1. Gharibul Hadits
Gharibul hadits adalah ilmu yang suatu kata yang ada didalam kalimat hadits yang
tidak diketahui maknanya. Atau tidak begitu tampak. Yaitu ilmu yang membahas dan
menjelaskan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sukar diketahui dan
dipahami orang banyak. Ilmu ini bisa juga diartikan sebagai ilmu yang menerangkan
makna kalimat yang terdapat dalam matan hadits yang sukar diketahui maknanya dan
yang kurang terpakai oleh umum.
Menurut Ibnu Al-Shalah, yang dimaksud dengan Gharib Al-Hadits ialah:
عبارة عما وقع في متون الحاديث من االلفاظ الغامضة البعيدة منالفهم لقلة لستعملها
“Ungkapan dari lafazh-lafazh yang sulit dan rumit untuk dipahami yang terdapat dalam
matan hadits karena (lafazh tersebut jarang digunakan)”.
Rasulullah adalah sefasih-fasihnya orang Arab yang diutus oleh Allah subhaanahu
wa ta’alaa untuk menghadapi kaumnya yang terdiri dari bermacan-macam suku dan
kabilah. Sehingga Rasulullah ketika berhadapan dengan kabilah tertentu akan
menggunakan bahasa dari kaum yang dihadapinya. Kemudian pada perkembangan
selanjutnya, banyak bangsa-bangsa non-Arab memeluk islam sehingga banyak juga
orang-orang yang kurang memahami istilah atau lafazh-lafazh tertentu yang gharib
(asing). Oleh karena itu ilmu ini dimunculkan atas usaha para ulama untuk memudahkan
dalam memahami hadits-hadits yang mengandung lafazh-lafazh yang gharib tersebut.
Memahami makna mufradat (kosa kata) matan hadits merupakan langkah pertama
memahami suatu hadits dan untuk istinbath (perumusan) hukum. Oleh karena itu ilmu ini
akan banyak menolong untuk menuju ke pemahaman tersebut.
Para ulama hadits ketika menghadapi lafazh-lafazh yang gharib dan sulit untuk
menjelaskannya, maka menyerahkannya kepada ahli bahasa. Ada beberapa cara untuk
menafsirkan hadits-hadits yang mengandung lafazh yang gharib, antara lain :
1. Dengan hadits yang sanadnya berlainan dengan matan yang mengandung lafazh yang
gharib tersebut.
2. Dengan penjelasan para sahabat yang meriwayatkan hadits.
3. Penjelasan dari rawi selain sahabat
Nasikh adalah hukum baru pada sebuah perkara yang menghapus hukum yang
sebelumnya. Sedangkan Mansukh adalah hukum lama yang dihapuskan hukum yang
baru. Penerapan Nasikh dan Mansukh ini adalah jika ada ikhtilaf dua riwayat hadits yang
sama isinya maka yang langkah yang pertama adalah dijamak (dikompromikan),
kemudia kalau tidak bisa baru menerapakan Nasikh dan Mansukh. Namun jika masih
terdapat ikhtilaf yang kuat kemudian ditarjih, kemudian kalau tidak bisa lagi maka
tawaqquf (didiamkan). Terkait tawaqquf, ini hanya teori karena praktiknya tidak ada.
Contoh dari pembahasan ini adalah hadits tentang ziarah kubur. Ada tiga bentuk
pengabaran, (1) pengabaran langsung dari Rasulullah, yaitu awalnya Rasulullah melarang
untuk ziarah kubur, akan tetapi kemudian Beliau mengabarkan langsung bahwa ziarah
diperbolehkan. (2) Dikabarkan oleh shahabat, contoh mandi junub, pada hokum awal
tidak wajibnya mandi janabah setelah melakukan jima’ yang tidak mengeluarkan mani,
namun hukum yang akhir mewajibkan mandi janabah setelah berjima’, keluar mani
maupun tidak. (3) Dari tarikh (masanya), yaitu ditinjau dari fase makkah atau fase
madinah. Jika ada dua hadits sama yang bertentangan, maka hadits fase madinahlah yang
dipakai.
3. Al-Jarh Wa at-Ta’dil
Al-Jarh adalah sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan ditolak atau
dilemahkan periwayatannya terhadap suatu hadits. Ta'dil pengertiannya adalah yang
sebaliknya dari jarh, yaitu sifat atau keadaan seorang rawi yang menyebabkan
diterimanya atau dikuatkan periwayatannya terhadap suatu hadits.
Para ahli hadits mendefinisikan al-jarh yaitu kecacatan pada perawi hadits
disebabkan oleh sesuatu yang dapat merusak keadilan atau ke-dhabit-an (kekuatan
hafalan) perawi.
Sedangkan al-ta’dil yang secara bahasa berarti at-tasywiyah (menyamakan),
menurut istilah berarti pembersihan atau pensucian perawi dan ketetapan bahwa ia adil
atau dabit”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa Ilmu al-Jarh wa al-Ta`dil adalah ilmu yang
menerangkan tentang hal cacat-cacat yang dihadapkan kepada para perawi dan tentang
penta`dilannya (memandang adil para perawi) dengan memakai kata-kata yang khusus
dan tentang martabat-martabat kata-kata itu. Maksudnya al-Jarh (cacat) yaitu istilah yang
digunakan untuk menunjukkan “sifat jelek” yang melekat pada periwayat hadits seperti,
pelupa, pembohong, dan sebagainya. Apabila sifat itu dapat dikemukakan maka
dikatakan bahwa periwayat tesebut cacat. Hadits yang dibawa oleh periwayat seperti ini
ditolak, dan haditsnya di nilai lemah (dha`if). Maksudnya al-Ta`dil (menilai adil kepada
orang lain) yaitu istilah yang digunakan untuk menunjukkan sifat baik yang melekat pada
periwayat, seperti, kuat hafalan, terpercaya, cermat, dan lain sebagainya.
4. ’ilal Hadits
‘Ilal adalah jamak dari ’ilah yang berarti “penyakit”. ’Illah menurut istilah ahli
hadits adalah suatu sebab yang tersembunyi yang dapat mengurangi status keshahihan
hadits, padahal dhahirnya tidaknampak kecacatan.
Sedangkan ilmu ’ilal hadits adalah ilmu yang menerangkan sebab-sebab
tersembunyi dan tidak nyata, yang dapat merusakkan hadits. Seperti : menyambung yang
munqathi’, me-marfu’-kan yang mauquf, memasukkan suatu hadits ke dalam hadits yang
lain, menempatkan sanad pada matan yang bukan semestinya, dan yang serupa itu.
Semuanya ini, bila diketahui, dapat merusakkan keshahihan hadits.