Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH ETIKA DAN UNDANG-UNDANG FARMASI

TUGAS 4

PERKEMBANGAN PRAKTEK KEFARMASIAN

Dosen Pengampu : Hijrah S.Si.,M.Kes., Apt

Disusun Oleh :

Nama : Zuleka Almira

NPM :173110212

Kelas : 6G

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS TULANG BAWANG

LAMPUNG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis mengucapkan kehadirat ALLAH SWT yang telah


melimpahkan rahmat dan karunianya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan Tugas 4 Etika Dan Undang-Undang Farmasi

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua


pihak yang telah membantu terwujudnya makalah ini. Penulis menyadari bahwa
dalam penyusunan tugas ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis
mengharapkan kritikan dan saran yang membangun dari pembaca demi
penyempurnaan tugas ini, semoga tugas ini dapat dimanfaatkan sebagaimana
mestinya.

Bandar Lampung, 3 mei 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1


1.1 Latar belakang ............................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................... 1
1.3 Tujuan ........................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 3
2.1 Peraturan Perundang-Undangan Tentang Farmasi ....................................... 3
2.2 Peraturan Tentang Produk Farmasi ............................................................. 4
2.3 Narkotika.................................................................................................... 5
2.4 Psikotropika ............................................................................................... 6
2.5 Obat Tradisional ......................................................................................... 7
2.5 Kosmetik Dan Pangan ................................................................................ 8
BAB III PENUTUP .......................................................................................... 10
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 10
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Pembangunan bidang kesehatan pada dasarnya ditujukan untuk


meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang
untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur
kesejahteraan sebagaimana diamanatkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tenaga Kefarmasian sebagai salah satu
tenaga kesehatan pemberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat mempunyai
peranan penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan, khususnya
Pelayanan Kefarmasian. Sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi di bidang kefarmasian telah terjadi pergeseran orientasi Pelayanan
Kefarmasian dari pengelolaan obat sebagai komoditi kepada pelayanan yang
komprehensif (pharmaceutical care) dalam pengertian tidak saja sebagai pengelola
obat namun dalam pengertian yang lebih luas mencakup pelaksanaan pemberian
informasi untuk mendukung penggunaan obat yang benar dan rasional,
monitoring penggunaan obat untuk mengetahui tujuan akhir serta kemungkinan
terjadinya kesalahan pengobatan (medication error). Perangkat hukum yang
mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian dirasakan belum memadai, selama
ini masih didominasi oleh kebutuhan formal dan kepentingan Pemerintah, dan
belum memberdayakan Organisasi Profesi dan pemerintah daerah sejalan dengan
era otonomi. Sementara itu berbagai upaya hukum yang

Dilakukan dalam memberikan perlindungan menyeluruh kepada


masyarakat sebagai penerima pelayanan, dan Tenaga Kefarmasian sebagai
pemberi pelayanan telah banyak dilakukan, akan tetapi dirasakan masih belum
memadai karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang
sangat cepat tidak seimbang dengan perkembangan hukum. Dalam rangka
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, untuk meningkatkan,
mengarahkan dan memberi landasan hukum serta menata kembali berbagai
perangkat hukum yang mengatur penyelenggaraan praktik kefarmasian agar dapat
berjalan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka
perlu mengatur Pekerjaan Kefarmasian dalam suatu peraturan pemerintah.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari pembuatan makalah adalah sebagai berikut :

1
1. Apa saja Peraturan Perundang-Undangan dalam bidang farmasi ?

2. Apa saja peraturan tentang produk farmasi ?

3. Apa yang di maksud dengan narkotika ?

4. Apa yang di maksud dengan psikotropika ?

5. Apa yang di maksud dengan obat tradisional ?

6. Apa yang di maksud dengan kosmetik dan pangan ?

1.3 Tujuan

1. Dapat menjelaskan peraturan perundang-undangan dalam bidang farmasi

2. Dapat menjelaskan peraturan tentang produk farmasi

3. Dapat menjelaskan pengertian narkotika

4. Dapat menjelaskan pengertian psikotropika

5. Dapat menjelaskan obat tradisional

6. Dapat menjelaskan kosmetik dan pangan

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Peraturan Perundang-Undangan Tentang Farmasi

Beberapa peraturan perundang-undangan yang langsung berhubungan dengan


bidang farmasi adalah :

1. Undang-undang No.7 Tahun 1963 tentang farmasi, mengatur tentang


usaha-usaha, penguasaan perbekalan kesehatan dibidang farmasi yang
berbahaya, obat asli indonesia serta usaha swasta

2. Peraturan pemerintah No. 36 Tahun 1964 tentang pendaftaran ijazah,


pemberian izin menjalankan pekerjaan dokter / dokter gigi / apoteker.

3. PP No. 25 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah


Nomor 26 Tahun 1965 Tentang Apotik

4. PP No. 41 Tahun 1990 Tentang Masa Bakti Dan Izin Kerja Apoteker

Peraturan ini mengatur ketentuan menyangkut definisi, tugas, fungsi, dan


pengelolaan apotik. Khusus mengenai terakhir adalah sangat penting, karena
menggariskan dengan jelas bahwa apotik hanya dapat diusahakan oleh 3 (tiga)
unsur, yakni lembaga / instansi pemerintah dan juga oleh apotekar yang telah
mengucapkan sumpah dan telah memperoleh izin kerja dari Menteri kesehatan
Republik Indonesia.

5. Undang-undang republik indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang


kesehatan, Bagian Kesebelas “Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan” pasal 39-43

6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 Tentang


Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan

7. Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 704 / Ph/63/b mengenai


ketentuan penyimpanan resep-resep (selama 3 tahun) cara pemusnahanya

8. Undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, dalam undang


kesehatan ini mengatur tentang peredaran sedian farmasi dan peralatan
kesehatan, serta pemidanaanya.

3
9. PP No.51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan Kefarmasian , mengatur tentang
penyelenggaraan pekerjaan kefarmasian, Pekerjaan Kefarmasian Dalam
Pengadaan serta Produksi Sediaan Farmasi, Pekerjaan Kefarmasian Dalam
Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi, Pelaksanaan Pekerjaan
Kefarmasian Pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Rahasia Kedokteran
Dan Rahasia Kefarmasian, Kendali Mutu dan Kendali Biaya, tenaga
kefarmasian, pembinaan dan pengawasan, ketentuan peralihan

10. Peraturan menteri kesehatan republik indonesia nomor 26 tahun 2018


tentang pelayanan perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik sektor
kesehatan

2.2 Peraturan Tentang Produk Farmasi

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun 1998 Tentang


Pengamanan Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan, pada peraturan ini sudah jelas
mengenai produksi hingga obat tersebut ditarik dari masyarakat bahkan tertera
hukuman pidana bagi pelanggar yang dengan sengaja memproduksi atau
mengedarkan sediaan farmasi tanpa izin.

Persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1) untuk:

a. sediaan farmasi yang berupa bahan obat dan obat sesuai dengan persyaratan
dalam buku Farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh Menteri; 3

b. sediaan farmasi yang berupa obat tradisional sesuai dengan persyaratan dalam
buku Materia Medika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri;

c. sediaan farmasi yang berupa kosmetika sesuai dengan persyaratan dalam buku
Kodeks Kosmetika Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri;

d. alat kesehatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri

Pasal 5 (1)

Produksi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus dilakukan dengan cara produksi
yang baik.

Pasal 9 (1)

Sediaan farmasi dan alat kesehatan hanya dapat diedarkan setelah memperoleh
izin edar dari Menteri.

Pasal 12

Pengujian sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan melalui:

4
a. pengujian laboratoris berkenaan dengan mutu sediaan farmasi dan alat
kesehatan;

b. penilaian atas keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Pasal 13

(1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang lulus dalam pengujian diberikan izin
edar.

(3) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak lulus dalam pengujian diberikan
surat keterangan yang menyatakan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang
bersangkutan tidak memenuhi persyaratan untuk diedarkan

Pasal 24

(1) Pengemasan sediaan farmasi dan alat kesehatan dilaksanakan dengan


menggunakan bahan kemasan yang tidak membahayakan kesehatan manusia
dan/atau dapat mempengaruhi berubahnya persyaratan mutu, keamanan, dan
kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Pasal 41

Penarikan kembali sediaan farmasi dan alat kesehatan dari peredaran karena
dicabut izin edarnya dilaksanakan oleh dan menjadi tanggung jawab badan usaha
yang memproduksi dan/atau mengedarkan sediaan farmasi dan alat kesehatan.

Pasal 74-79

Ketentuan pidana

2.3 Narkotika

Narkotika, menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009


tentang Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan
atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan
rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Pasal 6 ayat (1) UU Narkotika, narkotika digolongkan ke dalam:

a) Narkotika golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk


tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan;[1]

b) Narkotika golongan II, adalah narkotika berkhasiat pengobatan digunakan


sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk

5
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi
mengakibatkan ketergantungan;[2] dan

c) Narkotika golongan III, adalah narkotika berkhasiat pengobatan dan


banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan

Jika melihat ke dalam Lampiran Permenkes 50/2018, berikut contoh jenis


narkotika berdasarkan golongannya, antara lain:

a) Narkotika golongan I : opium mentah, tanaman koka, daun koka, kokain


mentah, heroina, metamfetamina, dan tanaman ganja;

b) Narkotika golongan II : ekgonina, morfin metobromida, dan morfina;

c) Narkotika golongan III : etilmorfina, kodeina, polkodina, dan propiram.

2.4 Psikotropika

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang


Psikotropika. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku

Pasal 2 ayat (2) UU Psikotropika, Psikotropika digolongkan ke dalam

a) Golongan I, mempunyai potensi yang sangat kuat dalam menyebabkan


ketergantungan dan dinyatakan sebagai barang terlarang. Contoh: ekstasi
(MDMA= 3,4-methylenedeoxy methamfetamine), LSD (lysergic acid
diethylamid), dan DOM.

b) Golongan II, mempunyai potensi yang kuat dalam menyebabkan


ketergantungan. Contoh: amfetamin, metamfetamin (sabu), dan fenetilin.

c) Golongan III, mempunyai potensi sedang dalam menyebabkan


ketergantungan, dapat digunakan untuk pengobatan tetapi harus dengan
resep dokter. Contoh: amorbarbital, brupornorfina, dan magadon (sering
disalahgunakan).

d) Golongan IV, mempunyai potensi ringan dalam menyebabkan


ketergantungan, dapat digunakan untuk pengobatan terapi harus dengan
resep dokter. Contoh: diazepam, nitrazepam, lexotan (sering

6
disalahgunakan), pil koplo (sering disalahgunakan), obat penenang
(sedativa), dan obat tidur (hipnotika)

2.5 Obat Tradisional

Peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan republik indonesia


nomor 12 tahun 2014 tentang persyaratan mutu obat tradisional. Pasal 1 ayat 1
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat

Pasal 1 ayat 5 Simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang
digunakan untuk pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali
dinyatakan lain suhu pengeringan tidak lebih dari 60 derajat celcius.

Berdasarkan keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.4.2411


tentang ketentuan pokok pengelompokan dan penandaan obat bahan alam
Indonesia, obat tradisional dikelompokan menjadi tiga, yaitu jamu, obat herbal
terstandar, dan fitofarmaka.

a) Jamu (Emperical Based Herbal Medicine)

Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 003 / MenKes / Per / I / 2010,


jamu adalah obat tradisional Indonesia yang menggunakan bahan atau ramuan
bahan yang mengandung bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan
sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang digunakan untuk
pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di
masyarakat

b) Obat Herbal Terstandar (Standarized Based Herbal Medicine)

Dalam pasal 1 peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan republik
indonesia nomor : hk.00.05.41.1384 Obat herbal terstandar adalah sediaan obat
bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan
uji praklinik dan bahan bakunya telah di standarisasi

c) Fitofarmaka (Clinical Based Herbal Medicine)

Dalam pasal 1 peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan republik
indonesia nomor : hk.00.05.41.1384 Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam
yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik
dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi.

7
2.5 Kosmetik Dan Pangan

Regulasi

1.Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175/Men.Kes/Per/VIII/2010 tentang Izin


Produksi Kosmetik

2. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor


HK.03.1.23.12.11.10689 Tahun 2011 tentang Bentuk dan Jenis Sediaan
Kosmetika Tertentu yang dapat Diproduksi oleh Industri Kosmetika yang
Memiliki Izin Produksi Golongan B

3. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor


HK.00.05.4.3870 Tahun 2003 tentang Pedoman Cara Pembuatan Kosmetika yang
Baik

4. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor


HK.03.42.06.10.4556 Tahun 2010 tentang Petunjuk Operasional Pedoman Cara
Pembuatan Kosmetika yang Baik

5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1176/Men.Kes/Per/VIII/2010 tentang


Notifikasi Kosmetik

6.Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor


HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 tentang Kriteria dan Tata Cara Pengajuan
Notifikasi Kosmetika sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan
Pengawas Obat dan Makanan Nomor 34 Tahun 2013

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1176/Menkes/Per/VIII/2010 tentang


Notifikasi Kosmetika, Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan
untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir
dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama
untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki
bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1175/Men.Kes/Per/VIII/2010 tentang Izin


Produksi Kosmetika. Industri Kosmetika yang akan membuat kosmetika
kosmetika harus memiliki memiliki izin produksi produksi.

Izin produksi industri kosmetika dibedakan menjadi 2 golongan :

a) Golongan A dapat membuat semua jenis kosmetika

b) Golongan B dapat membuat jenis dan sedian kosmetika tertentu dengan


menggunakan teknologi sederhana

Izin edar kosmetik berlaku 5 tahun. Bentuk sediaan industri kosmetik

8
a) Padat : sabun, lipstik, garam mandi, deo stik, rempahrempah,bedak dingin,
stik

b) Gel

c) Pasta

d) Serbuk dapat berupa serbuk tabur atau serbuk kompak

e) Setengah padat (pomade)

f) Krim

g) Cairan kental

h) Aerosol

i) Suspensi

Persyaratan teknis kosmetika diatur dalam Perka Badan POM RI No.


HK.03.1.23.12.10.12459 Tahun 2010 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika dan
Bahan kosmetika diatur dalam Keputusan Kepala Badan POM RI No.
HK.03.1.23.08.11.07517 Tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Bahan
Kosmetika

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Peraturan Perundang-Undangan Tentang Farmasi dibahas dalam beberapa


peraturan perundang-undangan. Narkotika, menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang
dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997 Tentang


Psikotropika. Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika, yang berkasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku

Peraturan kepala badan pengawas obat dan makanan republik indonesia


nomor 12 tahun 2014 tentang persyaratan mutu obat tradisional. Pasal 1 ayat 1
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan
tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat
diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1176/Menkes/Per/VIII/2010 tentang


Notifikasi Kosmetika, Kosmetika adalah bahan atau sediaan yang dimaksudkan
untuk digunakan pada bagian luar tubuh manusia (epidermis, rambut, kuku, bibir
dan organ genital bagian luar) atau gigi dan membran mukosa mulut terutama
untuk membersihkan, mewangikan, mengubah penampilan dan/atau memperbaiki
bau badan atau melindungi atau memelihara tubuh pada kondisi baik

10
DAFTAR PUSTAKA

1. http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_41_1990.htm

2. https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/72042/pp-no-36-tahun-1964

3. https://www.persi.or.id/images/regulasi/pp/pp512009.pdf

4. http://pelayanan.jakarta.go.id/download/regulasi/peraturan-pemerintah-
nomor-72-tahun-1998-tentang-pengamanan-sediaan-farmasi-dan-alat-
kesehatan.pdf

5. http://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU35-2009Narkotika.pdf

6. http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_5_97.htm

11

Anda mungkin juga menyukai