Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dengan melihat fenomena yang terjadi diera globalisasi dan pengaruh
westerinasi khususnya pada bidang fiqih muamalat, dimana orang sekarang
kurang memperhatikan akan peraturan-peraturan yang tertera pada fiqih
muamalat, sehingga terkadang menimbulkan kejanggalan, seperti contoh
berhutang dengan menggunakan jaminan, banyak terjadi kesalah pahaman ,
terkadang orang menganggap barang jaminan itu telah menjadi miliknya, padahal
tidak demikian. Islam adalah agama yang lengkap dan sempurna telah meletakkan
kaedah-kaedah dasar dan aturan dalam semua sisi kehidupan manusia baik dalam
ibadah dan juga muamalah (hubungan antar makhluk).
Setiap orang mesti butuh berinteraksi dengan lainnya untuk saling
menutupi kebutuhan dan saling tolong menolong diantara mereka. Karena itulah
sangat perlu sekali kita mengetahui aturan islam dalam seluruh sisi kehidupan kita
sehari-hari, diantaranya yang bersifat interaksi social dengan sesama manusia,
khususnya berkenaan dengan berpindahnya harta dari satu tangan ketangan yang
lainnya. Hutang piutang terkadang tidak dapat dihindari, padahal banyak
bermunculan fenomena ketidakpercayaan diantara manusia, khususnya dizaman
kiwari ini. Sehingga orang terdesak untuk meminta jaminan benda atau barang
berharga dalam meminjamkan hartanya.

1.2. Rumusan Masalah


1. Apa pengertian rahn (gadai) dalam ilmu fiqih ?
2. Bagaimana pendapat para ulama fiqih tentang gadai ?
3. Bagaimana proses penerapan Rahn?
1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian rahn (gadai) dalam ilmu fiqih.
2. Untuk mengetahui pendapat pendapat yang telah diutarakan oleh para
ahli fiqih mengenai gadai
3. Untuk mengetahui proses penerapan Rahn yang benar?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Rahn


Secara etimologi, rahn atau gadai berasal dari kata ats-tsubutu yang berarti
tetap dan ad-dawamu yang berarti terus menerus. Sehingga air yang diam tidak
mengalir dikatakan sebagai maun rahin. Dan Rahn dalam istilah positif Indonesia
disebut dengan barang jaminan,sedangkan dalam islam rahn merupakan sarana
saling tolong menolong bagi ummat islam
2.2. Dasar Hukum
Ulama fiqih mengemukakan bahwa akad rahn dibolehkan dalam islam
berdasarkan Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW dalam Al-Quran Al-Kariem
disebutkan:






Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai)
sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang)...(QS Al-Baqarah ayat 283)
Ayat ini secara eksplisit menyebutkan barang tanggungan yang dipegang
oleh yang berpiutang. Dalam dunia finansial, barang tanggungan biasa dikenal
sebagai objek gadai atau jaminan (kolateral) dalam dunia perbankan.
Selain itu, istilah ar-Rahnu juga disebut dalam salah satu hadis nabawi.

Apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki (oleh orang


yang menerima gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaga)nya
Kepada orang yang naik ia harus mengeluarkan biaya perawatannya, (HR
Jamaah kecuali Muslim dan Nasai, Bukhari no. 2329, kitab ar-Rahn).

Dari Aisyah ra berkata bahwa Rasulullah SAW membeli makanan dari


seorang yahudi dengan cara menggadaikan baju besinya.(HR. Bukhari dan
Muslim)
2.3 Aplikasi Akad Rahn Dalam Lembaga Keuangan Syariah
Dalam implementasi akad rahn di lembaga keuangan syariah ada dua jenis,
yaitu akad rahn dijadikan produk turunan berupa agungan atas pembiayaan, dan
kedua akad rahn sebagai produk utama, dalam bentuk gadai.
a. Akad Rahn sebagai Produk Turunan (Jaminan Pembiayaan)
Harta yang diagunkan disebut al-marhn (yang diagunkan). Harta agunan
itu harus diserahterimakan oleh ar-rhin kepada al-murtahin pada saat
dilangsungkan akad rahn tersebut. Dengan serah terima itu, agunan akan berada di
bawah kekuasaan al-murtahin. Jika harta agunan itu termasuk harta yang bisa
dipindah-pindah seperti TV dan barang elektronik, perhiasan, dan semisalnya,
maka serah terimanya adalah dengan melepaskan barang agunan tersebut kepada
penerima agunan (al-murtahin). Bisa juga yang diserahterimakan adalah sesuatu
dari harta itu, yang menandakan berpindahnya kekuasaan atas harta itu ke tangan
al-murtahin, jika harta tersebut merupakan barang tak bergerak, seperti rumah,
tanah dan lain-lain.
Harta agunan itu haruslah harta yang secara syari boleh dan sah dijual.
Karenanya tidak boleh mengagunkan khamr, patung, babi, dan sebagainya. Harta
hasil curian dan gasab juga tidak boleh dijadikan agunan. Begitu pula harta yang
bukan atau belum menjadi milik ar-rhin karena Rasul saw. telah melarang untuk
menjual sesuatu yang bukan atau belum menjadi milik kita.
Dalam akad jual-beli kredit, barang yang dibeli dengan kredit tersebut
tidak boleh dijadikan agunan. Tetapi, yang harus dijadikan agunan adalah barang
lain, selain barang yang dibeli (al-mab) tadi.
Akad ar-rahn (agunan) merupakan tawtsq bi ad-dayn, yaitu agar almurtahin percaya untuk memberikan utang (pinjaman) atau bermuamalah secara
tidak tunai dengan ar-rhin. Tentu saja itu dilakukan pada saat akad utang
(pinjaman) atau muamalah kredit. Jika utang sudah diberikan dan muamalah
kredit sudah dilakukan, baru dilakukan ar-rahn, maka tidak lagi memenuhi makna

tawtsq itu. Dengan demikian, ar-rahn dalam kondisi ini secara syari tidak ada
maknanya lagi.
Pada masa Jahiliah, jika ar-rhin tidak bisa membayar utang (pinjaman) atau
harga barang yang dikredit pada waktunya, maka barang agunan langsung
menjadi milik al-murtahin. Lalu praktik Jahiliah itu dibatalkan oleh Islam. Rasul
saw. bersabda:



Agunan itu tidak boleh dihalangi dari pemiliknya yang telah mengagunkannya. Ia berhak atas
kelebihan (manfaat)-nya dan wajib menanggung kerugian (penyusutan)-nya. (HR as-Syafii, alBaihaqi, al-Hakim, Ibn Hibban dan ad-Daraquthni)

Karena itu, syariat Islam menetapkan, al-murtahin boleh menjual barang


agunan dan mengambil haknya (utang atau harga kredit yang belum dibayar oleh
ar-rhin) dari hasil penjualan tersebut. Lalu kelebihannya harus dikembalikan
kepada pemiliknya, yakni ar-rhin. Sebaliknya, jika masih kurang, kekurangan itu
menjadi kewajiban ar-rhin. Hanya saja, Imam al-Ghazali, menegaskan bahwa
hak al-murtahin untuk menjual tersebut harus dikembalikan kepada hakim, atau
izin ar-rhin, tidak serta-merta boleh langsung menjualnya, begitu ar-rhin gagal
membayar utang pada saat jatuh temponya.
Atas dasar ini, muamalah kredit motor, mobil, rumah, barang elektronik,
dsb saat iniyang jika pembeli (debitor) tidak bisa melunasinya, lalu motor,
mobil, rumah atau barang itu diambil begitu saja oleh pemberi kredit (biasanya
perusahaan pembiayaan, bank atau yang lain), jelas menyalahi syariah. Muamalah
yang demikian adalah batil, karenanya tidak boleh dilakukan.
Pemanfaatan al-marhun oleh al-Murtahin
Setelah serah terima, agunan berada di bawah kekuasaan al-murtahin.
Namun, itu bukan berarti al-murtahin boleh memanfaatkan harta agunan itu.
Sebab, agunan hanyalah tawtsq, sedangkan manfaatnya, sesuai dengan hadis di
atas, tetap menjadi hak pemiliknya, yakni ar-rhin. Karena itu, ar-rhin berhak
memanfaatkan tanah yang dia agunkan; ia juga berhak menyewakan barang
agunan, misal menyewakan rumah atau kendaraan yang dia agunkan, baik kepada
orang lain atau kepada al-murtahin, tentu dengan catatan tidak mengurangi
manfaat barang yang diagunkan (al-marhun). Ia juga boleh menghibahkan

manfaat barang itu, atau mengizinkan orang lain untuk memanfaatkannya, baik
orang tersebut adalah al-murtahin (yang mendapatkan agunan) maupun bukan.
Hanya saja, pemanfaatan barang oleh al-murtahin tersebut hukumnya
berbeda dengan orang lain. Jika akad ar-rahn itu untuk utang dalam bentuk alqardh, yaitu utang yang harus dibayar dengan jenis dan sifat yang sama, bukan
nilainya. Misalnya, pinjaman uang sebesar 50 juta rupiah, atau beras 1 ton
(dengan

jenis

tertentu),

atau

kain

meter

(dengan

jenis

tertentu).

Pengembaliannya harus sama, yaitu 50 juta rupiah, atau 1 ton beras dan 3 meter
kain dengan jenis yang sama.6 Dalam kasus utang jenis qardh ini, al-murtahin
tidak boleh mamanfaatkan barang agunan sedikitpun, karena itu merupakan
tambahan manfaat atas qardh. Tambahan itu termasuk riba dan hukumnya haram.
Jika ar-rahn itu untuk akad utang dalam bentuk dayn, yaitu utang barang
yang tidak mempunyai padanan dan tidak bisa dicarikan padanannya, seperti
hewan, kayu bakar, properti dan barang sejenis yang hanya bisa dihitung
berdasarkan nilainya,8 maka al-murtahin boleh memanfaatkan barang agunan itu
dengan izin dari ar-rhin. Sebab, manfaat barang agunan itu tetap menjadi milik
ar-rhin. Tidak terdapat nash yang melarang hal itu karena tidak ada nash yang
mengecualikan al-murtahin dari kebolehan itu.
Ketentuan di atas berlaku, jika pemanfaatan barang agunan itu tidak
disertai dengan kompensasi. Namun, jika disertai kompensasi, seperti ar-rhin
menyewakan agunan itu kepada al-murtahin, maka al-murtahin boleh
memanfaatkannya baik dalam akad al-qardh maupun dayn. Karena dia
memanfaatkannya bukan karena statusnya sebagai agunan al-qardhu tetapi karena
dia menyewanya dari ar-rahin. Dengan ketentuan, sewanya tersebut tidak
dihadiahkan oleh ar-rhin kepada al-murtahin. Namun, jika sewanya tersebut
dihadiahkan, maka statusnya sama dengan pemanfaatan tanpa disertai
kompensasi, sehingga tetap tidak boleh dalam kasus al-qardh, dan sebaliknya
boleh dalam kasus day.
b. Akad Rahn sebagai Produk Utama (Gadai Syariah).
Konsep operasional pegadaian syariah mengacu pada sistem administrasi
modern yaitu azas rasionalitas, efisiensi dan efektifitas yang diselaraskan dengan
nilai Islam.

2.4 Risiko Kerusakan Marhun


Bila marhun hilang di bawah pengawasan murtahin, maka murtahin tidak
wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu karena kelalaian
mutahin atau karena disia-siakan, umpamanya murtahin bermain-main dengan
api, lalu terbakar barang gadaian itu, atau gudang tak dikunci, lalu barang-barang
itu hilang dicuri orang. Pokoknya murtahin diwajibkan memelihara sebagaimana
layaknya, maka bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi
hilang, menjadi tanggung jawab murtahin.
Menurut hanafi, bahwa murtahin yang memegang marhun menanggung
risiko kerusakan marhun atau kehilangan marhun, bila marhun itu rusak atau
hilang, baik karena kelalaian (disia-siakan) maupun tidak.
Perbedaan duan pendapat tersebut ialah menurut Hanafi bahwa murtahin
harus menanggung risiko kerusakan atau kehilangan marhun yang dipegangnya,
baik marhun hilang karena disia-siakan maupun dengan sendirinya, sedangkan
menurut Syafiiyah bahwa murtahin menanggung risiko kehilangan atau
kerusakan marhun, bila marhun itu rusak atau hilang karena disia-siakan
murtahin.

2.5 Unsur-unsur dalam Rahn


Dalam praktek rahn menurut jumhur ulama ada terdapat beberapa unsur
yaitu:
1. Ar-Rahin
Yaitu orang yang menggadaikan barang atau meminjam uang dengan
jaminan barang
2. Al-Murtahin
Yaitu orang yang menerima barang yang digadaikan atau yang
meminjamkan uangnya.
3. Al-Marhun / Ar-Rahn
Yaitu barang yang digadaikan atau dipinjamkan
4. Al-Marhun bihi

Yaitu uang dipinjamkan lantaran ada barang yang digadaikan.


5. Al-'Aqdu
Yaitu akad atau kesepaktan untuk melakukan transaksi rahn
Sedangkan ulama mazhaf hanafi berpendapat lain bahwa rukun rahn itu
hanya ijab (pernyataan meyerahkan barang sebagai anggunan oleh pemilik
barang) dan kabul (pernyataan kesediaan memberi utang dan menerima barang
anggunan tersebut). Disamping itu, menurut mereka, untuk sempurna dan
mengikatya akad rahn ini, maka di perlukan al-qabd (penguasaan barang) oleh
kridor.Adapaun kedua orang yang melakukan akad, harta yang dijadikan agunan,
dan utang, menurut ulama mashaf hanafi termaksuk syarat-syarat rahn bukan
rukunnya.
2.6. Syarat-syarat Rahn
Sedangkan secara umum yang termasuk rukun rahn adalah hal-hal
berikut : 1. Adanya Lafaz
yaitu pernyataan adanya perjanjian gadai. Lafaz dapat saja dilakukan
secara tertulis maupun lisan, yang penting di dalamnya terkandung maksud
adanya perjanjian gadai diantara para pihak.
2. Adanya pemberi dan penerima gadai.
Pemberi dan penerima gadai haruslah orang yang berakal dan balig
sehingga dapat dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum sesuai
dengan ketentuan syariat Islam.

3. Adanya barang yang digadaikan.


Barang yang digadaikan harus ada pada saat dilakukan perjanjian gadai
dan barang itu adalah milik si pemberi gadai, barang gadaian itu kemudian berada
dibawah pengasaan penerima gadai.
4. Adanya utang/ hutang.

Hutang yang terjadi haruslah bersifat tetap, tidak berubah dengan


tambahan bunga atau mengandung unsur riba.
2.7. Manfaat Barang Gadai
Para ulama fiqhi sepakat menyatakan bahwa segala biaya yang dibutuhkan
untuk pemeliharaan barang gadai tersebut menjadi tanggung jawab pemiliknya,
yaitu debitor hal ini sejalan dengan sabda rasulullah SAW yang mengatakan..
pemilik gadai berhak atas segala hasil barang gadai dan ia juga bertanggung
jawab atas segala biaya barang gadai tersebut. ( HR. Asy-syafii dan adDaruqutni).
Ulama fiqhi juga sepakat bahwa barang yang dijadikan gadai itu tidak
boleh di biarkan begitu saja, tanpa menghasilkan sama sekali, karena tindakan
tersebut termaksuk tindakan meyiayiakan harta yang dilarang Rasulullah SAW
(HR. At-Tirmidzi). Akan tetapi bolekah pihak pemegang barang jaminan
memanfaatkan barang jaminan tesebut: sekalipun mendapat izin dari pemilik
barang jaminan? Dalam persoalan ini terjadi perbedaan pendapat ulama.
Jumhur ulama fiqhi, selain ulama mazhab hambali, berpendapat bahwa
pemegang gadai tidak boleh memanfaatkan barang itu bukan miliknya secara
penuh. Hak pemegang barang gadai terhadap barang itu hayalah sebagai jaminan
piutang yang ia berikan, dan apabila debitor tidak mampu melunasi utangnya,
barulah ia bisa menjual barang itu, alasan jumhur ulama mengatakan seperti itu
dikarenakan Rasulullah SAW Bersabda yang artinya : barang jaminan tidak
boleh disembuyikan dari pemiliknya, karena hasil dari barang jaminan dan
tanggung jawabnya ( HR. al-hakim, al-baihaki, dan ibnu Hibban dari Abu
Hurairah).
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Dari apa yang telah dipaparkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa
awal berdirinya Rahn (Gadai syariah) adalah fatwa MUI tanggal 16 Desember
2003 mengenai bunga bank. Fatwa ini memperkuat terbitnya PP No. 10 tahun
1990 yang menerangkan bahwa misi yang diemban oleh pegadaian syariah adalah
untuk mencegah praktik riba, dan misi ini tidak berubah hingga diterbitkannya PP
No. 103 tahun 2000 yang dijadikan sebagai landasan kegiatan usaha Perum
pegadaian hingga sekarang. Sedangkan
Gadai syariah memiliki tugas pokok yaitu memberikan pinjaman kepada
masyarakat yang membutuhkan. Lembaga Keuangan Gadai Syariah mempunyai
fungsi sosial yang sangat besar. Karena pada umumnya, orang-orang yang datang
ke tempat ini adalah mereka yang secara ekonomi sangat kekurangan. Adapun
pengertian dari rahn (gadai syariah) adalah suatu barang yang dijadikan penguat
kepercayaan dalam hutang piutang atau yang lebih populer dengan sebutan
gadai.dengan catatan barang yang digadaikan harus barangnya sendiri bukan
barang ghasab atau pinjaman. Rahn berlandaskan pada Al-Quran, Hadits, dan
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 25/DSN-MUI/III/2002 tanggal 26 Juni 2002.

3.2. Kritik dan saran


Keterbatasan penulis tentunya tidak bisa dipungkiri dalam penulisan
makalah ini, maka dari itu penulis membuka dengan tangan terbuka atas kritik dan
saran dari dosen pengampu ataupun pembaca. Kritik dan saran yang bersifat
konstruktif akan menjadikan penulis menjadi lebih untuk kedepannya karena
tolok ukur dari kesempurnaan makalah ini adalah dari pembaca pada umumnya
dan dosen pengampu mata kuliah perbankan syariah pada kususnya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Drs. D. Sirojuddin Ar (Ensiklopedi Hukum Islam) PT Ichtiar Baru van
Hoevo, Jakarta. 2000

10

2. Msi Suherdi Hendi H. Drs, Fiqh Muamallah, PT RajaGrafindo Persada :


jakarta 2002.
3. MA Karim Helmi. Dr, Fiqh muamallah, PT RajaGrafindo Persada 2002 :
Jakarta 2002
4. I Doi Rahman A, Syariat Hukum Islam, PT RajaGrafindo Persada :
Jakarta 1996
5. Al- Quran Al-karim, QS Ai-Baqarah : 283
6. Asyatiri, Sayyid Ahmad Ibnu Umar, Alyaqutu Annafisa Fi Madzhabi Ibnu
Idris, Maktabah Alhidayah, Surabaya.
7. Algazi, Muhammad Ibnu Qasim, Fathu Al-Qarib Al-mujib, Al-Haramain,
halaman 32
8. Asyafii, Imam Taqiyyudin abi Bakrin Ibnu muhammad alhusaini alhusni
addimisyaqi, Kifayatu Al- Ahyar, Syirkah Maktabah Ahmad Ibnu Said
Ibnu Nabhan waauladuhu, Surabaya, jiz I, hlm 263.
9. Syafii Rahmad, Fiqh Muamalah, Prof. Dr. H.MA, cv Pustaka Setia,
Bandung, 2001
10. Kitab Al Fiqh Al Muyassarah, Qismul Muamalah, Prof. DR Abdullah bin
Muhammad Al Thoyaar, Prof. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq
dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alumusa, cetakan pertama tahun 1425H,
Madar Al Wathoni LinNasyr, Riyadh, KSA hal. 115
11. Abhaats Haiat Kibaar Al Ulama Bil Mamlakah Al Arabiyah Al Suudiyah,
disusun oleh Al Amaanah Al Amah Lihaiat Kibar Al Ulama. Cetakan
pertama tahun 1422H
12. Kitab Taudhih Al Ahkam Min Bulugh Al Maram, Syeikh Abdullah Al
Bassaam cetakan kelima tahun 1423, Maktabah Al Asadi, Makkah, KSA
13. Mughni, Ibnu Qudamah tahqiq DR. Abdullah bin Abdulmuhsin Alturki
dan Abdulfatah Muhammad Al Hulwu, cetakan kedua tahun 1412H,
penerbit hajar, Kairo, Mesir.
14. Al Majmu Syarhul Muhadzab, imam Nawawi dengan penyempurnaan
Muhammad Najieb Al MuthiI, cetakan tahun 1419H, Dar Ihyaa Al TUrats
Al Arabi, Beirut.
15. Abdul Muhsin Sulaiman, Haajul Musykilah al-Iqtisshaadiyah fil Islam,
Terj. Anshari Umar Sitanggal, Bandung : Al-Maarif, 1985.
16. Rachmadi Usman, Aspek Aspek Hukum Perbankan Islam di Indonesia,
Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2002
17. Muhammad Firdaus, dkk, Mengatasi Masalah dengan Pegadaian Syariah,
Jakarta: Renaisan, 2005
18. Rahmad Syafei, Konsep Gadai (al-rahn Dalam Fiqh Islam: Antara Nilai
Sosial dan Nilai Komersial), Dalam Problematika Hukum Islam
Kontemporer III, Jakarta: Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan,
1995.
19. Ahmad Rodoni dan Abdul hamid, Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta :
Zikrul Hakim, 2008

11

Anda mungkin juga menyukai