Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peradilan agama telah lahir dalam kehidupan hukum di Indonesia sejak
masuknya.agama islam. Guna memenuhi kebutuhan masyarakat muslim akan
penegakan keadilan, pemerintah mewujudkan dan menegaskan kedudukan
peradilan agama sebagai salah satu badan kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Dalam Al-Qur’an,hadist rasul dan ijtihad para ahli hukum islam, terdapat aturan-
aturan hukum materil sebagai pedoman hidup dan aturan dalam hubungan antar
manusia (muamalah) serta hukum formal sebagai pedoman beracara di pengadilan.
Dalam hukum islam, kegiatan peradilan merupakan kegiatan muamalah ,
yaitu kegiatan antara manusia dalam kehidupan bersama (manusia dengan
manusia atau manusia dengan masyarakat). Melaksanakan amalan (kegiatan)
peradilan hukumnya adalah fardhu kifayah, harus dikerjakan oleh tiap-tiap orang
dalam satu kelompok masyarakat, namun kalau sudah ada satu atau beberapa
orang yang mengerjakan (melaksanakan), kewajiban telah terpenuhi. Al-Mawardi di
dalam buku Al-Ahkam as Shulthaniyah menegaskan kegiatan peradilan adalah
merupakan bagian pemerintah dalam rangka bernegara.
Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana prinsip-prinsip
dan sistem dalam peradilan islam. Dan untuk mengetahui apa saja unsur-unsur dan
hikmah peradilan dalam islam. Dan untuk mengetahui fungsi lembaga peradilan
agama.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian peradilan dan pengadilan ?
2. Apa saja unsur-unsur peradilan dalam islam ?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Peradilan dan Pengadilan


Istilah Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki makna dan pengertian yang
berbeda, perbedaannya adalah :
1. Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa
Belanda yang meksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas
Negara dalam menegakkan hukum dan keadilan.
2. Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank dalam bahasa
Belanda yang dimaksud adalah badan yang melakukan peradilan berupa
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara.
Kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni “adil” yang
memiliki pengertian:
a. Proses mengadili
b. Upaya untuk mencari keadilan
c. Penyelesaian sengketa hukum di hadapan badan peradilan
d. Berdasar hukum yang berlaku
Istilah peradilan itu senantiasa melekat dengan istilah pengadilan. Secara
terminologi, kedua istilah itu berbeda, tetapi keduanya tidak mungkin dapat
dipisahkan, bagaikan anak panah dengan busurnya, pedang dengan sarangnya,
dan jadam dengan pahitnya. Karena pada dasarnya, pengadilan itu merupakan
tempat diselenggarakannya peradilan. Dengan demikian, pengadilan itu dapat
dibedakan dari peradilan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Peradilan merupakan
piranti lunak yang abstrak, sedangkan pengadilan menjadi piranti keras yang
konkret dan terlembaga.

2
B. Unsur-Unsur Peradilan Islam
Unsur-unsur peradilan Islam disebut juga dengan rukun qadha’. Secara bahasa,
rukun yaitu bagian yang kuat, yang berfungsi menahan sesuatu. Secara istilah,
rukun berarti bagian tertentu yang mesti dari sesuatu, karena terwujudnya sesuatu
itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi, rukun qadha’ (unsur-unsur peradilan)
yaitu apa yang menunjukkan eksistensi peradilan itu, baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Sebagian ahli fiqih menyebutkan bahwa peradilan Islam
mempunyai lima rukun atau unsur, yaitu:
a) Hakim (qadhi)
Yakni orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam
menyelesaikan gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak bisa
melaksanakan sendiri tugas-tugas peradilan. Sebagaimana yang dilakukan nabi
Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau mengangkat qadli-qadli untuk
bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat yang jauh.
b) Hukum (qodho’)
Yaitu suatu keputusan produk qadli untuk menyelesaikan perselisihan dan
memutuskan persengketaan. Ada dua bentuk keputusan hakim:
1.Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah
satu pihak dengan redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau menetapkan
suatu hak dengan tindakan, seperti pembagian secara paksa.
2.Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada
penggugat: kamu tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu
membuktikan, dan atas sumpah tergugat.

c) Al-mahkum bih (hak)


Yaitu sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada
qadla’ ilzam, yang dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan
pada qadla’ tarki, yang dimaksudkan adalah penolakan atas gugatannya itu. Atas
dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak itu sendiri. Hak itu adakalanya hak Allah

3
semata, hak manusia semata, atau hak yang dipersekutukan antara Allah dan
manusia tetapi salah satu lebih berat.
Apabila hak yang dituntut itu merupakan hak manusia semata, atau menurut
lazimnya merupakan hak manusia, maka penuntutnya adalah pemilik hak itu
sendiri, atau orang yang diberi kuasa olehnya. Si penuntut itu disebut mudda’i
(penggugat). Jika ternyata dia tidak menuntut atau membatalkan tuntutannya, maka
ia tidak boleh dipaksa untuk menuntut haknya. Apabila hak yang dituntut itu adalah
hak Allah semata-mata atau menurut lazimnya hak itu merupakan hak Allah, maka
tuntutan itu dilakukan oleh penuntut umum (jaksa). Menurut hanafiyyah, yang
dimaksud hak Allah adalah hak masyarakat (publik).
d) Al-mahkum ‘alaih
Yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya. Mahkum ‘alaih yaitu orang yang
dikenai putusan untuk diambil haknya, baik ia mudda’a alaih (tergugat) atau
mudda’i (penggugat).
e) Al-mahkum lahu
Yaitu penggugat suatu hak, yang merupakan hak manusia semata-mata
(hak perdata), atau hak yang lazimnya merupakan hak manusia semata-mata.
Mahkum lah harus melakukan sendiri gugatan atas haknya atau dengan
perantaraan orang yang diberi kuasa olehnya, dan ia harus datang sendiri ke
persidangan atau wakilnya. Adapun bila hak itu merupakan hak Allah semata, maka
mahkum lah-nya adalah syara’. Dalam hal ini, tuntutan bukan datang dari
perorangan, tetapi sesuai syari’at Islam. Tuntutan itu dilakukan oleh lembaga
penuntut umum.

4
C. Prinsip-Prinsip Peradilan
Negara-negara modern melaksanakan kepentingannya dengan menggunakan tiga
kekuasaan, yaitu;
 Kekuasaan perundang-undangan/as-sulthoh at-tasyri’iyyah yang berwenang
membuat undang-undang.
 Kekuasaan eksekutif/as-sulthoh at-tanfidziyyah yang bertugas
melaksanakan undang-undang.
 Kekuasaan kehakiman/as-sulthoh al-qodlo’iyyah yang berwenang
menerapkan undang-undang untuk menyelesaikan perselisihan dan
menegakkan keadilan di antara manusia.
Kita lihat bahwa kekuasaan peradilan/kehakiman itu terpisah dari dua kekuasaan
yang lain. Ini berarti bahwa kedua kekuasaan/lembaga lainnya tidak diperkenankan
mengintervensi/ ikut campur dalam perkara-perkara atau urusan peradilan. Teori
pemisahan kekuasaan ini memunculkan prinsip-prinsip penting dalam peradilan
Islam yang jumlahnya ada delapan (8) yaitu:
a. Istiqlal al-qodlo’(kemerdekaan kehakiman)
Kekuasaan kehakiman itu merdeka/berdiri sebagai lembaga kekuasaan
tersendiri. Tujuannya adalah untuk menjaga peradilan agar tidak terkena pengaruh
atau dengan kata lain untuk menghindari adanya turut campur dua kekuasaan lain;
legislatif dan eksekutif. Ini adalah hal yang bagus dan rasional dalam tatanan
hukum. Prinsip ini sudah ada sejak masa Rasulullah SAW hidup.
b. Al-Musawah amamal qodlo’ (kesamaan di hadapan hukum)
Kebanyakan orang beranggapan bahwa prinsip kemerdekaan, persaudaraan,
dan persamaan itu tidak dikenal sebelum meletusnya revolusi Prancis pada akhir
abad ke-18 M. Padahal sebenarnya prinsip itu telah dikemukakan baik dalam al-
qur’an, hadits, dan ucapan Khulafa’ur Rosyidin sejak abad ke-7 masehi. Dalam
mengadili, Rasulullah SAW selalu bersikap sama di antara pihak yang berselisih.
Begitu juga yang dilakukan oleh para khulafa’ur rosyidin.

5
Amirul mu’minin Umar ibn al-Khatthab r.a pernah memberikan nasehat kepada
seorang qodli: “bersikaplah sama di antara manusia di hadapanmu dalam
pernyataan dan keputusan. Sehingga orang yang mulia tidak berharap
kemenangan perkara dalam keculasanmu, dan orang yang lemah tidak putus asa
dari keadilanmu.”
c. Majjaniyatul qodlo’ (peradilan gratis)
Di negara-negara Islam, sejak dulu tidak pernah ada qodli yang boleh
memungut biaya dari orang yang berperkara ke pengadilan. Hal ini untuk
menunjukkan kedermawanan dan tidak adanya sikap tamak dalam diri sang
Hakim/qodli. Pemerintahan Islamlah yang menggaji mereka (para qodli). Prinsip
seperti ini tidak dikenal oleh negara-negara eropa kecuali setelah revolusi Prancis.
Akan tetapi, dengan adanya prinsip ini bukan berarti orang yang berperkara tidak
menyerahkan uang sama sekali ke pengadilan. Undang-undang positif
mengharuskan penyerahan sedikit biaya untuk mengurus (administrasi) perkara
yang diajukan.
d. At-taqodli ‘ala darojatain aw al-isti’naf (upaya hukum naik banding).
Berdasarkan prinsip ini, orang berperkara yang telah mendapatkan
keputusan hukum atas suatu kasus di pengadilan tingkat pertama, boleh
mengajukan kasus itu lagi ke pengadilan yang lebih tinggi alias naik banding untuk
mendapatkan keputusan hukum lagi atas kasus tersebut. Pengadilan yang lebih
tinggi ini mempunyai kemerdekaan atau kebebasan untuk menentukan, apakah
keputusan pertama atas kasus itu (hasil pengadilan sebelumnya) dikukuhkan ,
diganti, atau dibatalkan. Prinsip ini telah dikenal luas dalam semua undang-undang
positif. Prinsip ini mempunyai faedah yang penting. Ia mendorong qodli/hakim untuk
berhati-hati dan mengerahkan usaha maksimal dalam menangani kasus yang
diajukan kepadanya. Karena hakim tersebut tahu bahwa hukum yang ia putuskan
akan mungkin ditampakkan/diperlihatkan lagi di kemudian hari (di pengadilan
banding), jika ternyata ada kekeliruan dalam keputusannya itu. Sehingga hal ini
mendorong sang hakim untuk ber-ijtihad dan melakukan penelitian secara
mendalam agar hukum yang ia putuskan tidak diganti atau dianulir.

6
e. Al-qodlo’ fil Islam yaqumu ‘ala nidhomi al-qodli al-fard (kehakiman Islam
menerapkan aturan hakim tunggal).
Dalam sistem peradilan Islam, yang memutuskan perkara di antara manusia
adalah seorang qodli saja. Dalam kondisi ada kebutuhan, Fuqoha’
memperbolehkan sang hakim didampingi beberapa Ulama’ sebagai pendamping
yang akan memberikan sumbangan pendapat pada hakim. Akan tetapi mereka
(ulama’) tidak boleh ikut campur dalam memutuskan hukum atas kasus yang
disidangkan. Pendapat mereka hanya sebagai pertimbangan seperlunya bagi
hakim. Jadi yang memutuskan hukum tetap sang hakim/qodli itu sendiri.
f. ‘Alaniyatu majlisil qodlo’ (sidang peradilan yang terbuka)
Fuqoha’ bersepakat atas terbukanya pengadilan. Bahwa pengadilan
dilaksanakan secara terbuka. Sebagaimana Rasulullah menyelenggarakan
persidangan di masjid.
g. Hushulul ijro’at fi muwajahatil khushum (mempertemukan pihak yang
berselisih)
Keputusan hukum tidak bisa dijatuhkan sebelum kedua belah pihak terkait
dipertemukan (saling mengetahui dan didengarkan pendapatnya masing-masing).
Mengenai pihak berperkara yang ghaib (tidak hadir dalam persidangan), ada
kaedah-kaedah tersendiri yang mengaturnya, sehingga hak masing-masing pihak
tetap terjaga.
h. Sulthotul qodli fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih Islam)
Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, walaupun sudah ada undang-
undang positif yang diterapkan, fikih (hukum Islam) tetap menjadi pijakan dalam
menetapkan, mengganti atau menganulir hukum.

7
D. Sistem Peradilan Dalam Islam
Lembaga peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikn
keputusan hukum yang bersifat mengikat. Dasar dan dalil disyariatkannya lembaga
peradilan ini adalah : (QS : Al-Maidah:49)

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang
diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-
hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari
sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari
hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah
menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian
dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang
yang fasik.

“Jika dua orang menghadapmu meminta keputusan, janganlah engkau tergesa-


gesa memutuskan perkara diantara mereka sebelum engkau mendengarkan
perkataan pihak yang lain, sehingga engkau akan tahu bagaimana seharusnya
engkau memutuskan perkara diantara mereka itu.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)

8
E. Hikmah Peradilan Dalam Islam
a. Terciptanya keadilan dalam masyarakat, karena masyarakat memperoleh hak-
haknya.
b. Terciptanya perdamaian, karna masyarakat memperoleh kepastian hukumnya
dan diantara masyarakat saling menghargai hak-hak orang lain. Tidak ada yang
berbuat semena-mena karena semuanya tlah diatur oleh undang-undang.
c. Terciptanya kesejahteraan masyarakat.
d. Terwujudnya aparatur pemerintahan yang jujur,bersih dan berwibawa.

F. Fungsi Lembaga Peradilan Agama


Untuk melaksanakan tugas - tugas pokok tersebut Pengadilan Agama
mempunyai fungsi sebagai berikut :
a. Fungsi Mengadili (judicial power), yaitu memeriksa dan mengadili perkara-
perkara yang menjadi kewenangan pengadilan agama di wilayah hukum masing-
masing ;
(vide Pasal 49 Undang - Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang No. 3
Tahun 2006) ;
b. Fungsi Pengawasan, yaitu mengadakan pengawasan atas pelaksanaan tugas
dan tingkah laku Hakim, Panitera / Sekretaris, dan seluruh jajarannya (vide : Pasal
53 ayat (1) Undang - Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang - Undang No. 3 Tahun
2006) ;
Serta terhadap pelaksanaan administrasi umum. (vide : Undang - Undang No.
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).
Pengawasan tersebut dilakukan secara berkala oleh Hakim Pengawas Bidang
;
c. Fungsi Pembinaan, yaitu memberikan pengarahan, bimbingan dan petunjuk
kepada jajarannya, baik yang menyangkut tugas teknis yustisial, administrasi
peradilan maupun administrasi umum. (vide : Pasal 53 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006) ;

9
d. Fungsi Administratif, yaitu memberikan pelayanan administrasi kepaniteraan
bagi perkara tingkat pertama serta penyitaan dan eksekusi, perkara banding, kasasi
dan peninjauan kembali serta administrasi peradilan lainnya. Dan memberikan
pelayanan administrasi umum kepada semua unsur di lingkungan Pengadilan
Agama (Bidang Kepegawaian, Bidang Keuangan dan Bidang Umum) ;
e. Fungsi Nasehat, yaitu memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat
tentang hukum Islam pada instansi pemerintah di wilayah hukumnya, apabila
diminta sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama ;
f. Fungsi lainnya, yaitu pelayanan terhadap penyuluhan hukum, riset dan
penelitian serta llain sebagainya, seperti diatur dalam Keputusan Ketua
Mahkamah Agung RI. Nomor : KMA/004/SK/II/1991

G. Peradilan pada masa Nabi MUHAMMAD SAW


1. Nabi SAW sebagai Satu-satunya Pemegang Kekuasaam
Sejarah kenabian dimulai ketika Nabi Muhammad SAW menerima wahyu pertama
kali di Gua Hira, kira-kira saat beliau berusia 40 tahun. Setelah kurang lebih 13
tahun menyampaikan risalahnya di Mekah dengan fokus da’wah mengajak manusia
untuk bertauhid kepada Allah secara murni dan meninggalkan berhala-berhala.
Kemudian sesampainya di Madinah, Rasulullah SAW mulai membangun sebuah
masyarakat dan negara dengan menegakkan hukum-hukum dan syariat Allah yang
nantinya akan menjadi pedoman bagi manusia sepanjang sejarah. Prinsip
kehidupan yang dibangun Nabi SAW sendiri basisnya didasarkan pada prinsip
Tauhid yang meletakkan manusia berkedudukan setara di hadapan Allah dan
hukum-hukumNya. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang
sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam beberapa ayat-ayat
Al-Quran seperti dalam QS. Al-Nisā: 57, QS. Al-Māidah : 8 , QS. Al-An`ām:153 dan
lain-lain.
Keberadaan Nabi SAW sendiri di masyarakat-negara Madinah saat itu jika dilihat
dari konsep ketatanegaraan modern menggabungkan ketiga institusitrias politica

10
yaitu kekuasaan legislatif (sulţah tashrī`iyah), kekuasaan eksekutif (sulţah
tanfīdziah) dan kekuasaan judikatif (sulţah qadlāiyah) sekaligus. Sebagai seorang
penerima sekaligus penyampai wahyu dari Allah, Nabi Muhamad SAW merupakan
satu-satunya sumber segala hukum dan tata aturan. Bahkan segala perbuatan dan
ucapannya juga diposisikan sebagai sumber legislasi yang harus ditaati.
Sedangkan unsur kekuasaan eksekutif Rasulullah dapat dilihat dari pelaksanaan
beliau dan pengejawantahan hukum-hukum Allah/syariat Islam serta
menegakkannya dalam berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi maupun politik.
2. Penunjukan Sahabat sebagai Qādli
Sebagaimana disingggung di muka, bahwa Nabi SAW merupakan satu-satunya
pemegang kekuasaan saat itu. Namun beberapa riwayat yang ada
menunjukkanbahwa Nabi SAW pernah menunjuk beberapa orang sahabatnya
untuk menyelesaikan kasus-kasus persengkataan tertentu. Sebagai contoh Nabi
pernah mendelegasikan Hudzaifah ibn al-Yamān al-`Absy untuk menyelesaikan
perselisihan dua orang bersaudara yang memperebutkan hidhār atau jidār rumah
mereka. Nabi juga diriwayatkan pernah meminta `Amru ibn al-`Āş untuk memberi
keputusan pada sebuah masalah yang dibawa oleh dua orang yang datang kepada
Nabi mengadukan persengketaan mereka. Nabi bersabda kepada `Amru:
“Putuskanlah perkara yang terjadi antara keduanya wahai `Amru.” Maka `Amru
merasa kaget dan berkata: “Akankah aku putuskan perkara keduanya sementara
engakau berada bersama kami wahai Rasulullah.
3. Sumber Hukum Peradilan
Sebagai seorang Qādli (pemegang kekuasaan) Nabi SAW telah menjalankan
perannya dengan baik dalam memutuskan berbagai persoalan yang terjadi pada
zaman itu. Diantara putusan Nabi ada diantaranya yang merupakan implementasi
langsung dari aturan-aturan wahyu yang terdapat dalam al-Quran, seperti saat Nabi
SAW memerintahkan pemotongan tangan seorang perempuan Bani Makhzūm yang
mencuri, sebagai pelaksanaan kandungan ayat QS. Al-Mā’idah: 38.
Namun, Nabi SAW terkadang juga memutuskan suatu perkara dengan ijtihad belaiu
dalam beberapa hal ketika tidak terdapat naş-nya secara eksplisit dalam al-Quran

11
seperti ketika beliau memberikan kebebasan kepada seorang anak yang telah
dewasa untuk memilih ikut ibu atau bapaknya ketika keduanya bercerai. Mengenai
keberadaan ijtihad sebagai salah satu sumber hukum peradilan di zaman ini secara
lebih tegas diungkapkan oleh Nabi sendiri ketika memberikan putusan kepada dua
orang yang bersengketa tentang sebuah masalah waris. Nabi SAW bersabda:
ِ ‫ل لَ ْْم فِي َما بِ َرأْيِى بَ ْينَ ُك ْْم أ َ ْق‬
‫ضى إِنَّ َما إِنِى‬ َّْ َ‫فِيه َعل‬
ْْ َ‫ى يُ ْنز‬
“Sesungguhnnya aku metutuskan berdasarkan pandanganku, dalam perkara yang
belum ada wahyu yang diturunkan kepadaku”.

H. Peradilan Islam Masa Khulafaurrasyidin


Setelah Wafatnya Nabi Muhammad Saw, Perjuangan Rasulullah SAW diteruskan
oleh khulafâ’ al-râsyidîn, yaitu Abu Bakar al-Shiddîq RA, Umar bin Khattab RA,
Utsman bin Affan RA, dan Ali bin Abi Thalib RA Alasan disebut dengan khulafâ’ al-
râsyidîn adalah dikarenakan kata khulâfâ’ berasal dari khalîfahyang berarti
pengganti. Sedangkan râsyidûn adalah yang mendapatkan petunjuk. Jadi khulafâ’
al-râsyidîn adalah khalifah-kahlifah (pengganti-pengganti) Rasulullah SAW yang
berarti mendapat bimbingan yang benar, karena mereka melakasanakan tugas
sebagai pengganti Rasulullah SAW menjadi kepala negara Madinah dan sebagai
pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.
Dalam meneruskan perjuanggan Rasulullah SAW, khulafâ’ al-râsyidîn telah
melakukan banyak sekali kebijakan untuk membangkitkan perjuangan Islam. Salah
satunya adalah peradilan (yudisial). Ini dikarenakan peradilan adalah sangat
penting bagi pembangunan umat Islam itu sendiri, melihat Nabi yang mendapatkan
wahyu dari Allah SWT sudah tidak ada lagi. Maka dari itu, konsep peradilan khulafâ’
al-râsyidîn sangatlah penting dalam sejarah pembentukan ‘Peradilan Islam’.
1. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Abu Bakar As-sidiqy
Abu Bakar al-Shiddîq RA, adalah pengganti Rasulullah SAW dalam hal duniawi
(pemerintahan) dan dalam hal ukhrawi (spiritual) yang hanya terbatas pada
pemimpin agama, seperti imam solat, mufti, dan lain-lain yang bukan sebagai rasul
yang mendapatkan wahyu

12
Pada saat Abu Bakar RA menggantikan Rasulullah SAW, beliau tidak merubah
sistem peradilan yang berlaku pada zaman Rasulullah SAW. Ini dikarenakan beliau
sibuk menegakkan hukum Islam dengan memerangi kemurtadan, orang-orang
muslim yang enggan membayar zakat, dan lain-lain perkara yang berhubungan
dengan politik dan hukum.
Malahan, pada periode ini peradilan dikuasai oleh khalifah sendiri, dan kadang-
kadang khalifah memberi kuasa kepada orang lain untuk menjadi hakim seperti
yang dilakukan Rasulullah SAW. Perkara ini berlaku sampai pada awal
kekhalifahan Umar bin al-Khattab. Jadi, pada periode ini, belum ada pemisahan
antara tiga jenis kekuasaan; yaitu eksekutif, yudikatif, dan legislatif, sebaliknya
khalifah memegang kekuasaan yudikatif1
Doktor ‘Athiyyah Mushthofâ Musyrafah menukil dari Syaikh Muhammad Bakhît al-
Muthî’î di dalam kitabnya yang berjudul; Hakîkat al-`Islâmi wa `Ushûl al-Hukm:
‫للخلي اإلسالم في قاض أول فكان القضاء الخطاب بن عمر تولى بكر أبي خالفة وفي‬
dan pada kekhalifahan Abu Bakar, beliau (Abu Bakar) menganggkat Umar bin al-
Khatthâb sebagai hakim, maka adanya Umar adalah awal-awalnya hakim di dalam
Islam bagi khalifah)
Abu Bakar RA membagi Jazirah Arab menjadi beberapa wilayah. Beliau melantik
pada setiap wilayah tersebut seorang pemimpin (amîr) yang ada sebelumnya. Amîr
ini memimpin solat, menjadi hakim bagi perkara yang diangkat padanya, begitu juga
melaksanakan hudûd. Dikarenakan ini, Abu Bakar RA memberi setiap amîr tersebut
ketiga-ketiga kekuasaan pemerintahan (eksekutif, yudikatif, dan legislatif).
2. Peradilan Islam Pada Masa Umar bin Khatab
Setelah wafatnya Abu Bakar RA, kekhalifahan dipegang Saidina Umar bin al-
Khattab RA. Pada saat ini, daerah Islam semakin luas. Tugas-tugas pemerintahan
dalam bidang politik, sosial, dan ekonomi semakin rumit. Khalifah Umar RA juga
mulai sibuk dengan peperangan yang berlaku antara negara Islam dengan Parsi
dan Romawi. Dengan semua kesibukan ini, Umar tidak sempat untuk
menyelesaikan semua masalah peradilan. Maka dari itu, beliau memutuskan untuk
mengangkat hakim yang berada di luar kekuasaan eksekutif. Ini adalah pertama

13
kali pemisahan antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif terjadi. Memisahkan Qadla
(Lembaga Peradilan) dari tangan gubernur dan yang mula-mula melakukannya
Dikala Khilafah ( pemerintahan ) Islam dikendalikan umar r.a barulah dirasakan
perlu mengadakan pejabat tertentu untuk menyelesaikan perkara-perkara yang
diadukan kepada penguasa. Pada masa khalifah Umar, kota-kota Islam telah
bertambah banyak. Pekerjaan yang harus diselesaikan Khalifah, atau para
gubernur telah bertimbun-timbun hingga sukarlah bagi khalifah menyelesaikan
sendiri segala perkara yang diajukan kepadanya. Urusan-urusan pengadilan, di
samping pemangku-pemangku wilayah umum (Gubernur). Tidak saja di kota
Madinah di pusat pemerintahan, Umar mengangkat pejabat tinggi yang khusus
mengendalikan lembaga pengadilan, bahkan di kediaman para gubernur pun beliau
mengangkat juga pejabat sebagai hakim
Untuk hakim di Madinah, diangkat Abud Darda. Untuk hakim di Bashrah di angkat
Syuraih. Dan untuk hakim di Kufah diangkat Abu Musa Al Asy’ary. Oleh Abu Msalah
ditulis Risalatu Qadla.
Kepada Qadli Abu Musalah Amirul Mu’minin ‘Umar, mengirim instruksinya yang
dikenal dalam sejarah kehakiman Islam dan menjadi pedoman pokok bagi para
hakim.
Yang berwenang mengangkat Qadli (Hakim)Yang berhak mengangkat Qadli dan
memberhentikannya pada mulanya adalah Khalifah (Kepala Negara) sendiri.
Khalifah sendiri mengangkat seseorang untuk menjabat jabatan Qadli guna di
tempatkan di Suatu daerah, atau dengan cara mengirim surat kepada para wali
(Gubernur) supaya mengangkat Qadli. Adakala orangnya ditunjuk oleh khalifah
atau Gubernur
Adapun, Al Khatib Al Baghdady menerangkan dalam tarik Baghdad bahwa: wali –
Kepala daerah sendiri yang menentukan Qadli yakni tidak menanti amanat Khalifah
lebih dahulu
Dr. Hasan Ibrahim dalam tarik Al Islam As Siyasi berkata: Apabila Kepala Daerah
umum urusannya mempunyai wilayah ammmah, yakni mengendalikan segala

14
persoalan yang bersangkutan dengan pemerintahan maka bolehlah ia menentukan,
atau mengangkat Qadli-qadli tanpa menanti amarah (perintah) Khalifahnya.
3. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Utsman bin Affan
Setelah Khalifah Umar bin al-Khattab RA meninggal dengan dibunuh, maka kursi
kekhalifahan dipegang oleh Saidina Utsman bin Affan RA dengan dilantik oleh
rakyat. Khalifah Utsman adalah orang yang mengkodifikasi Alquran setelah
pengumpulan yang dilakukan Abu Bakar RA atas usulan Umar RA Sistem
pengadilan pada zaman beliau adalah sama seperti yang telah diatur Umar RA,
karena beliau tinggal meneruskan saja sistem Umar RA yang sudah tertata rapi.
Salah satu perubahan penting bagi pengadilan Islam pada zaman Khalifah Utsman
bin Affan RA adalah dibangunnya bangunan khusus yang digunakan untuk
peradilan negara Islam. Sebelum Khalifah Utsman RA, masjid adalah tempat untuk
berperkara.
Dalam memberi hukum, Utsman memakai Alquran, sunnah, lalu pendapat khalifah
sebelumnya. Kalau tidak ditemukan, beliau akan bermusyawarah dengan para
sahabat.
4. Peradilan Islam Pada Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Utsman RA, Saidina Ali bin Abi Thalib RA menjabat sebagai
khalifah. Beliau tidak melakukan perubahan di dalam peradilan. Beliau juga
berpegang pada Alquran, sunnah, lalu merujuk pada khalifah sebelumnya.
Seumpama tidak ditemui, baru beliau bermusyawarah dengan sahabat yang lain
berdasarkan pada ayat:
{‫}األمر في وشاورهم‬.
Sesuai dengan khalifah sebelumnya, Khalifah Ali bin Abi Thalib RA juga membayar
gaji para hakim dengan memakai uang yang ada di Bait al-Mâl.
Selain dari itu, dalam usaha Khalifah Ali RA meningkatkan kualitas peradilan Islam,
beliau memberi insruksi kepada Gubenur Mesir dalam penentuan orang-orang yang
akan diangkat menjadi hakim. Di dalam instruksi itu, ditekankan agar penguasa
memilih orang-orang yang akan menjadi hakim dari orang-orang yang dipandang
utama oleh penguasa sendiri, jangan dari orang-orang yang berpenghidupan

15
sempit, jangan dari orang-orang yang tidak mempunyai wibawa dan jangan pula
dari orang-orang yang loba kepada harta dunia, di samping mempunyai ilmu yang
luas, otak yang cerdas, daya kerja yang sempurna.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengadilan merupakan badan Peradilan dan bersifat konkrit. Bila
diperkenankan, antara Pengadilan dan Peradilan dapat dianalogikan dengan gelas
serta airnya. Pengadilan berkedudukan sebagai gelas yang merupakan wadahnya,
sedangkan Peradilan berkedudukan sebagai airnya yang merupakan isi dari gelas
tersebut. Jadi, kita dapat merasakan fungsi gelas tersebut bila telah diisi air, yaitu
untuk minum. Begitu pun Pengadilan dan Peradilan, yang dapat kita rasakan
fungsinya bila telah mengetahui kedudukan masing-masing. Dengan demikian,
semoga tulisan ini mampu membantu pembaca dalam membedakan Pengadilan
serta Peradilan dan, diharapkan tidak lagi keliru dalam menggunakan kata
Pengadilan serta Peradilan.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar RA, beliau tidak melakukan perubahan sistem
peradilan seperti yang telah ditinggalkan Nabi Muhammad SAW
Khalifah Umar bin al-Khattab RA adalah khalifah yang pertama kali memisah
kekuasaan yudisial dari eksekutif. Beliau juga membuat sebuahdustûr yang dibuat
pegangan bagi para hakim agung
Utsman bin Affan RA tidak banyak melakukan perubahan sistem peradilan dari apa
yang ditinggalkan Umar RA. Utsman adalah khalifah yang pertama kali membangun
gedung khusus untuk peradilan Islam
Ali bin Abi Thalib RA memberi instruksi kepada pemimpin-pemimpin daerah bagi
kriteria orang yang layak untuk diangkat menjadi hakim

17
B. Saran
Dengan kita melihat ke belakang ke sejarah mengenai peradilan agama,
hendaknya peraturan perundang-undangan mengenai peradilan agama menjadi
lebih baik, mengingat perjuangan masyarakat yang berusaha mempertahankan
keberadaan peradilan agama.
Selanjutnya dengan adanya peraturan perundang-undangan yang lebih baik, maka
para penegak hukum, hendaknya bertindak secara maksimal sesuai dengan
peraturan-peraturan yang berlaku, untuk menghindari adanya penyelewengan
hukum.
Dan juga, kami mengharapkan kepada rekan-rekan seperjuangan untuk kita
bersama – sama mempelajari tentang Peradilan Islam , agar kita bisa memahami
dan bisa mempelajari tentang Peradilan Peradilan Islam Di Indonesia ini.

18
DAFTAR PUSTAKA

Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam, Bandung : Fakultas Syariah


dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati, 2011.

http://kuliahhukumindonesia.blogspot.com/2009/01/pengertian-peradilan-dan-
pengadilan.html

http://peradilandiindonesia.blogspot.com/2012/03/prinsip-dan-unsur-peradilan-
islam.html

http://blog.uin-malang.ac.id/mujahidah1453/2011/02/10/keistimewaan-sistem-
peradilan-islam/
Qosim,M.Rizal,2013,Pengamalan Fiqih.Solo;PT.Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.

19

Anda mungkin juga menyukai