Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Tujuan Pendidikan Menengah Farmasi yang merupakan bagian dari tujuan pendidikan
nasional adalah mendidik tenaga-tenaga farmasi yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila dan UUD 1945,  memiliki integritas dan
kepribadian, terbuka dan tanggap terhadap masalah yang dihadapi masyarakat khususnya
yang berhubungan dengan bidang kefarmasian. Menurut UU no. 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional bahwa Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya dan masyarakat
Berdasarkan tujuan di atas, maka lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK)
Farmasi mampu:
1. Melakukan profesinya dalam pelayanan kesehatan pada umumnya, khususnya
pelayanan kefarmasian .
2. Berperan aktif dalam mengelola pelayanan kefarmasian dengan menerapkan
prinsip administrasi, organisasi, supervisi dan evaluasi.
3.  Berfungsi sebagai anggota masyarakat yang kreatif, produktif, bersifat
terbuka, dapat menyesuaikan diri dengan perubahan iptek dan berorientasi ke masa
depan serta mampu memberikan penyuluhan kefarmasian kepada masyarakat dengan
menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.
4.  Membantu dalam kegiatan penelitian di bidang farmasi atau di bidang
kesehatan lainnya yang terkait.
            Sekolah Menengah Kejuruan Farmasi Jayanegara sebagai bagian tak
terpisahkan dari Sistem Pendidikan Nasional juga wajib menterjemahkan
tujuan pendidikan kejuruan secara nasional menjadi tujuan pendidikan pada tingkat
kelembagaan dan/ atau sekolah.
Dalam pelaksanaan pendidikan, proses pembelajaran yang terjadi tidak terbatas di
dalam kelas saja. Pengajaran yang berlangsung pada pendidikan ini lebih ditekankan

1
pada pengajaran yang menerobos di luar  kelas, bahkan di luar institusi pendidikan
seperti lingkungan kerja atau kehidupan masyarakat. Dalam hal ini praktek kerja
lapangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem program pengajaran serta
merupakan wadah yang tepat untuk mengaplikasikan pengetahuan, sikap dan
keterampilan yang diperoleh pada Proses Belajar Mengajar (PBM).  Menurut Undang
Undang RI No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah No. 51
Tahun 2009 tentang Praktek kefarmasian, maka pekerjaan apoteker dan atau teknisi
kefarmasian/Asisten Apoteker meliputi, industri farmasi, (industri obat, obat tradisional,
makanan dan minuman, kosmetika dan alat kesehatan); Pedagang Besar Farmasi,
Apotek, Toko Obat, Rumah Sakit, Puskesmas, dan Instalasi Farmasi Kabupaten.
1.2 Tujuan PKL
1. Untuk memperkenalkan mahasiswa pada dunia usaha
2. Menumbuhkan & meningkatkan sikap profesional yang diperlukan mahasiswa untuk
memasuki dunia usaha,
3. Meningkatkan daya kreasi dan produktifitas tehadap mahasiswa sebagai persiapan
dalam menghadapi atau memasuki dunia usaha yang sesungguhnya,
4. Meluaskan wawasan dan Pandangan mahasiswa terhadap jenis-jenis pekerjaan pada
tempat dimana mahasiswa melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Apotek.
1.3 Manfaat PKL
1. Bagi mahasiswa: dapat meningkatkan wawasan keilmuan mahasiswa tentang
situasi dalam dunia kerja.
2. Bagi Program Studi:
a. Dapat menjadi tolok ukur pencapaian kinerja program studi khususnya untuk
mengevaluasi hasil pembelajaran oleh instansi tempat PKL.
b. Dapat menjalin kerjasama dengan instansi tempat PKL.
3. Bagi instansi tempat PKL:
Dapat menjadi bahan masukan bagi instansi untuk menentukan kebijakan perusahaan di
masa yang akan datang berdasarkan hasil pengkajian dan analisis yang dilakukan
siswa selama PKL

2
1.4 Teknis Praktek Kerja Lapangan (PKL)
1.4.1 Waktu
Waktu dan lamanya pelaksanaan PKL Apotek dtentukan berdasarkan
ketentuan dari pihak sekolah yaitu 1 bulan.

1.4.2 Pembimbing
Pembimbing PKL Apotek adalah pemilik sekaligus apoteker di apotek.
1.4.3 Tata tertib
a. Peserta PKL hadir di Apotek 15 menit sebelum jam kerja dimulai
b. Pakaian yang dipakai selama PKL adalah baju, celana atau rok dan
sandal .Berperilaku baik saat praktek.
c. Mematuhi semua tata tertib yang berlaku.

3
BAB II
TINJAUAN PUSAKA
2.1. Definisi Apotek
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian dalam ketentuan umum, dijelaskan bahwa apotek adalah sarana
pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Sementara
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 922/MENKES/PER/X/1993
Tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, yang dimaksud dengan
apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan
penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.
Pekerjaan Kefarmasian menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
51 tahun 2009 adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Sediaan farmasi yang dimaksud
adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan kosmetika. Dalam pengelolaannya, apotek
harus dikelola oleh Apoteker, yang telah mengucapkan sumpah jabatan dan telah
memperoleh Surat Izin Apotek (SIA) dari Dinas Kesehatan setempat
2.2. Landasan Hukum Apotek
Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan masyarakat yang diatur dalam:
a. Undang-undang Republik Indonesia No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika.
b. Undang-undang Republik Indonesia No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika.
c. Undang-undang Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan.
d. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 25 tahun 1980 tentang Perubahan
atas PP No. 26 tahun 1965 tentang Apotek.
e. Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
f. Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
g. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No.889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja
Tenaga Kefarmasian.

4
h. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia No. 922/MENKES/PER/X/1993 tentang
Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek.
i. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Apotek.
2. 3. Tugas dan Fungsi Apotek
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1980 tentang
Perubahan dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah RI Nomor 26 Tahun 1965
Tentang Apotek, tugas dan fungsi apotek adalah:
a. Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucapkan sumpah
jabatan.
b. Sarana farmasi yang melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran,
dan penyerahan obat atau bahan obat.
c. Sarana penyalur perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat yang
diperlukan masyarakat secara meluas dan merata.
d. Sebagai sarana informasi obat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya.
2.4. Persyaratan Pendirian Apotek
Suatu apotek baru dapat beroperasi setelah mendapat Surat Izin Apoteker (SIA). Surat
Izin Apoteker (SIA) adalah surat yang diberikan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
kepada Apoteker atau Apoteker yang bekerja sama dengan pemilik sarana apotek untuk
menyelenggarakan pelayanan apotek disuatu tempat tertentu (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2002).
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/MENKES/SK/X/2002 tentang Tata Cara Pemberian Izin Apotek, pada BAB IV
Pasal 6 menyebutkan persyaratan-persyaratan apotek adalah sebagai berikut :
a. Untuk mendapatkan izin apotek, Apoteker yang telah memenuhi persyaratan
baik yang bekerjasama dengan pemilik sarana atau tidak, harus siap dengan
tempat (lokasi dan bangunan), perlengkapan termasuk sediaan farmasi dan
perbekalan farmasi yang lain, merupakan milik sendiri atau milik pihak lain.
b. Sarana apotik dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan pelayanan
komoditi lain di luar sediaan farmasi.

5
c. Apotek dapat melakukan kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan
farmasi.
Persyaratan lain yang harus diperhatikan untuk mendirikan suatu apotek antara
lain:
a. Lokasi dan Tempat
Jarak minimum antara apotek tidak lagi dipersyaratkan, tetapi tetap
mempertimbangkan segi penyebaran dan pemerataan pelayanan kesehatan,
jumlah penduduk, jumlah dokter, sarana pelayanan kesehatan dan hygiene
lingkungan. Selain itu apotek dapat didirikan di lokasi yang sama dengan
kegiatan pelayanan komoditi lainnya diluar sediaan farmasi (Firmansyah,
M., 2009). Apotek harus dapat dengan mudah di akses oleh masyarakat.
Pada
halaman terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata „Apotek‟.
b. Bangunan dan Kelengkapannya
Bangunan apotek harus mempunyai luas yang memadai sehingga dapat
menjamin kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi apotek (Firmansyah,
M., 2009). Persyaratan teknis bangunan apotek setidaknya terdiri dari
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2002) :
1) Ruang tunggu pasien.
2) Ruang peracikan dan penyerahan obat.
3) Ruang administrasi.
4) Ruang penyimpanan obat.
5) Ruang tempat pencucian alat.
6) Kamar kecil (WC).
Selain itu bangunan apotek harus dilengkapi dengan (Menteri Kesehatan
Republik Indonesia, 2002):
1) Sumber air yang memenuhi persyaratan kesehatan.
2) Penerangan yang cukup sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas
dan fungsi apotek.
3) Alat pemadam kebakaran minimal dua buah yang masih berfungsi
dengan baik.
4) Ventilasi dan sistem sanitasi yang memenuhi persyaratan hygiene
lainnya.

6
5) Papan nama apotek, yang memuat nama apotek, nama APA, nomor
Surat Izin Apotek (SIA), alamat apotek dan nomor telpon apotek (bila
ada).
c. Perlengkapan Apotek (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2002)
Perlengkapan yang harus tersedia di apotek adalah:
1) Alat pembuatan, pengolahan, dan peracikan, seperti timbangan, mortar,
dan gelas ukur.
2) Perlengkapan dan alat penyiumpanan perbekalan farmasi seperti lemari
obat dan lemari pendingin.
3) Wadah pengemas dan pembungkus seperti plastik pengemas dan kertas
perkamen.
4) Tempat penyimpanan khusus narkotika, psikotropik, dan bahan
beracun.
5) Alat administrasi seperti blanko pesanan obat, faktur, kuitansi, kartu
stok, dan salinan resep.
6) Buku standar yang diwajibkan antara lain Farmakope Indonesia.
d. Tenaga Kerja atau Personalia Apotek
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
889/MENKES/PER/V/2011, tenaga kefarmasian adalah tenaga yang
melakukan pekerjaan kefarmasian yang terdiri atas apoteker dan tenaga
teknis kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai
Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Tenaga teknis
kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalankan
pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya
Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga menengah Farmasi atau Asisten
Apoteker.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/2002, personil apotek terdiri dari:
1) Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah apoteker yang telah memiliki
Surat Izin Apotek.
2) Apoteker Pendamping adalah apoteker yang bekerja di apotek di samping
APA dan atau menggantikan pada jam-jam tertentu pada hari buka
apotek.

7
3) Apoteker Pengganti adalah Apoteker yang menggantikan APA selama
APA tersebut tidak berada ditempat lebih dari 3 bulan secara terus-
menerus, telah memiliki Surat Izin Kerja (SIK) dan tidak bertindak
sebagai APA di apotek lain.
4) Asisten Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-
undangan berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai asisten
apoteker yang berada di bawah pengawasan apoteker.
Selain itu, terdapat tenaga lainnya yang dapat mendukung kegiatan di apotek
yaitu (Umar, M., 2011):
1) Juru resep adalah petugas yang membantu pekerjaan asisten apoteker.
2) Kasir adalah orang yang bertugas menerima uang, mencatat
penerimaan, dan pengeluaran uang.
3) Pegawai tata usaha adalah petugas yang melaksanakan administrasi
apotek dan membuat laporan pembelian, penjualan, penyimpanan, dan
keuangan apotek.
e. Surat Izin Praktek Apoteker (SIPA)
Setiap tenaga kefarmasian yang akan menjalankan pekerjaan kefarmasian
wajib memiliki surat izin sesuai tempat tenaga kefarmasian bekerja. Surat
izin tersebut berupa:
1) SIPA bagi Apoteker penanggung jawab di fasilitas pelayanan
kefarmasian;
2) SIPA bagi Apoteker pendamping di fasilitas pelayanan kefarmasian;
3) SIK bagi Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian di fasilitas
produksi atau fasilitas distribusi/penyaluran
Untuk memperoleh SIPA sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, seorang
apoteker harus memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA). STRA
ini dapat diperoleh jika seorang apoteker memenuhi persyaran sebagai
berikut:
1) Memiliki ijazah apoteker.
2) Memiliki sertifikat kompetensi apoteker.
3) Surat pernyataan telah mengucapkan sumpah atau janji apoteker.
4) Surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang mempunyai
surat izin praktek.

8
5) Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
889/MENKES/PER/V/2011 tentang Registrasi, Izin Praktek, dan Izin Kerja
Tenaga Kefarmasian STRA dikeluarkan oleh Menteri, dimana Menteri akan
mendelegasikan pemberian STRA kepada Komite Farmasi Nasional (KFN).
STRA berlaku selama lima tahun dan dapat diregistrasi ulang selama
memenuhi persyaratan. Setelah mendapatkan STRA apoteker wajib
mengurus SIPA dan SIKA di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tempat
pekerjaan kefarmasian dilakukan. Permohonan SIPA atau SIKA harus
melampirkan:
1) Fotokopi STRA yang dilegalisir oleh KFN;
2) Surat pernyataan mempunyai tempat praktek profesi atau surat keterangan
dari pimpinan fasilitas pelayanan kefarmasian atau dari pimpinan
fasilitas produksi atau distribusi/penyaluran;
3) Surat rekomendasi dari organisasi profesi;
4) Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak dua lembar dan 3 x 4 cm
sebanyak dua lembar.
2.5. Tata Cara Perizinan Apotek
Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/X/2002 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan RI No.
922/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek adalah
sebagai berikut:
a. Permohonan izin apotek diajukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
dengan menggunakan contoh formulir APT-1.
b. Dengan menggunakan formulir APT-2 Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
selambat-lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah menerima permohonan dapat
meminta bantuan teknis kepada Kepala Balai POM untuk melakukan pemeriksaan
terhadap kesiapan apoteker melakukan kegiatan.
c. Tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai POM selambat-
lambatnya 6 (enam) hari kerja setelah permintaan bantuan teknis dari kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melaporkan hasil pemeriksaan setempat
dengan menggunakan formulir APT-3.
d. Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud di dalam butir (b) dan (c),

9
jika tidak dilaksanakan maka apoteker pemohon dapat membuat surat
pernyataan siap melakukan kegiatan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Propinsi dengan menggunakan
formulir APT-4.
e. Dalam jangka waktu 12 (dua belas) hari kerja setelah diterima laporan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud butir (c) atau pernyataan butir (d) Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota setempat mengeluarkan Surat Izin Apotek dengan menggunakan
formulir APT-5.
f. Dalam hal hasil pemeriksaan tim Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atau Kepala Balai
POM sebagaimana dimaksud pada butir (c) jika masih belum memenuhi syarat, maka
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam waktu 12 (dua belas) hari kerja
mengeluarkan surat penundaan dengan menggunakan formulir APT-6.
g. Terhadap surat penundaan sebagaimana dimaksud dalam butir (f), apoteker
diberi kesempatan untuk melengkapi persyaratan yang belum dipenuhi
selambat-lambatnya dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal surat
penundaan.
h. Apabila apoteker menggunakan sarana pihak lain, maka penggunaan sarana dimaksud
wajib didasarkan atas perjanjian kerjasama antara apoteker dan pemilik sarana.
i. Pemilik sarana yang dimaksud tersebut harus memenuhi persyaratan tidak
pernah terlibat dalam pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang obat
sebagaimana dinyatakan dalam surat pernyataan yang bersangkutan.
j. Terhadap permohonan izin apotek dan APA atau lokasi tidak sesuai dengan pemohon,
maka Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dalam jangka waktu selambat-
lambatnya 12 hari kerja wajib mengeluarkan surat penolakan disertai dengan
alasannya dengan menggunakan formulir APT-7.
2.6. Pencabutan Surat Izin Apotek (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 2002)
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1332/Menkes/SK/2002, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dapat
mencabut Surat Izin Apotek, apabila:
a. Apoteker sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai APA.
b. Apoteker tidak lagi memenuhi kewajibannya untuk menyediakan, menyimpan dan
menyerahkan sediaan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin.
c. APA berhalangan melakukan tugasnya lebih dari 2 tahun secara terus
menerus.

10
d. Terjadi pelanggaran terhadap Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang
Psikotropika, Undang-Undang Kesehatan dan ketentuan perundang-undangan lainnya.
e. Surat Izin Kerja (SIK) APA tersebut dicabut.
f. Pemilik sarana apotek tersebut terbukti terlibat dalam pelanggaran perundang-
undangan di bidang obat.
g. Apotek tidak dapat lagi memenuhi persyaratan mengenai kesiapan tempat pendirian
apotek serta kelengkapan sediaan farmasi dan perbekalan lainnya baik merupakan
milik sendiri atau pihak lain.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sebelum melakukan pencabutan surat izin
apotek berkoordinasi dengan Kepala Balai POM setempat. Pelaksanaan pencabutan surat
izin apotek dilaksanakan setelah dikeluarkan:
a. Peringatan secara tertulis kepada APA sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut dengan
tenggang waktu masing-masing 2 (dua) bulan.
b. Pembekuan izin apotek untuk jangka waktu selama-lamanya 6 (enam) bulan sejak
dikeluarkannya penetapan pembekuan kegiatan apotek.
Pembekuani izin apotek sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) di atas, dapat dicairkan
kembali apabila apotek telah membuktikan memenuhi seluruh persyaratan sesuai dengan
ketentuan dalam peraturan ini. Pencairan izin apotek dilakukan setelah menerima laporan
pemeriksaan dari Tim Pemeriksaan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat. Apabila
SIA dicabut, APA atau Apoteker Pengganti wajib mengamankan perbekalan farmasi
sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku. Pengamanan tersebut wajib
mengikuti tata cara sebagai berikut:
a. Dilakukan inventarisasi terhadap seluruh persediaan narkotika, obat keras tertentu dan
obat lain serta seluruh resep yang tersedia di apotek.
b. Narkotika, psikotropika, dan resep harus dimasukkan dalam tempat yang tertutup dan
terkunci.
Apoteker Pengelola Apotek wajib melaporkan secara tertulis kepada Kepala Wilayah
Kantor Kementerian Kesehatan atau petugas yang diberi wewenang olehnya, tentang
penghentian kegiatan disertai laporan inventarisasi yang dimaksud dalam huruf (a).
2.7. Pengelolaan Apotek
Seluruh kegiatan apoteker untuk melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan apotek
disebut pengelolaan apotek. Pengelolaan apotek sepenuhnya berada ditangan apoteker,
oleh karena itu apoteker harus mengelola secara efektif sehingga obat yang disalurkan

11
kepada masyarakat akan lebih dapat dipertanggungjawabkan, karena kualitas dan
keamanannya selalu terjaga. Pengelolaan apotek dibedakan atas:
2.7.1. Kegiatan Teknis Kefarmasian
2.7.1.1.Pengelolaan perbekalan farmasi dan alat kesehatan (Mashuda, A., 2011)
Pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan adalah suatu proses yang
berkesinambungan yang dimulai dari pemilihan, perencanaan. Penganggaran,
pengadaan, penerimaan, produksi, penyimpanan, distribusi, peracikan,
pengendalian, pengembalian, pemusnahan, pencatatan dan pelaporan, jaminan
mutu serta monitoring dan evaluasi, yang didukung oleh kebijakan, SDM,
pembiayaan dan sistem informasi manajemen yang efisien dan efektif.
a. Pemilihan
Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan sediaan farmasi dan alat
kesehatan sesuai jumlah, jenis dan waktu yang tepat sesuai dengan
kebutuhan agar tercapai penggunaan obat yang rasional. Pemilihan
sediaan farmasi dan alat kesehatan harus berdasarkan:
1) Pola penyakit
2) Kebutuhan dan kemampuan daya beli masyarakat
3) Pengobatan berbasis bukti
4) Bermutu dan ekonomis
5) Budaya masyarakat (kebiasaan masyarakat setempat)
6) Pola penggunaan obat sebelumnya
b. Pengadaan
Suatu proses kegiatan yang bertujuan agar tersedia sediaan farmasi
dengan jumlah dan jenis yang cukup sesuai dengan kebutuhan
pelayanan. Pengadaan yang efektif merupakan suatu proses yang
mengatur berbagai cara, teknik dan kebijakan yang ada untuk membuat
suatu keputusan tentang obat-obatan yang akan diadakan, baik jumlah
maupun sumbernya. Kriteria yang harus dipenuhi dalam pengadaan
sediaan farmasi dan perbekalan kesehatan adalah:
1) Sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diadakan memiliki izin
edar atau nomor registrasi.
2) Mutu, keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat
kesehatan dapat dipertanggung jawabkan.

12
3) Pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan berasal dari jalur
resmi.
4) Dilengkapi dengan persyaratan administrasi.
Aktifitas pengadaan meliputi aspek-aspek:
1) Perencanaan
Perencanaan adalah kegiatan untuk menentukan jumlah dan waktu
pengadaan sediaan farmasi dan alat kesehatan sesuai dengan hasil
kegiatan pemilihan, agar terjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis,
tepat jumlah, tepat waktu serta efisien. Ada 3 (tiga) metode
perencanaan
sediaan farmasi dan alat kesehatan:
a) Pola penyakit
b) Pola konsumsi
c) Kombinasi antara pola konsumsi dan pola penyakit
2) Teknis Pengadaan
Teknis Pengadaan adalah kegiatan yang dimaksudkan untuk
merealisasikan hasil perencanaan. Teknik pengadaan yang efektif
harus menjamin ketersediaan dalam jenis dan jumlah yang tepat
dengan harga yang ekonomis dan memenuhi persyaratan mutu,
keamanan dan kemanfaatan. Teknis pengadaan dapat melalui
pembelian, pembuatan dan sumbangan. Teknis pengadaaan
merupakan kegiatan yang
berkesinambungan yang dimulai dari pengkajian seleksi obat,
penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan
dan dana, pemilihan metode teknis pengadaan, pemilihan waktu
pengadaan, pemilihan pemasok yang baik, penentuan spesifikasi
kontrak,
pemantauan proses pengadaan dan pembayaran. Teknis pengadaaan
merupakan penentu utama dari ketersediaan obat dan total biaya
kesehatan.
3) Penerimaan
Merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang telah
diadakan sesuai dengan aturan kefarmasian, melalui pembelian
langsung, tender, konsinyasi atau sumbangan. Penerimaan adalah

13
kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah, mutu,
waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak/pesanan.
Penerimaan merupakan kegiatan verifikasi penerimaan/penolakan,
dokumentasi dan penyerahan yang dilakukan dengan menggunakan
"chrecklist" yang sudah disiapkan untuk masing-masing jenis produk
yang berisi antara lain :
a) kebenaran jumlah kemasan
b) kebenaran kondisi kemasan seperti yang disyaratkan
c) kebenaran jumlah satuan dalam tiap kemasan;
d) kebenaran jenis produk yang diterima;
e) tidak terlihat tanda-tanda kerusakan;
f) kebenaran identitas produk;
g) penerapan penandaan yang jelas pada label, bungkus dan
brosur;
h) tidak terlihat kelainan warna, bentuk, kerusakan pada isi
produk,
i) jangka waktu daluarsa yang memadai
4) Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menata dan memelihara dengan
cara menempatkan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang diterima
pada tempat yang dinilai aman dari pencurian dan gangguan fisik
yang dapat merusak mutu obat. Penyimpanan harus menjamin
stabilitas dan keamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan. Metode
penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk
sediaan dan alfabetis dengan menerapkan prinsip Firsf ln First Out
(FIFO) dan First Expired First Out (FEFO) disertai sistem informasi
manajemen. Untuk meminimalisir kesalahan penyerahan obat
direkomendasikan penyimpanan berdasarkan kelas terapi yang
dikombinasi dengan bentuk sediaan dan alfabetis. Apoteker harus
rnemperhatikan obat-obat yang harus disimpan secara khusus seperti
narkotika, psikotropika, obat yang memerlukan suhu tertentu, obat
yang mudah terbakar, sitostatik dan reagensia. Selain itu apoteker
juga perlu melakukan pengawasan mutu terhadap sediaan farmasi dan

14
alat kesehatan yang diterima dan disimpan sehingga terjamin mutu,
keamanan dan kemanfaatan sediaan farmasi dan alat kesehatan
c. Pendistribusian
Pendistribusian adalah kegiatan menyalurkan atau menyerahkan sediaan
farmasi dan alat kesehatan dari tempat penyimpanan sampai kepada unit
pelayanan pasien. Sistem distribusi yang baik harus:
1) Menjamin kesinambungan penyaluran atau penyerahan.
2) Mempertahankan mutu.
3) Meminimalkan kehilangan, kerusakan dan kadaluarsa.
4) Menjaga ketelitian pencatatan.
5) Menggunakan metode distribusi yang efisien, dengan
memperhatikan peraturan peundang-undangan dan ketentuan lain
yang berlaku.
6) Menggunakan sistem informasi manajemen.
d. Penghapusan dan pemusnahan
Sediaan farmasi yang sudah tidak memenuhi syarat sesuai standar yang
ditetapkan harus dimusnahkan. Penghapusan dan Pemusnahan sediaan
farmasi harus dilaksanakan dengan cara yang baik dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Prosedur pemusnahan
obat hendaklah dibuat yanng mencakup pencegahan pencemaran di
lingkungan dan mencegah jatuhnya obat tersebut di kalangan orang yang
tidak berwenang. Sediaan farmasi yang akan dimusnahkan supaya
disimpan terpisah dan dibuat daftar yanng mencakup jumlah dan identitas
produk. Penghapusan dan pemusnahan obat baik yang dilakukan sendiri
maupun oleh pihak lain harus didokumentasikan sesuai dengan ketentuan
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e. Pengendalian
Pengendalian persediaan dimaksudkan untuk membantu pengelolaan
perbekalan (supply) sediaan farmasi dan alat kesehatan agar mempunyai
persediaan dalam jenis dan jumlah yang cukup sekaligus menghindari
kekosongan dan menumpuknya persediaan. Pengendalian persediaan
yaitu upaya mempertahankan tingkat persediaan pada suatu tingkat
tertentu dengan mengendalikan arus barang yang masuk melalui
pengaturan sistem pesanan atau pengadaan (scheduled inventory dan

15
perpetual inventory), penyimpanan dan pengeluaran untuk memastikan
persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan kekurang,
kerusakan, kadaluarsa, dan kehilangan serta pengembalian pesanan
sediaan farmasi.
f. Penarikan kembali sediaan farmasi
Penarikan kembali (recall) dapat dilakukan atas permintaan produsen atau
instruksi instansi pemerintah yang berwenang. Tindakan penarikan
kembali hendaklah dilakukan segera setelah diterima permintaan instruksi
untuk penarikan kembali. Untuk penarikan kembali sediaan farmasi yang
mengandung risiko besar terhadap kesehatan, hendaklah dilakukan
penarikan sampai tingkat konsumen. Apabila ditemukan sediaan farmasi
tidak memenuhi persyaratan, hendaklah disimpan terpisah dari sediaan
farmasi lain dan diberi penandaan tidak untuk dijual untuk menghindari
kekeliruan. Pelaksanaan penarikan kembali agar didukung oleh sistem
dokumentasi yang memadai.
g. Pencatatan dan pelaporan
Pencatatan dan pelaporan kegiatan perencanaan kebutuhan, pengadaan,
pengendalian persediaan, pengembalian, penghapusan dan pemusnahan
sediaan farmasi harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangan yang berlaku.
h. Monitoring dan evaluasi
Monitoring dan evaluasi merupakan tahapan untuk mengamati dan
menilai keberhasilan atau kesesuaian pelaksanaan Cara Pelayanan
Kefarmasian yang Baik disuatu pelayanan kefarmasian. Untuk evaluasi
mutu proses pengelolaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, dapat diukur
dengan
indikator kepuasan dan keselamatan pasien/pelanggan/pemangku
kepentingan (stakeholders), dimensi waktu (time delivery), Standar
Prosedur Operasional serta keberhasilan pengendalian perbekalan
kesehatan dan sediaan farmasi.
2.7.1.2.Pengelolaan narkotika
a. Pemesanan narkotika
Undang-Undang Nomor 9 tahun 1976 menyatakan bahwa Menteri
Kesehatan memberikan izin kepada apotek untuk membeli, meracik,

16
menyediakan, memiliki atau menyimpan untuk persediaan, menguasai,
menjual, menyalurkan, menyerahkan, mengirimkan, membawa atau
mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan (Presiden Republik
Indonesia,
1976). Pengadaan narkotika di apotek dilakukan dengan pesanan tertulis
melalui Surat Pesanan Narkotika kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF)
PT. Kimia Farma. Surat Pesanan Narkotika harus ditandatangani oleh
APA dengan mencantumkan nama jelas, nomor SIK, SIA dan stempel
apotek. Satu surat pesanan terdiri dari rangkap empat dan hanya dapat
untuk memesan satu jenis obat narkotika (Umar M., 2011).
b. Penyimpanan narkotika (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1978)
Apotek harus mempunyai tempat khusus untuk menyimpan narkotika dan
harus dikunci dengan baik. Tempat penyimpanan narkotika di apotek
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat.
2) Harus mempunyai kunci ganda yang kuat.
3) Dibagi menjadi dua bagian masing-masing bagian dengan kunci
yang berlainan. Bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan
morfin, petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika
sedangkan bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika
yang dipakai sehari-hari.
4) Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari
40×80×100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat melekat pada
tembok atau lantai.
5) Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain
selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.
6) Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh pegawai yang
dikuasakan.
7) Lemari khusus harus ditempatkan di tempat yang aman dan tidak
terlihat oleh umum.
c. Pelayanan resep yang mengandung narkotika
Apotek hanya melayani pembelian narkotika berdasarkan resep dokter
sesuai dengan ketentuan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pengawasan
Obat dan Makanan No. 336/E/SE/77 antara lain dinyatakan :

17
1) Sesuai dengan bunyi pasal 7 ayat (2) UU No. 9 tahun 1976 tentang
Narkotika, apotek dilarang melayani salinan resep yang
mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani
sebagian atau belum dilayani sama sekali.
2) Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum
dilayani sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi
salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang
menyimpan resep aslinya.
3) Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh
dilayani sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah
tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika.
d. Pelaporan narkotika
Berdasarkan UU No. 35 tahun 2009 pasal 14 ayat (2) dinyatakan
bahwa industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan
sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib
membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai
pemasukan dan/atau pengeluaran narkotika yang berada dibawah
penguasaannya. Laporan tersebut meliputi laporan pemakaian narkotika
dan laporan pemakaian morfin dan petidin. Laporan harus di tandatangani
oleh apoteker pengelola apotek dengan mencantumkan SIK, SIA, nama
jelas dan stempel apotek, kemudian dikirimkan kepada Kepala Suku Dinas
Kesehatan dengan tembusan kepada :
1) Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat.
2) Kepala Balai POM setempat.
3) Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.
(khusus Apotek Kimia Farma).
4) Arsip.
Laporan penggunaan narkotika tersebut terdiri dari:
1) Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika
2) Laporan penggunaan bahan baku narkotika
3) Laporan khusus penggunaan morfin dan petidin
Laporan narkotika tersebut dibuat setiap bulannya dan harus dikirim
selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya

18
e. Pemusnahan narkotika
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
28/MENKES/PER/I/1978 pasal 9, pemegang izin khusus, apoteker
pimpinan apotek, atau dokter yang memusnahkan narkotika harus membuat
berita acara pemusnahan paling sedikit rangkap tiga. Berita acara
pemusnahan memuat :
1) Hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan.
2) Nama pemegang izin khusus, apoteker pimpinan apotek, atau dokter
pemilik narkotika.
3) Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari
perusahaan atau badan tersebut.
4) Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan.
5) Cara pemusnahan.
6) Tanda tangan penanggung jawab apotek/pemegang izin khusus,
dokter pemilik narkotika, dan saksi-saksi.
Kemudia berita acara tersebut dikirimkan kepada Suku Dinas Pelayanan
Kesehatan dengan tembusan:
1) Balai POM setempat
2) Penanggung jawab narkotika PT. Kimia Farma (Persero) Tbk.
3) Arsip

2.7.1.3.Pengelolaan psikotropika
Ruang lingkup pengaturan psikotropika adalah segala hal yang berhubungan
dengan psikotropika yang dapat mengakibatkan ketergantungan. Tujuan
pengaturan psikotropika yaitu (Presiden Republik Indonesia, 1997):
a. Menjamin ketersediaan psikotropika guna kepentingan pelayanan
kesehatan dan ilmu pengetahuan.
b. Mencegah terjadinya penyalahgunaan psikotropika. c. Memberantas
peredaran gelap psikotropika.
Secara garis besar pengelolaan psikotropika meliputi (Presiden Republik
Indonesia, 1997):
a. Pemesanan Psikotropika
Obat golongan psikotropika dipesan dengan menggunakan Surat Pesanan
Psikotropika yang ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan

19
nomor SIK. Surat pesanan tersebut dibuat rangkap dua dan setiap surat
dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis psikotropika.
b. Penyimpanan Psikotropika
Kegiatan ini belum diatur oleh perundang-undangan. Namun karena
kecenderungan penyalahgunaan psikotropika, maka disarankan untuk
obat golongan psikotropika diletakkan tersendiri dalam suatu rak atau
lemari khusus dan membuat kartu stok psikotropika.
c. Penyerahan Psikotropika
Obat golongan psikotropika diserahkan oleh apotek, hanya dapat
dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai
pengobatan dan dokter kepada pengguna/pasien berdasarkan resep
dokter
d. Pelaporan Psikotropika
Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang
berhubungan dengan psikotropika dan melaporkan pemakaiannya setiap
bulan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dengan tembusan
kepada
Kepala Balai Besar POM setempat dan 1 salinan untuk arsip apotek.
e. Pemusnahan Psikotropika
Pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak
pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang
berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi,
kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan
kesehatan dan untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Pemusnahan
psikotropika dilakukan dengan pembuatan berita acara yang sekurang-
kurangnya memuat tempat dan waktu pemusnahan; nama pemegang
izin khusus; nama, jenis, dan jumlah psikotropika yang dimusnahkan;
cara pemusnahan; tanda tangan dan identitas lengkap penanggung
jawab apotek dan saksi-saksi pemusnahan.
2.7.2. Kegiatan Non Teknis Kefarmasian
a. Pengelolaan Sumber Daya Manusia
Sesuai ketentuan peundangan yang berlaku apotek harus dikelola oleh
seorang apoteker yang profesional. Dalam pengelolaan apotek, apoteker
senantiasa harus memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan

20
pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat, mampu
berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri sebagai pimpinan dalam
situasi multidisipliner, kemampuan mengelola SDM secara efektif, selalu
belajar sepanjang karir dan membantu memberi pendidikan dan memberi
peluang untuk meningkatkan pengetahuan (Menteri Kesehatan Republik
Indonesia, 2004).
b. Pengelolaan Keuangan
Laporan keuangan yang biasa dibuat di apotek adalah (Umar, M., 2011) :
1) Laporan Laba-Rugi yaitu laporan yang menggambarkan tentang aliran
pendapatan dan biaya operasional yang dikeluarkan selama periode
waktu tertentu.
2) Laporan Neraca yaitu laporan yang menggambarkan tentang potret
kondisi kekayaan apotek pada tanggal tertentu.
3) Laporan Aliran Kas yaitu laporan yang menggambarkan tentang aliran
kas yang masuk dan keluar pada periode tertentu.
c. Administrasi
Dalam menjalankan pelayanan kefarmasian di apotek, perlu dilaksanakan
kegiatan administrasi yang meliputi (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
2004):
1) Administrasi umum
Pencatatan, pengarsipan, pelaporan narkotika, psikotropika dan
dokumentasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
2) Administrasi pelayanan
Pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, pengarsipan
hasil monitoring penggunaan obat.
Hal lain yang harus diperhatikan dalam pengelolaan apotek adalah (Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, 1993) :
1) Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan
perbekalan farmasi yang bermutu baik dan keabsahannya terjamin.
2) Obat dan perbekalan farmasi lainnya yang karena suatu hal tidak dapat
digunakan atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara
dibakar atau ditanam atau dengan cara lain yang ditetapkan.

21
2.8. Penggolongan Obat Secara Umum
Untuk menjaga keamanan penggunaan obat oleh masyarakat, maka pemerintah
menggolongkan obat menjadi beberapa bagian, yaitu:
2.8.1. Obat Bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di


pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter.
Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi
berwarna hitam. Contoh : Parasetamol
Gambar 2.8.1 Logo Obat Bebas (Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
2006).

2.8.2. Obat Bebas Terbatas


Obat bebas terbatas adalah obat yang
sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih
dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep
dokter, dan disertai dengan tanda peringatan.
Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat
bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan
Gambar 2.8.2 Logo Obat Bebas garis tepi berwarna hitam. Contoh : CTM
Terbatas
(Departemen Kesehatan Republik
Indonesia, 2006).
Tanda peringatan selalu tercantum pada kemasan obat bebas terbatas, berupa empat
persegi panjang berwarna hitam berukuran panjang 5 (lima) centimeter, lebar 2
(dua) centimeter dan memuat pemberitahuan berwarna putih sebagai berikut
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
2.8.3. Obat Keras dan Obat Psikotropika
Obat keras adalah obat yang hanya
dapat dibeli di apotek dengan
resep dokter. Tanda khusus pada
kemasan dan etiket adalah huruf K
dalam lingkaran merah dengan

22

Gambar 2.8.3 Logo Obat Keras dan Obat


Psikotropika
garis tepi berwarna hitam. Bila digunakan sembarangan dapat berbahaya, bahkan
meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan kematian. Obat-obatan
yg termasuk obat keras : Semua antibiotika, semua obat hormone, semua obat
suntik, semua obat sulfa, antihistamin, papaverin, noscapine, narceine serta garam-
garamnya, adrenalin serta garam-garamnya, digitalis serta glikosida-glikosidanya,
zat-zat radioaktif, hydantoin serta derivate-derivatenya.
Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik,
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh :
Diazepam, Phenobarbital (Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006).
Menurut UU No.5 Tahun 1997 psikotopika digolongkan menjadi
(Presiden Republik Indonesia, 1997):
a. Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan
untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta
mempunyai potensi sangat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: etisiklidina, tenosiklidina, dan metilendioksi metilamfetamin
(MDMA).
b. Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contoh:
amfetamin, deksamfetamin, metamfetamin, dan fensiklidin.
c. Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan.
Contoh: amobarbital, pentabarbital, dan siklobarbital.
d. Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan
dan sangat luas digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma
ketergantungan. Contoh: diazepam, estazolam, etilamfetamin, alprazolam.
Ada 3 tipe psikotropika berdasarkan efeknya :
1. Halusinogen (memberikan efek halusinasi) contoh : LSD, DMT, DET, THC,
dan STP
2. Perangsang susunan saraf pusat contoh : amfetamin, metilfenidat, pipradol

23
3. Penekan susunan saraf pusat contoh : barbiturat dan semua derivat serta
garamnya

2.8.4. Obat Narkotika


Obat narkotika adalah obat yang
berasal dari tanaman atau bukan
tanaman baik sintetis maupun semi
sintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran,
hilangnya rasa, mengurangi sampai
menghilangkan rasa nyeri dan
Gambar 2.8.4 Logo Obat menimbulkan ketergantungan.
Narkotika
Contoh : Morfin, Petidin
(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006). Obat narkotika ditandai
dengan simbol palang medali atau palang swastika. Narkotika dibagi menjadi 3
golongan, yaitu (Presiden Republik
Indonesia, 2009):
a. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam
terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: kokain, opium, heroin, dan ganja.
b. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan,
digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi
dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: fentanil, metadon,
morfin, dan petidin
c. Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: etilmorfina kodein, dan norkodeina.
2.8.5. Obat Wajib Apotek
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
347/MENKES/SK/VII/1990 tentang Obat Wajib Apotek, menerangkan bahwa
obat wajib apotek (OWA) adalah obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep

24
dokter oleh apoteker kepada pasien di apotek. Peraturan mengenai obat wajib
apotek dibuat untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong
dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dan peningkatan pengobatan
sendiri secara tepat, aman dan rasional (Menteri Kesehatan Republik Indonesia,
1990).
Obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter harus memenuhi kriteria
(Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993b):
a. Tidak dikontraindikasikan pada wanita hamil, anak dibawah usia 2 tahun,
dan orang tua diatas 65 tahun.
b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan resiko akan
kelanjutan penyakit.
c. Penggunaan tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus
dilakukan oleh tenaga kesehatan.
d. Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di
Indonesia.
e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri
Dalam melayani pasien yang memerlukan OWA, Apoteker di apotek diwajibkan
untuk (Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 1993b) :
a. Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang
disebutkan dalam OWA yang bersangkutan.
b. Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
c. Memberikan informasi, meliputi dosis dan aturan pakainya,
kontraindikasi, efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh
pasien.
2.8.6. Obat Generik

Definisi obat generik menurut Permenkes 085/1989 adalah obat dengan nama resmi
yang ditetapkan Farmakope Indonesia untuk zat berkhasiat yang dikandungnya. Sedangkan
untuk obat paten didefinisikan sebagai obat dengan nama dagang dan menggunakan nama
milik produsen obat (terdaftar). Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik
Departemen Kesehatan RI Nomor 0428/YANMED/RSKS/SK/89 pada bab 2 pasal 3
dikemukakan bahwa, setiap dokter dan dokter gigi yang bekerja di rumah sakit wajib menulis
resep dan/atau menggunakan obat generik pada waktu menjalankan tugas di rumah sakit.

25
Menurut Permenkes RI no. 085/ Menkes/ Per/ I/ 1989 pasal 4 ayat (1), dokter yang bertugas
di rumah sakit diharuskan menulis resep obat esensial dengan nama generik bagi semua
pasien. Peraturan ini pada hakekatnya merupakan strategi pelaksanaan Depkes dalam rangka
menjabarkan amanat GBHN 1988, yakni perlunya peningkatan pemerataan dan peningkatan
mutu pelayanan kesehatan (Dirjen Yanmed, 1989).

2.8.7 Obat Prekusor


Prekusor adalah zat atau bahan pemula yang dapat digunakan untuk pembuatan
narkotika dan psikotropika, precursor tersebut berguna untuk untuk industry
farmasi, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan dan pelayanan kesehatan.
Prekursor farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat
digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi industry
farmasi atau produk antara, produk rumahan, dan produk jadi yang mengandung
ephedrine, pseudoephedrine, norephedrine/pheny ipropanolamine, ergotamine,
ergometrine atau Potasium Permanganat (permenkes No.3 tahun 2015).
Pengawasan Prekursor diatur dalam :
a. Undang-undang No.35 Tahun 2009 tentang narkotika.
b. Peraturan Menteri Perdagangan No.647 Tahun 2004 tentang impor
precursor.
c. Peraturan Menteri Kesehatan No.168 Tahun 2005 tentang prekusor
untuk industri farmasi.
Contoh precursor yang diawasi oleh pemerintah antara lain : Potassium
permanganate, 1-Phenyl 2-propanone, Acetate anhydrine, N-acetylanthranilic
acid, Isosafrole, Ephedrine, Pseudo ephedrine, Acetone, Piperidine.
2.8.8 obat tradisional
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan tersebut, yang
secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.

Obat tradisional lisensiadalah obat tradisional asing yang diproduksi oleh suatu
Industri Obat Tradisional atas persetujuan dari perusahaan yang bersangkutan di dalam
permenkes RI No. 246/Menkes/Per/V/1990 dijelaskan beberapa istilah obat tradisional
sebagai berikut

dengan memakai merk dan nama dagang perusahaan tersebut.

26
Selain itu juga ditetapkan dalam keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.00.05.4.2411
Tanggal 17 Mei 2004 tentang ketentuan pokok pengelompokan dan penandaan obat bahan
alam Indonesia. Antara lain terdapat beberapa pengertian sebagai berikut:

1. Obat Bahan Alam Indonesia adalah obat bahan alam yang diproduksi di Indonesia
2. Berdasarkan cara pembuatan, jenis klaim penggunaan dan tingkat pembuktian khasiat
maka Obat Bahan Alam Indonesia dikelmpokkan menjadi 3 yaitu
a. Jamu adalah obat tradisional Indonesia
b. Obat Herbal Terstandar adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan
keamanan secara ilmiah dengan praklinik dan bahan bakunya telah terstandarisasi
c. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan
khasiatnya secara ilmiah dengan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah
terstandarisasi

2.9. Pelayanan Apotek


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
922/MENKES/PER/X/1993, pelayanan apotek meliputi :
a. Apoteker wajib melayani resep dokter, dokter spesialis, dokter gigi, dan dokter
hewan. Pelayanan resep ini sepenuhnya atas dasar tanggung jawab APA, sesuai
dengan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.
b. Apotek tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep
dengan obat bermerek dagang.
c. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang diresepkan, apoteker wajib
berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.
d. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat
secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat.
e. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau
penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter
penulis resep. Apabila atas pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada
pendiriannya, dokter wajib melaksanakan secara tertulis atau membubuhkan
tanda tangan yang lazim di atas resep.
f. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.
g. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka

27
waktu 3 tahun.
h. Resep atau salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep
atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan,
atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.
i. Apoteker diizinkan menjual obat keras tanpa resep yang dinyatakan sebagai Daftar
Obat Wajib Apotek (DOWA) tanpa resep.

2.9.1. Pelayanan Swamedikasi


Menurut World Health Organization (WHO) swamedikasi adalah
pemilihan dan penggunaan baik obat modern maupun obat tradisional oleh
seseorang untuk melindungi diri dari penyakit dan gejalanya . Selain pengobatan
sendiri atau swamedikasi, saat ini juga berkembang perawatan sendiri (self care).
Perawatan sendiri ini lebih bersifat pencegahan terjadinya penyakit atau menjaga
supaya penyakitnya tidak bertambah parah dengan perubahan pola hidup, menjaga
pola makan, menjaga kebersihan dan lain-lain (World Health
Organization, 1998).
Peningkatan kesadaran untuk perawatan sendiri ataupun pengobatan sendiri
(swamedikasi) diakibatkan oleh beberapa faktor berikut ini (World Health
Organization, 1998):
a. Faktor sosial ekonomi
Dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat, berakibat pada semakin
tinggi tingkat pendidikan dan semakin mudah akses untuk mendapatkan
informasi. Dikombinasikan dengan tingkat ketertarikan individu terhadap
masalah kesehatan, sehingga terjadi peningkatan untuk dapat berpartisipasi
langsung terhadap pengambilan keputusan dalam masalah kesehatan.
b. Gaya hidup
Dengan meningkatnya pemberdayaan masyarakat, berakibat pada semakin
tinggi tingkat pendidikan dan semakin mudah akses untuk mendapatkan
informasi. Dikombinasikan dengan tingkat ketertarikan individu terhadap
masalah kesehatan, sehingga terjadi peningkatan untuk dapat berpartisipasi
langsung terhadap pengambilan keputusan dalam masalah kesehatan.
c. Kemudahan memperoleh produk obat

28
Saat ini pasien dan konsumen lebih memilih kenyamanan membeli obat
yang bisa diperoleh dimana saja, dibandingkan harus menunggu lama di
rumah sakit atau klinik.
d. Faktor kesehatan lingkungan
Dengan adanya praktek sanitasi yang baik, pemilihan nutrisi yang tepat serta
lingkungan perumahan yang sehat, meningkatkan kemampuan masyarakat
untuk dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan serta mencegah
terkena penyakit.
e. Ketersediaan produk baru
Saat ini, semakin banyak tersedia produk obat baru yang lebih sesuai untuk
pengobatan sendiri. Selain itu, ada juga beberapa produk obat yang telah
dikenal sejak lama serta mempunyai indeks keamanan yang baik, juga telah
dimasukkan ke dalam kategori obat bebas, membuat pilihan produk obat
untuk pengobatan sendiri semakin banyak tersedia.
Pelayanan swamedikasi merupakan pemilihan dan penggunaan obat oleh individu
untuk mengatasi masalah kesehatan tanpa menggunakan resep darii dokter. Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penggunaan obat untuk swamedikasi,
yaitu (World Health Organization, 1998):
a. Pengobatan yang digunakan harus terjamin keamanan, kualitas dan
keefektifannya.
b. Pengobatan yang digunakan diindikasikan untuk kondisi yang dapat dikenali
sendiri dan untuk beberapa macam kondisi kronis dan tahap penyembuhan
(setelah diagnosis medis awal). Pada seluruh kasus, obat harus didesain
spesifik untuk tujuan pengobatan tertentu dan memerlukan bentuk sediaan
dan dosis yang benar.

29
BAB III
TINJAUAN TENTANG TEMPAT PKL
3.1 Gambaran Umum Apotek
Apotek Arjasa adalah suatu tempat, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan
penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat dan juga
tempat yang menyediakan berbagai macam obat, baik resep dokter maupun obat-obat
yang beredar di masyarakat. Selain menyediakan obat-obatan apotek Arjasa juga
menyediakan alat kesehatan seperti masker, sarung tangan, jarum suntik dan lain-lain.
Tidak hanya itu saja apotek Arjasa juga menyediakan barang-barang titipan seperti susu
kambing etawa, susu kedelai, berbagai produk madu dan lain-lain.
Apotek Arjasa terletak di jalan Raya Sengkaling 293a. Apotek arjasa merupakan pusat
dari apotek arjasa lainnya. Apotek Arjasa mempunyai cabang hingga tujuh apotek yang
wilayahnya tersebar. Dalam hal lokasi, letak apotek Arjasa cukup strategis karena
berdekatan dengan rumah sakit dan pertigaan yang sangat memungkinkan banyak
pasien yang datang entah itu dengan resep dokter maupun tidak.
Pendistribusian obat di apotek Arjasa mengambil langsung dari distributor. Cara
pendistribusiannya adalah melakukan perencanaan, pengadaan langsung ke PBF.
Pertama menulis di buku defekta lalu melakukan pemesanan di tulis di surat
pemesanan. Pengelolaan di apotek Arjasa yaitu meliputi perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian, penggunaan, pencatatan dan pelaporan.
Pelayanan di apotek Arjasa itu berupa pelayanan langsung dan pelayanan dengan resep
dokter. Pelayanan langsung artinya pasien datang membeli suatu obat kemudian
dilayani dan diberikan KIE dan pelayanan dengan resep dokter artinya pasien datang
dengan membawa resep dokter kemudian resep tersebut dilayani berdasarkan urutan
ataupun alur resep yang sesuai kemudian diberikan kepada pasien dengan KIE. Adapun
selanjutnya resep tersebut akan disimpan hingga 5 tahun dan kemudian dimusnahkan.
Penggolongan obat di apotek Arjasa dibedakan menjadi obat bebas, obat bebas terbatas,
obat keras, obat narkotika, obat psikotropika dan obat substitusi. Jika ada obat yang
sudah kadaluarsa  biasanya dikelola dan diberikan kepada teman guru SMK untuk
praktek.

30
3.2 Struktur Organisasi
Apoteker : Siswanti Sukardi S.Si, Apt.
Asisten Apoteker : Lilis, Maria Susanti
Staff Karyawan : Lina, Fani, Leni, Hani, Kiki
3.3 Sarana Kefarmasian
Perlengkapan apotek yang harus dimiliki oleh apotek:
1)  Alat pembuatan, pengelolaan, peracikan obat seperti: timbangan, mortir, gelas piala
dan sebagainya.
2)  Wadah untuk bahan pengemas dan bahan pembungkus.
3)  Perlengkapan dan tempat penyimpanan perbekalan farmasi seperti lemari obat dan
lemari pendingin.
4)   Alat administrasi seperti blanko pemesanan obat, salinan resep, kartu stok obat,
faktur, nota penjualan, alat tulis dan sebagainya.
5)   Pustaka, seperti Farmakope edisi terbaru dan kumpulan peraturan perundang-
undangan serta buku-buku penunjang lain yang berhubungan dengan apotek
3.3.1 Stok Obat
Kartu stok obat sebagai pengendali persediaan barang untuk apotek
dan toko obat harus dimiliki dan diupdate secara berkala. Data logistik
seperti ini mempermudah penataan dan penjualan. Pengelolaan ketersediaan
obat juga akan memberitahu kapan produk obat tersebut belum habis juga
sejak masa pembeliannya. Ini menjadi kartu kendali penting untuk semua
bagian kerja dalam sebuah apotek atau toko obat. Sama halnya seperti kartu
stok barang pada perusahaan penjualan maupun toko.Sistem kartu stok obat
biasanya ditentukan oleh kebijakan manajemen masing-masing yang
pastinya berbeda. Manajemen apotek atau toko obat yang baik adalah yang
mampu membuat daftar pengelolaan obat dan administrasi apotek yang
rinci, tepat, dan benar. Kelengkapan administrasi apotek sendiri juga sangat
mempersiapkan blanko-blanko pengisian blangko pesanan obat kartu stok,
blangko salinan resep, blangko faktur dan blangko nota penjualan, buku
pembelian dan penerimaan serta buku, penjualan dan penerimaan
obat.Semua blanko data-data tersebut sangat diperlukan untuk mendukung
kinerja apotek atau toko obat menjadi lebih baik daripada sebelum-
sebelumnya. Antar satu data dengan yang lainnya saling mempengaruhi.
Disinilah letak petugas administrasi yang harus cakap, bukan mengandalkan

31
data yang sudah dibuat, namun siap merapikan dan bekerja dengan
berorientasi pada kebutuhan tempat bekerja dan peningkatan pelayanan.

3.4 Pelayanan Informasi


Pelayanan informasi sangat penting bagi pasien yang datang karena sebagian besar
pasien yang datang lebih banyak bertanya mengenai keluhannya daripada membawa
contoh obat yang akan dibeli. Biasanya pelayanan informasi tersebut berupa jenis obat,
cara pemakaian dan khasiat obat tersebut. Sedangkan dalam resep pelayanan informasi
juga sangat diperlukan biasanya pelayanan tersebut seperti cara pemakaian dan
farmakologi dari obat tersebut.

BAB IV

32
PEMBAHASAN
Dalam kegiatan PKL yang dilaksanakan siswa SMK Farmasi Jayanegara Lawang di
apotekArjasa I yang diselenggarakan pada tanggal 12 Juni 2017 sampai tanggal 12 Juli 2017.
Kegiatan PKL yang dilakukan meliputi pelayanan terhadap pasien secara langsung,
memberikan pelayanan komunikasi dan informasi kepada pasien. Pelayanan yang diberikan
oleh Apotek untuk memenuhi pelayanan kefarmasian yang berorientasi pada pasien meliputi
pelayanan informasi secara langsung kepada pasien.
4.1 Pelayanan Secara Langsung
Pelayanan secara langsung maksudnya pasien yang datang membeli obat kemudian
dilayani secara langsung disertai dengan KIE mengenai obat tersebut.
4.2 Pelayanan Obat dengan Resep Dokter
Pelayanan resep di Apotek Arjasa 2 perhari rata-rata mencapai 10 hingga 20 lembar
resep.Pelayanan resep di apotek Arjasa 2 berdasarkan alur resep yang sudah ditetapkan.
Pasien yang datang dengan membawa resep dokter pertama resep tersebut diteliti
keabsahannya kemudian setelah dinyatakan sah barulah mengecek obat yang
dibutuhkan dalam resep tersebut setelah selesai resep kemudian dihitung harga resep
dan dosis obat dalam resep. Setelah itu dikonfirmasikan kepada pasien jika pasien
setuju maka resep tersebut langsung dikerjakan. Bila sudah selesai ketika memeberikan
obat tersebut kepada pasien diwajibkan harus disertai KIE tentang cara pemakaian obat
tersebut agar tidak terjadi kesalahan dalam memakai obat.
Untuk pengarsipannya resep disimpan dalam jangka waktu 5 tahun kemudian
dimusnahkan.
4.3 Pengelolaan Obat di Apotek
Pengelolaan obat di apotek secara umum meliputi perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, pendistribusian, pencatatan dan pelaporan obat.
Unsur – unsur kegiatan dalam pengelolaan obat di apotek meliputi :
1. Perencanaan 
Memprediksi jumlah kebutuhan persediaan setiap item di apotek sehingga
akan diperoleh jenis dan obat atau barang yang sesuai dengan kebutuhan apotek
serta menghindari kekosongan obat.

2. Pengadaan obat

33
Dalam hal pemesanan, apotek mengambil dari pusat apotek lain bukan dari
distributor ataupun PBF dengan cara mengirimkan lembaran yang berisi barang
yang akan atau sudah habis.
3. Penyimpanan obat
Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengaman terhadap obat – obat yang
diterima agar aman terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya
tetap terjamin. Jika ada obat yang sudah mendekati kadaluarsa / rusak, petugas
gudang segera mendata obat yang tidak layak pakai tersebut dan mencatatnya
pada kartu stok dan melaporkanya kepada asisten apoteker agar dilaporkan untuk
dikirim kembali kepada distributor ataupun PBF.
Penyimpanan obat di apotek dilakukan berdasarkan :
 Bentuk sediaan (padat, semi padat, cair, tetes).
 Susunan alfabetis.
 Supositoria disimpan dalam lemari es
 Narkotika disimpan dalam lemari narkotika.
 Psikotropika disimpan dalam lemari psikotropika.
4. Pendistribusian obat
Dilakukan dari apotek pusat ke cabang apotek lainnya untuk memenuhi
kebutuhan obat.
5. Penggunaan obat
Pemanfaatkan obat untuk pengguna ataupun pasien agar terhindar dari
penyalagunaan obat ataupun kesalahan dalam pemakaian.
6. Pencatatan dan Pelaporan
Obat yang sudah atau akan habis ditulis dalam buku defecta atau buku barang
habis yang kemudian dilaporkan.

BAB V

34
KESIMPULAN

Lokasi Apotek Arjasa 2 saat ini yaitu dijalan Raya Kartanegara sudah layak
dan tidak perlu dilakukan adanya relokasi memiliki daya saing yang cukup tinggi dalam
hal lokasi, kemudahan keberadaan fasilitas internal, kelengkapan barang, keramahan dan
kecepatan pelayanan, serta harga obat-obat yang dijual di Apotek Arjasa masih dengan
apotek-apotek di sekitarnya.Apotek Arjasa 2 memberikan pelayanan Resep dan Non
Resep yang mencangkup Obat Bebas, Obat Bebas Terbatas , Alkes.
Apotek Arjasa 2 merupakan salah satu sarana pelayanan kesehatan dalam
membantu mewujudkan tercapainya derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat,
selain itu juga sebagai salah satu tempat pengabdian profesi apoteker dalam melakukan
pekerjaan kefarmasian. Untuk membantu masyarakat dalam mencapai derajat kesehatan
yang optimal, Apotek Arjasa 2 juga melakukan konseling, pemberian informasi dan
edukasi kepada masyarakat tentang obat yang diterimanya.

BAB VI

35
SARAN
1. Lebih melengkapi obat – obatan dan perbekalan farmasi lain yang di butuhkan oleh
masyarakat sekitar.
2. Pengoptimalan kartu stok, khususnya untuk obat-obatan agar mempermudah pada waktu
stok akhir, juga sebagai alat pemantau dan pengendali obat yang masuk dan keluar.

BAB VII

36
DAFTAR PUSTAKA
Bogadenta, A. 2012. Manajemen Pengelolaan Apotek. Yogyakarta: D-
David, Fred R. (2006). Manajemen Strategi. Buku 1, Edisi kesepuluh.
Salemba Empat.
Seto, S. (2001). Manajemen Apoteker. Surabaya: Airlangga University
Google Maps. http://maps.google.com/. Diakses pada tanggal 18 April
Menteri Kesehatan. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan
1027/MENKES/SK/IX/2004. Jakarta.
Menteri Kesehatan. (1993). Peraturan Menteri Kesehatan
922/MENKES/PER/X/1993. Jakarta.
Umar, M. (2011). Manajemen Apotek Praktis. Cetakan keempat. Jakarta: Putra Kencana.
Seto, S. (2001). Manajemen Apoteker. Surabaya: Airlangga University
Farmakope Indonesia Vol. 3
Farmakope Indonesia Vol 4
ISO Vol. 48
MIMS

37

Anda mungkin juga menyukai