Anda di halaman 1dari 10

Nama : Ihsan Hidayatuloh

Nim : 1193010062

Jurusan : Hukum Keluarga PI B

Mata Kuliah : Administrasi Peradilan

Tugas Uas : Membuat BOOK REVIEW

A. IDENTITAS BUKU

Judul Buku : Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama

Nama Penulis : M. Yahya Harahap

Nama Peberbit : Sinar Grafika

Tahun terbit :2009

No.ISBN : 9789798767791

Jumlah Halaman : 347 halaman

B. PROFIL PENULIS

Prof. Muhammad Yahya Harahap, S.H. lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan tahun 1932.
Beliau menyelesaikan S1-nya di Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara pada tahun 1960
dan meraih gelar Master Hukum 1963. Beliau dikenal sebagai pakar dalam bidang hukum
perdata, hukum kriminal, hukum arbitrasi / ADR serta hukum hak milik intelektual.

Ia pernah bekerja sebagai hakim di beberapa pengadilan negeri di daerah. Mulai dari
tahun 1982 hingga tahun 2000, ia menjabat sebagai hakim pada Mahkamah Agung Republik
Indonesia, dengan jabatan terakhir Wakil Ketua Mahkamah Agung dalam bidang kriminalitas.
Dan ia juga sempat menjabat sebagai Wakil Ketua PN Medan pada tahun 1990-an. Selama 30
tahun, ia telah menerbitkan lebih dari 20 buku dalam bidang hukum.

C. SINOPSIS (Gambaran singkat isi buku)

Lahirnya UU Peradilan Agama No.7 Tahun 1989 membawa kejelasan dan kejernihan
fungsi dan kewenangan Peradilan Agama sebagai salah satu badan peradilan pelaksana
kekuasaan kehakiman. Buku ini membahas UU Peradilan Agama No.7 Tahun 1989 dengan
mendefenitifkan serta mempositifkan bidang hukum perdata apa saja yang menjadi
kewenangan/yurisdiksi lingkungan peradilan agama serta bagaimana proses beracara di
Peradilan Agama.
D. ULASAN(ulasan per BAB)

1. Bab I
Kata kekuasaan sering disebut kompetensi yang berasal dari bahasa Belanda
competentis, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan kewenangan dan kadang dengan
kekuasaan. Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya adalah dengan hukum
acara1.
Kekuasaan mutlak Peradilan Agama di lingkungan Badan Peradilan Agama
terdapat dua tingkat pengadilan, yaitu Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat
pertama dan Pengadilan Tinggi Agama sebagai pengadilan tingkat banding.2

2. Bab II
Dr. Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan fiqh adalah pengetahuan tentang
hukum-hukum syari’ah Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil dari dalil-dalil
secara detail.3 Fiqh merupakan koleki hukum-hukum syari’ah yang dikaji dari nash-nash
yang telah ada, di samping istinbath dalil-dalil syari’ah Islamyang tidak terdapat nashnya.
Upaya mempositifkan abstraksi hukum Islam sebagai salah satu sistem tata
hukum yang diakui keberadaan dan hak hidupnya di Indonesia, pernah dilakukan. Sejak
awal kehadiran Islam pada abad XIII Masehi, tata hukum Islam sudah diterapkan dan
dikembangkan di lingkungan masyarakat Islam. Prof. Hamka mengajukan fakta-fakta
berbagai karya ahli hukum Islam Indonesia. Misalnya siratul Thullab, Siratul Mustaqim,
Sabilul Muhtadin, Kartaagama, Sayinatul Hukum, dan lain-lain. Akan tetapi semua karya
tersebut masih bercorak pembahasan fiqh, masih bersifat doktrin hukum dan system fiqh
Islam Indonesia yang berorientasi kepada ajaran mazhab Syafi’i.4
Dengan mempositifkan hukum Islam secara terumus dan sistematik dalam kitab
hukum, terdapat beberapa sasaran pokok yang hendak dicapai dan dituju, di antaranya
adalah:

1
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1993),
hlm. 133.
2
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama, hlm. 134.
3
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, ahli bahasa dan editor Moch. Tolchan Mansur dan
Noer Iskandar Al Barsang, (Bandung: Risalah, 1985), hlm. 5.
4
Hamka, Mazhab Syafi’I di Indonesia dalam Antara Fakta dan Khayal Tuanku Rao, (Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1974), hlm. 21.
- Melengkapi pilar Peradilan Agama.
- Menyamakan persepsi penerapan hukum.
- Mempercepat proses Taqribi bainal Ummah
- Menyingkirkan paham Private Affair

3. Bab III
Kebebasan hakim menafsirkan hukum harus berkaitan dengan perkara yang
sedang diperiksa. Hukum yang hendak ditafsirkan mesti bersumber dari ketentuan
peratura perundang-undangan yang berlaku yang ada kaitannya dengan kasus perkara
yang sedang diperiksa.
Pendekatan cara penafsiran tidak bebas menurut kemauan hakim sendiri.
Kebebasan penafsiran yang dibenarkan harus melalu pendekatan disiplin yang diakui
keabsahannya oleh teori dan praktek. Ada beberapa pendekatan yang dapat dipakai
diantaranya adalah pendekatan sistematik, pendekatan penafsiran sosiologis, pendekatan
pengertian biasa, pendekatan penafsiran analogis dan a contrario, dan pendekatan
maslahah mursalah.5

4. Bab IV
Dalam suatu penyelenggaraan negara dan pengelolaannya seperti Negara
Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dalam
susunan kehidupannya menjadikan hukum sebagai landasan pijaknya. Berdasarkan
Undang-undang Dasar tersebut, Negara Indonesia, dalam penyelenggaraannya dilakukan
oleh beberapa kekuasaan negara, antara lain6:
- Kekuasaan Pemerintah (Eksekutif)
- Kekuasaan Perundang-undangan (Legislatif)
- Kekuasaan Pengawasan Keuangan Negara (BPK)
- Kekuasaan Kehakiman (Yudikatif)
- Kekuasaan Pertimbangan (DPA), dan
- Kekuasaan-kekuasaan lainnya.

5
Abdul Wahab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam, hlm. 128.
6
Undang-undang Dasar 1945.
5. Bab V
Pengadilan Agama maupun Pengadilan Tinggi Agama sebagai lembaga pelaksana
Kekuasaan Kehakiman di lingkungan Badan Peradilan Agama, yang lingkup tugasnya
begitu berat dan luas, tentunya perlu mempunyai susunan dan struktur organisasi yang
memadai dengan beban tugasnya, baik yang menyangkut penanganan perkara maupun
administrasinya. Dengan kemandirian susunan dan struktur organisasi ini, akan sangan
berpengaruh terhadap kelancaran penyelenggaraan peradilan itu sendiri.
Adapun susunan Pengadilan Agama terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota,
Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita 7.Sedangkan susunan dari Pengadilan Tinggi Agama
terdiri dari Pimpinan, Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.8

6. Bab VI
Kata Kekuasaan sering disebut kompetensi yang berasal dari bahasa Belanda
competentie, yang kadang-kadang diterjemahkan dengan kewenangan dan kadang dengan
kekuasaan.9 Kekuasaan atau kewenangan peradilan ini kaitannya dengan hukum acara.
Kekuasaan mutlak Pengadilan berkenaan dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam perbedaanya dengan jenis perkara atau jenis
pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, sebagai contoh: Pengadilan Agama
berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam, sedangkan bagi
yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum. Pengadilan Agama lah yang
berkuasa memeriksa dan mengadili perkara dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung
berperkara ke Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung.
Kekuasaan absolut Pengadilan Agama diantaranya adalah sebagai berikut:10

a. Perkawinan
b. Waris
c. Wasiat
d. Hibah

7
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 9 Ayat (1)
8
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 9 Ayat (2)
9
M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama, hlm. 133.
10
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 49.
e. Wakaf
f. Zakat
g. Infaq
h. Shadaqah dan
i. Ekonomi syari’ah.

7. Bab VII
Menurut M. Yahya Harahap ada lima tugas dan kewenangan yang terdapat
dilingkungan Peradilan Agama, yaitu:
1. Fungsi kewenangan mengadili
2. Memberi keterangan, pertimbangan
3. Kewenangan lain berdasarkan undang-undang
4. Kewenangan pengadilan tinggi agama mengadili perkara dalam tingkat banding dan
mengadili sengketa kompetensi relatif
5. Serta bertugas mengawasi jalannya peradilan.11
Ada dua masalah yang selalu terjadi di lingkungan pradilan terutama di
lingkungan pradilan umum atau pradilan negeri dan pradilan agama, yaitu pertama
permohonan dan kedua masalah gugatan Baik permohonan maupun gugatan dapat
diajukan oleh seseorang pemohon/penggugat atau lebih secara bersama-sama.
Perbedaan antara permohonan dan gugatan adalah :
1. Dalam perkara gugatan ada sengketa, suatu konflik yang harus diselesaikan dan harus
diputus oleh pengadilan, sedangkan dalam permohonan tidak ada sengketa atau
perselisihan, misalnya segenap ahli waris secara bersama-sama menghadap ke
pengadilan untuk mendapat suatu penetapan perihal bagian masing-masing dari
warisan almarhum. Atau permohonan untuk mengganti nama dari Liem Sio Liong
menjadi Sudono Salim, atau permohonan pengangkatan seorang anak, wali, pengapu,
perbaikan akta catatan sipil.
2. Dalam suatu gugatan ada dua atau lebih pihak yaitu pengguna dan tergugat yang
merasa haknya atau hak mereka dilanggar, sedangkan dalam permohonan hanya ada
satu pihak yaitu pihak pemohon.

11
M Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Perdata Agama, hlm. 135.
3. Suatu gugatan dikenal sebagai pengadilan contentiosa atau pengadilan sungguh-
sungguh, sedangkan suatu permohonan dikenal sebagai pengadilan voluntair atau
pengadilan pura-pura.
4. Hasil suatu gugatan adalah putusan (vonis) sedangkan hasil suatu permohonan adalah
penetapan (beschikking).12

8. Bab VIII
Cerai talak adalah salah satu bentuk cara yang dibenarkan hukum Islam dalam
memutuskan akad nikah antara suami istri. Dalam pengkajian fiqh seperti yang
bersumber dari hadis yang diriwayatkan Abu Daud dan Ibnu Majah, kamus istilah agama
menulis talak berarti melepaskan ikatan, yaitu melepaskan ikatan perkawinan dengan
mengucapkan secara sukarela ucapan talak kepada istrinya, dengan kata-kata yang jelas
atau sharih ataupun dengan kata-kata sindiran atau kinayah.13
Kebolehan menalak istri bukan untuk dihamburkan, tapi harus digunakan secara
proporsional dan hati-hati sekali secara terbatas dan eksepsional. Seperti yang dijelaskan
Dr. Hammudah Abd. Al Ati, talak adalah semacam perceraian sederhana yang bisa
dirujuk atau simple revocable divorce.14
Tentang hakam merupakan lanjutan dari rangkaian syiqaq yang tercantum dalam
surah an-Nisa ayat 35. Morteza Muhtari mengemukakan kata padanan hakam dengan
arbiter. Menurut beliau hakam dipilih dari keluarga suami dan istri dengan syarat jujur
dan dapat dipercaya, berpengaruh, dan mengesankan, mampu bertindak sebagai juru
damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami istri, sehingga suami istri lebih
terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing15.

9. Bab IX
Produk Hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 (tiga) macam,
yaitu:
a. Putusan;

12
Taufik Makarou, Pokok-pokok Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), hlm. 16-17.
13
Shocliq dan Shahaluddin Chaery, Kamus Istilah Agama, (Jakarta: Sienttarama, 1988), hlm. 358.
14
Ansyari Thayib, Keluarga Muslim, (Surabya: PT. Bina Ilmu, 2002), hlm. 297.
15
Morteza Muhtari, Wanita dan Hak-haknya dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 114.
b. Penetapan; dan
c. Akta perdamaian.16
Putusan ialah pernyataan Hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh Hakim daam siding terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan
perkara gugatan (kontentius).17
Penetapan ialah juga pernyataan haki yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan
diucapkan oleh Hakim daam siding terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan
perkara permohonan (voluntair).18
Akta Perdamaian ialah akta yang dibuat oleh Hakim yang berisi hasil
musyawarah antara pihak dalam sengketa kebendaan untuk mengakhiri sengketa dan
berlaku sebagai putusan.19

Selain itu, ada pula produk Pengadilan Agamayang bukan merupakan produk
siding tetapi berkekuatan hukum seperti putusan sebagai akta otentik, yaitu:
a. Akta Komparasi, dan
b. Akta Keahliwarisan.20

10. Bab X
Upaya hukum yaitu usaha bagi setiap pribadi atau badan hukum yang merasa
dirugikan haknya atau atas kepentingannya untuk memperoleh keadilan dan perlindungan
atau kepastian hukum, menurut cara-cara yang ditetapkan Undang-undang.21
Adapun jenis-jenis upaya hukum adalah sebagai berikut:
1. Upaya hukum melawan gugatan:
a. Eksepsi;
b. Rekonvensi (gugat baik); dan
c. Minta vrijwaring.
2. Upaya hukum melawan putusan:

16
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 251.
17
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, hlm. 251.
18
Undang-undang No. 7 Tahun 1989 Pasal 60.
19
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, hlm. 252.
20
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, hlm. 251.
21
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, hlm. 279.
a. Upaya hukum biasa:
- Verzet
- Banding
- Kasasi
b. Upaya hukum luar biasa (istimewa):
- Rekes Sipil (Peninjauan Kembali)
- Derden Verzet
3. Upaya hukum melawan sita:
a. Verzet yang bersangkutan; dan
b. Verzet pihak ketiga.
4. Upaya hukum melawan eksekusi:
a. Verzet yang bersangkutan; dan
b. Verzet pihak ketiga.
5. Upaya hukum untuk mencampuri proses:
a. Intervensi / tussenkomst (mencampuri);
b. Voeging (turut serta pada salah satu pihak); dan
c. Vrijwaring (ditarik sebagai penjamin).
6. Upaya hukum pembuktian:
a. Saksi;
b. Tulisan;
c. Dugaan atau persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah; dan sebagainya.22
Semua itu merupakan suatu upaya hukum terhadap suatu sengketa yang telah
diproses di Pengadilan. Sedang upaya hukum bagi pihak yang dirugikan oleh orang lain
atau untuk seuatu kepentingan hukum baginya yang belum diproses di Pengadilan ialah
mengajukan perkara ke Pengadilan.

E. KESIMPULAN

22
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata, hlm. 279-280.
Buku karangan M. Yahya Harahap ini didahului dengan kata Pengantar dari
penulis yang menguraikan latar belakang dari penulisan buku ini. Setealah itu Bab I Tujuan
Undang-undang Peradilan Agama, di dalam bab ini mempertegas kedudukan dan kekuasaan
Peradilan Agama sebagai kekuasaan kehakiman.
Bab II Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam, bab ini terdiri dari beberapa subbab
diantaranya, mempositifkan abstraksi hukum islam, tujuan kompilasi, kompilasi merupakan
jalan pintas, pendekatan perumusan Kompilasi Hukum Islam, selintas informasi materi
pokok Kompilasi Hukum Islam, dan Kompilasi Hukum Islam langsung konservatif dan
belum sempurna.
Bab III Asas-asas umum Peradilan Agama, yang terdiri dari asas personalita keislaman,
asas kebebasan, asas wajib mendamaikan, asas sederhana cepat dan biaya ringan, asas
persidangan terbuka untuk umum, asas legalitas dan persamaan, dan asas aktif memberi
bantuan.
Bab IV Kedudukan Peradilan Agama, yang menguraikan tentang pelaksana kekuasaan
kehakiman, kompetensi absolut antar lingkungan peradilan, dan pembinaan Peradilan
Agama.
Bab V Susunan Organisasi Peradilan Agama, yang terdiri dari susunan hirarki
Peradilan Agama, susunan organisasi Pengadilan Agama, dan susunan organisasi Pengadilan
Tinggi Agama.
Bab VI kekuasaan Peradilan Agama, yang menguraikan tentang kekuasaan mengadili,
jangkauan kewenangan mengadili perkara perkawinan, jangkauan kewenangan mengadili
perkara warisan, kewenangan Peradilan Agama tidak menjangkau sengketa milik, hak opsi
dalam perkara warisan, jangkauan keweangan mengadili perkara wasiat dan hibah, sengketa
milik sebagai faktor kendala, sengketa milk hanya meliputi pihak ketiga, kewenangan
mengadili Pengadilan Tinggi Agama mengadili sengketa kompeensi, dan kewenangan
Pengadilan Tinggi Agama mengawasi jalan peradilan.
Bab VII Gugatan dan Kompetensi Relatif, yang menjelaskan tentang permohonan dan
gugatan, gugat volunteer, gugat yang bersifat contentiosa, formulasi gugatan, perubahan
gugatan, kompetensi relatif antar Pengadilan Agama, patokan kompetensi relatif secara
umum, kompetensi relatif perkara cerai talak dan cerai gugat, menentukan kompetensi relatif
penguasaan anak, nafkah anak, nafkah istri, dan harta bersama.
Bab VIII Pemeriksaan Perkara Perceraian, yang menguraikan tata cara pemeriksaan
perkara cerai talak, tata cara pemeriksaan cerai gugat, tata cara pemeriksaan atas alas an
mendapat pidana penjara, tata cara pemeriksaan atas alas an cacat, tata cara pemeriksaan atas
alasan syiqaq, izin pisah tempat tinggal, tata cara pemeriksaan permohonan nafkah, biaya
anaka, dan harta bersama, sita marital dapat diminta bersama gugat cerai, tata cara
pemeriksaan harta bersama, dan pemeriksaan cerai dengan alasan zina.
Bab IX Putusan Peradilan Agama, yang menguraikan tentang bentuk putusan Peradilan
Agama, ikatan bathiniah hakim peradilan Agama memutus perkara, keputusan berdasarkan
alasan yang cukup, formulasi dan sistematika putusan, autentisitas keputusan pengadilan, dan
keputusan yang dapat dijalankan lebih dulu.
Bab X Upaya Hukum terhadap Putusan pengadilan Agama, yang terdiri dari
pendahuluan, upaya banding, upaya kasasi, dan upaya peninjauan kembali.

Anda mungkin juga menyukai