Anda di halaman 1dari 28

FIQIH MUNAKAHAT

D I S U S U N OLEH:
Ahmad Mukhroji Wiratama (11 2013 152 P) Ellen Agustian (11 2012 067) Herdi Anto (11 2012 085) Ilham Kurniawan (11 2012 055) M.Sofyan Ansori (11 2012 067)

FAKULTAS TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG 2013

Pembahasan

A. PENGERTIAN 1. Definisi Pernikahan Menurut Etimologi Kata pernikahan berasal dari kata nikah yang semakna dengan kawin atau zawaj dalam bahasa arab. Dalam kamus Al-Munawwir, kata nikah disebut dengan an-nikah ( )dan az-ziwaj (), az-zawj atau az-zijah. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wathu (). Ad-dhammu () dan al-jamu (). Al-wathu berasal dari kata wathia yathau wathan ( - ) artinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama. Ad-dhammu yang terambil dari akar kata dhamma - yadhummu dhamman ( - ) secara harfiah berarti mengumpulkan, memegang, menggenggam, menyatuka, menggabungkan, menjumlahkan, menyandarkan, merangkul, memluk dan menjumlahkan, juga berarti bersikap lunak dan ramah. Sedangkan al-jamu yang berasal dari kata jamaa yajmau jaman ( - ) berarti mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fiqh disebut dengan al-jima mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jamu. sebutan lain buat perkawinan adalah az-zawaj, az-ziwaj dan az-zijah. Terambil dari akar kata zaja yazuju zaujan ( - ) yang secara harfiah berarti menghasut, menaburkan benih perselisihan dan mengadu domba. Namun yag dimaksud dengan az-zawaj / az-ziwaj di sini adalah at-tazwij yang mulanya terambil dari kata zawwaja yuzawwiju tazwijan ( - ) dalam bentuk wazan faala yufailu tafilan ( - - )yang secara harfiah berarti mengawinkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri.1 2. Definisi Pernikahan Menurut Terminologi Menurut zakiah daradjat, perkawinan adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih saying dengan cara yang diridhai allah SWT. Menurut zahry hamid, yang dinamakan nikah menurut syara ialah: akad (ijab

Ahmad Warson Al-Munawwir. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap. (Yogyakarta: Pustaka Progressif). 1997. hlm. 1461.

qobul) antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya.2 Menurut hukum islam, pernikahan atau perkawinan ialah: Suatu ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk hidup bersama dalam suatu rumah tangga dan untuk berketurunan, yang dilaksanakan menurut ketentuan-ketentuan hokum syariat islam. Dalam pasal I Bab I Undang-undang No. 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 dinyatakan: Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut KHI pasal 2 bab II (Dasar-dasar Perkawinan): Perkawinan menurut hokum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Definisi pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram. Firman Allah SWT :

Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja. (An-Nisa : 3)

Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna. Pernikahan itu bukan saja merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan yang lainnya. Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya, melainkan antara dua
Zahry Hamid. Pokok-Pokok Hokum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia. Yogyakarta: Bina Cipta. 1978. hlm. 1.
2

keluarga. Betapa tidak? Dari baiknya pergaulan antara si istri dengan suaminya, kasih-mengasihi, akan berpindah kebaikan itu kepada semua keluarga dari kedua belah pihaknya, sehingga mereka menjadi satu dalam segala urusan bertolong-tolong sesamanya dalam menjalankan kebaikan dan mencegah segala kejahatan. Selain itu, dengan penikahan seseorang akan terpelihara dari kebinasaan hawa nafsunya.

JENIS NIKAH Imam Daruquthni mengeluarkan hadits yang bersumber dari Abu Hurairah, bahwa Aisyah ra menyebutkan adanya 4 jenis nikah pada masa jahiliyah (sebelum Muhammad saw menjadi rasul) : 1. Perkawinan Pinang, yaitu seorang pria datang meminang seorang wanita baik secara langsung atau melalui wali si wanita, kemudian menikahinya dengan mahar. 2. Perkawinan Gadai/Pinjam, yaitu seorang isteri yang diperintah suaminya untuk berkumpul dengan pria lain hingga hamil, demi mendapatkan keturunan atau perbaikan keturunan. 3. Poliandri, yaitu sejumlah pria (biasanya kurang dari 10 orang) secara bergilir mencampuri seorang wanita dengan kesepakatan bahwa jika wanita itu hamil dan melahirkan, maka kesemua pria tersebut harus ridha bila kemudian salah satu dari merekalah yang ditunjuk oleh si wanita sebagai ayah dari anak tersebut. 4. Pelacur, yaitu seorang wanita yang memasang bendera hitam di depan rumahnya sebagai tanda siapapun yang berkehendak kepadanya boleh masuk dan menggaulinya. Bila hamil dan melahirkan, kemudian si wanita mengumpulkan seluruh pria yang pernah menyetubuhinya dan memanggil seorang dukun ahli firasat untuk meneliti nasab anak itu lalu memberikan sang bayi kepada sang ayah yang harus tak boleh menolak. Pada masa Muhammad saw telah menjadi rasulullah, muncul pula jenis-jenis nikah dalam bentuk lain : 5. Nikah Syighar, yaitu seorang wali menikahkan putrinya kepada seorang pria dengan syarat pria tersebut menikahkannya kepada putrinya dengan tanpa mahar. 6. Nikah Mutah, yaitu pria yang menikahi seorang wanita untuk jangka waktu tertentu. 7. Nikah Muhallil, yaitu seorang pria A yang menyuruh/membayar (muhallal) seorang pria B (muhallil) untuk menikahi wanita yang pernah dinikahi dan dithalaq sebanyak tiga kali agar dapat dinikahi pria A setelah diceraikan oleh pria B. 8. Nikah Ahli Kitab, yaitu seorang pria mumin yang menikahi wanita beragama samawi (Yahudi atau Nashrani). Perhatikan : Hanya jenis nikah nomor 1 (Perkawinan Pinang) yang dihalalkan dalam syariat Islam.

KHITBAH PENGERTIAN KHITBAH secara bahasa : pinangan, lamaran. secara syari : permintaan/perjanjian seorang pria untuk menikahi seorang wanita, baik secara langsung maupun tak langsung

HIKMAH KHITBAH 1. Cara untuk saling mengenal antara calon pasangan suami isteri. 2. Cara untuk mengetahui tabiat, akhlaq dan kecenderungan masing-masing calon pasangan suami isteri. 3. Cara untuk mencapai kemufakatan kedua belah atas berbagai perkara yang prinsipil dan teknis dalam membentuk keluarga.

JENIS KHITBAH 1. Secara langsung : pinangan dilakukan dengan permintaan yang lugas. 2. Secara tak langsung : pinangan dilakukan dengan permintaan dengan bahasa kiasan atau sindiran.

BEBERAPA KETENTUAN DAN ADAB KHITBAH Pertama : KHITBAH BUKANLAH AQAD NIKAH Khitbah bukanlah pernikahan itu sendiri. Ia tak lain hanyalah janji untuk menikah, sehingga tidak akan ada konsekwensi hukum pernikahan, seperti misalnya : halalnya khalwat, halalnya senggama, kewajiban nafkah, dsb. Jadi, interaksi antara keduanya haruslah terpelihara dari pelanggaran batas-batas syariat. Tunangan (saling bertukar cincin) bukanlah penghalal hubungan. Pemberian apapun yang mengiringinya dipandang syariat sebagai sesuatu yang tidak boleh mengikat dan tak dapat dikenakan syarat apapun.

Kedua : KHITBAH DILAKUKAN DENGAN TETAP MEMELIHARA PANDANGAN Dr. Yusuf Al Qaradhawi menjelaskan muatan QS. An Nuur (24) : 30-31 bahwa pada dasarnya memandang lawan jenis yang bukan mahram adalah dibolehkan dengan mematuhi 2 syarat : 1. tidak didasari oleh syahwat 2. tidak memanipulasi kelezatan dari pandangan tersebut. Kaidah tersebut berlaku pula dalam khitbah. Syariat mengarahkan memandang dalam khitbah melalui dua cara : 1. mengutus seorang wanita yang dipercaya untuk melihat dan melakukan investigasi 2. melihat/menemui langsung Ketiga : KHITBAH DI ATAS KHITBAH ADALAH HARAM Para ulama bersepakat mengharamkan khitbah atas seorang wanita yang telah dikhitbah sebelumnya oleh orang lain. Dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah pernah berkata : Janganlah seorang diantaramu membeli apa

yang telah dibeli oleh saudaranya dan jangan pula mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh saudaranya, kecuali ia mengizinkan. (HR Muslim dengan sanad shahih). Dalam matan hadits riwayat Bukhari : Rasulullah saw melarang seorang membeli apa yang telah dibeli oleh saudaranya dan melarang mengkhitbah wanita yang telah dikhitbah oleh saudaranya, hingga ia meninggalkannya atau mengizinkannya.

Keempat : KHITBAH DITERIMA/DITOLAK DIDASARKAN PADA KEPUTUSAN SEORANG GADIS Seorang gadis memiliki hak menerima atau menolak pinangan yang diajukan kepadanya. Walinya tidak berhak memaksakan kehendaknya kepada sang gadis. Diantara syarat sah pernikahan yang paling asasi adalah kerelaan calon isteri. Rasulullah bersabda : Seorang janda lebih berhak terhadap dirinya sendiri dan gadis dimintakan izinnya, dan izinnya adalah diamnya. (Muttafaqun alaih) Dalam periwayatan lainnya : Tidak boleh dinikahkan seorang janda hingga ia diajak musyawarah dan tidak boleh dinikahkan seorang gadis hingga diminta izinnya. Para shahabat bertanya : Ya Rasulullah, lalu bagaimana izinnya ? Rasulullah saw menjawab : Ia diam. (HR. Jamaah)

Kebalikannya, bila seorang gadis telah menyetujui pinangan yang diajukan kepadanya, maka walinya tidak boleh menunda untuk menyegerakan pernikahannya. Rasulullah bersabda : Tiga yang jangan diperlambat : Shalat bila sudah waktunya, jenazah bila sudah didatangkan dan gadis bila sudah menemukan calon suami yang sekufu . (HR. Tirmidzi) Kelima : KHITBAH DITERIMA/DITOLAK DIDASARKAN PADA KUFU(KESEPADANAN) Khitbah dalam Islam lebih menitikberatkan kesepadanan calon suami dengan calon isteri dalam aspek diin dan akhlaq (QS. An Nuur : 3 & 26), selain aspek sosial, ekonomi, ilmu, dsb.

Keenam : KHITBAH MEMPERKENANKAN HADIAH TAK BERSYARAT Diperbolehkan adanya tukar cincin ataupun benda lain dalam khitbah, bila maksudnya sebatas saling memberikan hadiah tak mengikat/tak bersyarat dan selama tak ada anggapan bahwa pemberian itu menghalalkan hukum suami-isteri. Rasulullah bersabda : Wanita manapun yang dinikahi dengan mahar dan hadiah sebelum ikatan nikah maka mahar itu baginya dan bagi walinya jika ia diberikan sesudahnya. (HR. Al Khomsah kecuali Tirmidzi)

B. HUKUM NIKAH

1. Jaiz (diperbolehkan), ini asal hukumnya. 2. Sunat, bagi orang yang berkehendak serta mampu memberi nafkah dan lain-lainnya. 3. Wajib, bagi orang yang mampu memberi nafkah dan dia takut akan tergoda pada kejahatan (zina). 4. Makruh, bagi orang yang tidak mampu memberi nafkah. 5. Haram, bagi orang yang berniat akan menyakiti perempuan yang dinikahinya.

Hadits Nabi SAW: )( Hai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu untuk menikah, maka menikahlah, karena sesungguhnya menikah itu bias memelihara pandangan dan menjaga farji dari maksiat dan barangsiapa yang belum mampu menikah, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puaa itu adalah tameng dari maksiat

Para fuqaha berbeda pendapat tentang status hukum asal dari perkawinan. Menurut pendapat yang terbanyak dari fuqaha madzhab SyafiI, hukum nikah adalah mubah (boleh), menurut madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali hukum nikah adalah sunnah, sedangkan menurut madzhab Dhahiry dan Ibnu Hazm hukum nikah adalah wajib dilakukan sekali seumur hidup. Adapun hukum melaksanakan pernikahan jika dihubungkan dengan kondisi seseorang serta niat dan akibatakibatnya, maka tidak terdapat perselisihan di antara para ulama, bahwa hukumnya ada beberapa macam, yaitu:

Pertama: perkawinan hukumnya wajib bagi orang yang telah mempunyai keinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul beban kewajiban dalam hidup berkeluarga, serta ada kekhawatiran, apabila tidak kawin, ia akan mudah tergelincir untuk berbuat zina. Alasan ketentuan tersebut adalah sebagi berikut: menjaga diri dari perbuatan zina adalah wajib. Apabila bagi seseorang tertentu penjagaan diri itu hanya akan terjamin dengan jalan kawin, bagi orang itu, melakukan perkawinan hukumnya wajib. Qaidah fiqhiyah mengatakan, Sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menjalankan suatu kewajiban, hukumnya adalah wajib;

atau dengan kata lain, Apabila suatu kewajiban tidak akan terpenuhi tanpa adanya suatu hal, hal itu wajib pula hukumnya. Penerapan kaidah tersebut dalam masalah perkawinan adalah apabila seseorang hanya dapat menjaga diri dari perbuatan zina dengan jalan perkawinan, baginya perkawinan itu wajib hukumnya. Kedua: Perkawinan hukumnya sunnah bagi orang yang telah berkeinginan kuat untuk kawin dan telah mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban dalam perkawinan, tetapi apabila tidak kawin juga tidak ada kekhawatiran akan berbuat zina. Alasan hukum sunnah ini diperoleh dari ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi sebagaimana telah disebutkan dalam hal islam menganjurkan perkawinan di atas. Kebanyakan ulama berpendapat dengan beralasan ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi itu, hukum dasar perkawinan adalah sunnah. Ulama madzhab Syafii berpendapat bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah. Ulama-ulama madzhab Dhahiri berpendapat bahwa perkawinan wajib dilakukan bagi orang yang telah mampu tanpa dikaitkan adanya kekhawatiran akan berbuat zina apabila tidak kawin. Ketiga: perkawinan hukumnya haram bagi orang yang belum berkeinginan serta tidak mempunyai kemampuan untuk melaksanakan dan memikul kewajiban-kewajiban hidup perkawinan sehingga apabila kawin juga akan berakibat menyusahkan istrinya. Hadis Nabi mengajarkan agar orang jangan sampai berbuat yang berakibat menyusahkan diri sendiri dan orang lain. Al-Qurthubi dalam kitabnya Jamiil Ahkam Al-Quran (Tafsir Al-Qurthubi) berpendapat bahwa apabila calon suami menyadari tidak akan mampu memenuhi kewajiban nafkah dan membayar mahar (maskawin) untuk istrinya, atau kewajiban lain yang menjadi hak istri, tidak halal mengawini seseorang kecuali apabila ia menjelaskan keadaannya kepada calon istri, atau ia bersabar sampai merasa akan dapat memenuhi hak-hak istrinya, barulah ia boleh melakukan perkawinan. Lebih lanjut Al-Qurthubi dalam kitabnya Jamiil Ahkam Al-Quran mengatakan juga bahwa orang yang mengetahui pada dirinya terdapat penyakit yang dapat menghalangi kemungkinan melakukan hubungan dengan calon istri harus memberi keterangan kepada calon istri agar pihak istri tidak merasa tertipu. Apa yang dikatakan Al-Qurtubi itu sangat penting artinya, untuk kesuksesan atau kegagalan hidup berkeluarga. Dalam bentuk apa pun, penipuan itu harus dihindari, bukan saja cacat atau penyakit yang dialami oleh calon suami, tetapi juga nasab keturunan, kekayaan, kedudukan, dan pekerjaan jangan sampai tidak dijelaskan agar tidak berakibat pihak istri merasa tertipu. Keempat: perkawinan hukumnya makruh bagi seseorang yang mampu dalam segi materiil, cukup mempunyai daya tahan mental dan agama sehingga tidak khawatir akan tersesat dalam

perbuatan zina, tetapi mempunyai kekhawatiran tidak dapat memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada istrinya, meskipun tidak akan berakibat menyusahkan istri, misalnya, calon istri tergolong kaya atau calon suami belum mempunyai keinginan untuk menikah. Imam Ghazali berpendapat bahwa apabila suatu perkawinan dikhawatirkan akan berakibat mengurangi semangat beribadah kepada Allah dan semangat bekerja, hukumnya lebih makruh daripada yang dsebutkan di atas. Kelima: perkawinan hukumnya mubah bagi orang yang mempunyai harta, tetapi apabila tidak kawin tidak merasa khawatir akan berbuat zina dan andaikata kawin pun tidak merasa khawatir akan menyia-nyiakan kewajibannya terhadap istri. Perkawinan dilakukan sekedar untuk memenuhi syahwat dan kesenangan, bukan dengan tujuan membina keluarga dan menjaga keselamatan hidup beragama.3

Ahmad Azhar Basyir. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. 2004. Hal. 16.

C. RUKUN NIKAH 1. Shigat (akad), yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali, Saya nukahkan engkau dengan anak saya bernama, Jawab mempelai laki-laki, Saya terima menikahi.,. Tidak sah akad nikah kecuali dengan lafadz nikah, tazwij, atau terjemahan dari keduanya. Sabda Rasulullah SAW, : Takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu ambil mereka dengan kepercayaan Allah, dan kamu halalkan kehormatan mereka dengan kalimat Allah. (Riwayat Muslim)
Sighat (akad) yang terdiri dari Ijab dan Qabul. Ijab yaitu perkataan dari pihak wali perempuan, seperti kata wali Saya nikahkan engkau dengan anak saya bernama si Fulanah dengan mahar tunai/kredit, sedangkan Qabul adalah ucapan/jawaban pihak mempelai laki-laki atas ijab dari wali, seperti ucapannya : Saya terima nikahnya si Fulanah dengan mahar yang disebutkan, tunai/kredit. Sabda Rasulullah saw sebagai berikut : . : Artinya : Barang siapa diantara wanita yang nikah dengan tidak diizinkan oleh walinya, maka perkawinannya batal.(H.R. 4 orang ahli hadis kecuali Nasai)

2. Wali (wali si perempuan). Keterangannya adalah sabda Nabi SAW :


. :

Barang siapa di antara perempuan yang menikah tidak dengan izin walinya, maka pernikahannya batal. (Riwayat empat orang ahli hadist, kecuali Nasai) 3. Dua orang saksi. Sabda Nabi SAW :

. :

Artinya : Tidaklah sah nikah melainkan dengan wali dan dua orang saksi yang adil. (H.R. Ahmad dan Baihaqi)

D. SYARAT SAH NIKAH

Sebelum pernikahan dilaksanakan, ada beberapa hal yang harus dipenuhi oleh kedua belah pihak (calon suami dan calon istri ), yang disebut syarat agar kedua pernikahan itu sesuai dengan tujuannya. Adapun yang menjadi syarat nikah ialah : a. Beragama Islam. Artinya, calon suami istri tersebut sebaiknya sesama muslim (Q.S. al-Baqarah (2) ayat 221)

}222 Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izinNya. Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al-Baqarah : 221). Tafsir Ayat : 221 Maksudnya, { } Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita, { } musyrik selama mereka masih dalam kesyirikan mereka, { } hingga mereka beriman; karena seorang

wanita mukmin walaupun sangat jelek parasnya adalah lebih baik daripada seorang wanita musyrik walaupun sangat cantik parasnya. Ini umum pada seluruh wanita musyrik, lalu dikhususkan oleh ayat dalam surat al-Maidah tentang bolehnya menikahi wanita ahli Kitab, sebagaimana Allah berfirman, }5 Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberikan Al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerina hukum-hukum Islam). Maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (QS. Al-Maidah : 5) { } Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman Ini bersifat umum yang tidak ada pengecualian di dalamnya. Kemudian Allah menyebutkan hikmah dalam hukum haramnya seorang mukmin atau wanita mukmin menikah dengan selain agama mereka dalam firmanNya, { } Mereka mengajak ke neraka, yaitu, dalam perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan kondisi-

kondisi mereka. Maka bergaul dengan mereka adalah merupakan suatu yang bahaya, dan bahayanya bukanlah bahaya duniawi, akan tetapi bahaya kesengsaraan yang abadi. Dapat diambil kesimpulan dari alasan ayat melarang dari bergaul dengan setiap musyrik dan pelaku bidah; karena jika menikah saja tidak boleh padahal memiliki maslahat yang begitu besar, maka hanya sebatas bergaul saja pun harus lebih tidak boleh lagi, khususnya pergaulan yang membawa kepada tingginya martabat orang musyrik tersebut atau semacamnya di atas seorang muslim seperti pelayanan atau semacamnya. Dalam firmanNya, { } Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan

wanita-wanita mukmin) terdapat dalil tentang harus adanya wali dalam nikah. [ ] Sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan, maksudnya, menyeru hamba-hambaNya untuk memperoleh surga dan ampunan yang di antara akibatnya adalah menjauhkan diri dari segala siksaan. Hal itu dengan cara mengajak untuk melakukan sebab-sebabnya berupa amal shalih, bertaubat yang sungguh-sungguh, berilmu yang bermanfaat dan mengamalkannya. { } Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya) maksudnya, hukum } kepada manusia supaya mereka mengambil hukumNya, dan hikmah-hikmahnya, {

pelajaran. Hal tersebut mewajibkan mereka untuk mengingat apa yang telah mereka lupakan dan mengetahui apa yang tidak mereka ketahui serta mengerjakan apa yang telah mereka lalaikan. Pelajaran dari Ayat : Diharamkan bagi seorang mukmin menikahi wanita musyrikah, kecuali wanita-wanita Ahli Kitab (baik Yahudi ataupun Nashrani) sebagaimana di nyatakan dalam firman Allah Taala yang tersebut diatas ((Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan gundik-gundik. (QS. Al-Maidah : 5)), akan tetapi walaupun hal itu dibolehkan yang lebih utama adalah hendaknya seorang mukmin tidak menikah dengan mereka (wanita ahli kitab), karena akan berakibat kepada anak keturunannya (akan mengikuti agama dan akhlak ibunya yang musyrikah), atau bisa jadi berakibat buruk bagi dirinya, karena kecantikan, kecerdasan, atau akhlaknya yang akan menjadikan laki-laki tersebut hilang akal sehingga menyeretnya kepada kekufuran. Terdapat kaidah Berlakunya sebuah hukum itu tergantung ada atau tidak adanya penyebab, karena dalam firman Allah ..sebelum mereka beriman... Hal ini menunjukkan bahwa Ketika label musyrikah- pada seseorang telah hilang maka halal dinikahi, dan sebaliknya ketika label musryikah- masih ada maka haram menikahinya. Ayat diatas menunjukkan bahwa seorang suami adalah wali bagi dirinya Diharamkan bagi seorang wanita muslimah menikah dengan seorang kafir secara mutlaq tanpa terkecuali. Baik dari Ahli Kitab dari lainnya, dalam firman Allah yang lain ditegaskan : . Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal bagi mereka. (QS. Al-Mumtahanah : 10) Syarat adanya seorang wali bagi seorang wanita ketika menikah, sebagaimana firmanNya Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) hingga mereka beriman, ayat tersebut ditujukan untuk para wali bagi wanita mukminah, dengan demikian tidak sah hukumnya menikah tanpa wali. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam juga menjelaskan dalam sabda beliau, Tidak ada nikah kecuali dengan adanya wali, dalam hadits shahih riwayat Abu Daud beliau bersabda, Wanita mana saja yang menikah tanpa seizin walinya maka nikahnya batal, batal, batal (3x). Ancaman terhadap berkasih sayang bersama orang-orang musyrik, bergaul atau bercampur bersama mereka. Karena mereka mengajak kepada kekufuran dengan prilaku, ucapan dan perbuatan mereka dengan demikian berarti mereka mengajak kepada neraka.

Wajibnya ber-muwaalah (berkasih sayang, setia) dengan orang-orang mukmin karena mereka mengajak ke surga, dan ber-muaadah (memusuhi, benci) terhadap pelaku kekufuran dan kesesatan karena mereka mengajak ke neraka. Ayat tersebut menunjukkan bahwa orang mukmin adalah lebih baik dari pada orang musyrik, walaupun musyrik tersebut memilki sifat-sifat yang menakjubkan. Menunjukkan bahwa keutamaan manusia adalah berbeda-beda, dan tidaklah mereka pada derajat yang sama. Ayat tersebut merupakan BANTAHAN bagi orang-orang yang mengatakan bahwa, Sesungguhnya Agama Islam adalah Dinun musaawah (Agama kesetaraan), dan yang mengherankan juga bahwa lafadz AL -MUSAAWAAH tidaklah ada penetapannya didalam al-Quran ataupun as-Sunnah, dan Allah Taala juga tidak memerintahkan hal tersebut, tidak pula menganjurkannya. Karena, jika engkau paksakan juga dengan lafadz Al Musaawah(kesetaraan), maka tentulah akan setara antara yang fasiq, adil, kafir, dan mukmin, dan setara antara laki-laki dan wanita; itulah yang yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam terhadap kaum muslimin. Akan tetapi Islam telah mendatangkan kalimat yang tepat, yang lebih baik dari kalimat al -Musaawah dan tidak pula mengandung dugaan-dugaan makna atau maksud yang bermacam-macam, yaitu lafadz AL-ADL Allah berfirman : { } yang artinya,Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil (QS. An-Nahl : 90), kalimat Al-Adl maksudnya adalah menyamakan antara dua hal yang semisal, dan membedakan antara dua hal yang berbeda. Karena Al-Adl adalah memberikan segala sesuatu sesuai haknya. Yang jelas bahwa kalimat ALMUSAAWAH adalah kalimat yang dimasukkan oleh musuh-musuh Islam terhadap kaum muslimin; yang mana kebanyakan kaum muslimin, khususnya muslim yang memiliki Tsaqafah Amah (perpengetahu an umum), mereka tidak memiliki kejelian atau pandangan yang tajam terhadap suatu perkara, tidak pula membedakan antara isthilah yang satu dengan yang lainnya, sehingga didapati penilaian atau prasangka terhadap kalimat almusawaah- tersebut seolah-olah kalimat yang bercahaya diatas slogan Islam adalah dinun musaawah (Agama kesetaraan). Maka dalam hal ini Syaikh Al-Allamah Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan (ketika menafsirkan ayat tersebut diatas dalam kitabnya) Kalaulah engkau katakan, Islam adalah Dinul Adl (Islam adalah Agama yang adil) maka hal itu lebih utama dan sangat sesuai dengan realita Islam .

b. Bukan mahramnya (Q.S. an-Nisa (4) ayat 23)

23.[6] Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu[7], anak-anakmu yang perempuan[8], saudara-saudaramu yang perempuan[9], saudara-saudara ayahmu yang perempuan[10], saudarasaudara ibumu yang perempuan[11], anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan[12], ibu-ibumu yang menyusui kamu[13], saudara-saudara perempuanmu sesusuan[14], ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri[15], tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)[16], dan diharamkan mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara[17], kecuali yang telah terjadi pada masa lampau[18]. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[1] Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, "Dahulu orang-orang Jahiliyah mengharamkan apa yang mereka haramkan selain istri bapak dan selain menggabung antara dua perempuan bersaudara, maka Allah menurunkan ayat, "Wa laa tankihuu maa nakaha aabaa'ukum minan nisaa'i illaa maa qad salafdst." sampai "Wa an tajma'uu bainal ukhtain." (Hadits ini para perawinya adalah para perawi kitab shahih selain Muhammad bin Abdullah Al Makhramiy, namun dia tsiqah). [2] Termasuk kakekmu. [3] Kejadian pada masa yang lalu dimaafkan. [4] Baik oleh Allah maupun oleh manusia. Karena sebab itu, seorang anak menjadi benci kepada bapaknya atau bapak benci kepada anaknya, padahal anak diperintahkan berbakti kepada bapaknya. [5] Oleh karenanya, kebiasaan jahiliyyah tersebut dihapuskan oleh Islam. [6] Ayat 23 dan 24 mencakup wanita-wanita yang haram dinikahi baik karena nasab, karena sepersusuan, karena mushaharah (pernikahan), maupun karena jam' (menggabung dua pereempuan bersaudara). Demikian juga menjelaskan tentang wanita-wanita yang halal dinikahi. Yang diharamkan karena nasab adalah ibu, puteri, saudari, saudari bapak (bibi), saudari ibu (bibi dari pihak ibu), puteri dari saudara kita yang laki-laki dan puteri dari saudara kita yang perempuan. Lihat juga penjelasan masing-masingnya nanti. Selain yang disebutkan itu halal dinikahi (uhilla lakum maa waraa'a dzaalikum) seperti puteri paman dari bapak ('amm) dan puteri bibi dari bapak ('ammah), demikian pula puteri paman dari ibu (khaal) maupun puteri bibi dari ibu (khaalah). Dengan demikian, sepupu halal dinikahi. Yang diharamkan karena sepersusuan yang disebutkan dalam ayat- adalah ibu susu dan saudari susu. Namun tidak hanya sebatas ini, karena dalam hadits disebukan,

"Sepersusuan menjadikan mahram sebagaimana nasab." (HR. Bukhari dan Muslim) Maka keharaman dinikahi menyebar sebagaimana nasab. Dengan demikian, anak yang disusukan tidak boleh menikahi: 1. Wanita yang menyusuinya (karena dianggap sebagai ibunya), 2. Ibu wanita yang menyusuinya (karena ia neneknya), 3. Ibu bagi suami wanita yang menyusuinya (ia neneknya juga), 4. Saudari ibu yang menyusuinya (khaalahnya), 5. Saudari suami wanita yang menyusui (ammahnya), 6. Saudari sepersusuan, baik sekandung, sebapak maupun seibu.

7. Puteri anak laki-laki si wanita yang menyusuinya dan puteri dari puteri si wanita yang menyusui dst. ke bawah. Yang diharamkan karena mushaharah (pernikahan), jumlahnya ada 4, yaitu: istri bapak dst. ke atas, istri anak dst. ke bawah, baik mereka sebagai ahli waris maupun terhalang (mahjub), ibu istri kita dst. ke atas (seperti neneknya, baik dari pihak bapaknya maupun ibunya) dan anak tiri yaitu puteri dari istri kita yang lahir dari selain kita. [7] Termasuk pula nenek baik dari pihak bapak maupun ibu dst. ke atas. [8] Termasuk pula cucu perempuan (dari anak laki-laki maupun anak perempuan) dst. ke bawah. [9] Baik sekandung, sebapak maupun seibu. [10] Termasuk pula saudara-saudara kakekmu yang perempuan. [11] Termasuk pula saudara-saudara nenekmu yang perempuan. [12] Termasuk pula anak perempuan (cucu) dari anak saudara laki-laki maupun perempuan (baik dari saudara sekandung, sebapak maupun seibu) dst. ke bawah. [13] Yakni yang menyusui kamu saat kamu berusia di bawah dua tahun dengan lima kali susuan. [14] Termasuk pula anak-anak mereka yang perempuan. [15] Yang dimaksud dengan anak-anak perempuan isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya. Hal itu, karena kata-kata " yang dalam pemeliharaanmu" hanya sebagai kondisi yang biasa terjadi, sehingga tidak ada mafhum yang dijadikan pegangan daripadanya. Ada yang berpendapat, bahwa disebutkan kata " yang dalam pemeliharaanmu" karena dua faedah: - Mengingatkan hikmah haramnya menikahi anak tiri, karena ia menduduki puteri kita. - Menunjukkan bolehnya berkhalwat (berduaan) di rumah dengan anak tiri, wallahu a'lam. [16] Hal ini menunjukkan bahwa jika bekas istri anak angkat, maka tidak mengapa menikahinya. [17] Baik senasab maupun sepersusuan, yakni tidak boleh dinikahi bersama. Demikian juga dilarang menghimpun dalam pernikahan wanita tersebut bersama bibinya dari pihak bapak maupun ibu sebagaimana disebutkan dalam As Sunnah. Yang boleh adalah salah satunya, dan boleh menikahi adik dan kakaknya apabila yang satu meninggal sebagaimana Utsman menikahi dua puteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, karena puteri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang pertama meninggal, lalu ia menikahi puteri Nabi yang kedua. Hikmah dilarang demikian adalah agar tidak memutuskan tali silaturrahim antara kedua wanita yang bersaudara tersebut ketika terjadi pertengkaran. [18] Maka dimaafkan. c. Saling mengenal dan suka sama suka (Q.S. an-Nisa (4) ayat 3 dan Q.S. ar-Rm (30) ayat 21)

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.


Dan barangsiapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman, dari budak-budak yang kamu miliki. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang merekapun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka melakukan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kemasyakatan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antara kamu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

d. Ada mahar yang dikeluarkan oleh calon suami (Q.S.an-Nisa (4) ayat 4 dan 25)

e. Tidak dalam ihram f. Tidak bersuami dan tidak dalam iddah bagi calon istri

E. PERWALIAN Perwalian dalam arti umum bermakna segala sesuatu yang berhubungan dengan wali sedangkan arti wali memiliki makna yang beragam antara lain: 1. Orang yang secara hukum positif, adat dan agama diserahi kewajiban mengurus anak yatim serta hartanya sebelum anak itu dewasa. 2. pengasuh pengantin wanita pada waktu menikah (yaitu yang melakukan janji nikah dengan pengantin pria) Yang dianggap sah untuk menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut susunan yang akan diuraikan dibawah ini, karena wali-wali itu memang telah diketahui oleh orang yang ada pada masa turun ayat: Janganlah kamu menghalangi mereka menikah. Semua itu menjadi tanda bahwa wali-wali itu telah diketahui, yaitu: 1. Bapaknya. 2. Kakeknya 3. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya. 4. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya. 5. Anak laki-laki dari saudara lak-laki yang seibu sebapak dengannya. 6. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya. 7. Saudara bapak yang laki-laki. 8. Anak laki-laki pamannya dari pihak bapaknya. 9. Hakim

SYARAT WALI DAN DUA SAKSI Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad pernikahan. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang-orang yang memiliki beberapa sifat berikut: 1. Islam. 2. Balig ; sudah berumur 15 tahun (17 tahun menurut hukum positif Indonesia) 3. Berakal. 4. Merdeka. 5. Laki-laki 6. Adil.
.

F. MAHAR Secara etimologis berarti maskawin. Secara terminologis, bermakna pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suami. Imam Syafii memberikan definisi yang lebih terbuka dan jelas yakni sesuatu (bisa harta maupun jasa) yang wajib diberikan oleh suami kepada istri untuk menghalalkan seluruh anggota badannya 1 Firman Allah SWT :

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. (An-Nisa : 4)

Pemberian mahar ini wajib atas laki-laki, tetapi tidak menjadi rukun nikah, dan apabila tidak disebutkan pada waktu akad, pernikahan itu pun sah.

Syarat-syarat Mahar Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut a. harta/bendanya berharga. Tidak sah dengan yang tidak berharga walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi apabila mahar sedikit dan bernilai maka tetap sah. b. Barangnya suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamr, babi, atau darah. Karena semua itu haram. c. Harta/barangnya bukan barang hasil curian maupun ghasab, artinya mengambil barang milik orang lain tanpa seizinnya.

Abdurrahman AlJaziriy, al fiqh ala madzahib alarbaah.

d. Bukan barang yang tidak jelas keadaannya. Tidak sah mahar dengan barang yang tidak jelas keadaanya dan atau tidak disebutkan jenisnya 2.

Jumlah Mahar Mengenai besaran mahar, para Ulama sepakat bahwa tidak ada batasan tertinggi dalam pemberian mahar. Tetapi mereka berselisih pendapat tentang batas terendah. 1. Imam Syafii, dkk. Berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. 2. Imam Malik dan malikiyah mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit nilainya mencapai seperempat dinar emas murni atau perak seberat tiga dirham. Atau bisa berupa barang dengan nilai yang setara dengan itu. 3. Imam Hanafi berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan lima dirham atau lima belas dirham.

Memberi mahar dengan cash atau credit Pelaksanaan membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat istiadat setempat. Mahar boleh diberikan dengan kontan (cash) ataupun hutang (credit). Atau dibayar sebagian, dan sebagian lainnya ditunda pemberiannya.

G. MACAM-MACAM MAHAR a. Mahar Musamma Yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya pada akad nikah. Mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila 1. having sex.

Ibid

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata ?

2. salah satu dari keduanya (suami dan istri) meninggal dunia. Demikian menurut ijma. b. Mahar mitsil (sepadan) Yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya sebelum ataupun ketika pernikahan. Atau mahar yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, gak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status sosial, pendidikan dan kecantikannya.

Khutbah Nikah
Menurut Sunnah, sebelum dilangsungkan akad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu, yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat. [16] Adapun teks Khutbah Nikah adalah sebagai berikut: Segala puji hanya bagi Allah, kami memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri-diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Nabi Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam adalah hamba dan Rasul-Nya.

Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim. [Ali Imran : 102]

Wahai manusia! Bertaqwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak.

Bertaqwalah kepada Allah yang dengan Nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguh-nya Allah selalu menjaga dan mengawasimu. [An-Nisaa' : 1]

Wahai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar, nis-caya Allah akan memperbaiki amal-amalmu dan meng-ampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia menang dengan kemenangan yang besar. [Al-Ahzaab : 70-71]

BEBERAPA KETENTUAN TAMBAHAN TERKAIT DENGAN PENYELENGGARAAN AQAD NIKAH 1. Khutbah Nikah. Disunnahkan sebelum aqad nikah berlangsung, dihadirkan khutbah nikah untuk memberikan wasiat dan bekalan ruhiah kepada kepada mempelai bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral dan agar dapat mengarungi biduk rumah tangga secara sakinah, mawaddah dan rahmah. Khutbah dapat dilakukan oleh wali ataupun yang lain. 2. Mendoakan kedua mempelai. 3. Adab Malam Pengantin a. Suami meletakkan telapak tangan kanannya ke kening isterinya dan mendoakannya b. Suami bersikap lembut dan menaungi isterinya c. Saling beradaptasi dan memunculkan suasana harmonis

Walimatul Urus (Pesta Pernikahan)


TATA CARA PERNIKAHAN DALAM ISLAM Walimah. Walimatul urus (pesta pernikahan) hukumnya wajib [1] dan diusahakan sesederhana mungkin.

BEBERAPA KETENTUAN TAMBAHAN TERKAIT DENGAN WALIMATUL URSY secara bahasa : walimah = berkumpul. secara syari : a) pesta/resepsi perkawinan. b) makanan yang dihidangkan dalam acara pesta/resepsi perkawinan. Hukum menghadiri walimatulursy adalah fardhu. Sedangkan memenuhi undangan selain walimatulursy, para fuqaha berikhtilaf antara fardhu kifayah dan sunnah.
Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda: . Selenggarakanlah walimah meskipun hanya dengan menyembelih seekor kambing [2] Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam memperingatka n orang-orang yang mengadakan walimah agar tidak hanya mengundang orang-orang kaya saja, tetapi hendaknya diundang pula orang-orang miskin. Karena makanan yang dihidangkan untuk orang-orang kaya saja adalah sejelek-jelek hidangan.

Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya [3] Sebagai catatan penting, hendaknya yang diundang itu orang -orang shalih, baik kaya maupun miskin, sesuai sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam:

Janganlah engkau bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang bertaqwa [4] Orang yang diundang menghadiri walimah, maka dia wajib untuk memenuhi undangan tersebut. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

Jika salah seorang dari kamu diundang menghadiri acara walimah, maka datangilah! [5] Memenuhi undangan walimah hukumnya wajib, meskipun orang yang diundang sedang berpuasa. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam: . Apabila seseorang dari kalian diundang makan, maka penuhilah undangan itu. Apabila ia tidak berpuasa, maka makanlah (hidangannya), tetapi jika ia sedang berpuasa, maka hendaklah ia mendoakan (orang yang mengundangnya) [6] Dan apabila yang diundang memiliki alasan yang kuat atau karena perjalanan jauh sehingga menyulitkan atau sibuk, maka boleh baginya untuk tidak menghadiri undangan tersebut.[7] Hal ini berdasarkan riwayat dari Atha bahwa Ibnu Abbas radhiyallaahu anhu pernah diundang acara walimah, sementara dia sendiri sibuk membereskan urusan pengairan. Dia berkata kepada orang-orang, Datangilah undangan saudara kalian, sampaikanlah salamku kepadanya dan kabarkanlah bahwa aku sedang sibuk [8] Disunnahkan bagi yang diundang menghadiri walimah untuk melakukan hal -hal berikut: Pertama: Jika seseorang diundang walimah atau jamuan makan, maka dia tidak boleh mengajak orang lain yang tidak diundang oleh tuan rumah. Hal ini berdasarkan riwayat dari Abu Masud al-Anshari, ia berkata, Ada seorang pria yang baru saja menetap di Madinah bernama Syuaib, ia punya seorang anak penjual daging. Ia berkata kepada anaknya, Buatlah makanan karena aku akan mengundang Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam datang bersama empat orang disertai seseorang yang tidak diundang. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda,

Engkau mengundang aku bersama empat orang lainnya. Dan orang in i ikut bersama kami. Jika engkau izinkan biarlah ia ikut makan, jika tidak maka aku suruh pulang. Syuaib menjawab, Tentu, saya mengizinkannya [9] Kedua: Mendoakan bagi shahibul hajat (tuan rumah) setelah makan. Doa yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

Ya Allah, ampunilah mereka, sayangilah mereka dan berkahilah apa -apa yang Engkau karuniakan kepada mereka [10] Dalam riwayat Muslim dengan lafazh:

Ya Allah, berkahilah apa-apa yang Engkau karuniakan kepada mereka, ampunilah mereka dan sayangilah mereka. [11] Atau dengan lafazh: Ya Allah, berikanlah makan kepada orang yang memberi makan kepadaku, dan berikanlah minum kepada orang yang memberi minum kepadaku [12] Atau dengan lafazh:

Telah berbuka di sisi kalian orang-orang yang berpuasa, dan telah menyantap makanan kalian orang-orang yang baik, dan para Malaikat telah mendoakan kalian. [13] Ketiga: Mendoakan kedua mempelai. Doa yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

Semoga Allah memberkahimu dan memberkahi pernikahanmu, serta semoga Allah mempersatukan kalian berdua dalam kebaikan [14] Disunnahkan menabuh rebana pada hari dilaksanakannya pernika han. Ada dua faedah yang terkandung di dalamnya: 1. Publikasi (mengumumkan) pernikahan. 2. Menghibur kedua mempelai. Hal ini berdasarkan hadits dari Muhammad bin Hathib, bahwa Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

Pembeda antara perkara halal dengan yang haram pada pesta pernikahan adalah rebana dan nyanyian (yang dimainkan oleh anak-anak kecil) [15] Juga berdasarkan hadits dari Aisyah radhiyallaahu anha, ia pernah mengantar mempelai wanita ke tempat mempelai pria dari kalangan Anshar. Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam berkata,

Wahai Aisyah, apakah ada hiburan yang menyertai kalian? Sebab, orang-orang Anshar suka kepada hiburan. [16] Dalam riwayat yang lain, beliau shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, Apakah kalian mengirimkan bersamanya seorang gadis (yang masih kecil -pen) untuk memukul rebana dan menyanyi? Aisyah bertanya, Apa yang dia nyanyikan? Beliau shallallaahu alaihi wa sallam menjawab, Dia mengucapkan:

Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian Hormatilah kami, maka kami hormati kalian Seandainya bukan karena emas merah Niscaya kampung kalian tidaklah mempesona Seandainya bukan gandum berwarna coklat Niscaya gadis kalian tidaklah menjadi gemuk.[17] Nabi shallallaahu alaihi wa sallam bersabda:

Umumkanlah (meriahkanlah) pernikahan. [18] [Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]

H. Maksud Dan Tujuan Pernikahan Adapun maksud dan tujuan pernikahan sangat banyak sekali, karena setiap orang memiliki maksud yang berbeda-beda dalam melakukan pernikahan, namun berikut akan dipaparkan beberapa maksud dan tujuan pernikahan secara umum, yaitu: a. Untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rohmah (KHI Pasal 3 Bab I). b. Mentaati perintah Allah SWT (surat An-Nisa ayat 3: ... ) dan mengikuti jejak para Nabi dan Rasul, terutama meneladani Sunnah Rasulullah Muhammad SAW, karena hidup beristri, berumah tangga dan berkeluarga adalah termasuk Sunnah beliau. c. Memelihara pandangan mata, menentramkan jiwa, memeelihara nafsu seksualitas, menenangkan pikiran, membina kasih saying serta menjaga kehormatan dan memelihara kepribadian. d. Melaksanakan pembangunan materiil dan spiritual dala kehidupan berkeluarga dan rumah tangga sebagai sarana terwujudnya keluarga sejahtera dalam rangka pembangunan masyarakat dan bangsa. e. Memelihara dan membina kualitas dan kuantitas keturunan untuk mewujudkan kelestarian kehidupan keluarga di sepanjang masa dalam rangka pembinaan spiritual dan fisik materiil yang diridhai Allah SWT. f. Mempererat dan memperkokoh tali kekeluargaan antara keluarga suami dan keluarga istri sebagai sarana terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman dan sejahtera lahir batin di bawah naungan Rahmat Allah Subhanahu wa Taala.

I.HIKMAH NIKAH Islam tidak mensyariatkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya : 1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis (QS. Ar Ruum : 21) 2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa (QS. Ar Ruum : 21) 3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia (QS. An Nisaa : 1, An Nahl : 72) Rasulullah berkata : Nikahlah, supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya sa ya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku. (HR. Baihaqi) 4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral. Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija (pengekang syahwat) baginya. (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum)

VISI ISLAM TENTANG KELUARGA/RUMAH TANGGA Visi Rasulullah saw tentang keluarga adalah baiti jannati. Sebuah keluarga akan menjadi surga kecil jika ia memenuhi empat fungsi berikut :

Fungsi Pertama : FUNGSI FISIOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi : 1. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman. 2. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum-pakaian yang memadai.

3. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya.

Fungsi Kedua : FUNGSI PSIKOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi : 1. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya. 2. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman. 3. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan jiwanya. 4. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga.

Fungsi Ketiga : FUNGSI SOSIOLOGIS Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi : 1. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga. 2. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar.

Fungsi Keempat : FUNGSI DAWAH Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi : 1. Menjadi obyek wajib dawah pertama bagi sang dai. 2. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim. 3. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif-kontributif dalam dawah. 4. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari kebatilan dan kemaksiatan.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Munawwir,

Ahmad

Warson.

Kamus

Al-Munawwir

Arab-Indonesia

Terlengkap.

(Yogyakarta: Pustaka Progressif). 1997. Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Perkawinan Islam. Yogyakarta: UII Press. 2004. Hamid, Zahry. Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan Di Indonesia. (Yogyakarta: Bina Cipta). 1978. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam (hukum fiqh islam). (Bandung: Sinar Baru Algesindo). Cet. 37. 2004. Sabiq, Sayyid. Fiqh Al-Sunnah. (Kairo: Maktabah Dar Al-Turas). Juz 2. Tanpa Tahun. Tim Redaksi FOKUSMEDIA. Himpunan peraturan perundang-undangan tentang kompilasi hukum islam. (Bandung: Fokusmedia). 2007.

http://Ezine.articles.com/?expert=douglad_Woods www.duniawebid.com www.nikah.com/marriage/defaault.asp

Anda mungkin juga menyukai