Anda di halaman 1dari 50

BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM

(UCAPKAN KHUSUS BAGI MUSLIMIN DAN MUSLIMAH)

MATERI GABUNGAN KULIAH KE-1 S.D. KE-5 (SMN 1303 A1 & A2)
OPERASIONAL PENGHIMPUNAN DANA BANK SYARIAH
GIRO DAN TABUNGAN WADI’AH S.D PENYALURAN DANA
PEMBIAYAAN JUAL BELI

1. PRINSIP WADI’AH - PENGHIMPUNAN DANA


A. Pengertian Wadi’ah

Secara etimologi Wadi’ah berarti titipan (amanah).Secara Terminologi atau


definisi istilah menurut mazhab Hanafi, maliki dan Hambali ada dua definisi yang
dikemukan ulama fikih.
Menurut istilah wadi’ah dapat diartikan sebagai akad yang dilakukan oleh
kedua belah pihak orang yang menitipkan barang/uang kepada orang lain agar
dijaga dengan baik.
Dalam ensiklopedi hukum Islam mengenai Wadi’ah secara bahasa biasa
dimaknai meninggalkan atau meletakan, yaitu meninggalkan atau meletakan
sesuatu keadaan orang lain untuk menjaga barang/uang dengan baik.
Sedangkan menurut istilah ialah memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada
orang lain untuk menjaga barangnya dengan cara terang-terangan kepada si
pemilik uang/barang tersebut.

B. Jenis Wadi’ah :

a) Wadi’ah Yadh Al-amanah


Secara umum Wadi’ah Yadh Al Amanah adalah titipan murni dari
pihak penitip (Muwadhi) yang mempunyai barang atau asset kepada pihak
penyimanan (Mustawda) yang diberi amanah atau kepercayaan baik individu
maupun badan hukum.Tempat barang yang dititipkan harus dijaga dari
kerusakan, kerugian, keamanan dan keutuhannya, dan dikembalikan kapan
saja oleh si penyimpan apabila ia menghendaki.
Dalam aplikasi perbankan syariah produk yang dapat menggunakan akad al
wadi’al Amanah adalah Safe Deposit Box (SDB).
Untuk dapat mengoperasionalkan produk bank syariah ini, bank perlu
tempat dan petugas untuk menjaga dan memelihara titipan nasabah secara
amanah, sehingga bank syariah akan membebani biaya administrasi yang
besarnya sesuai dengan ukuran kotak yang dipilih nasabahnya.
Pendapatan atas jasa Save Deposit Box termasuk dalam fee base income
(Imbalan atas jasa). Barang atau asset yang dititipkan adalah sesuatu yang
berharga yang berupa uang, barang, emas, dokumen, surat berharga,
sertifikat tanah, sertifikat deposito, saham, ijazah, dan Dokumen penting
lannya.

Beberapa Hal Penting tentang Safe Deposit Box (SDB)

1. Layanan Safe Deposit Box (SDB) adalah jasa penyewaan kotak


penyimpanan harta atau surat-surat berharga yang dirancang secara
khusus dari bahan baja dan ditempatkan dalam ruang khasanah yang
kokoh dan tahan api untuk menjaga keamanan barang yang disimpan
dan memberikan rasa aman bagi penggunanya.

2. Biasanya barang yang disimpan di dalam SDB adalah barang yang bernilai
tinggi dimana pemiliknya merasa tidak aman untuk menyimpannya di
rumah. Pada umumnya biaya asuransi barang yang disimpan di SDB bank
relatif lebih murah.

3. Keuntungan
a. Aman. Ruang penyimpanan yang kokoh dilengkapi dengan sistem
keamanan terus menerus selama 24 jam. Untuk membukanya
diperlukan kunci dari penyewa dan kunci dari bank.
b. Fleksibel. Tersedia dalam berbagai ukuran sesuai dengan kebutuhan
penyewa baik bagi penyewa perorangan maupun badan usaha.
c. Mudah. Persyaratan sewa cukup dengan membuka tabungan atau giro
wadiah (ada bank yang tidak mensyaratkan hal tersebut, namun
mengenakan tarif yang berbeda).

4. Hal-hal lain yang Perlu Diperhatikan :


a. Biaya yang dibebankan kepada penyewa, antara lain uang sewa, uang
agunan kunci dan denda keterlambatan pembayaran sewa.
b. Tidak menyimpan barang-barang yang dilarang dalam SDB.
c. Menjaga agar kunci yang disimpan nasabah tidak hilang atau
disalahgunakan pihak lain.
d. Memperlihatkan barang yang disimpan bila sewaktu-waktu diperlukan
oleh bank.
e. Jika kunci yang dipegang penyewa hilang, maka uang agunan kunci
akan digunakan sebagai biaya penggantian kunci dan pembongkaran
SDB yang wajib disaksikan sendiri oleh penyewa. Memiliki daftar isi
dari SDB dan menyimpan foto copy (salinan) dokumen tersebut di
rumah untuk referensi.
f. Penyewa bertanggung jawab apabila barang yang disimpan
menyebabkan kerugian secara langsung maupun tidak terhadap bank
dan penyewa lainnya.

5. Bank tidak Bertanggung jawab Atas:


a. Perubahan kuantitas dan kualitas, hilang, atau rusaknya barang yang
bukan merupakan kesalahan bank.
b. Kerusakan barang akibat force majeur seperti gempa bumi, banjir,
perang, huru hara, dan sebagainya.

6. Barang yang Tidak Boleh Disimpan dalam SDB:


a. Senjata api/ bahan peledak.
b. Segala macam barang yang diduga dapat membahayakan atau
merusak SDB yang bersangkutan dan tempat sekitarnya.
c. Barang-barang yang sangat diperlukan saat keadaan darurat seperti
surat kuasa, catatan kesehatan dan petunjuk bila penyewa sakit,
petunjuk bila penyewa meninggal dunia (wasiat).
d. Barang lainnya yang dilarang oleh bank atau ketentuan yang berlaku.

Karakteristik Wadi’ah Yad Al Amanah :


a. Barang yang ditipkan oleh nasabah tidak boleh dimanfaatkan oleh
penerima titipan. Penerima titipan dilarang untuk memanfaatkan
barang titipan.
b. Penerima Titipan berfungsi sebagai penerima amanah yang harus
dijaga dan menerima barang titipan.
c. Penerima titipan akan menjaga dan memelihara barang titipan,
sehingga perlu menyediakan temat yang aman dan petugas yang
menjaganya.
d. Penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya atas
barang yang dititipkan untuk membayar gaji penjaga barang titipan,
penyediaan tempat untuk menyimpan dan administrasi
pengelolaannya. Sehingga sangat wajar apabila penerima titipan
menerima imbalan jasa keada penitip barang.

b) Wadi’ah Yad-Dhamanah
Dari Prinsip Wadiah Yad Al-amanah kemudian berkembang ke prinsip
Wadi’ah Yad Dhamanah, berarti bahwa bank syarian sebagai penyimpan
bertanggungjawab atas sgala kerusakan atau kehilangan yang terjadi pada
barang/asset yang dititipkan.
Wadi’ah Yad-Dhamanah adalah akad transaksi antara dua pihak,
dimana pihak kesatu sebagai pihak yang menitipkan barang/aset (Nasabah
penitip) dan pihak lain (Bank Syariah) sebagai pihak yang menerima barang
titipan. Dalam akad ini pihak bank daat memanfaatkan barang yang
dititipkan. Penerima titipan wajib mengembalikan barang yang dititipkan
dalam keadaan utuh. Penerima titipan diperbolehkan memberikan imbalan
dalam bentuk bonus yang tidak diperjanjikan sebelumnya, akan tetapi
besarannya tergantung pada kebijakan bank syariah
Bila Bank Syari’ah memperoleh keuntungan, maka bank akan memberikan
bonus kepada nasabah penitip.
Penyimban boleh mencampuri asset penitip dengan asset penyimpan atau
asset penitip yang lain, kemudian digunakan untuk tujiuan produktif mencari
keuntungan (profit). Pihak penyimpan berhak atas keuntungan yang
diperoleh dari pemanfaatan aset titipan dan bertanggungjawab penuh atas
ririko kerugian yang mungkin timbul.

Karakteristik Wadi’ah Yad-Dhamanah :


a. Harta dan barang yang ditipkan boleh dimanfaatkan oleh pihak penerima
titipan.
b. Penerima titipan sebagai penerima amanah.
c. Harta yang ditipkan boleh dimanfaatkan secara produktif untuk dapat
menghasilkan keuntungan.
d. Bank yari’ah mendapatkan manfaat atas harta yang dititipkan, oleh
karena itu penerima titipan boleh memberikan bonus kepada penitip
yang besarnya tidak mengikat
e. Bonus tidak boleh diperjanjikan pada saat akad.

Produk yang Cocok untuk Wadi’ah Yad-Dhamanah adalah Giro dan Tabungan
Wadi’ah.

1. Tabungan Al-Wadi’ah
Prinsip Wadi’ah Yad-Dhamanah juga dipergunakan oleh bank dalam
mengelola jasa tabungan simanan masyarakat, yaitu simpanan dari
nasabah penyimpan yang memerlukan jasa penitipan dana dengan
tingkat keleluasaan tertentu untuk menariknya kembali. Pemilik
simpanan dapat menarik sebagian atau seluruh saldo simpanannya
sewaktu-waktu sesuai dengan perjanjian yang disepakati.
Semua keuntungan atas pemanfaatan dana menjadi hak pemilik bank,
tetapi atas kehendaknya sendiri bank dapat memberikan imbalan
keuntungan yang berasal dari keuntungan bank kepada nasabah penitip.
Untuk administratifnya bank syari’ah menyediakan buku tabungan dan
jasa-jasa yang terkait dengan rekening tabungan tersebut.

Berbeda dengan tabungan mudharabah, bank syariah tidak


memperjnjikan bagi hasil . namun bank dapat memberikan bonus yang
besarnya tergantung pada kebijakan manajemen bank. Bonus biasanya
diberikan apabila bank mengalami surplus pendapatan setelah dikurangi
pembagian hasil kepada pemegang rekening tabungan dan deposito
mudharabah.
Pemberian bonus diberikan bank pada setiap akhir bulan dan dapat
dilihat pada buku tabungan wadiah nasabah masing-masing.

2. Ciri-Ciri rekening tabungan Wadi’ah Yad-Dhamanah :


a. Menggunakan buku (passbook) dan atau kartu ATM;
b. Barnya setoran pertama dan saldo minimum yang harus mengendap
tergantung pada kebijakan bank masing-masing;
c. Penarikan tidak dibatasi, berapa saja dan kapan saja;
d. Pembayaran bonus (Hibah) dilakukan dengan cara mengkredit
rekening tabungan setiap akhir bulan

3. Tipe Rekening
a. Rekening Perorangan
b. Rekening Bersama (dua orang atau lebih)
c. Rekening Organisasi atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum
d. Rekening Perwakilan (yang dioperasikan oleh dua orang tua/wali dari
pemegang rekening

4. Teknik Imbalan/bonus Prinsip Wadi’ah


a. Giro Wadi’ah
Pada prinsinya teknik perhitungan bonus giro wadi’ah dihitung
dari saldo terendah dalam satu bulan. Namun demikian bonus
wadi’ah dapat diberikan kepada giran wadi’ah sebagai berikut :
- Saldo terendah dalam satu bulan takwim di atas Rp 1.000.000,00
(bagi rekening yang bonus wadi’ahnya dihitung dari saldo
terendah).
- Saldo rata-rata harian dalam satu bulan takwim di atas Rp
1.000.000,00, (bagi rekening yang bonus gironya dihitung dari
saldo rata-rata harian).
- Saldo harian di atas Rp 1.000.000,00 (bagi rekening yang bonus
wadi’ahnya dihitung dari saldo harian.

Rumus yang digunakan alam perhitungan bonus Giro Wadi’ah sbb :


- Bonus Giro Wadi’ah atas dasar saldo terendah = Tarif bonus Giro
Wadi’ah dikalikan dengan saldo terendah pada bulan yang
bersangkutan.
- Bonus Giro Wadi’ah atas dasar saldo dasar saldo rata-rata harian =
Tarif bonus Giro Wadi’ah x saldo rata-rata harian bulan yang
bersangkutan.
- Bonus Giro Wadi’ah atas dasar saldo harian = Tarif Bonus Giro
Wadi’ah x saldo harian yang bersangkutan x hari efektif

Rumus yang digunakan dalam perhitungan bonus Tabungan Wadi’ah


sbb :
- Bonus Tabungan Wadi’ah atas dasar saldo terendah = Tarif bonus
Tabungan Wadi’ah dikalikan dengan saldo terendah pada bulan
yang bersangkutan.
- Bonus Tabungan Wadi’ah atas dasar saldo dasar saldo rata-rata
harian = Tarif bonus Tabungan Wadi’ah x saldo rata-rata harian
bulan yang bersangkutan.
- Bonus Tabungan Wadi’ah atas dasar saldo harian = Tarif Bonus
Tabungan Wadi’ah x saldo harian yang bersangkutan x hari efektif.

Contoh Perhitungan Bonus Giro Wadi’ah

Tuan Dadang memiliki Giro wadi’ah di Bank Syariah X dengan saldo


rata-rata bulan Mei 2019 adalah Rp 1.000.000,00. Bonus yang
diberikan kepada nasabah giro (giran) adalah 30 % dengan saldo rata-
rata minimal Rp 5.000,00. Diasumsikan Total Dana Giro Waiah seluruh
Nasabah Giro di Bank X adalah Rp 500.000.000,00. Pendapatan Bank
Syari’ah X dari Penggunaan Seluruh Giro Wadi’ah adalah Rp
20.000.000,00.
Berapa Bonus Wadiah yang diterima tuan Dadang pada Akhir Mei
2019 ?

Penyelesaian :
Bonus yang diterima Tuan Dadang pada akhir bulan Mei 2019 adalah
=
Rp 1.000.000,00 x Rp 20.000.000,00 x 30 % = Rp 12.000,00
Rp 500.000.000,00
Jadi besarnya Bonus sebesar Rp 12.000,00. Besarnya bonus tersebut
belum dikurangi pajak sesuai ketentuan yang berlaku
Ketentuan Umum produk ini adalah :
- Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik
atau ditanggung bank syari’ah, sedang pemilik dana tidak
dijanjikan imbalan/bonus dan tidak menanggung kerugian Bank
dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai
suatu insentif untuk menarik dana masyarakat, namun tidak boleh
diperjanjikan di muka.
- Bank syari’ah harus membuat akad pembukaan rekening yang
isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan
persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro dapat
memberikan buku cek, bilyet giro dan Debit Card.
- Terhadap pembukaan rekening ini, bank syariah dapat
mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar
menutupi biaya yang benar-benar terjadi. Namun ada bank yang
benar-benar tidak mengenakan biaya administrasi apapun atas
produk Giro/Tabungan Wadi’ah Yad-dhamanah ini.
- Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro
dan tabukan wadi’ah tetap berlaku selama tidak bertentangan
dengan prinsip syariah.

2. PRINSIP MUDHARABAH - PENGHIMPUNAN DANA MASYARAKAT

Mudharabah.
Pengertian Mudharabah berasal dari kata dharb, artinya memukul atau
berjalan, pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses
seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha, artinya berjalan di bumi
ini untuk mencari karunia dari Allah SWT, yaitu rezeki yang halal dan thayib atas
perintah Allah SWT.
Mudharabah adalah salah satu bentuk akad kerjasama antara pemilik modal
dengan seorang pakar/profesional dalam berdagang/berusaha. Di dalam Fiqh Islam
disebut dengan Mudharabah oleh ulama fiqh Hijaz menyebutkan dengan qirad yang
berarti al-qat’ (potongan). Pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk
diperdagangkan/diusahakan dan memperoleh keuntungan dari harta tersebut.
Maksudnya akad antara kedua belah pihak untuk salah seorangnya (salah satu pihak)
mengeluarkan sejumlah uang kepada pihak lainnya untuk
diperdagangkan/diusahakan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan.
Mudharabah berasal dari akar kata dharaba pada kalimat al-dharb fi al-ardh, yaitu
bepergian untuk urusan dagang. Abdurrahman al-jazari mengatakan Mudharabah
menurut bahasa berarti ungkapan pemberian harta dari seseorang kepada orang lain
sebagai modal usaha dimana keuntungan yang diperoleh dibagi diantara mereka
berdua dan apabila usahanya rugi ditanggung oleh pemilik modal.
Menurut istilah syara’ : Mudharabah merupakan akad antara dua pihak untuk
bekerjasama dalam usaha perdagangan dimana salah satu pihak memberikan dana
kepada pihak lain sebagai modal usaha dan keuntungan dari usaha itu akan dibagi
diantara mereka berdua sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

1. Dasar Hukum Mudharabah


a. Al-Qur an
Akad Mudharabah diperbolehkan dalam Islam, karena bertujuan untuk saling
membantu antara pemilik modal dengan seorang pakar/profesionalis dalam
memutarkan uang. Banyak diantara pemilik modal yang tidak pakar dalam
mengelola dan memproduktifkan modal tersebut.
Pada masa jahiliyyah qirad telah dilaksanakan, kemudian dilanjutkan oleh
generasi berikutnya , yaitu agama Islam. Timbulnya Qirad karena menjadi
kenyataan hajat bagi setiap manusia. Qirad ini memberikan nilai tambah antara
keduanya yang mengandung sifat tolong-menolong, karena orang yang
mempunyai modal tetapi tidak pandai berdagang atau berusaha, sedangkan yang
lain pandai dan cakap lagi mempunyai waktu yang cukup, tetapi tidak memiliki
modal, maka keduanya biasa saling mengisi demi kemajuan dan kepentingan
bersama untuk memperoleh keuntungan. Qirad benar-benar diakui
keberadaannya di dalam hukum Islam (Syariat Islam) berdasarkan dalil naqly
sesuai Surat Al Baqarah ayat 278-279 : “ Hai orang-orang yang beriman!
Perihalah dirimu kepada Allah dan tinnggalkanlah (jangan pungut) apa pun
bentuk riba yang masih ada, jika kamu benar-benar beriman kepada-Nya. Jika
kamu tidak mau meninggalkannya, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya
akan memerangimu.Tapi jika kamu tobat (kembali kepada ajaran Allah), maka
kamu boleh menerima modalmu, sehingga kamu tidak menganiaya si peminjam
dan kamu tidak pula dianiaya”.

Hadits yang berkaitan dengan Mudharabah adalah hadits yang diriwayatkan


oleh Ibnu Majah dari Shuaib bahwa Nami Muhammad SAW bersabda :” Tiga
perkara yang mengandung berkah adalah jal beli yang ditangguhkan, melakukan
qiradh (memberi modal kepada orang lain) dan yang mencampurkan gandum
dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk diperjualbelikan”.

Qiyas, tentang Mudharabah diqiyaskan Al Musyaqah (menyuruh seseorang


untuk mengelola kebun) selain diantara manusia ada yang miskin dan ada juga
yang kaya. Di satu sisi banyak orang yang kaya yang tidak dapat mengusahakan
hartanya, disisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau dan mempunyai
kemampuan untuk mekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian,
adanya Mudharabah ditujukan antara lain untuk memenuhi kedua golongan di
atas, yakni untuk kemaslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan
mereka.
Rukun dan Syarat Mudharabah
Syarat yang harus dipenuhi dalam akad Mudharabah adalah :
1) Harta atau Modal, modal harus dinyatakan dengan jelas jumlahnya,
seandainya modal berbentuk barang, maka barang tersebut harus dihargakan
dengan harga semasa dalam dalam uang yang beredar.
2) Modal harus diserahkan kepada mudharib, untuk memungkinkannya
melakukan usaha
3) Keuntungan, pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam
prosentase/nisbah dari keuntungan yang mingkin dihasilkan nanti.
Keuntungan yang menjadi milik pekerja dan pemilik modal harus jelas
prosentasenya.
4) Kesepakatan prosentase harus dicapai melalui negosiasi dan dituangkan
dalam kontrak.

Rukun Mudharabah
1) Adanya 2 pihak yang berakad (Mudharib dan Shahibul Maal/Pemilik Dana dan
Pengelola dana/Mudharib), keduanya hendaknya orang yang berakal dan
sudah baligh (berumur 21 tahun) dan bukan orang yang dipaksa dan
keduanya mempunyai kemampuan untuk diwakili dan mewakili.
2) Materi yang dialihkan/objek terdiri dari atas modal (maal), usaha (berdagang
dan lainnya yang berhubungan dengan urusan perdagangan/usaha tersebut)
3) Sighat, yaitu serah/ungkapan penyerahan modal dari pemilik modal (ijab) dan
terima/ungkapan terima modal dan persetujuan mengelola modal dari
pemilik modal (qabul).

Sedangkan menurut Ulama Syafi’iyah lebih memerinci lagi rukun


Mudharabah menjadi 5, yaitu :
1) Modal;
2) Pekerjaan;
3) Laba;
4) Sighat, dan
5) 2 (dua) orang yang ber akad.

APLIKASI PRINSIP MUDHARABAH

Tabungan Mudharabah
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/31/DPbS tanggal 7 Oktober 2008,
perihal produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syari’ah dijelaskan Tabungan
Mudharabah sebagai berikut :
Definisi Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan
cek/bilyet giro dan atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Akad Mudharabah
Transaksi penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola
dana (Mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah,
dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah
yang disepakati sebelumnya.

Fitur dan Mekanisme


Tabungan atas dasar akad Mudharabah :
1) Bank bertindak sebagai pengelola dana (Mudharib) dan nasabah bertindak
sebagai pemilik dana (Shahibul Maal);
2) Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
3) Penarikan dana oleh nasbabah hanya dapat dilakukan sesuai waktu yang
disepakati;
4) Bank/Mudharib dapat membebankan kepada nasabah/shahibul maal biaya
administrasi berupa biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya
pengelolaan rekening antara lain, biaya materai, cetak laporan transaksi dan
saldo rekening, pembukaan dan penutupan rekening, dan
5) Bank tidak diperbolehkan mengurangi bagian keuntungan tanpa persetujuan
nasabah yang bersangkutan.

Tabungan ini dikelola dengan Prinsip “Mudharabah Mutlaqah” karena


pengelolaan dana investasi tabungan ini sepenuhnya diserahkan kepada
mudharib.
Perhitungan bagi hasil tabungan dilakukan berdasarkan dana investasi rata-rata
selama satu periode perhitungan bagi hasil, dimana dana rata-rata tersebut
dihitung dengan menjumlahkan saldo harian setiap tanggal dibagi dengan hari
periode perhitungan bagi hasil. Periode peritungan bagi hasil tersebut tidak
harus sama dengan jumlah hari pada bulan yang bersangkutan, jumlah hari
dalam periode perhitungan bagi hasil dihitung mulai tanggal awal periode (satu
hari setelah tanggal tutup buku/perhitungan bagi hasil yang lalu) sampai dengan
tanggal tutup buku atau perhitungan bagi hasil.
Deposito Mudharabah
Dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/31/BPbS tanggaL 7 Oktober
2008, perihal : produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syari’ah dijelaskan tentang
Deposito Mudharabah sebagai berikut :
Definisi Deposito adalah ” simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan
pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah dengan bank”.

Akad Mudharabah
Transaksi penanaman dana dari pemilik modal (Shahibul Maal) kepada
pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai
syari’ah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan
nisbah yang telah disepakati bersama sebelumnya.

Fitur dan Mekanisme Deposito Mudharabah


1) Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan nasabah bertindak
sebagai pemilik dana (shabul maal).
2) Pengelolaan dana oleh bank dapat dilakukan sesuai batasan-batasan yang
ditetapkan oleh pemilik dana (Mudharib Muqayyadah) atau dilakukan dengan
tanpa batasan-batasan dari pemilik dana (mudharib mutlaqah).
3) Dalam akad Mudharabah Muqayyadah harus dinyatakan secara jelas syarat-
syarat dan batasan tertentu yang ditentukan oleh nasabah;
4) Pembagian keuntungan dinyatakan dalam bentuk nisbah yang disepakati;
6) Bank Syariah dapat membebankan kepada nasabah biaya administrasi berupa
biaya-biaya yang terkait langsung dengan biaya pengelolaan rekening antara
lain, biaya materai, cetak laporan transaksi dan saldo rekening, pembukaan
dan penutupan rekening, dan.
7) Bank tidak diperbolehkan mengurangi bagian keuntungan tanpa persetujuan
nasabah yang bersangkutan.

Deposito ini dijalankan dengan Prinsip “Mudharabah Mutlaqah”, karena


pengelolaan dana Deposito sepenuhnya menjadi tanggung jawab mudharib/
bank.
Perhitungan bagi hasil kepada pemilik dana deposito mudharabah dapat
dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu :

1) Perhitungan bagi hasil deposito dilakukan setiap ulang tanggal pembukaan


deposito.
Pada dasarnya perhitungan bagi hasil deposito dilakukan dengan
berdasarkan dari perhitungan distribusi hasil usaha pada bulan yang lalu,
sehingga dalam hal perhitungannya mempergunakan indikasi rate atau
return (keuntungan) atau equivalent rate, maka dipergunakan hasil
perhitungan pada bulan sebelumnya, untuk memberi gambaran perhitungan
bagi hasil yang dibayar setiap ulang tanggal bulan berikutnya.

2) Perhitungan bagi hasil deposito Mudharabah dilakukan setiap akhir bulan


(sama dengan tutup buku bank syariah) atau awal bulan berikutnya.
Perhitungan bagi hasil dilakukan sampai dengan akhir bulan ini
berbeda dengan perhitungan bagi hasil setiap ulang tanggal. Dalam
perhitungan ini hanya dibayarkan bagi hasil untuk periode tanggal
pembukaan rekening deposito sampai tanggal tutup buku saja.
Sebagai contoh untuk perhitungan bagi hasil untuk bulan April, dilakukan
untuk periode 25 April sampai dengan 30 April (tutup buku April) dengan
indikasi rate sebesar 10% (return yang dihasilkan dalam perhitungan basil
usaha tutup buku bulan April). Begitu juga perhitungan bulan Mei, dilakukan
untuk periode 1 s.d. 31 Mei dengan indikasi rate sebesar 6 % (return
perhitungan tutup buku bulan Mei).
Pada saat deposito Mudharabah jatuh tempo tanggal 25 Juli, oleh bank
syariah hanya dikembalikan/dibayar sebesar pokok deposito Mudharabah
nya saja, sedangkan bagi hasil untuk periode 1 sd. 25 Juli, baru akan
diperhitungkan dan dibayarkan setelah perhitungan pembagian hasil usaha
tutup buku bulan Juli.
Pada saat jatuh tempo deposito Mudharabah bank syariah belum bisa
membayar bagi hasil karena pada saat tersebut bank belum melakukan
distribusi hasil usaha sehingga belum diketahui besarnya bagi hasil yang
harus dibayarkan. Besarnya bagi hasil baru dapat diketahui setelah
melakukan perhitungan distribusi hasil usaha pada akhir bulan yang
bersangkutan.

Contoh Perhitungan Tabungan Mudharabah


Tabungan Mudharabah (TABAH) adalah simpanan pihak ketiga di Bank
Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai
dengan perjanjian. Dalam hal ini bank Syariah sebagai Mudharib dan penabung
sebagai Shahibul Maal. Bank sebagai Mudharib akan membagi keuntungan
kepada shahibul maal sesuai dengan nisbah yang telah disepakati bersama.
Pembagian keuntungan dapat dilakukan setiap bulan berdarkan saldo minimal
yang mengendap selama periode tersebut.
Penyelesaian Contoh Kasus :
Saldo rata-rata TABAH tuan Saeful di Bank Syariah X sebesar Rp 500.000,00.
Nisbah bagi hasil 50 : 50 dan diasumsikan total saldo TABAH seluruh nasabah
penabung di Bank X sebesar Rp 100.000.000,00, dan keuntungan yang diperoleh
untuk dna TABAH sebesar Rp 3.000.000,00, maka pada akhir bulan nasabah
penabung tuan Saeful akan memperoleh dana bagi hasil
Rp 500.000,00 x Rp 3.000.000 x 50 % = Rp 7.500 (belum termasuk Pajak)
Rp 100.000.000,00

Contoh Perhitungan Deposito Mudharabah


Deposito Mudharabah merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga
yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tetentu setelah
jatuh tempo, dengan mendapatkan bagi hasil.
Imbalan dibagi dalam bentuk berbagai pendapatan atas penggunaan dana
tersebut secara syariah dengan proporsi pembagian/nisbah 70 : 30, 70 % untuk
investor Deposito dan 30 % untuk bank Syariah. Sedangkan jangka waktu
Deposito Mudharabah berkisar antara 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan.

Penyelesaian Contoh Kasus :


Tuan Hibar menempatkan dananya pada Deposito Investasi Mudharabah di
Bank Y sebesar Rp 1.000.000,00 untuk jangka waktu 1 bulan, Nisbah bagi hasil 70
% : 30% (70 % Untuk Nasabah dan 30 % untuk Bank Y ). Diasumsikan total dana
Deposito mudharabah seluruh nasabah di bank Y sebesar Rp 250.000.000,00 dan
keuntungan yang diperoleh untuk total dana deposito tersebut senesar Ro
6.000.000, maka saat jatuh tempo nasabah Saeful akan memperoleh bagi hasil
sebesar ?
Rp 1.000.000,00 x Rp 6.000.000,00 x 70 % = Rp. 16.800,00 ( belum
Rp 250.000.000,00 dipotong pajak)

Demikian materi minggu ke-2 ini, segaja disampaikan kepada saudara pengulangan
materi minggu lalu agar saudara bisa menyimak dan menjadi lebih paham. Dengan
demikian saudara akan dapat membedakan antara produk dan prinsip simpanan
masyarakat mana yang tabbaru/tolong menolong dan transaksi usaha/tijarah.

3. PEMBIAYAAN MURABAHAH - JUAL BELI SYARIAH


PENYALURAN DANA

Pengertian Pembiayaan Murabahah

Salah satu skim fikih yang paling popular digunakan oleh perbankan syari’ah adalah
jual-beli murabahah. Transaksi murabahah ini lazim dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para
sahabatnya.

Secara sederhana, murabahah berarti suatu penjualan barang seharga barang


tersebut ditambah keuntungan yang disepakati. Misalnya, seseorang membeli barang
kemudian menjualnya kembali dengan keuntungan tertentu. Berapa besar keuntungan
tersebut dapat dinyatakan dengan nominal rupiah tertentu atau dalam bentuk persentase
dari harga pembeliannya, misalnya 10% atau 20% dari harga beli barang.

Dalam fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Pengertian


Murabahah yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli
dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih tinggi sebagai laba.

Akad Murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan
barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, dimana penjual
menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.

Murabahah pada awalnya merupakan konsep jual beli yang sama sekali tidak ada
hubungannya dengan pembiayaan. Namun demikian, bentuk jual beli ini kemudian
digunakan oleh perbankan syari’ah dengan menambah beberapa konsep lain, sehingga
menjadi bentuk pembiayaan. Akan tetapi, validitas transaksi seperti ini tergantung beberapa
syarat yang benar-benar harus diperhatikan agar trasnsaksi tersebut diterima secara
syari’ah.

Secara sederhana yang dimaksudkan dengan Murabahah adalah suatu penjualan


seharga barang tersebut ditambah keuntungan yang disepakati, atau merupakan jual beli
barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan yang telah disepakati antara
penjual dan pembeli.

Boleh dikatakan bahwa akad yang terjadi dalam murabahah ini merupakan salah
satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ini ditentukan berapa
required rate of profit-nya, atau keuntungan yang diharapkan akan diperoleh dari transaksi
ini. Dalam teknis yang ada di perbankan syari’ah, murabahah merupakan akad jual dan beli
yang terjadi antara pihak bank syari’ah selaku penyedia barang yang menjual dengan
nasabah yang memesan dalam rangka pembelian barang itu.

Keuntungan yang diperoleh dari pihak bank syari’ah dalam transaksi ini merupakan
keuntungan jual beli yang telah disepakati secara bersama.
Rukun dan syarat yang ada dan berlaku di dalam transaksi murabahah ini merupkan
rukun dan syarat yang sama dengan yang ada di dalam fikih. Adapun syarat-syarat yang lain
seperti barang, harga, serta cara pembayaran yang bersangkutan adalah sesuai dengan
kebijakan yang diambil oleh bank tersebut. Harga jual bank Islam merupakan harga beli dari
para pemasok ditambah dengan keuntungan yang telah disepakati. Dengan begitu pihak
nasabah mengetahui besarnya keuntungan yang diambil oleh pihak bank Islam.

Dalam pembiayaan murabahah ini, bank syari’ah bertindak sebagai pemilik dana
membelikan barang sesuai dengan spesifikasi yang diinginkan oleh nasabah yang
membutuhkan pembiayaan, kemudian menjualnya ke nasabah tersebut dengan
penambahan keuntungan tetap. Sementara itu, nasabah akan mengembalikan utangnya
dikemudian hari secara tunai maupun cicil.

Produk dengan skim murabahah merupakan produk yang paling populer dan banyak
digunakan oleh perbankan Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Beberapa alasan
yang mendasarinya adalah:

a. Murabahah merupakan suatu mekanisme pembiayaan investasi jangka pendek yang


cukup memudahkan serta menguntungkan pihak bank Islam dibandingkan dengan
konsep profit and loss sharing atau bagi hasil yang dianut oleh konsep mudarabah dan
musarakah.

b. Mark-up dalam murabahah ditetapkan sedemikian rupa yang memastikan bahwa bank
Islam akan dapat memperoleh keuntungan yang sebanding dengan keuntungan
berbasis bunga yang menjadi saingan bank-bank Islam.

c.Murabahah menjauhkan ketidakpastian yang ada pendapatan dari bisnis-bisnis dengan


sistem LPS.

d.Murabahah tidak memungkinkan bank-bank Islam untuk mencampuri manajemen bisnis,


karena bank bukanlah mitra si nasabah, sebab hubungan mereka dalam murabahah
adalah hubungan antara kreditor dan debitur.

Karakteristik Murabahah

Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. Dalam


murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada
pemesanan dari nasabah. Dalam murabahah , bank syariah dapat bertindak sebagai penjual
dan pembeli. Sebagai penjual apabila bank syariah menjual barang kepada nasabah,
sedangkan sebagai pembeli apabila bank syariah membeli barang kepada supplier untuk
dijual kepada nasabah.
Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat
nasabah untuk membeli barang yang dipesannya. Dalam murabahah pesanan mengikat,
pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Apabila aset murabahah yang telah dibeli
bank (sebagai penjual) dalam murabahah pesanan mengikat mengalami penurunan nilai
sebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual
(bank) dan penjual (bank) akan mengurangi nilai akad.
Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Selain itu, dalam
murabahah pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Murabahah
juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga untuk cara pembayaran yang berbeda.
Bank dapat memberikan pertolongan apabila nasabah:
a. Mempercepat pembayaran cicilan;atau
b. Melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo

Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual, sedangkan harga beli
harus diberitahukan. Jika bank mendapat potongan dari pemasok maka potongan itu
merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut menjadi setelah akad.pembagian
potongan tersebut dilakukan berdasarkan yang dimuat dalam akad maka:

a.Bank dapat meminta nasabah menyediakan agunan atas piutang murabahah,antara lain
dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank,

b.Bank dapat meminta kepada nasabah urbun sebagai uang muka pembelian pada saat akad
apabila kedua belah pihak bersepakat.

Rukun dan Syarat Murabahah

1. Rukun Murabahah

Rukun dari akad murabahah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa yaitu:

a.Pelaku akad yaitu ba‟i (penjual) adalah pihak yang memiliki barang untukdijual, dan
musytari (pembeli) adalah pihak yang memerlukan dan akan membeli barang.

b.Objek akad, yaitu mabi‟ (barang dagangan) dan tsaman (harga)

c.Shighah, yaitu Ijab dan Qabul.

2. Syarat Murabahah

Syarat jual beli adalah sesuai dengan rukun jual beli yaitu:

2.1.Syarat orang yang berakal

Orang yang melakukan jual beli harus memenuhi:

a.Berakal. Oleh karena itu, jual beli yang dilakukan anak kecil dan orang gila hukumnya
tidak sah. Menurut Jumhur ulama bahwa orang yang melakukan akad jual beli itu
harus telah baligh dan berakal.

b.Yang melakukan akad jual beli adalah orang berbeda.

2.2. Syarat yang berkaitan dengan ijab kabulMenurut para ulama fiqh, syarat ijab dan kabul
adalah:
a. Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal.
b. Qabul sesuai dengan ijab.
c. Ijab dankabul itu dilakukan dalam satu majelis.

2.3. Syarat barang yang diperjualbelikan


Syarat barang yang diperjualbelikan, yaitu:
a. Barang itu ada atau tidak ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan
kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia.
c. Milik seseorang, barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh
dijualbelikan.
d. Boleh diserahkan saat akad berlangsung dan pada waktu yang disepakati bersama
ketika transaksi berlangsung.

2.4. Syarat pokok murabahah menurut Usmani (1999), antara lain sebagai berikut.
a. Murabahah merupakan salah satu bentuk jual ketika penjual secara eksplisit
menyatakan biaya perolehan barang yang akan dijualnya dan menjual kepada orang
lain dengan menambahkan tingkat keuntungan yang diinginkan.
b. Tingkat keuntungan dalam murabahah dapat ditentukan berdasarkan kesepakatan
bersama dalam bentuk lumpsum atau persentase tertentu dari biaya.
c. Semua biaya yang dikeluarkan penjual dalam rangka memperoleh barang, seperti
biaya pengiriman, pajak, dan sebagainya dimasukkan ke dalam biaya perolehan
untuk menentukan harga agregat dan margin keuntungan didasarkan pada agregat
ini. Akan tetapi, pengeluaran yang timbul karena usaha, seperti gaji pegawai, sewa
tempat usaha, dan sebagainya tidak dimasukkan ke dalam harga suatu transaksi.
Margin keuntungan yang diminta itulah yang meng-cover pengeluaran-pengeluaran
tersebut.
d.Murabahah dikatakan syah hanya ketika biaya-biaya perolehan barang dapat
ditentukan secara pasti. Jika biaya-biayatidak dapat dipastikan, barang/komoditas
tersebut tidak dapat dijual dengan prinsip murabahah.

Contoh (1) :
A membeli sepsang sepatu seharga Rp. 100.000,. A ingin menjual sepatu tersebut secara
murabahah dengan margin 10 persen. Harga sepatu dapat ditentukan secara pasti sehingga
jual beli murabahah tersebut sah.

Contoh (2) : A membeli jas dan sepatu dalam satu paket dengan harga Rp. 500.000,. A dapat
menjual paket jas dan sepatu dengan prinsip murabahah. Akan tetapi, A tidak dapat menjual
sepatu secara terpisah dengan prinsip murabahah karena harga sepatu secara terpisah tidak
diketahui dengan pasti. A dapat menjual sepatu secara terpisah dengan harga lumpsum
tanpa berdasar pada harga perolehan dan margin keuntungan yang diinginkan.

Dasar Hukum pembiayaan berdasarkan akad murabahah


Hukum syariah.
a. Al-Qur an
Ayat-ayat Al-Qur an yang dapat dijadikan rujukan atas dasar transaksi murabahah,
adalah QS. Al-Baqarah: 275 dan QS. An-Nisa: 29.

QS. Al-Baqarah:275. “orang-orang yang Makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit
gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, Padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai
kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka
baginya apa yang telah diambilnya dahulu[176] (sebelum datang larangan); dan
urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang
itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

Riba itu ada dua macam: nashiah dan fadhl. Riba Nashiah ialah pembayaran lebih yang
disyaratkan oleh orang yang meminjamkan. Riba fadhl ialah penukaran suatu barang
dengan barang yang sejenis, tetapi lebih banyak jumlahnya karena orang yang
menukarkan mensyaratkan demikian, seperti penukaran emas dengan emas, padi
dengan padi, dan sebagainya. Riba yang dimaksud dalam ayat ini Riba nasiah yang
berlipat ganda yang umum terjadi dalam masyarakat Arab zaman jahiliyah. Maksudnya:
orang yang mengambil Riba tidak tenteram jiwanya seperti orang kemasukan syaitan.
Riba yang sudah diambil (dipungut) sebelum turun ayat ini, boleh tidak dikembalikan.

QS. An-Nisa ayat 29 yang berbunyi :

“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[; Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.

Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab
membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu
kesatuan.

2. Al-Hadits H.R. Al Baihaqi, Ibnu Majah, dan shahih menurut Ibnu Hiban.ٍ(‫ضا َ َز ْت َنءُعْ َيبْالاَم َِّوإ‬
)‫رواي البيهقى‬

Dari sahabat R.A. bahwa Rasulullah bersabda:

“Tiga hal yang didalamnya terdapat keberkatan, yaitu:

a.Jual beli secara tangguh

b.Muqaradhah (mudharabah)
c.Mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk
dijual’’. (H.R. Ibnu Majah)

Hadis yang diriwayatkan al-Tirmizi, Rasululah SAW bersabda:


‫ءاَ َدهُّثالَ َوهْ ِي ْق ِّي ِّدصالَ َوهْ ي ِِّيبَّىالَ َع ُمه ِْي ْ َماْل ُ ْقوُ دَّصال ُ ِزجاَّتأَل ) ِىذِمزتالياور‬

Pedagang yang jujur dan terpercaya sejajar (tempatnya di surga) dengan para nabi,
shaddiqin, dan syuhada”.

c. Fatwa DSN MUI

Dasar hukum pembiayaan berdasarkan akad murabahah, antara lain Pasal 19 ayat
(1) huruf d dan ayat (2) huruf d serta Pasal 21 huruf b angka 2 UU Perbankan Syariah,
Fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah, No. 10/DSN-MUI/IV/2000
tentang wakalah, No. 13/DSN-MUI/IX/2000 tentang uang muka dalam murabahah,
No.16/DSN-MUI/IX/2000 tentang diskon dalam murabahah, No. 23/DSN-MUI/III/2002
tentang pelunasan dalam murabahah, No.46/DSN-MUI/II/2005 tentang potongan
tagihan murabahah (Khashm Fi Al-Murabahah), No. 47/DSN-MUI/II/2005 tentang
penyelesaian piutang murabahah bagi nasabah tidak mampu membayar, No. 48/DSN-
MUI/II/2005 tentang penjadwalan kembali tagihan murabahah, dan fatwa DSN No.
49/DSN-MUI/II/2005 tentang konversi akad murabahah.

Disamping fatwa-fatwa DSN tersebut di atas, pembiayaan mudharabah juga


berpedoman kepada PBI No. 7/6/PBI/2005 tentang transparansi informasi produk bank
dan penggunaan data pribadi nasabah beserta ketentuan perubahannya, dan PBI No.
9/19/PBI/2007 tentang pelaksanaan prinsip syariah dalam kegiatan penghimpunan
dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa bank syariah berikut perubahannya
dengan PBI No. 10/16/PBI/2008.

Perlakuan akuntansi terhadap transaksi pembiayaan berdasarkan akad murabahah


berpedoman kepada PSAK No. 102 27 tentang Akuntansi Murabahah dan PAPSI.
Pembiayaan berdasarkan akad murabahah berlaku bagi Bank Umum Syariah, Unit
Usaha Syariah, dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.20Fatwa No: 04/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Murabahah

Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah


Menimbang, Mengingatkan, Memperhatikan: Memutuskan, menetapkan: Fatwa
tentang Murabahah.

Pertama: Ketentuan Umum Murabahah dalam Bank Syariah:

1.Bank dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas dengan riba.

2.Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syariat Islam.


3.Bank membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati
kualifikasinya.

4.Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian
ini harus sah dan bebas riba.

5.Bank harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang.

6.Bank kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual
senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Bank harus memberitau secara
jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

7.Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada waktu jangka
waktu tertentu yang telah disepakati.

8.Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.
9.Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga,
akad jual murabahah harus dilakukan setelah barang, secara prinsip, milik bank.

Kedua: Ketentuan murabahah kepada nasabah:

1.Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset
kepada bank.
2.Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang
dipesannya secara sah dengan pedagang.
3.Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima
(membeli)nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum
perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual
beli.
4.Dalam jual beli ini bank dibolehkan meminta nasabah untuk membayar uang muka saat
menandatangani kesepakatan awal pemesanan.
5.Jika nasabah kemudian menolakmembeli barang tersebut, biaya riil bank harus dibayar
dari uang muka tersebut.
6.Jika nilai uang muka kurang dari kerugian yang harus ditangung oleh bank, bank dapat
meminta kembali sisa kerugiannya kepada nasabah.
7.Jika uang muka memakai kontrak urbun sebagai alternatif dari uang muka, maka.Jika
nasabah memutuskan untuk membeli barang tersebut, ia tinggal membayar sisa harga
b.Jika nasabah batal membeli, uang muka menjadi milik bank maksimal sebesar
kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut; dan jika uang muka
tidak mencukupi, nasabah wajib melunasi kekurangannya.

Ketiga: jaminan dalam Murabahah:


1.Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya.
2.Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.
Keempat: utang dalam murabahah:
1.Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada
kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas
barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan
atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada bank.
2.Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib
segera melunasi seluruh angsurannya.

Kelima: penundaan pembayaran dalam murabahah


1.Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
2.Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak
tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan
Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

Keenam: Bangkrut dalam murabahah


Jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan utangnya, bank harus
menunda tagihan utang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan.
Ditetapkan di: Jakarta Tanggal: 26 Dzulhijjah 1420 H/1 April 2000 M

Penetapan Margin Keuntungan

Bank Syariah menerapkan margin keuntungan terhadap produk-produk pembiayaan


yang berbasis Natural Certainty Contract (NCC), yakni akad bisnis yang memberikan
kepastian pembayaran, baik dari segi jumlah (amount) maupun waktu (timing), seperti
pembiayaan murabahah, ijarah, ijarah muntahia bit tamlik, salam, dan istishna.

Secara teknis yang dimaksud dengan margin keuntungan adalah persentase tertentu
yang ditetapkan per tahun perhitungan margin keuntungan secara harian, maka jumlah hari
dalam setahun ditetapkan 360 hari; perhitungan margin keuntungan secara bulanan, maka
setahun ditetapkan 12 bulan.

Pada umumnya, nasabah pembiayaan melakukan pembayaran secara angsuran.


Tagihan yang timbul dari transaksi jual beli dan atau sewa berdasarkan akad murabahah,
salam, istishna’ dan atau ijarah disebut sebagai piutang.
Besarnya piutang tergantung pada plafond pembiayaan, yakni jumlah pembiayaan (harga
beli ditambah harga pokok) yang tercantum di dalam Perjanjian Pembiayaan.

1. Referensi margin keuntungan


Yang dimaksud dengan Referensi Margin Keuntungan adalah margin keuntungan
yang ditetapkan dalam rapat ALCO Bank Syariah.
Penetapan margin keuntungan pembiayaan berdasarkan rekomendasi, usul dan
saran dari tim ALCO Bank Syariah, dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut:

a.Direct Competitor’s Market Rate (DCMR)


Yang dimaksud dengan Direct Competitor’s Market Rate (DCMR) adalah tingkat
margin keuntungan rata-rata perbankan syariah, atau tingkat margin keuntungan
rata-rata beberapa bank syariah yang ditetapkan dalam rapat ALCO sebagai
kelompok kompetitor langsung, atau tingkat margin keuntungan bank syariah
tertentu yang ditetapkan dalam rapat ALCO sebagai kompetitor langsung terdekat.

b.Indirect Competitor’s Market Rate (ICMR)


Yang dimaksud dengan Indirect Competitor’s Market Rate (ICMR) adalah
tingkat suku bunga rata-rata perbankan konvensional, atau tingkat rata-rata suku
bunga beberapa bank konvensional yang dalam rapat ALCO ditetapkan sebagai
kelompok kompetitor tidak langsung, atau tingkat rata-rata suku bunga bank
konvensional tertentu yang dalam rapat ALCO ditetapkan sebagai kompetitor tidak
langsung yang terdekat.

c.Expected Competitive Return for Investors (ECRI)


Yang dimaksud dengan Expected Competitive Return for Investors (ECRI )adalah
target bagi hasil kompetitif yang diharapkan dapat diberikan kepada dana pihak
ketiga.

d.Acquiring Cost
Yang dimaksud dengan Acquiring Cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh bank
yang langsung terkait dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga.

e.Overhead Cost
Yang dimaksud dengan Overhead Cost adalah biaya yang dikeluarkan oleh bank
yang tidak langsung terkait dengan upaya untuk memperoleh dana pihak ketiga.

2. Penetapan harga jual

Setelah memperoleh referensi margin keuntungan, bank melakukan penetapan


harga jual. Harga jual adalah penjumlahan harga beli/harga pokok/harga perolehan
bank dan margin keuntungan.

3. Pengakuan angsuran/cicilan harga jual

Angsuran harga jual terdiri dari angsuran harga beli/harga pokok dan angsuran
margin keuntungan. Pengakuan angsuran dapat dihitung dengan menggunakan empat
metode, yaitu:

a. Metode Margin Keuntungan Menurun

b. Margin Keuntungan Rata-Rata

c. Margin Keuntungan Flat

d. Margin Keuntungan Annuitas.

Add. a. Metode Margin Keuntungan Menurun (Sliding)

Margin Keuntungan Menurun adalah perhitungan margin keuntungan yang


semakin menurun sesuai dengan menurunnya harga pokok sebagai akibat adanya
cicilan/angsuran harga pokok, jumlah angsuran (harga pokok dan margin
keuntungan) yang dibayar nasabah setiap bulan semakin menurun.

Add. b. Margin Keuntungan Rata-Rata

Margin Keuntungan Rata-Rata adalah margin keuntungan menurun yang


perhitungannya secara tetap dan jumlah angsuran (harga pokok dan margin
keuntungan) dibayar nasabah tetap setiap bulan.

Add. c. Margin Keuntungan Flat

Margin Keuntungan Flatadalah perhitungan margin keuntungan terhadap nilai


harga pokok pembiayaan secara tetap dari satu periode ke periode 35lainnya,
walaupun baki debetnya menurun sebagai akibat dari adanya angsuran pokok.

Add. d. Margin Keuntungan Annuitas.

Margin Keuntungan Annuitas adalah margin keuntungan yang diperoleh dari


perhitungan secara annuitas. Perhitungan annuitas adalah suatu cara pengembalian
pembiayaan dengan pembayaran angsuran harga pokok dan margin keuntungan
secara tetap. Perhitungan ini akan menghasilkan pola angsuran harga pokok yang
semakin membesar dan margin keuntungan yang semakin menurun.

4. Persyaratan untuk perhitungan margin keuntungan.

Margin Keuntungan = f (plafon) hanya bisa dihitung apabila komponen-komponen


yang di bawah ini tersedia:

a.Jenis perhitungan margin keuntungan

b.Plafond pembiayaan sesuai jenis

c.Jangka waktu pembiayaan

d.Tingkat margin keuntungan pembiayaan

e.Pola tagihan atau jatuh tempo tagihan (baik harga pokok maupun margin keuntungan)

Perhitungan margin/keuntungan untuk pembiayaan murabahah

Contoh :

CV Khaibar melakukan negosiasi pada 1 April 20xx dengan Bank Az-zahra Syariah untuk
memperoleh fasilitas Pembiayaan Murabahah dengan pesanan untuk pembelian Mobil
kantor dengan rincian sebagai berikut:
Harga Mobil: Rp 150 juta

Uang muka: Rp 15 juta (10% dari harga barang)

Pembiayaan oleh bank: Rp 135 juta

Margin: Rp 27 juta (20% dari pembiayaan oleh bank)

Harga jual: Rp 177 juta (harga barang plus margin)

Jumlah bulan angsuran: 24 bulan

Biaya administrasi: 1 % dari pembiayaan oleh bank, biasanya dibayar dimuka setelah
proses penilaian pembiayaan dilakukan atau sebelum cicilan/angsuran dimulai.

Cara perhitungan angsuran perbulan

Rumus perhitungan angsuran:

Angsuran/bulan = Jumlah piutang – uang muka


Jangka waktu angsuran

Misalkan data murabahah dengan kasus di atas, di mana Jumlah Piutang Rp 177 juta, Uang
Muka Rp 15 juta, Jangka waktu 24 bulan maka angsuran per bulan dapat dihitung:

Angsuran perbulan = Rp 177.000.000 – Rp 15.000.000


24 bulan

= Rp 6.750.000

Cara perhitungan pendapatan margin

Pendapatan margin =

Total margin/total piutang bersih X 100% =

Rp 27.0000.000 / Rp 177.000.000 X 100%

= 15,25 %

Jadi, pendapatan margin perbulan sebesar Rp 1.029.660,-(6.750.000 x 15,25423%)

Risiko pembiayaan berdasarkan akad murabahah

Risiko bagi bank dalam pembiayaan murabahah antara lain berupa :

- Risiko Pembiayaan (Financing Risk) yaitu Risiko yang disebabkan oleh nasabah
wanprestasi atau default,
- Risiko Pasar yaitu Risiko yang disebabkan oleh pergerakan nilai tukar jika pembiayaan
atas dasar akad murabahah diberikan dalam valuta asing.

4. JUAL BELI SALAM (BAI-US SALAM)


PENYALURAN DANA

Istilah syar’i di negara ini berkembang pesat, khususnya yang berkaitan dengan dunia
bisnis. Ini sejalan dengan perkembangan bisnis perbankan dan lembaga-lembaga keuangan
syari’ah. Istilah-istilah syar’i ini sebelumnya sangat jarang terdengar di telinga masyarakat
umum. Diantara istilah itu adalah bai’us salam (jual beli dengan cara inden atau pesan).
Bagi masyarakat umum, istilah bai’us salam terhitung istilah baru. Sehingga tidak
mengherankan kalau kemudian banyak yang mempertanyakan maksud dan praktik
sebenarnya dalam Islam.

PENGERTIAN BAI’US SALAM (JUAL BELI SISTEM INDEN ATAU PESAN)

Kata salam berasal dari kata at-taslîm (‫)ال َّتسْ لِيْم‬. Kata ini semakna dengan as-salaf (
‫ )ال َّسلَف‬yang bermakna memberikan sesuatu dengan mengharapkan hasil dikemudian hari.
Pengertian ini terkandung dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
(Kepada mereka dikatakan): “Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang
telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu”.[al-Hâqqah/69:24]

Menurut para Ulama, definisi bai’us salam yaitu jual beli barang yang disifati (dengan
kriteria tertentu/spek tertentu) dalam tanggungan (penjual) dengan pembayaran kontan
dimajlis akad.[2]
Dengan istilah lain, bai’us salam adalah akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang
telah disepakati dan dengan pembayaran tunai pada saat akad berlangsung.

Dengan demikian, bai’us salam memiliki kriteria khusus bila dibandingkan dengan
jenis jual beli lainnya, diantaranya:
1. Pembayaran dilakukan didepan (kontan di tempat akad), oleh karena itu jual beli ini
dinamakan juga as-salaf.
2. Serah terima barang ditunda sampai waktu yang telah ditentukan dalam majlis akad

Para ulama sering mengungkapkan proses akad jual beli semacam ini dengan
ungkapan, “Zaid seorang menyerahkan seribu dinar kepada Ali supaya Ali menyerahkan lima
ton beras kepadanya.”
Pembeli, yaitu Zaid dinamakan al-muslim atau al-muslif atau Rabbus Salam. Sedangkan
penjual yaitu Ali dinamakan al-muslam Ilaihi atau al-muslaf Ilaihi. Sementara pembayaran
kontan yaitu seribu dinar dinamakan ra’su mâlis salam (Modal Salam) dan barang yang
dipesan yaitu beras dinamakan al-muslam fihi atau Dainus Salam (hutang salam).
HUKUM BAI’US SALAM (JUAL BELI SISTEM PESAN)

Jual beli sistem ini diperbolehkan dalam syariat Islam. Ini berdasarkan dalil-dalil dari
al-Qur`ân dan sunnah serta ijma dan juga sesuai dengan analogi akal yang benar (al-
qiyâsush shahîh).
a. Dalam al-Qur`ân, Allah Azza wa Jalla berfirman :

ْ ‫ْن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُم َس ًّمى َف‬


‫اك ُتبُو ُه‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
ٍ ‫م ِب َدي‬.ْ ‫ِين آ َم ُنوا إِ َذا َتدَا َي ْن ُت‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk
waktu yang telah ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. [al-Baqarah/2:282].

Sahabat yang mulia Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu menjadikan ayat ini
sebagai landasan membolehkan jual beli sistem pesan ini. Beliau Radhiyallahu anhu
mengatakan, “Saya bersaksi bahwa jual-beli as-salaf (as-salam) yang terjamin hingga
tempo tertentu telah dihalalkan dan diizinkan oleh Allâh Azza wa Jalla dalam al-
Qur’ân. (Kemudian beliau membaca firman Allâh Azza wa Jalla artinya) : “Hai orang-
orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak dengan secara tunai, untuk
waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya”.
(Hadits ini dishahihkan al-Albâni t dalam kitab Irwâ’ul Ghalîl, no. 340 dan beliau t
mengatakan, “Hadits ini dikeluarkan imam asy-Syâfi’i t no. 1314, al-Hâkim, 2/286 dan
al-Baihaqi 6/18).

Firman Allâh Azza wa Jalla di atas, yang artinya, “apabila kamu bermu’amalah tidak
dengan secara tunai,” bersifat umum, artinya meliputi semua yang tidak tunai, baik
pembayaran maupun penyerahan barang. Apabila yang tidak tunai adalah
penyerahan barang maka itu dinamakan bai’us salam.

b. Dalam hadits Abdullâh bin Abbâs Radhiyallahu anhu diriwayatkan :

‫ِف فِى‬ ْ ‫ف فِى َت ْم ٍر َف ْليُسْ ل‬ َ َ‫ َمنْ أَسْ ل‬: ‫ْن َف َقا َل‬
ِ ‫ار ال َّس َن َة َوال َّس َن َتي‬ ِّ َ ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َمدِي َن َة َو ُه ْم يُسْ لِف‬
ِ ‫ون فِى الث َم‬ َ ُّ‫َق ِد َم ال َّن ِبى‬
ُ َ ُ ُ
ٍ ‫وم إِلَى أ َج ٍل َمعْ ل‬
‫وم‬ ٍ ‫وم َو َو ْز ٍن َمعْ ل‬
ٍ ‫َكي ٍْل َمعْ ل‬
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di kota Madinah, penduduk Madinah
telah biasa memesan buah kurma dengan waktu satu dan dua tahun. maka beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa memesan kurma, maka
hendaknya ia memesan dalam takaran, timbangan dan tempo yang jelas (diketahui
oleh kedua belah pihak).” [Muttafaqun ‘alaih]

c. Para Ulama telah berijmâ’ (berkonsensus) tentang kebolehan bai’us salam ini,
seperti diungkapkan Ibnu al-Mundzir t dalam al-Ijma’, hlm. 93. Ibnu Qudâmah
menguatkan penukilan ijma’ ini. Beliau menyatakan, “Semua ulama yag kami hafal
sepakat menyatakan as-salam itu boleh.”

d. Kebolehan akad jual beli salam (pemesanan) ini juga sesuai dengan analogi akal dan
kemaslahatan manusia. Syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu-
menjelaskan, “Analogi akal dan hikmah mengisyaratkan jual beli ini boleh. Karena
kebutuhan dan kemaslahatan manusia bisa sempurna dengan jual beli salam. Orang
yang membutuhkan uang akan terpenuhi kebutuhannya dengan pembayaran tunai
sementara pembeli beruntung karena bisa mendapatkan barang dengan harga lebih
murah dari umumnya. Jadi, manfaatnya kembali ke kedua pihak.”
Oleh karena itu, syaikh Shâlih bin Abdillâh al-Fauzân –hafizhahullâhu- mengatakan,
“Pembolehan mua’amalah ini (yaitu jual beli salam) termasuk kemudahan dan
kemurahan syariat Islâm. Karena mu’amalah ini berisi hal-hal yang bisa memberikan
kemudahan dan mewujudkan kebaikan bagi manusia, disamping juga bebas dari riba
dan seluruh larangan Allâh.

KEBUTUHAN MASYARAKAT TERHADAP BAI’US SALAM

Bai’us Salam ini dibutuhkan oleh banyak kalangan, misalnya orang-orang


yang memiliki kemampuan dan keterampilan namun mereka tidak miliki modal yang
cukup untuk menjalankan apa yang menjadi obsesinya. Mereka ini bisa menjual
sampel produk mereka (sebelum ada produk dalam jumlah besar) dan mendapatkan
uang kontan. Uang kontan ini bisa mereka manfaatkan untuk menyiapkan bahan
baku dan biaya operasinal pengadaan produk, seperti untuk membeli bibit, alat,
pupuk dan lain-lain; Bisa juga untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga selama
proses pengerjaan produk tersebut. Kemudian setelah produk siap, mereka bisa
menyerahkannya sesuai dengan pesanan pada waktu yang telah ditentukan. Apabila
produknya tidak dapat memenuhi pesanan maka ia harus mencari dan mendapatkan
produk orang lain untuk memenuhi pesanan. Hal ini karena barang (al-Muslam fihi)
tidak boleh ditentukan harus dari hasil produksi mereka saja.

Bila melihat praktik jual beli salam di atas, kita dapati kemaslahatan atau keuntungan
akan dirasakan oleh kedua belah pihak. Penjual memperoleh kemaslahtan dan
keuntungan berupa :

1. Mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan cara halal. Sehingga ia


dapat menjalankan dan mengembangkan usaha tanpa terlibat riba (bunga).
Sebelum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang ini untuk menjalankan
usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada kewajiban
apapun.
2. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan pembeli, karena
biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang pesanan cukup
lama.
3. Tidak perlu upaya dan mengeluarkan biaya tambahan untuk menghabiskan
produk, karena telah dibeli sebelumnya.

Pembeli pun memperoleh keuntungan dan manfaat, seperti :

1. Jaminan mendapatkan barang (al-muslam fihi) sesuai dengan kebutuhan dan tepat
waktu.
2. Mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan harga lebih murah bila
dibandingkan membeli saat membutuhkan barang itu, karena :
a. Pembeli telah memberikan uang cash dalam tempo salam (pemesanan)
tersebut, padahal bisa saja ia memanfaatkan uang tunai ini untuk keperluan
lain. Sehingga pantas bila pembeli mendapatkan harga lebih murah.
b. Pembeli komitmen membeli produk tertentu padahal itu berisiko. Sebab bisa
saja, ketika barang diserahkan ternyata harga di pasar lebih murah karena
stok barang banyak atau permintaan kurang.
c. Terkadang, pembeli terpaksa harus mencari kesempatan untuk memasarkan
barang yang telah dipesan itu, jika dia membelinya bukan untuk kebutuhan
pribadinya saja.

Dengan ini nampak jelas bahwa jual beli salam merupakan sarana efektif untuk
menyatukan dua unsur penting produksi yaitu harta dan aktifitas produksi dengan
metode yang diterima semua pihak terkait dalam pembagian hasil.

Namun perlu diwaspadai perilaku buruk sebagian pemilik modal yang memancing
ikan di air keruh, ketika para petani atau pengusaha industri sangat membutuhkan
modal cepat. Dalam kondisi sepert ini, terkadang sebagian pemilik modal
“memanfaatkan” jual beli salam sebagai sarana menekan harga barang hingga
sangat terpuruk. Seandaianya bukan karena kebutuhan mendesak, tentu mereka
menolak tawaran modal tersebut. Ini tidak bisa dibenarkan dan terlarang karena
masuk dalam kategori bai’ul mudhthar (jual beli dalam keadaan terpaksa).

RUKUN JUAL BELI SALAM

Jual beli ini memiliki tiga rukun yaitu :


1. Ada transaktor, yaitu al-muslim dan al-muslam ilaihi
2. Ada modal as-salam (ra’su mâlis salam).
3. Ada shighah (akad) yaitu ijab dan qabûl, baik tertulis maupun terucap.
Contoh,
perusahaan A di kota semarang memesan seratus mobil merek Toyota Saluna seri
tertentu kepada perusahaan Toyota dengan membayar tunai 20 milyar rupiah di
majlis akad (tempat transaksi) dengan perjanjian mobil harus dauh terkirim ke
pelabuhan Tanjung Emas di Semarang setelah dua bulan dari waktu transaksi.
Dalam contoh di atas, rukun jual beli salam sudah terpenuhi, yaitu :
a. Al-Muslim adalah perusahaan A sedangkan al-muslam Ilaihi adalah perusahaan
Toyota
b. Modal as-salam yaitu uang 20 milyar rupiah yang dibayar kontan
c. Shighah (transaksi) yaitu ijab dan qabul ketika transaksi sedang berlangsung.

SYARAT-SYARAT JUAL BELI SALAM

Disamping rukun, untuk keabsahan jual beli salam, para Ulama menetapkan
syarat-syarat sah.

Secara garis besar, para Ulama menggolongkan syarat-syarat ini menjadi dua
yaitu :
1. Syarat umum jual beli dan ini pernah dimuat dalam majalah Assunnah edisi
09/Thn XIII/Dzulhijjah 1431/Desember 2009M
2. Syarat khusus pada jual beli salam ada enam yaitu :
1) Jual beli ini pada barang-barang yang memiliki kriteria jelas
Jual beli salam merupakan jenis akad jual beli barang dengan kriteria tertentu
dengan pembayaran tunai. Sehingga menjadi sebuah keharusan, barang yang
dipesan adalah barang yang dapat ditentukan kriterianya dengan jelas,
seperti jenis, ukuran, berat, takaran dan lain sebagainya. Penyebutan kriteria
ini bertujuan untuk menentukan barang yang diinginkan oleh kedua belah
pihak dan menghindarkan sengketa. Dalam memberikan kriteria masuk dalam
syarat ini perlu diperhatikan bahwa masalah kriteria ini akan berbeda dari
zaman ke zaman. Sehingga tidak semua yang disampaikan para Ulama ahli
fiqh zaman dulu sebagai kriteria barang yang tidak bisa diberikan kreteria
jelas itu pasti benar, sebab dengan perkembangan teknologi dan
pengetahuan muncul alat yang dapat mendeteksi criteria dengan jelas
sehingga dapat diserahkan sesuai dengan criteria yang disepakati ketika akad.

2) Pembayaran dilakukan pada saat akad (transaksi)


Sebagaimana terfahami dari namanya, yaitu as-salam (penyerahan), atau as-
salaf (mendahulukan), maka para Ulamâ’ sepakat bahwa pembayaran jual
beli salam itu harus dilakukan di muka atau kontan saat transaksi, tanpa ada
yang terhutang sedikitpun. Jika pembayaran ditunda (dihutang) sebagaimana
yang sering terjadi, maka akadnya berubah menjadi akad jual beli hutang
dengan hutang (bai’ud dain bid dain) yang terlarang dan hukumnya haram.
Diantara contoh yang terlarang, memesan barang dengan tempo setahun,
kemudian pembayaran dilakukan dengan menggunakan cek atau bank
garansi yang hanya dapat dicairkan setelah beberapa bulan berikutnya. Ibnul
Qayyim rahimahullah mengatakan, “Allâh mensyaratkan pada akad salam
agar pembayaran dilakukan dengan kontan. Apabila ditunda, niscaya kedua
belah pihak sama-sama berhutang tanpa ada faedah yang didapat. Oleh
karena itu, akad ini dinamakan dengan as-salam, karena ada pembayaran di
muka. Sehingga bila pembayaran ditunda, maka itu termasuk kategori jual
beli hutang dengan hutang, bahkan itulah praktik jual beli hutang dengan
hutang yang sebenarnya, dan beresiko tinggi, serta termasuk praktek untung-
untungan.”

3) Penyebutan kriteria, jumlah dan ukuran barang dilakukan saat transaksi


berlangsung.
Dalam akad jual beli salam, penjual dan pembeli wajib menyepakati kriteria
barang yang dipesan. Kriteria yang dimaksud di sini ialah segala yang
bersangkutan dengan jenis, macam, warna, ukuran, jumlah barang serta
setiap kriteria yang diinginkan dan berpengaruh pada harga barang.

Contoh ; Apabila Ali hendak memesan beras kepada Budi, maka Ali wajib
menyebutkan jenis beras yang diinginkan (misalnya Beras Rojolela), asal
barangnya, kualitas dan kuantitasnya, perkarung diisi berapa kilogram
serta produk tahun kapan.
Kriteria-kriteria ini pasti berpengaruh pada harga. Karena harga beras akan
berbeda sesuai dengan perbedaan jenis, kualitas, asal daerah dan tahun
panennya. Perhatikanlah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam hadits
di atas :

َ َ َ‫من أَسْ ل‬
ٍ ُ‫وم إلى أ َج ٍل َمعْ ل‬
‫وم‬ ٍ ُ‫وم َو َو ْز ٍن َمعْ ل‬
ٍ ُ‫ف في َشيْ ٍء َففِي َكي ٍْل َمعْ ل‬

Barangsiapa memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah


takaran, timbangan serta tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]

4) Jual beli salam harus ditentukan dengan jelas tempo penyerahan barang
pesanan
Kedua transaktor pada akad jual beli salam harus ada kesepakatan
tentang tempo penyerahan barang pesanan, berdasarkan sabda Rasûlullâh

Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

َ
ٍ ُ‫إلى أ َج ٍل َمعْ ل‬
‫وم‬
sampai tempo yang jelas [Muttafaqun ‘alaih]

juga firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :

ْ ‫ْن إِلَ ٰى أَ َج ٍل ُم َس ًّمى َف‬


‫اك ُتبُو ُه‬ َ ‫َيا أَ ُّي َها الَّذ‬
ٍ ‫م ِب َدي‬.ْ ‫ِين آ َم ُنوا إِ َذا َتدَا َي ْن ُت‬
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. [al-
Baqarah/2:282]
Ayat dan hadits diatas menunjukkan ada pensyaratan tempo yang jelas dalam
jual beli salam.

5) Barang pesanan sudah tersedia di pasar saat jatuh tempo agar dapat
diserahkan pada waktunya
Kedua belah pihak wajib memperhitungkan ketersediaan barang pada saat
jatuh tempo. Persyaratan ini demi menghindarkan akad salam dari praktek
tipu-menipu dan spekulasi perjudian, yang keduanya diharamkan dalam
syari’at Islam.

Seandainya barang pesanan dipastikan tidak ada pada saat jatuh tempo maka
jual beli salam tidak sah. Disamping menyebabkan tidak sah, pengabaian
syarat ini juga akan sangat berpotensi memancing percekcokan dan
perselisihan yang tercela. Padahal setiap perniagaan yang rentan
menimbulkan percekcokan antara penjual dan pembeli pasti dilarang.

6) Barang pesanan adalah barang yang pengadaannya ada dalam tanggung jawab
penjual, bukan dalam bentuk satu barang yang telah ditentukan dan
terbatas.
Maksudnya, barang yang dipesan hanya ditentukan kriterianya. Dan
pengadaannya, diserahkan sepenuhnya kepada penjual. Sehingga ia memiliki
kebebasan dalam pengadaan barang yang sesuai dengan semua kreteria dan
ukuran atau jumlah yang diinginkan pembeli.
Penjual bisa mendatangkan barang miliknya yang telah tersedia atau
membelinya dari orang lain.
Persyaratan ini ditetapkan agar akad salam terhindar dari unsur gharar
(penipuan). Sebab bisa saja kelak ketika jatuh tempo, karena faktor tertentu,
penjual tidak bisa mendatangkan barang dari miliknya atau dari
perusahaannya.

Contoh :
Seseorang melakukan jual beli salam untuk memesan sebuah mobil
tertentu misalnya mobil pribadi milik Ali satu-satunya. Barang yang telah
ditentukan seperti ini tidak bisa dijadikan obyek dalam jual beli salam.
Karena keabsahan akad jual belinya sangat tergantung pada barang yang
telah ditentukan itu. Ini sangat berbeda dengan jual beli salam yang
hanya menentukan barang dengan criteria-kriteria tertentu, sehingga si
penjual bebas mencarikan harus berupa pesanan yang diserahkan
setelah jatuh tempo. Tidak bolehnya dengan barang terbatas ini karena
barang tersebut bisa saja hilang sebelum jatuh tempo penyerahan
sehingga jadilah gharar.

Tidak boleh juga dalam jual beli salam ini membatasinya dengan
menyatakan produk si fulan saja atau dari kebunnya fulan saja. Kecuali
bila produk perusahaan besar yang memiliki karakteristik tertentu.
Seperti membeli mobel mercy seri 200 model tahun 1994 misalnya, ini
diperbolehkan karena tidak dimiliki perusahaan selainnya.

Jika memungkinkan, penyerahan barang pesanan dilakukan di tempat akad


berlangsung dan bila tidak memungkinkan maka harus ditentukan tempat
penyerahannya dalam akad tersebut.

Apabila bisa terjadi kesepakatan tentang tempat penyerahannya maka


diperbolehkan menetapkannya dan bila tidak terjadi kesepakatan maka
kembali ke tempat akad terjadi apabila memungkinkan.

Demikianlah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad jual beli salam, semoga
dapat memberikan pencerahan kepada masyarakat dalam masalah ini.

Contoh Kasus
Seorang petani yang memiliki 1 hektar sawah mengajukan pembiayaan ke bank
syari’ah sebesar Rp 3.000.000,00 dengan akad jual-beli As-Salam. Penghasilan yang
didapat dari sawah biasanya berjumlah 2 ton dan kedelai dijual dengan harga Rp
2.000,00 per kg. Ia akan menyerahkan kedelai 3 bulan lagi.

Ilustrasi perhitungannya adalah sebagai berikut:


Bank syari’ah akan mendapatkan kedelai
Rp 3.000.000,00 = 1,5 ton
Rp 2.000,00 per kg
Setelah melalui negoisasi bank syari’ah menjual kembali pada pihak ke-3, yaitu
pengepul / agen sembako dengan sistem murabahah :
Harga beli Rp 2.000,00 per kg + margin atau keuntungan Rp 400,00/ kg, sehingga
harga jual adalah Rp 2.400,00 per kg.
berarti total dana yang kembali sebesar :
1,5 ton x Rp 2.400,00 = Rp 3.600.000,00, berarti pihak bank syari’ah mendapat
keuntungan dari jual-beli ini sebesar Rp 600.000,00
(Rp 3.600.000,00 – Rp 3.000.000,00)
Rp 600.000,00 x 100 = 20%.
Rp 3.000.000,00

Kemudian pengepul atau agen sembako menjual kedelai tersebut ke pasar dengan
harga Rp 3.000,00 / kg, sehingga mendapatkan keuntungan Rp 600,00 perkilo
kedelai (Rp 3-000.00 – Rp 2.400.00)

Keterangan proses jual beli As-Salam

1. Petani mengajukan pendanaan dengan menggunakan akad jual-beli as-Salam


dengan ketentutan yang disepakati oleh pihak Bank dan petani. Syarat-syarat
pengajuan pendanan terlampir pada akad salam, yaitu menyebutkan komoditi
atau spesifikasi barang yang akan dijual. Pada kesepakatan dengan Bank,
ditentukan juga harga beli dari produk yang didanai oleh Bank sehingga akan
menentukan jumlah dana yang diserahkan Bank kepada Nasabah. Selain itu,
pada pasal ini juga menyatakan kesepakatan pertanggungan biaya-biaya yang
muncul diluar buaya produksi, misalkan ongkos pengiriman.
2. Setelah masa panen kedelai, petani menyerahkan kedelai sesuai dengan
kesepakatan di saat akad jual-beli as-Salam.
3. Bank syari’ah menjual kedelai menggunakan akad murabahah kepada pengepul
atau agen dengan kesepakatan harga beli ditambah dengan keuntungan.
Kedelai dapat diambil secara langsung kepada petani atau dengan sesuai
kesepakatan.
4. Pengepul atau agen membayar sejumlah dana sesuai kesepakatan.
5. Pengepul atau agen menjual kedelai ke pasar dengan keuntungan Rp 600,00.

5. JUAL BELI ISTISHNA’ PENYALURAN DANA


"Jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan
persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan."

Otoritas Jasa Keuangan

Apa itu Istishna’ ?

Dalam lembaga keuangan syari’ah, istilah Istishna’ acap kali digunakan. Lalu apakah yang
dimaksud dengan istishna’ ? Istishna’ adalah akad pemesanan suatu barang dari pihak 1
(pemesan) ke pihak 2 (produsen). Adapun dalam Istishna’, pemesan memiliki kriteria sendiri
untuk dibuatkan barang tersebut oleh produsen. Singkat kata, produsen harus membuatkan
barang pesanan sesuai dengan keinginan pemesan.

Akad Istishna’ sudah dikenal sejak dahulu kala di zaman Rasulullah, Nabi Muhammad SAW.
Di salah satu riwayatnya, Rasulullah diceritakan memesan cincin dari perak. Bentuk
pemesanan barang tersebut masuk ke dalam akad istishna’. Lalu, akad ini pun di zaman-
zaman selanjutnya disepakati oleh ulama sebagai salah satu akad perdagangan yang sesuai
dengan syariat Islam.

Contoh Transaksi dengan Akad Istishna’

Pada dasarnya akad istishna’ adalah kegiatan pemesanan suatu produk kepada produsen
produk tersebut. Kalau didengar sekilas, mungkin Anda akan membayangkan istishna’
berlaku untuk barang kerajinan saja, namun sebenarnya banyak juga transaksi akad
Istishna’ yang ada tanpa disadari.

 Rumah.

Rumah apabila dipesan sesuai dengan keinginan Anda, termasuk dalam akad
istishna’. Misalnya, ingin rumah dengan 3 kamar, desainnya minimalis, dan ada
kolam renangnya. Untuk memenuhi keinginan ini, Anda bisa memesan rumah KPR di
perbankan syariah yang menyediakan fasilitas tersebut.

 Pakaian.

Apabila Anda ingin pakaian kustom sesuai dengan selera, juga termasuk dalam
istishna’. Misalnya, Anda ingin memesan jersey sepak bola dengan desain sendiri
untuk 40 orang. 

 Sepatu.

Apabila ukuran sepatu Anda jarang ada di pasaran, Anda pastinya akan memesan
ukuran tersebut ke tukang sepatu. Apabila melakukan transaksi tersebut
berdasarkan syariat Islam, hal tersebut termasuk akad istishna’. Dll.

Syarat-syarat Akad Istishna’

 Kesepakatan kriteria barang disebutkan di awal

 Hal ini dilakukan agar tidak terjadi perselisihan nantinya saat barang atau produk
pesanan sudah jadi. Oleh sebab itu, kriteria barang harus jelas dideskripsikan oleh
pemesan kepada produsen sejak awal.

 Waktu penyerahan barang tidak ditentukan

 Dalam akad istishna’ disebutkan bahwa barang penyerahan barang yang sudah selesai
dipesan tidak ditentukan. Apabila ditentukan, akadnya akan berubah menjadi akad
salam. Akan tetapi, hal tersebut diperdebatkan oleh ulama. Menurut tradisi,
sebenarnya penentuan penyerahan barang boleh dilakukan.

 Barang yang dipesan sudah biasa menggunakan akad istishna’

  Ada pendapat yang menyatakan bahwa barang yang bisa ditransaksikan dengan
akad istishna’ adalah barang yang sejak dulu sudah ditransaksikan dengan akad tersebut.
Namun pendapat ini tidaklah kuat, menurut dalil-dalil tentang akad istishna’ dalam Al Qur
an dan As Sunnah, tidak ada batasan barang yang bisa menggunakan akad Istishna’.

Jual Beli Istishna’

1. Pengertian Istishna’

Lafal Istishna’ berasal dari kata shana’ah (‫نع‬..‫ )ص‬yang artinya membuat sesuatu.
Kemudian ditambah alif, sindanta’ menjadi Istishna’ (‫نع‬..‫)استص‬. Secara etimologi Istishna’
artinya minta dibuatkan. Sedangkan menurut terminologi merupakan suatu kontrak jual beli
antara penjual dan pembeli, dimana pembeli memesan barang dengan kriteria yang jelas
dan harganya yang dapat diserahkan secara bertahap atau dapat juga dilunasi.

Sistem Istishna’ adalah sistem pembiayaan atas dasar pesanan, untuk kasus ini
dimana objek atau barang yang diperjual belikan belum ada. Menurut ulama fiqh istishna’
sama dengan salam dari segi objek pesanannya yaitu sama-sama dipesan terlebih dahulu
dengan ciri-ciri dan kriteria khusus, sedangkan perbedaannya adalah jika Salam
pembayarannya dilakukan diawal sekaligus, sedangkan Istishna’ bisa dibayar diawal,
angsuran dan bisa juga diakhir.

Menurut Wahbah Zuhaili Istishna’ adalah:

‫ون‬..‫انع وتك‬..‫نعھ الص‬..‫ا سیص‬..‫راء م‬..‫د على ش‬..‫أي العق‬, ‫تعریف اإلستصناع ھو عقد مع صانع علي عمل ثيء معین في الذمة‬
‫العین ولعمل من الصنع‬.

Artinya: Ketahuilah Istishna’ adalah suatu akad beserta seorang produsen untuk
mengerjakan sesuatu yang dinyatakan dalam perjanjian, yakni akad untuk membeli sesuatu
yang dibuat seorang produsen dan barang serta pekerjaan dari pihak produsen tersebut.

Sedangkan menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah ,

‫واالستصناعھوشرأمایضعوقفاللطلب‬

Artinya:

Istishna’ adalah “membeli sesuatu yang dibuat sesuai dengan pesanan.”

Istishna’ secara etimologi adalah masdar dari sishna a’asy-sya’i, artinya meminta
membuatkan sesuatu, yakni meminta kepada seseorang pembuat untuk mengerjakan
sesuatu. Sedangkan secara terminologi Istishna’ adalah transaksi terhadap barang dagangan
dalam tanggungan yang disyaratkan untuk mengerjakannya. Objek transaksinya adalah
barang yang harus dikerjakan dan pekerja pembuat barang itu.

Dalam buku Fiqh Muamalah disebutkan, jual beli Istishna’ adalah jual beli antara
pemesan (mustashni’) dengan penerima pesanan (shani’) atas sebuah barang dengan
spesifikasi tertentu (mashnu’), contohnya untuk barang-barang industri maupun properti.
Spesifikasi dan harga barang haruslah sudah disepakati di awal akad, sedangkan
pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan. Apakah pembayaran dilakukan di muka,
melalui cicilan atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa yang akan datang.

Sedangkan menurut kompilasi hukum ekonomi syariah, Istishna’ adalah jual beli
barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria persyaratan tertentu yang
disepakati antara pihak pemesan dan pihak penjual.

Dalam buku Bank Islam oleh Adiwarman A.Karim yang menjelaskan tentang fatwa
DSN-MUI, terlihat bahwa jual beli Istishna’ adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan
pembuatan tertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara
pemesan (mustashni’) dan penjual (shani’).

Transaksi jual beli Istishna’ merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan
pembuat barang. Dalam kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli.
Kedua belah pihak bersepakat atas harga serta sistem pembayarannya, apakah
pembayarannya dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai waktu pada masa yang
akan datang.

Menurut jumhur fuqaha, jual beli Istishna’ merupakan suatu jenis khusus dari akad
as-salam. Biasanya, jenis ini digunakan dibidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan
jual beli Istishna’ mengikuti ketentuan dan aturan jual beli as-Salam.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat dipahami, bahwa jual beli
Istishna’ adalah akad antara dua pihak dimana pihak pertama (orang yang memesan)
meminta kepada pihak kedua (orang yang membuat/ produsen) untuk dibuatkan suatu
barang. Pihak pertama disebut mustashni’ sedangkan pihak kedua, yaitu penjual disebut
shani’, dan sesuatu yang menjadi objek akad disebut mushnu’ atau barang yang dipesan
(dibuat).

Akad Istishna’ adalah akad yang menyerupai akad as-salam, karena bentuknya
menjual barang yang belum ada (ma’dum) dan sesuatu yang akan dibuat itu pada akad
ditetapkan dalam tanggungan pembuat sebagai penjual, hanya saja ada beberapa
perbedaan dengan as-salam karena:

1. Dalam Istishna’ harga atau alat pembayaran tidak harus dibayar dimuka seperti pada akad
as-salam

2. Tidak ada ketentuan tentang lamanya pekerjaan dan saat penyerahan.

3. Barang yang dibuat tidak harus ada dipasar.


Dalam redaksi lain, as-salam berlaku untuk barang yang dibuat dan lainnya. Adapun
Istishna’ khusus bagi sesuatu yang disyaratkan untuk membuatnya. Dalam as-salam juga
disyaratkan membayar dimuka, sedangkan Istishna’ tidak disyaratkan demikian.

Sebagai bentuk jual beli, Istishna’ mirip dengan as-salam. Namun, ada beberapa
perbedaan lainnya diantaranya adalah:

1.Objek as-salam selalu barang yang harus diproduksi, sedangkan objek Istishna’ bisa
untuk barang apa saja, baik harus diproduksi lebih dahulu maupun tidak diproduksi
lebih dahulu.

2.Harga dalam akad as-salam harus dibayar penuh dimuka, sedangkan harga dalam
Istishna’ tidak harus dibayar penuh dimuka melainkan dapat juga dicicil atau dibayar
dibelakang.

3.Akad as-salam tidak dapat diputuskan secara sepihak, sementara dalam Istishna’ akad
dapat diputuskan sebelum perusahaan mulai memproduksi.

4.Waktu penyerahan tertentu merupakan bagian penting dari akad as-salam, namun
dalam akad Istishna’ tidak merupakan keharusan.

2. Dasar Hukum Jual Beli Istishna’

Secara umum landasan syariah yang berlaku pada jual beli salam juga berlaku pada
jual beli Istishna’, sungguh demikian, para ulama membahas lebih lanjut keabsahan jual beli
Istishna’ dengan penjelasan sebagai berikut:

Menurut mazhab Hanafi, jual beli Istishna’ termasuk akad yang dilarang. Mereka
mendasarkan pada argumentasi bahwa pokok kontrak jual penjualan harus ada dan dimiliki
penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak jual beli Istishna’ atas dasar
Istihsan karena alasan berikut ini :

1.Masyarakat telah mempraktekan jual beli Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa
ada keberatan sama sekali. Hal demikian menjadikan Istishna’ sebagai kasus Ijma’ atau
konsensus umum.

2.Jual beli Istishna’ syah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama
tidak bertentangan dengan al-Qur an dan as-Sunnah.

3.Keberadaan jual beli Istishna’ berdasarkan kebutuhan masyarakat. Banyak yang sering
terjadi barang yang tidak tersedia di pasar sehingga mereka cenderung melakukan
kontrak agar orang lain membuatkan barang untuk mereka

4.Di dalam syari’ah dimungkinkan adanya penyimpanan terhadap qiyas bedasarkan ijma’
ulama.

Dalam buku fiqh muamalah oleh Ahmad Wardi Muslich, dijelaskan bahwa menurut
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, akad Istishna’ dibolehkan atas dasar akad as-salam dan
kebiasaan manusia. Syarat-syarat yang berlaku pada salam juga berlaku untuk Istishna’.
Diantara syarat tersebut adalah penyerahan seluruh harga (alat pembayaran) di dalam
majelis akad, seperti halnya akad salam, menurut Syafi’iyah Istishna’ itu hukumnya sah, baik
masa penyerahan barang dibuat (dipesan) ditentukan atau tidak, termasuk apabila
diserahkan secara tunai.

Sebagian fuqaha kontemporer berpendapat bahwa jual beli Istishna’ adalah syah
atas dasar qiyas dan aturan umum syari’ah karena itu memang jual beli biasa dan si penjual
akan mampu mengadakan barang tersebut pada saat penyerahan. Demikian juga terjadinya
kemungkinan perselisihan atas dasar jenis dan kualitas suatu barang dapat di minimalkan
dengan pencantuman as-salam spesifikasi dan ukuran-ukuran serta bahan material
pembuatan barang tersebut.

Istishna’ merupakan salah satu pengembangan jual beli, waktu penyerahan barang
dilakukan dikemudian hari sementara pembayarannya dapat dilakukan melalu cicilan atau
ditangguhkan. Karena jual beli Istishna’ merupakan khusus dari jual beli as-salam, maka
landasan hukum syariah jual beli Istishna’ mengikuti ketentuan jual beli as-salam. Dalil yang
mempebolehkan Istishna’ adalah sebagai berikut:

Landasan al-Qur an

Dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan persoalan ibadah, al-Qur an


mengatur dan memberikan secara rinci. Sementara dalam masalah-masalah muamalah, al-
Qur an memberikan gambaran secara global (umum), termasuk jugadalam masalah jual beli
dengan Istishna’. Allah Swt berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 282:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai
untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya”.(Q.S. Al-Baqarah : 282).

Dari ayat di atas telah jelas dikemukakan dalam Islam pelaksanaan jual beli Istishna’
bahwa pembeli membayar pada masa penangguhan yang terlebih dahulu disepakati kapan
pembayaran dilakukan. Maka diharuskan menuliskannya dan adanya kesaksian dari
kesepakatan yang dilakukan kedua belah pihak, maka jika memungkinkan harus disaksikan
oleh dua orang saksi. Hali ini dikarenakan jika kedua belah pihak dapat dipercaya atau
terkadang salah satunya meninggal dunia, sehingga tidak dapat diketahui lagi pihak penjual
atas pembeli dan sebaliknya.

Kemudian dalam al-Qur an juga dijelaskan bahwa dalam jual beli harus bebas
memilih jika ada unsur pemaksaan tanpa hak, jual beli tidak syah berdasarkan firman Allah
swt surat an-Nisa ayat 29:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah
maha penyayang kepadamu”.

Ayat ini dengan tegas melarang orang memakan harta orang lain atau hartanya
sendiri dengan jalan bathil. Memakan harta sendiri dengan jalan bathil adalah
membelanjakan hartanya pada jalan maksiat. Memakan harta orang lain dengan cara bathil
ada berbagai caranya, seperti pendapat Suddi, memakannya dengan jalan riba, judi,
menipu, menganiaya. Termasuk juga dalam jalan yang batal ini segala jual beli yang dilarang
syara’.

Landasan As-Sunnah

Nabi Muhammad SAW bersabda:

Telah menceritakan kepada kami Al Hasan bin Ali Al Khallal berkata, telah
menceritakan kepada kami Bisyr bin Tsabit Al-Bazzar berkata, telah menceritakan kepada
kami Nashr bin Al-Qasim dari 'Abdurrahman bin Dawud dari Shalih bin Shuhaibdari
Bapaknya ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihiwasallam bersabda: "Tiga hal yang di
dalamnya terdapat barakah; jual beli yang memberi tempo, peminjaman, dan campuran
gandum dengan jelai untuk dikonsumsi orang-orang rumah bukan untuk dijual.(H.R. Ibnu
Majah).

Landasan Ijma’

Menurut mazhab Hanafi, jual beli Istishna’ termasuk akad yang dilarang karena
secara qiyasi (prosedur analogi) bertentangan dengan semangat jual beli juga termasuk jual
beli ma’dum (jual beli yang masih belum ada). Dalam jual beli kontrak penjualan harus ada
dan dimiliki oleh penjual. Sementara dalam Istishna’ pokok kontrak itu belum ada atau tidak
dimiliki penjual. Meskipun demikian, mazhab Hanafi menyetujui kontrak Istishna’ atas dasar
Istihsan (menganggapnya baik) karena alasan sebagai berikut:

a.Masyarakat telah mempraktekan jual beli Istishna’ secara luas dan terus menerus tanpa
ada keberatan sama sekali. Hal inilah yang melatar belakangi perbedaan ulama dalam
menghukumi jual beli Istishna’.

b.Di dalam syariah dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap qiyas, dan hal ini telah
menjadi konsensus ulama (ijma’).

c.Keberadaan jual beli Istishna’ didasarkan atas kebutuhan masyarakat. Banyak orang
memerlukan barang yang tidak tersedia di pasar, sehingga mereka cendrung melakukan
kontrak agar orang lain membuatkan barang yang diperlukan tersebut.

d.Jual beli Istishna’ sah sesuai dengan aturan umum mengenai kebolehan kontrak selama
tidak bertentangan dengan Al-Qur an dan As-Sunnah.

3. Rukun dan Syarat Jual Beli Istishna’

1) Rukun Jual Beli Istishna’

Rukun dari Istishna’ yang harus terpenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu :

a. Pelaku akad, yaitu mustashni’ (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan
barang, dan shani’ (penjual) adalah pihak yang memproduksi barang pesanan.
b. Objek akad, yaitu barang (mashnu’) dengan spesifikasinya dan harganya.

c. Shighat yaitu ijab dan qabul.

Adapun penjelasan lebih jelas mengenai rukun transaksi Istishna’meliputi:

1.Harus jelas spesifikasinya.

2.Penyerahannya dilakukan Transaktor, yakni pembeli (mustashni’) dan penjual (shani’)


Transaktor terdiri atas pembeli dan penjual kedua transaktor diisayaratkan memilki
kompetensi berupa akil baligh dan memiliki kemampuan yang optimal seperti tidak gila,
tidak sedang dipaksa, dan lain-lain yang sejenis. Adapun untuk transaksi dengan anak
kecil dapat dilakukan dengan izin dan pantauan dari walinya. Terkait dengan penjual,
DSN mengharuskan agar penjual menyerahkan barang tepat pada waktunya dengan
kualitas dan jumlah yang telah disepakati. Penjual diperbolehkan menyerahkan barang
lebih cepat dari waktu yang telah disepakati dengan syarat kualitas dan jumlah barang
sesuai dengan kesepakatan dan ia tidak boleh menuntut tambahan harga.

Objek akad meliputi barang dan harga barang Istishna’

Hukum objek akad transaksi jual beli Istishna’ meliputi barang yang diperjual belikan dan
harga barang tersebut. Terkait dengan barang Istishna’ DSN dalam fatwanya
menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi. Ketentuan tersebut
adalah:

3.Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditentukan berdasarkan kesepakatan.

4.Pembeli (mustashni') tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.

5.Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang yangsejenis sesuai kesepakatan.

6.Memerlukan proses pembuatan setelah akad disepakati.

7.Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi pemesan, bukan barang massal.

c. Ijab dan kabul yang menunjukan pernyataan kehendak jual beli Istishna’kedua belah
pihak.

Ijab dan qabul Istishna’ merupakan pernyataan dari kedua belah pihak yang berkontrak,
dengan cara penawaran dari penjual danpenerima yang dinyatakan oleh pembeli.
Pelepasan perjanjian dapat dilakukan dengan lisan, isyarat (bagi yang tidak bisa bicara),
tindakan maupun tulisan. Tergantung pada praktek yang lazim di masyarakat dan
menunjukan keridhaan satu pihak untuk penjual barang Istishna’ dan pihak pembeli
barang Istishna’. Dan pada dasarnya Istishna’ tidak dapat dibatalkan, kecuali memenuhi
kondisi sebagai berikut:
a.Kedua belah pihak setuju untuk menghentikannya.

b.Akad batal demi hukum karena timbul kondisi hukum yang dapat menghalangi
pelaksanaan atau penyelesaian akad.

2) Syarat Jual Beli Istishna’

Syarat jual beli Istishna’ menurut pasal 104 s.d. pasal 108 kompilasi hukum ekonomi
syari’ah adalah sebagai berikut:

a. Jual beli Istishna’ mengikat setelah masing-masing pihak sepakat atas barang yang
dipesan.

b. Jual beli Istishna’ dapat dilakukan pada barang yang bisa dipesan.

c. Dalam jual beli Istishna’ identifikasi dan deskripsi barang yang dijual harus sesuai
permintaan pemesan.

d. Pembayaran dalamjual beli Istishna’ dilakukan pada waktu dan tempat yang
disepakati.

e. Setelah akad jual beli pesanan mengikat, tidak boleh satupun tawar menawar kembali
terhadap isi akad yang sudah disepakati

f. Jika objek dari barang pesanan tidak sesuai dengan spesifikasi, maka pesanan dapat
menggunakan hak pilihan (khiyar) untuk melanjutkan atau membatalkan pesanan.

Adapun syarat yang diajukan ulama untuk memperbolehkannya transaksi jual beli sistem
pesanan adalah:

1. Adanya kejelasan jenis, ukuran, macam dan sifat barang karena ia merupakan objek
transaksi yang harus diketahui spesifikasinya.

2. Merupakan barang yang biasa ditransaksikan atau berlaku dalam hubungan antar
manusia. Dalam arti, barang tersebut bukanlah barang aneh yang tidak dikenal dalam
kehidupan manusia.

3. Tidak boleh adanya penentuan jangka waktu, jika jangka waktu penyerahan barang
ditetapkan, maka kontrak ini akan berubah menjadi akad as-salam, menurut pandangan
Abu Hanifah.

Penetapan Waktu Penyerahan Barang

Dalam akad jual beli Istishna’ waktu penyerahan barang tidak merupakan keharusan.
Meskipun waktu penyerahan tidak harus ditentukan dalam akad Istishna’, pembeli dapat
menetapkan waktu penyerahan maksimal yang berarti bahwa jika perusahaan terlambat
memenuhi, pembeli tidak terikat untuk menerima barang dan membayar harganya.
Hukum objek akad transaksi jual beli Istishna’ meliputi barang yang diperjual belikan
dan harga barang tersebut. Terkait dengan barang Istishna’ DSN dalam fatwanya
menyatakan bahwa ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi. Ketentuan tersebut
adalah:

a. Harus jelas ciri-cirinya dan dapat diakui sebagai hutang.

b. Harus jelas spesifikasinya.

c. Penyerahannya dilakukan kemudian.

d. Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan.

e. Pembeli (mustashni’) tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya.

f. Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai dengan
kesepakatan.

g. Memerlukan proses pembuatan setelah akan disepakati.

h. Barang yang diserahkan harus sesuai dengan spesifikasi pemesan,bukan baranga


massal.

i. Dalam hal terdapat cacat atau barang tidak sesuai dengan kesepakatan, pemesan
memiliki hak khiyar (hak pilih) untuk melanjutkan atau membatalkan.

Meskipun jual beli Istishna’ dibolehkan dalam Islam, akan tetapi dalam
pelaksanaannya harus memenuhi aturan-aturan hukum Islam. Seperti penipuan terhadap
banyaknya barang pesanan yang tidak sesuai dengan pembayaran yang tidak tepat pada
waktu, merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan dalam Islam, karena ini merupakan
penzaliman karena tidak sesuai dengan akad.

Yusuf Qardhawi menjelaskan tentang bentuk jual beli sebagai berikut:

1. Jual beli yang membawa kepada kemaksiatan adalah terlarang (haram) misalnya babi,
khamar, makanan dan minuman yang diharamkan secara umum.

2. Transaksi jual beli yang samar dan belum jelas hasilnya atau barang tersebut tidak dapat
diserahkan kepada pembeli. Seperti menjual buah-buahan yang masih dipohon,
menjual burung di udara semuanya diharamkan apabila ada unsur penipuan.

3. Islam memberikan kebebasan jual beli pada setiap orang maka persaingan yang sehat
juga dibenarkan.

4. Jual beli yang diberantas Islam adalah membeli atau menjual sesuatu yang diketahui
sebagai hasil perampokan, cucian atau yang diperoleh secara tidak benar
M. Qurais Shihab menetapkan empat prinsip dalam ekonomi Islam: tauhid,
keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab. Selanjutnya, dalam menetapkan etika
bisnis ia merincikan sebagai berikut:

a. Kejujuran

b. Keramah tamahan

c. Penawaran yang jujur

d. Pelanggan yang tidak sanggup membayar diberi waktu

e. Tegas dan adil dalam timbangan dan takaran

f. Tidak dibenarkan monopoli.

Adapun ketentuan pembayaran menurut fatwa tentang jual beli Istishna’ adalah sebagai
berikut:

1. Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang,barang ataupun
manfaat.

2. Pembayaran dilakukan sesuai dengan kesepakatan.

3. Pembayaran tidak boleh dalam bentuk pembayaran utang.

Ketentuan lain dalam jual beli Istishna’sebagai berikut:

a. Dalam hal pesanan sudah dikerjakan sesuai dengan kesepakatan, hukumnya mengikat.

b. Semua ketentuan dalam jual belias-salam yang tidak disebut diatas berlaku pula pada jual
beli Istishna’.

c. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajiban atau terjadi perselisihan diantara kedua
belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah
tidak tercapainya kesepakatan melalui musyawarah

4. Hikmah-Hikmah Jual Beli Istishna’

Setiap apapun yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya pasti mempunyai hikmah-hikmah yang
terkandung didalamnya. Akan tetapi, karena kesibukan manusia itu sendiri, terkadang
manusia tidak pernah merasakan hikmah yang terkandung di dalamnya. Manusia tidak biasa
menyingkap rahasia dari apa yang telah Allah SWT isyaratkan. Tidak jarang manusia
menganggap bahwa jika apa yang terjadi pada dirinya tidak sesuai dengan harapan, maka
mereka terkadang menganggap Allah SWT tidak adil atau hal-hal lainnya yang semuanya itu
bisa menutup pintu dibukanya rahmat.

Begitu pun hikmah yang terkandung dalam sistem jual beli Istishna’ (pesanan) adalah :
1. Untuk mempermudah manusia dalam bermuamalat.
2. Untuk mensejahterakan ekonomi manusia.
3. Merupakan kebutuhan masyarakat yang memerlukan barang yang tidak tersedia di
pasar.
4. Orang yang mempunyai perusahaan seringkali butuh uang untuk memenuhi
kebutuhan perusahaannya, bahkan sewaktu-waktu bisa menjadi kendala atas
kemajuan perusahaan.
5. Sebagai media tolong-menolong antara manusia yang satu dengan yang lainnya.

APLIKASI PEMBIAYAAN ISTISHNA’ BNI SYARIAH


Pengertian
Istishna’ merupakan transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan
barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai
dengan kesepakatan.
Landasan Syari’ah
Dari Al-Qur’an: al Baqarah ayat 282
....... ‫ إلي أجل مسمي فاكتبوه‬.‫يا أيها الذين ءامنوا إذا تداينتم بدين‬
Artinya: wahai orang-orang yang beriman jika kalian berhutang dengan sebuah
hutang dengan waktu yang telah di tentukan, maka tuliskanlah hutang tersebut……
Dari Hadits:
)‫من أسلف في شئ ففي كيل معلوم ووزن معلوم إلي أجل معلوم ( أخرجه األئمة الستة‬
“ Barang siapa yang melakukan salaf, hendaknya melakukan dengan takaran yang jelas dan
timbangan yang jelas pula untuk jangka waktu yang telah diketahui.
Maksud Dan Tujuan Pembiayaan Ihtishna’
1) Untuk membiayai kebutuhan investasi maupun modal kerja untuk pengadaan barang baik
sektor pertanian, perdagangan, maupun industri.
2) Untuk pembelian dengan pesanan barang konsumsi misalnya rumah tinggal indent.
Ketentuan Dan Objek
1) Pembiayaan istishna menggunakan fatwa DSN no 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang jual beli
istishna dan no 22/ DSN-MUI/II/2002 tetang istishna pararel.
2) Istishna’ merupakan akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barang tertentu
dengan kriteria dan persyaratan yang disepakati antara pemesan (pembeli/Mustashni)
dengan penjual ( pembuat barang/ Shani’).
3) Istishna’ pararel merupakan suatu bentuk akad istishna’ antara pemesan
( pembeli/mustashni) dengan penjual ( pembuat/shani’) kemudian untuk memenuhi
kewajibannya kepada mustashni, penjual memerlukan pihak lain sebagai shani’.
4) Pembiayaan BNI Istishna merupakan pembiayaan produktif maupun konsumtif untuk
memenuhi kebutuhan barang produksi atau barang konsumtif yang dilakukan dengan
cara pemesanan secara syari’ah sesuai dengan kemampuan masing-masing nasabah
dengan akad istishna.
5) Karakteristik
a) Pembeli (bank) menguasai produsen untuk menyediakan barang pesanan sesuai
spesifkasi sesuai dengan yang disyaratkan nasabah dan bank menjualnya dengan
harga yang disepakati.
b) Harga barang tidak berubah selam jangka waktu akad.
c) Barang pesanan harus memenuhi kriteria:
- Memerlukan proses pembuatan setelah akad selesai
- Sesuai dengan spesifikasi pemesan (costumized) bukan produk masal
- Harus diketahui karakteristiknya secara umum, meliputi jenis, spesifikasi, teknis,
kualitas, dan kuantitas.
d) Akad istishna pertama antara pemesan dengan bank harus terpisah dengan akad
kedua yaitu antara bank dengan penjual, sehingga antara pemesan dengan
penjual harus merupakan pihak yang berbeda.
e) Akad dalam istishna pararel terdiri dari:
1. Akad bank dengan nasabah (akad pembiayaan).
2. Akad bank dengan produsen/ suplier (berupa bukti pemesanan/PKS/call
name) dapat pula deberi wakalah kepada nasabah untuk berakad istishna
dengan produsen.
f) Pada dasarnya akad istishna tidak dapat dibatalakan kecuali kedua belah pihak
setuju untuk menghentikannya, dan akad dibatalkan demi hukum karena timbul
kondisi hukum yang dapat menghalangi pelaksanaan atau penyelesaian akad.
g) Nasabah pembeli mempunyai hak untuk memperoleh jaminan dari penjual (Bank)
atas jumlah yang telah dibayarkan dan penyerahan barang pesanan sesuai
dengan spesifikasi dan tepat waktu.
h) Penjual (bank) mempunyai hak untuk memperoleh jaminan atas harga yang
disepakati dan akan dibayar tepat waktu, pemindahan hak akan dilakukan saat
penyerahan sebesar jumlah yang disepakati.
i) Pembeli (nasabah) tidakboleh menjual barang atau meukarnya sebelum
menerimanya.
j) Bank tidak dapat meminta tambahan harga apabila nasabah menerima barang
dengan kualitas lebih tinggi kecuali terdapat kesepakatan.
k) Bank tidak diharuskan memberi potongan harga (discount) apabila nasabah
menerima barang dengan kualitas rendah kecuali terdapat kesepakatan.
l) Pendapatan istishna adalah total harga yang disepakati dala akad termasuk margin
keuntungan. Margin adalah selisih penjualan dengan harga pokok istishna.
m) Pendaptan istishna diakui dengan menggunakan metode prosentase
penyelesaian.
Rukun Dan Persyaratan Istishna
1) Rukun istishna
a) Penjual/ bank
b) Pembeli/ nasabah
c) Barang yang diperjual-belikan
d) Ijab qabul (shigat) yang dituangkan dalam bentuk akad pembiayaan.
2) Persyaratan istishna
a) Pihak yang melakukan akad cakap hukum dan ridho/ suka sama suka.
b) Bebas riba
c) Barang (obyek yang dibiayai)
- Barang itu ada meskipun tidak ditempat.
- Barang itu milik sah si penjual/ bank.
- Tidak termasuk sebagai objek yang diharamkan sebagai objek jual beli.
- Barang tersebut sesuai dengan pernyataan penjual.
d) Harga dan keuntungan
- Harga jual bank adalah harga perolehan ditambah harga keuntungan.
- Keuntungan yang diminta bank harus diketahui oleh nasabah.
- Harga jual tidak boleh berubah selama masa perjanjian.
- Sistem pembayaran dan jangka waktu disepakati bersama.
e) Bank dapat meminta agunan tambahan atas fasilitas yang diberikan.
3) Dokumen
a) Surat keputusan pembiayaan.
b) Surat keterangan atau call memo bahwa bank telah membeli atau memesan
barang dari suplier. Jika jual beli diwakilkan harus ada akad wakalah. Dan
surat pernyataan dari penerima kuasa membeli atau memesan barang.
c) Akad istishna antar bank dengan pembeli atau nasabah.
d) Perjanjian pengikatan agunan.
e) Surat permohonan realisasi istishna.
f) Tanda terima uang.
g) Tanda terima barang.
h) Polis asuransi.
Perbedaan Istishna Dengan Salam Dan Perbandingan Antara Keduanya
SUBJEK SALAM ISTISHNA ATURAN &
KETERANGAN
Pokok Kontrak Muslam Fiih Mashnu’ Barang Di
Tangguhkan
Dengan
Spesifikasi
Harga Dibayar Saat Bisa Saat Cara
Kontrak Kontrak, Bias Di Penyelesaian
Angsur, Bias Di Pembayaran
Kemudian Hari Merupakan
Perbedaan
Utama Antara
Salam Dan
Istishna
Sifat Kontrak Mengikat Secara Mengikat Secara Salam Mengikat
Asli Ikutan Semua Pihak
Sejak Semula,
Sedangkan
Istishna Menjadi
Pengikat Untuk
Melindungi
Produsen
Sehingga Tidak
Ditinggalkan
Begitu Saja Oleh
Konsumen
Secara Tidak
Bertanggung
Jawab
Kontrak Pararel Salam Pararel Istishna’ Pararel Baik Salam
Pararel Maupun
Istishna Pararel
Sah Asalkan
Kedua Kontrak
Secara Hokum
Terpisah
Alur transaksi sama dengan proses permohonan produktif ataupun konsumtif.
1. Nasabah membutuhkan barang produktif atau barang konsumtif secara pesanan
dengan mengajukan permohonan ke BNI syariah untuk pembiayaan istishna.
2. Setelah semua persyaratan dipenuhi maka bank membeli atau memesan barang
yang dibutuhkan oleh nasabah kepada suplier atau produsen atau kontraktor.
3. Setelah tercapai kesepakatan antara BNI syariah dengan nasabah mengenai jenis
barang yang dipesan, tarif, dan jangka waktu, maka dilakukan penandatanganan
akad istishna. setelah selesai proses, BNI syariah menyerahkan barang kepada
nasabah.
4. Nasabah mengangsur pembiayaan kepada BNI syariah sesuai kesepakatan akad.
Jenis-Jenis Pembiayaan Istishna di BNI Syari’ah
1) BNI iB kelayakan usaha.
2) BNI iB usaha kecil.
3) BNI iB wirausaha.
4) BNI iB griya indent.
Pembinaan dan pengawasan pembiayaan istishna
1. Maksimum Pembiayaan
Maksimum pembiayaan sebesar 80% dari harga barang dan self fnancing disesuaikan
dengan jenis pembiayaan masing-masing.
2. Jangka Waktu
1) Jangka waktu pembiayaan harus dibedakan antara jangka waktu pada saat masa
pembuatan atau pemesanan atau pembangunan dengan jangka waktu pada saat
penyerahan barang sampai dengan jangka waktu berakhirnya akad yang disesuaikan
dengan jenis pembiayaan masing-masing.
2) Jangka waktu masa pembuatan atau pemesanan atau pembangunan disesuaikan
dengan kondisi atau jenis barang yang dipesan yaitu maksimal 2 tahun. Namun untuk
BNI griya indent maksimal 1 tahun.
3. Penetapan Angsuran
Penetapan angsuran pembiayaan istishna ditentukan oleh jangka waktu dan margin
saat pembuatan atau pemesanan atau pembangunan serta nilai tunai dan margin saat
penyerahan barang serta jangka waktu pada saat penyerahan barang sampai dengan
jangka waktu berakhirnya akad istishna.
Contoh Perhitungan Jual Beli Istishna’:
Developer membangun rumah senilai Rp. 500.000.000,- sesuai dengan pesanan dan
spesifikasi teknis khusus. Nasabah tidak mempunyai kemampuan membayar sekaligus,
namun nasabah sanggup membayar uang muka sebesar 20% dan sisanya secara
angsuran sampai jangka waktu 10 tahun depan. Dengan tarif Istishna 9% flat pertahun.
Untuk membangun rumah diperlukan waktu 12 bulan.
Maka:
Harga rumah : Rp. 500.000.000,
Uang muka : Rp 100.000.000,00
Pembiayaan yang diajukan : Rp 400.000.000,00
Margin selama masa pembuatan berdasarkan perhitungan manual anuitas Rp
56.787.067,00
nilai tunai saat penyerahan Rp 456.787.067,00
nilai akad 10 tahun : (9% x 10 thn x 400.000.000) Rp 760.000.000,00
Angsuran nasabah bulan ke-1 sampai ke-12 Rp 6.333.333,00
4. Margin Dan Pengakuan Pendapatan
Mengacu kepada tarif margin minimum flat yang diterbitkan KKAS sesuai jenis
pembiayaan masing-masing dan tidak dapat berubah selama jangka waktu akad dengan
metode pengakuan pendapatan berdasarkan margin efektif anuitas.
Contoh perhitungan margin
Data
1 Pokok 400.000.000 Rp
2 Jangka waktu 120 Bulan
3 Margin flat 9% Pa
4 Margin efektif 14,5079% Pa (ctm table konversi)

5. Agunan Pembiayaan
Mengacu kepada ketentuan jenis pembiayaan masing-masing barang yang di pesan
nasabah sebagai agunan pokok, namun apabila diperlukan dengan pertimbangan resiko
selama masa pembangunan, nilai agunan harus mengcover fasilitas yang dicairkan. Dan
apabila tidak mencukupi bank bank dapat meminta tambahan agunan. Pengikatan agunan
agar berpedoman kepada buku pedoman pembiayaan kecil syariah.

6. Asuransi
Asuransi kerugian pada pembiayaan produktif ditutup asuransi kerugian pada
perusahaan asuransi syariah yang ditunjuk dan masuk dalam perusahaan rekanan BNI yang
dikelola oleh DRK dengan beban nasabah mengacu kepada ketentuan yang berlaku pada
masing-masing jenis pembiayaan.
Untuk pembiyaan konsumtif nasabah ditutup asuransi jiwa pada perusahaan
asuransi yang ditunjuk dan masuk dalam daftar perusahaan rekanan BNI yang dikelola oleh
DRK dan premi menjadi beban nasabah.

Pelunasan Sebelum Jatuh Tempo (PSJT)


Apabila nasabah akan melunaskan pembiayaan sebelum jatuh tempo maka
perhitungan total kewajiban yang harus dibayar nasabah mengacu kepada ketentuan
mengenai PPTM dan tidak diperjanjikan di dalam akad.
Lain-Lain
Kebijakan pembiayaan yang ada, mengacu kepada ketentuan jenis pembiayaan masing-
masing produk bank.

Alhamdulillah (ucapkan khusus bagi muslimin dan muslimah)

Anda mungkin juga menyukai