawi yang tidak ada catatannya dinamakan majhul (tidak terkenal). Rawi-rawi yang majhul tidak diterima hadits yang diriwayatkan oleh mereka. Diantara kitab yang menerangkan tarikh para rawi adalah sebagai berikut : 01. Tahdzibuttahdzib (Ibn Hajar) - 12.460 nama rawi 02. Lisanul mizan (Ibn Hajar) - 15.343 nama rawi 03. Mizanul Itidal (Adzdzahabi) - 10.907 nama rawi 04. Al-I shabah (Ibn Hajar) - 11.279 nama sahabat 05. Usudul Ghobah (Ibn Al Atsir) - 7.500 nama sahabat 06. Attarikhul khabir (Imam Bukhari) - 9.048 nama rawi 07. Al Fihrist (Ibnun Nadim) 08. Al Badruththoli (As Syaukani) - 441 nama rawi 09. Al Jarh wa attadil (Ibn Abi Hatim) - 18.040 nama rawi 10. Ad Durarul Kaminah (Ibn Hajar) - 5.320 nama rawi 11. Dan lain-lain. 8. Marfu Satu hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW oleh seorang rawi hingga sampai kepada ulama Mudawwin (Bukhari, muslim, dll) dinamakan hadits Marfu, yaitu hadits yang riwayatnya sampai kepada Nabi SAW. Bila ada seorang ahli hadits mengatakan bahwa hadits itu dirafakan oleh seorang sahabi, misalnya Ibn Umar, maka maksudnya ialah Ibn Umar meriwayatkan hadits tersebut dari Nabi SAW, dan bukan dari fatwanya sendiri. Jika ada di kitab-kitab para ahli hadits rafakan suatu hadits, maka maksudnya untuk menunjukkan bahwa sanadnya sampai kepada Nabi SAW, dan bukan hanya sampai sahabat saja. Dan bila ada perkataan tidak sah rafa nya, maka sanadnya hanya sampai kepada sahabat saja. 9. Maushul Hadits yang sanadnya sampai kepada Nabi SAW dan tidak putus dinamakan maushul (muttashilus-sanad), yaitu bersambung (tidak putus sanadnya). Perkataan maushul ini juga dipakai dapat juga untuk sanad atau riwayat atau atsar sahabat atau tabiin yang tidak putus. 10. Mauquf Perkataan sahabat atau anggapan sahabat yang diriwayatkan kepada kita, dinamakan mauquf, yaitu sanadnya terhenti sampai sahabat saja (tidak sampai ke Nabi SAW). Perkataan ulama misalnya bahwa hadits itu diwaqafkan oleh Tirmidzi, maka artinya bahwa Tirmidzi membawakan sanad yang hanya sampai kepada sahabat. Bila ada ulama yang mengatakan mauqufnya lebih rajih, maka artinya adalah hadits tersebut masih diperdebatkan sanadnya apakah ia marfu atau mauquf, namun yang lebih rajih (berat) adalah mauqufnya. 11. Mursal Apabila ada seorang tabii yang pastinya tidak bertemu Nabi SAW berkata :telah bersabda Nabi SAW, maka apa yang diriwayatkan ini dinamakan hadits mursal, karena hadits tersebut dilangsungkan kepada Nabi SAW tanpa melalui perantara para sahabat. 12. Syahid dan mutabi Jika ada sebuah hadits, misalnya yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas, namun ditemukan juga hadits lain yang maknanya sama namun diriwayatkan oleh sahabat yang lain, Page 2

Ilmu Hadits

maka hadis ini dinamakan syahid (penyaksi). Namun bila ada sanad lain yang juga diriwayatkan oleh Ibn Abbas, maka hadits ini dinamakan mutabi (yang mengikuti/pengiring) 13. Maqthu Hadits yang sanadnya hanya sampai kepada tabii atau yang dibawahnya, dinamakan hadis Maqthu. 14. Munqathi dan Mudhal Di dalam satu sanad, jika gugur nama seorang rawi, selain sahabat, atau gugur dua orang rawi yang tidak berdekatan (maksudnya gugurnya dalam sebuah sanad berselang), maka sanad tersebut dinamakan munqathi. Dan jika yang gugur adalah dua orang rawi yang berdekatan (tidak berselang), maka dinamakan Mudhal. 15. Mudhtharib Sebuah hadits yang dibawakan oleh seorang perawi dengan satu rangkaian/sanad, namun dia bawakan juga dengan sanad lain namun dengan makna yang berbeda. Atau dia bawakan sebuah hadits dengan satu sanad, namun dia bawakan juga hadits tersebut dengan sanad yang sama, namun dengan perubahan lafazh. Sehingga tidak dapat diputuskan mana yang harus digunakan. Ini adalah hadits mudhtharib, artinya guncang, lantaran tidak tetap. 16. Maqlub Maqlub artinya dibalik atau terbalik. Misalnya, sebuah hadits berbunyi :tangan dulu baru lutut, sementara diriwayatkan oleh orang lain :lutut dulu baru tangan. Oleh karena terbaliknya di matan hadits, maka disebut maqlub fil matan. Dan bila dalam sebuah sanad ditemukan nama misalnya Muhammad bin Ali, namun dalam hadits yang sama ditemukan nama Ali bin Muhammad, maka ini disebut maqlub fil sanad. 17. Mudraj Diantara lafazh-lafazh hadits yang diriwayatkan dari Nabi SAW, jika ditemukan terdapat tambahan-tambahan dengan maksud untuk menerangkan, tapi terbukti bukan berasal dari Nabi SAW, maka tambahan ini dinamakan mudraj. Sementara pekerjaan menyelipkannya dinamakan Idraj. Idraj dalam matan disebut idraj fil matani. Dan Idraj dalam sanad disebut idraj fil sanad. 18. Malul, Muallal, Mutal Yaitu hadits yang terdapat didalamnya cacat yang tersembunyi (Bukan cacat biasa seperti pada point nomor 6 diatas), cacat ini hanya dapat dibuktikan dengan ketelitian, dan tidak diketahui selain oleh orang yang benar-benar ahli hadits. Cacat tersebut dinamakan illat, artinya penyakit. 19. Muallaq Yaitu hadits yang diriwayatkan tanpa memakai sanad. Misalnya, Rasulullah SAW bersabda atau Diriwayatkan dari Ibn Umar dari Rasulullah SAW atau Bukhari meriwayatkan hadits Rasulullah SAW. Hadits muallaq ini kadang tidak disebut sanadnya oleh seorang ahli hadits karena hendak meringkasnya, padahal sanadnya ada. 20. Maudhlu dan matruk Hadits yang didalam sanadnya terdapat seorang pendusta dinamakan hadits maudhlu. Atau hadits yang dibuat oleh seseorang, namun dikatakan dari Nabi SAW. Sedang hadits yg didalam sanadnya terdapat seseorang yg dituduh sebagai pendusta dinamakan matruk. Orang yang tertuduh juga dikatakan matruk, artinya yang ditinggalkan /diabaikan. Page 3

Ilmu Hadits 21. Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Yang dikatakan sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam itu terdiri dari 3 perkara, yaitu : Sabdanya, Perbuatannya dan Perbuatan atau perkataan orang lain yang dibiarkannya. Inilah yang disebut qauluhu, filuhu dan wataqriruhu. 22. Mahfuzh dan syaadz Jika diriwayatkan dua hadits shahih dari Nabi SAW yang seolah-olah artinya berlawanan, maka yang lebih kuat dinamakan mahfuzh dan yang kurang kuat dinamakan syaadz. 23. Maruf dan munkar Jika diriwayatkan dua hadits lemah dari Nabi SAW yang artinya berlawanan, maka yang lemah dinamakan maruf, sementara yang lebih lemah lagi dinamakan munkar. 24. Mutawatir, Masyhur, Aziz dan Ahad Hadits mutawatir adalah hadits yang memiliki banyak sanadnya (biasanya lebih dari 3). Hadits Masyhur adalah hadits yang memiliki sekurang-kurangnya 3 sanad). Hadits aziz adalah hadits yang memiliki sekurang-kurangnya 2 sanad. Sedang Hadits Ahad adalah hadits yang hanya memiliki 1 sanad. 25. Hadits Qudsi Yaitu firman Allah SWT yang tidak tercantum dalam Al-Quran. Diriwayatkan oleh Nabi SAW namun tidak dimasukkan dalam Al-Quran. Dalam hadits qudsi pun juga dikenal istilah shahih, dhaif dan lain-lain. 26. Dhaif * Yaitu sebuah hadits yang tidak dapat memenuhi syarat-syarat hadits shahih, juga hadits hasan. Hadits menjadi dhaif umumnya dikarenakan ketidaksesuaian yang terdapat di dalam sanad dan matan-nya. 27. Shahih dan hasan Yaitu hadits yang seluruh rawi dalam sanadnya sudah memenuhi syarat seperti tercantum di point 6 diatas. Hadits shahih wajib digunakan sebagai dasar hukum dan amal. Beberapa hadits shahih walaupun kelihatan seperti bertentangan, namun bila diteliti akan ditemukan persamaannya, karena tidak mungkin ada 2 hadits shahih yang bertentangan. Dan, hadits shahih tidak mungkin bertentangan dengan Al-Qur an. Karena tidak mungkin sebuah hadits sanadnya shahih, tapi matannya buruk. 28. Sifat rawi yang lemah Sebuah hadits tidak akan dianggap shahih bila didalam sanadnya terdapat seorang rawi yang lemah. Sifat-sifat lemah tersebut antara lain : 1. Pendusta, pembohong 2. pemalsu 3. lembek 4. jelek hafalannya/pelupa 5. munafiq 6. dan lain-lain 29. Musnad dan sunan Sebuah kitab yang urutan penulisannya berdasarkan perawi, maka disebut kitab musnad. Misalnya Kitab musnad Ahmad, maka sistematika penulisannya berdasarkan pasal perawi, misalnya Pasal Ibn Abbas, Pasal Ibn Umar, dst. Sementara, kitab yang yang urutannya didasarkan pada fiqh, maka disebut kitab sunan. Misalnya kitab Page 4

Ilmu Hadits sunan Abu dawud, maka sistematika penulisannya berdasarkan ilmu fiqh, misalnya thaharah, shalat, jinayah, dst. 30. Al Hadits, Al Khabar, Al Atsar Kebanyakan para muhaditsin berpendapat bahwa istilah al-hadits, al-khabar, al-atsar, dan as-sunnah adalah sinonim, meskipun di sana-sini ada ulama yang membedakannya, namun perbedaan itu tidaklah prinsipil. Misalnya, ada suatu pendapat yang membedakan bahwa pengertian al-hadits itu hanya terbatas pada apa yang datang dari Nabi Muhammad saw. saja, sedang al-khabar terbatas pada apa yang datang dari selainnya. Karena itu, orang yang tekun kepada ilmu hadis saja disebut dengan muhaddits, sedang orang yg tekun kepada khabar disebut dengan akhbari. Ada pula pendapat yang membedakannya dari segi umum dan khusus muthlaq, yakni tiap-tiap hadits itu khabar, tetapi sebaliknya bahwa tiap-tiap khabar itu dapat dikatakan hadits. Di samping ada pendapat yang mengatakan bahwa atsar itu ialah yg datang dari sahabat, tabiin, dan orang-orang sesudahnya, juga ada pendapat yag mengatakan bahwa istilah atsar itu lebih umum penggunaannya daripada istilah hadits dan khabar. Karena, istilah atsar itu mencakup segala berita dan perilaku para sahabat, tabiin, dan selainnya. Pada umumnya para muhadditsin memperkuat alasannya tentang persamaan keempat istilah tersebut dengan mengemukakan persesuaian maksud dalam pemakaiannya. Misalnya, istilah khabar mutawatir dipakai juga untuk hadits mutawatir, haditsun nabawi untuk sunnatun nabawi, dan ahli hadits maupun ahli khabar juga disebut dengan ahli atsar (al-atsari). 31. Makna Mudallas dan Mudallis Mudallas adalah hadits yang disembunyikan cacatnya. Maksudnya, hadits yang diriwayatkan melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Maka hadits mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya. Sedangkan pelakunya disebut mudallis. Ada tiga macam jenis hadits mudallas, yaitu mudallas isnad, mudallas syuyukh dan mudallas taswiyah. a. Mudallas Isnad Misalnya seorang muhaddits menyembunyikan nama gurunya yang merupakan satu di antara perawi dalam rangkaian sanad, lalu langsung menyebutkan perawi yang lebih atas dari gurunya. Namun adanya lompatan jalur periwatan ini disembunyikan sedemikian rupa, bahkan dengan tetap memakai ungkapan yang memberikan pengertian kepada si pendengar bahwa hal itu dinukilnya secara langsung. Misalnya, suatu hadits diriwayatkan oleh A dari B dari C dan dari D. A tahu bahwa gurunya, B adalah perawi yang lemah. Bila dicantumkan dalam hadits yang diriwayatkannya, pastilah hadits itu tidak akan diterima orang lain. Maka A menyembunyikan keberadaan B dan langsung mengatakan bahwa dia mendengar dari C. Padahal A tidak pernah bertemu atau meriwayatkan langsung dari C. Meski A tahu bahwa C itu adil dan dhabith, namun karena A tidak pernah mendengar langsung dari C kecuali lewat B, maka A berbohong dan mengaku mendengar langsung dari C dan menghapus B dari daftar perawinya. b. Mudallas Syuyukh Trik lainnya untuk mengelabuhi adalah dengan tidak menghilangkan nama gurunya, tetapi gurunya itu digambarkan dengan sifat yang tidak dikenal oleh umumya kalangan ahli hadits. Misalnya, A tetap mengatakan bahwa dia meriwayatkan hadits dari B dan dari C dan dari D. Karena A tahu bahwa B itu perawi yang lemah dan kalau disebutkan secara jelas identitas B akan membuat hadits itu jadi lemah, maka A tidak secara tegas menyebutkan identitas B dengan nama yang sudah dikenal kalangan ahli hadits. Misalnya A menyebut nama julukan lain yang sebenarnya mengacu kepada B, tapi orang lain tidak tahu bahwa yang dimaksud oleh A dengan julukan itu sebenarnya adalah B. c. Mudallas Taswiyah Trik ini adalah menggugurkan seorang perawi dhaif di antara dua orang perawi yang tsiqah. Tambahan : Apakah Al-Hasan Al-Bashri Mudallas ? Sedangkan masalah Al-Hasan Al-Bashri yang dianggap mudallas oleh Al-Hafidz Ibnu Page 5

Ilmu Hadits Hajar, memang telah terjadi polemik besar di kalangan ulama hadits. Namun mudallasnya Al-Hasan Al-Bashri tidak bisa disamakan dengan mudallas umumnya. Sebab beliau termasuk min kibarit-tabiin, yaitu tabiin yang senior. Sebagian orang meriwayatkan bahwa beliau sempat bertemu dengan Umar bin Al-Khattab dan mendengar khutbahnya. Adapun ananah yang disebutkan oleh beliau, memang benar. Maksudnya, Al-Hasan Al-Basri memang melakukan tadlis bila dilihat secara zahir definisi tadlis, tapi sebenarnya bukan termasuk tadlis yang parah atau fatal. Boleh dibilang tadlis khofiy. Hal itu karena beberapa alasan : - Al-Hasan Al-Basri boleh jadi tidak bertemu langsung dengan Abi Bakrah yang shahabi itu. Dan memang beliau tidak menyebut riwayatnya dengan samitu atau hadda tsana. Namun beliau mendapatkan ijazah dari shahabat nabi itu berupa hadits dalam bentuk tulisan. Sehingga masih termasuk tahammul hadits menurut para ahli hadits. - Yang beliau tadlis adalah perawi yang hidup sezaman dengan shahabat nabi. Mereka hidup sezaman dan sangat mungkin bertemu langsung. - Kalau seandainya apa yang dilakukan oleh Al-Hasan itu adalah penipuan, seharusnya Al-Bukhari tidak memasukkannya ke dalam kita shahihnya. Tapi kita tahu bahwa di dalam shahih Bukhari ada beberapa hadits yang muanan, tapi tetap dianggap shahih dan sanadnya bersambung. - Di dalam lain riwayat, Al-Hasan juga pernah menyebut dengan samitu atau hadda tsana dari Abi Bakrah. Dan sekali saja beliau menyebutnya, maka meski pada hadits lain tidak menyebutkan lafadz itu dan hanya muanan saja, tetapi secara sanad tetap masih dianggap sanadnya bersambung. * LEBIH JAUH MENGENAI DEFINISI HADITS DHOIF Hadits Dhoif adalah hadits yang lemah hukum sanad periwayatnya atau pada hukum matannya, mengenai beramal dengan hadits dhaif merupakan hal yang diperbolehkan oleh para Ulama Muhadditsin. Hadits dhoif tak dapat dijadikan Hujjah atau dalil dalam suatu hukum, namun tak sepantasnya kita menafikan (meniadakan) hadits dhoif, karena hadits dhoif banyak pembagiannya. Dan telah sepakat jumhur para ulama untuk menerapkan beberapa hukum dengan berlandaskan dengan hadits dhoif, sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah, menjadikan hukum bahwa bersentuhan kulit antara pria dan wanita dewasa tidak membatalkan wudhu, dengan berdalil pada hadits Aisyah ra bersama Rasul saw yang Rasul saw menyentuhnya dan lalu meneruskan shalat tanpa berwudhu, hadits ini dhoif, namun Imam Ahmad memakainya sebagai ketentuan hukum thoharoh. Hadits dhoif banyak pembagiannya, sebagian ulama mengklasifikasikannya menjadi 81 bagian, adapula yang menjadikannya 49 bagian dan adapula yang memecahnya dalam 42 bagian. Namun para Imam telah menjelaskan kebolehan beramal dengan hadits dhoif bila untuk amal shalih, penyemangat, atau manaqib. Inilah pendapat yang mutamad, namun tentunya bukanlah hadits dhoif yang telah digolongkan kepada hadits palsu. Sebagian besar hadits dhoif adalah hadits yang lemah sanad perawinya atau pada matannya, tetapi bukan berarti secara keseluruhan adalah palsu, karena hadits palsu dinamai hadits munkar, atau mardud, batil, maka tidak sepantasnya kita menggolongkan semua hadits dhaif adalah hadits palsu, dan menafikan (menghilangkan) hadits dhaif karena sebagian hadits dhaif masih diakui sebagai ucapan Rasul saw, dan tak satu muhaddits pun yang berani menafikan keseluruhannya, karena menuduh seluruh hadist dhoif sebagai hadits yang palsu berarti mendustakan ucapan Rasul saw dan hukumnya Kufur. Rasulullah Saw bersabda : "Barangsiapa yang sengaja berdusta dengan ucapanku maka hendaknya ia bersiap - siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits No.110). Sabda beliau SAW pula : "sungguh dusta atasku tidak sama dengan dusta atas nama seseorang, barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku maka ia bersiap siap mengambil tempatnya di neraka" (Shahih Bukhari hadits No.1229). Cobalah anda bayangkan, mereka yang melarang beramal dengan seluruh hadits dhoif berarti mereka melarang sebagian ucapan atau sunnah Rasul saw, dan mendustakan ucapan Rasul saw. Wahai saudaraku ketahuilah, bahwa hukum hadits dan Ilmu hadits itu tak ada di zaman Rasulullah saw. Ilmu hadits itu adalah bid'ah hasanah, baru ada sejak Tabi'in, mereka membuat syarat perawi hadits, mereka membuat kategori periwayat yang hilang dan tak dikenal, namun mereka sangat berhati hati karena mereka Page 6

Ilmu Hadits mengerti hukum, bila mereka salah walau satu huruf saja, mereka bisa menjebak ummat hingga akhir zaman dalam kekufuran, maka tak sembarang orang menjadi muhaddits, lain dengan mereka ini yang dengan ringan saja melecehkan hadits Rasulullah saw. Sebagaimana para pakar hadits bukanlah sebagaimana yang terjadi dimasa kini yang mengaku ngaku sebagai pakar hadits. Seorang ahli hadits mestilah telah mencapai derajat Al Hafidh. Al Hafidh dalam para ahli hadits adalah yang telah hafal 100.000 hadits berikut hukum sanad dan matannya, sedangkan 1 hadits yang bila panjangnya hanya sebaris saja itu bisa menjadi dua halaman bila ditulis berikut hukum sanad dan hukum matannya, lalu bagaimana dengan yang hafal 100.000 hadits? Diatas tingkatan Al Hafidh ini masih adalagi yang disebut Al Hujjah (Hujjatul Islam) yaitu yang hafal 300.000 hadits dengan hukum matan dan hukum sanadnya, diatasnya adalagi yang disebut : Al Hakim, yaitu pakar hadits yang sudah melewati derajat Al Hafidh dan Al Hujjah, dan mereka memahami banyak lagi haditshadits yang teriwayatkan. (Hasyiah Luqathuddurar Bisyarh Nukhbatulfikar oleh Hujjatul Islam Al Imam Ibn Hajar Al Atsqalaniy). Sebagaimana Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1.000.000 hadits dengan sanad dan matannya (*rujuk Tadzkiratul Huffadh dan Siyar Alamunnubala dan lainnya dari buku - buku Rijalulhadits) dan Ia adalah murid dari Imam Syafii rahimahullah, dan di zaman itu terdapat ratusan Imam Imam pakar hadits. Perlu diketahui bahwa Imam Syafii ini lahir jauh sebelum Imam Bukhari, Imam Syafii lahir pada tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah, sedangkan Imam Bukhari lahir pada tahun 194 Hijriyah dan wafat pada 256 Hijriyah. Maka sebagaimana sebagian kelompok banyak yang meremehkan Imam syafii, dan menjatuhkan fatwafatwa Imam Syafii dengan berdalilkan Shahih Bukhari, maka hal ini salah besar, karena Imam Syafii sudah menjadi Imam sebelum usianya mencapai 40 tahun, maka ia telah menjadi Imam besar sebelum Imam Bukhari lahir ke dunia. Lalu bagaimana dengan saudara-saudara kita masa kini yang mengeluarkan fatwa dan pendapat kepada hadits hadits yang diriwayatkan oleh para Imam ini? Mereka menusuk fatwa Imam Syafii, menyalahkan hadits riwayat Imam - Imam lainnya. Seorang periwayat mengatakan hadits ini dhoif, maka muncul mereka ini memberi fatwa bahwa hadits itu munkar, darimanakah ilmu mereka? Apa yang mereka fahami dari ilmu hadits? Hanya menukil - nukil dari beberapa buku saja, lalu mereka sudah berani berfatwa, apalagi bila mereka yang hanya menukil dari buku - buku terjemah, memang boleh-boleh saja dijadikan tambahan pengetahuan, namun buku terjemah ini sangat dhoif bila untuk dijadikan dalil. Saudara saudaraku yang kumuliakan, kita tidak bisa berfatwa dengan buku-buku, karena buku tidak bisa dijadikan rujukan untuk mengalahkan fatwa para Imam terdahulu, bukanlah berarti kita tidak boleh membaca buku, namun maksud saya bahwa buku yang ada zaman sekarang ini adalah pedoman paling lemah dibandingkan dengan fatwa-fatwa Imam-Imam terdahulu, terlebih lagi apabila yang dijadikan rujukan untuk merubuhkan fatwa para Imam adalah buku terjemahan. Sungguh buku - buku terjemahan itu telah terperangkap dengan pemahaman si penerjemah, maka bila kita bicara, misalnya terjemahan Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal ini hafal 1.000.000 hadits, lalu berapa luas pemahaman si penerjemah atau pensyarah yang ingin menerjemahkan keluasan ilmu Imam Ahmad dalam terjemahannya? Bagaimana tidak? Sungguh sudah sangat banyak hadits-hadits yang sirna masa kini, bila kita melihat satu contoh kecil saja, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal hafal 1.000.000 hadits, lalu kemana hadits-hadits itu? Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnad hadits-nya hanya tertuliskan hingga hadits No.27.688, maka kira kira 970.000 hadits yang dihafalnya itu tak sempat ditulis! Lalu bagaimana dengan ratusan Imam dan Huffadh lainnya? Lalu logika kita, berapa juta hadits yang sirna dan tak sempat tertuliskan? Mengapa? Tentunya dimasa itu tak semudah sekarang, kitab mereka itu ditulis tangan, bayangkan saja seorang Imam besar yang menghadapi ribuan murid muridnya, menghadapi ratusan pertanyaan setiap harinya, banyak beribadah dimalam hari, harus pula menyempatkan waktu menulis hadits dengan pena bulu ayam dengan tinta cair ditengah redupnya cahaya lilin atau lentera, atau hadits-hadits itu ditulis oleh Page 7

Ilmu Hadits

muridmuridnya dengan mungkin 10 hadits yang ia dengar hanya hafal 1 atau 2 hadits saja karena setiap hadits menjadi sangat panjang bila dengan riwayat sanad, hukum sanad, dan mustanadnya. Bayangkan betapa sulitnya perluasan ilmu saat itu, mereka tak ada surat kabar, tak ada telepon, tak ada internet, bahkan barangkali pos jasa surat pun belum ada, tak ada pula percetakan buku, fotocopy atau buku yang diperjualbelikan. Penyebaran ilmu dimasa itu adalah dengan ucapan dari guru kepada muridnya (talaqqiy), dan saat itu buku hanyalah 1% saja atau kurang dibanding ilmu yang ada pada mereka. Lalu murid mereka mungkin tak mampu menghafal hadits seperti gurunya, namun paling tidak ia melihat tingkah laku gurunya, dan mereka itu adalah kaum shalihin, suci dari kejahatan syariah, karena di masa itu seorang yang menyeleweng dari syariah akan segera diketahui karena banyaknya ulama. Oleh sebab itu sanad guru jauh lebih kuat daripada pedoman buku, karena guru itu berjumpa dengan gurunya, melihat gurunya, menyaksikan ibadahnya, sebagaimana ibadah yang tertulis di buku, mereka tak hanya membaca, tapi melihat langsung dari gurunya, maka selayaknya kita tidak berguru kepada sembarang guru, kita mesti selektif dalam mencari guru, karena bila gurumu salah maka ibadahmu salah pula. Maka hendaknya kita memilih guru yang mempunyai sanad silsilah guru, yaitu ia mempunyai riwayat guruguru yang bersambung hingga Rasul saw dan kau betul - betul mengetahui bahwa ia benar - benar memanut gurunya. Hingga kini kita ahlussunnah waljamaah lebih berpegang kepada silsilah guru daripada bukubuku, walaupun kita masih merujuk pada buku dan kitab, namun kita tak berpedoman penuh pada buku semata, kita berpedoman kepada guru guru yang bersambung sanadnya kepada Nabi saw ataupun kita berpegang pada buku yang penulisnya mempunyai sanad guru hingga Nabi saw. Maka bila misalnya kita menemukan ucapan Imam Syafii, dan Imam Syafii tak sebutkan dalilnya, apakah kita mendustakannya? Cukuplah sosok Imam Syafii yang demikian mulia dan tinggi pemahaman Ilmu Syariahnya, lalu ucapan fatwa fatwanya itu diteliti dan dilewati oleh ratusan muridmuridnya dan ratusan Imam dan Al Hafidh dan Hujjatul Islam sesudah beliau, maka itu sebagai dalil atas jawabannya bahwa ia mustahil mengada ada dan membuat-buat hukum semaunya, jika ia salah dalam fatwanya mestilah sudah diperbaiki dan dibenahi oleh ratusan imam sesudahnya. Maka muncullah dimasa kini pendapat pendapat dari beberapa saudara kita yang membaca satu, dua buku, lalu berfatwa bahwa ucapan Imam Syafii Dhoif, ucapan Imam Hakim dhoif, hadits ini munkar, hadits itu palsu, hadits ini batil, hadits itu mardud atau berfatwa dengan semaunya sendiri dan fatwafatwa mereka itu tak ada para Imam dan Muhaddits yang menelusurinya sebagaimana Imamimam terdahulu yang bila fatwanya salah maka sudah diluruskan oleh ImamImam berikutnya, sebagaimana berkata Imam Syafii : Orang yang belajar ilmu tanpa sanad guru bagaikan orang yang mengumpulkan kayu bakar digelapnya malam, ia membawa pengikat kayu bakar yang terdapat padanya ular berbisa dan ia tak tahu (Faidhul Qadir juz 1 hal 433). Berkata pula Imam Atsauri : Sanad adalah senjata orang mukmin, maka bila kau tak punya senjata maka dengan apa kau akan berperang?, berkata pula Imam Ibnul Mubarak : Pelajar ilmu yang tak punya sanad bagaikan penaik atap namun tak punya tangganya, sungguh telah Allah muliakan ummat ini dengan sanad (Faidhul Qadir juz 1 hal 433). Semakin dangkal ilmu seseorang, maka tentunya ia semakin mudah berfatwa dan menghukumi, semakin ahli dan tingginya ilmu seseorang, maka semakin ia berhati hati dalam berfatwa dan tidak ceroboh dalam menghukumi. Maka fahamlah kita, bahwa mereka - mereka yang segera menafikan atau menghapus hadits dhoif maka mereka itulah yang dangkal pemahaman haditsnya, mereka tak tahu mana hadits dhoif yang palsu dan mana hadits dhoif yang masih tsiqah untuk diamalkan. Contohnya hadits dhoif yang periwayatnya maqthu (terputus), maka dihukumi dhoif, tapi makna haditsnya misalnya keutamaan suatu amal, maka para Muhaddits akan melihat para perawinya, bila para perawinya orang - orang yang shahih, tsiqah, apalagi ulama hadits, maka hadits itu diterima walau tetap dhoif, namun boleh diamalkan karena perawinya orang orang terpercaya, cuma satu saja Page 8

Istilah Ilmu Hadist-New.txt yang hilang, dan yang lainnya diakui kejujurannya, maka mustahil mereka dusta atas hadits Rasul saw. Namun tetap dihukumi dhoif dan paling tidak ia adalah amalan para sahabat, yang tentu mereka tak punya guru lain selain Rasulullah saw, dan masih banyak lagi contohcontoh lainnya. Mari berlindung kepada Allah Ta'ala dari gelapnya kebodohan.. sebagaimana ucapan para ulama salaf : dalam kebodohan itu adalah kematian sebelum kematian, dan tubuh mereka telah terkubur (oleh dosa dan kebodohan) sebelum dikuburkan. (walillahittaufiq) Wallahu alam bishshawab.

Page 9

Anda mungkin juga menyukai