A. Pendahuluan
Konon, filologi itu bidang ilmu yang tidak menarik, tidak seksis, membosankan,
tidak popular sehingga tidak diminati banyak orang. Namun Oman Fathurahman
berhasil membantah stigma tersebut setelah beliau memilih untuk mengambil studi
filologi yang kemudian banyak mengkondisikannya untuk bercengkerama dengan
naskah-naskah kuno dan merasa nyaman serta puas memiliki distingsi ilmu filologi.
Menurutnya naskah telah memandunya menapaki jalan pintas untuk menyelami
sejarah, peradaban, dan ilmu pengetahuan masyarakat Nusantara masa lalu yang
belum diketahui banyak orang. Kesempatan melakukan riset, fellowship, menulis
artikel, serta berbagi hasil penelitian di forum ilmiahpun sangat terbuka baginya ketika
menggeluti studi ini secara konsisten.
Selain itu, banyaknya naskah keagamaan terutama dengan unsur tasawuf juga
terkait dengan kenyataan bahwa kebudayaan yang dimiliki bangsa Indonesia secara
keseluruhan merupakan hasil akulturasi manusia Indonesia dengan peradaban Islam
yang oleh Edi Sedyawati disebut sebagai salah satu dari tiga pengalaman besar dalam
akulturasi di Indonesia.
Diketahui pada abad ke-13 Indonesia didatangi oleh para ulama sufi yang
dalam proses penyebaran Islam banyak pula menghasilkan berbagai tulisan, yang kini
tersimpan dalam bentuk naskah, menyangkut ajaran-ajaran tasawuf yang mereka
sampaikan kepada Masyarakat setempat ( Azra 1994: 32 ). Naskah naskah Keislaman
adalah salah satu dari kategori naskahnusantara secara keseluruhan, masih banyak
lagi dan masih banyak lagi naskah-naskah dalam kategori lainnya, seperti histografi
local, obat-obatan, astronomi, kesenian dan wayang.
“ Filologi bukan sebuah tujuan, hanya suatu peralatan”. Demikian Henri Chambert-
Loir, filolog Melayu asalPrancis, Ketika mengawali pengantar atas hasil suntingannya
terhadap Hikayat Nahkoda Asik karangan Sapirin Bin Usman, dan Hikayat Merpati
Mas karangan Muhammad Bakir (Chambert-Loir, 2009: 271). Sebagai “sebuah
peralatan” filologi karenanya bukan piranti eksklusif yang hanya boleh digunakan oleh
sejumlah ahli peneliti dan mahasiswa peminat naskah kuno belaka, yang hanya
menganalisis “hal-hal sepele” dan “ remeh-temeh” menurut istilah Chambert-Loir.
Lebih dari itu filologi digunakan oleh sarjana dari berbagai disiplin ilmu, sebagai
“peralatan” untuk sampai pada tujuan penelitiannya.
Secara umum filologi dianggap sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu
humaniora yang memfokuskan perhatiannya pada aspek Bahasa dan sastra, terlebih
yang termasuk kategori Bahasa dan satra klasik. Menurut Baroroh Baried Filologi
adalah “ ilmu yang mempelajari kebudayaan suatu bangsa berdasarkan Bahasa dan
kesusastraan“ ( Baried dkk., 1994: 9 ). Secara khusus filologi dipahami sebagai cabang
ilmu yang mengkaji teks beserta sejarahnya ( tekstologi ). Termasuk didalamnya
melakukan kritik teks yang bertujuan merekonstruksi keaslian sebuah teks,
mengembalikannya pada bentuk semula, serta membongkar makna dan konteks yang
melingkupinya. Biasanya Upaya rekonstruksi ini diterapkan pada teks-teks yang
terdapat dalam naskah kuno dengan menggunakan metode tertentu dan didasarkan
pada variasi bacaan yang terdapat dalam sejumlah salinannya.
Dua hal yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan penelitian naskah :
1. Menyajikan ( to present )
Menyajikan teks yang berasal dari naskah yang sulit dibaca menjadi teks yang
dapat dinikmati pembaca, dan dari teks yang susah diakses menjadi terbuka untuk
siapa saja.
2. Menafsirkan ( to interpret )
Menafsirkan teks tersebut sesuai dengan konteks local yang melahirkannya.
Metode dan Teknik penyajian teksnya itulah yang dikenal dalam studi filologi
sebagai kritik teks ( textual criticism ) yang salah satu tujuan utamanya adalah
merekonstruksi teks hingga mendekati bentuk semula yang ditulis oleh pengarang (
teks autograpf ), karena pada masa kini, khususnya dalam konteks Indonesia
kebanyakan naskah yang dijumpai adalah merupakan hasil Salinan yang ditulis
Kembali puluhan atau ratusan tahun setelah masa pertama kali diciptakan oleh
pengarangnya.
“ membayangkan masa lalu” Itulah yang pertama kali perlu dilakukan untuk
memahami kata “naskah” Ketika produksi dokumen dihasilkan melalui goresan
tangan, tradisi cetak belum ada, mesin fotokopi belum terpikirkan. Dokumen-dokumen
itu harus disalin tangan sampai puluhan kali selama ratusan tahun hingga sampai pada
kita saat ini. Itulah yang menjadi raison detre atau alas an adanya alas an adanya ilmu
filologi.
Pengertian Naskah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( KBBI ), kata naskah diartikan sebagai :
(1) Karangan yang masih ditulis tangan
(2) Karangan seorang yang belum diterbitkan
(3) Bahan -bahan berita yang siap diset
(4) Rancangan
Dalam konteks filologi Indonesia, kata naskah dan manuskrip dipakai dalam
pengertian yang sama, yakni merujuk pada dokumen yang di dalamnya terdapat
teks tulisan tangan, baik berbahan kertas ( kertas Eropa ), daluwang ( daun saeh),
daun lontar, ,daun nipah, kulit kayu , bambu, rotan dan lainnya. Perbedaan
naskah atau manuskrip dengan teks adalah naskah merupakan bentuk fisik
dokumennya , sedangkan teks yaitu tulisan atau kandungan isi yang terdapat di
dalam naskah tersebut..
Dalam tradisi tulis dan intelektual Arab-Islam, istilah teks dibedakan menjadi 3
macam :
1. Matan ( Matn)
Merupakan teks dasar utama dalam sebuah naskah yang menjadi landasan
bagi seorang pengarang.
2. Komentar (syarh)
Merupakan penjabaran yang lebih terperinci dan mendalam dari matan
3. Penjelasan ( hasyiyah )