َ لى ٰا ِل ِه َو
ص ْح ِب ِه ا َ ْه ِل ٰ ط ٰفى َو َع ْ ي اْلم
َ ص ِِّ لى النَّ ِب
ٰ سالَم َع َّ ا َ ْل َح ْمد ِِهللِ َو َك ٰفى َوال.الر ِحي ِْم
َّ صالَة َوال َّ الر ْح َم ِنَّ ِِب ْس ِم هللا
ٰ ق َواْ َلو
﴾ ﴿ ا َ َّمابَ ْعد.فى ِ الص ْد
ِّ ِ
Dewan juri yang saya hormati dan teman-teman yang berbahagia
Orang-orang mengatakan bahwa waktu adalah emas. Atau kata mereka waktu adalah uang. Tapi, dalam Islam waktu
itu lebih berharga dari emas dan lebih berharga dari uang. Karena emas dan uang apabila hilang masih bisa kita cari
lagi. Namun waktu apabila telah berlalu tidak akan bisa kembali lagi. Oleh karena itu, dalam banyak ayat Allah
Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan waktu. Sebagai bentuk pengagungan terhadap waktu. Seperti dalam
firman-Nya,
Demi masa ini dalam tafsiran yang lain diartikan demi waktu ashar. Kemudian dalam ayat yang lain Allah bersumpah
atas waktu dhuha:
ُّ َوٱل
ض َح َٰى
“Demi waktu matahari sepenggalahan naik.” [Quran Adh-Dhuha: 1].
Ini menunjukkan waktu itu sangat penting. Karena waktu adalah tempat seseorang bisa beramal shaleh di dunia ini.
Yang hasilnya akan dia dapatkan di akhirat kelak. Allah Ta’ala berfirman, yang artinya :
“Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau
orang yang ingin bersyukur.” [Quran Al-Furqon: 62].
Ayat ini menjelaskan tentang fungsi waktu. Waktu siang dan malam berfungsi untuk mengambil pelajaran dan
bersyukur kepada Allah Ta’ala. Dalam tafsiran yang lain disebut sebagai waktu untuk berdzikir mengingat Allah
Ta’ala. Dan dalam hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengingatkan, yang artinya :
“Manfaatkanlah lima perkara sebelum lima perkara: (1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, (2) Waktu
sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, (3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, (4) Masa luangmu
sebelum datang masa sibukmu, dan (5) Hidupmu sebelum datang matimu.” (HR. Al Hakim).
Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan akan pentingnya waktu dan kesempatan. Akan
tetapi memang kesempatan ini sangat banyak disia-siakan oleh manusia. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam yang lain yang artinya :
”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari).
Oleh karena itu, dulu para sahabat sangat perhatian dengan waktu mereka. Seperti Abdullah bin Mas’ud radhiallahu
‘anhu. Beliau mengatakan,
“Tiada yang pernah kusesali selain keadaan ketika matahari tenggelam, ajalku berkurang, namun amalanku tidak
bertambah.”
“Sungguh aku tidak suka melihat seseorang yang menganggur. Tidak mengerjakan suatu kegiatan untuk dunia dan
untuk akhiratnya.”
Sesungguhnya kita berada di suatu zaman yang memiliki tamu. Tamu yang tak ada di zaman sebelum kita. Yaitu
internet. Sesungguhnya internet dengan berbagai hal yang di sediakannya. Ada sosial media dengan berbagai
macamnya; facebook, instagram, twitter, whatsup, dll. telah banyak mengambil waktu kita.
Memang internet memiliki sisi kebaikan. Ia memudahkan kita dalam berhubungan. Mendekatkan kita yang dulunya
jauh. Memudahkan kita untuk mencari nafkah. Memudahkan kita untuk mempelajari agama dan berdakwah. Namun,
internet juga menjadi hal yang buruk dan musibah. Menghabiskan waktu seseorang. Bahkan membuat seseorang
menghabiskan waktu orang lain. Sebagian orang ketika bangun tidur, belumlah sempat ia membaca doa bangun
tidur, tapi langsung ia memegang handphone nya. Melihat berita. Melihat chat. Melihat hal-hal yang tidak ia butuhkan.
Bahkan ada suami istri, berada di ruangan yang sama. Keduanya beercanda dan tertawa, tapi bukan canda dan tawa
bersama pasangannya. Mereka bercanda dan tertawa dengan HP nya. Ada pula anak kecil yang diberikan HP oleh
kedua orang tuanya. Si anak semakin jauh dari orang tuanya. Ia lebih senang dalam dekapan HP dibanding dekapan
kedua orang tuanya. Demikian juga ada orang yang sebelum tidur. Ia memegang HP. Membaca berita-berita yang
belum tentu bermanfaat untuk dirinya. Dia tidur dalam keadaan tidak berdzikir dan berdoa sebelum tidurnya.
Musibah internet ini bukan hanya menimpa orang-orang awam. Tapi juga menimpa orang yang dianggap shaleh.
Bahkan sebagian da’i. Mereka memperlihatkan aktivitas ibadahnya untuk mendapatkan like dari orang-orang yang
melihatnya. Ibadahnya semua ia publikasikan. Tidak ada ibadah yang ia sembunyikan. Sholatnya, puasanya, berbakti
kepada orang tua, berbuat baik kepada istri, dll. semua dia share di sosial medianya. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
“Siapa di antara kalian yang mampu untuk menyembunyikan amal shalehnya, maka lakukanlah.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memuji seseorang yang bersedekah dalam keadaan menyembunyikannya.
“Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari di mana tidak ada naungan
kecuali hanya naungan-Nya semata… … (di antaranya) Seseorang yang bersedekah lalu merahasiakannya sehingga
tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya.”