Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ASPEK BALAGHAH : SURAT AD-DHUHA DAN SURAT AL-INSYIRAH

(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Balaghah)

Dosen Pengampu : Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A.

Disusun Oleh :

Widatul Masamah 11200340000129

Ela Nanda Mustika 11200340000046

Nabila Azzahra 11200340000144

Mouratun Zikra 11200340000174

Putri Arofah 11200340000116

Rida Roudotus Syarifah 11200340000071

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang. Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat
dan karunia-Nya, sehingga kamidapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat
waktu. Sholawat serta salam senantiasa kami curahkan pada Nabi Muhammad
SAW, keluarga, sahabat, serta umatnya sepanjang zaman ini.

Ucapan terimakasih tak lupa kami sampaikan kepada pihak-pihak yang


telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Tak lupa ucapan terimakasih
kami haturkan kepada Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, M.A. yang telah
membimbing kami sebagai dosen mata kuliah Balaghah.

Makalah dengan judul Aspek Balaghah: Surat Ad-Dhuha dan Surat Al-
Insyirah ini ditulis dengan tujuan untuk memenuhi salah satu rangkaian tugas mata
kuliah Balaghah Fakultas Ushuluddin Universitas Syarif Hidayatullah Jakarta.

Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak


kekurangan dan belumsempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan
kritik yang membangun demi perbaikan makalah yang selanjutnya. Kami
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semuapihak dan menjadi referensi
untuk menambah wawasan dan ilmu pengetahuan bagi pembaca.

Wa’alaikumussalam Wr. Wb

Tanggerang Selatan, 25 November 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR… .......................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang .......................................................................................1


B. Rumusan Masalah ..................................................................................1
C. Tujuan Masalah......................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN

A. Aspek Balaghah Surat Ad-Dhuha ..........................................................2


B. Aspek Balaghah Surat Al-Insyirah ........................................................5

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................9

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Balaghah adalah cabang ilmu Bahasa Arab dalam bentuk sastra Arab. Ilmu
balaghah mengkaji makna-makna yang terkandung dalam bahasa Arab
khususnya pada pembahasan ini objeknya yaitu Al-Qur’an. Tidak hanya
makna yang tersurat tetapi ada makna tersirat dalam bahasa atau penyampain
dalam Al-Qur’an itu akan dikaji makna yang terkandung di dalamnya. Kajian
Balaghah secara garis besar terbagi menjadi tiga, yaitu Bayan, Ma’ani dan
Badi. Ilmu bayan adalah suatu disiplin ilmu yang memperlajari cara
mengungkapkan bahasa dengan susunan kalimat yang beragam, di mana
sebagian lebih jelas penunjukkan maknanya atau lebih berkesan dari yang
lain. Kemudian, ilmu Ma’ani adalah pokok-pokok dan dasar-dasar untuk
mengetahui tata cara menyesuaikan kalimat kepada kontekstualnya sehingga
cocok dengan tujuan yang dikehendaki. Yang terakhir, ilmu Badi adalah ilmu
yang mempelajari tentang keindahan suatu kalimat baik dari segi lafaz
maupun makna.

Pada pembahasan kali ini adalah aspek Balaghah pada Surat Ad-Dhuha
dan Surat Al-Insyirah. Pada makalah ini, akan dikupas segala aspek balaghah
dari kedua surat tersebut, yang juga akan menampilkan keindahan pada kedua
surat tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana aspek balaghah dalam Surah Ad-Dhuha?

2. Bagaimana aspek balaghah dalam Surah Al-Insyirah?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui aspek balaghah dalam Surah Ad-Dhuha

2. Untuk mengetahui aspek balaghah dalam Surah Al-Insyirah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Aspek Balaghah Surat Ad-Dhuha

Ad-dhuha ayat 1

‫ض َحى‬
ُّ ‫َوال‬

Ini merupakan majâz mursal yang alaqahnya juziyyah, yaitu dengan menyebutkan
bagian sesuatu tapi yang dimaksud adalah keseluruhan. Dalam hal ini kata dhuha
yang merupakan bagian dari waktu siang akan tetapi yang dimaksud dengannya
adalah siang secara keseluruhan. Dikatakan sebagai majaz karena makna asal dari
kata dhuha adalah waktu dimana matahari mulai meninggi. Apabila dilihat dari
pembandingnya yaitu kata lail maka makna yang sesuia dari kata dhuha adalah
keseluruhan siang.

Ad-dhuha ayat 2

‫َواللَّ ْي ِل إِذَا َس َجى‬


Kata ‫سج ًْوا‬
َ ‫س َجى يَ ْسجُو‬
َ pada awalnya digunakan untuk mensifati ombak yang tenang
kemudian kata ini menjadi umum sehingga digunakan untuk mensifati malâm ketika
hening atau tenang. Dalam hal inipun para ulâma berbeda pendapat tentang ketenangan
yang dimaksud apakah yang dimaksud adalah ”tenangnya malâm dari suara manusia
karena pada waktu itu mereka sedang tidur” atau “memang malâmnya sendiri yang
tenang”. Jadi menurut pendapat pertama isnâd (penyandaran) kata tenang ( ‫س َجى‬
َ ) kepada
َّ
malâm( ‫ ) الليْل‬adalah isnâd majâzi, karena yang tenang bukan malâmnya tetapi
manusianya.

Sedangkan menurut pendapat yang kedua ketenangan yang dimaksud adalah


tenangnya udara pada malâm hari meskipun begitu udara tidak dapat dikatakan
benar-benar tenang karena ia terus bergerak meskipun lâmban. Jadi kata ‫َس َجى‬
apabila dinisbatkan kepada ‫ ْليَل‬maka nisbat tersebut juga nisbat atau isnâd majâzi.

Penisbatan seperti itu termasuk dalam cabang ilmu bayân yaitu ”Majâz ‘aqli”

Disebut juga ”majâz hukmi” atau “isnâd majâzi”, yaitu suatu bentuk kalimat
majâzi yang diungkapkan dengan menggunakan kata kerja atau kata-kata yang

2
semakna dengannya seperti isim fâ’il atau isim maf’ul atau masdar ke pengertian
yang lain atau penyandaran yang tidak sebenarnya karena adanya hubungan dan
korelasi yang menghalangi dipahaminya sebagai penyandaran yang hakiki antara
kedua makna tersebut.

Ad-dhuha ayat 3

‫عكَ َربُّكَ َو َما قَلَى‬


َ َّ‫َما َود‬
Ayat di atas merupakan jawaban sumpah (jawâb al-qasam). Jawâb al-qasam apabila pada
kalimat manfiyyah maka tidak didahului dengan lâm. Karenanya pada ayat ini
menggunakan huruf nafi mâ yang berarti tidak atau bukan.

Kata ‫ع‬ ََ ‫ َو َد‬pada asalnya adalah dari kata َ‫ع ُة‬


َ ‫ ال َّد‬yaitu doa yang ditujukan kepada seorang
musafir agar dijauhkan oleh Allâh dari hal-hal yang tidak diinginkan Kata ََ‫ َربُّك‬adalah
susunan mudhaf dan mudhaf ilaih yang merupakan fâ’il dari wadda’a. Sedangkan kata َ‫ى‬
ََ ‫ل ق َاَ ََم َو‬ ََ dihilangkan (hadzf) obyeknya karena telah diketahui pada kata ََ‫عك‬ َ ‫ َما َو َّد‬, jadi
sudah jelas bahwa obyeknya adalah kaf al mukhâthab. Al-Farra’ mengatakan maksud dari
ayat tersebut adalah wa ma qalaaka, akan tetapi kafnya dihilangkan (hadzf). Maksud dari
hadzf di sini adalah:

Pertama, dihilangkan kaf( ‫ ) ك‬di sini karena dianggap cukup adanya kaf yang
pertama pada ma wadda’aka. Dan untuk penyesuaian akhir ayat dengan al-yaa’.

Kedua, hadzf kaf berfungsi ithlaq (umum), artinya Allâh tidak membencimu dan
sahabatmu serta orang yang mencintaimu.4 Ini termasuk I’jaz lafdzi dikarenakan
telah diketahui sebelumnya obyek yang dihilangkan. Atau juga masuk dalam
kategori ikhtishar lafzhi yang berfungsi meringkas lafazh untuk tujuan
memberikan banyak makna.

Ad-dhuha ayat 4

‫ َولَ ْْلخِ َرة ُ َخ ْي ٌر لَكَ مِنَ ْاْلُولَى‬.

Kalimat ini ma’tûf pada kalimat ‫ح ا و‬


ُّ ‫ض‬
َ ‫ ى ل‬, maka susunan kalimat
tersebut didahului dengan mubtada’. Artinya setelah ditiadakan kebencian
kemudian Rasulullah diberi kabar gembira bahwa yang akan datang lebih baik
dari pada yang awal. Karena ayat ini ma’tûf pada kalimat qasam yang berfunsi
untuk menta’kidkan makna maka ayat ini juga didahului dengan lâm al-ibtida’
yang juga berfungsi untuk menta’kidkan kalâm bahwa kehidupan akhirat lebih
baik dari pada kehidupan dunia. Adapun kata ‫ ةَ خ ِر ا ل آ‬dan ‫ اْل ُ ْولَى‬disebutkan

3
dalam bentuk ma’rifah bertujuan untuk “ta’mim” sehingga makna kalimat ini
mencakup keberlangsungan yang menyeluruh baik pada wahyu yang terus turun
atau pada kebaikan yang lainnya.

Ada yang berpendapat bahwa “lâm” pada dua kata tersebut adalah “lâm al-jins”
artinya bahwa setiap sesuatu yang dilakukan dengan pelan-pelan dan kehati-hatian
itu lebih baik dari pada yang dilakukan dengan tergesa-gesa. Huruf lâm pada ‫كَ ل‬
adalah lâm al-ikhtishash, artinya bahwa kebaikan tersebut dikhususkan untuk
Nabi Muhammad dan hal ini mencakup apa yang berhubungan dengan pribadi
Nabi, agamanya dan umatnya. Ini adalah janji dari Allâh bahwa agama Islâm akan
tersebar dan Allâh akan memberikan kepada umatnya kebaikan-kebaikan yang
diinginkan Rasul bagi umatnya.

Ad-dhuha ayat 5

َ ‫َولَ َس ْو‬
َ ْ‫ف يُعْطِ يكَ َربُّكَ فَتَر‬
‫ضى‬

Ayat ini merupakan kalimat isti’nafiyah (permulaan) yang didahului oleh lâm al-
ibtida’ . Lâm al-ibtida’ ini masuk pada khabar yang berfungsi untuk menegaskan
kandungan kalimat. Mutada’ dalam kalimat ini mahdzuf (dihilangkan) yaitu َ‫ اَ ْنت‬.
َ ‫ َو َْل َ ْنتَ َس ْو‬. Menurut pendapat ini lâm tersebut
jadi susunan kalimatnya َ‫ف يُعْطِ يْك‬
bukanlah lâm al-qasam karena lâm qasam tidak akan masuk pada fi’il mudhari’
kecuali disertai dengan nun taukid

Kata ‫ ف ْو َس‬pada ayat tersebut sebagai ganti dari salah satu “dua nun taukid”,
seakan-akan ayat tersebut mengatakan َ‫ َولَنُعْطِ يَنَّك‬meskipun pemberiannya
diakhirkan karena dalam pengakhiran pemberian tesebut ada maslahahnya.
Pendapat ini juga disetujui oleh Ibn Hisyâm dalam Mughni al-Labib. Huruf
istiqbâl ‫ ف ْو َس‬berfungsi pemberitahuan bahwa pemberian yang dijanjikan akan
ْ ‫ى‬
terus menerus ada tidak terputus, sebagaimana pada ayat yang lain: Kata ‫َط عَ أ‬
termasuk kata yang boleh dihilangkan salah satu maf’ûlnya. Karenanya boleh
َ ‫ أَ ْع‬atau boleh juga dikatakan ‫ْي ز‬
dikatakan ‫طيْتُ زَ ْيدًا دِرْ هَ ًما‬ َ ‫ي ط ْعَ أ اً د‬
َ ْ‫ ت‬.

Kemudian lafazh ‫ ُّك َبر‬adalah susunan lafazh ma’rifah yang terdiri dari mudhaf-
mudhaf ilaih. Pemilihan lafazh “rabb” dan diidhafahkan kepada kaf khitab yang

4
tertuju pada Rasulullah mengandung arti bahwa perhatian yang khusus kepada
Rasul artinya Rasul benar-benar mendapatkan pertolongan dan kemuliaan dari
Allâh ta’ala.

َ ْ‫ فَتَر‬adalah fâ’ ta’qib yang berarti bahwa pemberian


Huruf fâ’ dalam lafazh ‫ضى‬
tersebut manfaatnya akan segera dirasakan oleh orang yang mendapatkannya
ketika dia ridha dengan pemberian tersebut.

Ad-dhuha ayat 6

َ ‫أَلَ ْم َي ِجدْكَ َيتِي ًما ف‬


‫َآوى‬

Ayat ini didahului dengan hamzah istifhâm (pertanyaan). Para ulâma bahasa
mengatakan bahwa hamzah yang dimaksud berarti istifhâm taqriri (pertanyaan
yang berfungsi untuk menetapkan), yaitu menetapkan apa yang disebutkan setelah
al-nafi.

Hamzah pada ‫ َم ل َأ‬berfungsi untuk inkari al-nafyi (mengingkari kata nafi), dan
menetapkan al-manfi. Seakan-akan kata lâm tidak berfungsi, sehingga kalimat
tersebut menjadi: ‫ قَدْ َو َجدَكَ يَتِ ْي ًما‬. Atau maknanya tetap dalam susunan nafi, dengan
ُ dengan ‫ الع ِْل ُم‬, huruf kaf adalah maf’ûl pertama dan kata ‫يَتِ ْي ًما‬
mengartikan ُ‫الوج ُْود‬
adalah maf’ûl kedua. Sehingga susunannya menjadi . ‫ أَلَ ْم يَ ْعلَ ْمكَ هللاُ يَتِ ْي ًما‬Akan tetapi
susunan yang terdapat pada ayat di atas lebih indah dari pada maknanya. Kata lâm
berfungsi nafi untuk fi’il mâdhi meskipun pada ayat di atas masuk pada fi’il
mudhâri’.

Huruf fâ’ pada ‫َآوى‬


َ ‫ ف‬berfungsi sebagai akibat dari kalimat sebelumnya.

Sedangkan lafazh ‫ َآوى‬diambil dari kata ‫ اًا َء ْو ِيي إِ ُوؤى يَوآ‬yaitu fi’il ruba’i yang
membutuhkan maf’ûl. Fi’il tsulasinya adalah ‫ أَ َوى يَأْ ِوي إِ َوا ًء‬yang berarti pulang ke
rumah atau kembali ke tempat berteduh. Jadi hamzah yang terdapat pada kata ‫َآوى‬
adalah hamzah ta’diyah, artinya menjadikannya pulang atau kembali. Kata ini
dapat diartikan dengan perlindungan atau pemenuhan kebetuhan secara majâz
atau isti’ârah.

Ad-dhuha ayat 7

5
‫ض ااًّل فَ َهدَى‬
َ َ‫َو َو َجدَك‬

Kalimat ini ma’thuf terhadap ayat yang memuat kalimat inkar sebelumnya, hanya
saja kalimat pada ayat ini tidak didahului dengan huruf istifhâm, kalimat ini
susunannya adalah itsbat (penetapan). Atau ayat ini ma’thuf pada fi’il mudhari’
yang manfi dengan didahului oleh lâm, sehingga susunan maknanya menjadi

‫ضاًّل فَ َهدَى َو َجدَكَ أَ َّما‬


َ َ‫َآوى َو َو َجدَك‬
َ ‫َي ِت ْي ًما ف‬

Susunan dan cara memaknainya sama dengan ayat sebelumnya. Yaitu kaf sebagai

Maf’ûl pertama dan kata ‫ضا‬


َ ‫ ًّل‬sebagai maf’û

Adh-Dhuha ayat 8

‫عائ ًًِل فَأ َ ْغنَى‬


َ َ‫َو َو َجدَك‬

Sebagaimana pada ayat ke tujuh, susunan ayat ini juga fi’il dan fâ’il atau jumlah
fi’liyah. Susunan kalimatnya dan cara memaknainya sama dengan ayat
sebelumnya. Pada akhir dari tiga ayat di atas (6,7, dan 8) kalau kita perhatikan,
َ ‫ ف‬,‫ فَ َدهَى‬,‫ َى ْنغَأَى‬ditiadakan maf’ûl dari ketiganya dikarenakan ketiga
lafazh ‫َآوف‬

Maf’ûlnya sudah diketahui yaitu dhamir khitâb.

Adh-Dhuha ayat 9

ْ‫فَا َ َّما ْال َي ِتي َْم ف ًََل تَ ْق َهر‬

‫ أَ َّما‬adalah huruf syarthiyyah tafshiliyyah yaitu huruf syarat yang harus didahului
dengan pemisah antara syarat dan jawab syaratnya. Huruf fâ’ berfungsi sebagai
jawaban ( ‫ ) ال َج َواب‬dan balasan ( ‫) ال َجزَ اء‬. Adapun kata ‫ ال َي ِت ْي ُم‬al-fashil antara ‫ أَ َّما‬dan
jawabnya. ‫ أَ َّما‬sendiri artinya adalah bagaimanapun adanya, jadi makna dari ayat
ini secara keseluruhan adalah bagaimanapun adanya maka jaganlah engkau
menghardik anak yatim.

Adh-Dhuha ayat 10

ْ‫َواَ َّما الس َّۤا ِٕى َل ف ًََل تَ ْن َهر‬

Susunan ayat ini sama dengan ayat sebelumnya dan juga terdapat kaidah taqdim

6
yang mengandung pesan ihtimâm. Artinya bagaimanapun adanya maka janganlah
engkau membentak orang yang meminta-minta

Adh-Dhuha ayat 11

ْ ‫َواَ َّما ِبنِ ْع َم ِة َر ِبكَ فَ َحد‬


‫ِث‬

Dalam ayat ini susunan jâr majrûr didahulukan sebelum fi’ilnya juga berfungsi
penekanan pada perkara tersebut sebagaimana dua ayat sebelumnya. Kata َ‫بِنِ ْع َمتِك‬
ْ ‫َحد‬
adalah susunan jâr dan majrûr yang berkaitan (muta’alliq) dengan kata ‫ِث‬
kedudukan dari jâr dan majrûr ini adalah maf’ûl (obyek). Didahulukannya maf’ûl
pada ayat ini juga berfungsi untuk memberikan penekanan, sehingga makna ayat
ini adalah kabarkan dengan ni’mat Tuhanmu.

B. Aspek Balaghah Surat Al-Insyirah

Al-Insyirah ayat 1-2

َ َ‫أَلَ ْم نَ ْش َرحْ لَك‬


َ‫صد َْرك‬

َ‫عنكَ ِو ْز َرك‬
َ ‫ض ْعنَا‬
َ ‫َو َو‬

Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?

Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu.

Pada ayat ini terdapat kandungan ilmu Ma’ni berupa kalam insya’ thalabi yaitu
berupa istifham kata tanya disebut istifham karena terdapat kata tanya pada awal
ayat yakni huruf hamzah yang berfungsi sebagai tashdiq (mengetahui bahwa
penisbatan antara dua perkara itu terjadi sesuai dengan fakta atau tidak). Orang-
orang Arab menggunakan istilah “lapang dada” untuk mengungkapkan sifat
lemah lembut dan kuat. Kata lapang dada merupakan kinayah dari sifat gembira.

Pada ayat ini terdapat kandungan ilmu ma’ni berupa kalam khabar berupa
faidhatul khabar yaitu memberi informasi pada seseorang yang belum mengetahui

7
informasi tersebut. Allah memeberi kabar kepada Nabi Muhammad bahwa nama
Rosullullah Muhammad Saw senantiasa disebutkan mengiringi nama Allah SWT.
Seperti dalam syahadat, dalam adzan dan juga iqamat. Juga termasuk
meninggikan nama rosululloh Saw dalam ketaatan .

Dalam Ayat ini juga terdapat kandungan fashl berupa ‫ بيان اإلبهام‬yaitu berfungsi
sebagai penjelas kelimat pertama. Dalam ayat ini juga terdapat kandungan ilmu
bayan berupa istiarah tamtsiliyah. Dosa-dosa diserupakan dengan sebuah beban
sangat berat.

Al-Insyirah ayat 3-4

َ َ‫ِى أَنق‬
َ ‫ض‬
َ‫ظ ْه َرك‬ ٓ ‫ٱلَّذ‬

َ‫َو َرفَ ْعنَا لَكَ ِذ ْك َرك‬

Yang memberatkan punggungmu

Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.

Pada ayat ini terdapat kandungan imu ma’ni berupa kalam khabar berupa faidatul
khabar yaitu memberi Informasi pada seseorang yang belum mengetahui
Informasi tersebut. Allah memberi kabar kepada Nabi Muhammad bahwa nama
Rasulullah Muhammad saw senantiasa disebutkann mengiringi nama allah SWT.

Pada ayat ini juga terdapat kandungan washl yang berkaitan dengan ayat
sebelumnya, yakni karena kedua kalimat tersebut sama-sama kalam khabar dan
memiliki keserasian makna yang sempurna ( Musabbah tammah ) baik secara
lafadz dan makna atau makna saja, atau makna saja. Pada ayat ini terdapat
kandungan ilmu mani berupa kalam khabar yang bertujuan sebagai faidatul khabar
yaitu memberi informasi pada seseorang yang belum mengetahui informasi
tersebut bahwa allah memberitahu kepada semua manusia bahwa ada satu
kesulitan dan disusul dengan ada kemudahan.

Al-Insyirah ayat 5-6

‫فَإِنَّ َم َع ْٱلعُس ِْر يُس ًْرا‬

8
‫إِنَّ َم َع ْٱلعُس ِْر يُس ًْرا‬

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

Pada ayat ini juga terdapat kandungan khabar thalabi karena terdapat kata ‫ إن‬yaitu
merupakan adat taukid untuk memebrikan informasikan pada seseorang yang
ragu-ragu terhadap informasi yang akan kita sampaikan.

Dalam ayat ini juga terdapat kandungan fashl berupa taukid ma’nawi (penguat
secara maknawi) untuk jumlah yang pertama dann berfaedah menetapkan
(Taqrir), ketetapan ini adakalanya karena sama lafadz dan makna tujuannya
adalah untuk menghilangkan kesalahfahaman.

Dalam ayat ini juga terdapat kandungan ithnab yakni dengan mengulang-
mengulang kalimat agar maknanya merasuk ke dalam hati. Dan juga terdapat
kandungan ilmu badi’ yaitu ithbaq (berkumpulnya dua kata yang berhadapan
dalam rangkaian satu kalimat karena ada kata yang saling berlawan ) yaitu pada
kalimat ‫ العسر يسرا‬yang bermakna kemudahann dan kesulitan, kata (‫ )العسر‬dan (‫)يسرا‬
merupakan jinas naqish karena terdapat perbedan satu huruf diawal.

Al-Insyirah ayat 7-8

َ ‫فَإِذَا ف ََر ْغتَ فَٱن‬


ْ‫صب‬

‫َوإِلَ ٰى َربِكَ فَٱرْ غَب‬

Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan
sungguh-sungguh (urusan) yang lain.

Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.

Pada ayat ini terdapat kandungan kalam insya’ thalabi berupa Al-amr yakni pada
kalimat ‫ فانصب‬dan ‫ فارغب‬dengan sighah fi’il amr dan termasuk irsyad yaitu nasihat
agar manusia melakukan pekerjaan atau aktivitas secara totalitas dan penuh
kesungguhan dimana ketika satu aktivitas telah selesai dikerjakan segara
kemudian beranjak ke aktivitas berikutnya. Hal ini juga bermakna untuk

9
melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh ketika kita telah selesai
melakukan berbagai urusan yang lain dan sebagai orang beriman maka sudah
sepatutnya kita hanya menggantungkan hasil akhir kepada Allah SWT. Dalam
ayat ini juga terdapat kandungan washl karena kedua kalimat tersebut sama-sama
kalam insya’ dan memiliki keserasian makna yang sempurna (musabbah tammah)
baik secara lafaz dan makna atau makna saja.

Dalam ayat ini terdapat kandungan ilmu badi’ pada kalimat ‫ فانصب‬dan ‫ فارغب‬dalam
kategori muhassinat lafdziyah yakni berupa sajak mutawazi (saja’ yang
persesuaiannya terletak pada akhir kata saja’) keduanya berbeda secara wazan dan
qofiah.

10
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Surat al-Dhuhâ adalah surat makkiyah, turun setelah surat al-Fajr, terdiri dari 11
ayat, 40 kata dan 172 huruf. Dinamakan surat al-Dhuhâ karena mengambil nama
pembuka surat, yaitu Allâh bersumpah dengan al-Dhuhâ; permulaan siang ketika
matahari mulai tinggi. Hal ini menunjukkan pentingnya waktu tersebut yang
ditandai dengan munculnya cahaya yang merupakan simbol bagi kebenaran,
karena ayat ini berbicara tentang Nabi Muhammad, karenanya dimulai dengan
al-Dhuhâ.

Sūrat Al-Insyiraḥ atau Asy-Syarḥ atau Alam Nasyraḥ adalah surat Makkiyyah.
Ia membicarakan kedudukan tinggi dan pangkat mulia Rasulullah di sisi Allah.
Surat ini berbicara mengenai nikmat Allah yang banyak kepada hamba dan
rasul-Nya, Muḥammad s.a.w. Allah melapangkan dadanya dengan keimanan,
menyinari hatinya dengan hikmah dan makrifat, mensucikan hatinya dari dosa
dan kesalahan. Semua itu bertujuan menghibur Nabi s.a.w. atas penderitaan yang
beliau alami karena gangguan orang kafir yang durhaka dan menentramkan hati
beliau dengan cahaya yang diberikan Allah kepadanya: “Bukankah Kami telah
melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan dari padamu
bebanmu, yang memberatkan punggungmu?”

Sūrat-Insyiraḥ juga membahas dakwah Nabi s.a.w. ketika beliau di Makkah.


Pada saat itu beliau bersama kaum muslimin mengalami penderitaan dari orang
kafir yang mendustakan. Surat ini menentramkan beliau bahwa kemenangan
akan segera tiba. “Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.”

11
DAFTAR PUSTAKA

Arifah, M, (2013), kalam Insya’ Thalaby Fii Surag Lukman. Skripsi. Fakultas
Adab. Universitas Islam Negeri Sunan Ampel.

Al-jarim, (2018). Terjemahan Al-Balaghah Wadihah. Bandung:Sinar baru


Algesindo

12

Anda mungkin juga menyukai