Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

ASAS-ASAS PENDIDIKAN AHLAK DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN


ISLAM

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat
Pendidikan Islam

Dosen pengampu : Dr. Amin Fauzi

Disusun oleh :

Kelas 2E Kelompok II

1. Ade Mila 2107015148


2. Den Ayu Sekarsari 2107015166
3. Firda Nur Rahmayanti 2107015136

FAKULTAS AGAMA ISLAM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS PROF. DR. HAMKA

JAKARTA 2022

1
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang dengan karunia serta rahmatnya
memberikan nikamat kepada kita semua sebagai makhluk-Nya, yang berupa nikamat iman dan
Islam, serta nikmat sehat wal’afiat. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya, serta sampailah kepada
kita selaku umatnya yang senantiasa patuh pada ajarannya. Aamiin.

Kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman kelompok 6 yang telah membantu serta
memberikan gagasan dalam pembuatan makalah ini. Dan juga kami ucapkan terima kasih kepada
Bapak Dr. Amin Fauzi., selaku dosen Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam yang telah
memberikan kesempatan kepada kami untuk menggali ilmu melalui makalah ini.

Di dalam makalah ini kami menjelaskan tentang “Asas-Asas Pendidikan Ahlak Dalam
Filsafat Pendidikan Islam”. Selebih nya saya mohon maaf apabila dalam makalah ini terdapat
kesalahan baik dalam penulisan ataupun lainnya yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami
mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen demi tercapainya makalah yang
sempurna.

Jakarta, 25 Mei 2022

Kelompok 6

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................2

BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................................................1

A. Latar Belakang 4

B. Rumusan Masalah........................................................................................................................5

C. Tujuan Penulisan 5

BAB II PEMBAHASAN..................................................................................................................6

1. Makna Pendidikan dan Ahlak......................................................................................................

2. Tujuan Pendidikan Ahlak............................................................................................................

3. Prinsip-Prinsip Dari Falsafah Ahlak Dalam Islam.....................................................................


4. Tujuan Pengajaran Ahlak...........................................................................................................
5. Metode Pendidikan Ahlak..........................................................................................................

6. Metode Pembinaan Ahlak..........................................................................................................

BAB III KESIMPULAN................................................................................................................


11

DAFTAR PUSTAKA 13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir,
baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Khusus di Indonesia, terdapat
beberapa asas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan pendidikan
itu. Asas-asas tersebut bersumber baik dari kecenderungan umum pendidikan didunia maupun
yang bersumber baik dari pemikiran  dan pengalaman sepanjang sejarah upaya pendidikan di
Indonesia.
Jadi mengetahui dan mendalami asas-asas ini bukanlah tugas pemikir  dan ahli-ahli saja,
tetapi praktisioner di rumah sakit dan pabrik, kebun atau di sekolah. Berkenaan dengan asas-asas
yang kita maksudkan , yaitu asas-asas pendidikan , dapat kita uraiakan dalam beberapa asas yang
akan kita bahas pada makalah ini.
Jadi seorang dokter atau insinyur pertanian atau seorang pendidik memerlukan asas-asas
untuk mempermahir profesi dan menambah pengetahuan , memperkarya pengalaman dan
mengembangkan keterampilan. Ini menghendaki kita supaya jangan mengkajinya hanya sekali
saja atau hanya untuk mendapatkan ijazah tetapi perlu selalu menela’ah dan terus berkomunikasi.
Pendidikan itu mempunyai asas-asas tempat ia tegak dalam materi, interaksi, inovasi dan
cita-citanya.Jadi ia seperti kedokteran, misalnya seperti tehnik atau pertanian.Masing-masing
tidak dapat berdiri sendiri , tetapi merupakan suatu arena dimana di praktekan sejumlah ilmu
yang erat hubungan satu sama lain dan jalin-menjalin. Bidang pertanian , misalnya merupakan
tempat pertemuan kimia umum, kimia tanah, ilmu tumbuh-tumbuhan atau botani , lapisan bumi
dan ilmu tanah, anatomi tumbuh-tumbuhan, klimatologi, genetic, pemakaman dan lain-
lain.Begitu juga berpuluh-puluh ilmu lain, hasil-hasil terapannya bertemu pada bidang pertanian.

B. Rumusan Masalah
1.    Bagaimana definisi asas-asas pendidikan islam ?
2.    Apa macam-macam asas pokok pendidikan ?
3.    Apa macam-macam asas-asas pendidikan islam ?

C. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan definisi asas-asas pendidikan islam.
2. Menjelaskan macam-macam asas pokok pendidikan.
3. Menjelaskan macam-macam asas-asas pendidikan islam.

4
BAB II
PEMBAHASAN

1. Makna Pendidikan dan Ahlak


a. Istilah pendidikan, secara bahasa dalam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berasal dari kata dasar didik, dan diberi awalan me, menjadi mendidik, yang
artinya proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang
dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Secara etimologis, istilah akhlak adalah bentuk jamak dari kata Khuluq yang berarti
budi pekerti, perangai, tingkah laku dan akhlak (tabiat). Tabiat ini dilahirkan karena
hasil perbuatan yang diulang-ulang sehingga menjadi biasa.

Berikut ini akan dipaparkan definisi akhlak menurut istilah para ahli, yaitu:

1. Menurut Imam al-Ghazali, dalam kitab Ihya Ulumuddin, definisi akhlak


adalah:
2. Sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan
dengan gampang dan mudah dengan tidak memerlukan pemikiran dan
pertimbangan.
3. Menurut Ibn Maskawih (w.1030 M), khuluq (akhlak) adalah keadaan jiwa
yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan
dan diperhitungkan sebelumnya.

Dalam Al-Qur'an surat Al-Qolam ayat 4 yaitu:

- "Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung"

Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Muslim:

"Sebaik-baik kamu yaitu yang paling baik keadaan akhlaknya"

Dari ayat-ayat dan hadits di atas dapat dipahami bentuk perkataan akhlak,

khuluk dan khaliqun bisa diartikan dengan istilah budi pekerti atau perangai,
tingkah laku, adab kebiasaan, atau segala sesuatu yang sudah menjadi tabiat.

2. Tujuan Pendidikan Ahlak


Tujuan pendidikan akhlak menurut para ahli adalah sebagai berikut:
1. Menurut M. Ali Hasan, tujuan pokok pendidikan akhlak adalah setiap orang
berbudi pekerti (berakhlak), bertingkah laku, berperangai atau beradat istiadat yang
baik sesuai dengan ajaran Islam (Hasan, Ali: 11).

5
2. Menurut Barmawi Umary, tujuan ilmu akhlak adalah supaya perhubungan kita
dengan Alloh dan dengan sesama makhluk tetap terpelihara dengan baik dan
harmonis.
3. M. Athiyah Al-Abrasyi, tujuan pendidikan moral dan akhlak ialah untuk
membentuk orang orang yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara
dan perbuatan, jujur dan suci.
4. Menurut Ibnu Miskawaih, tujuan pnddkan akhlak adalah terciptanya manusia
yang berperilaku ketuhanan. Perilaku seperti ini muncul dari akal ketuhanan yang ada
dalam diri manusia secara spontan

3. Prinsip-prinsip dari falsafah ahlak dalam islam


Menurut Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany:
1. Kepercayaan akan pentingnya akhlak dlm hidup.
2. Kepercayaan bahwa akhlak itu sikap yg mendalam di dalam jiwa.
3. Kepercayaan bahwa akhlak dalam Islam untuk kebahagiaan dunia dan akhirat
bagi kebaikan individu dan masyarakat.
4. Kepercayaan bahwa tujuan akhlak Islam itu akhlak kemanusiaan yang sesuai
dengan fitrah manusia.
5. Kepercayaan bahwa teori akhlak tidak sempurna tanpa 5 unsur: akhlak, hati,
nurani, kemestian
akhlak, hukum akhlak, tanggung jawab akhlak, dan ganjaran akhlak.
• Hati Nurani Akhlak (Moral Concience)
Definisi: "dorongan dalam atau kekuatan dalam yang mengawasi dari dalam,
perbuatan2 manusia yg nampak dari luar, sehingga ia dapat menentukan terjadi
atau tidaknya perbuatan tersebut." Atau "perasaan jiwa dari dalam di mana
terpantul perbuatan2 manusia sehingga ia dapat menghargai perbuatan2 ini dan ia
sanggup apakah ia baik atau buruk."
• Paksaan Akhlak (Moral Obligation)
Tidak ada nilai bagi prinsip dan dasar-dasar akhlak jika ia tidak mengandung
kesanggupan memaksa manusia mengikutinya, berpegang teguh dalam
melaksanakannya, dan beramal sesuai dengannya.
Dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, sumber utama bagi paksaan akhlak
ini adalah agama dan perintah-perintah, larang-larangan, ajak-ajakan, dan ancam-
ancaman yg terkandung di dalamnya.
• Hukum Akhlak (Moral Judgement)
Yang dimksud dengan hukum akhlak: menghargai nilai-nilai akhlak bagi
perbuatan manusia sekedar unsur-unsur kebaikan dan keburukan yg terkandung di
dalamnya, atau sekedar baik dan buruknya.

6
Jadi harus ada bagi hukum akhlak ini norma-norma atau ukuran-ukuran yang
menjadi dasarnya.
Bagi seorang Muslim, itu tidak boleh keluar dari prinsip-prinsip dan dasar-dasar
akhlak yang umum dibawa oleh Islam dan terkandung dalam ajaran-ajaran,
perintah-perintah, dan larangan-larangannya.
• Tanggung Jawab Akhlak (Moral Responsibility)
Tanggung jawab akhlak ini merupakan dasar utamanya akhlak, pangkal hukum
akhlak, balasan akhlak dan hal-hal yg berkaitan dengannya, seperti pahala, siksaan
dengan bentuknya yg bermacam-macam
Diantara syarat-syarat tentang tanggung jawab akhlak, yang paling utama adalah,
kemauan bebas manusia baik itu, ia bebas melakukan suatu perbuatan yg ia
anggap baik ataupun tidak baik. Artinya, ada kesadaran, kemauan dan kebebasan
yg keluar timbul dari dirinya sendiri. Tanpa syarat-syarat ini, perbuatan atau
akhlak manusia tidak bisa dipertanggung jawabkan.
• Ganjaran Akhlak (Moral Rewards)
Ganjaran akhlak itu, apakah itu ganjaran kebaikan ataupun keburukan, pahala
ataupun siksaan, diberikan kepada pelaku akhlak karena adanya tanggung jawab
akhlak dan hukum akhlak.
Tanggung jawab akhlak, hukum akhlak dan ganjaran akhlak berkaitan satu sama
lain dan memiliki hubungan yg timbal balik. Apabila salah satu di antaranya ada,
maka yang lain pun juga ada.

4. Tujuan Pengajaran Ahlak


Tujuan pengajaran akhlak dalam Islam adalah untuk membentuk manusia yang
bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam berbicara dan perbuatan, mulia dalam
tingkah laku perangai, bersifat bijaksana, sempurna, sopan dan beradab, ikhlas,
jujur dan suci. Dengan kata lain pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan
manusia yang memiliki keutamaan (al-fadhilah). Berdasarkan tujuan ini, maka
setiap saat, keadaan, pelajaran, aktifitas, merupakan sarana pendidikan akhlak.
Dan setiap pendidik harus memelihara akhlak dan memperhatikan akhlak di atas
segala- galanya.
A. Menumbuhkan pembentukan kebiasaan berakhlak mulia dan beradat
kebiasaan yang baik.
B. Memantapkan rasa keagamaan pada siswa, membiasakan diri berpegang
pada akhlak mulia dan membenci akhlak rendah.
C. Membiasakan siswa bersikap rela, optimis, percaya diri, menguasai emosi,
tahan menderita dan sabar..
D. Membimbing siswa kearah sikap yang sehat yang dapat membantu mereka
berinteraksi

7
E. sosial yang baik, mencintai kebaikan untuk orang lain, suka menolong,
sayang kepada yang lemah dan menghargai orang lain.
F. Membiasakan siswa bersopan santun dalam berbicara dan bergaul baik di
sekolah maupun diluar sekolah. Selalu tekun beribadah dan mendekatkan
diri kepada Allah dan bermu'amalah yang baik.

5. Metode Pendidikan Ahlak


Pembentukan akhlak menurut al-Ghazali dapat ditempuh dengan dua jalan, yaitu:
a. Mengekang hawa nafsu (Mujahadah) dan dengan mengerjakan amal
shaleh. Membentuk akhlak melalui Mujahadah dimaksudkan bahwa agar seorang
murid mampu mengosongkan, menekan atau menyedikitkan nafsu yang muncul.
Jika nafsu seseorang tidak lagi menguasai hati, maka akal dan agama akan lebih
mampu mengendalikan nafsu tersebut, sehingga dia atau hati akan lebih bisa
menerima hikmah yang akhirnya akan terbentuk suatu akhlak yang baik. Menurut
al-Ghazali, mujahadah dengan mengerjakan amal shaleh adalah cara yang tempuh
untuk membentuk akhlak anak dengan melakukan empat perkara, yaitu:
1) Melaparkan perut (berpuasa)
Dengan laparnya perut, menurut al-Ghazali dapat melunakkan dan membersihkan
hati, dapat merontokkan kesombongan, teringat akan kehidupan di akherat dan

menghancurkan nafsu syahwat ma‟siat.

2) Menyepi atau mengasingkan diri dari keramaian manusia (berkhalwat)


Menurut al-Ghazali, dengan mengasingkan diri dari manusia memiliki manfaat
mampu mengendalikan dan menjaga pendengaran dan penglihatan sehingga dapat
terhindar dari sesuatu yang menyibukkan. Sebab pendengaran dan penglihatan
merupakan serambinya hati. Sedangkan hati merupakan tempat menampung
segala sesuatu yang masuk kedalam serambi hati tersebut. Oleh sebab itu, serambi
hati yang berasal dari panca indera manusia perlu dikekang, kecuali hanya
sekedarnya saja. Pengekangan serambi hati itu hanya bisa dilakukan dengan
menyepi atau mengasingkan diri dari keramaian manusia (berkhalwat).

3) Sedikit tidur malam


Sedikit tidur malam itu juga merupakan hasil dari melaparkan perut. Dengan
laparnya perut ia akan terjaga di malam hari untuk bertaqarub kepada Allah.
Dengan sedikit tidur malam juga dapat membersihkan dan menjernihkan hati.

4) Diam (tidak banyak berbicara)


Diam (tidak banyak berbicara) hanya dapat ditempuh dengan jalan mengasingkan
diri menjauhi. Namun tidak kemudian menjahi manusia, tetapi seyogyanya tidak
8
banyak berbicara dan hanya berbicara seperlunya saja. Sebab dengan banyak
berbicara akan menyibukkan hati, sehingga akan memberatkan dan melepaskan
hati dari ingat kepada Allah. Maka dengan diam bisa membersihkan
akal,menjadikan wara‟ (berhati-hati dari barang syubhat) dan mengajarkan pada
takwa. Ketika melakukan mujahadah dengan empat perkara yang disebutkan
diatas, sembari melakukan amal sholeh; perbuatan baik yang hendak ditanamkan
pada diri anak, sehingga bisa menjadi kebiasaan yang kemudian menjadi akhlak
anak. Dengan melakukan empat perkara jalan mujahadah yang diterangkan al-
Ghazali, dimana hati dikosongkan dari hawa nafsu, lalu dimasukkan perbuatan-
perbuatan yang baik, maka disitulah pendidikan akhlak tengah sedang belangsung.
Agar penanaman akhlak tersebut bisa optimal, maka dalam penanaman,
penyampaian atau pendidikan akhlak tersebut perlu menggunakan cara atau
metode yang tepat sesuai dengan keadaan dan tingkat berfikir anak.

b. Mengekang hawa nafsu (Mujahadah) dan latihan (riyadhah).


Seperti yang telah dijelaskan diatas tentang mujahad diatas, maka cara jalan kedua
ini hampir sama dengan cara jalan pertama, hanya saja jalan mujahadah-nya
ditempuh dengan pendidikan latihan sehingga diri terbiasa dengan perbuatan-
perbuatan yang dikehendaki oleh akhlak tersebut.
Dalam latihan ini, al-Ghazali mengkategorikan sifat anak didik untuk
mendapatkan pendidikan dalam empat tingkatan, yaitu:
1) Anak yang bodoh
Dalam tingkatan ini, anak dikatakan bodoh atau lalai oleh al-Ghazali sebab anak
tidak bisa membedakan antara yang benar dengan yang batil, antara yang bagus
dengan yang buruk. Bahkan ia masih seperti awal penciptaannya, kosong dari
semua keyakinan dan nafsu syahwat. Maka tingkatan anak yang seperti ini akan
cepat sekali menerima pengobatan atau pendidikan akhlak, hanya membutuhkan
guru (mursyid) dan motivasi dari dalam dirinya saja untuk bisa mendorongnya
kepada usaha mujahadah dan riyadhah. Maka anak dalam tingkat ini akan menjadi
bagus akhlaknya dalam waktu yang singkat.

2) Anak yang bodoh dan sesat


Dalam tingkatan ini, anak dikatakan bodoh dan sesat oleh al-Ghazali sebab ia
mengetahui buruknya hal yang buruk namun ia masih mengikuti hawa nafsunya
untuk melakukan keburukan tersebut sedangkan ia mengetahui bahwa yang ia
kerjakan itu suatu perbuatan yang buruk. Anak dalam tingkatan ini akan lebih sulit
dibenahi akhlaknya dari pada anak pada tingkatan pertama yang sudah dijelaskan
diatas. Seorang guru harus dua kali lebih ekstra dalam mendidik anak pada
tingkatan kedua ini, sebab guru harus menghilangkan kebiasaan buruknya terlebih

9
dahulu lalu memberikan latihan untuk menanamkan kebiasaan baik. Namun secara
umum anak pada tingkatan ini masih bisa menerima latihan untuk bangkit dari
kejelekan yang telah ia lakukan sebelumnya.

3) Anak yang bodoh, sesat dan fasik


Al-Ghazali menyebut anak pada tingkatan ini adalah anak yang menganggap
benar dan bagus pada perbuatan jelek yang ia lakukan dan bahkan ia terdidik
dengan perilaku-perilaku buruk tersebut. Anak pada tingkatan ini menurut al-
Ghazali hampir-hampir tidak bisa diubah tabi‟atnya dan hanya memiiki peluang
yang sangat kecil sekali untuk diberi pendidikan akhlak sebab kejelekan yang
telah ia lakukan sudah berlipat-lipat.

4) Anak yang bodoh, sesat, fasik dan jahat


Al-Ghazali menilai anak pada tingkatan ini sudah sangat berbahaya dan sangat
susah dididik dan menerima pendidikan akhlak. Bahkan ia hidup dan tumbuh
dengan pendidikan-pendidikan yang membawanya atau menjadikannya pribadi
yang buruk akhlaknya. Kejelekan yang telah ia kerjakan tersebut menjadikan
dirinya bangga, sampai-sampai orang lain memandang dan menilai dirinya
seseorang yang benar-benar sangat buruk akhlaknya. Sementara itu, ia
menganggap bahwa dengan perilaku buruknya ia akan mendapatkan posisi atau
pangkat yang tinggi (disegani,ditakuti) dikalangan manusia.

6. Metode Pembinaan Ahlak

Pembinaan Ahlak didefinisikan sebagai “suatu hal atau situasi kejiwaan


seseorang yang mendorong seseorang melakukan sesuatu perbuatan dengan
senang, tanpa berpikir dan perencanaan”

Dalam proses pelaksanaan pembinaan akhlak agar dapat tercapai


secara maksimal dan sampai kepada tujuan mesti melalui beberapa metode.
Metode yang lazim digunakan mencakup semua cara bagaimana agar akhlak
seseorang menjadi baik, metode-metode yang dapat digunakan dalam
pelaksanaan pembinaan akhlak, seperti:

a. Keteladanan
Keteladanan
Keteladanan adalah hal-hal yang dapat dicontoh atau ditiru.
Maksudnya seseorang dapat mencontoh atau meniru sesuatu dari
orang lain, baik perilaku maupun ucapan. Keteladanan dijadikan

10
sebagai alat pendidikan islam, yaitu keteladanan yang baik sesuai
dengan “uswah” dalam ayat 21 Al-Qur’an surah al-Ahzab:
‫سنَةٌ لِّ َمنْ َكانَ يَ ْر ُجوا هّٰللا َ َوا ْليَ ْو َم ااْل ٰ ِخ َر َو َذ َك َر هّٰللا َ َكثِ ْي ًر ۗا‬
َ ‫س َوةٌ َح‬
‫هّٰللا‬
ُ ‫لَقَ ْد َكانَ لَ ُك ْم فِ ْي َر‬
ْ ُ‫س ْو ِل ِ ا‬
Artinya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan)
hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
Dari ayat di atas, dapat dipahami bahwa sesungguhnya Rasululloh SAW.
merupakan teladan tertinggi, contoh yang baik, atau panutan yang baik pula
bagi seorang muslim. Karena semua sifat keteladanan ini sudah tercermin
dalam diri beliau. Oleh karena itu Rasululloh SAW. menjadi teladan terbesar
bagi umat manusia sepanjang sejarah.

b. Metode Pembiasaan
Yaitu metode yang dilaksanakan mulai awal dan bersifat kontinyu. Berkenaan
dengan hal ini al-Ghazali sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata
mengatakan bahwa: Pada dasarnya kepribadian seseorang itu dapat menerima
segala usaha pembentukan melalui pembiasaan, jika manusia dibiasakan untuk
berbuat jahat maka ia akan menjadi orang yang jahat. Untuk itu al-Ghazali
menganjurkan agar akhlak diajarkan, yaitu dengan melatih jiwa kepada
pekerjaan atau tingkah laku yang mulia.
Pembiasaan ini dinilai sangat efektif jika dalam penerapannya dilakukan
terhadap anak didik yang dalam usia muda. Karena mereka masih memiliki
“rekaman” atau daya ingatan yang kuat dan dalam kondisi kepribadiannya
yang belum matang, menjadikan mereka lebih mudah diatur dengan
kebiasaan-kebiasaan yang mereka lakukan sehari-hari.

c. Metode Memberi Nasehat


Mau’idzah adalah memberi pelajaran akhlak terpuji serta
memotivasi pelaksanaannya dan menjelaskan akhlak tercela serta
memperingatkannya atau meningkatkan kebaikan dengan apa-apa yang melembutkan
hati.
Allah telah memerintahkan dalam firman- Nya Q.S An-Nahl ayat 125:
‫سبِ ْيلِ ٖه َو ُه َو‬َ ْ‫ض َّل عَن‬َ ْ‫س ۗنُ اِنَّ َربَّ َك ه َُو اَ ْعلَ ُم بِ َمن‬
َ ‫سنَ ِة َو َجا ِد ْل ُه ْم بِالَّتِ ْي ِه َي اَ ْح‬ َ ‫ع اِ ٰلى‬
َ ‫سبِ ْي ِل َربِّكَ بِا ْل ِح ْك َم ِة َوا ْل َم ْو ِعظَ ِة ا ْل َح‬ ُ ‫اُ ْد‬
َ‫اَ ْعلَ ُم بِا ْل ُم ْهتَ ِديْن‬
Artinya:
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik”

11
Metode nasihat ini dapat dilakukan guru dengan mengarahkan anak
didiknya, tausiyah maupun dalam bentuk teguran. Aplikasi metode nasihat
ini diantaranya adalah nasehat dengan argumen logika, nasehat tentang
amar ma’ruf nahi munkar. Dalam penyampaiannya metode Mau’idzah
terkadang disampaikan secara langsung, atau bentuk perumpamaan

maupun tausiyah.

d. Metode Motivasi dan intimidasi


Metode motivasi dan intimidasi dalam dalam bahasa arab disebut dengan uslub al
targhib wa al-tarhib atau metode targhib dan tarhib. Targhib berasal dari kata kerja
raggaba yang berarti menyenangi, menyukai dan mencintai. Kemudian kata itu diubah
menjadi kata benda targhib yang mengandung makna suatu harapan untuk
memperoleh kesenangan, kecintaan dan kebahagiaan yang mendorong seseorang
sehingga timbul harapan dan semangat untuk memperolehnya.

e. Metode Kisah
Metode kisah merupakan salah satu upaya untuk mendidik murid agar mengambil
pelajaran dari kejadian di masa lampau. Apabila kejadian tersebut merupakan
kejadian yang baik, maka harus diikutinya, sebaliknya apabila kejadian tersebut
kejadian yang bertentangan dengan agama Islam maka harus dihindari.
Menurut pendapat Abdurrahman An-Nahlawi dalam bukunya Prinsip-Prinsip
dan Metode Pendidikan Agama Islam menyatakan bahwa metode kisah
merupakan metode yang efektif digunakan dalam pembinaan akhlak, dimana
seorang guru dapat menceritakan kisah-kisah terdahulu. Dalam pendidikan
Islam, cerita yang diangkat bersumber dari al-Qur’an dan Hadist, dan juga
yang berkaitan dengan plikasi berperilaku orang muslim dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam metode qishah ini dapat menumbuhkan kehangatan
perasaan di dalam jiwa seseorang, yang kemudian memotivasi manusia untuk
mengubah perilakunya dan memperbarui tekadnya dengan mengambil
pelajaran dari kisah tersebut.
Dalam metode cerita ini pendidik dapat mengambil beberapa kisah dari al-
Qur’an atau Hadist untuk diambil sebagai pelajaran yang dapat ditiru maupun
sebagai peringatan dalam membina akhlak siswanya.

12
BAB III
KESIMPULAN

13
DAFTAR PUSTAKA

14

Anda mungkin juga menyukai