Anda di halaman 1dari 54

BAHAN AJAR

TAHQIQ AN-NUSUS

DISUSUN OLEH:

SITTI WAHIDAH MASNANI

JURUSAN SASTRA ASIA BARAT


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR 2011

1
BAB I

STUDI FILOLOGI

1.1 PENGANTAR

Filologi selama ini dikenal sebagai ilmu yang berhubungan dengan karya masa

lampau yang berupa tulisan. Studi terhadap karya tulis masa lampau dilakukan karena

adanya anggapan bahwa dalam peninggalan tulisan terkandung nilai-nilai yang masih

relevan dengan kehidupan masa kini.

Berbeda dengan produk masa kini, hasil cipta masa lampau pada saat ini berada dalam

kondisi yang tidak selalu dapat diterima dengan jelas dan sering dikatakan “gelap” atau

“tidak jelas” oleh pembaca masa sekarang. Sebagai akibatnya banyak karya tulisan masa

lampau dirasakan tidak mudah dipahami.

Karya-karya tulisan masa lampau merupakan peninggalan yang mampu

menginformasikan buah pikiran, buah perasaan, dan informasi mengenai berbagai segi

kehidupan yang pernah ada. Karya-karya dengan kandungan informasi mengenai masa

lampau itu tercipta dari latar sosial budaya yang tidak ada lagi atau yang tidak sama

dengan latar sosial budaya masyarakat pembaca masa kini. Dalam pada itu, peninggalan

tulisan yang berasal dari kurun waktu beberapa puluh atau ratus tahun yang lalu pada saat

ini sudah mengalami kerusakan, atau berwujud sebagai hasil dari suatu proses penyalinan

yang telah berjalan dalam kurun waktu yang lama. Di samping itu sebagai produk masa

lampau, bahan yang berupa kertas dan tinta serta bentuk tulisan, dalam perjalanan waktu,

semenjak diciptakan sampai pada saat ini telah mengalami kerusakan atau perubahan,

baik karena faktor waktu maupun karena faktor kesengajaan dan penyalinannya. Gejala

demikian terbaca pada munculnya variasi bacaan dalam karya tulisan masa lampau.

Kerusakan bacaan, bahan, dan munculnya sejumlah variasi pada teksnya

menuntut cara untuk mendekatinya. Sebagai akibat, upaya untuk menggali informasi

yang tersimpan dalam karya tulisan yang berupa produk masa lampau itu harus

berhadapan dengan kondisi karya yang selain materi yang diinformasikan tidak lagi

dipahami oleh pembaca masa kini, juga dengan kondisi fisiknya yang sudah tidak

sempurna lagi karena rusak oleh waktu.

Karakteristik karya-karya tulis dengan kondisi seperti tersebut di atas menuntut

pendekatan yang memadai. Untuk membaca karya-karya tersebut diperlukan ilmu yang

2
mampu menyiangi kesulitan-kesulitan akibat kondisinya sebagai produk masa lampau.

Dalam hal inilah, ilmu filologi diperlukan. Jadi filologi merupakan satu disiplin yang

diperlukan untuk satu upaya yang dilakukan terhadap peninggalan tulisan masa Iampau

dalam rangka kerja menggali nilai-nilai masa lampau.

Kandungan yang tersimpan dalam karya-karya tulisan masa lampau tersebut pada

hakekatnya merupakan suatu budaya, produk dari kegiatan kemanusiaan. Filologi

dengan demikian, merupakan satu disiplin yang berhubungan dengan studi terhadap hasil

budaya manusia pada masa lampau. Pengertian hasil budaya di sini dipakai untuk

menyebut antara lain buah pikiran, perasaan, kepercayaan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai

yang berlaku dalam suatu masyarakat. Jadi, filologi merupakan disiplin yang tergolong

dalam ilmu-ilmu kemanusiaan atau ilmu-ilmu humaniora.

Dari pembicaraan di atas dapat disimpulkan bahwa lahirya filologi

dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor berikut.

1) Munculnya informasi tentang masa lampau di dalam sejumlah karya tulisan

2) Anggapan adanya nilai-nilai yang terkandung dalam peninggalan tulisan masa lampu

yang dipandang masih relevan dengan kehidupan masa sekarang.

3) Kondisi fisik dan substansi materi informasi akibat rentang waktu yang panjang.

4) Faktor sosial budaya yang melatarbelakangi penciptaan karya-karya tulisan masa

lampau yang tidak ada lagi atau tidak sama dengan latar sosial budaya pembaca masa

kini.

5) Keperluan untuk mendapatkan hasil pemahaman yang akurat.

1.2. PENGERTIAN FILOLOGI

Filologi adalah pengetahuan tentang sastra-sastra dalam arti luas mencakup

bidang bahasa, sastra, dan kebudayaan. Penelitian filologi merupakan salah satu cara

untuk meneliti bahasa melalui tiga bidang, yaitu

I) Linguistik, yang khusus mempelajari unsur-unsur “membangun bahasa” seperti

ucapan, cara membuat kalimat, dan lain-lain yang tercakup dalam pengertian “tata

bahasa” atau “gramatika”

2) Filologi berkepentingan dengan makna kata secara khusus, karena tujuannya adalah

kejelasan kata secara menyeluruh dan sesuai kata demi kata, baik yang tertulis maupun

lisan.

3
3) Ilmu sastra (kesusasteraan) yang berkepentingan dengan penilaian atau ungkapan

bahasa jika di lihat dan sudut estetika. Filologi juga dipandang sebagai ilmu yang

menyelidiki perkembangan kerohanian suatu bangsa dan kesusasteraannya atau yang

rnenyelidiki kebudayaan rnelalui bahasa dan karya kesusasteraan

Dalam perkembangan lebih lanjut, filologi ternyata hanya memperhatikan makna

kata dan berusaha untuk memurnikan teks dan kesalahan-kesalahan yang terjadi dalam

proses penyalinan.

Filologi adalah suatu ilmu yang obyek penelitiannya naskah-naskah lama.

Sebelum membicarakan pokok-pokok pengertian tentang filologi, terlebih dahulu harus

diketahui apa yang dimaksud dengan naskah. Yang dimaksud dengan naskah di sini ialah

semua bahan tulisan tangan peninggalan nenek moyang kita pada kertas, lontar, kulit

kayu, dan rotan.Tulisan tangan pada kertas itu biasanya dipakai pada naskah- naskah

berbahasa Melayu dan berbahasa Jawa, lontar banyak dipakai pada naskah- naskah

berbahasa Jawa dan Bali, kulit kayu dan rotan biasa dipakai pada naskah-naskah

berbahasa Batak. Dalam bahasa latin naskah disebut dengan codex, dalam bahasa

lnggeris disebut dengan manuscript, dan dalam bahasa Belanda disebut dengan

handschrift. Hal ini perlu dijelaskan untuk membedakan peninggalan tertulis pada batu.

Batu yang mempunyai tulisan itu disebut piagam, batu bersurat, atau inskripsi. Dan ilmu

dalam bidang tulisan pada batu disebut efigrafi. Efigrafi merupakan bagian dari

arkeologi.

1.2.1 Filologi Secara Etimologi

Kata filologi berasal dari bahasa Yunani philologia yang berupa gabungan kata

dan kata philos yang berarti “teman” dan Logos berarti “pembicaraan” atau i1mu”. Dalam

bahasa Yunani philologia berarti “senang berbicara” berkembang menjadi “senang

belajar”, “senang kepada ilmu”, “senang kepada tulisan-tulisan” dan kemudian “senang

kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi” seperti “karya-karya sastra” Dalam bahasa

Arab filologi adalah ilmu “tahqiq al Nushush” Az-Zamakhsyari misalnya menyebutkan

dalam kitab “Asas al-Balaghab” dengan mengungkapkan

“Tahqiq sebuah teks atau nash, melihat sejauh mana hakekat sesungguhnya
yang terkandung dalam teks. Mengetahui suatu berita dan yakin akan
kebenarannya. Oleh sebab itu yang dimaksud dengan “tahqiq” dalam bahasa
ialah pengetahuan yang sesungguhnya dan berarti juga mengetahui hakekat
suatu tulisan”

4
Oleh sebab itu, sebagaian ahli filologi mengadakan tahqiq pada suatu teks tidak

menyebutkan dirinya muhaqiq, yang mentahqiq teks. Mereka cenderung memakai kata

sahahhahu yang berarti telah diperiksa atau dikoreksi qura ‘uhu, telah dibaca oleh

qaranuhu, artinya telah diperbandingkan dengan naskah aslinya, atau I ‘tuna bihi, artinya

dipelihara dan dijernihkan oleh ...... sekarang istilah yang paling populer dan umum

dipakai di kalangan para ahli tahqiq adalah kata haqquhu atau tahqiq fulan yang berarti

diteliti Fulan. Orang yang melakukan tahqiq disebut muhaqqiq

Tahqiq adalah penelitian yang cermat terhadap suatu karya yang mencakup :

• Apakah benar karya yang diteliti /ditahqiq merupakan karangan asli pengarangnya

yang disebut pada buku itu?

• Apakah isinya benar-benar sesuai mazhab pengarangnya.

• Sejauhmana tingkat kebenaran materinya.

• Mentahqiq dan mentakhrij semua ayat-ayat al-Qur’an dan sunnah serta menyebut

sumbernya dalam catatan kaki.

• Memberi penjelasan tentang hal-hal yang kurang jelas, seperti nama orang, tanggal

yang diragukan, kejadian-kejadian dan sebagainya.

Dengan demikian tahqiq merupakan usaha keras untuk menampilkan karya klasik

dalam bentuk yang baru dan mudah dipahami.

Para ulama terdahulu memainkan peranan penting dalam memelihara peninggalan

berupa karya-karya besar yang sangat berarti bagi umat Islam, yaitu mulai dari

pengumpulan nash-nash Al-Qur’an, sunnah Nabi saw, dan karangan para ulama terdahulu

dalam berbagai ilmu keislaman. Ketelitian dalam menelusuri dan mengumpulkan nusus

Al-AQur’an yang tertulis dalam berbagai materi pada tahap Islam sampai dapat

terkumpul pada mushaf Usman ra adalah bukti pertama atas ketelitian. Meskipun

demikian Al Qur’an telah dijamin oleh Allah swt. Namun dalam menelusuri dan

rnengkodifikasi Al Qur’an sesuai dengan bunyi aslinya sampai kepada kita dalam

keadaan sempurna. Berkat ketelitian itu pula dapat diketahui perubahan-perubahan yang

dilakukan oleh oknum-oknum yang berusaha mengacau kitab suci Al Qur’an setiap

zaman. Hal yang sama terjadi pula pada pengumpulan hadis Rasulullah saw. Para ulama

meneliti dan mencari hadis-hadis di pelosok kerajaan Islam. Mereka sangat hati-hati

5
dalam mencari suatu periwayatan yang mencakup dua sisi: perawi atau orang yang

meriwayatkan isi hadis dalam istilah ilmu hadis disebut sanad dan teks hadis itu sendiri

yang disebut matan atau nas.

Selain Al Qur’an dan sunnah, tahqiq digunakan dalam penyusunan buku-buku

sumber dalam segala bidang, seperti tafsir, yang menggunakan riwayat, sehingga

dinamakan tafsir bil Ma’sur, juga di bidang fiqih dan akidah. Melalui tahqiq dan

penerbitan-penerbitan awal yang sangat teliti ilmu-ilmu itu telah sampai dengan

sempurna kepada kita.

Selain ilmu-ilmu agama, tahqiq juga menyelamatkan warisan kesastraan dari

zaman pra Islam, seperti di Jazirah Arab. Syair-syair zaman Jahiliah, silsilah keturunan

yang terkenal dihapal dan disampaikan dengan lisan secara turun temurun. Mereka

mengetahui siapa penyair yang pernah mengucapkan walaupun satu bait. Demikian pula

halnya dalam ilmu bahasa. Sebagai contoh upaya mentahqiq kitab mu’jam al A’in, karya

al Khalil bin Ahmad. Buku itu mendapat perhatian dan diteliti secara mendalam dari para

ulama bahasa Arab melalui penelitian terhadap materi buku, perawinya, tanggal

ditulisnya, masa hidup para gurunya, dan tempat pertama diluncurkan bukunya. Semua

itu dilakukan untuk meyakini kebenaran nisbah buku kepada al KhaliI bin Ahmad. di

antara yang berusaha keras mentahqiq buku adalah Al Zubaidi al-Andalusi

Adapun tempatnya ternyata pertama munculnya di Khurasan, bukan di Basrah

tempat tinggalnya. Mengenai zamannya ternyata jauh setelah wafatnya al Khalil. Kitab

itu keluar pada abad ke-3 H, berarti 80 tahun setelah wafatnya. Melalui penelitian dan

tahqiq yang cermat ternyata buku itu mengandung banyak riwayat yang berasal dari al

asmo dan Ibnu al-Arabi, sedangkan keduanya termasuk dalam generasi yang berikut al

KhaIil, sehingga tidak mungkin bila al Khalil mengambil riwayat dari mereka. Bukan

hanya itu, para ulama ahli bahasa meneliti lebih jauh tentang materi Mu’jam al-Ain,

ternyata terdapat perbedaan yang mencolok di antara naskah-naskah atau varian-varian

buku itu. Perbedaan dan kerusakan urutan buku menjadikan para ulama untuk waktu yang

cukup lama tidak mau merujuk pada buku itu dan meragukan bahwa al khalil adalah

pengarangnya.

6
1.2.2 Filologi Secara Istilah

Istilah kata “filologi” mulai dipakai kira-kira abad ke-3 SM oleh sekelompok ahli

dari Iskandariyah yaitu untuk meyebut keahlian yang diperlukan untuk mengkaji

peninggalan tulisan yang berasal dari kurun waktu beratus-ratus tahun sebelumnya. Ahli

dari Iskandariyah yang pertama kali melontarkan istilah “filologi” bernama Eratosthenes.

Macam-macam pengertian filologi dan sejarah perkembangannya

1. Filologi Sebagai Ilmu tentang Pengetahuan yang pernah ada.

Informasi mengenai masa lampau suatu masyarakat, yang meliputi berbagai segi

kehidupan dapat diketahui oleh masyarakat masa kini melalui peninggalan-peninggalan,

baik yang berupa benda-benda budaya maupun karya-karya tulisan. Karya tulisan pada

umumnya menyimpan kandungan berita masa lampau yang mampu memberikan

informasi secara terurai. Apabila informasi yang terkandung dalam karya-karya tulisan

mempunyai cakupan informasi yang luas, menjangkau berbagai segi kehidupan masa

lampau, maka pengetahuan yang dipandang mampu mengangkat informasi yang luas dan

menyeluruh itu dipahami sebagai kunci pembuka pengetahuan. Oleh karena itulah,

kemudian filologi mempunyai arti ilmu pengetahuan tentang segala sesuatu yang pernah

diketahui orang, sebagaimana yang dikemukakan oleh Philip August Boekh. Dan

pandangan inilah pengkajian terhadap teks-teks yang tersimpan dalam peninggalan

tulisan masa lampau disebut sebagai pintu gerbang untuk mengungkapkan khasanah masa

lampau. Dari pengertian inilah filologi disebut sebagai L’etalage de savoir.

2. Filologi Sebagai Ilmu Bahasa

Sebagai hasil budaya masa lampau, peninggalan tulisan perlu dipahami dalam

konteks masyarakat yang melahirkannnya.Pengetahuan tentang berbagai konvensi yang

hidup dalam masyarakat yang melatarbelakangi penciptaannya mempunyai peran yang

besar bagi upaya memahami kandungan isinya. Mengingat bahwa lapis awal dari karya

tulisan masa lampau berupa bahasa, maka pekerja filologi pertama-tama dituntut untuk

memiliki bekal pengetahuan tentang bahasa yang dipakai dalam karya tulisan lama

tersebut. Hal ini juga berarti pengetahuan kebahasaan secara luas diperlukan untuk

membongkar kandungan isi karya tulisan masa lampau. Dengan demikian, seorang

pekerja filologi, harus pula ahli bahasa. Dari situasi inilah kemudian filologi dipandang

sebagai ilmu tentang bahasa.

7
Dalam konsep ini, filologi dipandang sebagai ilmu dan studi bahasa yang ilmiah,

seperti pada saat ini yang dilakukan linguistik. Apabila studinya dikhususkan terhadap

teks-teks masa lampau, filologi memperoleh makna sebagaimana yang terdapat pada

linguistik diakhronis. Filologi dengan pengertian ini dijumpai di Inggeris. Di Arab,

filologi demikian disebut Fighul lughab

3. Filologi Sebagai Ilmu Sastra Tinggi

Dalam perkembangannya, karya-karya tulisan masa lampau didekati dengan

filologi berupa karya-karya yang mempunyai nilai yang tinggi di dalam masyarakat.

Karya-karya itu pada umumnya dipandang sebagai karya-karya sastra “adiluhung”,

misalnya karya Humerus. Perkembangan sasaran kerja ini kemudian melahirkan

pengertian tentang istilah filologi sebagai studi sastra atau ilmu sastra. Filologi dengan

pengertian demikian tidak dijumpai lagi.

4. Filologi Sebagai Studi Teks

Filologi dipakai juga untuk menyebut ilmu yang berhubungan dengan studi teks,

yaitu studi yang dilakukan dalam rangka mengungkapkan hasil budaya yang tersimpan di

dalamnya. Pengertian demikian dijumpai pada filologi di negeri Belanda. Sejalan dengan

pengertian ini, di Prancis filologi mendapatkan pengertian sebagai “studi suatu bahasa

melalui dokumen tertulis dan studi mengenai teks lama beserta penurunan (transmisi

)nya.

Konsep filologi demikian bertujuan mengungkapkan hasil budaya masa lampau

sebagaimana yang terungkap dalam teks aslinya. Studinya menitikberatkan pada teks

yang tersimpan dalam karya tulis masa lampau.

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa sebagai istilah, filologi

merupakan suatu disiplin yang ditujukan pada studi tentang teks yang tersimpan dalam

peninggalan tulisan masa lampau. Studi teks ini didasari oleh adanya informasi tentang

hasil budaya manusia pada masa lampau yang tersimpan di dalamnya. Oleh karena itu,

sebagai suatu disiplin, filologi tergolong dalam ilmu-ilmu kemanusiaan yang bertujuan

untuk mengungkapkan hasil budaya masa lampau yang tersimpan dalam peninggalan

yang berupa karya tulisan. Konsep tentang “kebudayaan” disini dihubungkan antara lain

dengan buah pikiran , perasaan, kepercayaan, adat kebiasaan, dan nilai-nilai yang berlaku

di dalam masyarakat.

8
Studi filologi di Indonesia, sampai kira-kira permualaan abad ke-20, masih

mengikuti konsep filologi dalam pengertian studi teks dengan tujuan melacak bentuk

mula teks. Mulai akhir abad ke-20 studi filologi di Indonesia berkembang dengan

mempertimbangkan kondisi teks dan naskah yang ada yang disadari tidak sama dengan

kondisi teks dan naskah yang melahirkan disiplin filologi serta kehidupan pernaskahan

yang ada dalam masyarakat pada waktu itu. Sebagai akibatnya, tujuan studi sebagai

pelacakan bentuk mula teks tidak lagi menjadi tujuan satu-satunya.

1.3. OBYEK FILOLOGI

Setiap ilmu mempunyai obyek penelitian tidak terkecuali filologi yang tertumpu

pada kajian naskah dan teks klasik. Naskah-naskah peninggalan dalam bentuk tulisan

tangan disebut dengan “handschrift” atau”manuscript” yang disingkat MS untuk bentuk

tunggal dan MSS untuk bentuk jamak.

Naskah-naskah yang menjadi obyek material penelitian filologi adalah naskah

yang ditulis pada kulit kayu bambu, lontar, rotan, dan kertas. ini artinya bahwa

perjanjian-perjanjian, ukiran, tulisan pada batu nisan di luar pembahasan filologi. Naskah

itu dilihat sebagai hasil budaya berupa cipta sastra.

Penyebutan istilah “klasik” pada teks-teks nusantara pada hakekatnya lebih

ditekankan kepada masalah waktu dan periode masa lampau yang disebut di Indonesia

dengan “pramoderen”yaitu suatu kondisi waktu itu pengaruh Eropa belum masuk secara

intensif

1.4. TUJUAN

Sejarah asal mula lahirnya sebagai suatu istilah menunjukkan bahwa filologi

diperlukan dalam rangka upaya mengungkap informasi tentang masa lampau suatu

masyarakat yang tersimpan dalam peninggalan tulisan. Peninggalan tulisan yang

mengalami penyalinan berulang-ulang akan muncul dalam wujud salman yang

bermacam-macam pula. Munculnya variasi akibat dan salinan yang tidak setia akan

melahirkan informasi yang bermacam-macam. Lain daripada itu, kondisi fisik sebagai

peninggalan masa lampau tidak sempurna lagi: tulisannya rusak, bahasanya tidak lagi

dipakai, dan faktor-faktor sosial budaya yang melatarbelakangi lahirnya kandungan teks

berbeda.

9
Kondisi peninggalan tulisan penyimpan informasi masa lampau seperti

dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa teksnya telah disalin berkali-kali dan dalam

penyalinan itu teksnya telah mengalami perubahan. Perubahan dapat terjadi karena

beberapa faktor ialah faktor usia, yaitu kerusakan akibat dimakan waktu, faktor

kelengahan penyalinnya yaitu akibat adanya kesalahan pemahaman, kesalahan penulisan,

dan faktor subyektif dari penyalin

Dari sikap-sikap memandang gejala variasi dalam teks-teks yang tersimpan dalam

naskah lama, muncul tugas kerja studi filologi yang bermacam-macam. Filologi yang

memandang variasi sebagai bentuk korup kerjanya bertujuan menemukan bentuk mula

teks atau yang paling dekat dengan bentuk mula teks. Gejala yang terlihat pada bacaan

yang berbeda-beda untuk suatu informasi dan terlihat pada sejumlah kerusakan dan

kesalah bacaan mengundang kebutuhan untuk mendapatkan informasi tentang kandungan

teks yang asli yaitu seperti yang dihasilkan pertama kali yaitu kandungan teks yang

belum mengalami perubahan dalam proses transmisinya itu. Motivasi yang melahirkan

kerja filologi pada awal mulanya ini melahirkan tujuan yang berupa menemukan bentuk

asli atau bentuk mula teks.

Filologi yang memandang variasi sebagai bentuk kreasi kerjanya bertujuan

menemukan makna kreasi yang muncul dalam bentuk kreasi. Kerja filologi ini

memandang penyalin adalah manusia penyambut teks yang kreatif. Kreatifitas si penyalin

didukung selain oleh subyektifitasnya selaku manusia pembaca teks yang akan disalin,

juga pada beberapa produk tulisan masa lampau disebabkan oleh kondisi pernaskahan

suatu masyarakat, sebagaimana yang ada di nusantara. Pandangan tentang studi filologi

demikian banyak dan berkaitan dengan konsep estetika resepsi dalam ilmu sastra.

Penyalinan itu teksnya telah mengalami perubahan. Perubahan dapat terjadi karena

beberapa faktor ialah faktor usia, yaitu kerusakan akibat dimakan waktu, faktor

kelengahan penyalinnya yaitu akibat dari kesalahan pemahaman, kesalahan penulisan,

dan faktor subyektifdari penyalin. Tujuan kerja filologi dapat dirinci sebagai berikut:

Tujuan Umum

• Mengungkapkan produk masa lampau melalui peninggalan tulisan

• Mengungkapkan fungsi peninggalan tulisan pada masyarakat penerimanya, baik

pada masa lampau maupun pada masa kini

10
• Mengungkapkan nilai-nilai budaya masa lampau

Tujuan Khusus

• Mengungkapkan bentuk mula teks yang tersimpan dalam peninggalan tulisan masa

lampau

• Mengungkapkan sejarah perkembangan teks

•Mengungkapkan sambutan masyarakat terhadap suatu teks sepanjang penerimaannya

• Menyajikan teks dalam bentuk yang terbaca oleh masyarakat masa kini yaitu dalam

bentuk suntingan.

1.5 TUGAS FILOLOG

Jika kemudian kita beranggapan bahwa karya dan kesusastraan klasik di

Indonesia memiliki nilai yang tinggi, apapun itu, kita sekaligus harus mengakui bahwa

nilai itu tidak selalu jelas, sesuatu yang mencengangkan pembaca dalam menghadapi

halaman yang tercetak rapi. Pertama-tama, sedikit sekali teks dalam hentuk cetakan.

Salah satu keuntungan percetakan, selain dapat didistribusi dalam jumlah yang sebanyak

mungkin, ialah bahwa pencetakan mendorong konsumsi. Bentuk fisik dan penampilan

buku, yang merupakan wahana untuk menyajikan isi kepada pembaca, memang

mempunyai pengaruh pada sikap (mungkin secara tidak sadar) terhadap buku itu,

tergantung pada harapan kita dalam hubungan dengan buku itu. Di dalam tradisi Barat

dalam hal buku cetakan, berapa sering orang tidak jadi membuka buku dan membacanya

karena penampilannya yang membosankan dan kuno? Atau, sebaliknya, orang tertarik

pada sampul yang cerah, cetakan yang terang, dan kertas bermutu?

Begitu pula, jika karya sastra untuk masyarakat umum hanya tersedia dalam

sebuah atau sejumlah kecil naskah masing-masing ditandai oleh keunikan tersendiri dan

ditulis dengan tangan yang khas --maka dalam menghadapi kesulitan ini, kesempatan

untuk mengikuti alur cerita atau menangkap amanatnya, apalagi menikmati manfaat

sastranya, relatif lebih keci1. Begitu pula, jika seseorang telah membantu kita membuat

transliterasi dari tulisan asli ke tulisan yang lebih kita kenal, dan mengetiknya, maka kita

selangkah lebih maju. Namun, kita masih menghadapi masalah lain: teks itu mungkin

ditulis dalam bahasa atau idiom yang tidak kita kenal, dengan hasil yng sama--apresiasi

yang semestinya terhadap gagasan penulis masih sulit dicapai. Bagi mahasiswa bahasa

dan sastra Indonesia, ini adalah kenyataan yang sudah mereka kenal, yang di satu pihak

11
disebabkan latar belakang mereka yang sangat berbeda dalam hal waktu dan tempat dan

latar asli, dan dilain pihak disebabkan kondisi terbelakang dan studinya, yang kekurangan

tidak saja teks yang bagus tetapi juga sering alat bantu dasar seperti buku gramatika dan

kamus yang memadai, belum lagi sejarah kesusastraan, yang sudah dimengerti di daerah

lain tetapi masih harus dijelaskan di sini

Di sinilah letak tugas filolog. Makna istilah ini, secara harfiah ’‘pençinta kata-

kata’, sebagaimana lazimnya digunakan dalam bidang studi bahasa Indonesia, akan

dijelaskan di bawah ini. Di situ akan diperlihatkan bahwa filologi mencakup jauh lebih

banyak daripada sekadar ‘kritik teks”.di satu pihak juga berbeda, walaupun berkaitan

dengan, teori sastra. Di lain pihak linguistik. Kita akan melihat bahwa untuk

menjembatani kesenjangan komunikasi antara penulis dan pembaca modern, berbagai

proses perlu dilibatkan. Dan semua tugas filolog ini dapat diringkas dalam membuat teks

terbaca dimengerti”.

Agar sebuah karya sastra klasik terbaca/dimengerti, pada dasarnya, ada dua hal

yang harus dilakukan: menyajikan dan menafsirkan. Salah satu aktivitas tidak akan

lengkap tanpa aktivitas yang lain. Konsepsi tentang tugas filolog ini lebih lüas daripada

yang dikenal dari. buku klasik Eropa atau studi al-Kitab di Eropa, yang menekankan

kritik teks secara tradisional. Kita menganggap tugas ini hanya membandingkan berbagai

bacaan dan naskah yang berbeda-beda, membuat stemma, dan dengan demikian membuat

edisi kritik teks dan bahasa Yunani dan Latin, warisan yang dikenal baik oleh sarjana di

Barat. Namun, idealnya ini hanyalah sebagian tugas.

Kedua aktivitas filolog adalah penyajian dan interpretasi, jika mungkin, harus

ditempatkan dalam satu jilid yang sama, yang disebut “edisi teks”. Inti dari edisi itu

adalah edisi teks itu sendiri yang apabila sesuai, disertai pembahasan tentang sumbernya,

bacaan-bacaan varian, catatan tempat yang tidak jelas. Namun, semua ini masih tidak

lengkap tanpa pengantar. Di sini orang berharap akan menemukan tanggal atau periode

karyá terrsebut; beberapa petunjuk tentang latar sosialnya--misalnya apakah karya itu

dibuat oleh orang-orang istana, rakyat biasa, atau mungkin kelompok agamatertentu?;

daerah dan kelompok etnik yang menghasilkannya; acuan pada aliran sastra dan karya-

karya sejenis, baik yang lebih awal maupun yang belakangan; dan terakhir informasi

tentang bagaimana karya itu digunakan dahulu dan sekarang--dalam upacara keagamaan,

12
misalnya, untuk menghibur, dan apakah karya itu dimaksudkan untuk dibaca dalam hati

atau dibaca dengan mengeluarkan suara? Dan seterusnya. Rincian pertanyaan ini

membuat kita dapat melihat teks itu dengan pengertian yang benar dan menambahkan

dimensi baru dalam hal makna yang sering dapat membantu kita membuat interpretasi

yang benar. Sebagai langkah lebih lanjut, ada juga alasan yang bagus untuk menawarkan

terjemahan. yairu terjemahan adalah cara merekam interpretasi yang dianggap terbaik

oleh penyunting, sebagai hasil dan studi yang lama dan cermat. Tidak ada yang

menyatakan bahwa hanya ada satu cara untuk menafsirkan, demikian juga

menerjemahkan teks, tetapi sebaliknya jumlah interpretasi yang sah bukan tidak terbatas.

Tafsiran itu mungkin relatif lebih, atau kurang, tepat, dan dapat dinilai menurut norma-

norma gramatika, idiom, dan leksikon yang dapat diterima. Bersamaan dengan

terjemahan sering juga diperlukan ulasan untuk menjelaskar bagian-bagian tertentu,

misalnya yang berkaitan dengan latar belakang budaya, yang mungkin tidak akan jelas

atau membingungkan bagi pembaca yang menjadi sasaran terjemahan itu. Semua

aktivitas mi termasuk tugas filolog yang rajin dan dimasukkan dalam istilah penyajian

dan interpretasi yang merupakan aspek untuk membuat teks itu dapat dimengerti

(Robson, 9-11)

Menurut Teeuw, tugas peneliti adalah ikut dalam usaha menyebarluaskan

peredaran teks di tengah-tengah masyarakat, membantu dalam proses seleksi terhadap

naskah. Penyunting teks yang baik, menafsirkan, menjelaskan latar belakang sosiobudaya

dari teks yang diterbitkan. Sementara itu, Harjati Soebadio mengatakan bahwa tugas

filolog ialah untuk mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan-kesalahan.

Hal ini berarti filolog memberikan pengertian yang sebaik-baiknya dan bisa

dipertanggungjawabkan sehingga kita dapat mengetahui naskah yang paling dekat dengan

aslinya.

Naskah yang sebelumnya telah mengalami penyalinan ulang serta sesuai dengan

kebudayaan setempat perlu dibersihkan dari tambahan-tambahan yang dialami pada

waktu penyalinan tersebut. Hal ini penting sebab menurut Harjati jika teks telah bensih,

maka akan terhindar dari interprestasi yang salah. Kalaulah demikian, telah jelas bahwa

suatu nankah. harus diteliti terlebih dahulu secara cermat. Bila teks hanya terdapat dalam

satu naskah yang lazim disebut naskah tunggal atau codex unicus, maka peneliti

13
mengadakan penelitian secermat mungkin terhadap teks itu. Akan tetapi, bila teks

terdapat dalam beberapa naskah dan terdiri atas berbagai varian serta banyak kopinya,

maka a perlu mengadakan perbandingan teks secara teliti.

14
BAB II

KEDUDUKAN FILOLOGI DI ANTARA ILMU LAIN

2.1 PENGANTAR

Kedudukan filologi di atara ilmu lain erat kaitannya dengan obyek penelitian

filologi. Disini akan nampak hubungan timbal balik, saling membutuhkan. Untuk

kepantingan tertentu filologi memandang ilmu lain sebagai ilmu bantunya, demikian pula

ilmu lain untuk kepentingan tertentu menganggap filologi sebagai ilmu bantunya.

2.2 Ilmu Bantu Filologi

Filologi merupakan suatu cara bekerja untuk memahami menelaah suatu naskah.

Hasil telaah itu dapat dipergunakan untuk memahami perkembangan cara berpikir, adat-

istiadat pada waktu itu bahkan dapat dipergunakan oleh ilmu lain dalam mengkaji

bidangnya. Sebaliknya untuk memahami filologi diperlukan ilmu lain. Misalnya, untuk

memahami kesusastraan Melayu lama, sebagian besar adalah warisan zaman Melayu

Sriwijaya, Pasai, Malaka, Aceh, Johor dan Riau.. Maka untuk dapat memahaminya,

kehidupan kemelayuan tersebut perlu dikaji.

Filologi memerlukan ilmu-ilmu bantu yang erat hubungannya dengan bahasa,

masyarakat budaya yang melahirkan naskah, dan ilmu sastra untuk mengungkapkan nilai-

nilai sastra yang terkandung di dalamnya. Diperlukan pula ilmu bantu yang dapat

memberikan keterangan tentang pengaruh kebudayaan yang terlihat dalam kandungan

teks. Sebab itu ahli filologi memerlukan ilmu-ilmu bantu seperti: Iinguistik, pengetahuan

bahasa, paleografi, ilmu sastra, ilmu agama sejarah kebudayaan, antropologi, dan folklor.

1. Linguistik.

Bantuan linguistik kepada filologi sudah terlihat sejak awal perkembangan. Linguistik

sangat mengutamakan bahasa tulis, termasuk di dalamnya bahasa naskah, bahkan studi

bahasa sampal abad ke-19 dikenal dengan nama filologi. Dalam perkembangan akhir,

linguistik lebih mengutamakan bahasa lisan, bahasa yang dipakai sehari-hari.

Ada beberapa cabang linguistik yang dipandang dapat membantu filologi, antara

lain, etimolog, sosiolinguistik, dan stylistik. Etimologi, yaitu ilmu yang mempelajari asal-

usul dan sejarah kata, telah lama menarik perhatian ahli filologi. Hampir dapat dikatakan

bahwa pada setiap pengkajian bahasa teks, selalu ada yang bersifat etimologis. Hal ini

15
disebabkan oleh karena bahasa-bahasa naskah Nusantara banyak yang mengandung kata

serapan dan bahasa asing, yang dalam perkembangan sejarahnya perubahan bentuk dan

kadang-kadang juga perubahan arti. Maka untuk pengkajian teks klasik dan

pemahamannya perlu ditelaah sejarahnya. Pengkajian

perubahan bentuk dan makna kata menuntut pengetahuan tentang fonologi, morfologi,

dan semantik, yaitu ilmu-ilmu yang mempelajari bunyi bahasa, pembentukan kata, dan

makna kata. Ketiganya juga termasuk linguistik. Sebagai contoh timbulnya kata

“pungkir”dan “ungkit” adalah sebagal akibat dari kurangnya pengetahuan tentang

fonologi dan morfologi dalam pengkajian etimologis. Kedua kata ni secara etimologis

bentuknya yang benar ialah “mungkir’, diserap dari bahasa Arab “mungkir”.

Sosiolinguistik, sebagal cabang linguistik yang mempelajari hubungan dan saling

mempengaruhi antara perubahan bahasa dan perilaku masyarakat, sangat bermanfaat

untuk menekuni bahasa teks. Melalui ilmu ini dapat diketahui ada tidaknya ragam bahasa

atau alih kode yang erat kaitannya dengan konvensi masyarakat. Hasil kajian seperti ini

diharapkan dapat membantu mengungkapkan keadaan sosial budaya yang terkandung

dalam naskah.

Stylistika, yaitu cabang linguistk yang menyelidiki bahasa sastra, khususny gaya bahasa,

dan diharapkan dapat membantu filologi dalam menemukan teks ash atau yang paling

mendekati aslinya serta penentuan umur teks.

2. Pengetahuan bahasa.-bahasa yang mempengaruhi bahasa teks.

Bahasa yang mempengaruhi bahasa naskah-naskah asal nusantara, seperti bahasa

Sansekerta, Tamil, Arab, Persia, dan bahasa daerah yang serumpun dengan bahasa

naskah, antara lain:

a. Bahasa Sangsekerta, dipelukan untuk pengkajian terhadap naskah-naskah Jawa,

khususnya Jawa Kuno. Dalam naskah Jawa Kuno tampak jelas pengaruh bahasa ini,

seperti penyerapan kosa-kata dan frase. Di samping itu, akan terdapat banyak

cuplikan yang kadang-kadang tanpa terjemahan. Pengaruh semacam ini tampak jelas

dalam Kakawin Ramayana, Uttarakanda Sang Hyang Kamahayanikam.

b. Bahasa Arab, penggunaan bahasa Arab diperlukan terutama untuk mengkaji naskah-

naskah pengaruh Islam, khususnya yang berisi ajaran tasawuf atau suluk. Dalam

naskah yang demikian banyak jumlahnya, terlihat kata-kata, frase, kalimat, ungkapan,

16
dan nukilan-nukilan dari bahasa Arab. Kadang-kadang bagian pendahuluan teks

ditulis dalam bahasa Arab, demikian pula bagian penutupnya.

c. Pengetahuan Bahasa-Bahasa Daerah Nusantara, di samping bahasa-bahasa asing

yang besar pengaruhnya seperti yang disebut di atas, maka untuk penggarapan

naskah-naskah nusantara dibutuhkan pengetahuan tentang bahasa daerah yang erat

kaitanya dengan bahasa naskah

3. Ilmu Sastra,

Ilmu sastra diperlukan bila menangani teks yang berisi cerita rekaan (fiksi).

Sebagai contoh, antara lain teks-teks Melayu yang tergolong cerita pelipur lara, cerita

jenaka, cerita wayang, cerita panji, dan cerita pahlawan Islam. Untuk menangani teks-

teks sastra, filologi memerlukan cara-cara pendekatan yang sesuai dengan sifat objeknya,

yaitu pendekatan ilmu sastra.

Ilmu sastra telah dipelajari sejak zaman Aristoteles. Indikasi ciri terdapat dalam

buku politika, hasil karya Aristoteles yang dipandang sebagai karya besar tentang teori

sastra yang paling awam. Sebuah karya sastra mempunyai unsur-unsur, antara lain, alur,

latar, perwatakan, pusat pengisahan, dan gaya, yang kesemuannya terjalin menjadi satu

struktur atau satu kesatuan organis. Pembahasan mengenai unsur-unsur ini termasuk

pendekatan intrinsik, yaitu suatu pendekatan yang berusaha menafsirkan, menganalisis

karya sastra dengan tehnik dan metode yang diarahkan kepada dan berasal dari karya itu

sendiri. Sampai sekarang para ahli filologi lebih banyak melakukan pendekatan intrinsik,

meskipun telah dimulai pendekatan intrinsik, misalnya pendekatan struktural yang

dilakukan Sulastin Sutrisno terhadap naskah Hikayat Hang Tuah, pada 1979. Baru-baru

inii terdapat pula pendekatan reseptif yaitu suatu pendekatan yang menitikberatkan

kepada tanggapan pembaca, tanggapn sekelompok masyarakat bukan perorangan.

Pendekatan seperti ini diharapkan dapat diterapkan terhadap naskah-naskah asal

Nusantara, mengingat adanya tradisi penyalinan naskah yang tampak berbeda-beda, dan

menghasilkan beberapa varian untuk teks yang sama.

Di samping hal-hal yang telah disebut di atas, dalam ilmu sastra muncul suatu

cabang yang relatif baru, yaitu sosiologi sastra yang mempermasalahkan 3 hal:

1. Konteks sosial pengarang, profesinya, karangannya yang lain, sambutan

17
masyarakat terhadap karyanya, masyarakat mana yang dituju dalam karangannya

itu;

2. Sastra sebagai cermin masyarakat; dan

3. Fungsi sastra dalam masyarakat. Pendekatan ini lebih bersifat ekstrinsik sehingga

sangat sesuai bila digunakan dalam penelaahan teks-teks lama.

4. Hindu, Budha, dan Islam.

Apabila kita berkesempatan untuk mempelajari katalogus-katalogus naskah, maka

akan terlihat betapa pengaruh yang ditinggalkan oleh agama- agama Hindu, Budha, dan

terakhir Islam. Dalam naskah Jawa Kuno misalnya, akan tampak jelas pengaruh agama

Hindu dan Budha. Terdapat sejumlah besar naskah Jawa berisi ajaran agama, seperti,

Brahmananda Purana dan Agastyaparwa untuk agama Budha, Sang Hyang

Kamahayanikam dan Kunjarakama untuk agama Budha. Dalam naskah / Melayu baru

tampak pengaruh agama Islam. Dapat disimpulkan antara lain; penulisan syair Hamzah

Fansuri, tulisan tokoh mistisisme terkenal Abdus-Samad aI-CaIimbani, Syamsuddin as-

Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, dan AbdurRauf Singkel. Naskah Islam baru dapat

dipahami oleh pembaca yang memiliki pengetahuan sejarah Islam yang luas dan ajaran

Islam yang mendalam.

5. Sejarah Kebudayaan, sangat penting untuk diketahui bagi

Peneliti di bidang studi naskah Nusantara, terutama sejarah kebudayaan Hindu,

Budha dan Islam. Melalui sejarah kebudayaan akan diketahui pertumbuhan dan

perkembangan unsur-unsur budaya suatu bangsa. Unsur-unsur budaya erat kaitannya

dengan pendekatan historis karya- karya lama, antara lain; sistem masyarakat. kesenian,

ilmu pengetahuan, dan agama. Tanpa menguasai latar belakang pengetahuan tersebut,

misalnya, orang tidak akan dapat menilai dengan tepat suatu episode yang melukiskan

seorang istri terjun ke dalam api pembakaran mayat suaminya dengan disaksikan oleh

anggota-anggota masyarakat ainnya. Hal semacam mi sering dijumpai dalam naskah

Jawa Kuno seperti Samaradahana dan Kunjarakama. Begitu pula halnya dengan sastra

Metayu, yang selalu menggambarkan garis keturunan raja-raja yang ditarik ke atas

sampai kepada nenek moyangnya yang kelahirannya tidak wajar, misalnya dan buih,

bambu, atau turun dan langit, atau lahir dan peristiwa yang ada kaitannya dengan air.

Sebagai contoh, Hikayat Raja- Raja Pasai, (putri Betung lahir dan bambu; Merah Gajah:

18
ditemukan di atas kepala gajah yang m mandikannya di sungai), Hikayat Aceh, (putri

Dewi Indra: keluar dan bambu), Hikayat Bandjar (putri Junjung Buih: keluar dan buih;

Raden Putra: di pangkuan Raja Majapahit yang sedang bertapa), dan Hikayat Iskandar

Zulkarnain, dalam teks Sejarah Melayu.

6. Antropologi

Ahli filologi dapat memanfaatkan hasil kajian antropologi sebagai suatu ilmu

yang berobyek penelitian manusia. Hal ini disebabkan oleh penggarap l naskah tersebut

yang tidak dapat dilepaskan dan konteks budaya masyarakat yang melahirkannya.

7. Folklor,

Folklor sebagai bagian dan ilmu antropologi, hampir menyentuh setiap aspek

kehidupan masyarakat tradisional. Folklor telah ada sejak abad ke-19. Unsur budaya yang

dirangkumnya secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua yaitu golongan unsur

budaya yang materinya berifat lisan dan golongan unsur budaya yang bersifat upacara-

upacara. Termasuk golongan pertama, antara lain; mitologi, legenda, cerita asal-usul

(penciptaan dunia, nama terrpat, binatang, tanaman dsb.), cerita pelipur lara, dongeng,

mantra, tahyul, teka teki, peribahasa, dan drama tradisional Termasuk kelompok kedua,

antara lain; upacara-upacara yang mengiringi kelahiran, perkawinan, dan kematian.

Kelompok pertama erat kaitannya dengan filologi.

Peristiwa kelahiran sastra lama atau tradisionil berbeda dengan kelahiran suatu

cipta karya sastra modern. Dalam dunia tradisional hubungan antara sastra dan

masyarakat tempat sastra tersebut lahir sangan erat. Sastra beredar dalam masyarakat dan

menjadi miliknya selama beberapa waktu sebelum dicatat. Sehingga jelas batas antara

sastra lisan dan tulisan sangat samar. Jika pada suatu saat ada seorang penulis

mencatatnya, membukukannya atau mengolahnya dalam bentuk yang tradisional, maka ia

tidak merasakan dininya sebagai penciptanya, sehingga ia takkan menyebut dirinya

sebagai penciptanya. Oleh sebab itulah, sebagian besar sastra tradisional seperti sastra

Melayu Lama, sastra Jawa Tengah, dan Jawa Baru, bersifat anonim. Bahkan, Tun Sri

Lanang yang dianggap sebagai pengarang Sejarah Melayu sebenarnya menyusun buku itu

berdasarkan tradisi lisan dan tulisan yang beredar pada masa itu, karena dikhawatirkan

kalau-kalau tradisi itu akan dilupakan orang.

19
2.3 Filologi sebagai ilmu bantu ilmu lain

Obyek filologi adalah terutama teks atau naskah lama. Sedangkan hasil

kegiatannya antara lain berupa suntingan naskah. Ada beberapa suntingan, menurut

metode yang digunakan, misalnya suntingan diplomatis, fotografis, populer. kritis atau

ilmiah. Suntingan naskah biasanya disertai catatan berupa aparat kritik, kajian bahasa

naskah, singkatan naskah, bahasa teks, dan terjemahan teks ke dalam bahasa nasional

apabila teks dalam bahasa daerah dan ke dalam bahasa internasional apabila suntingan

disajikan untuk dunia internasional.

Dalam pengertian penyajian teks seperti tersebut di atas itulah filologi bertindak

sebagai ilmu bantu bagi ilmu-ilmu yang menggunakan naskah larna scbagai objek

penelitian. Mengingat bahwa kandungan naskah lama itu beraneka ragam, maka fiologi

akan membantu berbagal ragam ilmu. Beberapa di antaranya ialah linguistik, ilmu sastra,

ilmu sejarah, sejarah kebudayaan. ilmu hukum adat, ilmu agama, ilmu filsafat.

Selanjutnya wujud bantuannya diuraikan di bawah ini

1. Filologi Sebagai ilmu Bantu Linguistik

Untuk penelitian linguistik diakronik. Ahli linguistik memerlukan suntingan teks-teks

lama hasil kerja filologi mungkin juga membutuhkan hasil kajian bahasa teks lama oleh

ahli filologi. Pada umumnya ahli linguistik mempercayakan pembacaan teks-teks lama

kepada para ahli filologi. Dengan demikian terdapat hubungan timbal balik antara filologi

dan 1inguistik, seperti telah disinggung pada pembicaraan terdahulu

2. Filoloqi sebagai Ilmu Bantu Ilmu Sastra

Karena banyaknya jumlah teks sastrawi dan besarnya kecenderungan untuk

menanganinya , maka dalam perjalanan sejarahnya filologi dipandang sebagai ilmu

sastra. Sebaliknya sekarang ini karena pesatnya kemajuan ilmu sastra, maka filologi

dipandang sebagai cabang ilmu sastra. Bantuan filologi kepada ilmu sastra terutama

berupa penyediaan suntingan naskah lama dan hasil pembahasan teks yang mungkin

dapat dimanfaatkan sebagai bahan penyusunan sejarah sastra maupun teori sastra

3. Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah Kebudayaan

Kecuali kegiatan mengumpulkan naskah-naskah lama, memelihara, dan

menyuntingnya, filologi banyak mengungkap khazanah ruhaniyah warisan nenek

moyang, misalnya kepercayaan, adat istiadat, kesenian. dan lain-lain. Lewat pernbacaan

20
naskah-naskah lama, banyak dijurnpai penvbutari atau pemberitahuan adanya unsur-

unsur budava van selcarang telah punah, misalnva isti1ah-isti Iah untuk unsur-unsur

budava bidang musik. takaran, timbangan, ukuran. mata uang, dan sebagainva.

4. Filologi sebagai Ilmu Bantu ilmu Sejarah

Naskah-naskah Nusantara yang oleh pendukungnya dipandang berisi teks sejarah

jumlahnya cukup banyak. misalnya Nagaretkretagama, Pararaton (Jawa Kuna). Babad

Tanah Jawi. babad Dipanegara (Jawa Baru), Sejarah Melayu. Hikayat Raja-Raja Pasai,

Hikayat Aceh, Suntingan naskah-naskah jenis ini terutama yang proses pcngkajian

filologis. dapat dimanfaatkan sebagat sumber sejarah setelah diuji berdasarkan sumber-

sumber lain (sumber asing, prasasti, dsh.) atau setelah diketahul sifat-sifatnya. Biasanya

bagian yang bersifat historis hanyalah bagian-bagian yang rnelukiskan peristiwa-

peristiwa yang sezaman dengan penulisnva. Itupun banyak yang penyajiannya diperhalus,

yaitu apabila peristiwanya dipandang dapat mengurangi nama baik raja yang sedang

berkuasa. Meskipun demikian, teks-teks sernacarii itu sangat bermanfaat untuk

melengkapi informasi sejarah yang lerdapat di dalam sumber-sumber lain, misalnya batu

nisan, prasasti, dan candi. Informasi scjarah dalam batu nisan Sultan Malikus Salih di

Samudra (Aceh tidak akan berbicara banyak sekiranya tidak ditemukan naskah Hikayat

Raja-Raja Pasai dan Sejarali Melayu.

Kecuali yang telah tersebut di atas, ilmu sejarah dapat juga memanfaatkan

suntingan teks jenis lain, bukan jenis sastra sejarah, khususnya teks-teks lama yang dapat

memberikan informasi lukisan kehidupan masyarakat yang jarang ditemukan dalam

sumber-sumber sejarab di luar sastra. Dalam sastra Melayu misalnya. Hikayat Abdullah

banyak memberikan kritik tajam terhadap kehidupan feodal.

5. Filologi Sebagai ilmu bantu Ilmu Bantu Hukum Adat

Manfaat Filologi bagi hukum Adat, seperti bagi ilmu terutama pada penyediaan

teks. Banyak naskah nusantara yang merekam adat istiadat seperti yang dikemukakan

sebelumnya. Kecuali itu dalam khasanah sastra nusantara terdapat teks yang

dimaksudkan sebagai hukum dalam masyarakat Melayu disebut istilah undang-undang.

Apa yang disebut undang-undang dalam sastra Melayu lama berbeda dengan apa yang

dimaksudkan dalam masyrakat sekarang. Undang-undang dalam masyarakat Melayu

sebetulnya merupakan adat yang terbentuk dalam masyarakat selama peredaran masa,

21
bukan peraturan seluruhnya yang dibuat oleh raja sebagai penguasa. Penulisannya baru

dilakukan kemudian setelah dirasakan perlunya kepastian peraturan hukum oleh raja atau

setelah ada pengaruh dunia Barat. Contoh undang-undang dalam sastra Melayu: Undang-

Undang Negeri Malaka, (dikenal juga dengan nama Risalah Hukum Kanun. atau Hukum

Kanon) dan Undang-Undang Minangkabau dalam sastra Jawa: Rala Niti. Paniti Raja,

Kapa-Kapa, Surya Ngalam, Nawala Pradata. Angger Sadasa. Kecuali sastra undang-

undang, dalam sastra lama Melayu terdapat teks yang disebut dengan istilah adat,

misalnya Adat Raja-Raja Melayu.

6. Filologi sebagai Ilmu Bantu Sejarah Perkembangan Agama

Bahwa naskah-naskah Nusantara banyak yang mengandung teks keagamaan telah

beberapa kali dikemukakan dalam pembicaraan yang lalu. Juga telah dikemukakan bahwa

naskah-naskah Jawa Kuna banyak diwarnai agama Hindu dan Budha, sedangkan naskah-

naskah Melayu banyak dipengaruhi agama Islam. Pengaruh sastra Islam dalam sastra

Jawa Baru pada umumnya lewat sastra Melayu. Beberapa contoh naskah yang

mengandung teks-teks keagamaan juga telah berulang kali dikemukakan.

Suntingan naskah terutama naskah yang mengandung teks keagamaan/sastra kitab

dan hasil pembahasan kandungannya akan menjadi bahan penulisan perkembangan

agama yang sangat berguna. Dari teks-teks semacam itu akan diperoleh gambaran antara

lain: perwujudan penghayatan agama, percampuran agama Hindu, Buddha, dan Islam

dengan kepercayaan yang hidup di masyarakat Nusantara, permasalahan aliran-aliran

agama yang masuk ke Nusantara. Gambaran tersebut merupakan permasalahan yang

ditangani oleh ilmu sejarab perkembangan agama.

7. Filologi sebaqai llmu Bantu Filsafat

Banyak definisi filsafat. tetapi inti sarinya adalah cara berfikir menurut logika

dengan bebas, sedalam-dalamnya hingga sampai ke dasar persoalan. Dilihat dari bidang

objek pemikiran. filsafat dapat dibagi menjadi bebeapa cabang: metafisika (ontologi),

epistemologi, logika. etika. estetika, dan sehagainya. Ada juga yang membaginya

menjadi: filsafat manusia. filsafat alam, dan filsafat ilmu pengetahuan.

Renungan yang bersifat filsafat yang pernah terjadi pada masa lampau antara lain

dapat digali lewat warisan budaya lama yang berwujud naskah atau teks sastra.

Kehidupan masyarakat tradisional nusantara nampak didominasi oleh nilai-nilai seni dan

22
agama, bahkan menurut Al-Attas (1972) pandangan hidup asli”Melavu-Indonesia” adalah

berdasarkan seni. Kedatangan kebudayaan Hindu tidak mengubah dasar ini. Pemikiran

yang rasional yang olehnva disebut filsafat baru muncul setelah kena pengaruh Islam.

Mengingat hal- hal tersebut, maka renungan-renungan filsalat yang digali dari naskah-

naskah atau teks-teks sastra lama nusantara terutama adalah renungan-renungan filsafat

yang erat kaitannya dengan seni dan agama. yaitu estetika, etika, dan metafisika.

Pada hakikatriva semua karya sastra mengandung pandangan hidup tertentu yang

disajikan secara jelas atau sedikit samar-samar karena pengungkapan batin selalu didasari

pemikiran filsafati. Khusus untuk penggalian renungan-renungan filsafati dalam naskah-

naskah atau teks-teks sastrawi, secara teoretis dapat dikaitkan dengan Roman Ingarden

tentang lapis-lapis suatu karya sastra. Ia memperlihatkan beberapa lapis karya sastra,

antara lain terdapat lapis yang disebutnya ‘sifat-sifat metafisika’, yaitu suatu lapis yang

memungkinkan perenungan makna filsafati suatu karya sastra. Keagungarm. kesucian,

kedahsyatan, suatu karya sastra misalnya menyebabkan kita untuk memikirkannya. lnilah

yang melahirkan makna filsafat suatu karya sastra. Menurut orang Yunani. filsuf-filsuf

pertama di Barat muncul karena kekaguman yang dilanjutkan dengan pertanyaan-

pertanyaan yang terus menerus di pikirkan jawabannya.

Subagio Sastrowardoyo (1983) telah mencoba mengangkat pemikiran filsafati

dalam sastra hikayat sebagai berikut. Teks-teks sastra hikayat banyak mengandung

nasihat dan pepatah-petitah yang menandakan bahwa sastra merupakan penjaga

keselamatan moralitas yang dijunjung oleh masyarakat pada umumnya. Moralitas yang

demikian bersumber pada keyakinan yang bersifat filsafat atau pemikiran keagamaan.

Lukisan tokoh-tokoh dalam hikayat yang pada umumnya berupa tokoh baik dan tokoh

jahat mencerminkan filsafat yang berdasarkan pandangan hidup sederhana, yakni bahwa

hidup ini pada intinya berupa peperangan antara yang baik dan yang buruk, yang menurut

moralitas umum berakhir dengan kemenangan di pihak yang baik. Dalam sastra

tradisional moralitas umum ini berlaku secara mutlak meskipun disana sini ada

pengecualian.

Menurut Al-Attas (1972:67) naskah-naskah yang berisi tasawuf mengandung

filsafat yang meliputi aspek-aspek ontologi, kosmologi dan psikologi. Ilmu tasawuf

olehnya dipandang sebagai filsafat Islam yang sejati.

23
Penggalian filsafat dan teks-teks sastra Nusantara agaknya secara mendalam belum

banyak dilakukan, meskipun jumlah suntingan naskah cukup tersedia. Dengan demikian,

sumbangan filologi kepada filsafat terutama berupa suntingan naskah disertai transliterasi

dan terjemahan ke dalarn bahasa nasional. yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh para

ahli filsafat. Sebagal contoh dapat disebutkan beberapa suntingan naskab: Sang Hyang

Kamahayanikam, Ramayana Kakawin, Arjuna Wiwaha, Bomakavya (Jawa Kuna),

Hikayat Sri Rama. Hikayat Andaken Penurat, Hikayat Banjar, Hikayat Merong

Mahawangsa. Tajussalatin (Melayu).

24
BAB IV

SEJARAH PERKEMBANGAN FILOLOGI


DAN TAHQIQ AN-NUSUS

3.1 FILOLOGI DI EROPA DARATAN

Filologi tumbuh dan berkembang di kawasan kerajaan Yunani yaitu di kota

Iskandaria di benua Afrika Utara yang kemudian berkembang di Eropa daratan, sampai

ke bagain dunia lain.

3.1.1 Awal Pertumbuhannya

Kegiatan filologi di kota Iskandaria dilakukan oleh bangsa Yunani pada Abad ke-

3 S.M. Bangsa ini berhasil membaca naskah Yunani lama yang ditulis pada abad ke-8

dalam huruf Yunani kuno. Huruf ini berasal dari bangsa Funisia. Naskah-naskah itu

ditulis pada daun papirus dan merekam tradisi lisan yang mereka miliki berabad-abad

sebelumnya. Mulai abad S.M 8 sampai 3 S.M. naskah itu berkali-kali disalin, maka

wajarlah kalau mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Di kota Iskandariyah pada abad

ke-3 S.M. terdapat pusat ilmu pengetahuan, karena di tempat itu banyak dilakukan telaah

naskah-naskah lama oleh para ahli yang bekerja di tempat tersebut. Mereka berasal dari

daerah sekitarLaut Tengah, terutama bangsaYunani sendiri dari daratan Eropa Selatan.

Pusat studi itu lalu seperti perpustakaan yang menyimpan sejumlah besar naskah, berupa

papirus yang bergulung, berisi berbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu filsafat,

kedokteran, perbintangan, ilmu sastra dan karya sastra, ilmu hukum, dan lain sebagainya

milik bangsa Yunani lama. Perpustakaan itu menempati bangunan pada waktu itu

dinamakan museum. aslinya sebuah kuil untük memuja 9 orang dewi Muses dalam

mitologi Yunani. Para penggarap naskah-naskah itu kemudian dikenal dengan ahli

filologi, dan yang pertama-tarna memakai nama itu ialah Eraiosthenes. Para ahli fiiologi

pada waktu itu benar-benar memiliki ilmu yang luas, karena untuk memahami isi naskah

itu orang harus mengenal hurufnya, bahasanya, dan yang dikandungnya. Setelah dapat

membaca dan memahamiisinya, mereka lalu menulisnya kembali dalam huruf yang

digunakan pada waktu itu dan bahasa yang dipakai waktu itu juga. Dengan demikian

kebudayaan Yunani lama yang memiiiki nilai luhur itu dapat dikenal oleh masyarakat

pada waktu itu.

25
Metode yang mereka.gunakan untuk menelaah naskah-naskah itu kemudian

dikenal dengan ilmu filologi. Metode awal itu dilakukan demikian; pertama-tama mereka

memperbaiki huruf dan bacaan, ejaan, bahasanya, tatatulisnya, kemudian

menyuntingnya. Dalam keadaan mudah dibaca dan bersih dari kesalahan-kesalahan.

Eksemplar inilah kemudian yang disalin berkali-kali yang kadang-kadang diberi

komentar atau tafsiran serta penjelasan secukupnya. Para ahli filologi pada taraf awal ini

menguasal ilmu dan kebudavaan Yunani lama sehingga dikenal dengan nama aliran atau

mazhab Iskandariyah.

Di samping untuk tujuan penggalian ilmu pengetahuan Yunani lama, kegiatan

fiologi juga sebagai kegiatan perdagangan? Untuk tujuan ini penyalinan naskah biasanya

dilakukan oleh para budak yang pada waktu masih banyak dan mudah

dikerahkan.Dengan demikian mudah sekali terjadi penyimpangan-penyimpangan, karena

penyalin tidak memiki kesadaran terhadap nilail keautentikan naskah. Sehingga,

terjadilah sermakin banvak naskah yang menyimpang dari teks aslinya. Salin menyalin

naskah dengan tangan mudah menimbulkan bacaan yang rusak korup (corrupt). karena

kelidaksengajaan. atau karena penyalin bukan ahlinya, mungkin juga karena keteledoran

penyalin. Bahan-bahan yang ditelaah pada awal pertumbuhan ilmu filologi seperti

Humerus, Plato, Menander, Herodotus, Hipocrates, Socrates, dan Aristoteles yang isinya

ber bagai ilmu pengetahuan dan filsafat, serta karya sastra yang tinggi mutunya.

Sesudah lskandariyah jatuh ke dalam kekuasaan Romawi, kegiatan filologi pindah

ke selatan, berpusat di kota Roma dan melanjutkan tradisi filologi Yunani mashab

Iskandariyah.

3.1.2 Filologi di Romawi Barat dan Romawi Timur

a. Filologi di Romawi Barat

Kegiatan filologi di Romawi Barat diarahkan kepada penggarapan naskah-naskah

dalam bahasa Latin yang sejak abad ke-3 S.M. telah digarap secara filologi. Naskah-

naskah Latin itu berupa prosa, antara lain tulisan Cicero dan Varro. Kegiatan ini mungkin

mengikuti kegiafiologi Yunani pada abad ke-3 S.M. di Iskaridariyah, dan isi naskah-

naskah itu banyak mewarnai dunia pendidikan di Eropa pada abad-abad selanjutnya.

26
Tradisi Latin inilah yang dikembangkan di kerajaan Romawi Barat, dan bahasa Latin

menjadi bahasa ilmu pengetahuan. Sejak terjadinnya Kristenisasi di benua Eropa,

kegiatan filologi di Romawi Barat dilakukan juga untuk telaah naskah-naskah keagamaan

yang dilakukan oleh para pendeta. akibatnya. banyak naskah-naskah yang ditinggalkan,

bahkan kadang-kadang dipandang tulisan yang berisi paham jahiliyah dan berisi ilmu

yang berkaitan dengan paham itu. Maka telaah teks Yunani menjadi mundur dan

kandungan isinya menjadi tidak banyak dikenal lagi. Sejak abad ke-4 teks sudah ditulis

dalam bentuk buku yang disebut codex dan menggunakan bahan kulit binatang, terutarna

kulit domba, dikenal dengan nama perkamen

b. Filologi di Romawi Timur.

Pada vaktu telaah teks Yunani l mundur di Romawi Barat maka di Romawi Timur

mulal muncul pusat-pusat studi teks Yunani, misalnya di Antioch, Athena, Iskadniyah,

Beirut,. Konstantinopel. dan Gaza. Iskandaniyah menjadi pusat studi bidang filsafat

Aristoteles. Beirut pada bidang hukum. Pusat-pusat studi ini selanjutnya berkembang

menjadi perguruan tinggi. Dalam periode ini muncul kebiasaun menulis tafsir tenhadap

isi naskah pada tepi halaman. Catatan ini dinamakan Sholia (Baried 32-37)

3.2 FILOLOGI DI TIMUR TENGAH

Sejak abad ke-4 M. beberapa kota di Timur Tengah memiliki perguruan tinggi.

Berbagai pusat studi ilmu pengetahuan yang berasal dan Yunani, seperti: Gaza sebagai

pusat ilmu oratori, Beirut dalam bidang hukum, Edessa dalam kebudayaan Yunani

demikian pula di Antioch.

Pada abad ke-5 M. terjadi perpecahan di kalangan kerajaan di kota Edessa yang

menyebabkan banyak para ahl filologi pindah ke wilayah Persia. Mereka inilah yang

mendorong perkembangan kegiatan ilmiah di Persia yang berpusat di Yundi Syapur. Di

lembaga ini banyak dihasilkan naskah terjemahan Yunani ke dalam bahasa Siria, yang

nantinya berlanjut ke Bahasa Arab masa pengaruh Islam.

Pada zaman dinasti Abbasiyah, periode pemerintahan Khalifah Al-Manshur,

Harun al-Rasyid, dan Al Makmun studi naskah ilmu pengetahuan Yunani makin

berkembang, dan mengalami puncak kejayaannya pada masa khalifah al Makmun. Dalam

istananya berkumpul sejumlah ilmuwan dari negara lain. Pada waktu itu dikenal ada tiga

27
penerjemah kenamaan, yaitu; Qusta bin Luqa, Hunain bi Ishak, dan Al Hubaisyi, yang

ketiganya beragama Nasrani.

Di samping melakukan studi naskah Yunani, para ahli filologi di kawasan Timur

Tengah juga menerapkan teori filologi terhadap naskah-naskah yang dihasilkan para

penulis daerah setempat, yang tertihat dan kumpulan naskah di Bait aI-Hikmah. Naskah-

naskah itu mengandung nilai-nilai yang tinggi, seperti karya tulis yang dihasilkan oleh

bangsa Arab dan Persia. Sebagaimana diketahui, bahwa pra Islam bangsa Arab sangat

terkenal dengan karya-karya sastra prosa maupun syair (puisi). Dapat disebutkan sebagal

contoh ialah karya sastra syair (puisi) yang mengandung unsur keindahan dan panjang

yang dikenal dengan “Muallaqat”. Qasidah-qasidah yang panjang dan bagus itu

diganlung pada dinding Ka’bah dengan tujuan agar dibaca masyarakat Arab pada hari-

hari pasar dan keramaian lainnya. Atas dasar nilah kenapa qasidah-qasidah itu disebut

“Muallaqat” (yang tergantung).

Setelah Islam tumbuh dan berkembang di Spanyol hampir 700 tahun dan abad ke-

8 M. sampai abad ke-15 M. zaman Dinasti Bani Umayyah memberi dimensi baru

hubungan Timur dan Barat. Ilmu pengetahuan Yunani yang telah di terima bangsa Arab

kemudian kembali ke daratan Eropa dengan epistimologi Islam. Puncak kemajuan karya

sastra Islam ini mengalami kejayaannya pada peniode Dinasti Abasiyah. Karya tulis Al

Ghazali, Fariduddin al-Atta, dan lain-lain yang bernuansa mistik berkembang maju di

wilayah Persia dan dunia Islam. Karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan yang lain menjadi

buku rujukan wajib mahasiswa dan merupakan lapangan penelitian yang menarik pelajar

di Eropa. Orientalis yang terkenal pada waktu itu adalah Albertus Maknus. Pada abad ke-

13 M. di pusat studi Montpillier dilakukan penerjemahan karya flosof-filosof Muslim ke

dalam bahasa Latin.

Pada abad ke-17 Masehi studi teks klasik Arab dan Persi di Eropa sudah

dipandang mañtap. Selain naskah Arab dan Persi, ditelaah pula naskah Turki, lbrani dan

Syiria. Di penghujung abad ke-18 Masehi di Paris, Perancis, banyak didirikan pusat studi

ketimuran oleh Sitverter de Sacy, di sana banyak dipelajarI naskah-naskah dan Timur

Tengah oleh para ahli dan kawasan Eropa. De Sacy dianggap sebagai bapak para

orientalts Eropa karena dari pusat studi Ecoledes Orientalis Vivantes yang ia dirikan itu

28
banyak melahirkan orentalis Eropa yang menekuni pengkajian karya tulis kawasan Timur

Tengah.

3.3 FILOLOGI DI KAWASAN NUSANTARA

Kawasan Nusantara terbagi ke dalam banyak kelompok etnis yang masing-masing

memiliki bentuk kebudayaannya yang khas.

3.3.1 Naskah Nusantara dan Para Pedagang Barat

Keinginan untuk mengkaji naskah-naskah nusantara mulai timbul seiring

kedatangan bangsa Barat pada abad ke-16 Masehi. Pertama kali yang mengetahui adanya

naskah-naskah itu adalah para pedagang. Mereka menilai naskah-naskah tersebut sebagai

komoditi dagangan yang menguntungkan, seperti yang mereka ketahui di Eropa dan

sekitar Laut Tengah tentang jual be1i naskah-naskah kuno. Salah seorang yang dikenal

bergerak dalam bidang usaha pedagangan naskah-naskah klasik adalah Peter Foros atau

Pietr William. Kolektor naskah-naskah nusantara dan para pedagang adalah Edward

Picocke, pemilik naskah Hikayat Sri Rama (tertua) dan William Laud.

Pelancong bangsa Belanda yang bernama Frederik de Hautman, (pandai

berbahasa Melayu). mengarang satu buku yang berjudul “Spraeck ende Woordboeck,

inde maleyscha ende Madagaskarsche Talen, yang kemudian buku mi diterjemahkan ke

dalam bahasa Latin, lnggnis dan Perancis.

Pada zaman VOC, usaha mempelajari. bahasa-bahasa Nusantara terbatas pada

bahasa Melayu, sebagai bahasa komunikasi dengan bangsa pribumi dan orang asing yang

datang ke kawasan ini. Peranan pedagang sebagai pangamat bahasa, melalui pembacaan

naskah-naskah dilanjutkan oleh para penginjil, yang dikirim VOC ke Nusantara selama

dua abad pertama.

3.3.2 Telaah Naskah Nusantara oleh Para Penginjil

Pada tahun 1629, di kepulauan Nusantara terbit terjemahan Alkitab yang pertama

dalam bahasa Melayu. Nama penerbitnya ialah Jan Jacobsz Palestein dan

penerjemahannya Albert Cornelisz Ruil. Seorang penginjil terkenal yang menaruh minat

yang cukup besar kepada naskah-naskah Melayu adalah Dr. Meichior Leijdecker.

Terjemahan Beibel dan Leijdecker terbit setelah ia meninggal, karena diperlukan

penyempurnaan dan revisi yang cukup. Ia menyusun terjemahan tersebut dalam bahasa

29
Melayu tinggi. Terjemahan dilanjutkan oleh penginjil lain, vaitu Petrus Van den Vorm,

yang menguasai bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa Timur Iainnya.

Francois Valentijn, salah seorang pendeta dan Belanda yang datang ke Indonesia

menerjemahkan Beibel dalam bahasa Melayu. Dia banyak menulis tentang kebudayaan

Nusantara, menyusun kamus dan buku tata bahasa Melayu dan penginjil lain yang

dikenal akrab dengan bahasa dan kesusastraan Melayu adalah G.H. Werndly. Dia

menyusun daftar naskah Melayu sebanyak 69 buah termuat dalam karangannya yang

berjudul Malaische Spaakkunst, yang ampirannya diberi nama “Maleiche Boekzaar.

Ketika VOC menjadi lemah dan berakibat pada dorongan untuk mempelajari

bahasa dan naskah Nusantara menjadi berkurang. Kemudian usaha pengajaran dan

penyebaran Alkitab dilanjutkan oleh Zending dan Bijbelgenootschap.

Pada tahun 1814 lembaga ini mengirim seorang penginjil protestan benama G. Bruckner

k Indonesia yang ditempatkan di Semarang. Tugasnya ialah menyebarkan Alkitab pada

masyarakat Jawa. Di samping menerjemahkan Alkitab dalam huruf Jawa, ia juga menulis

buku tata bahasa Jawa yang di dalamnya terdapat teks dan terjemahan bahasa Jawa.

Sebuah lembaga bernama Niderlandsche Bijbelgenootschap menerbitkan tulisan

Bruckner dan berpendapat bahwa untuk menerjemahkan Alkitab dalam bàhasa- bahasa

Indonesia seorang harus memiliki bekal ilmiah yang cukup dalam bidang bahasa. Dan

lembaga in menetapkan kepada para penginjl (zending) penyiar penerjemah yang dikirim

ke Indonesia harus memiliki pendidikan setingkat akademik.

Pemerintah jajahan Beanda mendapat dampak positif dan ketetapan lembaga

Nedenlandsche Bijbe Genootschap (NBG) karena para penginjil dapat membantu

pemerintah dalam mempelajari pelajaran bahasa secara ilmiah kepada para pegawai sipil

Belanda yang memerlukannya. NBG dikirim ke Indonesia antara lain di tugaskan

mengajar dalam bidang bahasa Jawa kepada pegawai sipil Belanda dan masih banyak lagi

para penginjil yang dikirim NBG ke Indonesia, yang umumnya tidak melakukan telaah

filologi terhadap naskah-naskah tetapi sering menerjemahkan naskah-naskah itu ke dalam

bahasa asing, terutama ke dalam bahasa Belanda.

3.2.3 Kegiatan Filologi terhadap Naskah Nusantara

Kehadiran tenaga misionarie dan zending di Indonesia dengan bekal ilmu

pengetahuan linguistik telah mendorong tumbuhnya kegiatan untuk meneliti naskah-

30
naskah berbagai daerah.nusantara. Pada mulanya mereka mempelajari naskah untuk

mengetahui bahasanya, tetapi ada juga yang berminat mengkaji naskah untuk memahami

isinya dan menyuntingnya agar naskah itu dapat diketahui masyarakat luas. Minat

mengkaji naskah Nusantara itu timbul pada para tenaga pengajar Belanda yang memberi

pelajaran bahasa-bahasa Nusantara kepada calon pegawai sipil sebelum mereka dikirim

ke Indonesia. Selain tenaga peneliti dan Belanda ada beberapa tenaga peneliti dalam

bidang pernaskahan Nusantara berkebangsaan Inggris, seperti: John Leyden, J. Logan, W.

Marsden, J. Crawfurd dan peneliti asal Jerrnan yang terkenal ialah Hans Overbeck.

Kajian para ahli filotogi terhadap naskah Nusantara bertujuan menyunting,

membahas serta menganalisisnya, karena tenaga penyunting pada waktu itu masih sangat

terbatas, maka kegiatannya diarahkan untuk menyunting naskah yang berbahasa Jawa dan

Melayu. Hasil penyuntingan pada umumnya berupa penyajian teks dalam huruf Jawa,

dengan disertai pengantar yang sangat singkat misalnya: ‘Ramayana Kakawin’ oleh H.

Kern, ‘Syair Bidasari’ Van Hoevel. Suntingan pada tahap awal ini umumnya

menggunakan metode instuitif, atau diplomatik. Perkembangan selanjutnya, naskah

disunting dalam bentuk transliterasi dalam huruf Latin. Misalnya: dapat disebutkan antara

lain”Wrettasantjaja”, “Arjuna Wiwaha” dan “Bomakawya”, yang ketiga-tiganya adalah

naskah Jawa kuno disunting oleh A. TH. .Friederick. Setelah itu suntingan naskah disertai

terjemahan dalam bahasa asing, terutama Belanda. misalnya “Sang Hyang

Kamahayanikam” oleh J. Kats, dan Arjuna Wiwaha” oleh Poerbacaraka. Suntingan

naskah yang diterbitkan pada abad ke-20 umumnya disertai terjemahan dalam bahasa

lnggris dan Belanda, bahkan ada yang diterbitkan hanya terjemahannya saja seperti

Sejarah Melayu oleh Leyden.

Suntingan naskah dengan metode kritik teks, banyak dilakukan pada abad ke-20,

menghasilkan suntingan yang lebih baik daripada suntingan-suntingan sebelumnya.

Suntingan berdasarkan filologi tradisional, ini antara lain: Syair Ken Tambunan oleh

Teeuw, Arjuna Wiwaha oleh S. Supomo. Pada periode mi pula muncu terbitan ulangan

dan naskah yang pernah disunting sebelunmya dengan maksud untuk penyempurnaan,

misalnya: “Terbitan sebuah Primbon Jawa dan abad ke-16” yang dikerjakn oleh H.

Kraemer dan diterbitkan lagi oleh G.W.J. Drewes. Naskah Sunan Bonang” pada tahun

31
1916 disunting oleh G.J.O. Scineke dengan judul Het Boek Van Bonang” pada tahun

1969 derbitkan lags oleh Drewes dengan judul ‘The Admonitions of Syekh Bari’.

Pada abad ke-20 di samping muncul naskah terbitan ulang, banyak pula

diterbitkan Naskah keagamaan dan sejarah. Pada naSkah keagamaan, banyak naskah

Melayu maupun naskah Jawa kandungan isinya dapat dikaji oleh para ahli teologi dan

mereka dapat menghasilkan karya ilmiah dalam bidang tersebut. Naskah keagamaan itu

lazim disebut dengan “kesastraan kitab”, yang suntingan naskahnya antara lain diteliti

oleh Naguib AlAttas karya Hamzah Fansun berjudul “The Myticism of Hmzah Fansuri”

dengan metode kritik oleh P. Voorhoeve berdasarkan tulisan Nuruddin Ar-Raniri dengan

kritik teks dalam bentuk faksimile. Sedangkan naskah sejarah yang telah banyak

disunting dapat dimanfaatkan oleh ahli sejarah, ditelaah, antara lain Teuku Iskandar

degan judul “De Hikayat Aceh” berdasarkah naskah hikayat Aceh; oeh J.J Ras berjudul

“Hikayat Bandjar” berdasarkan naskah sejarah dan sebuah kerajaan di Kalimantan.

Suntingan-suntingan ini menggunakan pendekatan kritik teks.

Di samping menerbitkan suntingan-suntingan naskah, banyak juga dilakukan

telaah naskah untuk tujuan pembahasan isinya yang dilihat dari berbagai pendekatan ilmu

disiplin. Hasil karya kajian tersebut antara !ain: ditulis oleh; Ph. S. Van Roakel berjudul

“De Roman Amir Harnzah berdasarkan naskah hikayat Amir Hamzah; W.H. Rassers

berjudul “De Panji Anom” berdasarkan berbagai naskah cerita panji dan kesastraan

Nusantara.

Pada peniode mutakhir mulai dirintis studi naskah-naskah Nusantara dengan

analisis berdasarkan ilmu sastra (Barat), misalnya analisis struktur dan amanat terhadap

naskah Hikayat Sri Rama, yang diteliti oleh Achadiati Ikram berjudul “Hikayat Sri

Rama”. Suntingan naskah Disertasi Telaah Amanat dan Struktur berdasarlan analisis

struktur dan fungsi terhadap teks Hikayat Hang Tuah” dilakukan Sulastin Sutrisno

berjudul Hikayat Hang Tuah”.

Dengan demikian terbuka kemungkinan penyusunan sejarah Kesastraan

Nusantara, atau Kesastraan Daerah dan ke duanya telah mendorong minat untuk

menyusun kamus bahasabahasa Nusantara. Sebagai salah satu contoh ialah terbitan

kamus bahasa Jawa Kuno yang sudah banyak yang disusun oleh Van Der Tuuk berjudul

Kawi-Ballneesch-Nederlandsch Woordenboek”.

32
Kegiatan filologi terhadap naskah-naskah Nusantara, telah mendorong berbagai

kegiatan ilmiah yang hasilnya bisa dimanfaatkan berbagai disiplin ilmu, terutama disiplin

ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosiaL Semua kegiatan itu telah memenuhi tujuan ilmu

filologi, yaitu melalui telaah naskah-naskah dapat membuka kebudayaan bangsa dan

mengangkat nilai-nilai luhur yang disimpan didalamnya.

3.4 SEJARAH TAHQIQ AN-NUSUSH

Bidang studi naskah dikenal dalam bahasa Arab dengan Tahqiq an-nushush

seperti bidang studi lainnya. Penelitian naskah Arab, juga telah lama dimulai, terlebih

pada zaman khalifah Abubakar As-Siddiq, ketika Nash al-Qur’an mulai dikumpukan

dalam satu mushaf, ini memerlukan ketelitian untuk menyalin teks-teks al- Qur’an ke

dalam mushaf itu. Pengumpulan ayat-ayat Al-Qur’an yang tertulis pada tulang-tulang,

batubatu, kulit binatang, daun-daun pohon yang agak lebar, dan sebagainya. Semuanya

disalin ke dalam Mushab yang menggunakan kertas, seperti halnya Mushab Al-Qur’an.

Muncul dan berkembangnya materi ini sebenarnya tidak berbeda dengan bidang

ilmu-ilmu lain. Bidang Tahqiq an-nushush dimuai dengan berbagai tahapan dan akhimya

menjadi suatu bidang studi yang mempunyai metode, dan saling membantu dengan ilmu-

ilmu lainnya. Tahapannya sebagai berikut:

1. Dimulai sebagai pekerjaan” untuk mencari nafkah, kemudian berkembang

menjadi “tugas” untik memelihara peninggalan lama;

2. Pengalaman-pengalaman yang dihadapi oleh penyalin teks, menjadi suatu ilmu

yang mempunyai kaida-hkaidah, cara kerja, dan metode-metode tersendiri

3. Para sarjana yang berkecimpung di bidang studi naskah dan mentahqiq teks klasik

menjadi lebih giat menghidupkan kembali naskah-naskah lama, dalam rangka

memperkenalkan apa yang dinamakan warisan budaya bangsa”, dan

memperkenalkan warisan rohani bangsa yang tersimpan dalam teks-teks klasik

kepada masyarakat banyak agar diketahui dan dihargai sebagai warisan nenek

moyang yang sangat berharga.

Dengan demikian, masuklah bidang editing teks klasik atau Tahqiq an-nushush dalam

program studi di berbagai universitas di dunia.

Pada mulanya, pekerjaan mentahqiq atau mengedit naskah yang kemudian akan

menggunakan metode filologi, tidak melebihi penerbitan biasa, berdasarkan suatu naskah

33
tanpa mengadakan penjernihan apapun. Lama-kelamaan dengan perkembangan ilmu

sastra Eropa, berkembang pula cara bekerja ahli filologi, sehingga mereka mengadakan

langkah-langkah dalam menangani sebuah teks antara lain:

1. Mengadakan penerbitan biasa berdasarkan suatu teks/ naskah, tanpa mengadakan

perbaikan apapun. Jadi teks direproduksi sebagaimana adanya.

2. Mereka mulai mengadakan perbandingan teks dan kritik teks. Kritik teks

bertujuan untuk menjernihkan dari kesalahan penulisan dan mengembalikan teks

kepada bentuknya yang paling mendekati teks aslinya. Pada tahap pertama, masih

merupakan pekerjaan untuk mencari uang sebagai sumber kehidupan. Pekerjaan

itu dikakukan dengan menggunakan pengalaman-penga aman ketika menangani

teks dengan satu naskah. yang biasanya disebut naskah tunggal, namun pada

perkembangan berikutnya yaitu permulaan abad ke-19, berkembang kepada

peletakan dasar berbagai pendekatan untuk filologi, sehingga pada akhirnya

bidang ini menjadi suatu ilmu yang diberi nama 1lmu Ihya al-Turats atau Ilmu an-

N ushush.

3. Munculnya berbagai karangan yang meletakkan dasar ilmu tersebut seperti

metode kritik teks. Buku pertama yang dimuIa dibidang ini adalah karya P.

Collomp La Critique de Texts, Paris, 1931. Pada abad ke-15 setelah ada seni

cetak. buku pertama berbahasa Arab yang dicetak adalah sebuan buku yang diedit

di kota Vano, di talia pada tahun 1514 M-920 H. Ketika itu belum ada percetakan

di negara-negara Arab. Di kota Bundukiyyah di talia juga keluar cetakan pertarna

al-Qur’an pada tahun 1530 merupakan teks a-Qur’an cetakan pertama kali.

Sesungguhnya pekerjaan tahqiq seperti ini, telah lama sebelumnya dikerjakan di

Eropa, sejak abad ke-12 M, ketika penelitian teks terjemahan makna al-Qur’an ke

dalam bahasa Latin, dengan pengarahan dan pendeta Petrus Venir, di Spanyol. Di

Spanyoh pula telah diterbitkan Kamus Arab-Latin pertama.

34
BAB IV

NASKAH DAN TEKS

4.1 Pengertian Naskah

Kata ‘naskah’ di sini dimaksudkan sebagai karya tulisan produk masa lampau

sehingga dapat disebut sebagai naskah lama. Dalam pembicaraan di sini, kata naskah

diikuti juga oleh atribut ‘lama’ Pemberian atribut ‘lama’ di sini untuk menandai kejelasan

pembatasan konsep naskah. Dalan pembicaraan di sini, kata ‘naskah’ dilihat dalam

konteks Indonesia berarti naskah lama merupakan ciptaan yang terwujud dalam bahasa-

bahasa yang dipakai di Indonesia pada masa lampau --dan atau terus dipakai pada masa

kini. Termasuk karya-karya yang menggunakan bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Bugis,

Aceh, Minang, dsb. yang tercipta pada kurun lampau.

Beraneka macamnya naskah Indonesia dapat dilihat juga dan bahan yang

dipergunakan, yaitu kertas Eropa, daluwang (kertas Jawa) lontar atau lontara, daun nipah

ada yang untuk naskah-naskah Sunda, kulit kayu (pustaha) untuk naskah-naskah Batak

Sebagai peninggalan masa lampau, naskah mampu memberi informasi mengenai

berbagai aspek kehidupan masyarakat masa lampau, seperti politik, ekonomi, sosial, dan

budaya. Informasi yang diangkat dari katalog dan tempat-tempat penyimpan naskah lama

dapat diketahui beranekamacamnya kandungan yang tersimpan dalam naskah-naskah

Indonesia tersebut. Sebagai contoh dapat dikemukakan di sini kandungannya antara lain,

berupa ajaran agama, sejarah, hukum, adat istiadat, filsafat, politik, sastra, astronomi,

ajaran moral, mantra, doa, obat-obatan, mistik, bahasa, bangunan, tumbuh tumbuhan, dsb.

Sementara itu, dalam pemakaian sehari-hari, di luar konteks filologi, naskah yang

akan diterbitkan atau diperbanyak pada umumnya tidak lagi ditulis dengan tangan. Dalam

hal ini naskah merupakan kopi atau teks bersih yang ditulis oleh pengarangnya sendiri,

misalnya naskah disertasi dan naskah makalah. Di samping itu, istilah naskah dan teks

dipakai dengan pengertian yang: sama, misalnya, naskah pidato dan teks pidato.

5.1.2 Beda Naskah dan Prasasti

Naskah dan prasasti kedua-duanya ditulis dengan tangan. Akan tetapi. antara keduanya

mempunyai perbedaan-perbedaan yaitu::

35
1). Naskah pada umumnya berupa buku atau bahan tulisan tangan seperti diterangkan di

atas. Prasasti berupa tulisan tangan pada batu (andesit, berporus. batu putib), batu

bata, logam (emas, perak, tembaga), gerabah, marmer. kayu. dan lontar.

2). Naskah pada umumnya panjang. karena memuat cerita lengkap. Prasasti pada

umumnya pendek karena memuat soal-soal yang ringkas saja, misalnya

pcmberitahuan resmi mengenai pendirian bangunan suci, doa-doa suci penolak

rintangan karma dan segala kejahatan, ketentuan dan penyelesaian hukum, asal-usul

raja dan dewa (Airlangga dari dewa Wisnu dalam prasasti Kalkuta), asal-usul suatu

dinasti, misalnya prasasti Kutai memuat hal Raja Kundugga mempunyai anak

bernama Sang Acwawarman, yang mempunyal anak tiga orang, yang sulung bernama

Sang Raja Mulawarman. Ada kalanya prasasti hanya memuat nama orang atau nama

jabatan saja.

3). Naskah pada umumnya anonim dan tidak berangka tahun. Prasasti sering menyebut

nama penulisnya dan ada kalanya memuat angka tahun yang ditulis dngan angka atau

sengkalan.

4). Naskah berjumlah banyak karena disalin. Prasasti tldak disalin sehlngga jumlahnya

relatif tidak banyak, kurang lebih 500 buah.

5). Naskah yang paling tua Tjandra-karana (dalam bahasa Jawa Kuna) berasal kira-kira

dan abad ke-8. Prasasti yang paling tua berasal kira-kira dan abad ke-4 (prasasti

Kutai).

5.1.3 Kodikologi

Kodikologi adalah ilmu kodeks. Kodeks adalah bahan tulisan tangan atau menurut

The New Oxford Dictionary Manuscript volume. esp of ancient texts gulungan atau buku

tulisan tangan, terutama dan teks-teks klasik’. Kodiko1ogi rnempelajari seluk beluk atau

semua aspek naskah, antara lain bahan. umur, tempat penulisan, dan perkiraan penulis

naskah.

Setelah seni cetak ditemukan, kodeks berubah arti menjadi buku tertulis. Kodeks

pada hakikatnya berbeda dengan naskah. Kodeks adalah buku yang tersedia untuk umum

yang hampir selalu didahului oleh sebuai-i naskah. Kodeks mempunyal nilai dan fungsi

yang sama dengan buku tercetak sekarang.

36
5.1.4 Pengertian Teks

Teks artinya kandungan atau muatan naskah, sesuatu yang absastrak yang hanya

dapat dibayangkan saja. Perbedaan antara naskah dan teks menjadi jelas apabila terdapat

naskah yang muda tetapi mengandung teks yang tua. Teks terdiri atas isi yaitu ide-ide

atau amanat yang hendak disampaikan pengarang kepada pembaca dan bentuk. yaitu

cerita dalam teks yang dapat dibaca dan dipelajari menurut berbagai pcndekatan melalui

alur, perwatakan, gaya bahasa, dan sebagainya.

5.1.5 Tekstologi

Tekstologi yaitu ilmu mempelajari seluk-beluk Teks, antara lain meneliti

penjelmaan dan penurunan teks sebuah karya sastra, penafsiran. dan pemahamannya.

Sebagai pegangan yang berguna sekali adalah sepuluh prinsip lichacev untuk penelitian

tekstologis karya-karya monumental sastra S1avia lama. Dalam ruang lingkup terbatas

penulisan pengantar teori filologi ini sekedar sebagai pedoman menyeluruh prinsip-

prinsip tersebut hanyalah disebutkan saja (dari terjemahan) tanpa keterangan lebih lanjut

sebagai berikut:.

1). Tekstologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki sejarah teks suatu karya.

Salah satu di antara penerapannya yang praktis adalah edisi ilmiah teks yang

bersangkutan.

2). Penelitian teks harus didahulukan dari penyuntingannya.

3). Edisi teks harus menggambarkan sejarahnya.

4). Tidak ada kenyataan tekstologis tanpa penjelasannya.

5). Secara metodis perubahan yang diadakan secara sadar dalarn sebuah teks

(perubahan ideologi, artistik. psikologis. dan lain-lain) harus didahulukan

daripada perubahan mekanis. misalnya kekeliruan tidak sadar oleh seorang

penyalin.

6). Teks harus diteliti sebagai keseluruhan (prinsip kekompleksan pada penelitian

teks)

7). Bahan-bahan yang mengiringi sebuah teks (dalam naskah antara lain kolofon)

harus diikutsertakan dalam penelitian.

8). Perlu diteliti pemantulan sejarah teks sebuah karya dalam tek-teks dan monumen

sastra lain.

37
9).Pekerjaan seorang penyalin dan kegiatan skriptoria-skriptoria (sanggar

penulisan/penyalinan : biara, madrasah) tertentu harus diteliti secara menyeluruh.

10). Rekonstruksi suatu teks tidak dapat menggantikan teks yang diturunkan dalam

naskah-naskah secara faktual.

Dalam penjelasan dan penurunannya dapat dibedakan tiga macam teks yaitu:

1. teks lisan yang pada tradisi sastra rakyat disampaikan secara lisan dari mulut ke

mulut.

2. teks naskah tulisan tangan dengan huruf daerah

3. teks cetakan yang mulai dikenal setelah seni cetak ditemukan

Dalam tradisi penyampaiannya variasi bentuk dapat terjadi ketiga jenis teks. Oleh

karena itu, dibedakan pula tiga macam teks-tologi, yang masing-masing meneliti sejarah

teks lisan, tulisan tangan, dan cetakan.

Dengan kata lain tekstologi itu studi sejarah teks. Oleh karena istilah filologi

mempunyai banyak arti yang jauh berbeda yang satu dengan yang lainnya

5.2 TERJADINYA TEKS

Jarang ada teks yang bentuk aslinya atau bentuk sempurna sekaligus jelas dan

tersedia. Menurut De Haan (1973) mengenai terjadinya teks ada beberapa kemungkinan

1). Aslinya hanya ada dalam ingatan pengarang atau pembawa Turun-temurun terjadi

secara terpisah yang satu dari yang lain melalui dikte apabila orang ingin memiliki

teks itu sendiri. Tiap kali teks akan diturunkan dapat terjadi variasi. Perbedaan teks

adalah bukti berbagai pelaksanaan penurunan dan perkembangan hidup sepanjang

hidup pengarang.

2). Aslinya adalah teks tertulis, yang lebih kurang merupakan rangka yang masih

memungkinkan atau memerlukan kebebasan seni. Dalam hal ini. ada kemungkinan

bahwa asllnya disalin begitu saja dengan tambahan seperlunya. Kemungkinan lain

adalah aslinya disalin, dipinjam, diwarisi atau dicuri. Terjadilah cabang tradisi kedua

atau ketiga di samping yang telah ada karena varian-varian pembawa cerita

dimasukkan.

3). Aslinya merupakan teks yang tidak mengisinkan kebebasan dalam pembawaannya

karena pengarang telah menentukan pilihan kata, urutan kata, dan komposisi untuk

38
memenuhi maksud tertentu yang ketat, dan komposisi untuk memenuhi maksud

tertentu yang ketat dalam bentuk literer itu.

5.3 PENYALINAN

Sebagai karya masa lampau yang sampai saat ini sudah menjalani beratus-ratus

tahun, naskah-naskah lama Indonesia sudah mengalami berkali-kali penyalinan. Apabila

proses penyalinan pada tradisi di Indonesia memberi kebebasan yang besar pada

penyalinnya, maka dapat dijumpai pada saat ini satu teks muncul dalam beberapa buah

naskah salinan. Munculnya suatu teks dalam sejumlah naskah dan sejumlah bentuk

eksemplar yang bermacam-macam melahirkan beranak pinaknya teks berkembang

menjadi sejumlah teks yang baru.

Penuturan teks yang turun temurun disebut dengan tradisi. Adapun naskah yang

diperbanyak barangkali karena faktor orang ingin memilikinya, naskah asli sudah rusak

dimakan zaman, terbakar, terkena tumpuklan benda cair, ataupun untuk keperluan magis.

Akibatnya terjadi beberapa penyalinan naskah mengenai satu teks. Apakah itu

berkaitan dengan cerita atau teks keagamaan. Dalam proses penyalinan tersebut tidak

tertutup kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan. Hal ini disebabkan antara lain;

penyalin kurang memahami bahasa atau pokok persoalan naskah yang disalin, mungkin

pula karena tulisannya kurang jelas (kabur/buram), karena kesalahan pembacanya, atau

disebabkan oleh ketidaktelitian penyalin sehingga beberapa huruf hilang (haplografi). Hal

lain yang menyebabkan kesalahan dalam penulisan, yaitu penyalinan terlalu maju dari

perkataan ke perkataan yang berikutnya. atau melewati satu baris. Ada kalanya huruf

terbalik, satu bait syair terlewatkan dan sebaliknya, atau tertulis dua kali (ditograf). Bisa

juga perubahan dalam teks atas kemauan pengarang di masa hidupnya, seperti menambah

atau menghilangkan bagian teks dan teks. Dengan demikian dua tradisi itu akan berjalan

seiring dan masing-masing disalin dari aslinya, selain kesalahan terjadi dan penyalin

berikutnya.

Tanpa menafikan perubahan yang terjadi karena ketidaksengajaan, sebenarnya

penulis (penyaliun) bebas untuk menambah, mengurangi. dan mengubab naskah menurut

seleranya disesuaikan dengan kondisi dan situasi penyalin. Sebab itu terhadap teks

modernpun perlu diadakan penelitian secara filologis. Dengan demikian, naskah salinan

belum tentu merupakan copy yang sempurna dari naskah yang disalin. Ada kalanya

39
perbedaan itu kecil dan ada pula yang besar sehingga timbul naskah-naskah yang berbeda

versi atau berbeda bacaannya.

Di sinilah tugas utama filolog yang hendak memurnikan teks dengan mengadakan

penelitian yang cermat dan kritis terhadap semua varian yang terdapat dalam suatu teks.

Tujuannya adalah agar menghasilkan suatu teks yang paling mendekati aslinya. Teks

yang terpilih di antara beberapa varian itu dan telah tersusun kembali seperti semula

merupakan teks yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai sumber untuk kepentingan

berbagai penelitian dalam bidang ilmu lain.

40
BAB V

TAHAPAN DAN METODE PENELITIAN FILOLOGI

5.1 PENGANTAR

Metode sebagairnana dipahami adalah cara atau sistem kerja. Metodoogi dapat

dikatakan pula sebagai pengetahuan tentang apa saja yakni merupakan cara untuk

menerangkan atau meramalkan variabel konsep rnaupun definisi konsep yang -

bersangkutan dan mencari konsep tersebut secara empiris. Untuk itu metode filologi

berarti pengetahuan tentang cara, teknik, atau instrumen yang dilakukan dalam penelitian

filologi.

Seperti dikatakan oleh Harjati Soebadio, pekerjaan utama seorang filolog adalah

mendapatkan kembali naskah yang bersih dari kesalahan dan memberi pengertian yang

sebaik-baiknya yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai naskah yang paling dekat

dengan aslinya.

Tendapat beberapa metode untuk mengedit atau menyuntng naskah klasik agar

sampai pada tugas tersebut. Penetapan pilihan naskah mana yang paling tepat ada di

tangan penyunting sendiri, dan memilih metode yang akan digunakan Para sarjana

terdahulu telah meletakkan dasar dan rnernuat berbagai pedoman yang dapat diikuti oleh

ahli filologi belakangan, sehingga dapat menurunkan edisi ilmiah yang baik. Ada

beberapa langkah yang harus ditempuh untuk mengawali proses penelitian filologi adalah

sebagai berikut :

5.1.1 Inventarisasi Naskah

Langkah pertama yang harus diternpuh oleh penyunting, setelah menentukan

pilihannya terhadap naskah yang ingin disunting ialah menginventarisasi sejumlah naskah

dengan judul yang sama dimanapun berada., di dalam maupun di luar negeri. Naskah

dapat dicari melalui katatogus perpustakaan besar yang menyimpan koIeksi naskah,

museum-museum, universitas-universitas, masjid, gereja dan lain sebagainya. Ia dapat

menghubungi tempat penyimpanan naskah itu dan meminta kopinya serta semua

informasi tentang naskah itu. Misalnya, menanyakan kapan naskah itu mulai masuk

koieksi perpustakaan ini. apakah asalnya dari pembelian atau hadiah, berasal dari mana,

dan sebagainya. Sebagai contoh, seorang peneliti yang berminat mengadakan studi

naskah Melayu, maka ia harus mencari judul naskah dalam katalogus naskah-naskah

41
Melayu. Peneliti harus mencari varian-vanian lain dari naskah itu, yaitu kopi naskah yang

mengandung judul dan isi yang sama. Katalagus terkenal dan tertua untuk naskah Melayu

adalah yang disusun oleh Van Ronkel benjudul Malay Manuskripts. Dalam katalog itu

terdapat sejumlah judul naskah-naskah MeIayu disebut juga nama pengarangnya, dan

tempat di mana berada naskah itu di beberapa kota besar. seperti di Muenchen London,

Brussel, Leiden, dan Jakarta.

Naskah yang diperlukan dapat dipesan melalui daftar pesanan naskah di mana

semua informasi tentang naskah itu ada, seperti nomor naskah, ukuran, tulisan. tempat

dan tanggal penyalinan termasuk tempat penyimpanannya. Katalog naskah Arab pun

demikian. Sebagai contoh, untuk mengetahui ada tidaknya naskah lain yang mengandung

teks yang sama berjudul Zubdatul Asrar fi Tahqiq Ba‘d Ma.syarib al-akhyar, karya Syekh

Yusuf Makasar, dicari dalam kalalog naskah Arab, karya L.W.C. Van Den Berg, berjudul

“Codicum Arabicicorum in Bibliotheca” terbitan tahun 1873, yang di dalamnya juga

terdapat koleksi naskah karangan-karangan Syekh Yusuf Makasar di antaranya,

ZubdatulAsrar pada halaman 91 Keteranganya tertulis dalam bahasa Latin, namun judul

naskah tetap dalam bahasa Arab. Terdapat pula beberapa keterangan seerti nama

pengarang dan zaman penulisannya. Naskah Zubdatul Asrar tertulis di zaman Abdul-

Ma’ali Abul-Mafakhir Tirtayasa, sultan Banten, pada tahun 1086 H, Terdapat pula

salinan lian dari naskah ini yang tertulis pada tahun 1186 H. Naskah Zubdatul Asrar

terdapat juga dalam katalogus voorhoeve, Handlist of Arabic Manuscripts in The Library

of The University of Leiden and Other Collection in The Netherlands. Dalam Ha’dlist itu,

terdapat nama pengarang dan karangannya berjudul Zubdatul Asrar. Selain itu harus

diketahui bahwa semua usaha telah dilakukan untuk mencari varian sebelum mulai

mengadakan penelitian, tempat semua varian atau salinan dan naskah itu berada.

Meskipun demikian masih banyak naskah yang terdapat dalam bentuk naskah tunggal

(Codex Unicus)

5.1.2 Deskripsi Naskah

Setelah selesai menyusun daftar naskah dan diminta salinannya dan tempat

penyimpanannya berupa mikrofis, atau cetakan fotografis lain. Hal ni diadakan agar

filolog dapat bekerja di tempat yang diminati, dan tidak harus berada di perpustakaan

selama mengadakan penelitiannya. Largkah selanjutnya ialah menyusun desknipsi

42
masing-masing naskah. Setiap naskah yang diperoleh diuraikan dengan cara terinci,

teratur dan masing-masing naskah dibeni nomor/kode seperti A, B, C dan seterusnya.

lnformasi yang dicatat itu selain yang telah ada dalam katalogus, ditambah lagi dengan

gambaran tentang keadaan fisik naskah, kertasnya, apakah terdapat tanda pabrik pembuat

kertas yang disebut “watermark”, dan catatan lain mengenai naskah.

lnformasi seperti ini sangat diperlukan dan dapat membantu menentukan naskah

mana yang akan dipilih untuk dijadikan dasar edisi. Misalnya, ada naskah yang kertasnya

rusak, sedangkan yang lain keadaannya lebih baik. Kelengkapan informasi yang terdapat

dalam bagian akhir, seperti keterangan nama penyalin dan tempat penyalinannya, serta

tanggalnya. Keterangan semacam ini dinamakan “kolofon”. Informasi yang perlu dicatat,

antara lain halaman depan kurang atau halaman terakhir hilang sebagian, sedangkan pada

naskah yang lain halaman itu ada. Bila terdapat catatan-catatan pinggir atau catatan

dengan tulisan lain atau warna tinta lain, semua keterangan itu penting dicatat. Sebagai

contoh naskah “ZubdatulAsrar”, karya syekh Yusuf Malcassar, terdapat 4 buah naskah

untuk teks yang sama diberi kode untuk masing-masing naskah. Deskripsinya sebagai

berikut:

Naskah A nomor naskah di Perpustakaan Nasional Jakarta, A 45 (mula-mula ada

di Museum Jakarta). Ukuran naskah 10x15 cm terdiri dari 22 halaman. Setiap halaman

berisi lima baris bertuliskan bahasa Arab dan lima baris berbahasa Jawa, terjemahan baris

demi baris, Tulisan Arabnya bagus dan jelas. Hurufnya besar dan memakai tanda baca.

Pemakaian tanda baca sering salah. Keadaan naskah masih baik, kertasnya tebai, dan

sudah mulai lepas beberapa halaman, serta tidak terdapat tanda atau ‘watermark pada

kertasnya. Isi teks ialah rnasalah ajaran tasawuf dan tari8kat. Pada bagian akhir naskah,

terdapat keteranaan tempat dan tanggal penulisannya “ko/ofon”. Naskah ditulis pada

tahun 1086 H. (1667 M.)

Naskah B: nomor naskah di Perpustakaan Nasional Jakarta A. 101. Ukurannya

19x22,5 cm., terdiri dari 21 halaman. Setiap halaman berisi 21 baris dan semuanya

bertuliskan Arab. Hurufnya kecil, bagus dan jelas. Tidak terdapat catatan pinggir dan

tidak memakai tanda baca. Kertasnya agak tipis, tetapi masih dalam keadaan baik, dan

tidak terdapat tanda pada kertasnya “watermark”. Naskah ini dapat kita temukan bersama

koleksi naskah karangan-karangan Syehk Yusuf yang lain, berjumlah 22 buah. Kopinya

43
berada di Perpustakaan Universitas Leiden. lsinya sama persis seperti naskah A dari awal

sampai akhir. Terdapat keterangan “kolofon”. Tulisan naskah berangka tahun 1186 H

(1776 M).

Naskah C: nomor naskah di Perpustakaar Nasional Jakarta 108. Ukurannya 10,5 x

17,5 cm., terdri dari 37 halaman. Setiap halaman berisi 17 baris. Bertuliskan Arab semua

dan hurufnya kecil.. Keadaan naskah kurang begitu baik. Kertasnya sangat tipis dan

bolong-bolong pula, tetapi tulisan Arabnya cukup bagus. Hanya saja naskah ini tidak

memakai tanda baca, dan tidak terlihat tanda-tanda dalam kertasnya. Isinya sama dengan

naskah A dan B. Dengan kondisi fisik seperti itu terdapattempat-tempat yang sulit

dibaca, sehingga naskah itu hanya dijadikan bahan pelengkap dan sebagai perbandingan

saja. Nama pemilik naskah yaitu sultan Bone. dan nama penulisnya adalah Qodli

Kesultanan Bone, bernama Harun. Naskah disalin pada tahun 1221 H (1810 M)

Naskah D: nomor naskan di perpustakaan Universitas Leiden OR. 7025.

Ukurannya 12,5 X 18,5 cm terdiri dan 46 halaman. Setiap halaman berisi 13 baris.

Bertuliskan Arab yang bagus dan jelas serta memakai tanda baca. Isinya ada perbedaan

dengan ketiga naskah di atas, karena terdapat tambahan-tambahan di beberapa tempat

yang tidak ada pada ketiga naskah yang lain. Keterangan kolofon tidak ada dan juga tidak

disebut pada bagian awal bahwa karangan ini adalah karya Syekh Yusuf Makasar,

sebagaimana yang terdapat pada naskah-naskah A, B, dan C.

Dengan mencatat keterangan seperti adanya perbedaan dan persamaan antara ke

ernpat teks itu, maka dapat dikelompokkan dan kemudian diperbandingkan sehingga

rnemudahkan menentukan pilihan terhadap naskah yang menjadi dasar atau landasan

untuk edisi naskah “Zubdatul Asrar. Pada akhirnya, pilihan jatuh pada naskah berkode B,

karena keadaannya masih bagus dan informasinya lengkap; terdapat nama siapa

pengarang, tempat serta tanggal penulisannya, Isinyapun lengkap mulai awal sampai

halaman terakhir tidak ada yang kurang.

5.1.3 Perbandingan Teks

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa pada umumnya suatu teks diwakili

oleh lebih dari satu naskah yang tidak selalu sama bacaannya atau yang berbeda dalam

berbagai hal. Untuk menentukan teks yang paling dapat dipertanggungjawabkan sebagai

dasar suntingan naskah perlu diadakan perbandingan naskah.

44
Langkah pertarna yang harus dilakukan ialah membaca dan menilal (resensi) semua

naskah yang ada, mana yang dapat dipandang sebagai naskah dan mana yang tidak.

Apabila jelas diketahui diberbagai keterangan yang terdapat di dalam dan di luar suatu

teks bahwa teks itu disalin dari teks lain dan tidak menunjukkan kekhususan apapun

maka teks ini dapat disisihkan karena dipandang tidak ada gunanya dalam penentuan teks

dasar suntingan. Penyisihan teks kopi ini disebut eliminas. Teks-teks yang telah dapat

dipakai untuk penelitian selanjutnya dipenksa keasliannya (eksaminasi) : apakah ada

tempat yang korup, apakah ada bagian dari teks yang ditanggalkan (Lakuna), apakah ada

tambahan (interpolasi) dari penyalin-penyalin kernudian, dan ketidaksempurnaan lainnya.

Di samping itu, dari bacaan teks-teks lain dicatat semua tempat yang berbeda, bacaan

yang berbeda disebut varian. Untuk mencatat apakah varian itu berasal dari teks asli

ataukah rnerupakan penyimpangan dapat dirunut, antara lain melalui pemeriksaan

kecocokan metrum dalarn teks puisi, kesesuaian dengan teks cerita, gaya bahasa, latar

belakang budaya, atau sejarah. Pada varian kata perlu diamati apakahi kata itu hanya

terdapat di tempat lain atau merupakan gejala tersendiri. Artinya kata itu hanya terdapat

pada ternpat itu saja (hapax). Varian yang tidak memenuhi kriteria di atas dapat dianggap

salah. Penyimpangan kadang-kadang terdapat pula pada cara penyajian yang

mengakibatkan perbedaan asasi jalan cerita (versi).

Dalam menghadapi naskah dalam jurnlah besar, maka langkah berikut setelah

semua naskah dibandingkan adalah mengelompokkan dalam beberapa versi. Anggota

dalam tiap-tiap kelompok dibandingkan. Kemudian ditemukan hubungan antara satu

kelompok dan kelompok yang lain untuk memperoleh gambaran garis keturunan versi-

versi dan naskah-naskah. Selanjutnya, ditentukan metode kritik teks yang paling sesuai

dengan hasil perbandingan teks.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam perbandingan teks, antara lain:

a. Perbandingan kata demi kata untuk membetulkan kata-kata yang salah.:

b. Perbandingan susunan kalimat atau gaya bahasa untuk mengelompokkan cerita atau

teks yang berbahasa lancar dan jelas;

c Perbandingan isi cerita yaitu uraian teks untuk mendapatkan naskah yang isinya

Iengkap dan tidak menyimpang serta untuk menentukan hubungan antar naskah yang

disebut silsilah kekerabatannya. Sekurang-kurangnya peneliti harus mengetahui mana

45
teks yang asli dan mana teks yang ada unsur tambahan dari penyalin. Kita mengambil

contoh; misahnya pengelompokkan naskah “Zubdatul Asrar” yang terdapat 4 buah

naskah. Dari hasil kritik teks yang dilakukan peneliti. ternyata 3 di antaranya

memiliki kesamaan, sehingga kuat dugaan bahwa ketiga naskah itu turun dari teks

asal yang sama. Naskah ke-4 sangat berbeda, selain mengandung banyak interpolasi.

dan juga tidak terdapat informasi ‘kolofon” Maka naskah nomor 4 atau yang diberi

kode D berasal dan perpustakaan Leiden University itulah yang berbeda sendir

sehingga merupakan satu kelompok tersendiri.

Di antara tiga naskah yang tergolong dalam kelompok pertama, rnasih ada saja

perbedaan-perbedaan sehingga harus diadakan seleksi agar naskah mana yang harus

dipilih yang rusak dan sulit dibaca pada beberapa bagian, maka tidak dapat dipilih untuk

edisi. Naskah berkode B merupakan naskah yang paling baik dan lengkap dan dipandang

mewakili kelompok terbanyak, serta memiliki bacaan yang baik. Untuk sampai kepada

kesimpulan seperti itu, paling tidak telah diadakan perbandingan teks yang sangat cermat

yaitu satu kata derni satu kata sehingga jelas perbedaan dan keistimewaan dari masing-

masing teks. Sernua perbedaan atau kesamaan harus dicatat, akhirnya diperoleb suatu

gambaran yang jelas.

Setelan selesai melakukan perbandingan seperti yang sebutkan di atas, barulan

meneliti memilih salah satu naskah yang telah diperiksa dan diperbandingkan dijadikan

sebagal landasan untuk edisi. Persoalannya adalah bagaimana cara menentukan kriteria

naskah yang baik untuk edisi? Untuk menjawab pertayaan ini peneliti harus terlebih

dahulu menetapkan tujuannya apa, bentuk edisinya bagaimana. Jadi editor atau filolog

sendirilah yang menentukan naskah yang akan dipilihnya. Kriteria yang dapat membantu

dalam menentukan suatu naskah yaitu:

a. lsinya lengkap dan tidak menyimpang dan kebanyakan si naskah-naskah yang lain

b. Tulisannya jelas dan mudah dibaca;

c. Keadaan naskah baik dan utuh;

d Sesuai dengan sumber dan fakta;

e. Bahasanya lancar dan rnudah dipahani;

f. Umur naskah tebih tua (meskipun tidak harus tertua);

g. Menggambarkan apa yang diinginkan oleh pengarangnya.

46
Naskah yang sudah memenuhi persyaratan merupakan pilihan utama yang harus

dijadikan sebagai dasar edis. Dan naskah-naskah yang terpilih itu digunakan untuk

melengkapi dan memperbaiki kesalahan atau kekurangan-kekurangan yang terdapat pada

naskah yang dipakai sebagai dasar sebelumnya. Dengan demikian, terpenuhilah tujuan

penelitian untuk memilih salah satu naskah yang lengkap isinya dan baik bahasanya serta

kondisinya.

5.1.4 Transliterasi

Transliterasi merupakan salah satu tahap/langkah dalarn penyuntingan teks yang

ditulis dengan huruf bahasa daerah atau huruf Arab-Melayu. Naskah lama dalam sastra

Indonesia dan sastra daerah sebagian besar ditulis dengan huruf Arab (Arab Melayu atau

Pegon) atau huruf daerah. Dalam rangka penyuntingan teks yang ditulis dengan huruf

Arab atau huruf daerah itu perlu terlebih dahulu teks itu ditransliterasikan ke huruf Latin.

Transliterasi adalah penggantian atau pengalihan huruf demi hurut dan abjad yang

satu ke abjad yang lain. Misalnya, pengalihan huruf dari huruf Arab-Melayu ke huruf

Latin atau dari huruf Jawa atau huruf Bugis ke huruf Latin. atau sebaliknya. Di samping

istilah transliterasi, ada istilah lain yang hampir sama, yaitu transkripsi. Dalam hal ini,

transkripsi dimaksudkan pengubahan teks dari satu ejaan ke ejaan lain. Misalnya. naskah

lama yang ditulis dengan huruf Latin ejaan lama. diubah ke ejaan yang baru yang berlaku

sekarang. Transknipsi juga diartikan penggantian/pengalihan teks lisan (rekaman) ke

dalam teks tertulis.

Huruf Arab yang digunakan untuk menuliskan teks herhahasa Melayu biasanya

disebut huruf Arab-Melayu atau huruf Jawi sedangkan huruf Arab yang digunakan untuk

menuliskan teks berhahasa daerah seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda biasa disehut

huruf Pegon. Naskah yang ditulis dengan huruf Arab dan huruf hahasa daerah itu tidak

disertai huruf kapital, tanda-tanda baca, seperti titik. korna, tanda kutip, dan tanda

hubung, serta tidak tersusun dengan alinea dan bagian-bagian teks sehingga sukar

menentukan kesatuan bagian-bagan teks dan menyulitkan pembacaan teks.

5.1.5 Terjemahan

Salah satu cara untuk menerbitkan naskah ialah melalui terjemahan teks. Dan

menerjemahkan teks itu dikategorikan sebagai pekerja seni, seperti seni melukis, musik

dan menyair yang masing-masing mempunyai dasar dan kaedah yang harus diikuti

47
Dengan ungkapan lain seni penerjemahan merupakan karunia Tuhan, yang diberikan-Nya

kepada orang yang berbakat. Sebab itu dikatakan bahwa penerjemah yang baik apabila

orang tersebut mampu melihat alam sekitarnya dan memperhatikan hasil tulisan dan

pemikiran yang ada, lalu menuangkannya ke dalam kalimat-kalimat yang tepat dan indah.

Dengan kalimat yang ringkas dikatakan bahwa terjemahan yang baik ialah terjemahan

yang mampu melukiskan apa yang ingin dikatakan oleh teks yang diterjemahkan ke

dalam kalimat yang indah dan mampu mengekspresikan substansi teks sebagaimana

bahasa aslinya. Ada beberapa cara untuk menerjemahkan teks, antara lain:

a. Terjemahan Harfiah, ialah menerjemahkan dengan menuruti teks sedapat mungkin,

meliputi kata demikata. Metode ini terikat dengan teks dan urutan kata-katanya

dengan tujuan menyampaikan arti teks secara tepat dan jujur. Sungguhpun caranya

baik akan tetapi hasilnya belum tentu baik. Karena sering tidak terdapat arti kata yang

tidak persis dalam bahasa yang diterjemahkan.

b.Terjemahan Agak Bebas, Salah seorang penerjemah diberi kebebasan dalam proses

penerjemahannya, namun kebebasannya itu masih dalam batas kewajaran. Ia

menerjemahkan ide tulisan dengan tidak terlalu terikat dengan susunan kata demi

kata. Karena itu, penerjemah harus menguasai ke dua bahasa tersebut, baik bahasa

teks maupun bahasa yang diterjemahkan ke dalamnya. Penerjemah harus mampu

mengungkapkan pengarangnya; objektif dan tidak berusaha untuk memaksakan

pendapat lain dalam terjemahannya. Cara ini dianggap bisa menyampaikan isi teks

sesuai dengan apa yang diharapkan oleh suatu terjemahan yang baik dan

mencerminkan kemampuan penerjemah. Penerjemah Arab terkenal pada zaman

Abbasiyyah, yaitu Hunain bin Ishak’ Ia memakai metode ini ketika menerjemahkan

teks Yunani ke dalam bahasa Arab.

c. Terjemahan yang sangat bebas, yakni penerjemah bebas melakukan perubahan, baik

menghilangkan bagian, rnenambah atau meringkas teks. Cara ini tidak dapat digunakan

dalam menangani teks klasik yang memerlukan tingkat kejujuran dan ketelitian yang

tinggi. Kesimpulan para ahli filologi bahwa cara kedualah yang paling sesuai untuk

menerjemahkan teks k!asik.

Dalam penelitian naskah dan terjemahannya, diusahakan agar tercermin aspirasi

sebuah teks dalam lingkungannya, dan memberi informasi yang relevan untuk

48
pengetahuan mengenai sejarah masa itu. Dalam hubungan ini Teeuw, ahli pernaskahan

asal Belanda, memberikan contoh terjemahan yang menghilangkan persepsi teks. Dalam

naskah Hikayat Muhammad Hanafiyyah yang diedit dan diterjemahkan oleh BrakeL

Menuru: Teeuw, Brakel telah membuktikan bahwa asal Hikayat Muharnmad Hanafiyyah

adalah terjemahan langsung dan teks Parsi, ini artinya bahwa teks asli tersebut sudah

beraliran Syiah.

Akan tetapi dalam salinan naskah Melayu yang sudah berkali-kali ditenjemankan,

cerita ini makin disesuaikan dengan mazhab agama Islam yang berlaku di Indonesia yang

umumnya beraliran Syafi’i. Dengan demikian aspek Syia’ahnya makin samar, dan naskah

yang hebih baru hampir sama sekali kehilangan warna Syiah-nya. Menurut Teeuw,

contoh semacam ini pasti banyak namun yang harus diingat bahwa penyalin, atau

penerjemah tidak mempunyai hak untuk mengubah apapun dalam teks. Dengan

pengetahuan ilmu Fibologi yang dimiliki, ía harus menjaga secara utuh dan memahami

secara intens kandungan is teks. lalu penyampaiannya harus memelihara bentuk yang

diinginkan oleh pengarangnya.

2.2 METODE PENYUNTINGAN TEKS

Secara umum penyuntingan teks dapat dibedakan dalarn dua hal, pertarna

penyuntingan naskah tunggal, dan kedua penyuntingan naskah jamak, lehih dari satu

naskah. Berikut ini dijela.skan metode penyuntingan tersebut:

5.2.1 Metode Penyuntingan Naskah Tunggal

Penyuntingan naskah tunggal dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode,

yaitu (1) metode standar dan (2) metode diplomatik.

(1) Metode Standar (biasa)

Metode standar adalah metode yang biasa digunakan dalam penyuntingan teks

naskah tunggal. Metode standar itu digunakan apabila isi naskah itu dianggap sebagai

cerita biasa, bukan cerita yang dianggap suci atau penting dari sudut agama atau sejarah,

sehingga tidak perlu diperlakukan secara khusus atau istimewa.

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam edisi standar antara lain. Yaitu:

a) mentransliterasikan teks, (perhatikan metode transliterasi):

b) membetulkan kesalahan teks (emendation atau conjectura)

c) membuat catatan perbaikan/peruhahan:

49
d) memberi komentar, tafsiran (informasi di luar teks)

e) membagi teks dalam beberapa bagian:

f) menyusun daftar kata sukar (glosari)

Tujuan metode standar ini untuk memudahkan pembaca atau peneliti memahami

teks

(2) Metode Diplomatik

Metode diplornatik adalah metude yang kurang lazim digunakan dalam

penyuntingan naskah. Metode diplomatik digunakan ababila isi cerita dalarn naskah itu

dianggap suci atau dianggap penting dari segi sejarah, kepercayaan atau bahasa sehingga

diperlukan perlakuan khusus atau istimewa. Dalam suntingan teks yang menggunakan

metode ini, teks disajikan seteliti-telitinya tanpa perubahan, teks disajikan sebagaimana

adanya.

Hal-hal yang biasa dilakukan dalam edisi diplomatik itu, sebagai berikut.

a) Teks diproduksi persis seperti terdapat dalam naskah, satu halpun tidak boleh diubah,

seperti ejaan, tanda baca. atau pembagian teks. Dalam bentuk yang paling sempurna

metode diplomatik ini adalah reproduksi fotografis. Hasil reproduksi fotografis ini

disebut faksimile. Untuk rnembantu pembaca disediakan transliterasi tanpa

perbaikan atau penyesuaian.

b) Kesalahan harus ditunjukkan dengan metode referensi yang tepat.

c) Saran untuk mernbetulkan kesa1ahan teks

d) Komentar mengenai kernungkinanonan perbaikan teks.

Tujuan penggunaan metode diplomatik ini adalah untuk mempertahankan

kemurnian teks.

5.2.2 Metode Penyuntingan Naskah Jamak

Penyuntingan teks yang terdapat dua naskah atau lebih dapat dilakukan dalam dua

metode yaitu (I) metode gabungan dan (2) metode landasan.

1) Metode Gabungan

Metode gabungan ini dipakai apabila menurut tafsiran nilai naskah semuanya

hampir sama, yang satu tidak lebih dari pada yang laian. Sebagian besar bacaan naskah

sama saja. Pada umumnya bacaan yang dipilih dalam suntingan ini adalah bacaan

mayoritas karena berdasarkan pertimbangann bahwa inilah naskah yang banyak

50
merupakan saksi bacaan yang betul. Bacaan minoritas dicatat dalam apparatus criticus

(kritik aparat). Bila ada pertimbangan khusus bacaan minoritas boleh dipilih untuk

dimasukkan dalamn suntingan. Jadi bacaan mayoritas dicatat dalam apparatus criticus.

Dalam hal ada bacaan yang meragukan karena jumlah naskah yang mewakili

bacaan tertentu sama, maka. dipakai pertimbangan lain, di antaranya kesesuaian dengan

norma tata bahasa, sumber lain yang relevan, seperti buku sejarah, agama. atau

kebudayaan. serta faktor-faktor lain yang mendukung pilihan bacaan yang digunakan.

Kelemahan menggunakan metode ini adalah teks yang disajikan merupakan teks

baru yang menggabung bacaan dari semua naskah yang ada sehingga dari segi ilmiah

agak sukar dipertanggungjawabkan. Dari segi praktis, khususnya dari segi pemahaman,

suntingan teks gabungan ini lebih mudah dipahami dan lebih lengkap dari semua naskah

yang ada.

2) Metode Landasan

Metode landasan dipakai apabila menurut tafsiran nilai naskah jelas berbeda

sehingga ada satu atau sekelompok naskah yang menonjol kualitasnya. Kalau semua

uraian sudah diperiksa dari sudut bahasa, sastra. sejarah. atau yang lain. naskah yang

mempunyai bacaan yang baik dengan jumlah yang besar. dapar dianggap naskah yang

terbaik dan dapat dijadikan landasan atau teks dasar ( Robson, 1978; 36)

Tujuan penyuntingan teks dengan metode landasan adalah untuk mendapatkan

teks yang autoritatif dan untuk. membebaskan teks itu dari segala macam kesalahan yang

tenjadi pada waktu penyalinan sehingga teks itu dapat dipahami sebaik-baiknya Cara

yang ditempuh untuk mencapai tujuan itu adalah membetulkan segala macam kesalahan,

rnengganti bacaan yang tidak sesuai; menambah bacaan yang ketinggalan; dan

mengurangi bacaan yang kelebihan.

Setelah sifat-sifat naskah diketahui naskah itu tidak luput dari kesalahan, bacaan

yang tidak jelas, bacaan yang ketinggalan, bagian rusak. atau bacaan yang dtambahkan

yang tidak sesuai dengan konteksnya.dalam rangka penyutingan teks ini dipilih bacaan

yang lebih sesuai di antana semua varian yang ditemui dari kedua. ketiga, atau keempat

naskah; ditambah bacaan teks dasar yang ketinggalan. dan dikurangi bacaan teks dasar

yang kelebihan. Tujuan penyuntingan teks ini yaitu berusaha membebaskan teks ini dari

51
segala macam kesalahan yang diperkirakan di atas supaya teks itu dapat dipahami sejelas-

jelasnya. Semua itu didasarkan pada kesesuaian dengan norma-norma tata bahasa lama.

5.2.3 Susunan Stema

Naskah-riaskah yang diperbandingkan diberi nama dengan huruf besar Latin A,

B, C, D, dan seterusnya. Dalam hubungan kekeluargaan ada naskah yang berkedudukan

sebagai arketip atau induk dan ada yang sebagai hiparketip atau sub induk. Arketip

adalah nenek moyang naskah-naskah yang tersimpan, dapat dipandang sebagai pembagi

persekutuan terbesar dari sumbersumber tersimpan. Arketip membawahi naskah-naskah

setradisi. Hiparketip adalah kepala keluarga naskah-naskah dan membawahi naskah-

naskah seversi. Arketip kadang-kadang diberi nama dengan huruf Yunani omega dan

hiperketip dinamakan alpha, beta, gamma. Contoh metode stema

52
yang paling baik dengan memakal lebih dari satu naskah dalam salinannya. Dengan

demiikian, terjadi penularan secara ‘horisontal” antara beberapa naskah atau terjadi

perbauran antara beberapa tradisi naskah, yang disebut kontaminas. Hubungan

antarnaskah bertambah rumit apabila si pengarang sendiri sudah membuat perubahan

dalam teks setelah teks itu selesai disalin. Dengan demikian, terjadi percampuran yang

mengakibatkan timbulnya versi baru. Penurunan naskah yang tidak terbatas pada satu

garis keturunan saja disebut tradist terbuka..

Metode stema tidak bebas dari berbagai masalah dan keberatan, Sebagai contoh

disebutkan beberapa di antaranya sebagai berikut:

1) Metode ini pada dasarnya berdasarkan pilihan antara bacaan yang benar dan

salah. Dalam prakteknya, sulit mentukan pilihan itu.

2) Pilihan antara dua hiparketip sering juga tidak mungkin karena keduanya

dianggap baik.

3) Dua anggota dari satu hiparketip mungkin mewakili dialek atau tahap bahasa yang

berbeda sehingga penyunting menghadapi pilihan antara stema dan homogenitas

dialek atau tahap batasa.

4) Masalah kontaminasi atau pembauran dua tradisi akibat tradisi terbuka.

5) Teks asli juga sering dipersoalkan, mungkin tidak pernah ada satu versi asli

karena dari permulan sudah ada variasi teks.

6) Hubungan antara tradisi lisan dan tradisi naskah tuiisan tangan di Indonesia perlu

diperhatikan, mana yang lebih asli dan otentik karena ada interaksi yang kuat

antara keduanya.

5.3. Rekonstruksi Teks

Setelah tersusun stema, teks direkonstruksi secara bertahap Sambil melakukan

emendasi. Berdasarkan pengertian bahwa salah satu bacaan salah maka yang salah

dibetulkan menurut bacaan yang benar yang terdapat dalam naskah-naskah lain. Apabila

terdapat perbedaan bacaan dalam jumlah naskah yang sama sehinggaa tidak ada bacaan

mayoritas yang dianggap benar, pembetulan dilakukan berdasarkan pengetahuan dari

sumber lain sehingga bacaan yang satu dibetulkan dengan mengikuti bacaan yang lain.

53
Bacaan yang terdapat dalam semua naskah dipandang sebagai bacaan arketip

Akan tetapi, bacaan boleh dibetulkan berdasarkan pengetahuan dari sumber lain supaya

mendekati bacaan asli yang ‘hipotetis. Teks yang sudah direkonstruksi atau dipugar

dipandang paling dekat dengan teks yang ditulis pengarang.

5.4 Teknik Penyajian Suntingan Teks

Salah satu tujuan penyuntingan teks adalah agar teks dapat dibaca dengan mudah

oleh kalangan yang lebih luas. Oleh sebab itu, diusahakan agar susunannya mudah dibaca

untuk memudahkan kita mengetahui isinya secara keseluruhan, suntingan teks itu dibagi

dalam bagian-bagian yang disebut episode. Tiap episode diberi nomor angka Arab atau

abjad huruf kecil disertai dengan judul yang sesuai dengan isi episode atau bagian cerita

itu. Judul episode atau judul bagian cerita itu hendaklah ditandai dengan mengapit judul-

judul dengan tanda kurung siku [....]. Hal ini diperlukan untuk memberitahu pembaca

bahwa judul-judul itu sesunguhnya dalam naskah asli tidak ada. Judul-judul itu adalah

tambahan dari penyunting untuk memudahkan pembacaan dan pemahaman teks.

Samping kiri teksdiberi angka petunjuk jumlah baris untuk memudahkan perujukan teks.

Untuk memudahkan pembacaan teks, teks dibagi dalam paragraf dan disertai pemakaian

tanda-tanda baca dengan seksama. Tanda atau lambang yang digunakan dalam suntingan

teks sebagai berikut:

/..../ penghilangan , pengurangan

Bacaan yang terdapat di antara tanda garis miring seharusnya dihilangkan,

tidak perlu dibaca.

(....) penambahan

Bacaan yang terdapat di antara dua tanda kurung adalah tambahan dari

naskah pembantu V

[....] penambahan menurut dugaan

Bacaan yang terdapat di antara dua tanda kurung siku adalah tambahan

menu rut dugaan penyunting

54

Anda mungkin juga menyukai