Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

KAIDAH MUFRAD DAN JAMA’


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Ushul At-Tafsir Wa Qawaiduh
Dosen Pengampu: Ibnu Khaldun, M.IRKH

Oleh:

Muhammad Syahrizal 2042115054

Busronul Karim 2142115052

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB, DAN DAKWAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI
MUHAMMAD IDRIS SAMARINDA 2023
1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ibnu Taimiyyah dalam Muqaddimah fi Ushulit Tafsir menyatakan bahwa:
“Jika ada orang yang bertanya: apakah jalan yang terbaik untuk menafsirkan Al-
Qur’an? jawabnya adalah menafsirkan Al-qur’an dengan Al-qur’an. Apabila
engkau tidak mendapatkan penafsirannya dalam AlQur’an, tafsirkanlah dengan
sunnah, karena sesungguhnya ia memberikan penjelasan terhadap Al-Qur’an.
Apabila tidak menemukan tafsirnya dalam Al-qur’an dan tidak pula dalam Sunnah,
merujuklah kepada perkataan-perkataan sahabat Nabi SAW. karena mereka paling
1
mengetahui sesudah Nabi Saw. Mengingat mereka menyaksikan sebagian
turunnya Al-Qur’an dan situasi ketika ayat itu turun, serta mereka memiliki
pemahaman yang benar dari Nabi Saw. Apabila tidak ditemukan penafsiran dalam
Al-Qur’an dan Sunnah, serta tidak ada pula penafsiran sahabat, dalam hal ini, para
imam merujuk pada perkataan tabi’in”.
Para mufassir mengingatkan agar dalam memahami atau menafsirkan ayatayat
Al-Qur’an seseorang harus memperhatikan segi-segi bahasa Al-Qur’an serta
korelasii antarsurat tanpa mengabaikan kaidah-kaidah kebahasaan. Orang yang
berbicara dan menulis tafsir Al-Qur’an tanpa memiliki pengetahuan yang memadai
tentang kaidah dan aturan bahasa Arab, cenderung melakukan penyimpangan
dalam menafsirkan Al-Qur’an dan memberikan arti etimologis, arti hakiki maupun
arti kiasannya. Untuk menghindarii penyimpangan atau kesalahan penafsiran, para
ahli membuat kaidah-kaidah penafsiran. Diantara kaidah-kaidah penafsiran yang
dimaksud adalah: kaidah dasar tafsir, kaidah isim dan fi’il, kaidah amr dan nahi,
kaidah istifham, kaidah ma’rifah dan nakirah, kaidah mufrad dan jama’, kaidah
tanya jawab, kaidah wujuh dan nazha’ir, kaidah dhamir, mudzakkar, mu’annats,
kaidah syarat dan hadzf, jawabusy syarth, kaidah hadzful maf’ul, kaidah redaksi
kalimat umum dan sebab khusus. Pada tugas makalah ini, penulis mempunyai
batasan pembahasan yaitu hanya menjelaskan terkait ruang lingkup kaidah-kaidah
mufrad dan jama’.
.

1
Ahmad Izzan, M.Ag, Studi Kaidah Tafsir AlQur’an:menilik Keterkaitan Bahasa-Tekstual dan
Makna Kontekstual Ayat, (Bandung: Humaniora, 2009), hal.9
2

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka perumusan masalahnya adalah sebagai
berikut:
1. Apa pengertian kaidah Mufrad dan Jama’ ?
2. Bagaimana penerapan kaidah Mufrad dan Jama’?

C. Tujuan penulisan
Dari rumusan masalah diatas tujuan dan manfaat penulis makalah ini adalah:
1. Untik mengetahui pengertian kaidah mufrad dan jama’
2. Untuk mengetahui Penerapan Kaidah Mufrad dan Jama’
3

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Mufrad dan Jama’


Kata “kaidah Mufrad atau Kaidah jama” terdiri dari dua kata, yaitu kaidah dan
mufrad atau jama. Kata “kaidah” berasal dari bahasa Arab, qa’idah/‫قاعدة‬, secara
etimologis berarti alashlun (asal) dan al-asas (dasar). Yaitu sesuatu yang menjadi
dasar atas sesuatu yang lain. Atau dengan istilah lain, sesuatu di mana sesuatu yang
lain dibangun di atasnya. 2 Kalau dianalogikan dengan bangunan, maka qa’idah
bagaikan pondasi dari sebuah bangunan. Dengan demikian, kokoh dan tegaknya
suatu bangunan akan sangat ditentukan oleh pondasi tersebut.

Sementara dari segi terminologis, terdapat banyak definisi di kalangan para


ahli. Antara lain, qa’idah adalah ‫( حكم كلي يتعرف به على أحكام جزئياته‬hukum umum
yang dengannya dapat diketahui hukum-hukum partikularnya). Meski, hukum
umum disini bukan berarti tidak ada pengecualian, sebab, setiap hukum umum
selalu ada pengecualian-pengecualian. Artinya, jika ada kaidah umum kemudian
ada yang dikecualikan dari kaidah itu, bukan berarti menghilangkan sifat
kekulliannya.

Sedangkan Mufrad adalah lafaz yang menunjukkan arti tunggal, dan jama’
adalah lafaz yang menunjukkan arti banyak. Namun, pemaknaan semacam ini tidak
selamanya bisa diterapkan di ayat-ayat al-Qur’an. Sebab, di dalam al-Qur’an
banyak dijumpai lafaz yang ada bentuk mufrad dan jamaknya, seperti ‫سنة‬-‫سنن‬
‫الريح‬-‫ الرياح‬،‫القب‬-‫ القلوب‬،‫السماء‬-‫ السموات‬,seperti bentuk mufrad saja, tidak jamaknya,
seperti ‫ السمع‬,‫ الندور‬,‫ الصدراط‬, ‫األرض‬. ada juga yang hanya berbentuk jamak saja, tidak
ada mufradnya, seperti ‫العالمين‬. Di samping itu, tidak semua bentuk jamak selalu
diartikan banyak. Boleh jadi, bentuk tersebut hanya sebagai pembanding ‫مقابلة‬.
Misalnya seorang guru memerintahkan murid-muridnya agar membuka buku
pelajaran yang akan diajarkan, ia akan berkata: ‫افتحدوا كتدبكم‬, secara harfiyah kalimat
tersebut berarti, “bukalah buku-buku kalian”, padahal yang dimaksud adalah satu
buku. Begitu juga, kalimat ‫ في قلوبهم‬secara harfiyah berarti “di dalam hati-hati
mereka”, tentu saja tidak benar karena hati itu hanya satu; sehingga terjemahannya

2
Kahar Al-Mansur, Pokok-Pokok Ulumul Qur’an (Jakarta: PT. Rineka Cipta,1992)
4

tetap di dalam hati mereka. Bentuk jamak ‫ قلوب‬untuk pembanding dhamir ‫هدم‬.
Bentuk semacam ini banayk ditemukan di dalam al-Qur’an.

B. Penerapan Kaidah Mufrad dan Jama’


Penerapan kaidah ini, akan dilihat dari beberapa ayat berikut ini:

1. Term ‫ األرض‬dan ‫السماء‬, ‫السموات‬.


Dua term ini dijelaskan secara bersamaan, karena di dalam al-Qur’an
banyak ditemukan perangkaian keduanya sebagai perbandingan (muqabalah).
Namun, term ‫ االرض‬selamanya berbentuk mufrad; sedangkan pembandingnya
terkadang bentuk jamak (‫ )السموات‬terkadang mufrad (‫)السماء‬. Namun, menurut
az-Zarkasyi, jika berbentuk jama’, ‫السموات‬, hal ini menunjukkan arti langit
dalam arti bendanya (zatnya). Misalnya dalam firman Allah:

َ ‫ت َو ْاْلَ ْر‬
‫ض‬ ْ ‫ّلِل الَّذ‬
ٰ ‫ٰي َخلَقَ السَّمٰ ٰو‬ ٰ ‫اَ ْل َح ْمد ُ ٰ ه‬
"Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi…(al-An’am/6:1)
Kata ‫ السموات‬di sini merujuk kepada bendanya. Karena itu, term ‫ األرض‬semestinya juga
merujuk kepada bendanya. Pertanyaannya adalah kenapa langit disebutkan dengan
bentuk jama’, sementara bumi berbentuk mufrad? Jika jawabannya, karena langit
bertingkat-tingkat, sebagaimana banyak ditemukan di dalam al-Qur’an redaksi ‫سبع‬
‫سموات‬. Maka, apakah bumi tidak bertingkat-tingkat? Menurut para ahli geologi, bumii
juga terdiri dari beberapa lapisan. Al-Qur’an sendiri juga menyatakan demikian.
Firman Allah:

‫ض ٰمثْلَ ُه َّۗ َّن‬ َ ْ َ‫ت َّو ٰمن‬


ٰ ‫اْل ْر‬ ٍ ‫سمٰ ٰو‬
َ ‫س ْب َع‬ ْ ‫ّللَاُ الَّذ‬
َ َ‫ٰي َخلَق‬ ‫َه‬
Allah yang menciptakan tujuh langit dan dari (penciptaan) bumi juga
serupa…(ath-Thalaq/65: 12).
Redaksi ‫ض مٰثْلَ ُه َّۗ َّن‬ َ ْ َ‫ َّومٰن‬menunjukkan kalau bumi itu juga berlapis-lapis.
ٰ ‫اْل ْر‬
Menurut Thanthawi Jauhari, kesamaan di sini bukan dalam arti hakiki, bahwa
luas bumi sama dengan langit. tentu saja tidak! akan tetapi hanya kesamaan
dari segi sifat. Karena itu, meski langit dengan berbentuk jamak, namun, bumi
tetap berbentuk mufrad. Inii bisa dipahami, meski bumi berlapis-lapis, namun
bumi tetap tidak bisa disamakan atau dibandingkan dengan langit, dalam arti
luas dan besarnya.
Sementara bentuk ‫ السماء‬merujuk kepada arah atas. Sebagaimana diisyaratkan
dalam firman-Nya:
5

‫س َم ۤا ٰء َم ۤاء‬
َّ ‫َّواَ ْنزَ َل ٰمنَ ال‬
“…Dia menurunkan air hujan dari langit…”(al-Baqarah/2: 22)
Yang di maksud “langit” di sini bukan bendanya tetapi arah atas, dan redaksi
semacam ini banyak ditemukan di dalam alQur’an. Artinya, hujan itu tidak
turun dari langit, dalam artian “bendanya”, tetapi turun dari arah atas. Makanya
tidak pernah ditemukan di dalam al-Qur’an, ayat yang menjelaskan turunnya
hujan diungkapkan dengan ‫السموات‬. Hal ini sangatlah tepat, karena hujan
memang tidak turun dari langit, tetapi dari arah atas. Buktinya, ketika kita
berada di pesawat terbang, kita tidak tersentuh oleh air hujan, meski di bawah
sedang turun hujan. Namun begitu kaidah umum tetap ada pengecualian di
beberapa ayat.3
2. Term ‫ الظلمات‬dan ‫النور‬
Kata an-nur/‫الندور‬, meski memiliki bentuk jamak (‫ )االندوار‬namun bentuk
jamaknya tidak ditemukan di dalam al-Qur’an. Sebaliknya, kata zhulumat/
‫ الظلمات‬juga tidak ditemukan bentuk mufradnya, zhulmah/‫ظلمدة‬. Memang ada
kata zhulm, namun menurut kaidah bahasa Arab bentuk jamaknya bukanlah
zulumat, tetapi azhlam. Meski begitu, term zhulumat, jika dirujuk dari akar
katanya, yaitu berasal dari huruf zha’, lam, dan mim, adalah seakar dengan
term zhulm. menurut Ibn Faris, keduanya (Dzulm dan zulmah) sama-sama
bentuk asli, yang merupakan salah satu antonim dari ‫( الضدياء‬terang) dan ‫الندور‬
(cahaya). Sementara terkait dengan term zhulm, menurut al-Ishfahani memiliki
dua makna, yaitu meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya dan melewati
batas-batas kebenaran.4 Yang pasti, setiap bentuk kezaliman akan menciptakan
kegelapan di akhirat kelak. Demikian pernyataan Rasulullah, “kezaliman di
dunia hakekatnya menciptakan kegelapan di akherat. Berangkat dari
penjelasan di atas, maka ketika kita menemukan ayat:

ُّ َ‫اس ٰمن‬
ٰ ٰ‫الظلُم‬
‫ت اٰلَى النُّ ْو ٰر‬ َ َّ‫ب اَ ْنزَ ْل ٰنهُ اٰلَيْكَ ٰلت ُ ْخ ٰر َج الن‬
ٌ ‫ٰك ٰت‬
(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang
dengan izin Tuhan … (Ibrahim/14: 1)

3
Lebih jauh lihat Badruddin Muhammad bin ‘Abdillah Al-Zarkasyi (w. 794 H), ditahqiq oleh
Muhammad Abu al-Fadhl, al-Burhȃn fî ‘Ulȗm alQur’ȃn, (Mesir: Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah(,
4
Abu al-Husen Ahmad bin Fȃris bin Zakariya (Ibn Fȃris), Mu’jam Maqȃyîs al-Lugah, ditahqiq
oleh Abdussalam Muhamamd Harun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979 M), jilid 3, h. 468.
6

Maka ayat di atas seakan mengkhabarkan kepada kita bahwa keberadaan


al-Qur’an adalah untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Hanya saja, bentuknya tidak sebanding. Kalau kegelapan diungkapkan dengan
bentuk jama’, al-zulumat, sementara cahaya diungkapkan dengan bentuk
mufrad, an-nur. Model semacam ini banyak ditemukan di dalam al-Qur’an.
Padahal, struktur semacam itu akan memunculkan banyak pertanyaan. Seperti
contoh kenapa term an-nur tidak dijamakkan menjadi alanwȃr, agar sebanding
dengan al-ẓulumȃt? Atau juga mengapa term alẓulumȃt nya tidak dimufradkan
agar sebanding dengan al-nȗr. Atau juga kenapa term al-ẓulumȃtnya yang
dijamakkan, bukan term al-nȗr? Inilah beberapa pertanyaan yang wajar
dipertanyakan terkait ayat di atas.
Jawaban singkatnya disampaikan oleh al-Sya’rawi, bahwa hakikat al-nȗr itu
satu; sedangkan al-ẓulumȃt itu bermacam-macam sesuai dengan tuntutan hawa
nafsu. 5 Meski sejatinya al-nȗr itu juga bermacam-macam, namun hakikatnya
satu. Karena itu, dalam beberapa kitab tafsir, kata nur ditafsirkan dengan
Islam. Berbeda dengan al-ẓulumȃt, yang bentuknya bermacam-macam, namun
masing-masing memiliki hakikatnya sendiri-sendiri. Artinya, meski sama-
sama didorong oleh hawa nafsu, namun ada yang terdorong melakukan
kesyirikan, mencuri, korupsi, berzina, berjudi, berkhiyanat, minum-minum,
bersumpah palsu, suap, menyembah berhala, dan lain-lain. Ini semua disebut
al-ẓulumȃt. Karena itu, kehadiran al-Qurán didedikasikan untuk mengeluarkan
manusia dari berbagai kegelapan (al-ẓulumȃt) menuju cahaya Islam (al-nȗr)
Berdasar penjelasan di atas. Bisa juga dipahami, bahwa suatu kezaliman itu
efek dosanya sebatas yang dilakukan. Artinya, jika seseorang korupsi, tidak
mungkin ia juga harus menanggung dosa berjudi, berzina, bebohong dan lain-
lain, dimana ia tidak melakukannya. Sebaliknya, suatu kebaikan akan memiliki
efek pelipatgandaan pahala, karena satu kebaikan sejatinya akan memancarkan
kebaikan-kebaikan yang lain. Sebagaimana diisyaratkan oleh firman-Nya:

5
Al-Sya’rȃwî, Tafsîr al-Sya’rȃwî, jilid 12, h. 7425
7

‫سيٰئَ ٰة فَ ََل يُ ْج ٰ ٰٓزى ا َّْٰل ٰمثْلَ َها َوهُ ْم َْل‬


َّ ‫ع ْش ُر اَ ْمثَا ٰل َها َۚو َم ْن َج ۤا َء بٰال‬ َ ‫َم ْن َج ۤا َء بٰ ْال َح‬
َ ٗ‫سنَ ٰة فَلَه‬
ْ ُ‫ي‬
َ‫ظلَ ُم ْون‬
Barangsiapa berbuat kebaikan mendapat balasan sepuluh kali lipat amalnya.
Dan barangsiapa berbuat kejahatan dibalas seimbang dengan kejahatannya.
Mereka sedikit pun tidak dirugikan (dizalimi).(al-An’am/6: 160).

3. Term ‫ الريح‬dan ‫الرياح‬


Termasuk dalam pembahasan kaidah mufrad dan jama’ adalah lafaz ‫الريح‬
(mufrad) dan ‫( الرياح‬jama’). Dalam penerjemahannya keduanya sama-sama
berartii angin. Namun, perbedaan bentuk menunjukkan perbedaan makna. Jika
berbentuk mufrad berarti azab, sementara dalam bentuk jama’ berarti rahmat.
Misalnya pada firman Allah berikut ini:

‫ص ٍر َعاتٰيَ ٍة‬
َ ‫ص ْر‬ ٍ ‫َواَ َّما َعادٌ فَا ُ ْه ٰل ُك ْوا بٰ ٰري‬
َ ‫ْح‬
Sedangkan kaum ‘Ad, mereka telah dibinasakan dengan angin topan yang
sangat dingin, (al-Haaqqah/69: 6)

Kata rîḥ pada ayat di atas menunjukkan bentuk azab yang menimpa kaum
‘Ad, yaitu angin topan yang sangat kencang, membawa hawa dingan yang
sangat dahsyat. 6 Namun, ada term rîḥ yang seakan tidak menunjukkan arti
azab, sebagaimana dalam firman Allah berikut ini:

‫ض الَّتٰ ْي ٰب َر ْكنَا فٰ ْي َه َّۗا‬


ٰ ‫ي بٰا َ ْم ٰرهٰٓ اٰلَى ْاْلَ ْر‬
ْ ‫اصفَة تَ ْج ٰر‬ ٰ َ‫سلَيْمٰ ن‬
ٰ ‫الر ْي َح َع‬ ُ ‫َو ٰل‬
Dan (Kami tundukkan) untuk Sulaiman angin yang sangat kencang tiupannya
yang berhembus dengan perintahnya ke negeri yang Kami beri berkah
padanya. Dan Kami Maha Mengetahui segala sesuatu. (al-Anbiya’/21: 81)
Dalam Firman-Nya yang lain:

‫اب‬
َ ‫ص‬ ُ ‫ي ٰبا َ ْم ٰره ُرخ َۤاء َحي‬
َ َ‫ْث ا‬ ٰ ُ‫س َّخ ْرنَا لَه‬
ْ ‫الر ْي َح تَ ْج ٰر‬ َ َ‫ف‬
Kemudian Kami tundukkan kepadanya angin yang berhembus dengan baik
menurut perintahnya ke mana saja yang dikehendakinya, (Shad/38: 36)
Kata rîḥ pada kedua ayat di atas memang tidak secara langsung
menunjukkan arti azab, karena terkait dengan anugerah Allah terhadap nabi
Sulaiman. Namun, jika kedua ayat tersebut dilihat dalam konteks mukjizat,
maka hal itu bisa dianggap sebagai azab. Sebab, keberadaannya akan mampu

6
Lihat juga Qs. 3: 117; 14: 18; 30: 51; 17: 69 dan 33: 9.
8

meredam dan mengalahkan kekuatan lawan nabi Sulaiman, sehingga ia


menjadi tidak berdaya. Walhasil, semua kata rîḥ menunjukkan azab, baik
langsung maupun tidak langsung, kecuali dalam satu ayat (Qs.12: 94) yang
berarti bau. Bandingkan dengan firman berikut ini:

ٰ ‫س ْلنَا‬
‫الر ٰي َح لَ َوا ٰق َح‬ َ ‫َواَ ْر‬
Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan…(Q.s. al-Hijr: 22)
Perhatikan terjemahannya, kata riyȃḥ, jamak dari rih tetap diterjemahkan
dengan angin, bukan banyak angin; karena bentuk jamak tersebut
menunjukkan arti rahmat, atau angin yang membawa kebaikan, di antaranya,
adalah mengawinkan tumbuh-tumbuhan dan buah-buahan, meski secara kasat
mata tidak bisa dilihat. Ini menunjukkan betapa rumitnya ciptaan Allah itu.
Jadi, karena rahmat Allah wujudnya bermacam-macam, maka redaksi yang
digunakan adalah jama’ (‫ )الرياح‬Ini adalah kaidah umum tentang mufrad dan
jama’. Memang ada beberapa ayat yang menyimpang dari kaidah umum ini.
Misalnya firman Allah:

ٰٓ
َ ‫ْح‬
‫طيٰ َب ٍة‬ ٍ ‫سيٰ ُر ُك ْم فٰى ْالبَ ٰر َو ْالبَ ْح َّٰۗر َحت هى ٰاذَا ُك ْنت ُ ْم فٰ ْى ْالفُ ْل ۚ ٰك َو َج َريْنَ بٰ ٰه ْم بٰ ٰري‬ ْ ‫ه َُو الَّذ‬
َ ُ‫ٰي ي‬
َ ‫ظنُّ ْٰٓوا اَنَّ ُه ْم ا ُ ٰح ْي‬
‫ط ٰب ٰه ْم‬ َ ‫ان َّو‬ٍ ‫ج ٰم ْن ُك ٰل َم َك‬ ُ ‫ف َّو َج ۤا َءهُ ُم ْال َم ْو‬ٌ ‫اص‬ ٰ ‫َّوفَ ٰر ُح ْوا ٰب َها َج ۤا َءتْ َها ٰر ْي ٌح َع‬
َ‫ش ٰك ٰريْن‬ ‫الديْنَ ەۚ لَ ِٕى ْن اَ ْن َج ْيتَنَا ٰم ْن ٰهذٰه لَنَ ُك ْون ََّن ٰمنَ ال ه‬
ٰ ُ‫صيْنَ لَه‬ ٰ ‫ّللَاَ ُم ْخ ٰل‬
‫دَ َع ُوا ه‬
Dialah Tuhan yang menjadikan kamu dapat berjalan di daratan, (dan berlayar)
di lautan. Sehingga ketika kamu berada di dalam kapal, dan meluncurlah
(kapal) itu membawa mereka (orang-orang yang ada di dalamnya) dengan
tiupan angin yang baik, dan mereka bergembira karenanya; tiba-tiba datanglah
badai dan gelombang menimpanya dari segenap penjuru, dan mereka mengira
telah terkepung (bahaya), maka mereka berdoa dengan tulus ikhlas kepada
Allah semata. (Seraya berkata), “Sekiranya Engkau menyelamatkan kami dari
(bahaya) ini, pasti kami termasuk orang-orang yang bersyukur.” (Yunus/10:
22)
Kata rîḥ di ayat ini menunjuk makna rahmat, meski bentuk mufrad. Ini bisa
dilihat dari sifat yang mengiringinya, yaitu ṭayyibah (baik). Hanya saja, ada
dua pendangan dalam hal ini, yaitu, pertama, dilihat dari segi lafaznya; bahwa
kata al rih mufrad pada ayat ini harus dilihat secara keseluruhan bukan sendiri,
yaitu sebagai pembanding (muqȃbalah) terhadap redaksi rîḥ ‘ȃṣif (angin
9

topan). Jika demikian, menurut pandangan yang pertama ini, ayat tersebut
sejatinya tidak keluar dari kaidah umum.
Kedua, dilihat dari segi maknanya, bahwa secara maknawi kata ‫ الريح‬terkait
dengan kapal laut. karena itu, yang dibutuhkan angin yang hanya datang dari
satu arah. Inilah rahmat Allah, sehingga kapal bisa berlayar. Sebab, jika datang
angin dari berbagai arah (topan), justru kapal akan kandas. Atas alasan inilah,
maka menjadi tepat jika disifati dengan kata ṭayyibah (baik). 7
Namun, jika dilihat dari keseluruhan kandungan makna dari ayat tersebut,
maka yang lebih tepat bentuk rîḥ ṭayyibah sebagai pembanding dari rîḥ ‘ȃṣif.
Alasannya, karena sesuai konteksnya ayat tersebut terkait dengan karakter
umum manusia yang cenderung bersenang-senang sampai kelewat batas di saat
senang, sehingga melalaikan Allah. Namun, giliran ditimpa musibah dan
bencana, barulah mereka ingat Allah.
4. Term ‫العالمين‬

Term ‫ عالمين‬hanya ditemukan bentuk jama’nya di dalam al-Qur’an, yang


biasanya diartikan dengan “semesta alam”. Misalnya, pada ayat:

َ‫ب ْالعٰ لَ ٰميْن‬ ٰ ‫اَ ْل َح ْمدُ ٰ ه‬


ٰ ‫ّلِل َر‬
biasanya diterjemahkan dengan “segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam”.
Sementara kata “semesta alam” biasanya dikesankan sebagai alam raya atau
planet-planet, bintang-bintang dan benda-benda langit lainnya yang tersebar di
jagat raya. Ia berada di atas kita. Tentu saja, ini tidak salah, karena miliaran
bintang tersebut memang diatur oleh Allah, sehingga tidak bertabrakan. Hanya
saja, dengan menggunakan bentuk jama’, ‘alamin, semestinya alam itu juga
tidak tunggal. Sebab, kenyataannya pun ada beberapa alam, misalnya alam
manusia, alam fauna, alam flora, alam galaksi andromeda, termasuk alam
malakut. Karena itu, di dalam beberapa kitab tafsir, term ‘ȃlamîn ditafsirkan
dengan “maasiwallah” (apa saja selain Allah). Artinya, sebagai Rabb al-
‘ȃlamîn, Allah-lah yang mengatur, merawat, mengurus semua ciptaan-Nya,
termasuk manusia.
Namun, ada beberapa ayat, dimana kata ‘alamin, menunjuk arti manusia, di
antaranya:

7
Al-Zarkasyi, al-Burhȃn fi ‘Ulȗm al-Qur’ȃn, jilid 4, h. 11.
10

‫ٰي ن ََّز َل ْالفُ ْرقَانَ َع ٰلى َع ْبدٰه ٰليَ ُك ْونَ ٰل ْلعٰ لَ ٰميْنَ نَ ٰذيْرا‬
ْ ‫تَ ٰب َركَ الَّذ‬
Mahasuci Allah yang telah menurunkan Furqan (Al-Qur'an) kepada hamba-
Nya (Muhammad), agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam
(jin dan manusia). (alFurqan/25: 1)
Kata al-‘ȃlamîn di sini merujuk kepada arti manusia. Indikatornya
ditunjukkan oleh term nażîr (pemberi peringatan). Secara logis bisa dijelaskan,
bahwa kata ‘abdun yang menjalankan tugas inżȃr tentunya akan sangat tepat
jika ditujukan langsung kepada manusia. Namun, kenapa harus menggunakan
term al-‘ȃlamîn? kenapa tidak menggunakan term-term lain yang langsung
menunjuk arti manusia?
Ini menunjukkan bahwa manusia bukanlah makhluk yang menyendiri,
terpisah dari alam raya ini. Manusia menjadi satu kesatuan dengan alam
kosmos yang besar. Bedanya, kalau manusia adalah makhluk yang bersifat
ikhtiyari (diberi hak pilih); sedangkan, alam raya bersifat ijbȃrî (dipaksa).
Kenapa demikian? Karena supaya ibadahnya menusia itu dilandasi atas dasar
cinta bukan terpaksa, pada satu sisi; dan agar manusia dalam menjalankan
tugas kekhalifahan bisa berjalan dengan tenang, karena langit, bumi dan
seisinya dikendalikan dan diatur oleh Allah. Karena itu, posisi manusia sebagai
khalifah Allah menjadi sangat menentukan dan strategis dalam menjaga alam
raya.
11

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Kaidah Mufrad dan Jama’ dalam penafsiran adalah pondasi atau dasaran umum
yang memiliki makna tunggal dan banyak. Artinya, didalam Al-Qur’an itu pastilah
kita akan banyak menemui kata-kata Mufrad (tunggal) ataupun Jama’ (banyak).
Namun dalam pembahasan Al-Qur’an, kata mufrad dan jama tak hanya memiliki
makna tunggal dan banyak saja, akan tetapi ada makna-makna lain yang perlu kita
cermati lebih dalam, dan tidak bisa hanya melihat kata mufrad atau jama’ itu saja,
melainkan harus melihat secara keseluruhan baik dari kata dengan kata, ayat dengan
ayat lain, bahkan dari segi makna yang tersirat sekalipun.

Setidaknya dalam kaidah mufrad dan jama’, terdapat 4 (empat) term yang menjadi
bahan pembicaraan. Yaitu:
1. Term ‫ األرض‬dan ‫السماء‬, ‫السموات‬.
2. Term ‫ الظلمات‬dan ‫النور‬
3. Term ‫ الريح‬dan ‫الرياح‬
4. Term ‫العالمين‬
12

DAFTAR PUSTAKA

Aqsho, M. (2016). Kaidah-Kaidah Tentang Penafsiran Alquran. Warta


Dharmawangsa, (49).
Iman, S. T. A. I. S. N. (2020). KAIDAH-KAIDAH TAFSIR. Jurnal Al-Ashriyyah,
6(2).
Imzi, A. H. H., & SQ, M. (2020). Kaidah tafsir berbasis terapan. eLSiQ & Program
Studi Ilmu al Qur'an dan Tafsir.
Izzan, H. A. (2009). STUDI KAIDAH TAFSIR ALQURAN: Menilik keterkaitan
Bahasa Tekstual dan Makna Kontekstual Ayat. Humaniora.
Tasbih, T. (2013). KEDUDUKAN DAN FUNGSI KAIDAH-KAIDAH TAFSIR.
Farabi, 10(2), 107-118.

Anda mungkin juga menyukai