Dosen Pengampu:
Dr. NUZMI SASFERI, M.Pd
Penyusun
Kelompok II
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang........................................................................................................1
B. Rumusan
Masalah......................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan...................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Landasan filosofis.................................................................................. 2
B. Landasan Sosiologis.............................................................................. 6
C. Landasan Psikologis.............................................................................. 7
D. Landasan Organisatoris......................................................................... 11
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................. 14
B. Saran....................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam pengembangan kurikulum, banyak hal yang harus diperhatikan
dan dipertimbangkan sebelum mengambil suatu keputusan. Apapun jenis
kurikulumnya pasti memerlukan landasan/asas-asas yang harus dipegang.
Asas-asas tersebut cukup kompleks dan tidak jarang memiliki hal-hal yang
bertentangan, karenanya harus menemukan seleksi.
Perkembangan kurikulum dalam suatu Negara, baik di Negara-negara
berkembang, Negara terbelakang dan Negara-negara maju bisa dipastikan
mempunyai perbedaan-perbedaan mendasar namun tetap ada persamaannya.
Falsafah yang berlainan, bersifat otoriter, demokrasi, sekuler dan religious,
akan memberi warna yang berbeda dengan kurikulum yang dimiliki oleh
bangsa besangkutan. Begitu juga apabila dilihat dari perbedaan masyarakat,
organisasi bahan yang digunakan, dan pilihan psikologi belajar dalam
pengembangan kurikulum tersebut. Lebih lanjut akan diuraikan empat asas
pengembangan kurikulum tersebut dalam makalah berikut ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud landasan filosofis?
2. Apa yang dimaksud landasan sosiologis?
3. Apa yang dimaksud landasan psikologis?
4. Apa yang dimaksud landasan organisatoris?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui landasan filosofis
2. Untuk mengetahui landasan sosiologis
3. Untuk mengetahui landasan psikologis
4. Untuk mengetahui landasan organisatoris
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Filosofis
Filsafah dalam arti sebenarnya adalah cinta akan kebenaran, yang merupakan
rangkaian dari dua pengertian, yakni philein (cinta) dan shopia (kebajikan). Dalam
batasan modern, filsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha memahami semua
hal yang muncul didalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia, yang
berharap agar manusia dapat mengerti dan mempunyai pandangan menyeluruh
dan sistematis mengenai alam semesta dan tempat manusia di dalamnya. Intinya,
manusia merupakan bagian dari dunia.[1]
Pandangan menyeluruh dan sistematis yang diharapkan dapat dikuasai oleh
manusia adalah lebih dari sekedar pengetahuan. Barangkali yang dimaksud
dengan dikuasai disini adalah pengetahuan itu sendiri, dan juga menemukan
adanya kesalinghubungan dan pertalian semua unsur hingga pada akhirnya akan
ditemukan adanya unsur kebajikan.
B. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologi mempunyai peran penting dalam mengembangkan
kurikulum pendidikan pada masyarakat dan bangsa di muka bumi ini. Suatu
kurikulum pada prinsipnya mencerminkan keinginan, cita-cita tertentu dan
kebutuhan masyarakat. Karena itu, sudah sewajarnya kalau pendidikan
memerhatikan aspirasi masyarakat, dan pendidikan mesti memberi jawaban
atas tekanan-tekanan yang datang dari kekuatan sosio-politik-ekonomi yang
dominan. Berbagai kesukaran juga akan muncul apabila kelompok-kelompok
sosial dalam masyarakat, seperti: militer, politik, agama, industri, pemerintah,
swasta, ekonomi, dan lain-lain, mengajukan keinginan yang bertentangan
dengan kepentingan kelompok masing-masing. Akhirnya, sangat mungkin
muncul tekanan dari sumber eksternal, dari negara lain (terutama negara maju),
organisasi internal, dan lain-lain. Karena pada dasarnya persoalan pendidikan
mempunyai keterkaitan dengan aspek lain: politik, ekonomi dan lain-lain.
Banyak lagi aspek-aspek lain yang turut memberikan pengaruh mengenai apa
yang harus dimasukkan ke dalam kurikulum, yakni yang menjadi kebutuhan
masyarakat (the need of society), antara lain:
1. Interaksi yang kompleks antara kekuatan-kekuatan sosial, politik, ekonomi,
militer, industri, dan kultural dengan masyarakat
2. Berbagai kekuatan dominan, sebagaimana diungkapkan di atas, di bagian
dunia lainnya yang erat hubungannya dengan negara bersangkutan
3. Pribadi pimpinan dan yokoh-tokoh yang memegang kekuatan formal dan
informal di berbagai lapisan masyarakat.
Sangat banyak kebutuhan masyarakat yang perlu dipilah-pilah, disaring, dan
diseleksi. Agar kebutuhan itu menjadi suatu keputusan dalam
pengembangan kurikulum, maka tugas pengembang kurikulum pun sangat
kompleks. Menurut Abu Ahamdi dan Nur Uhbiyati (1991: 225) ,
kompleksnya kehidupanm dalam masyarakat disebabkan karena:
1. Dalam masyarakat terdapat tata kehidupan yang beraneka ragam
2. Kepentingan antar-individu berbeda-beda
3. Masyarakat selalu mengalami perubahan dan perkembangan
Kurikulum sedapat mungkin dibangun dan dikembangkan dengan tetap
merujuk pada asas kemasyarakatan sekaligus dengan kebutuhan masyarakat.[8]
C. Landasan Psikologis
Kontribusi psikologi terhadap studi kurikulum memiliki dua bentuk.
Pertama, model konseptual dan informasi yang akan membangun perencanaan
pendidikan. Kedua, berisikan berbagai metodelogi yang dapat diadaptasi untuk
penelitian pendidikan.(Meggi Ing 1978:29). Definisi kurikulum menurut Kerr
(1968) adalah: as all the learning which is planned and guided by the school.
Karenanya, sejak awal definisi tentang kurikulum sudah bersifat luas, yang
mencakup individu anak didik, antar individu, kelompok dan lain lain.
Dalam memilih pengalaman belajar yang akurat, psokologi secara umum
sangat membantu. Teori – teori belajar, teori kognitif, pengembangan
emosional, dinamika group, perbedaan kemampuan individu, kepribadian,
model formasi sikap dan perubahan, dan mengetahui motivasi, semuanya
sangat relevan dalam merencanakan pengalaman pendidikan (eduacational
experience). [9]
Ketika berusaha mengiluminasi proses pikiran anak didik, ada bebrapa
pertimbangan atas hakikat ilmu pengetahuan.[10]
Untuk merencanakan suatu kurikulum, sangat penting memiliki teori
bagaimana pembelajaran ditentukan dan bagaimana kondisi pembelajaran
menjadi pembelajaran yang lebih efisien. Berbagai teori psikologi tentang cara
belajar, setidaknya secara eksplisit, membuat petunjuk –petunjuk akurat bagi
para pendidik untuk dipratikan ke anak didik.
Dalam tradisi ilmiah, pencarian teori digunakan untuk menjelaskan jumlah
maksimum fenomena-fenomena dengan jumlah minimal peraturan-peraturan,
dan itu merupakan tugas khusus yang sulit dalam menghadapi kompleksitas
kesadaran dan tingkah laku manusia. Sebagai pendidik, kita tidak
memerhatikan dengan apa sesungguhnya belajar itu, dan kita itu memerhatikan
perbedaan diantara anak didik dan juga persamannya. Kita berharap bisa
mendapatkan teori-teori psikologi yang membantu kita sebagai pendidik meski
tidak secara langsung.
a. Behaviorisme
Prinsip utama aliran behaviorisme adalah berdasarkan unit belajar.
Dalam kondisi kelas, yang dipelopori oleh Pavlov, respons dalam
pertanyaan bersifat reflektif, yang mana dalam pekerjaan thorndike dan
kemudian skinner, respon tersebut lebih kompleks. Sangatlah cocok dalam
laboratorium untuk mencoba mengisolasi “respon tunggal” (single) dan
stimuli agar dapat mempelajari hubungan diantara keduannya (meskipun
studi semacam ini lebih kompleks dan lebih banyak di text book awal saat
studi itu muncul) serta menggunakan organism yang berkapabilitas tidak
kurang dari kapabilitas pendidik. Namun dalam mengajar, pendidik
dihadapkan dengan jumlah stimulus yang kompleks, simultan, dan tidak
dapat diprediksi, sehingga untuk memikirkan suatu kondisi sebagai basis
belajar menjadi sesuatu yang terbatas sebagai kita, khususnya ketika kita
memerhatikan kesadaran pendidik maupun anak didik.[11]
Dalam program belajar rasional, yang biasanya terwujud dalam
program kurikulum bahasa, matematika dan juga membaca. Pendekatan
serupa juga digunakan untuk menghindari goncangan pemikiran individu
anak didik. Goncangan tersebut bisa berbentuk unit belajar yang bisa
menjadi bagian terpisah dengan anak didik atau juga bagian dari unit yang
lebih besar yang ia peroleh. Contoh: nama anak didik ini sering menjadi
sebuah unit bagi dia, meskipun huruf-huruf yang sama dengan kata lain
masih terpisah dalam bentuk bagian-bagian atau potongan. Seorang
behavioris melihat anak didik sebagai organisme yang merespon stimulus
dari dunia sekitarnya.
b. Teori gestalt (teori lapangan)
Kata gestalt tidak sama dengan yang ada dalam istilah bahasa inggris.
Gestalt mempunyai arti pattern atau configuration. Awalnya teori presespsi
dikembangkan untuk pembelajaran, khususnya untuk pemecahan masalah
(problem solving). Gambaran umumnya adalah bahwa bentuk itu
menggambarkan perhatian pembawaan lahir dan mempelajari pengaturan
proses yang kita miliki, ketimbang kondisi respon yang bersifat eksternal.
Teori gestalt sangat mementingkan anak didik dalam proses belajar
mengajar. Individu merupakan sentral dalam proses belajar bukan sekedar
akumulasi ilmu pengetahuan, yakni menambah suatu segmen pengetahuan
kepada pengetahuan yang telah ada.
c. Teori psikologi daya
Penganut teori psikologi daya berpandangan bahwa belajar merupakan
mendisiplinkan dan menguatkan daya mental, terutama daya piker, melalui
latihan mental yang ketat, dapat dicontohkan bahwa jika otak telah
dikembangan melalui studi matematika klasik dan humaniora anak didik
akan mampu berpikir rasional sehingga memudahkan proses belajar pada
bidang studi yang lain. Jadi , yang menjadi focus utama ialah cara
mempelajari materi pelajaran yang sulit, seperti matematika dan bahasa
klasik, agar mendisiplinkan dan mengembangkan proses mental.
d. Teori pengembangan kognitif
Menurut teori ini, kematangan mental tumbuh secara bertahap pada
anak didik sebagai follow-up dari interaksinya dengan lingkungan. Anak
didik mesti dibimbing dengan teliti bahan belajarnya harus seimbang
dengan tingkat perkembangan kognitifnya, dan perlu didorong agar mereka
maju kearah tingkat perkembangan selanjutnya.[12]
D. Landasan Organisatoris
Herbert Spencer, lebih seperempat abad yang lalu, pernah menyatakan
bahwa: What knowledge is of most morth (pengetahuan apa yang paling
bernilai)? Pengetahuan yang bernilai itu akan berarti bila mampu
menentukan bahan yang serasi dengan anak didik, setelah melalui proses
penyeleksian dari bahan pengetahuan sangat luas yang berkembang dari
waktu ke waktu secara pesat.
[1] Hamdani Hamid, Pengembangan Kurikulum Pendidikan, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2012). 47
[6] Nana Syaudih Sukwadinata, Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007). 46
[9] Teguh triwiyanto. Manajemen kurikulum dan pembelajaran. (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2015). 58
[13] Ali Imron. Manajemen Peserta didik. (Malang: Universitas Negeri Malang, 2012). 33
[17] Pusat Kurikulum, Kurikulum tingkat satuan pendidikan, (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,
2007). 77