Anda di halaman 1dari 10

Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Al-Kubra – Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin (Kaidah 4)

Kaidah 4

َّ ‫اَل‬
‫ض َر ُر يُزَا ُل‬

Adh-Dhararu Yuzaalu

(Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin)

Kaidah ini memiliki sudut pandang yang sedikit mirip dengan kaidah sebelumnya. Kaidah ‫اَلض ََّر ُر يُزَا ُل‬
berkaitan dengan kemudharatan yang terjadi di antara para hamba, dimana kemudharatan, kesulitan,
dan sejenisnya sebisa mungkin dihilangkan di antara para hamba. Sedangkan kaidah ‫اَ ْل َم َشقَّةُ تَجْ لِبُ التَّ ْي ِس ْي َر‬
berkaitan dengan hak Allah, dimana Allah memberikan kemurahan apabila ada kesulitan-kesulitan
yang menimpa hamba-Nya maka Allah akan memberikan kemudahan-kemudahan.

ِ ‫ات تُبِ ْي ُح ْال َمحْ ظُوْ َرا‬


Oleh karena itu, kaidah ‫ت‬ ُ ‫ضرُوْ َر‬
َّ ‫اَل‬ (keadaan darurat membolehkan sesuatu yang
sebelumnya haram) terkadang digolongkan oleh para ulama sebagai turunan dari kaidah ‫اَلض ََّر ُر يُزَ ا ُل‬,
sebagai contoh apabila seseorang diserang oleh orang jahat, maka tidak mengapa baginya untuk
membela dirinya lantas membunuh orang jahat tersebut demi menghindarkan kemudharatan
(kematian) itu terjadinya pada dirinya walaupun harus membunuhnya. Ini berkaitan dengan hak
diantara sesama hamba Allah.

Namun kadang pula digolongkan oleh para ulama sebagai turunan dari kaidah ‫اَ ْل َم َشقَّةُ تَجْ لِبُ التَّ ْي ِسي َْر‬,
sebagai contoh seseorang yang terpaksa memakan babi ketika keadaan darurat di dalam hutan dan
dia tidak menjumpai makanan yang halal. Makan babi tidak memberi mudharat bagi orang lain, tapi
ini berkaitan dengan hak Allah yang dilanggar yang asalnya makan babi itu haram, tetapi menjadi
mubah karena menghindarkan mudharat dari dirinya.

َّ ‫( اَل‬Ad-Dharar)
Makna‫ض َر ُر‬

َّ ‫ اَل‬berasal dari sabda Nabi,


Kaidah ‫ض َر ُر يُزَا ُل‬

‫ضرا َر‬
ِ ‫ض َر َر وال‬
َ ‫ال‬

“Tidak boleh berbuat dharar, begitu pula tidak pula berbuat dhirar.” (HR Ibnu Majah no. 2340,
shahih)

Lantas apa makna dharar dan dhirar di dalam hadits di atas? Para ulama berbeda pendapat di dalam
makna kedua lafadz tersebut.
Pendapat pertama, sebagian ulama mengatakan dharar sama dengan dhirar, keduanya bermakna
kemudharatan

Pendapat kedua, sebagian ulama yang lain mengatakan dharar berbeda dengan dhirar. Hal ini karena
Nabi memunculkan kedua lafadz tersebut tanpa terkecuali dan menafikan kata dhirar sebagaimana
dharar. Maka dalam hal ini, berlaku sebuah kaidah dalam bahasa arab ‫اَ ْْلَصْ ُل فِي ْال َك َل ِم اِلتَّأْ ِسيْسُ َال اَلتَّأْ ِك ْي ُد‬
artinya hukum asal dalam pembicaraan adalah penyebutan kalimat yang bermakna baru bukan
penekanan. Pada dasarnya ketika orang berbicara sebuah kalimat baru setelah kalimat, maka hukum
asalnya dia tidak berniat untuk mengulanginya atau memberikan penegasan, melainkan kalimat kedua
adalah kalimat dengan makna baru yang berbeda dengan kalimat pertama.

Pada pendapat kedua ini, para ulama berbeda lagi tentang perbedaan dan makna masing-masing dari
dharar dan dhirar.

Dharar adalah memberi kemudharatan kepada orang lain agar dirinya mendapatkan manfaat dengan
hal tersebut. Seperti orang yang menanam mangga di halaman rumahnya lalu tumbuh menjulang
hingga ke halaman rumah tetangganya. Tetapi yang boleh mengambil buah tersebut hanya dia,
adapun tetangganya tidak.

Sedangkan dhirar adalah memberi kemudharatan kepada orang lain tetapi dirinya tidak mendapat
manfaat. Seperti ketika dia mengendarai mobil di tengah jalan yang digenangi oleh air lalu terciprat
sehingga mengenai pejalan kaki yang lewat di jalan tersebut.

Dharar adalah memberikan kemudharatan kepada orang lain dengan status dia yang memulai.
Sedangkan dhirar adalah memberikan kemudharatan dengan status membalas kemudharatan dari
orang lain dengan kemudharatan yang lebih parah.

Kesimpulan dari perbedaan-perbedaan pendapat ini yaitu walaupun para ulama berbeda pendapat
dalam memaknai dharar dan dhirar, intinya segala kemudharatan apapun bentuknya adalah hal yang
terlarang yang harus dihilangkan.

Macam-Macam Kemudharatan

Pada dasarnya, secara umum kemudharatan terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu:

Kemudharatan yang memang diizinkan oleh syariat. Seperti praktek hudud, hukum qishash, dan
hukuman ta’zir dari ulil amri, secara dzhahir semua ini adalah bentuk mudharat tetapi hakikatnya
mendatangkan maslahat.
Kemudharatan yang menimpa banyak orang dan susah dihindari (‫)تَ ُع ُّم بِ ِه ْالبَ ْل َوى‬. Seperti, asap kendaraan
dan bunyi klakson di jalan raya, ini merupakan kemudharatan yang juga dimaafkan karena hampir
tidak mungkin menghilangkannya. Atau contoh lain, dalam jual beli, seorang penjual yang menjual
apel 1 keranjang maka tidak bisa dijamin 100% pasti bagus semua.

Kemudharatan dimana orang yang ditimpa kemudharatan itu telah memafkan. Contoh, seorang
wanita yang akan menikah dengan lelaki miskin, sehingga dia (si istri tersebut) akan mendapat
kemudharatan. Namun jika walinya ridha maka hal ini tidak masalah.

Kemudharatan yang diharamkan, yaitu selain dari tiga jenis kemudharatan di atas.

Catatan : Dalam kaidah ‫ اَلض ََّر ُر يُ َزا ُل‬ini, yang menjadi pokok pembahasan adalah jenis kemudharatan
yang ke empat yang mana merupakan kemudharatan yang harus dihilangkan. Adapun tiga
kemudharatan yang pertama, keluar dari pembahasan kaidah ini.

Dalil-Dalil Tentang Kaidah

Allah berfirman,

‫ض َرا ارا لِّتَ ْعتَدُوا ۚ َو َمن يَ ْْ َعلْ َذلََِ فَقَ ْد ََلَ َم‬ ٍ ‫ُوف أَوْ َس ِّرحُوه َُّن بِ َم ْعر‬
ِ ‫ُوف ۚ َو َال تُ ْم ِس ُكوه َُّن‬ ٍ ‫َوإِ َذا طَلَّ ْقتُ ُم النِّ َسا َء فَبَلَ ْغنَ أَ َجلَه َُّن فَأ َ ْم ِس ُكوه َُّن بِ َم ْعر‬
ۚ ُ‫نَ ْْ َسه‬

“Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). Janganlah
kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya
mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya
sendiri.” (QS Al-Baqarah : 231)

Misalnya seorang suami yang sudah tidak suka dengan istrinya, kemudian dia mentalak istrinya.
Istrinya menjalani masa iddahnya, sebelum masa iddahnya selesai suaminya kembali merujuknya.
Kemudian suaminya kembali mentalaqnya (talak kedua). Sang wanita tersebut kembali menjalani
masa iddahnya, lalu sebelum masa iddahnya berakhir suaminya kembali merujuknya. Suaminya
melakukannya terus menerus hingga talak tiga. Hal ini dilakukan oleh suami karena dia bermaksud
memberikan kemudharatan kepada istrinya agar dia terkatung-katung dalam waktu yang lama
sehingga tidak ada laki-laki lain yang bisa menikahinya. Perbuatan seperti ini tidak diperbolehkan,
Allah memerintahkan jika ingin kembali maka kembalilah dengan cara yang baik untuk membangun
rumah tangga yang baik, namun jika tidak ingin lagi bersama maka ceraikanlah dengan cara yang
baik dan jangan memberikan kemudharatan kepada sang istri. Allah juga berfirman,

ۚ ‫ضيِّقُوا َعلَ ْي ِه َّن‬ ُ ‫أَ ْس ِكنُوه َُّن ِم ْن َحي‬


َ ُ‫ْث َس َكنتُم ِّمن ُوجْ ِد ُك ْم َو َال ت‬
َ ُ‫ضارُّ وه َُّن لِت‬
“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan
janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.” (QS At-Talaq : 6)

Dalil lainnya adalah Allah berfirman,

ِ ‫ضا َعةَ ۚ َو َعلَى ْال َموْ لُو ِد لَهُ ِر ُُْْه َُّن َو ِكس َْوتُه َُّن بِ ْال َم ْعر‬
ُُ َّ‫ُوف ۚ َال تُ َكل‬ َ ‫ض ْعنَ أَوْ َال َده َُّن َحوْ لَي ِْن َكا ِملَي ِْن ۖ لِ َم ْن أَ َرا َد أَن يُتِ َّم ال َّر‬
ِ ْ‫َات يُر‬ُ ‫َو ْال َوالِد‬
ۚ ‫ضا َّر َوالِدَة بِ َولَ ِدهَا َو َال َموْ لُود لَّهُ بِ َولَ ِد ِه‬
َ ُ‫نَ ْْس إِ َّال ُو ْس َعهَا ۚ َال ت‬

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah
seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.” (QS Al-
Baqarah : 233)

Demikianlah apabila seorang suami dan seorang istri bercerai, terkadang mereka akan melampiaskan
kebenciannya kepada sang mantan istri/suami tersebut kepada anaknya agar sang mantan istri/suami
sedih. Hal ini tidak boleh dilakukan karena akan menimbulkan kemudharatan.

Dalil lainnya, Allah berfirman,

َ ‫صى بِهَا أَوْ َدي ٍْن َغي َْر ُم‬


ۚ ٍّ‫ضار‬ ِ ‫ِمن بَ ْع ِد َو‬
َ ‫صيَّ ٍة يُو‬

“Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi
mudharat (kepada ahli waris).” (QS An-Nisa : 12)

Ayat ini berbicara tentang warisan dari seseorang yang meninggal. Terkadang orang yang meninggal
tersebut semasa masih hidup, dia jengkel kepada ahli warisnya, misalnya anak-anaknya nakal atau
tidak berbakti kepadanya. Sehingga dengan itu dia membuat wasiat di akhir hayatnya agar setengah
dari total hartanya diberikan untuk pembangunan pondok pesantren. Maka hal seperti ini tidak boleh
karena wasiat hanya boleh diambil dari maksimal sepertiga total harta, lebih dari itu akan memberi
kemudharatan ahli waris. Demikian juga jika dia mengaku punya hutang (padahal tidak), dengan
tujuan agar ahli warisnya tidak mendapatkan bagian dari hartanya atau hanya mendapatkan sedikit.
Seperti ini juga hukumnya haram karena memberi kemudharatan kepada ahli waris.

Diantara dalil dari kaidah ini adalah sabda Nabi yang juga merupakan kunci dari kaidah ini,

‫ضرا َر‬
ِ ‫ض َر َر وال‬
َ ‫ال‬

“Tidak boleh berbuat dharar, begitu pula tidak pula berbuat dhirar.” (HR Ibnu Majah no. 2340,
shahih)
Contoh-Contoh Penerapan Kaidah ‫ اَلض ََّر ُر يُزَا ُل‬:

Sebelumnya telah disampaikan beberapa dalil sekaligus contoh langsung yang diberikan oleh Allah
tentang kaidah ini. Contoh-contoh lain dari kaidah sangat banyak, intinya segala hal yang bisa
menimbulkan kemudharatan harus dihilangkan. Akan tetapi, berikut ini beberapa contoh tentang
kaidah ini yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari:

Dua orang yang telah selesai melakukan transaksi jual beli. Misal, seorang pembeli membeli sebuah
mobil kepada seorang penjual dengan harga yang jauh melebihi harga pasaran. Setelah si pembeli
mengetahui bahwa dia dibohongi dan merasa dirugikan dengan harga jual yang terlalu mahal (ghabn)
tersebut, maka dia berhak mengajukan khiyar ghabn ke pengadilan. Bentuknya dengan diberikan
kesempatan kepadanya untuk memilih apakah dia tetap lanjutkan pembelian, atau dia batalkan, atau
dia memilih tetap membeli tetapi mengambil ganti rugi. Atau dalam kasus yang lain dia ditipu, maka
dia berhak mengajukan khiyar tadlis. Atau dia membeli barang tetapi barang tersebut cacat, maka dia
berhak mengajukan khiyar ‘aib, dengan bentuk penawaran yang sama dengan khiyar ghabn. Semua
bentuk khiyar ini disyariatkan salah satunya dalam rangka untuk menolak kemudharatan.

Seseorang yang memonopoli suatu jenis barang atau makanan lalu dia menyimpannya. Ketika harga
pasar barang tersebut naik, dia menjualnya dengan harga yang tidak wajar. Maka pemerintah berhak
untuk memaksanya agar menjualnya kembali dengan harga yang wajar.

Seseorang yang punya talang air di depan rumahnya sehingga air dari rumahnya tersebut mengarah
ke jalan umum. Maka pemerintah berhak untuk menyuruhnya agar memasukkan talang tersebut ke
bagian rumahnya.

Seorang suami yang tidak pulang ke rumahnya dalam waktu yang lama sehingga istri dan anak-
anaknya tidak pernah dinafkahi dan tidak bisa dihubungi sehingga tidak diketahui apakah dia sudah
meninggal atau bagaimana. Semua ini menimbulkan kemudharatan bagi istri dan anak-anaknya.
Maka pemerintah berhak untuk memvonis si suami dianggap sudah meninggal agar si istri bisa
menikah lagi, atau dianggap cerai.

Kaidah-Kaidah Turunan

Pertama:

ِ ْ ‫در‬
ِ ‫اْل ْم َك‬
‫ان‬ ِ َُ ‫ض َر ُر يُ ْدفَ ُع َعلَى‬
َّ ‫اَل‬

(kemudharatan dihilangkan semaksimal mungkin meskipun tidak seluruhnya hilang)


Ini merupakan kaidah yang penting terutama dalam masalah nahi mungkar, karena diantara bentuk
kemudharatan adalah kemungkaran. Patut diketahui bahwa nahi mungkar ada dua bentuk, pertama
nahi munkar untuk menghilangkan kemungkaran secara total, kedua nahi mungkar dengan cara
meminimalkan kemungkaran tersebut. Bahkan dalam beberapa kondisi, perbuatan nahi mungkar itu
sendiri mengandung kemungkaran, tetapi itu dilakukan demi menghilangkan kemungkaran yang
lebih besar darinya.

Diantara dalil akan kaidah ini, Allah berfirman,

‫ط ْعتُ ْم َوا ْس َمعُوا َوأَ ِطيعُوا َوأَنِْقُوا خَ ْي ارا ِّْلَنُْ ِس ُك ْم‬ َّ ‫فَاتَّقُوا‬
َ َ‫َّللاَ َما ا ْست‬

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah dan
nafkahkanlah nafkah yang baik untuk dirimu.” (QS At-Taghabun : 16)

‫ضا ِج ِع َواضْ ِربُوه َُّن ۖ فَإ ِ ْن أَطَ ْعنَ ُك ْم فَ َل تَ ْب ُغوا َعلَ ْي ِه َّن َسبِ ا‬
َّ ‫يل إِ َّن‬
‫َّللاَ َكانَ َعلِياا َكبِيراا‬ َ ‫اللتِي تَخَ افُونَ نُ ُشو َْه َُّن فَ ِعظُوه َُّن َوا ْه ُجرُوه َُّن فِي ْال َم‬
َّ ‫َو‬

“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah
mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar.” (QS An-Nisa : 34)

Diantara dalilnya dari sunnah Nabi adalah hadits,

‫ان‬ ِ ُُ ‫َ أَضْ َع‬


ِ ‫اْلي َم‬ َ ِ‫َم ْن َرأَى ِم ْن ُك ْم ُم ْن َك ارا فَ ْليُ َغيِّرْ هُ بِيَ ِد ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْستَ ِط ْع فَبِلِ َسانِ ِه فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ْست َِط ْع فَبِقَ ْلبِ ِه َو َذل‬

“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya.
Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi,
hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.” (HR Muslim no. 49)

Diantara contoh penerapan kaidah ini adalah seperti Nabi Yusuf yang menjadi bendahara negeri
Mesir padahal negeri Mesir saat itu adalah negeri kafir. Namun Nabi Yusuf masuk ke dalam sistem
kafir tersebut untuk mengurangi kemudharatan negeri tersebut walaupun tidak akan seluruhnya
hilang. Demikian pula di zaman sekarang, orang yang masuk ke dalam lembaga-lembaga pelayanan
masyarakat yang mana masih menganut sistem kafir, maka dia tidak akan bisa menghilangkan
kemungkaran tetapi paling tidak dia bisa menguranginya.

Kedua:

‫اَلض ََّر ُر َال يُزَ ا ُل بِ ِم ْثلِ ِه‬


(kemudharatan tidak dihilangkan dengan memunculkan kemudharatan yang semisal apalagi
kemudharatan yang lebih parah)

Diantara contoh penerapannya, misalnya seseorang yang diancam akan dibunuh apabila tidak
membunuh kawannya. Jika dia dibunuh maka itu adalah kemudharatan, namun jika dia ingin
menyelamatkan dirinya dengan membunuh kawannya tersebut maka itu adalah bentuk menimbulkan
kemudharatan yang sama. Sehingga dalam hal ini dia tidak boleh melakukannya, karena nyawanya
tidak lebih berharga dari pada nyawa kawannya. Dan kemudharatan tidak boleh ditolak dengan
memunculkan kemudharatan yang sama.

Contoh lainnya, seseorang yang miskin, dia mempunyai kawan yang sama-sama miskin. Maka dia
tidak boleh memberikan hartanya kepada kawannya tersebut demi menghilangkan mudharat pada
kawannya karena akan memunculkan mudharat pada dirinya dan istrinya.

Ketiga:

‫اِرْ تِ َكابُ أَ َخ ُِّ الض ََّر َر ْي ِن‬

(menempuh kemudharatan yang lebih ringan yang mana kedua mudharat tersebut tidak bisa
dihindari)

Kaidah ini diterapkan apabila dihadapkan pada dua kemudharatan yang tidak bisa dihindari semuanya
secara sekaligus, tidak boleh tidak harus dilakukan dan tidak ada pilihan ketiga. Maka dalam hal ini
sikap yang diambil adalah menempuh kemudharatan yang lebih ringan.

Dalil tentang hal ini adalah kisah orang badui yang kencing di masjid. Dari Anas bin Malik
radhiyallahu anhu, beliau berkata, Seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing
di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardik orang ini. Namun Nabi shallallahu alaihi wa
sallam melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala orang tadi telah menyelesaikan hajatnya,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas memerintah para sahabat untuk mengambil air, kemudian
bekas kencing itu pun disirami. (HR Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)

Kencing di masjid adalah mudharat karena dengannya masjid akan terkena oleh najis. Namun jika
orang badui tersebut dilarang maka kemudharatan yang lebih besar akan muncul yaitu air kencingnya
menjadi berhamburan. Pada kasus ini, Nabi dihadapkan pada dua kemudharatan yang tidak bisa
dihindari semua secara sekaligus, maka Nabi menempuh kemudharatan yang lebih ringan dengan
membiarkan orang badui tersebut.
Demikian pula tentang kisah Nabi Khidhir, ketika melubangi kapal yang ia tumpangi. Merusak kapal
adalah bentuk kemudharatan, namun Nabi Khidhir memilih untuk melakukan itu demi
menghindarkan mudharat yang lebih besar. Nabi Khidhir menjawab alasannya melakukan itu,

‫دت أَ ْن أَ ِعيبَهَا َو َكانَ َو َرا َءهُم َّملَِ يَأْ ُخ ُذ ُك َّل َسِْينَ ٍة غَصْ باا‬
ُّ ‫َت لِ َم َسا ِكينَ يَ ْع َملُونَ فِي ْالبَحْ ِر فَأ َ َر‬
ْ ‫أَ َّما ال َّسِْينَةُ فَ َكان‬

“Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan
merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap
bahtera.” (QS Al-Kahfi : 79)

Contoh penerapan kaidah turunan ini adalah apa yang dikatakan oleh para ulama, ketika terjadi
peperangan antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Kaum musyrikin menyandera sebagian
kaum muslimin dan menggunakannya sebagai “tameng” mereka. Mereka memanfaatkannya agar bisa
semakin maju ke barisan kaum muslimin lalu menyerangnya. Apabila pasukan kaum muslimin
dihadapkan dengan kasus ini, maka panglima perang bisa memutuskan untuk membunuh “tameng”
kaum musyrikin tersebut walaupun mereka adalah kaum muslimin, demi menghindarkan mudharat
yang lebih besar yaitu berjatuhannya nyawa kaum muslimin yang lebih banyak jika dibiarkan saja.

Demikian pula apa yang dilakukan oleh Nabi ketika membiarkan saja keluarga Yasir dan Bilal bin
Rabah disiksa. Beliau tidak menolongnya karena bisa jadi menimbulkan kemudharatan yang lebih
besar, bisa jadi kaum muslimin yang akan disiksa semakin banyak. Sebagian ulama juga
mencontohkan, jika dalam sebuah negeri akan dipilih pemimpin dari kedua calon yang sama-sama
kafir, maka apabila bisa dipastikan bahwa salah satunya akan lebih mendatangkan maslahat untuk
Islam maka pilihlah calon tersebut. Bukan berarti dengan memilih berarti mendukung kemudharatan,
akan tetapi sikap tersebut adalah sikap untuk memilih kemudharatan yang lebih ringan dari dua
kemudharatan yang pasti terjadi salah satunya.

Keempat:

‫ض َر ِر ْال َعا ِّم‬


َّ ‫ض َر ُر ْالخَ اصُّ لِ َد ْف ِع ال‬
َّ ‫يُحْ تَ َم ُل ال‬

(ditempuh kemudharatan yang khusus untuk menolak kemudharatan yang umum)

Contoh penerapan kaidah ini, seseorang yang memiliki rumah, tembok rumahnya miring yang mana
bisa menimbulkan gangguan bagi beberapa tetangganya. Maka pemerintah bisa menyuruhnya untuk
memperbaiki temboknya tersebut walaupun harus menghabiskan sekian dana yang tidak sedikit, demi
menghindarkan gangguan yang bisa menimpa banyak tetangganya.

Contoh lainnya, mengghibah orang yang sering menipu orang lain di hadapan manusia dalam rangka
untuk memperingatkan mereka dari perbuatannya. Asalnya mengghibahinya berarti memberi
kemudharatan untuk dirinya, tetapi tidak mengapa melakukannya demi menghindarkan
kemudharatan yang lebih besar, karena kalau tidak maka akan banyak manusia yang akan terperdaya.
Hal ini sama dengan mengghibah para da’i penyeru kesesatan demi menghindarkan kaum muslimin
dari konten-konten kesesatan yang dia dakwahkan.

Kelima:

‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬


ِ ِ ‫صا ل‬ ِ ‫اس ِد ُمقَ َّدم َعلَى َج ْل‬
ِ َْ‫َدرْ ُء ْالم‬

(menolak kemudharatan lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan)

Kaidah ini diterapkan apabila maslahat dan mudharatnya sama, tidak ada dari keduanya yang lebih
besar. Maka didahulukan untuk meninggalkannya demi menghindarkan diri dari mudharat yang akan
timbul walaupun harus mengorbankan maslahat yang bisa diraih.

Diantara dalil tentang kaidah ini yaitu hadits Nabi,

َ َ‫َاق َّإال أَ ْن تَ ُكون‬


‫صائِ اما‬ ِ ‫َوبَالِ ْغ فِي ِاال ْستِ ْنش‬

“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (menghirup air dalam hidung) kecuali jika engkau
berpuasa.” (HR Abu Daud no. 142)

Beristinsyaq (menghirup air ke hidung) dengan sungguh-sungguh akan mendatangkan maslahat,


tetapi ketika berpuasa menghirup dengan sungguh-sungguh dikhawatirkan air yang masuk bisa
tertelan masuk ke dalam lambung sehingga membatalkan puasa.

Contoh penerapan kaidah ini, jika ada seorang wanita yang wajib baginya untuk mandi junub, namun
dia tidak menjumpai tempat mandi yang tersembunyi dari penglihatan para lelaki. Maka dia wajib
menunda mandinya demi menghindarkan diri dari kemudharatan yaitu dilihat oleh lelaki ketika
mandi.

Contoh lain, seorang muslim yang sedang berihram. Menyela-nyelai jenggot ketika berwudhu adalah
sunnah, tetapi jika dia khawatir dengan mengamalkan sunnah tersebut jenggotnya akan rontok dimana
dia statusnya sedang berihram, maka tidak mengapa baginya tidak melaksanakan sunnah tersebut.

Contoh lain, seorang yang ingin meninggikan rumahnya. Semakin tinggi rumahnya maka dia akan
mendapatkan udara yang segar, sinar matahari yang cukup, sehingga itu merupakan kemaslahatan
bagi dia. Tetapi dampaknya adalah tetangganya yang mengalami kemudharatan, udara jadi sulit
masuk ke rumahnya, sinar matahari tidak sampai ke dalam rumahnya. Maka dalam hal ini tidak
sepatutnya orang tersebut meninggikan rumahnya untuk menghindarkan kemudharatan yang akan
timbul.
Adapun jika kemaslahatan itu lebih besar daripada kemudharatan yang akan timbul, maka mengambil
kemaslahatan itu lebih diutamakan walaupun harus menghadapi kemudharatan. Misalnya apabila
dalam sebuah negeri diadakan pemilihan Presiden, dimana calonnya adalah seorang muslim dan
seorang kafir. Maka memilih dan mengikuti pemilu lebih afdhal walaupun harus menabrak sistem
kafir demokrasi tersebut, campur baur antara laki-laki dan perempuan ketika memasuki TPS (Tempat
Pemungutan Suara). Karena kemaslahatan yang menanti jelas lebih besar jika Presiden yang terpilih
dari orang muslim dibandingkan apabila menghindarkan diri dari kemudharatan ketika memasuki
TPS.

Bersambung Insya Allah…

Read more https://firanda.com/2464-al-qawaid-al-fiqhiyyah-al-kubra-kemudharatan-dihilangkan-


sebisa-mungkin-kaidah-4.html

Anda mungkin juga menyukai