PERADILAN
2. Pengertian peradilan
1. Fungsi peradilan
Artinya:”berlaku adillah kamu sekalian karena adil itu lebih dekat kepada
taqwa”.(QS. Al-ma’idah: 8).
BAB 2
PEMBAHASAN
Istilah Peradilan dan Pengadilan adalah memiliki makna dan pengertian yang berbeda,
perbedaannya adalah :
1. Peradilan dalam istilah inggris disebut judiciary dan rechspraak dalam bahasa Belanda
yang meksudnya adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan tugas Negara dalam
menegakkan hukum dan keadilan.
2. Pengadilan dalam istilah Inggris disebut court dan rechtbank dalam bahasa Belanda yang
dimaksud adalah badan yang melakukan peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus
perkara.
Kata Pengadilan dan Peradilan memiliki kata dasar yang sama yakni “adil” yang memiliki
pengertian:
a. Proses mengadili
Istilah peradilan itu senantiasa melekat dengan istilah pengadilan. Secara terminologi, kedua
istilah itu berbeda, tetapi keduanya tidak mungkin dapat dipisahkan, bagaikan anak panah
dengan busurnya, pedang dengan sarangnya, dan jadam dengan pahitnya. Karena pada dasarnya,
pengadilan itu merupakan tempat diselenggarakannya peradilan. Dengan demikian, pengadilan
itu dapat dibedakan dari peradilan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Peradilan merupakan piranti
lunak yang abstrak, sedangkan pengadilan menjadi piranti keras yang konkret dan
terlembaga.[2][2]
a) Hakim (qadhi)
Yakni orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan
gugatan dan perselisihan, dikarenakan penguasa tidak bisa melaksanakan sendiri tugas-tugas
peradilan. Sebagaimana yang dilakukan nabi Muhammad SAW pada masa hidupnya. Beliau
mengangkat qadli-qadli untuk bertugas menyelesaikan sengketa di antara manusia di tempat
yang jauh.
b) Hukum (qodho’)
Yaitu suatu keputusan produk qadli untuk menyelesaikan perselisihan dan memutuskan
persengketaan. Ada dua bentuk keputusan hakim:
o Qadla’ ilzam, yaitu menetapkan hak/macam hukuman kepada salah salah satu pihak dengan
redaksi “aku putuskan atasmu demikian”, atau menetapkan suatu hak dengan tindakan, seperti
pembagian secara paksa.
o Qadla’ tarki (penetapan berupa penolakan). Seperti ucapan qadli kepada penggugat: kamu
tidak berhak menuntut dari tergugat, karena kamu tidak mampu membuktikan, dan atas sumpah
tergugat.
Yaitu sesuatu yang diharuskan oleh qadli untuk dipenuhi atas suatu hak. Pada qadla’ ilzam, yang
dimaksud adalah dengan memenuhi hak penggugat. Sedangkan pada qadla’ tarki, yang
dimaksudkan adalah penolakan atas gugatannya itu. Atas dasar itulah, al-mahkum bih adalah hak
itu sendiri. Hak itu adakalanya hak Allah semata, hak manusia semata, atau hak yang
dipersekutukan antara Allah dan manusia tetapi salah satu lebih berat.
Apabila hak yang dituntut itu merupakan hak manusia semata, atau menurut lazimnya
merupakan hak manusia, maka penuntutnya adalah pemilik hak itu sendiri, atau orang yang
diberi kuasa olehnya. Si penuntut itu disebut mudda’i (penggugat). Jika ternyata dia tidak
menuntut atau membatalkan tuntutannya, maka ia tidak boleh dipaksa untuk menuntut haknya.
Apabila hak yang dituntut itu adalah hak Allah semata-mata atau menurut lazimnya hak itu
merupakan hak Allah, maka tuntutan itu dilakukan oleh penuntut umum (jaksa). Menurut
hanafiyyah, yang dimaksud hak Allah adalah hak masyarakat (publik).
d) Al-mahkum ‘alaih
Yaitu orang yang dijatuhi putusan atasnya. Mahkum ‘alaih yaitu orang yang dikenai putusan
untuk diambil haknya, baik ia mudda’a alaih (tergugat) atau mudda’i (penggugat).
e) Al-mahkum lahu
Yaitu penggugat suatu hak, yang merupakan hak manusia semata-mata (hak perdata), atau hak
yang lazimnya merupakan hak manusia semata-mata. Mahkum lah harus melakukan sendiri
gugatan atas haknya atau dengan perantaraan orang yang diberi kuasa olehnya, dan ia harus
datang sendiri ke persidangan atau wakilnya. Adapun bila hak itu merupakan hak Allah semata,
maka mahkum lah-nya adalah syara’. Dalam hal ini, tuntutan bukan datang dari perorangan,
tetapi sesuai syari’at Islam. Tuntutan itu dilakukan oleh lembaga penuntut umum.[3][3]
Kita lihat bahwa kekuasaan peradilan/kehakiman itu terpisah dari dua kekuasaan yang lain. Ini
berarti bahwa kedua kekuasaan/lembaga lainnya tidak diperkenankan mengintervensi/ ikut
campur dalam perkara-perkara atau urusan peradilan. Teori pemisahan kekuasaan ini
memunculkan prinsip-prinsip penting dalam peradilan Islam yang jumlahnya ada delapan (8)
yaitu:
Kebanyakan orang beranggapan bahwa prinsip kemerdekaan, persaudaraan, dan persamaan itu
tidak dikenal sebelum meletusnya revolusi Prancis pada akhir abad ke-18 M. Padahal sebenarnya
prinsip itu telah dikemukakan baik dalam al-qur’an, hadits, dan ucapan Khulafa’ur Rosyidin
sejak abad ke-7 masehi. Dalam mengadili, Rasulullah SAW selalu bersikap sama di antara pihak
yang berselisih. Begitu juga yang dilakukan oleh para khulafa’ur rosyidin.
Amirul mu’minin Umar ibn al-Khatthab r.a pernah memberikan nasehat kepada seorang qodli:
“bersikaplah sama di antara manusia di hadapanmu dalam pernyataan dan keputusan. Sehingga
orang yang mulia tidak berharap kemenangan perkara dalam keculasanmu, dan orang yang
lemah tidak putus asa dari keadilanmu.”
Di negara-negara Islam, sejak dulu tidak pernah ada qodli yang boleh memungut biaya dari
orang yang berperkara ke pengadilan. Hal ini untuk menunjukkan kedermawanan dan tidak
adanya sikap tamak dalam diri sang Hakim/qodli. Pemerintahan Islamlah yang menggaji mereka
(para qodli). Prinsip seperti ini tidak dikenal oleh negara-negara eropa kecuali setelah revolusi
Prancis. Akan tetapi, dengan adanya prinsip ini bukan berarti orang yang berperkara tidak
menyerahkan uang sama sekali ke pengadilan. Undang-undang positif mengharuskan penyerahan
sedikit biaya untuk mengurus (administrasi) perkara yang diajukan.
Berdasarkan prinsip ini, orang berperkara yang telah mendapatkan keputusan hukum atas suatu
kasus di pengadilan tingkat pertama, boleh mengajukan kasus itu lagi ke pengadilan yang lebih
tinggi alias naik banding untuk mendapatkan keputusan hukum lagi atas kasus tersebut.
Pengadilan yang lebih tinggi ini mempunyai kemerdekaan atau kebebasan untuk menentukan,
apakah keputusan pertama atas kasus itu (hasil pengadilan sebelumnya) dikukuhkan , diganti,
atau dibatalkan. Prinsip ini telah dikenal luas dalam semua undang-undang positif. Prinsip ini
mempunyai faedah yang penting. Ia mendorong qodli/hakim untuk berhati-hati dan mengerahkan
usaha maksimal dalam menangani kasus yang diajukan kepadanya. Karena hakim tersebut tahu
bahwa hukum yang ia putuskan akan mungkin ditampakkan/diperlihatkan lagi di kemudian hari
(di pengadilan banding), jika ternyata ada kekeliruan dalam keputusannya itu. Sehingga hal ini
mendorong sang hakim untuk ber-ijtihad dan melakukan penelitian secara mendalam agar
hukum yang ia putuskan tidak diganti atau dianulir.
e. Al-qodlo’ fil Islam yaqumu ‘ala nidhomi al-qodli al-fard (kehakiman Islam menerapkan
aturan hakim tunggal).
Dalam sistem peradilan Islam, yang memutuskan perkara di antara manusia adalah seorang qodli
saja. Dalam kondisi ada kebutuhan, Fuqoha’ memperbolehkan sang hakim didampingi beberapa
Ulama’ sebagai pendamping yang akan memberikan sumbangan pendapat pada hakim. Akan
tetapi mereka (ulama’) tidak boleh ikut campur dalam memutuskan hukum atas kasus yang
disidangkan. Pendapat mereka hanya sebagai pertimbangan seperlunya bagi hakim. Jadi yang
memutuskan hukum tetap sang hakim/qodli itu sendiri.
Fuqoha’ bersepakat atas terbukanya pengadilan. Bahwa pengadilan dilaksanakan secara terbuka.
Sebagaimana Rasulullah menyelenggarakan persidangan di masjid.
Keputusan hukum tidak bisa dijatuhkan sebelum kedua belah pihak terkait dipertemukan (saling
mengetahui dan didengarkan pendapatnya masing-masing). Mengenai pihak berperkara yang
ghaib (tidak hadir dalam persidangan), ada kaedah-kaedah tersendiri yang mengaturnya,
sehingga hak masing-masing pihak tetap terjaga.
h. Sulthotul qodli fil fiqhi al-islamiy (kekuasaan kehakiman dalam fikih Islam)
Dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman, walaupun sudah ada undang-undang positif yang
diterapkan, fikih (hukum Islam) tetap menjadi pijakan dalam menetapkan, mengganti atau
menganulir hukum.[4][4]
Lembaga peradilan adalah lembaga yang bertugas menyampaikn keputusan hukum yang bersifat
mengikat. Dasar dan dalil disyariatkannya lembaga peradilan ini adalah : (QS : Al-Maidah:49)
49. Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap
mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan
Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang Telah diturunkan Allah), Maka
Ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada
mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia
adalah orang-orang yang fasik.
“Jika dua orang menghadapmu meminta keputusan, janganlah engkau tergesa-gesa
memutuskan perkara diantara mereka sebelum engkau mendengarkan perkataan pihak yang
lain, sehingga engkau akan tahu bagaimana seharusnya engkau memutuskan perkara diantara
mereka itu.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad)[5][5]