Anda di halaman 1dari 22

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Filologi

Filologi merupakan sebuah kajian ilmu yang sangat akrab dengan karya

tulisan dan kebudayaan zaman dahulu. Pengkajian ilmu filologi ini dilakukan

karena adanya anggapan bahwa sebuah karya tulis mengandung pemikiran dan

informasi-informasi zaman dahulu atau masa lampau. Selain itu, di dalam karya

tulis ini terdapat berbagai nilai-nilai kehidupan yang terkandung dalam karya

tulisan-tulisan tersebut sebagai hasil peninggalan sejarah. Namun demikian,

seiring dengan perkembangan zaman yang membuat naskah-naskah tersebut

berubah-ubah adalah karena faktor dari pemakaian bahan tulisan seperti kertas,

bentuk tulisan, dan tinta sehingga memungkinkan akan mengalami kerusakan baik

yang tidak disengaja maupun yang disengaja sekalipun.

Kajian filologi yang di dalamnya fokus memperhatikan pada aspek bahasa

dan sastra, terutama pada aspek bahasa dan sastra klasik. Oleh karena itu, filologi

dianggap sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu humaniora. Pada umumnya,

filologi melakukan upaya untuk merekonstruksi naskah-naskah kuno yang di

dalamnya terdapat teks-teks yang akan dikaji sesuai dengan metode yang

digunakan peneliti, akan tetapi tetap pada tataran filologi. Namun demikian, pada

istilah yang lebih khusus, filologi melakukan kajian kritik pada teks beserta

sejarahnya yang biasanya disebut sebagai tekstologi. Cabang dari ilmu ini

bertujuan untuk merekonstruksi keaslian teks kemudian membongkar makna dan

konteks yang terdapat di dalamnya, sehingga dapat mengembalikannya pada

bentuk semula (Fathurrahman, 2015: 17).

12
13

Semula filologi mengkaji teks-teks kuno yang sampai pada saat ini dalam

bentuk pembaharuan atau salinannya, dengan maksud menemukan teks asli serta

untuk mengetahui maksud penyusunan teks tersebut. Dalam upaya menemukan

teks asli ini yang perlu dilakukan adalah memperhatikan kesalahan-kesalahan

yang terdapat dalam salinan-salinan teks. Dengan demikian, sangat mudah untuk

mencari runtutan silsilah naskah naskah induk atau yang paling dekat dengan

naskah aslinya (Wurianto, 2000: 2).

Higher criticism merupakan sebuah metode kajian teks yang sering

dihubungkan dengan filologi. Metode ini merupakan telaah teks yang bertujuan

untuk membuktikan kebenaran nama pengarang asli dan waktu pembuatan tulisan

tersebut. Seorang peneliti akan sering dihadapkan pada pilihan untuk melakukan

interpretasi teks, sehingga peneliti harus berhati-hati agar tidak terlalu jauh

melakukan penafsiran, karena pada dasarnya filologi berusaha menelusuri

objektifitas, sementara penafsiran meniscayakan adanya subjektifitas. Pada

metode ini, terdapat penolakan dari kelompok sarjana Mazhab Filologi baru (New

Philologi) dipimpin oleh James Lockhart yang tidak sepakat dengan adanya

penelitian filologi menggunakan metode kritik teks dan disertai dengan penafsiran

yang ada di dalam teks tersebut, dengan alasan karena metode tersebut dapat

merusak keaslian teks sehingga menghilangkan keutuhan pada teks yang dikaji,

bahkan akan mengacaukan keabsahan data di dalam teks tersebut karena

penafsiran yang dibuat oleh peneliti. Namun demikian, Mazhab Filologi baru

lebih menganjurkan untuk melakukan penelitian filologi menggunakan metode

diplomatik. Metode ini mengaplikasikan cara kerja dengan menampilkan teks apa

adanya, tanpa adanya perubahan pada teks (Fathurrahman, 2015: 18).


14

Selain Mazhab Filologi baru yang tidak sepakat adanya kritik teks,

Mazhab Tradisional pun beranggapan bahwa jika dalam teks tersebut terdapat

variasi yang tidak sesuai atau berbeda dari aslinya, maka teks tersebut bisa

dikatakan sebagai teks rusak dan wajib dikembalikan pada konteks yang

seharusnya. Teks yang rusak tersebut dapat dikatakan menyimpang karena

mengalami perubahan teks bentuk teks aslinya. Oleh karena itu, dari penjelasan di

atas dapat disimpulkan bahwa filologi cenderung untuk tetap berupaya

menemukan bentuk teks yang asli tanpa penafsiran, jika adanya penafsiran pada

suatu teks naskah tersebut, maka dapat dikatakan teks tersebut rusak atau tidak

original karena mengalami perubahan pada naskah aslinya. Namun demikian,

seiring dengan perkembangannya, filologi dapat diartikan sebagai ilmu yang

mempelajari tentang pengetahuan yang pernah ada seperti ilmu sastra, sastra

tinggi dan studi teks (Hidayatullah, 2015: 29).

2.2 Konsep Naskah

Setelah masyarakat mengenal tulisan aksara, barulah mulai menuliskan

dokumen atau karangan yang berupa karya sastra. karya sastra tersebut ditulis,

dari hasil tulisan tangan inilah yang dinamakan naskah. Naskah-naskah itu disalin

karena keinginan orang untuk memiliki cerita tersebut atau naskah asli sudah

rusak, sehingga diperlukan adanya pembaruan. Namun demikian, naskah jenis ini

pada umumnya terdapat banyak perbedaan mulai dari tulisan, kertas, dan tinta

yang digunakan (Djamaris, 2002: 6).

Naskah merupakan peninggalan tertulis pada sebuah kertas yang

berbentuk bahan cetak, tulisan tangan atau cap.Sebuah tulisan itu berisi tentang
15

ungkapan perasaan, pemikiran dan informasi-informasi sebagai hasil budaya masa

lampau. Oleh karena itu, filologi mengkaji masa lalu melalui naskah yang ada.Di

Indonesia sendiri pada era masa lampau, dalam menulis naskah memakai media

yang sederhana sesuai dengan daerah masing-masing seperti lontar (biasanya

naskah yang berasal dari Bali/Lombok), kayu, kulit, rotan, dluwang, dan bambu.

Namun demikian, setelah pengaruh Eropa pada abad ke-18 dan ke-19 kertas

Eropa pun muncul untuk menggantikan bahan biasanya yang digunakan di

Indonesia karena dianggap lebih baik kualitasnya (Wurianto, 2000: 12).

Naskah merupakan makna serapan dari bahasa Arab. Di dalam sebuah

naskah terdapat teks-teks yang ditulis yang merupakan symbol-simbol bahasa

untuk mengekspresikan dan menyampaikan informasi. Naskah berupa buku,

kertas dan sejenisnya. Oleh karena itu naskah wujudnya konkrit, nyata, dapat

dipegang dan dilihat. Semua naskah yang berupa bahan tulis tangan disebut

handschrift atau “manuskrip” (Sudardi, 2003:10).

Secara umum, naskah atau manuskrip biasanya digunakan untuk

menyebutkan media benda kertas seperti inskripsi yang didalamnya terdapat

informasi. namun secara harfiah naskah atau manuskrip merupakan sebuah

dokumen yang penulisannya dengan tulis tangan. Tulisan tangan ini menyimpan

berbagai ungkapan pemikiran dan perasaan sebagai hasil budaya masa lampau.

Istilah manuskrip biasanya disingkat menjadi MS (naskah tunggal) dan MSS

(naskah jamak) (Tjandrasasmita dalam Yuanita, 20013:5).

Naskah dan prasasti harus dibedakan walaupun keduanya memuat

informasi, tulisan dan hasil peninggalan sejarah, akan tetapi naskah dan prasasti

berbeda. Muatan isi naskah lebih panjang karena di dalamnya terdapat cerita atau
16

informasi yang lengkap serta disalin dalam berbagai versi, sedangkan prasasti

ditulis di atas batu bata, logam, dan kayu yang muatannya lebih sedikit. Umur

naskah dapat diketahui dari beberapa informasi yang terdapat dalam naskah

seperti jenis kertas yang digunakan, sistem penanggalannya yang terdapat masehi

dan hijriah serta penanggalan daerah.

Bangsa Indonesia merupakan ladang bahasa bagi naskah klasik yang

biasanya ditulis dengan menggunakan huruf dan bahasa daerah. Isi naskah

beraneka ragam, mulai dari naskah kesusastraan sampai naskah keagamaan, dan

sejarah yang sangat penting diketahui bagi masyarakat mengenai kebudayaan

pada masing-masing daerah. Naskah klasik yang berbahasa Melayu dan Jawa

umumnya menggunakan bahan dari kertas yang di dalamnya terdapat aneka

ragam kehidupan yang dipaparkan, seperti masalah sosial, agama, ekonomi, dan

kebudayaan. Namun demikian, jika dilihat dari pengungkapannya, naskah klasik

Melayu dan Jawa isinya mengacu pada sifat historis dan religi (Baried, 1985:4)

Salah satu tempat penyimpanan naskah-naskah klasik disebut scriptorium

(scriptorium) atau scriptoria dalam bentuk jamaknya. Pada pertengahan zaman

Eropa, scriptorium ini digunakan untuk menunjukkan sebuah ruangan yang berada

di dalam biara, fungsinya untuk menyalin manuskrip dari penulis monastik. Pada

tahun 1440 Johansen Gutenberg menemukan mesin pengganda naskah yaitu

mesin cetak. Berkat bantuan dari mesin cetak tersebut dokumen yang biasanya di

gandakan secara manual , kini dapat digandakan secara cepat dan efisien.

Pengumpulan secara fisik saja tidak cukup untuk memelihara naskah-

naskah yang didalamnya terkandung pengetahuan, ide atau pemikiran dan

perasaan (Ikram, 1997:33). Oleh sebab itu, benda-benda cagar budaya tersebut
17

telah dilindungi oleh Undang-Undang. Hal ini telah dipaparkan pada UUD no 5

tahun 1992 yang menyatakan bahwa benda-benda cagar budaya adalah benda-

benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau

kelompok bagian-bagian dan sisa-sisa yang berumur sekurang-kurangnya 50

tahun serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan

kebudayaan.

Undang-Undang tentang cagar budaya kembali ditegaskan pada Undang-

Undang nomor 11 tahun 2010 yang menyatakan bahwa cagar budaya merupakan

warisan budaya yang bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya dan

Kawasan Cagar Budaya di darat atau di air yang perlu dilestarikan bendanya

karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,

dan kebudayaan (Ahmad Rahman dalam Sairi 2002:12).

2.3 Konsep Teks

Teks merupakan kandungan atau pun substansi naskah. Sebuah naskah

jika dibaca di dalamnya terdapat teks yang dapat dipahami isinya atau maknanya.

Teks mengarahkan kepada kandungan naskah yang bersifat abstrak. Teks terdiri

dari isi, yaitu ide-ide yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya.

Selain itu, teks juga memiliki beberapa bentuk yang mengandung berbagai cerita

atau pelajaran yang hendak dibaca dan dipelajari mengikuti pendekatan yang

ingin digunakan (Wurianto, 2000: 13)

Proses pembentukan teks terdiri dari tiga macam yaitu teks lisan, teks

naskah tulis tangan, dan teks naskah cetak. Teks lisan merupakan sebuah teks

yang tidak tertulis, hanya diucapkan saja oleh seseorang, sedangkan teks tulis
18

tangan memiliki dua perbedaan yang disebut otograf dan apograf. Otograf

merupakan teks yang ditulis pengarangnya, sedangkan apograf yaitu teks yang

disalin dari tulisan aslinya. Namun demikian, masing-masing teks tersebut di

dalamnya terdapat kajian filologisnya (Hidayatullah, 20015: 29)

Tekstual memiliki spesialisasi pada teks, terutama teks cetak yang

menekankan bentuk baru baru kesadaran yang dikaitkan dengan teorisasi cetak

dan tradisi retoris kuno (Org dalam Sudika, 2014: 195). Naskah dan teks harus

dibedakan. Naskah mengacu pada bentuk fisik dokumen, sedangkan teks adalah

isi yang terdapat di dalam sebuah naskah atau dokumen. Oleh Karena itu, dalam

sebuah naskah di dalamnya terdapat teks-teks yang berisi tentang pembahasan

atau mengenai kehidupan.

Adanya aksara yang digunakan dalam penulisan sebuah teks merupakan

tanda kemajuan dari masyarakat penutur bahasa tersebut. Hal ini karena tulisan

merupakan perwujudan dari kehendak, keinginan, serta pemikiran dari penulisnya.

Agar bisa menulis, di samping memiliki pengetahuan tentang tulisan (aksara)

sebagai lambing bahasa bunyi, juga diperlukan adanya khazanah pengetahuan

sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat yang memiliki tulisan adalah

masyarakat yang berbudaya (Yazid, 2003: 50).

Dalam konteks keilmuan agama islam, teks tersebut dibagi menjadi tiga

macam, yaitu matan (matan), komentar (syarh) dan penjelasan (hasyiyah)

(Fathurrahman, 2015: 28). Matan ialah teks dasar yang dijadikan bahan utama

dalam sebuah naskah yang menjelaskan tentang permasalahan yang dibubuhkan

oleh pengarang. Hal tersebut mengangkat dari permasalah penulis itu sendiri

ataupun orang lain. Sedangkan syarah dan hasiyah umumnya ditulis untuk
19

memberikan komentar dan penjelasan. Hal ini dilatarbelakangi oleh pengarang

yang merasa isi yang dijelaskan pada matan belum cukup memenuhi syarat

pembacanya sehingga memerlukan penjelasan lebih rinci dan mendalam.

Teks tidak luput dari proses perubahan seperti perusakan, penyesuaian,

dan sering diperbarui. Dalam hal ini, bukan hanya teks yang dituturkan secara

lisan dan tulis tangan saja, akan tetapi teks cetak pun mengalami perubahan. Hal

ini disebabkan karena sebuah naskah sering dilakukan penyalinan sehingga

banyak sekali terjadi perubahan pada naskah asli. Akibatnya banyak variasi dalam

naskah. oleh karena itu, di zaman sekarang ini jarang sekali ditemukan teks yang

berbentuk asli dan utuh.

2.4 Penggarapan naskah

a) Teori Tekstologi

Kajian ilmu yang mempelajari seluk-beluk teks atau isi teks, mislanya gagasan

yang ingin disampaikan pengarang dalam bentuk cerita disebut tekstologi. Tekstologi

sangat berkaitan dengan penafsiran, pemakaman teks, dan penyuntingan teks secara

kritis atau ilmiah. Tekstologi juga disebut sebagai bidang keilmuan yang menyelidiki

sejarah teks suatu karya masa lampau. Namun demikian, berdasarkan penurunan

teks,tekstologi dibedakan menjadi tiga macam yaitu pertama, tekstologi yang meneliti

sejarah teks lisan, kedua meneliti sejarah manuskrip (naskah tulis tangan), ketiga

meneliti sejarah buku cetakan (Wurianto, 2000: 16).

Penelitian teks harus melakukan penyuntingan terlebih dahulu, karena

dalam penelitian teks harus dilihat sebagian kajian keseluruhan. Secara metodis,

segala perubahan yang ada pada teks harus dicermati secara sadar, misalnya
20

perubahan ideology, artistic, dan perubahan psikologisnya harus dikaji terlebih

dahulu daripada mengkaji perubahan mekanis. Oleh karena itu, dalam pengkajian

filologi harus mengetahui bahwa rekonstruksi perubahan keilmuan dan sastra

telah diciptakan pada masa lampau, tetapi tidak semua naskah bisa diselamatkan

sampai sekarang (Wurianto, 2000: 16).

Teks terdiri dari beberapa kata bahkan milyaran kata yang tertulis dalam

sebuah naskah klasik yang berisi cerita yang panjang. Kata menunjuk sesuatu

yang abstrak, karena teks terdiri dari kata-kata maka teks juga dikatakan sebagai

sesuatu yang abstrak. Isi teks tersebut sangat beraneka ragam yang mencerminkan

dinamika setiap budaya itu sendiri sesuai dengan budaya masing-masing tempat

teks itu berasal. Teks dapat berupa karya sastra, penuangan gagasan penulis, ilmu

pengetahuan, dan hal-hal yang dapat dituliskan (Sudardi, 2003: 10-11)

Setiap ungkapan bahasa pada sebuah teks, mengacu kepada sesuatu seperti

sistem tanda dan makna bahasa yang memiliki fungsi. Apa yang diacu oleh teks

merupakan bagian gambaran mengenai dunia yang ada dalam angan-angan. Pesan

tersebut berkaitan dengan pikiran, perasaan, gagasan segala sesuatu yang ada.

Bagian ini dinamakan konteks pesan. Hal ini bukan berarti isi teks bersifat nyata

dan teksnya bersifat realistis, tetapi bahwa setiap isi hanya dapat dimengerti jika

hal tersebut ditempatkan dalam sebuah konteks. Kejadian-kejadian fantastis dalam

sebuah dongeng itu tidak bisa terjadi dalam kenyataan, namun unsur-unsurnya

berkaitan dengan pengertian mengenai kenyataan (Luxemburg dkk, 1986: 91).

b) Transliterasi

Transliterasi merupakan penggantian jenis tulisan huruf demi huruf dari

abjad satu ke abjad yang lain. Seperti dari huruf pada bahasa melayu Jawi (Arab),
21

Jawa, sansekerta ke huruf rumi dan huruf-huruf lainnya. Sebagaimana tugas dari

kajian filologi adalah menjadikan teks dapat dibaca oleh masyarakat pada

masanya. Seperti yang dilihat terdapat kasus tulisan lama yang pada masa

sekarang sudah tidak banyak dikenal lagi oleh masyarakat, maka dari itu

transliterasi ini sangat membantu. (Hidayatullah, 2015: 34).

Pada umumnya, di masa sekarang masyarakat sulit bahkan tidak dapat lagi

membaca aksara daerah. Oleh karena itu, transliterasi sangat penting untuk

memperkenalkan teks-teks lama yang tertulis dengan aksara daerah. Adanya

pengaruh tradisi lisan dan gaya penceritaan yang mengalir seperti gaya tuturan

saat dibacakan menyebabkan teks-teks kuno ditulis tanpa memperhatikan unsur-

unsur tata tulis (pungtuasi) yang merupakan kelengkapan wajib pemahaman teks.

Dalam kegiatan transliterasi perlu diikuti oleh pedoman penulisan yang

berhubungan dengan penulisan, pembagian kata, ejaan, dan tanda baca (Wurianto,

2000: 19).

Berdasarkan pedomannya transliterasi juga harus memperhatikan ciri-ciri

teks asli, karena pada proses pengalihan aksara sampai penafsiran teks sangat

bertanggung jawab untuk membantu pembaca dalam memahami isi teks.

Pengalihan aksara pada naskah kuno merupakan kegiatan penggarapan naskah

tahap awal yang mana di dalam penggarapan terdapat hambatan. Hambatan-

hambatan tersebut yaitu dikarenakan teks naskah kuno ditulis tanpa

memperhatikan fungtuasi, ejaan, dan spasi antar kata. Hal ini disebabkan karena

tulisan-tulisan lama seperti arab pegon tidak mengenal huruf kapital, huruf kecil,

tanda titik, petikan langsung, dan tanda koma yang sesuai dengan fungsinya

secara umum (Supriadi, 2011: 31).


22

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa transliterasi merupakan

penggantian huruf dari abjad satu ke abjad yang lain, misalnya dari tulisan arab ke

aksara latin. Dalam mentransliterasi harus mengikuti pedoman penulisan ejaan

dan tanda baca, hal ini dikarenakan tanda baca huruf pegon dan arab Melayu

berbeda dengan tulisan yang tertera dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, kegiatan

transliterasi ini berguna agar masyarakat yang tidak bisa membaca naskah kuno

yang bertulisan aksara pegon, arab melayu (jawi), dan aksara jawa mampu

membaca tulisan tersebut.

c) Terjemahan

Terjemah dan transliterasi berbeda, transliterasi berguna agar teks dapat

dibaca pada masanya, namun terjemahan berguna agar isi teks dapat dipahami

oleh masyarakat yang tidak mengenal bahasa asli teks. Menurut Baried (dalam

Hidayatullah, 2015 :35) terdapat beberapa cara untuk menerjemahkan suatu teks

yaitu,

1) Terjemahan secara harfiah yaitu menerjemahkan kata demi kata, kemudian

mengadakan perubahan seperlunya mengenai bentuk dan urutan kata-

katanya

2) Terjemahan agak bebas yaitu menerjemahkan ide yang terkandung dalam

teks dengan tidak terlalu terkait dengan kosakata teks. Akan tetapi

penerjemah harus menguasai bahasa teks dan juga bahasa yang akan

digunakan untuk menerjemahkan teks

3) Terjemahan sangat bebas yaitu menerjemahkan dengan bebas serta

melakukan perubahan yang terdapat dalam teks


23

Terjemahan adalah pengalihan ide dari bahasa satu ke bahasa yang lain,

baik dalam bentuk tulisan maupun lisan.Berdasarkan pada tujuan penerjemahan,

terdapat jenis-jenis terjemahan antara lain, 1) Terjemahan penuh yaitu

menerjemahkan seluruh naskah, artinya naskah tersebut seluruhnya diterjemahkan

dari bagian awal sampai akhir, 2) terjemahan sebagian yaitu menerjemahkan

sebagian dari isi naskah, misalnya si penerjemah tertarik hanya menerjemahkan

halaman awal atau bab awal saja yang dianggap penting (Hartono, 2003:98).

2.5 Akhlak

Akhlak dan budi pekerti pada dasarnya memiliki arti yang sama. Dapat

dilihat di dalam kamus Munjid kata khuluq bentuk jamak dari akhlaq mempunyai

arti tabiat, tingkah laku, perangai atau budi pekerti. Imam Al-Ghazaly mengatakan

“Al-Khulk” merupakan suatu sikap (hay’ah) yang tertanam dalam jiwa yang

menimbulkan pebuatan-perbuatan baik dan buruk tanpa memerlukan pemikiran

dan pertimbangan. Jika sikap lahir merupakan perbuatan yang baik dan terpuji,

baik dari segi akal dan syara’, maka dinamakan aklakul karimah. Namun

demikian, jika yang terlahir dari dirinya sikap yang buruk, maka sikap tersebut

dinamakan akhlak tercela (Al-ghazali 1989:48).

Akhlak bukan hanya merupakan norma, perilaku, dan tata aturan yang

mengatur hubungan sesama manusia, akan tetapi mengatur hubungan antara

manusia dengan Tuhan dan alam semesta sekalipun (Ilyas, 1999:1). Jadi manusia

sebagai hamba Allah harus mentaati segala perintahnya dan senantiasa menjaga

alam semesta beserta isinya. Allah melarang manusia menyiksa hewan dan

membuat kerusakan di alam semesta.


24

Akhlak yaitu suatu sifat yang telah tertanam dalam jiwa dan menjadi

kepribadian hingga dari situ timbullah berbagai macam perbuatan dengan spontan

dan mudah tanpa memerlukan pemikiran (Salim, 2013: 226). Oleh karena itu,

dari pengertian tersebut dapat disimpulkan akhlak adalah perbuatan atau

kebiasaan yang dilakukan secara spontan dan sadar atas dorongan jiwa, jika

akhlaknya baik disebut akhlakul karimah, namun jika akhlaknya buruk disebut

dengan akhlak tercela. Syakir (2001: 32) dalam kitab Washoya Al-Aba’a LilIbna’

mengatakan wahai anakku akhlak yang baik merupakan perhiasan setiap insan

bagi dirinya, keluarga, masyarakat, dan teman-temannya. Jadilah kamu insan yang

memiliki akhlak yang baik niscahya kamu akan dihormati, dihargai, dan dicintai

oleh setiap orang.

Akhlak merupakan kodrad setiap manusia. Manusia bisa baik sebagaimana

perannya dalam hal apa saja. Namun demikian, jika akhlaknya jelek maka jeleklah

dia sebagai manusia. Oleh karena itu, akhlak yang baik merupakan kesempurnaan

manusia sebagai hamba Allah N. Dryarkara SJ (dalam Zaini, 1986:57). Manusia

dikatakan sempurna imannya jika akhlaknya sempurna, sebagaimana disabdakan

Nabi Muhammad SAW:

“Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah ia yang

memiliki akhlak yang baik”

HR. Bukhari (dalam Zaini, 1986:57).

Berbagai hal dalam kehidupan manusia dalam lingkup syari’at islam, baik

hubungan dengan Allah maupun hubungan manusia dengan manusia. Hubungan

manusia dengan Allah berarti perbuatan yang semata-mata mencari ridho Allah

dengan cara beribadah berupa shalat, puasa, dan haji. Sedangkan hubungan
25

manusia dengan manusia yaitu aturan dalam bertingkah laku, kesopanan, hidup

bertetangga, akhlak terhadap guru dan orang tua. Di era globalisasi ini, salah satu

bentuk hubungan manusia yang sering dilupakan sebagai pribadi yang memiliki

akhlak yang baik yaitu hablumminannas. Contoh hablumminannas yaitu

hubungan anak dengan orang tuanya. Saat ini melihat dari fenomena masyarakat

banyak anak yang durhaka kepada orang tuanya. Hal ini disebabkan karena

kurangnya penanaman akhlak sejak dini.

Berbakti merupakan sesuatu yang sangat ditekankan dalam islam, karena

Allah telah mengangkat derajat orang tua ke tingkat yang paling tinggi dan paling

mulia yaitu satu tingkat dibawah tingkat iman kepada Allah SWT. Firman Allah

dalam surat An-Nisa’ ayat 36, Allah berfirman yang artinya:

“Sembahlah Allah dan janganlah kalian pempersekutukan-Nya dengan sesuatu

apapun. Dan berbuatlah baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya”

Berdasarkan ayat di atas, hendaknya seorang manusia dalam

kedudukannya sebagai seorang anak yang memahami pentingnya akhlak kepada

orang tuanya akan menjadi seseorang yang paling berbakti dan berbuat baik

kepada orang tuanya daripada berbuat baik kepada orang lain.

Akhlak memelihara manusia sebagai makhluk terhormat. Oleh sebab itu,

manusia akan mendapatkan kehidupan yang hakiki apabila mengikuti nilai-nilai

kebaikan yang tertera dalam al-Quran dan mengikuti akhlak Nabi. Terdapat enam

ruang lingkup akhlak yaitu, 1) akhlak kepada Allah, 2) akhlak kepada rosul Allah,

3) akhlak pribadi, 4) akhlak berkeluarga meliputi hak dan kewajiban istri, serta

tanggung jawab orang tua terhadap anak, 5) akhlak bermasyarakat, 6) akhlak

bernegara (Ilyas, 1999:05).


26

Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa akhlak merupakan

sikap yang tertanam dalam hati manusia dan menjadi kepribadian sehingga

menimbulkan berbagai macam perbuatan yang spontan tanpa memerlukan

pemikiran. Oleh karena itu, pada konteks akhlak yang terdapat pada naskah

klasik islam merupakan hal yang sangat penting untuk ditelaah, karena dalam

karya naskah klasik islam tersebut memuat ajaran-ajaran kebaikan, serta

mengingat bahwa sebuah karya sastra akan hilang maknanya apabila tidak

dilakukan pengkajian lebih lanjut.

Akhlak islam dapat dikatakan sebagai akhlak yang islami adalah akhlak

yang bersumber pada ajaran Allah dan Rasulullah. Akhlak islami ini merupakan

amal perbuatan yang sifatnya terbuka sehingga dapat menjadi indikator seseorang

apakah seorang muslim yang baik atau buruk. Akhlak ini merupakan buah dari

akidah dan syariah yang benar. Secara mendasar, akhlak ini erat kaitannya dengan

kejadian manusia yaitu khaliq ( pencipta ) dan makhluk ( yang diciptakan ).

Rasulullah di utus untuk menyempurnakan akhlak manusia yaitu untuk

memperbaiki hubungan makhluk (manusia) dengan khalik ( Allah Ta’ala ) dan

hubungan baik antara makhluk dengan makhluk (Habibah, 2015: 74).

Kata “menyempurnakan ” berarti akhlak itu bertingkat, sehingga perlu

disempurnakan. Hal ini menunjukkan bahwa akhlak bermacam-macam, dari akhlak

sangat buruk, buruk, sedang, baik, baik sekali hingga sempurna. Rasulullah sebelum

bertugas menyempurnakan akhlak, beliau sendiri sudah berakhlak sempurna.

Perhatikan firman Allah SWT dalam Surah Al-Qalam [68]: 4

Artinya :“ Dan sesungguhnya engkau ( Muhammad ) benar-benar berbudi pekerti

yang agung”
27

Dalam ayat di atas, Allah SWT. sudah menegaskan bahwa Nabi Muhammad

Saw.mempunyai akhlak yang agung. Hal ini menjadi syarat pokok bagi siapapun yang

bertugas untuk memperbaiki akhlak orang lain. Logikanya, tidak mungkin

bisamemperbaiki akhlak orang lain kecuali dirinya sendiri sudah baik

akhlaknya.Karena akhlak yang sempurna itu, Rasulullah SAW patut dijadikan uswah al

hasanah (teladan yang baik). Firman Allah SWTdalam surah Al-Ahzab [33]: 21

Artinya :“Sesungguhya pribadi Rasulullah merupakan teladan yang baik untuk

kamu dan untuk orang yang mengharapkan menemui Allah dan hari

akhirat dan mengingat Allah sebanyak-banyaknya”.

Berdasarkan ayat di atas, orang yang benar-benar ingin bertemu dengan

Allah dan mendapatkan kemenangan di akhirat, maka Rasulullah SAW adalah

contoh danteladan yang paling baik untuknya. Tampak jelas bahwa akhlak itu

memiliki dua sasaran : Pertama, akhlak dengan Allah. Kedua, akhlak dengan

sesama makhluk. Oleh karena itu, tidak benar kalau masalah akhlak hanya

dikaitkan dengan masalah hubungan antara manusia saja. Atas dasar itu, maka

benar akar akhlak adalah akidah dan pohonya adalahsyariah.

Manusia diciptakan oleh Allah SWT dibekali dengan adanya fitrah, akal,

qalbu, kemauan, serta amarah. Manusia dengan segenap potensinya (kemampuan)

kejiwaan naluriah, seperti akal pikiran, qalbu kemauan yang ditunjang dengan

kemampuan jasmaniahnya, manusia akan mampu melaksanakan amanah Allah

dengan sebaik-baiknya sehingga mencapai derajat Insan Kamil (beriman, berilmu

dan beramal) manakala manusia memiliki kemauan serta kemampuan

menggunakan dan mengembangkan segenap kemampuan karunia Allah tersebut

(Mutahhari, 1995: 78).


28

Akhlak seorang perempuan yaitu pertama, menjaga kemaluan dari

pandangan oranglain kecuali suami, kedua menjaga kesopanan yaitu agar

terhindar dari perbuatan zina, kewajiban ketiga yaitu tidak boleh memperlihatkan

“perhiasan mereka” yang merujuk kepada barang-barang yang bukan anggota

tubuh seperti permata, emas seperti cincin dan gelang, dan juga benda-benda yang

dikenakan pada tubuh seperti hena keciali dilihatkan hanya kepada suami

(Muthahhari, 1989: 99).

Akhlak umumnya berkaitan dengan tindakan-tindakan mental dan perilaku

yang dapat dibentuk agar menjadi kebiasaan, misalnya seorang anak dapat dididik

agar menjadi seseorang yang berani dan dapat pula dididik agar menjadi sesorang

yang menjaga kesuciannya atau sebaliknya menjadi seseorang yang selalu

menuruti hawa nafsunya, dari penjelasan ini dapat dikatan bahwa bagian terbesar

dari pendidikan akhlak terhadap anak adalah memproduksi manusia sebagaimana

yang diinginkan, karena itu kita dapati banyak aliran-aliran yang mendidik anak

seperti apa yang diinginkan olehnya, seperti apa yang diinginkan oleh pihak

pemerintah(Muthahhari, 1995:102).

Ruang lingkup akhlak harus dilihat dari segi hubungan diri sendiri dengan

Allah, Rasulullah, dan orang lain, termasuk karakter dirinya. Jika ukurannya ini

maka ruang lingkup akhlak dapat dibagi menjadi 5 (lima) aspek sebagai berikut:

1. Akhlak terhadap Allah, setelah ma`rifat mengenal Zat Tuhan Yang Al-

Ghaib yakni mengingat Allah, berzikir siang dan malam baik ketika

sedang berdiri, sedang duduk, ataupun sedang berbaring secara benar,

ikhlas, dan selalu memohon pengampunan-Nya atas segala dosa dan salah

yang selalu dikerjakan oleh manusia.


29

2. Akhlak terhadap Rasulullah yaitu mentaati, meneladani Rasulallah, dan

berguru kepadanya. Aspek ini termasuk akhlak terhadap Ulil Amri (Imam

yang mewakili Nabi/Rasul) atau Ulama Pewaris Nabi.

3. Akhlak terhadap diri sendiri berkaitan dengan karakter diri yaitu taubat,

jujur, `uzlah, qona`ah, tawakkal kepada Allah, dzikir, sabar, serta

menghindari takabur (sombong), ujub (bangga diri), riya, dan sum`ah

(kebaikan dirinya ingin terdengar orang lain).

4. Akhlak terhadap kelurga yaitu akhlak kepada orang tua, suami, istri, anak,

orang tua, dan saudara.

5. Akhlak terhadap sesama yaitu akhlak kepada sesama muslim, teman,

tetangga, dan masyarakat.

Akhlak itu sudah menjadi buahnya. Buah itu akan rusak jika pohonnya

rusak,dan pohonnya akan rusak jika akarnya rusak. Oleh karena itu akar, pohon,

dan buah harus dipelihara dengan baik. Bagi Nabi Muhammad SAW, Al-Qur’an

sebagai cerminan berakhlak. Orang yang berpegang teguh pada Al-Qur’an dan

melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, maka sudah termasuk meneladani

akhlak Rasulullah. Oleh karena itu setiap mukmin hendaknya selalu membaca Al-

Qur’an kapan ada waktunya sebagai pedoman dan menjadi tuntunan yang baik

dalam berperilaku sehari-hari, insya Allah akan terbina akhlak yang mulia bagi

dirinya. Menurut Maulida, 2014: 724) Adapun hal - hal yang perlu dibiasakan

sebagai akhlak perempuan yang terpuji dalam islam adalah akhlak kepada

keluarga meliputi akhlak kepada orang tua, suami, dan anak, kemudian akhlak

terhadap Allah, kerabat, akhlak terhadap masyarakat dan akhlak terhadap sesama

muslim wanita maupun laki-laki yang akan di paparkan di bawah ini antara lain:
30

1. Akhlak Perempuan Terhadap Keluarga

Akhlak terhadap keluarga meliputi ayah, ibu, anak, dan keturunannya.

Allah memerintahkan kepada setiap hambanya agar menghormati dan senantiasa

memuliakan kedua orang tuanya. Orang tua merupakan orang yang sangat berjasa

dalam hidup karena telah mengasuh, dan mendidik dengan cinta dan kasih sayang

dari sebelum dilahirkan hingga saat ini. oleh karena itu, islam mengajarkan agar

manusia senantiasa menghormati orang tuanya.

Berbakti terhadap orang tua merupakan salah satu perbuatan atau amalan

yang dapat mengantarkan seorang anak pada tujuan akhir yang kekal dan bahagia

yaitu surga. Ketika seorang anak bersungguh-sungguh dalam ketakwaan terhadap

perintah Allah dengan cara menghormati kedua orang tuanya maka akan

mendapatkan pahala dan surga yang telah Allah janjikan dalam Al - Quran.

Berikut ini merupakan akhlak terhadap orang tua antara lain yaitu mencintai orang

tua melebihi rasa cinta terhadap orang lain, lemah lembut dalam perkataan dan

perbuatan, merendahkan diri di dalamnya, berdoa untuk mereka kepada Allah dan

meminta doa kepada mereka, dan berbuat baikkepada mereka. (Habibah,

2015:85).

Perempuan ketika sudah menikah maka hak dan tanggung jawab berada di

suami. Oleh karena itu, perempuan harus mendengarkan perkataan dan patuh

kepada suami. Tugas seorang perempuan sebagai istri berdasarkan Al-Qur’an

surat An-Nisa ayat 34 yaitu, melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk melayani

suami, kedua, menjaga barang suami, rumah tangga, dan harta suami ketika suami

tidak berada dirumah, ketiga yaitu menjaga rahasia suami (Warsito, 2013: 152-

153).
31

Akhlak perempuan terhadap suami yaitu melayani suami, dan menjaga

barang suami.Sebagaimana syariat Islam memerintahkan suami untuk berakhlak

baik kepada istrinya, demikian juga sebaliknya Islam pun memerintahkan istri

untuk berakhlak dengan baik terhadap suaminya, karena hak suami terhadapnya

sangat besar, dan mentaatinya merupakan kewajiban selama tidak bertentangan

dengan perintah Allah (Maulida, 2014:739)

2. Akhlak Perempuan Terhadap Allah

Akhlak kepada Allah SWT yaitu sikap atau perbuatan yang seharusnya

dilakukan manusia sebagai makhluk kepada tuhan sebagai khalik. Manusia

memiliki banyak cara dalam berakhlak kepada Allah diataranya taat kepada Allah

yaitu menjalankan perintah Allah serta menjauhi segala larangan Allah, dan

tawadu kepada Allah, karena Allah menciptakan manusia untuk menyembah

kepada-Nya atau beribadah kepada-Nya, cinta kepada Allah dan Dzikirullah yaitu

dzikir kepada Allah.

Termasuk cakupan bentuk akhlak kepada Allah adalah dengan

mengagungkan-Nya, dan tidak mendahului atau menyelisihi-Nya dalam

menentukan perkara halal dan haram; tidak bermaksiat terhadap-Nya baik ketika

sendiri maupun di tengah orang banyak, menerapkan akhlak mulia sebagaimana

ketika menerapkannya terhadap makhluk, dan melaksanakan ibadah kepada-Nya

dengan memperhatikan adab-adabnya (Maulida, 2014:724).

3. Akhlak Perempuan Kepada Masyarakat

Ketika berada dalam lingkungan masyarakat harus saling menghormati

dan menjaga ketentraman satu sama lain misalnya jangan mengganggu

ketentraman antar tetangga seperti berteriak yang membuat keributan,


32

mengumpat, dan mengadu satu sama lain yang menimbulkan fitnah, tidak bisa

dipungkiri bahwa yang paling banyak mengundang fitrah dari kalangan ibu-ibu

karena terlalu sering berinteraksi.

Bentuk akhlak mulia yang harus dimiliki seorang perempuan terhadap

masyarakat di antaranya adalah menyambung tali silaturahim, hidup rukun antar

tetangga, saling tolong menolong, memberikan bantuan harta dan memenuhi

kebutuhannya, menjauhkan bahaya darinya, berwajah ceria ketika bertemu

dengannya, mendoakannya, berkunjung ke rumahnya, lemah lembut,

menghormati dan memuliakannya, serta melakukan segala hal yang dianggap

baik. Semua itu terangkum dalam satu makna, yaitu memberikan kebaikan yang

mampu diberikan, dan menjauhkan bahaya dari dirinya (Maulida, 2014:743).

4. Akhlak Perempuan Terhadap Laki – laki yang Bukan Muhrim

Perempuan dilarang keluar dari rumahnya dengan perhiasan yang menarik

agar dilihat oleh laki – laki dan tidak wajib bagi perempuan memakai wangi –

wangian ketika berjalan keluar sampai wanginya di cium oleh laki – laki. Akhlak

perempuan terhadap laki-laki yang bukan muhrim yaitu menjaga pandangan,

Jangan berlebihan memakai parfum karena akan menimbulkan dosa zina.

Sementara zina sesuatu yang di benci oleh Allah. Oleh karena itu, akhlak

perempuan yang baik yaitu menjaga dirinya agar terhindar dari perbuatan zina.

Selain itu, islam juga mengatur cara bertemu laki - laki dan perempuan yang

bukan muhrim.

Terdapat rambu-rambu syariat seputar menjaga kemuliaan dan kehormatan

seorang wanita dalam bergaul dengan lawan jenis. Shalih bin Fauzan

menerangkan dalam fiqih wanita bahwa seorang wanita di perintahkan untuk


33

menundukkan pandangan sebagaimana laki-laki di perintahkan. Wanita juga tidak

boleh bepergian tanpa adanya mahram, karena dengan adanya mahram dapat

melindungi diri dari perbuatan amoral. Selain itu dalam menjaga kemaluan

terdapat juga larangan seorang wanita berkhalwat dengan laki-laki yang bukan

mahram. Terakhir, dalam fiqih wanita disebutkan larangan untuk berjabat tangan

antara laki-laki dan perempuan karena ditakutkan akan terjadi tindakan asusila di

antara mereka (Anbi’a, 2017:02).

Akhlak kepada laki-laki yang bukan muhrim yaitu dianjurkan wanita

menudukkan pandangan kepada laki-laki kecuali suami. Hal ini akan

membahayakan diri perempuan jika dipandang oleh laki-laki dan akan

menimbulkan perbuatan nyeleweng ke arah keadaan yang diharamkan. Namun

demikian, seorang anak perempuan boleh memandang ayahnya akan tetapi tidak

boleh bercumbu dengan anak karena hal ini di larang, begitu juga seorang mertua

laki-laki di haramkan memandang istri anaknya dengan nafsu ((Muthahhari, 1989:

99).

Anda mungkin juga menyukai