Anda di halaman 1dari 11

1

“LARANGAN MENCABUT UBAN DALAM PERSPEKTIF HADIS”


Busronul Karim1, Iyasti Ernawati 2, dan Muhammad Hasan3

Abstract
Seiring dengan pertambahan usia, muncul beberapa tuntutan etika dan norma dalam
menjalani kehidupan. Salah satu aspek yang menjadi perhatian dalam literatur hadits adalah
larangan mencabut uban. Hadits-hadits yang melarang tindakan ini memberikan pandangan
unik terhadap proses penuaan. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi hadits-hadits
tersebut, mengungkap konteks serta nilai-nilai keadilan dan rasa hormat yang terkandung
dalam larangan mencabut uban dalam tradisi Islam. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif,
yang menggunakan pendekatan Library Research, untuk mengumpulkan, mengkaji, dan
menganalisis suatu konsep utuh, mengenai hadits larangan mencabut uban. Temuan
penelitian menunjukkan bahwa : uban dapat menjadi cahaya bagi orang-orang yang beriman.
Kata Kunci: Uban; Hadits; Larangan.

INTRODUCTION/PENDAHULUAN

Uban adalah perubahan warna rambut menjadi abu-abu atau putih yang sering
dikaitkan dengan penuaan setelah mencapai usia 40 tahun. Namun, saat ini, banyak orang
muda yang usianya 20 atau 30 tahun mengalami uban. Ini disebabkan oleh berbagai faktor
seperti pengaruh minyak rambut, jenis shampoo, gaya hidup, dan pola makan. Dalam buku
"Adab Berpakaian dan Berhias (Fikih Berhias)" oleh Syaikh Abdul Wahab Abdussalam
Thawilah, istilah dalam bahasa Arab untuk mencabut uban adalah "Natf Asy-Syaib." Dalam
konteks ini, "Natf" berarti mencabut, sedangkan "Asy-Syaib" merujuk kepada rambut yang
telah memutih atau berubah menjadi uban.
Ditinjau dari perspektif medis, uban terjadi karena perubahan kadar melanin. Rambut
hitam berubah menjadi abu-abu karena penurunan produksi melanin, sedangkan uban putih
tumbuh tanpa melanin. Sedangkan dari sudut pandang agama NU Online menyebutkan,
tumbuhnya uban karena usia dianggap sebagai isyarat akan mendekat nya ajal. Oleh karena

1
Email, Prodi, Nama Kampus
2
Email, Prodi, Nama Kampus
3
Email, Prodi, Nama Kampus
2

itu, orang yang beruban disarankan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
tidak terlalu terpaku pada hal-hal dunia.
Dalam Islam, uban dianggap sebagai cahaya, kelembutan, kewibawaan, dan
keteguhan. Oleh karena itu, mencabut uban dianggap sebagai tindakan yang tidak disukai,
dan prinsip ini berlaku untuk uban di rambut kepala, jenggot, kumis, serta bulu pipi.

LITERATUR REVIEW/TINJAUAN LITERATUR


1. Jurnal mahasiswa UIN Sumatera Utara Medan tahun 2023 yaitu Sulaiman
Muhammad dkk yang berjudul "Studi Hadis Tentang Larangan Mencabut Uban
Dengan Pendekatan Ilmu Kesehatan (Kajian Takhrij Al-Hadis)".
2. Skripsi mahasiswa UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten tahun 2022 yaitu Ali
Yaman Husen yang berjudul "Analisis Kualitas Hadis Larangan Mencabut Uban dan
Kebolehan Mewarnai Rambut".
3. Skripsi mahasiswa IAIN Antasari Banjarmasin tahun 2016 yaitu Muhammad Khairani
yang berjudul "Hadis Tentang Larangan Mencabut Uban (Studi Fiqh al-Hadits)".
4. Skripsi mahasiswa UIN Walisongo Semarang tahun 2019 yaitu Nur Saadah yang
berjudul "Studi Analisis Hadis Tentang Larangan Qaza' dan Implementasinya
Sekarang".
5. Skripsi mahasiswa UIN Walisongo Semarang tahun 2019 yaitu Zumrotul Muniroh
yang berjudul "Studi Analisis Hadis Tentang Larangan Mencabut Uban (Pendekatan
Sains)".

METHOD/METODE
Guna menghasilkan data secara komprehensif dan mendalam, maka jenis penelitian yang
dilakukan oleh penulis, dalam penelitian ini adalah kajian kepustakaan (Library Research),
untuk mengumpulkan, mengkaji, dan menganalisis suatu konsep utuh, mengenai hadis
larangan mencabut uban. Pendekatan dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Penelitian yang
menghasilkan penemuan-penemuan yang tidak dapat dicapai dengan menggunakan prosedur
statistik, atau dengan cara-cara kuantifikasi. Penelitian kualitatif menekankan pada quality
atau hal terpenting suatu barang atau jasa, yang berupa kejadian, fenomena, kasus, dan gejala
sosial. Hal itulah yang dapat dijadikan pelajaran berharga bagi pengembangan konsep teori.
Teknik pengumpulan data, dimulai dengan mengumpulkan kepustakaan yang berkaitan
dengan tema. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif, maka data deskriptif
yang ada dalam penelitian ini dianalisis menurut isinya.
3

RESULT/HASIL: BUKTI ADANYA


Hadits tentang larangan mencabut uban

‫ َع ْن َع ْم ِرو ب ِْن‬، َ‫ َع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن إِ ْس َحاق‬، َ‫سلَ ْي َمان‬ َ ‫َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ِر ْبنُ أَبِي‬
ُ ُ‫ َحدَّثَنَا َع ْبدَة ُ ْبن‬،َ‫ش ْيبَة‬
‫ب‬ َّ ‫ف ال‬
ِ ‫ش ْي‬ ِ ْ‫َّللاِ ـ صلى هللا عليه وسلم ـ َع ْن نَت‬ َّ ‫ قَا َل نَ َهى َرسُو ُل‬،ِ‫ َع ْن َج ِده‬،‫ َع ْن أَبِي ِه‬،‫ب‬ ٍ ‫شعَ ْي‬ ُ
4
‫ور ْال ُمؤْ ِم ِن " َوقَا َل‬
ُ ُ‫" ه َُو ن‬
Artinya : “Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abî Syaibah telah menceritakan
kepada kami 'Abdah bin Sulaiman dari Muhammad bin Ishaq dari 'Amr bin Syu'aib dari
ayahnya dari kakeknya dia berkata; "Rasulullah SAW melarang mencabut uban, dan beliau
bersabda: "Dia adalah cahaya bagi orang- orang beriman."

DISCUSSION/ PEMBAHASAN=MENGAPA
Takhrij:
Untuk mendapatkan informasi tentang hadith ini maka kita menggunakan Jami’ul Kutubut

Tis’ah dengan mengambil kosa kata ‫ب‬


ِ ‫ش ْي‬ ِ ْ‫نَت‬.
َّ ‫ف ال‬ Kemudia kita menemukan dalam kitab

hadith:
a. Sunan al-Tirmidzi memuat satu riwayat dalam bab “maa jaa a finnahyi ‘an natfi al-
syaibi” (no.hadith.2821) riwayatnya sebagai berikut:

‫ َع ْن‬، َ‫ َع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن إِ ْس َحاق‬، ُ ‫ َحدَّثَنَا َع ْبدَة‬: ‫ قَا َل‬، ‫ي‬ ُّ ِ‫َارو ُن ْبنُ إِ ْس َحاقَ ْال َه ْمدَان‬
ُ ‫َحدَّثَنَا ه‬
‫ف‬ِ ْ‫سلَّ َم نَ َهى َع ْن نَت‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ي‬ َّ ِ‫ َع ْن َج ِد ِه أَ َّن النَّب‬، ‫ َع ْن أَبِي ِه‬، ‫ب‬ ٍ ‫شعَ ْي‬ُ ‫َع ْم ِرو ب ِْن‬
َ ‫ قَدْ ُر ِو‬،‫س ٌن‬
َّ ‫ي َع ْن َع ْب ِد‬
‫الر ْح َم ِن ب ِْن‬ ٌ ‫ هَذَا َحد‬." ‫ور ْال ُم ْس ِل ِم‬
َ ‫ِيث َح‬ ُ ُ‫ " ِإنَّهُ ن‬: ‫ َوقَا َل‬،‫ب‬ َّ ‫ال‬
ِ ‫ش ْي‬
‫ َع ْن َع ْم ِرو ب ِْن‬،ٍ‫احد‬ ِ ‫ث َو َغي ِْر َو‬
ِ ‫ار‬ِ ‫ْال َح‬
‫ب‬ ُ .5
ٍ ‫ش َع ْي‬
b. Sunan Abi Dawud memuat satu riwayat dalam bab “fii natfi al-syaibi”
(no.hadith.4202) riwayatnya sebagai berikut:

َ‫ع ْج ََلن‬ َ ‫س ْفيَانُ ْال َم ْعنَى َع ِن اب ِْن‬ُ ‫ َحدَّثَنَا‬،ٌ‫سدَّد‬َ ‫ َحدَّثَنَا يَ ْحيَى ح َو َحدَّثَنَا ُم‬، ٌ ‫سدَّد‬
َ ‫َحدَّثَنَا ُم‬
َّ ‫ص َّلى‬
‫َّللاُ َعلَ ْي ِه‬ ِ َّ ‫سو ُل‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ قَا َل َر‬: ‫ َع ْن َج ِد ِه قَا َل‬، ‫ َع ْن أَ ِبي ِه‬، ‫ب‬ ُ ‫ َع ْن َع ْم ِرو ب ِْن‬،
ٍ ‫ش َع ْي‬

4
Abu ‘Abdillah Muhammad bin Yazid al-Qazwaini, Sunan Ibn Majah al-Arnuthi, Juz 4 (Beirut: Dar al-Risalah
al’alamiyah, 1430), 667-668.
5
Muhammad bin ‘Isa bin saurah bin Musa bin al-Dhahhak al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir Sunan al-Tirmidzi,
Juz 4 (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1998), 422.
4

" : َ‫ قَا َل َع ْن سُ ْف َيان‬،" ‫اْلس ََْل ِم‬ ِ ْ ‫ش ْي َبةً فِي‬ ُ ‫ْب ؛ َما ِم ْن ُم ْس ِل ٍم َيش‬
َ ‫ِيب‬ َّ ‫ " ََل تَ ْنتِفُوا ال‬: ‫سلَّ َم‬
َ ‫شي‬ َ ‫َو‬
‫ورا يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬ ْ ‫ ِإ ََّل َكان‬.6 ،ً‫سنَة‬
ً ُ‫َت َلهُ ن‬ َ ‫َّللاُ َلهُ ِب َها َح‬
َّ ‫ب‬ َ َ‫ " ِإ ََّل َكت‬: ‫ث يَ ْحيَى‬
ِ ‫َوقَا َل فِي َحدِي‬
َّ ‫َو َح‬
ً‫ط َع ْنهُ ِب َها َخ ِطيئَة‬
c. Sunan An-Nasa’i memuat satu riwayat dalam bab “an-nahy fii natfi al-syaibi”
(no.hadith.5068) riwayatnya sebagai berikut:

،‫ب‬ ُ ‫ َع ْن َع ْم ِرو ب ِْن‬، َ‫ارةَ ب ِْن غ َِزيَّة‬


ٍ ‫ش َع ْي‬ ُ ‫ َع ْن‬، ‫يز‬
َ ‫ع َم‬ ِ ‫ َع ْن َع ْب ِد ْالعَ ِز‬، ُ‫أَ ْخ َب َرنَا قُتَ ْي َبة‬
‫ َع ْن‬، ‫ َع ْن أَ ِبي ِه‬7‫ب‬ ِ ْ‫ نَ َهى َع ْن نَت‬: ‫سلَّ َم‬
َّ ‫ف ال‬
ِ ‫ش ْي‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ أَ َّن َر‬، ‫َج ِد ِه‬
ِ َّ ‫سو َل‬
َ ‫َّللا‬
d. Musnad Ahmad Bin Hanbal memuat dua riwayat; Juz III halaman 650 (no.7103) dan
Juz III halaman 653 (no.7122)

، ‫ َع ْن أَ ِبي ِه‬، ‫ب‬


ٍ ‫ش َع ْي‬ ُ ‫ َع ْن َع ْم ِرو ب ِْن‬، َ‫ َع ْن ُم َح َّم ِد ب ِْن ِإ ْس َحاق‬، َ‫س َل ْي َمان‬
ُ ُ‫َحدَّثَنَا َع ْبدَة ُ ْبن‬
‫ َع ْن َج ِد ِه‬.8‫ب‬ ِ ‫ش ْي‬ ِ ‫سلَّ َم َع ْن نَ ْت‬
َّ ‫ف ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ َّ ‫سو ُل‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ نَ َهى َر‬: ‫قَا َل‬
I’tibar Sanad:
Untuk memperjelas cItibar sanad perhatikan skema seluruh jalur di bawah ini.

6
Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Juz 4, 136., lihat juga Abu Dawud
Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin ‘Amar al-Azdi alSijistani, Sunan Abi Dawud, Juz
6 (Beirut: Dar al-Risalah al-‘Âlamiyah, 1430), 266
7
Abu ‘Abdi al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali al-Khurasani al-Nasa’i, al-Sunan alShugra Linnasai, Juz 8
(Halb: Maktab al-Mathbû’ât al-Islâmiyah, 1406), cet. 2, 136.
8
Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhamad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal Juz 2 (tt: tp, 1398),
206.
5

Rasulullah SAW

Abdullah bin
‘Amru

Syu’aib bin
Abdullah

Amru bin
Syu’aib

Muhammad bin Abdur Rahman Muhammad bin Umarah bin


Ishaq bin Al Haris ‘Ajlanq Ghaziyah

At-Tirmidzi Yahya bin Sa’id Abdul ‘Aziz bin


bin Farrukh Muhammad

Muasaddad bin Qutaibah bin


Musarhad Sa’id
Abdah bin Yazid bin
Sulaiman Harun
Abi Dawud An-Nasa’i
Musnad
Ahmad

Abdullah bin Harun bin


Muhammad Ishaq bin Musnad
Muhammad Ahmad

Ibnu Majjah At-Tirmidzi


6

Penjelasan Kemuskilan Hadith


a) Penjelasan Secara Umum
Pertama, bagaimanakah hukum yang sebenarnya terkait mencabut uban?
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mencabut uban. Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Adapun mencabut
uban dari janggut atau uban dari rambut yang tumbuh di wajah, maka perbuatan
seperti ini diharamkan kerana termasuk al-Namsh. Padahal terdapat hadits yang
menjelaskan bahwa Nabi SAW melaknat orang yang melakukan al-Namsh. Ibnu al-
Arabi menyebutkan bahwa yang dilarang hanyalah mencabut uban bukan
mewarnainya. Karena mencabutnya sama dengan mengubah ciptaan Allah dari
aslinya. Berbeda dengan menyemirnya, ia tidak mengubah ciptaan dalam pandangan.
Kedua, mengapa uban dapat dikatakan sebagai cahaya bagi orang yang beriman?
Banyak hadis yang menjelaskan bahwa uban akan menjadi cahaya bagi orang-orang
beriman kelak pada hari kiamat. Diantaranya adalah: Dari ‘Amr bin Syu'aib dari
Bapaknya dari Kakeknya ia berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

‫سحَقَ ع َْن ع َْم ِرو ب ِْن‬ ْ ِ‫ع ْب َدةُ ع َْن ُم َح َّم ِد ب ِْن إ‬ َ ‫سحَقَ ا ْل َه ْمدَانِ ُّي َح َّدثَنَا‬ ْ ِ‫ارونُ ْبنُ إ‬ ُ ‫َح َّدثَنَا َه‬
‫ب َوقَا َل‬
ِ ‫ش ْي‬ ِ ْ‫سلَّ َم نَ َهى ع َْن نَت‬
َّ ‫ف ال‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ب ع َْن أَبِي ِه ع َْن َج ِد ِه أَ َّن النَّبِ َّي‬
ٍ ‫شعَ ْي‬ ُ
َ ‫ث َو‬
‫غي ِْر‬ ِ ‫الرحْ َم ِن ب ِْن ا ْل َح ِار‬ َ ‫س ٌن قَ ْد ُر ِو‬
َ ‫ي ع َْن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬ ٌ ‫ َحد‬9 ‫س ِل ِم قَا َل َهذَا‬
َ ‫ِيث َح‬ ْ ‫ور ا ْل ُم‬
ُ ُ‫إِنَّهُ ن‬
‫ب‬ ُ ‫اح ٍد ع َْن ع َْم ِرو ب ِْن‬
ٍ ‫شعَ ْي‬ ِ ‫َو‬
Betapa luar biasanya keutamaan uban bagi umat muslim pada hari dimana semua
orang hanya memikirkan dirinya sendiri, kita yang beruban akan mendapatkan cahaya
naungan dari Allah SWT, namun sebaliknya orang yang mencabut ubannya, ia akan
kehilangan cahaya di hari kiamat.
Ketiga, hikmah dilarangnya mencabut uban?
Bagi sebagian orang, tumbuhnya uban itu dianggap sebagai hal yang mengganggu
terutama bagi mereka yang masih muda. Sehingga alternatif yang mereka lakukan
adalah dengan mencabutnya dengan tujuan agar tidak tumbuh kembali.
Dari upaya yang dilakukan mereka itu sejatinya untuk terlihat agar tetap eksis dan
bisa lebih menjaga penampilan mereka. Sehingga ada sebagian orang itu rela harus
mengeluarkan beberapa hartanya untuk merawat penampilan tersebut di salon. Dan

9
Muhammad bin ‘isa bin saurah bin Musa bin al-Dhahhâk al-Tirmidzī, al-Jâmi’ al-Kabīr Sunan al-Tirmidzī, Juz
4, 422
7

itu itu tak hanya dilakukan oleh kaum elit saja bahkan kaum rakyat jelatapun
melakukannya.
Menjaga penampilan agar tetap terlihat indah itu emanglah tak salah, namun jangan
sampai keluar rambu agama.
Diantara hikmahnya sebagai berikut:
 Uban mengingatkan seseorang akan dekatnya ajal.
Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an surah Fâthir ayat 37 bahwa uban dikiaskan
sebagai sang pemberi peringatan dekatnya ajal seseorang.
10
‫صي ٍْر‬ ّٰ ‫اَ َولَ ْم نُ َع ِم ْر ُك ْم َّما َيتَذَ َّك ُر ِف ْي ِه َم ْن تَذَ َّك َر َو َج ۤا َء ُك ُم النَّ ِذي ُۗ ُْر فَذُ ْوقُ ْوا فَ َما ِلل‬
ِ َّ‫ظ ِل ِميْنَ ِم ْن ن‬
Artinya: “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup
untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada
kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-
orang yang zalim seorang penolongpun”. (Q.S. AlFathir/35: 37).
Ibnu Katsir menerangkan dalam kitab tafsirnya, bahwa para ulama tafsir seperti
Ibnu Abbas dan yang lainnya, menjelaskan bahwa maksud Sang Pemberi
peringatan dalam ayat di sini adalah uban.11 Karena secara umum uban muncul di usia
senja atau saat seseorang mulai menua. Jadilah uban itu sebagai pengingat manusia bahwa
ia berada dipenghujung kehidupan dunia, menanti tamu yang pasti datang dan tak
disangka-sangka.
 Uban menjadikan seorang tak rakus terhadap dunia dan mendorong seorang untuk lebih
giat beramal
Orang muslim yang beruban akan lebih bermakna jika dengan uban tersebut membuat
seorang berfikir dan sadar bahwa kehidupannya di dunia ini tidak lama lagi. Sedangkan
kehidupan selanjutnya yaitu alam akhirat lebih kekal dan abadi.
Ibnu Abid Dunya meriwayatkan dengan sanadnya. Bakr bin Abdillah alMuzaniy berkata:
12
‫ لعلى َل أصلي غيرها‬:‫ إذا أردت أن تنفعك صَلتك فقل‬Artinya: “Bila engkau ingin
mendapat manfaat dari shalat engkau, maka katakanlah pada diri engkau,” Barangkali
setelah ini aku tidak akan shalat lagi.” Maksudnya tidak shalat lagi adalah mengalami
kematian. Orang yang beruban akan menyibukkan diri dengan hak-hak Allah SWT yang
belum ditunaikan atau kurang sempurna.

10
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: CV Penerbit Fajar Mulya, 2009), 438.
11
Muhammad Nasib al-Rifa’i, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, terj. Syihabuddin, jilid 3
(Jakarta: Gema Insani Press, 1999), 973.
12
Abû Bakr ‘Abdillâh bin Muhammad bin ‘Ubaid bin Sufyân bin Qais al-Baghdâdî alUmawî al-Qurasyî,
Qashru al-Aml (Beirut: Dar ibn Haz)
8

b) Penjelasan Beberapa Ulama


1. Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib dalam kitab Mughni al-Muhtaj ila
Ma’rifati Ma’ani Al-fadz al-Minhaj berkata :
Dimakruhkan mencabut uban dari tempat yang tidak tianjurkan oleh syar’i untuk
menghilangkan rambutnya berdasarkan hadits “Janganlah kalian mencabut uban
karena uban itu cahaya orang muslim di hari Kiamat” diriwayatkan oleh al-
Tirmidzi dan hadisnya di anggap hasan. meskipun Ibnu Rifah berpendapat sesuai
nash kitab al-Umm haramnya mencabut uban.13
2. Abi Zakariya Muhyiddin bin Syarof al-Nawawi dalam kitab al-Majmu Syarh al-
Muhadzdzab lisysyairazi berkata :
Makruh mencabut uban karena didasarkan kepada hadits riwayat ‘Amr bin Syuaib
dari bapaknya dari kakeknya dari Nabi saw beliau bersabda: “Jangan kalian
mencabut uban karena uban itu adalah cahaya orang muslim kelak di hari kiamat”.
Ini adalah hadist hasan yang telah diriwayatkan oleh Abu Dawud al-Tirmidzi
Nasa`i, dan lainnya dengan sanad hasan. al-Tirmidzi berkata: Bahwa hadits ini
adalah hadits hasan. Para ulama dari madzhab kami (madzhab syafi’i)
berpendapat bahwa makruh mencabut uban. Pandangan ini ditegaskan oleh al-
Ghazali sebagaimana keterangan yang terdahulu, al-Baghawi dan ulama lainnya.
Seandainya dikatakan haram mencabut uban karena adanya larangan yang jelas
maka mungkin saja. Dan tidak ada perbedaan hukum kemakruhannya antara
mencabut uban jenggot dan kepala.14
3. Ahmad bin Ghanam bin Salim al-Nafrawi dalam kitab al-Fawakih al-Dawani ‘Ala
Risalah ibn Abi Zaid al-Qayrawani dan Abu al-Walid al-Qurthubi dalam kitab al-
Bayan wa al-Tahshil wa al-Syarh wa al-Taujih wa al-Ta’lil limasai`l al-
Mustakhrijah, berkata:
“Imam Malik pernah ditanya tentang hukum mencabut uban. Beliau menjawab:
"Aku tidak melihatnya sebagai perkara haram. Namun, membiarkannya lebih aku
sukai". 15
4. Ahmad bin Muhammad bin Isma’il al-Thahthawi dalam kitab Hasyiyah al-
Thahthawi ‘Ala Maraqi al-Falah Syarh Nur al-Idhah Berkata:
13
Syamsuddîn Muhammad bin Ahmad al-Khathîb al-Syarbînî, Mughnî al-Muhtâj ila Ma’rifati Ma’ânî Alfâdz
al-Minhâj, Juz 1 (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1415), 407.
14
Abî Zakariyâ Muhyîddîn bin Syarof al-Nawawî, al-Majmû’ Syarh al-Muhadzdzab lisysyairâzî, juz 1 (Jaddah:
Maktabah al-Irsyâd, 2008), 344.
15
Ahmad bin Ghânam bin Sâlim bin Mahnan Syihâbuddîn al-Nafrâwî al-Azharî al-Mâlikî, al-Fawâkih al-
Dawânî ‘Ala Risâlah ibn Abî Zaid al-Qayrawânî, Juz 2 (Beirut: Dâr al-Fikr, 1415), 307.
9

“Dimakruhkan mencabut uban sebagaimana hadis riwayat Abi Dawud


"Janganlah kalian mencabut uban, sesungguhnya uban adalah cahaya bagi
seorang muslim di hari kiamat”.16

CONCLUSION/KESIMPULAN
Sebagaimana keterangan diatas, bahwa uban itu termasuk satu aspek atau sebagai salah satu
tanda penuaan dari seseorang yang hal tersebut sudah merupakan fitrah dari Allah SWT.
bukan malah justru merusak atau bahkan menghilangkannya.
Seabagai muslim, alangkah baiknya uban itu kita rawat dengan baik bukan justru malah
merusaknya atau bahkan mencabutnya. Karena dalam beberapa keterangan ulama, uban itu
kelak akan menjadi cahaya bahkan orang yang beruban itu mendapatkan naungan yang dimna
berbagai manusia memikirkan akan dirinya.
Bahkan dalam keterangan hukum dari beberapa ulama, untuk mencabut uban itu sendiri dihukumi
makruh bahkan bisa sampai ke taraf haram

16
Ahmad bin Muhammad bin Ismâ’îl al-Thahthâwî al-Hanafî, Hâsyiyah al- al-Thahthâwî ‘Ala Marâqî al-Falâh
Syarh Nûr al-Îdhâh (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, 1418), 526
10

REFERENCES/DAFTAR PUSTAKA

Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. 2013. Shahih Sunan Tirmidzi: Seleksi Hadis Shahih
dari kitab Sunan Tirmidzi, terj. Fakhturrazi, Jilid 3. Jakarta: Pustaka Azzam.
Syamsuddin, Muhammad bin Ahmad al-Khathib al-Syarbini. 1415. Mughnî al-Muhtâj ila
Ma’rifati Ma’ani Al-fadz al-Minhaj, Juz 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah.
Thawilah, Abdul Wahab Abdussalam, Adab Berpakaian dan Berhias, terj. Abu Uwais &
Andi Syahril.
Zakariya, Abi Muhyiddin bin Syarof al-Nawawi. 2008. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
lisysyairazi, juz 1. Jaddah: Maktabah al-Irsyad.
Abdillah Abu Muhammad bin Yazid al-Qazwaini 1430, Sunan Ibn Majah al-Arnuthi, Juz 4
Beirut: Dar al-Risalah al’alamiyah
Muhammad bin ‘Isa bin saurah bin Musa bin al-Dhahhak al-Tirmidzi, 1998. al-Jami’ al-
Kabir Sunan al-Tirmidzi, Juz 4 (Beirut: Dar al-Gharb al-Islami
Dawud Abu Sulaiman bin al-Asy’ats al-Sajastani, Sunan Abi Dawud, Juz 4. Abu Dawud
Sulaiman bin al-Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syaddad bin ‘Amar al-Azdi
alSijistani, 1430 Sunan Abi Dawud, Juz 6 Beirut: Dar al-Risalah al-‘Alamiyah
Abdi Abu al-Rahman Ahmad bin Syu’aib bin Ali al-Khurasani al-Nasa’i, 1406, al-Sunan
alShugra Linnasai, Juz 8 Halb: Maktab al-Mathbuat al-Islamiyah.
Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhamad bin Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal 1398,
Juz 2
Muhammad bin ‘isa bin saurah bin Musa bin al-Dhahhak al-Tirmidzi, al-Jami’ al-Kabir
Sunan al-Tirmidzī, Juz 4
Departemen Agama RI, 2009, al-Qur’an dan Terjemahnya (Surabaya: CV Penerbit Fajar
Mulya,
Nasib Muhammad al-Rifa’i, 1999, Kemudahan dari Allah: Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, terj.
Syihabuddin, jilid 3. Jakarta: Gema Insani Press.
Abu Bakr ‘Abdillah bin Muhammad bin ‘Ubaid bin Sufyan bin Qais al-Baghdadi alUmawi
al-Qurasyi, Qashru al-Aml. Beirut: Dar ibn Haz
Muhammad Syamsuddin bin Ahmad al-Khathib al-Syarbini, 1415, Mughni al-Muhtaj ila
Ma’rifati Ma’ani Alfadz al-Minhaj, Juz 1. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Zakariya Abi Muhyiddin bin Syarof al-Nawawi, 2008 al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab
lisysyairazi, juz 1. Jaddah: Maktabah al-Irsyad.
Ahmad bin Ghanam bin Salim bin Mahnan Syihabuddin al-Nafrawi al-Azhari al-Maliki.
11

1415, al-Fawakih al-Dawani ‘Ala Risalah ibn Abi Zaid al-Qayrawani, Juz 2. Beirut:
Dar al-Fikr

Anda mungkin juga menyukai