Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

METODE PENELITIAN AL-QURAN DAN TAFSIR


“Metode Penelitian Tematik Al-Quran”

Dosen Pengampu:
Nurma Yunita, M.Th
Disusun oleh:
Kelompok 2
1. Annisa Maghfira 21651006
2. Meyti Yansih 21651010

PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI CURUP
2024 M/ 1445 H
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Al-Qur’an adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada nabi Muhammad
saw melalui perantara malaikat jibril secara mutawatir. Di dalam al-qur’an sendiri tidak
semua ayat adalah muhkaam (tidak perlu penafsiran), namun ada juga yang mutasyabih
(perlu penafsiran). Bahkan jika kita telaah lebih lanjut. Antara ayat yang muhkam dan
mutasyabih, maka disitu ayat-ayat mutasyabih lebih banyak dibandingkan dengan ayat-
ayat yang muhkam. Oleh karena itu, karena alQur’an adalah sumber hukum utama bagi
kita umat islam, serta sebagai pedoman dalam hidup, maka haruslah bagi kita untuk bisa
mengetahui arti atau kandungan yang ada di al-Our’an baik itu mengenai yang muhkum
maupun mutasyabih. Dalam menafsirkan ayat-ayat yang mutasyabih. Tentu para mufassir
menggunakan metode-metode penafsiran. Diantara metode penafsiran yang umum
dipakai oleh para mufassir ada 4 yaitu, 124/1// (terperinci).ijmali (global).
Maudhu’i(tematik). Dan muqaran (perbandingan). Dalam makalah ini, kami tidak akan
menjabarkan penjelasan semua metode diatas, akan tetapi hanya memaparkan atau
mengkosentrasikan untuk metode penafsiran yang maudhu’i (tematik) saja. Semoga
dengan dibuatnya makalah ini kita dapat memahami bagaimana ciri-ciri maupun corak
serta metode-metode yang digunakan dalam metode tafsir maudhu’i.

B. Rumusan Masalah
Dari pendahuluan di atas dapat ditemukan rumusan masalah, dalam makalah ini
kita akan mengetahui lebih lanjut tentang apa itu metodologi penelitian tematik? Contoh
penafsiran nya, dan hakikat penelitian tematik Al-Qur’an.
BAB II

PEMBAHASAN

1. Hakikat Penelitian Tematik Al-Quran

Penelitian al-Qur an dengan metode tematik (Dirasah al-Maudhu'iyyah) ini biasa


dilakukan oleh kalangan akademik dalam melakukan sebuah penelitian berbasis tema,
seorang peneliti akan mengambil tema tertentu yang dianggap menarik yang ada dalam
al-Our an, karna bagaimanapun sebuah permasalahan yang ada di dunia, baik teologhi,
hukum, etika, sosial, pendidikan, politik, budaya, ekologi ataupun permasalahn yang lain,
maka akan terjawab dalam al-Qur'an, permasalahannya orang itu mampu atau tidak
menemukannya, oleh sebab itu dikalangan ilmuan para pengkaji al-Qur an berusaha
dalam melakukannya dengan cara metode ini yakni metodologi tafsir maudhu'i.

Pertanyaanya mengapa metode penelitian tematik ini dianggap menarik dikalangan


akademisi? Maka ketika berbicara metodologi berarti berbicara tentang proses bagaimana
sebuah penelitian itu akan dilakukan sehingga menemukan hasil yang ideal, penelitian
model tematik biasanya dipilih karna berbagai alasan, diantanya:

a. Kitabnya para ulama tafsir yang ditemukan itu kebanyakan lebih mengedepankan tafsir
yang utuh 30juz, schingga banyak dikalangan akademik itu kesulitan jika langsung
memahami tafsir dengan setebal itu, oleh karna itu mereka lebih memilih topik tertentu
yang dijadikan penelitian, apalagi untuk ukuran zaman sekarang banyak permasalahan
baru yang perlu dicarikan jawaban dan solusinya.

b. Gagasan tentang tema dalam al-Our'an itu bisa menjadi kesatuan dalam seluruh ayat al-
Our'an, walaupun hanya satu tema akan tetapi dengan tema itulah pemahamannya
menjadi utuh dan komprehensif.
2. Tujuan Penelitian Tematik Al-Quran

Tujuan penelitian tematik atau maudhui Alquran adalah untuk mencari jawaban al-
Qur'an dengan cara mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai tujuan yang
satu, yang bersama-sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai
dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya. Metode ini juga
mengistimbatkan hukum-hukum dan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing,
serta terdapat perbedaan dalam pelaksanaannya. Namun, dalam aplikasinya metode-
metode ini sebaiknya disesuaikan dengan situasi dan kondisi, sehingga dapat memberikan
manfaat

3. Metode Penelitian Tematik Al-Quran

Metode tafsir maudhu'i atau menurut Muhammad Bagir al-Shadr sebagai metode al-
Taukhidiy adalah metode tafsir yang berusaha mencari jawaban al-OGur'an dengan cara
mengumpulkan ayat-ayat al-Qur'an yang mempunyai tujuan yang satu, yang bersama-
sama membahas topik/judul tertentu dan menertibkannya sesuai dengan masa turunnya
dan selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian pemperhatikan ayat-ayat tersebut
dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubunganhubungannya dengan
ayat-ayat yang lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum.

Dari pengertian tersebut dapat difahami bahwa yang dimaksud dengan metode tafsir jenis
ini adalah tafsir yang menjelaskan beberapa ayat alOur'an mengenai suatu judul/tema
tertentu, dengan memperhatikan urutan tertib turunnya masing-masing ayat, sesuai
dengan sebab-sebab turunnya yang dijelaskan dengan berbagai macam keterangan dari
segala seginya dan diperbandingkannya dengan keterangan berbagai ilmu pengetahuan
yang benaryangmembahas topik/tema yang sama, sehinggalebih mempermudah dan
memperjelas masalah, karena al-Gur'an banyak mengandung berbagai macam tema
pembahasan yang perlu dibahas secara maudhu'i, supaya pembahasannya bisa lebih
tuntas dan lebih sempurna (Ichwan, 2004: 121-122)
Dari definisi metode maudhu'i, sekurang-kurangnya ada dua langkah pokok dalam proses
penafsiran secara maudhu'i:

4. Contoh Penelitian Tematik Al-Quran

1. a. Mengumpulkan ayat-ayat yang berkenaan dengan satu maudhu' tertentu dengan


memperhatikan masa dan sebab turunnya.

b. Mempelajari ayat-ayattersebutsecara cermat dengan memperhatikan nisbat (korelasi)


satu dengan yang lainnya dalam peranannya untuk menunjuk pada permasalahan yang
dibicarakan. Akhirnya, secara induktif suatu kesimpulan dapat dimajukan yang ditopang
oleh dilalah ayat-ayat itu (Syafe'i, 2006: 293-294).

Penggunaan metode ini biasanya sebagai respon mufassirnya atas persoalan yang butuh
"pandangan" al-Our'an. Metode maudhu'i ini sementara waktu dianggap paling baik dan
sesuai dengan tuntutan zaman. Pembahasannya yang menyeluruh dari berbagai segi
memungkinkan metode ini dalam pemecahan masalahnya berusaha tuntas. Apalagi jika
penggarapannya dilakukan oleh ahli dalam bidang yang ditafsikan, atau gabungan dari
ahli-ahli untuk melihat berbagai segi sebelum menyimpulkannya (Maswan, 2002: 31).

a. Mengumpulkan ayat-ayat yang berhubungan dengan anak yatim sekaligus


mengelompokkan ayat-ayat trsebut ke dalam Makkiyyah dan Madaniyah. Makkiyyah
sebanyak 5 ayat dan Madaniyah sebanyak 17 ayat.

b. Bertitik tolak dari ayat-ayat yang terkumpul itu, di tetapkan subsubbahasan.


Pembahasan tentang pemeliharaan anak yatim berdasarkan ayat-ayat Makkiyyah
dipisahkan menjadi 2 bagian, yaitu:

1) Pemeliharaan diri/fisik anak yatim , membahas 4 ayat.

2) Masalah harta anak yatim, 1 ayat.


Adapun pembahasan anak yatim berdasarkan ayat-ayat Madaniyah,

terbagi ke dalam tiga subbahasan, yaitu:

1) Pentingnya pembinaan akhlak dan pendidikan anak yatim menurut

Al-Our'an, membahas 4 ayat.

2) Pemeliharaan harta anak yatim, 9 ayat.

3) Perintah berinfak kepada anak yatim, 4 ayat.

c. Pada tahap pembahsan, Al-Farmawi kelihatannya memperhatikan masa turunnya surah


dan urutan ayat-ayat jika kebetulan terdapat beberapa ayat dalam satu surah yang sedang
dibahas.

Munasabah (korelasi) antara ayat dengan ayat disajikan dalam suatu kaitan yang rasional,
historis, dan semangat pedagogis. Hal tersebut dapat kita rasakan misalnya sewaktu
mengikuti penyajian yang cukup menarik tentang hubungan tiga ayat Makkiyah, yaitu:
(su uu sam sii) (ayat 6 surah ad-Dhuha), suatu pernyataan kepada Nabi yang cukup
menggugah bila dihubungkan dengan latar belakang Nabi:,suatu sikap yang dituntut
untuk menghormati atau menyayangi anak yatim, sedangkan ayat yang ketiga berbunyi
(surah al-Fajr ayat 17). Semacam kecaman Tuhan yang ditunjukkan kepada orang yang
berupaya, tetapi tidak merasa penting untuk mengurus anak yatim. Ayat yang ketiga ini
sangat menggugah perasaan orang banyak untuk segera mengurus anak yatim, sehinnga
mereka segera bertanya kepada Rasulullah apa yang seharusnya mereka perbuat. jawaban
dari pertanyaan itu diberikan Allah pada surah Madaniyah: (ayat 220 surah al-Baqarah

Secara keseluruhan, pembahasan tertuju pada usaha menemukan jawaban oleh ayat
terhadap masalah anak yatim. Dalam contoh ini, kita hanya menemukan penjelasan-
penjelasan yang diperlukan untuk keperluan penekanan (stressing) tertentu. Penjelasan
tersebut ada kalanya dengan menemukan hadits Nabi, kutipan-kutipan atau pendapat
mufasir sendiri, antara lain seperti berikut, yaitu:

Memberikan penjelasan mengenai firman Allah dalam surah an-Nisa' ayat 5: Al-Farmawi
menerangkan bahwa pemakaian kata “fi'ha" bukan “minha" pada ayat ini menunjukkan
bahwa pemeliharaan yatim hendaklah membiayai kehidupan anak yatim asuhannya yang
Secara keseluruhan, pembahasan tertuju pada usaha menemukan jawaban oleh ayat
terhadap masalah anak yatim. Dalam contoh ini, kita hanya menemukan penjelasan-
penjelasan yang diperlukan untuk keperluan penekanan (stressing) tertentu. Penjelasan
tersebut ada kalanya dengan menemukan hadits Nabi, kutipan-kutipan atau pendapat
mufasir sendiri, antara lain seperti berikut, yaitu:

Memberikan penjelasan mengenai firman Allah dalam surah an-Nisa' ayat 5: Al-Farmawi
menerangkan bahwa pemakaian kata “fi'iha” bukan "minha” pada ayat ini menunjukkan
bahwa pemeliharaan yatim hendaklah membiayai kehidupan anak yatim asuhannya yang
bukan diambil dari harta asal, tetapi dari harta asal anak yatim yang diamanahkan
kepadanya. Pengertian tersebut sesuai dengan hadits Nabi yang berbunyi:

Di akhir tulisan, kesimpulan yang didapat adalah menggambarkan masyarakat Islam yang
bersatu dan saling menolong, seperti sebuah bangunan yang kokoh atau laksana sebuah
tubuh. Masyarakat yang bebas dari dengki dan tidak mengabaikan kehidupan dan nasib
serta pendidikan anak yang tidak punya ayah. Hal itu sekaligus menutup pintu terhadap
kerusakan masyarakat (Syafe'i, 297-300)

2. Perintah Untuk Makan


Menarik untuk disimak bahwa bahasa Al-Qur'an menggunakan kata dalam berbagai
bentuk untuk menunjuk pada aktivitas"makan", Tetapi kata tersebut tidak digunakannya
semata-mata dalam arti "memasukkan sesuatu ke tenggorokan", tetapi iaberarti juga
segala aktivitas dan usaha. Perhatikan misalnyasurat Al-Nisa 14): 4:
Dan serahkanlah mas kawin kepada wanita-wanita, sebagai pemberian dengan penuh
ketulusan Kemudian jika mereka memerahkan kepadamu sebagian dari mas kanin itu
dengan senang hati maka makanlah (ambil gunakankah) pembertan itu, (sebagai
makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

Diketahui oleh semua pihak bahwa mas kawin tidak harus bahkantidak lazim berupa
makanan, namun demikian ayat inimenggunakan kata "makan" untuk penggunaan mas
kawin tersebut.Firman Allah dalam surat Al-An'am (61: 121)

Dan janganlah makan yang tidak disebut nama Allah atasnya (kerika menyembelihnya)

Penggalan ayat ini dipahami oleh Syaikh Abdul Halim Mahmud —mantan Pemimpin
Tertinggi Al-Azharsebaga larangan untuk melakukan aktivitas apa pun yang tidak disertai
nama Allah. Ini disebabkan karena kata "makan" di sini dipahami dalam arti luas yakni
"segala bentuk aktivitas". Penggunaan kata tersebut — untuk arti aktivitas, seakan-akan
menyatakan — bahwa aktivitasmembutuhkan kalori, dan kalori diperoleh melalui
makanan.

Boleh jadi menarik juga untuk dikemukakan bahwa semua ayatyang didahului oleh
panggilan mesra Allah untuk ajakan makan.baik yang ditujukan kepada seluruh manusia:
Ya ayyuhan nas.kepada Rasul: Ya ayyuhar Rasul. maupun kepada orang-orangmukmin:
ya ayyuhal ladzina amanu, sclalu dirangkaikan dengankata halal atau dan thayyibah
(baik). Ini menunjukkan bahwamakanan yang terbaik adalah yang memenuhi kedua
sifattersebut. Selanjutnya ditemukan bahwa dan sembilan ayat yangmemenntahkan
orangorang Mukmin untuk makan, lima diantaranya dirangkaikan dengan kedua kata
tersebut. ' Dua dirangkaikan dengan pesan mengingat Allah dan membagikanmakanan
kepada orang melarat dan butuh, sekali dalam konteks memakan sembelihan yang disebut
nama Allah ketikamenyembelihnya, dan sekali dalam konteks berbuka puasa.
Mengingat Allah dan menyebut nama-Nya --baik ketika berbukapuasa maupun
selainnyadapat mengantar sang Mukmin mengingatpesan-pesan-Nya."
BAB III
PENUTUP
A. Penutup
Dari seluruh penjelasan diatas dapat kita simpulkan bahwa pada intinya
penafsiran dalam metode maudhu’i (tematik) adalah metode tafsir dengan menggunakan
jcnis tema terientu yang diambil. Jika misalnya ada keinginan untuk mengetahui metode
tafsir maudhu’i. Maka cara mencarinya adalah dengan mengumpulkan semua ayat ayat
yang berhubungan dengan makan. Setelah itu baru dihubungkan. Oleh karena itu metode
tafsir maudhu’i ini juga disebut dengan metode tafsir tematik. Karena mengangkat suatu
permasalahan berdasarkan tema yang ada. Adapun kelebihan dan kekurangan tafsir
maudhu’i sudah terdapat dalam penjelasan dimas. Menuru pemakalah sendiri dalam tafsir
maudhu’i akan lebih mudah dalam menyelesaikan suatu permasalahan, oleh karena itu
kita disarankan ntuk menggunakan tafsir maudhu’i. Namun dalam pengumpulan ayat-
ayat yang berhubungan dengan suatu tema tidak menghabiskan waktu yang sebentar,
sehingga hanya untuk persianan saja kita butuh waktu yang tidak sebentar.
B. Saran
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca dan kami harapkan kritik dan
saran untuk makalah yang kami rasa masih perlu di perbaiki. Dan kami sharapkan
informasi di makalah ini tidak hanya sebatas di makalah ini. Semoga teman teman dapat
mencari informasi di sumber yang lain.

Anda mungkin juga menyukai