Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu jenis manuskrip (makhthutat) atau naskah klasik

keagamaan yang relatif terbanyak adalah naskah keagamaan Islam,

mengingat sejarah bahwa ketika Islam – dengan segala kekayaan

budayanya – masuk di wilayah nusantara pada umumnya, dan di wilayah

Melayu–Indonesia pada khususnya, budaya tulis-menulis sudah relatif

mapan. Oleh karena itu, keberadaan naskah klasik keagamaan Islam

tersebar di seluruh wilayah Nusantara, bahkan ada di negara-negara

lain, seperti Belanda, Malaysia, Filipina, dan negara lainnya. Naskah-

naskah tersebut berbicara mengenai persoalan tauhid, tasawuf, tarekat,

fiqih, hadis, mengungkap keadaan masa lalu, baik sistem sosial, ekonomi,

politik, maupun budaya para raja di Nusantara dan tema-tema lainnya yang

masih menjadi pedoman dan acuan kehidupan keagamaan di

Indonesia sampai saat ini. Kekayaan naskah ini dapat menjadi bahan

kajian interdisipliner yang menarik.

Kajian terhadap manuskrip ini menjadi salah satu cara paling efektf

untuk mengklaim orisinalitas sebuah kajian ilmiah, selain untuk

membangun jati diri bangsa dalam menghadapi arus globalisasi.

Manuskrip adalah penghubung antara sebuah masyarakat dengan

sejarahnya yang panjang, dan berpikir kreatif dan kritis ini juga bisa

memahami realitas di balik manuskrip itu sendiri — baik yang tersirat

maupun yang tersurat, baik yang sudah teraktualisasikan maupun yang

masih dalam bentuk potensi — dan mengkontekstualisasikan pemahaman

1
tersebut ke dalam konteks kekinian. Makalah ini disajikan untuk

mengungkap sejauh mana apresiasi kita terhadap warisan Islam yang

begitu besar di bumi Nusantara Indonesia agar terjadi kesinambungan

sekaligus menjembatani antara budaya lama dengan budaya baru

Takhrij Hadist merupakan langkah awal dalam kegiatan penelitian

hadist. Pada masa awal penelitian hadist telah dilakukan oleh para ulama

salaf yang kemudaian hasilnya telah dikodifikasikan dalam berbagai buku

hadist. Mengetahui masalah takhrij, kaidah. dan metodenya adalah sesuatu

yang sangat penting bagi orang yang mempelajari ilmu-ilmu syar‟i, agar

mampu melacak suatu hadist sampai pada sumbernya.

Kebutuhan takhrij adalah perlu sekali, karena orang yang

mempelajari ilmu tidak akan dapat membuktikan (menguatkan) dengan

suatu hadist atau tidak dapat meriwayatkannya, kecuali setelah ulama-

ulama yang telah meriwayatkan hadist dalam kitabnya dengan dilengkapi

sanadnya, karena itu, masalah takhrij ini sangat dibutuhkan setiap orang

yang membahas atau menekuni ilmu-ilmu syar’i dan yang sehubungan

dengannya. Sehingga untuk lebih jelasnya tentang takhrij hadits ini akan

dibahas dalam bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Apa Pengertian Naskah Klasik ?

2. Apa yang dimaksud dengan metode tahrij ?

3. Apa urgensi dalam mengetahui metode tahrij ?

2
BAB II

PENDAHULUAN

A. Pengertian Naskah Klasik

Naskah klasik dalam bahasa Belanda disebut handschrift/ handschriften,

disingkat HS/HSS, dan dalam bahasa Inggris disebut manuscript/manuscripts,

disingkat MS/MSS. Dari istilah bahasa asing tersebut, sangat jelas bahwa yang

dimaksud dengan handschrift atau manuscripts yaitu naskah yang ditulis tangan.

Naskah dari masa lampau itu ada yang disebut “naskah kuno” ada pula yang

dapat digolongkan sebagai “naskah klasik”. Istilah klasik biasanya dipakai

dalam hubungan dengan Yunani dan Romawi kuno, misalnya sastra, musik,

arsitektur, patung, dan lain-lain, tetapi pada prinsipnya sesuatu yang mempunyai

keunggulan atau contoh terbaik.1 Jadi, naskah klasik merupakan sub-kategori hasil

pemilahan dari kategori-kategori pernaskahan berdasarkan penelitian secara

sistematis dan ilmiah

B. Pengertian Filologi, Tahqiq dan Takhrij

Filologi berasal dari kata Yunani “philos” yang memiliki semantikal

“cinta” dan “logos” yang dapat dimaknai dengan “kata”. Pada kata filologi kedua

kata itu membentuk arti “cinta kata” atau “senang bertutur”. Arti ini kemudian

berkembang menjadi “senang belajar” atau “senang kebudayaan”. Dalam bahasa

Arab, filologi adalah ilmu tahqiq an-Nushush. Az-Zamakhsyari, menyebutkan

dalam kitab Asas al-Balaghah sebagai berikut: Mentahqiq sebuah teks atau nash,

yaitu melihat sejauh mana hakikat yang sesungguhnya yang terkandung di

dalam teks itu. Untuk mengetahui suatu berita dan menjadi yakin akan
1
Nasrullah Nurdin, “Apresiasi Intelektual Islam terhadap Naskah Klasik Keagamaan”
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Lektur Keagamaan13, no. 2 (2015): h. 506.

3
kebenarannya. Oleh sebab itu, yang dimaksud dengan “tahqiq” dalam bahasa

ialah pengetahuan yang sesungguhnya dan berita juga mengetahui hakikat suatu

tulisan.

Sebagian ahli filologi yang mengadakan tahqiq pada suatu teks tidak

menyebutkan dirinya muhaqqiq (yang men-tahqiq teks). Pada yang men-tahqiq

teks mereka cenderung memakai kata sohhahahu yang berarti telah diperiksa

atau dikoreksi. Qoroahu telah dibaca oleh si fulan. Qoronahu artinya telah

dibandingkan dengan naskah aslinya, atau I’tana bihi yang artinya dipelihara dan

dijernihkan oleh si fulan. Sekarang istilah teknis yang popular dan umum dipakai

di kalangan para pentahqiq adalah kata haqqoqohu atau tahqiq fulan yang berarti

diteliti oleh fulan. Tahqiq adalah penelitian yang cermat terhadap suatu karya

yang mencakup hal-hal sebagai berikut:

1. Apakah benar karya yang diteliti/ditahqiq merupakan karangan asli

pengarangnya yang disebut pada buku itu.

2. Apakah isinya benar-benar sesuai mazhab pengarangnya?

3. Sejauh mana tingkat kebenaran materinya?

4. Mentahqiq dan mentakhrij semua ayat-ayat Al-Qur’an dan ha-dits serta

menyebut sumbernya dalam catatan kaki.

5. Memberi pejelasan tentang hal-hal yang kurang jelas, seperti nama orang,

tanggal yang diragukan, kejadian-kejadian dan sebagainya. Dengan

demikian tahqiq merupakan usaha keras untuk menampilkan karya

klasik itu dalam bentuk yang baru dan mudah dipahami.

Sedangkan Takhrij dari segi bahasa berakar kata dari “Kharaja” yang berarti

“keluar” kebalikan dari kata ”dukhul” yang bermakna ”masuk”. Kata ”kharaja”

4
bersifat lâzim (intransitif), dan ketika ’ainfi’il-nya digandakan (tasydid), ia

menjadi muta’addî (transitif) yang dengan sendirinya mengubah bentuk kata

menjadi Takhrij yang artinya mengeluarkan. Atau ia wazannya kharraj yang

bentuk masdarnya adalah Takhraja atau Takhrij yang artinya mengeluarkan.

Semisalnya “Kharraja Min Makanihi” mengeluarkan sesuatu dari tempatnya.

Beberapa ahli bahasa pula mengertikan Kharaja berarti tampak atau terlihat dari

tempatnya atau keadaannya dan ia terpisah dari tempat asalnya tersebut. Takhrij

biasa juga disebut al-Ikhraj artinya menampakkan atau memperlihatkan, biasa

pula disebut al-Makhraj yang artinya tempat keluar2

Mahmud al-Thahhan menjelaskan sebagaimana yang dikutip oleh

Arifuddin Ahmad bahwa kata takhrij secara bahasa berarti:3

‫واحد شيء في متضادين أمرين إجتماع‬

Artinya:

Kumpulan dua perkara yang saling berlawanan dalam satu masalah.4

Ada beberapa istilah yang sangat penting dalam proses takhrij sebagaimana kita

harus ketahui yakni sebagai berikut.

1. Al-Ikhraj

2
Reza Pahlevi Dalimunte, Pengantar Takhrij TMT III, (Bandung: Ilmu Hadis Press,
2018), h. 1.
3
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadist Nabi: Refeleksi Pemikiran
Pembaruan Prof. Dr Muhammad Syuhudi Ismail, (Jakarta: Insan Cemerlang, t.th), h. 84.
4
Arifuddin Ahmad, Paradigma Baru Memahami Hadist Nabi: Refeleksi Pemikiran
Pembaruan Prof. Dr Muhammad Syuhudi Ismail, h. 84.

5
Seorang Muhaddis mengemukakan sebuah teks atau naskah

semisalnya sebuah Hadis baik teksnya ataupun secara makna dengan

menyandarkan sanad hadis tersebut kepada Nabi Saw. dan

meriwayatkannya kepada manusia. Hal seperti ini dapat dilihat pada

sumber-sumber kitab yang disusun oleh penulisnya dengan

menyertakan sanad-sanad mereka, misalnya: kitab-kitab shahih, al-

sunan, musnad-musnad, mu'jam-mu'jam, dan sebagainya. Oleh karena

itu, ketika sebuah Hadis disandarkan kepada sumber aslinya dikatakan

akhrajahu, misalnya: akhrajahu al-Bukhari, atau rawahu bi sanadihi.

2. Al-Intiqa'

Yaitu seorang yang menyeleksi teks dan naskah, semisalnya

seorang muhaddis yang melakukan penyeleksian hadis khusus dari

kitab-kitab hadis atau dari riwayat riwayat para syekh (guru), yang

meliputi al-ghara'ib, dan faedah-faedah hadis, serta mengumpulkan

dan menyusunnya. Hal seperti ini dapat dilihat pada sumber-sumber

yang kontemporer, misalnya: kitab "al-Ajza' wa al-Ghilaniyyat

Takhrij al-Daruquthni min Hadis abi Bakr al-Syafi'i", dalam kitab ini,

al-Daruquthni menyeleksi hadis-hadis Abi Bakr al-Syafi'i yang hanya

melalui periwayatan dari Ibnu Ghilan. Demikian juga kitab "Takhrij

al-Fawa'id al Muntakhabah al-Shihah wa al-Ghara'ib" karya Syarif

Abi al-Qasim al-Husaini, dan kitab dengan judul yang sama karya Abi

al-Qasim al-Mahruni. al-Khatib al-Baghdadi (w. 463H) kemudian

menyeleksi dan mengumpulkan hadis hadis dari kedua kitab mereka

tersebut.

3. Al-'Azwu wa al-Dilalah

6
Al-'Azwu wa al-Dilalah dapat diartikan bahwa penyandaran teks

atau naskah kepada sumber-sumber aslinya, dan menunjukkan tempat

atau letaknya dalam sumber tersebut disertai dengan penilaian

terhadap hadisnya. Definisi ini yang banyak dikenal oleh para ulama

muta'akhirin, terutama setelah munculnya masa per-takhrij-an dari

kitab-kitab induk dan sumber sumber hadis yang asli, yang sangat

dibutuhkan oleh umat.5

Sedangkan secara istilah umum yakni mengluarkan atau menampakkan

teks-teks baik itu hadi ataupun naskah kuno lainnya ditamppakn kepada orang-

orang dengan menyebutkan dari mana asal muasalnya atau mata rantai dari

warisan ke warisan seperti semisalnya sanad dan Mtan dari sebuah teks Hadis.6

Takhrij juga dipahami dengan definisi yakni suatu keterangan bahwa

Naskah kuno semisalnya hadis yang dinukil ke dalam kitab susunannya itu juga

terdapat di susunan kitab lain yang telah disebutkan penyusunannya, dalam artian

adanya kevalidan data karena terdapatnya di beberapa sumber sehingga mudah

diterima dan dipercaya.7 Secara khusus, al-Takhrij adalah: Mengangkat atau

menyandarkan teks dan naskah kepada sumber-sumber aslinya dan menjelaskan

martabat atau derajat sebuah teks baik itu secara lafazh maupun maknanya

sepertinya contohnya derajat dan kualitas sebuah hadis.8

Sederhananya mencari atau mengemukakan hadis atau sebuah naskah

kuno berdasarkan pada sumber atau berbagai sumber dengan mengikut sertakan

5
Abu Abdi al-Rahman Iqbal Ahmad Muhammad Ishaq al-Biskuhari , Tuhfat al-Khirrij
ila Adillat al-Takhrij, (Ilahad, U.P: Markaz al- Qur’an wa al-Sunnah, t.th), h. 13-15.
6
Burhanuddin darwis, Metodelogi takhrij Hadis, (Makassar: Alauddin University Press,
2013). H. 2-3.
7
Reza Pahlevi Dalimunte, Pengantar Takhrij TMT III, h. 2.
8
Abu Abdi al-Rahman Iqbal Ahmad Muhammad Ishaq al-Biskuhari , Tuhfat al-
Khirrij ila Adillat al-Takhrij, (Ilahad, U.P: Markaz al- Qur’an wa al-Sunnah, t.th), h. 16.

7
metode periwayatan dan kualitas teks. Mengemukakan letak asal teks pada

sumber aslinya secara lengkap dan akurat, yang sangat terkait degan mata rantai

dari masing-masing teks, semisalnya si Fulan mengambil teks tersebut dari Ja`far,

dari Ja`far mengambil dari Siddiq dan begitu seterusnya sampai kepada

perkenalan dari masing-masing orang yang mewariskan teks tersebut sehingga

bisa ditebak kualitas atau kevalidan sebuah teks.9

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat kita pahami bahwa yang

dimaksud dengan Takrij yakni proses atau metode dalam penelitian atau

penelusuran, pencarian teks-teks kuno baik itu hadis atau peninggalan-

peninggalan naskah-naskah orang-orang terdahulu, dengan melalui berbagai

sumber kitab-kitab dengan mengkoreksi naskah-naskah tersebut kemudian

dikemukakan secara lengkap asal atau mata rantainya melalui penelusuran baik

kitab-kitab ataupun yang masih dalam bentuk manuskrip-manuskrip.

Sebenarnya istilah takhrij pertama kali dipopulerkan dalam ilmu-ilmu

hadis dan memang istilah ini banyak hanya dipakai dalam dunia ilmu hadis, yakni

proses penyeleksian, penelusuran dan penelitian dalam sebuah teks ataupun

naskah sebuah hadis. Ada sekitar tujuh masa dalam dekade takhrij yakni;

1) Masa wahyu dan pembentukan hukum serta dasar-dasarnya dari permulaan

Nabi dibangkitkan hingga beliau wafat pada tahun 11 H.

2) Masa membatasi riwayat, masa Khulafa' al-Rasyidin (12H-40H).

3) Masa perkembang riwayat dan perlawatan dari kota ke kota untuk mencari

Hadis, yaitu masa Sahabat kecil dan Tabi'in besar (41 H - akhir abad I H).

4) Masa pembukuan hadis (awal abad 2H-akhirnya).

5) Masa pen-tashih-an hadis dan menyaringnya (awal abad 3 H akhirnya).


9
Reza Pahlevi Dalimunte, Pengantar Takhrij TMT III, h. 2.

8
6) Masa menapis kitab-kitab hadis dan menyusun kitab kitab jami' yang khusus

(awal abad 4 H-jatuhnya Baghdad 656 H).

7) Masa membuat syarah, membuat kitab-kitab takhrij, mengumpulkan hadis-

hadis hukum, dan membuat kitab kitab jami' yang umum serta membahas

hadis-hadis zawa'id (656 H-sekarang).10

C. Urgensi Metode Takhrij Terhadap Naskah Kitab Hadis Kalasik

Ada Urgensi atau tujuan yang ingin dicapai dalam proses takhrij. Tujuan

pokok dari takhrij yang ingin dicapai seorang peneliti adalah sebagai berikut :

1. Mengatahui eksistensi suatu teks apakah benar suatu teks yang ingin

diteliti terdapat dalam litab-kitab maupun manuskrip-manuskrip atau tidak.

2. Mengatahui sumber otentik suatu teks dari sebuah kitab atau manuskrip,

apa saja yang didapatkan.

3. Mengetahui ada berapa tempat teks tersebut dengan sumber atau mata

rantai yang berbeda didalam sebuah kitab-kitab atau manuskrip

4. Mengatahui kualitas teks semisalnya mengetahui bagaimana keotentikan

sebuah hadis (maqbul/diterima atau mardud/tertolak).

Adapun beberapa manfaat dari proses Takhrij diantaranya yang dapat

dipetik oleh yang melakukannya adalah sebagai berikut :

1. Mengatahui refrensi beberapa pemikiran atau ilmu dalam sebuah teks.

Dengan takhrij, seseorang dapat mengetahui apa sumber atau dalam Ilmu

Hadis untuk mengetahui siapa perawi dalam senuah hadis.


10
Hasbi al-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadist, (Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 1999), h. 26-27.

9
2. Mengetahui keontentikan sebuah teks atau naskah.

3. Bisa mengetahi bagaimana ke-originalitasan sebuah teks atau Naskah.

4. Mengetahui bagaimana metode dan kritikan ulama atau filolog dalam

sebuah naskah.11

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

11
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadist, ( Jakarta : Amzah, 2014 ),
h. 131.

10
B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

11

Anda mungkin juga menyukai