Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pembahasan subyek hukum tidak dapat dipisahkan dari tiga hal yang masih
bertalian erat dengannya, tiga hal tersebut adalah si pembuat hukum, penegak
hukum dan pelaku/subyek hukum. Ketiganya memiliki istilah khusus dalam hukum
Islam, si penegak hukum disebut dengan hakim, hukum sendiri disebut mahkum bih,
si pelaku/subyek hukum disebut mahkum alaih dan obyek hukum disebut mahkum
fih. Pembuat hukum (syari’) dalam hukum Islam adalah Allah, rasul, para ulama
madzhab, dan para ahli dalam bidang hukum islam (fukoha).
Sedikit ada perbedaan sudut pandang antara hukum Islam dan hukum perdata
nasional mengenai subyek/pelaku hukum. Kita telah ketahui bersama bahwa subyek
hukum dalam hukum perdata nasional adalah meliputi manusia dan badan hukum. Hal
berbeda dalam hukum Islam, hukum Islam mengakui subyek hukum hanya manusia.
Dalam makalah ini tidak akan membahas ketiganya, makalah ini akan
membahas tentang subyek hukum menurut hukum islam. Pembahasan subyek hukum
dalam makalah ini meliputi Pengertian Subjek Hukum, Kecakapan Hukum, Anak Dan
Perwalian Hukum perdata islam, dan Badan Hukum.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Subjek Hukum Perdata?
2. Apa Itu Kecakapan Hukum ?
3. Bagaimana Anak Dan Perwalian Hukum perdata islam?
4. Apa Itu Badan Hukum ?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Subjek Hukum Perdata
2. Untuk Mengetahui Apa Itu Kecakapan Hukum
3. Untuk Mengetahui Anak Dan Perwalian Dalam Hukum perdata islam
4. Untuk Mengetahui Apa Itu Badan Hukum

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Subjek Hukum Perdata


Istilah subjek hukum kerap ditemui dalam bidang hukum. Istilah ini berasal
dari Bahasa Belanda, rechtsubject, yang secara umum terdiri dari manusia dan badan
hukum yang diartikan sebagai pendukung hak dan kewajiban.

A Ridwan Halim (dalam cuk prayitno, 2010:14) menerangkan bahwa subjek


hukum adalah segala hal yang memiliki hak dan kewajiban dalam lalu-lintas hukum.
Terkait hal ini, yang dimaksud sebagai subjek hukum adalah manusia atau natuurlijke
persoon dan badan hukum atau rechtpersoon. Beberapa contoh dari badan hukum,
antara lain perseroan terbatas (PT), perusahaan negara (PN), yayasan, badan
pemerintahan, dan lainnya.

Dan subjek hukum dalam islam disebut mahkum’alaih, adalah mukallaf yang
perbuatannya berhubungan dengan hukum syar’i. Hukum syar’i yang dimaksud
adalah hukum yang bersumber dan rasulnya, berupa tuntunan mengerjakannya
(wajib), tuntunan untuk meninggalkan (haram), tuntunan memilih suatu pekerjaan
(mubah) dan anjuran meninggalkan. Mahkum ’alaih disebut juga mukallaf, yakni
seseorang sudah dalam kondisi baligh dan berakal yang dibebani hukum atasnya,
seperti perintah melaksanakan solat, puasa, zakat dan haji

Mahkum Alaih adalah seseorang atau pelaku atau yang melakukan hukum
syar'i, atau yang lebih dikenal dengan sebutan mukalaf/ subjek hukum. Disebut
sebagai mukalaf karena merekalah yang dibebani oleh hukum-hukum syara' tersebut.
Kemudian untuk perbuatannya sendiri disebut dengan istilah mahkum bih. seseorang
dapat disebut sebagai seorang mukalaf karena disebabkan oleh tiga hal, orang yang
sadar, baligh dan berakal.
Menurut Prof. Dr. H. Rachmat Syafi’I dalam bukunya
mengatakan Mahkum Alaih adalah orang yang telah dianggap mampu bertindak
hukum dan layak mendapatkan beban hukum (taklif), baik yang berhubungan dengan
perintah Allah atau larangan Allah.
Dalam istilan ushul fiqih, subjek hukum itu disebut mukallaf atau orang -orang
yang dibebani hukum, atau mahkum 'alaih adalah orang yang kepadanya diperlakukan
hukum.

Subjek Hukum Perdata

Subyek hukum, yaitu sesuatu yang menurut hukum berhak, berwenang atau
mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum, atau sesuatu pendukung
yang menurut hukum berwenang atau berkuasa bertindak menjadi pendukung hak.

Dalam hukum perdata, yang masuk dalam kategori subjek hukum adalah
manusia sejak kelahirannya dan badan hukum. Sebagai subjek hukum perdata,
sebagaimana diterangkan Subekti dalam Pokok-Pokok Hukum Perdata, manusia atau

2
orang menjadi pembawa hak sejak ia dilahirkan dan berakhir saat meninggal. Bahkan,
jika diperlukan, manusia dapat dihitung sejak ia dalam kandungan hingga dilahirkan
dalam keadaan hidup.

Kemudian, dalam konteks badan hukum, Subekti menerangkan bahwa badan


hukum juga memiliki karakteristik hukum yang sama seperti manusia. Badan-badan
hukum memiliki kekayaan sendiri, ikut serta dalam hukum dengan pengurusanya,
dapat digugat, dan dapat menggugat.

B. Kecakapan Hukum
Cakap Hukum secara perdata berarti kecakapan seseorang untuk melakukan
perbuatan hukum dan karenanya mampu mempertanggungjawabkan akibat
hukumnya. Semua orang dalam keadaan cakap (bewenang) bertindak, sehingga
mereka dapat melakukan perbuatan hukum, termasuk membuat atau menandatangani
suatu perjanjian, kecuali mereka yang diatur dalam undang-undang. Mereka yang
dikecualikan ini disebut orang yang tidak cakap (tidak berwenang) melakukan suatu
tindakan hukum, yaitu pihak-pihak sebagai berikut :
 Anak yang belum dewasa
 Orang yang berada di bawah pengampuan
 Perempuan yang telah kawin dalam hal-hal yang ditentukan undang-undang,
dan pada umumnya semua orang yang oleh undang-undang dilarang untuk
membuat persetujuan tertentu
Namun berdasarkan SEMA nomor 3/1963 juncto Pasal 31 Undang-undang nomor
1 tahun 1974, perempuan yang masih terikat dalam perkawinan sudah cakap
melakukan perbuatan hukum sendiri.
Orang yang dilarang oleh undang-undang untuk melakukan perbuatan tertentu.
Ketentuan mengenai kedewasan berdasarkan hukum positif di Indonesia memiliki
keragaman sebagai berikut ,
Usia dewasa dalam hukum perdata diatur dalam pasal 330 KUHPerdata yaitu:
Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai usia genap dua puluh
satu (21) tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu
dibubarkan sebelum usia mereka genap dua puluh satu tahun (21) tahun, maka mereka
tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa dan tidak berada di bawah
kekuasaan orang tua, berada di perwalian atas dasar dan dengan cara sebagaimana
teratur dalam bagian ketiga, keempat, kelima, dan keenam bab ini.
Sedangkan Dalam Islam, orang yang terkena taklif adalah mereka yang sudah
dianggap mampu untuk mengerjakan tindakan hukum. Tak heran kalau sebagian

3
besarulama Usul Fikih berpendapat bahwa dasar pembebanan hukum bagi seorang
mukallaf adalah akal dan pemahaman. Dengan kata lain, seseorang baru bias dibebani
hukum apabila ia berakal dan dapat memahami secara baik taklif yang ditujukan
kepadanya. Maka orang yang tidak atau belum berakal dianggap tidakbisa memahami
taklif dari Syar’i (Allah dan Rasul-Nya).
Ulama ushul fiqih telah sepakat bahwa seorang mukallaf bisa dikenai taklif
apabila telah memenuhi dua syarat, yaitu:
Orang itu telah mampu memahami khithab Syar’i (tuntutan syara’) yang
terkandung dalam al-Quran dan Sunnah, baik secara langsung maupun
melaluiorang lain. Hal itu, karena orang yang tidak mempunyai kemampuan
untuk memahami khithab syar’i tidak mungkin untuk melaksanakan suatu
taklif.
Seseorang harus mampu dalam bertindak hukum, dalam ushul fiqih disebut
dengan ahliyah. Secara harfiyah (etimologi), ahliyyah berarti kecakapan
menangani suatu urusan. Secara terminology, menurut para ahli ushul fiqih, di
antaranya, adalah sebagai berikut: “Suatu sifat yang dimiliki seseorang yang
dijadikan ukuran oleh syari’ untuk menentukan seseorang telah cakap dikenai
tuntutan syara’. Ahliyyah terbagi dalam dua bentuk, pertama, ahliyyah ada’
adalah sifat kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang telah dianggap
sempurna untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, baik yang bersifat
positif maupun negatif. Kedua, ahliyyah al-wujūb, yaitu sifat kecakapan
seseorang untuk menerima hak-hak yang menjadi haknya, tetapi belum
mampu untuk dibebani seluruh kewajiban.

C. Tentang Anak Dan Perwalian


Pasal 107 dan 108 Kompilasi Hukum Islam menyebutkan: Bahwa wali
sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah
dewasa berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik, atau badan hukum. Dan
orangtua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan
perwalian atas diri dan kekanyaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal
dunia.
Hal ini sejalan pula dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan pada pasal 51 ayat 1 dan 2 Wali dapat ditunjuk oleh
satu orang tua yang menjalankan kekuasaan orangtua, sebelum ia meninggal, dengan

4
surat wasiat atau dengan lisan di hadapan dua orang saksi. Dan wali sedapat-
dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa
berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
Menurut Sayyid Sabiq, perwalian atas anak kecil itu adalah bagi ayahnya. Bila
ayah tidak ada, maka perwalian itu berpindah kepada orang yang diwasiatinya, karena
dialah wakil dari ayah. Bila orang yang diwasiati tidak ada, maka perwalian itu
berpindah ke tangan hakim, kakek, ibu, Adapun bagi semua ashabah, mereka ini,
tidak ada perwalian atasnya kecuali dengan melalui wasiat (dari ayah si yatim)

D. Badan Hukum
Badan hukum dalam islam merupakan subyek hukum di dasarkan pada hadis ;
( ‫ (رواه أبوا دود و إبن ماجه‬.‫المسلمون تتكافأ دمائهم ويسعى بذمتهم أدناهم يد على من سواهم‬

[ unsur pengelompokan orang yang menjadi satu kesatuan, bertindak, bisa


mempunyai hak dan kewajiban ]. Badan hukum dalam era sekarang diakui ketika
telah mendapatkan ijin dari kementerian hukum dan Hak Asasi Manusia. Badan
hukum ini bisa berupa suatu lembaga/ institusi seperti lembaga wakaf, yayasan, dan
juga suatu organisasi. Dan hukum Islam juga mengenal adanya badan hukum sebagai
subjek hukum, seperti adanya baitul mal.

5
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
A Ridwan Halim (dalam cuk prayitno, 2010:14) menerangkan bahwa subjek
hukum adalah segala hal yang memiliki hak dan kewajiban dalam lalu-lintas hukum.
Terkait hal ini, yang dimaksud sebagai subjek hukum adalah manusia atau natuurlijke
persoon dan badan hukum atau rechtpersoon. Beberapa contoh dari badan hukum,
antara lain perseroan terbatas (PT), perusahaan negara (PN), yayasan, badan
pemerintahan, dan lainnya.

Dan subjek hukum dalam islam subjek hukum disebut mahkum’alaih,


Mahkum Alaih adalah seseorang atau pelaku atau yang melakukan hukum syar'i, atau
yang lebih dikenal dengan sebutan mukalaf/ subjek hukum. Disebut
sebagai mukalaf karena merekalah yang dibebani oleh hukum-hukum syara' tersebut.
Kemudian untuk perbuatannya sendiri disebut dengan istilah mahkum bih. seseorang
dapat disebut sebagai seorang mukalaf karena disebabkan oleh tiga hal, orang yang
sadar, baligh dan berakal.

B. Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita,terutama dalam memahami
paham-paham tindak pidana korupsi . Namun kami menyadari bahwa makalah ini
masih jauh dari sempurna, baik dari segi bahasa sistematika penulisan dan lain-
lain,oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca.

6
DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Korik,, Tinjauan Analitis Pasal 105 Kompilasi Hukum Islam Tentang Hak
Hadhanah dan Batasan Umur Mumayyiz Lihat di https://www.google.com/search?q=
Perwalian-Anak-Dalam-Tinjauan-Kompilasi-Hukum-Islam.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia , Jakarta: Raja Grafindo, 1998
Syafii , H.Rachmad, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai